BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Payudara 2.1.1 ... II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1...
-
Upload
truongxuyen -
Category
Documents
-
view
231 -
download
3
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Payudara 2.1.1 ... II.pdf · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Payudara
2.1.1 Epidemiologi
Karsinoma payudara merupakan suatu kelompok tumor ganas epitelial
dengan karakteristik invasif ke jaringan sekitarnya dan memiliki kecenderungan
untuk bermetastasis jauh.
Karsinoma invasif payudara merupakan karsinoma terbanyak pada wanita
yaitu sekitar 23% dari seluruh kanker pada wanita di seluruh dunia (Ferlay et al.,
2008). Pada tahun 2007 diperkirakan 178.480 wanita didiagnosis menderita
karsinoma payudara invasif, 62.030 dengan karsinoma in situ, dan lebih dari
40.000 wanita meninggal karena penyakit tersebut (Lester, 2010). Sejak tahun
1994 angka kematian akibat karsinoma payudara secara perlahan mulai menurun,
meskipun angka kejadiannya tetap konstan. Penurunan angka kematian ini
disebabkan oleh karena ditemukannya karsinoma payudara dalam stadium yang
awal karena manfaat skrining, demikian pula karena modalitas terapi yang
semakin baik (Lester, 2010).
Di Indonesia kanker payudara merupakan keganasan dengan insiden
terbanyak kedua setelah kanker leher rahim dan terdapat kecenderungan
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Tjindarbumi dan Mangunkusumo,
2002). Peningkatan angka insiden inipun terjadi di Bali. Sebelum tahun 2005
kanker payudara menempati urutan kedua terbanyak, namun sejak tahun 2005
sampai sekarang, berdasarkan data registrasi kanker berbasis patologik, kanker
payudara menempati urutan pertama kanker terbanyak pada wanita di Bali
(Anonim, 2010). Karena belum banyak dikenalnya skrining kanker payudara di
Bali serta keterbatasan sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat, sebagian besar
kasus kanker payudara datang pada stadium lanjut dengan tingkat mortalitas yang
tinggi.
Insiden kanker payudara meningkat seiring peningkatan usia. Pada area
dengan risiko tinggi, seperti Australia, Eropa, Amerika Utara, 6% wanita
menderita kanker payudara sebelum berusia 75 tahun. Sementara risiko menderita
kanker payudara di negara kurang berkembang lebih rendah yaitu sekitar sepertiga
dari negara yang berisiko tinggi (Ferlay et al., 2008).
2.1.2 Gambaran klinik
Massa tumor yang dapat dipalpasi merupakan gejala klinis karsinoma
payudara invasif yang tersering. Gejala lainnya yaitu retraksi kulit, inversi nipel,
nipple discharge, perubahan pada ukuran dan bentuk payudara atau perubahan
pada kulit. Kadang-kadang karsinoma payudara dideteksi karena adanya
pembesaran limfonodi aksila tanpa adanya abnormalitas pada payudara secara
klinis. Semua gejala kanker payudara juga dapat dijumpai pada lesi jinak
payudara, sehingga evaluasi dengan pencitraan dan pemeriksaan fine needle
aspiration cytology atau core biopsy harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
(Morrow dan Rutgers, 2012).
2.1.3 Klasifikasi
Lebih dari 95% keganasan payudara adalah suatu adenokarsinoma yang
dibagi menjadi karsinoma invasif dan insitu. Karsinoma in situ adalah proliferasi
sel-sel ganas yang terbatas pada duktus dan lobulus, dan dibatasi oleh membran
basal. Pada karsinoma invasif, sel-sel ganas menginfiltrasi membran basal dan
invasif ke stroma jaringan ikat sekitarnya. Sel-sel invasif tersebut memiliki
potensi untuk mencapat pembuluh limfe dan pembuluh darah yang kemudian
bermetastasis ke kelenjar getah bening regional dan bermetastasis jauh (Lester,
2010).
Terdapat berbagai tipe histologik karsinoma payudara yang memiliki
karakteristik morfologi yang bervariasi. Berikut ini adalah berbagai tipe
karsinoma invasif payudara menurut klasifikasi WHO (Lakhani et al., 2012):
1. Invasive carcinoma of no special type
2. Invasive lobular carcinoma
3. Tubular carcinoma
4. Cribriform carcinoma
5. Mucinous carcinoma
6. Carcinoma of medullary features
7. Carcinoma with apocrine differentiation
8. Carcinoma with signet ring cell differentiation
9. Invasive micropapillary carcinoma
10. Metaplastic carcinoma of no special type
11. Carcinoma with neuroendocrine features
12. Secretory carcinoma
13. Invasive papillary carcinoma
14. Acinic cell carcinoma
15. Mucoepidermoid carcinoma
16. Polymorphous carcinoma
17. Oncocytic carcinoma
18. Lipid rich carcinoma
19. Glicogen rich clear cell carcinoma
20. Sebaceous carcinoma
21. Skin adnexal type tumour
Invasive carcinoma of no special type yang dulunya dikenal sebagai
invasive ductal carcinoma, merupakan grup terbesar dari karsinoma invasif
payudara. Entitas ini merupakan grup yang heterogen, yang ditandai secara
morfologi berupa tumor yang tidak menunjukkan karakteristik karsinoma invasif
tipe lainnya. Tipe ini merupakan tipe yang tersering karsinoma payudara, yaitu
sekitar 40% sampai 75% kasus (Ellis et al., 2012).
Secara makroskopis tumor tipe ini tidak memiliki gambaran yang spesifik.
Ukurannya bervariasi dengan rentang kurang dari 10 mm sampai lebih dari 100
mm. Tumor ini dapat berupa massa tumor ireguler dengan batas yang tidak jelas
atau berupa bentukan noduler. Konsistensi tumor bisa kenyal sampai keras, dan
“gritty” saat dipotong dengan pisau (Ellis et al., 2012).
Secara mikroskopik, per definisi penentuan tipe tumor ini melalui proses
eksklusi dari gambaran morfologi tumor tipe spesifik. Gambaran morfologinya
akan bervariasi antar kasus. Tepi tumor bisa infiltratif, permeatif ke stroma
lobuler dan merusak unit lobular normal, atau pushing margin. Secara arsitektur,
sel tumor dapat membentuk susunan korda, klaster, trabekel, solid, atau sinsitial
infiltratif dengan stroma yang sedikit. Sebagian tumor membentuk struktur
glanduler berupa tubulus dengan lumen di sentral. Kadang-kadang juga berupa
sel-sel tunggal yang infiltratif. Sel tumor menunjukkan sitoplasma luas warna
eosinofilik. Inti sel bervariasi mulai uniform sampai pleomorfik berat. Pada
hampir 80% kasus dapat dijumpai fokus karsinoma duktal in situ (DCIS; ductal
carcinoma in situ) (Ellis et al., 2012).
Di samping tipe histologik tumor, beberapa tahun terakhir karsinoma
payudara juga diklasifikasikan menjadi 4 subtipe intrinsik berdasarkan tiga
pemeriksaan rutin yang dilakukan pada manajemen klinis pasien dengan
karsinoma payudara (estrogen receptor (ER), progesterone receptor (PR), dan
human epidermal growth factor 2 (HER2)). Subtipe intrinsik tersebut adalah
Luminal A, Luminal B, overekspresi HER2, dan basal-like (Tabel 2.1).
Tabel 2.1
Subtipe intrinsik karsinoma payudara (Goldhirsch et al., 2011)
Subtipe intrinsik Definisi kliniko-patologik
Luminal A Luminal A
ER dan/atau PR positif
HER2 negatif
Ki-67 rendah (<14%)
Luminal B Luminal B (HER2 negatif)
ER dan/atau PR positif
HER2 negatif
Ki-67 tinggi (≥14%)
Luminal B (HER2 positif)
ER dan/atau PR positif
HER2 overekspresi atau amplifikasi
Berapapun Ki-67
Overekspresi HER2 HER2 positif (non luminal)
HER2 overekspresi atau amplifikasi
ER dan PR negative
Basal-like Triple negative
ER dan PR negatif
HER2 negatif
Setiap subtipe ini memiliki respon terapi, risiko progresi penyakit, dan
kecenderungan metastasis ke organ tertentu. Subtipe luminal mayoritas
memberikan respon terhadap terapi hormonal. Tumor subtipe HER2 positif akan
dapat diterapi dengan efektif menggunakan terapi anti-HER2. Tumor subtipe
basal-like sampai saat ini belum ada terapi berbasis target molekuler tertentu pada
subtipe ini, dan hanya berespon terhadap kemoterapi standar pada sekitar 20%
kasus (Polyak, 2011).
2.1.4 Grade histologik
Penilaian derajat diferensiasi tumor (grade) karsinoma payudara secara
histologik dilakukan berdasarkan penilaian bentukan kelenjar/tubulus, pleomorfia
inti, dan penghitungan mitosis. WHO classification of tumours of the breast
merekomendasikan penilaian grading histologik tumor berdasarkan metode
semikuantitatif ini (Nottingham histologic grading system). Banyak penelitian
yang menunjukkan adanya asosiasi yang signifikan antara grade histologik
dengan survival pasien karsinoma payudara (Rakha et al., 2008). Grade ini
merupakan faktor prognosis yang kuat dan harus dicantumkan dalam pelaporan
pemeriksaan histopatologik dan merupakan komponen penting dalam alat
pengambilan keputusan pada pasien karsinoma payudara seperti Nottingham
Prognostic Index dan Adjuvant! Online (Blamey et al., 2007; Ravdin et al., 2001).
. Nottingham histologic grading system ini menilai 3 karakteristik morfologi
tumor yaitu: formasi tubuler, pleomorfia inti, dan penghitungan mitosis (Tabel
2.1). Masing-masing karakter tersebut diberi skor 1 sampai 3. Formasi tubulus
dinilai pada keseluruhan tumor dengan pembesaran kecil. Pleomorfia inti dinilai
pada area yang menunjukkan pleomorfia inti terjelek, sedangkan penghitungan
mitosis dilakukan pada area paling proliferatif dengan menghitung mitosis pada
10 area dengan pembesaran besar (Ellis et al., 2012). Grade histologik ditentukan
dengan menjumlahkan skor dari bentukan tubuler, pleomorfia inti, dan jumlah
mitosis. Grade dikelompokkan 3 yaitu: grade 1 (skor total 3-5), Grade 2 (skor
total 6-7), dan grade 3 (skor total 8-9).
Tabel 2.2
Nottingham histologic grading system (Ellis et al., 2012)
Gambaran morfologi Skor
Bentukan tubus dan glanduler
>75%
10-75%
<10%
1
2
3
Pleomorfia inti
Sel uniform regular, kecil
Peningkatan moderate ukuran sel dan variasinya
Sangat bervariasi
1
2
3
Penghitungan mitosis
Tergantung pada diameter area mikroskop
1-3
Grade final
Grade 1
Grade 2
Grade 3
Skor total 3-5
Skor total 6-7
Skor total 8-9
2.1.5 Stadium
Sistem penentuan stadium penyakit yang paling banyak dipergunakan
pada karsinoma payudara adalah sistem TNM yang dipublikasikan oleh the
American Joint Committee on Cancer (AJCC)/Union for International Cancer
Control (UICC). Saat ini sistem TNM yang dipergunakan adalah edisi ketujuh.
Sistem ini memberikan informasi tentang perluasan kanker pada lokasi primer
(tumor atau T), KGB regional (nodes atau N), dan perluasan ke lokasi metastasis
yang jauh (metastases atau M). T, N, dan M ini dikombinasikan menjadi 5
stadium (stadium 0, I, II, III, dan IV) yang menyimpulkan informasi tentang
perluasan penyakit regional (ukuran tumor, invasi ke kulit dan dinding dada, dan
keterlibatan limfonodi) dan adanya metastasis jauh. Untuk kepentingan pasien,
informasi ini sebagai dasar pengambilan keputusaan terhadap kontrol penyakit
lokal serta pertimbangan untuk memberikan kemoterapi sistemik (Lester et al.,
2012).
Baik stadium klinis ataupun patologis dipergunakan pada pasien kanker.
Stadium klinis ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik dan pencitraan, dengan
atau tanpa konfirmasi dengan pemeriksaan sitologi. Stadium patologis T dan N
ditentukan berdasarkan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis dari sediaan
operasi. Sementara untuk M ditentukan berdasarkan pemeriksaan radiologik,
sebagian dengan konfirmasi biopsi (Lester et al., 2012).
2.2 Faktor Prognosis dan Prediktif
2.2.1 Faktor prognosis
Faktor prognosis adalah faktor yang berkaitan dengan perjalanan alamiah
penyakit. Faktor prognosis pada kanker payudara merupakan setiap pengukuran
yang ada pada saat pembedahan tanpa terapi adjuvant sistemik, dan berkorelasi
dengan disease free survival atau overall survival. Faktor prognostik yang
dianggap sebagai variabel independen pada karsinoma payudara diantaranya
status limfonodi, ukuran tumor, dan status ER/PR.
Indikator prognostik yang paling signifikan pada karsinoma payudara
adalah ada atau tidaknya keterlibatan limfonodi. Terdapat pula hubungan
langsung antara jumlah limfonodi yang terlibat dengan risiko rekarensi jauh.
Angka survival 5 tahun pada pasien dengan nodal negatif adalah 82,8%,
dibandingkan dengan 73% pada pasien dengan 1-3 nodal positif, 45,7% pada
pasien dengan 4-12 nodal positif, dan 28,4% pada pasien dengan 13 atau lebih
nodal positif (Fisher et al., 1983).
Ukuran tumor berkorelasi dengan terdapatnya keterlibatan limfonodi serta
jumlah limfonodi yang terlibat. Ukuran tumor juga merupakan faktor prognostik
independen. Terdapat peningkatan angka rekarensi jauh seiring peningkatan
ukuran tumor. Pada pasien kanker payudara dengan nodal negatif, pasien dengan
ukuran tumor kurang dari 1 cm memiliki angka survival 5 tahun mendekati 90%,
dibandingkan dengan 89% pada pasien dengan tumor berukuran 1-3 cm, dan 86%
pada pasien dengan ukuran tumor di antara 3-5 cm (Carter et al., 1989).
Karakteristik patologi tumor memiliki signifikansi prognostik pada
karsinoma payudara. Tipe tumor tertentu seperti karsinoma tubuler, karsinoma
musinus, dan karsinoma medulare memiliki prognosis yang lebih baik jika
dibandingkan dengan karsinoma tidak spesifik (Lakhani et al., 2012). Grade
tumor juga merupakan faktor prognosis yang penting. Pasien karsinoma payudara
dengan grade histologik 3 memiliki risiko rekarensi 4,4x dibandingkan dengan
pasien karsinoma payudara grade 1 (Le Deussal et al., 1989).
Invasi limfatik peritumoral juga menunjukkan signifikansi prognostik
untuk risiko rekarensi lokal dan jauh. Rosen et al. (1989) pada follow up 20 tahun
penderita kanker payudara menunjukkan adanya korelasi antara invasi
limfovaskuler (LVI; lympovascular invasion) dengan risiko rekarensi dan
kematian. Angka rekarensi pada pasien dengan kanker payudara stadium I dengan
LVI positif adalah 38%, dibandingkan dengan 22% pada pasien dengan LVI
negatif.
Indeks proliferasi juga dianggap sebagai faktor prognosis yang penting
pada karsinoma payudara. Berbagai metode dipergunakan untuk mengukur
proliferasi tumor diantaranya fraksi fase S, indeks mitosis, serta pemeriksaan
imunohistokimia Ki-67 dan PCNA. Banyak penelitian, meskipun mempergunakan
metode penilaian yang bervariasi, menunjukkan adanya hubungan antara indeks
proliferasi dengan prognosis (Cianfrocca dan Goldstein, 2004).
Usia pasien pada saat diagnosis juga memiliki signifikansi prognostik.
Pasien dengan usia kurang dari 35 tahun menunjukkan prognosis yang lebih jelek
dibandingkan usia yang lebih tua (Cianfrocca danGoldstein, 2004).
2.2.2 Faktor prognosis dan prediktif
Faktor prediktif adalah setiap pengukuran yang berkorelasi dengan respon
terhadap terapi tertentu. Faktor biologi seperti ER, PR, dan HER2 merupakan
faktor prognostik dan prediktif.
Efek prognostik ER dinilai tanpa adanya terapi adjuvant tamoxifen. Pada
pasien dengan ER positive tumor memiliki angka 5 year disease survival 74%
dan overall survival 92%, sementara pasien dengan ER negative tumor memiliki
angka 5 year disease survival 66% dan angka overall survival 82% (Fisher et al.,
1988). Pasien dengan ER atau PR positif merupakan faktor prediktor yang kuat
terhadap respon terapi adjuvant tamoxifen (Cianfrocca and Goldstein, 2004).
Pada karsinoma payudara, ditemukan amplifikasi dan atau overekspresi
HER2 pada sekitar 30% kasus. Overekspresi HER2 berhubungan dengan
peningkatan agresivitas tumor, peningkatan angka rekarensi, dan peningkatan
mortalitas pada pasien dengan nodal positif (Cianfrocca dan Goldstein, 2004).
Overekspresi HER2 juga merupakan faktor prediktor yang penting khususnya
terhadap respon terhadap trastuzumab, suatu anti HER2.
Selain penilaian faktor biologi di atas, profil genetik yang dinilai dengan
analisis microarray juga dapat memberikan informasi prognostik dan prediktif.
Dengan menngunakan oligonucleotide microarrays, van de Vijver et al.
mengklasifikasikan 295 pasien kanker payudara stadium I dan II menjadi kasus
dengan prognosis baik atau buruk berdasarkan ekspresi gennya. Pada follow up 10
tahun, grup dengan prognosis buruk memiliki disease free survival dan overall
survival 50,6% dan 54,6%, sementara grup dengan prognosis baik memiliki
disease free survival dan overall survival 85,2% dan 94,5% (van de Vijver et al.,
2002).
2.2.3 Penilaian risiko
Kanker payudara merupakan penyakit yang heterogen. Berbagai parameter
telah diteliti dan dipergunakan untuk menentukan penyakit seseorang dan pilihan
terapi, serta mengelompokkannya dalam kelompok prognosis tertentu. Parameter-
parameter tersebut mulai dari variabel klinikopatologi konvensional sampai
variabel molekuler.
The 9th St Gallen International Breast Cancer Conference 2005 Expert
Concensus mengajukan rekomendasi kategori risiko pada penderita karsinoma
payudara (Tabel 2.2). Status nodal merupakan kriteria terpenting untuk
menentukan kategori risiko. Status nodal negatif merupakan kriteria utama untuk
masuk dalam kategori risiko rendah. Pasien dengan keterlibatan 4 atau lebih
limfonodi aksila termasuk dalam katagori risiko tinggi. Tetapi pasien dengan
keterlibatan 1-3 limfonodi aksila memerlukan everekspresi HER2 yang kuat untuk
bisa dimasukkan dalam kategori risiko tinggi, sementara pasien dengan dengan
keterlibatan 1-3 limfonodi aksila tanpa everekspresi HER2 dimasukkan dalam
kategori risiko intermediate (Goldhirsch et al., 2005).
Tabel 2.3
Katagori risiko pada pasien kanker payudara (Goldhirsch et al., 2005)
Kategori risiko Kriteria
Risiko rendah Node negatif dan semua kriteria berikut:
• pT ≤ 2 cm, dan
• grade 1, dan
• invasi vaskuler peritumoral negatif, dan
• HER2 tidak dengan overekspresi atau
amplifikasi, dan
• usia ≥35 tahun
Risiko intermediate Node negatif dan setidaknya salah satu dari kriteria
berikut:
• pT > 2 cm, atau
• grade 2-3, atau
• invasi vaskuler peritumoral positif, atau
• HER2 overekspresi atau amplifikasi, atau
• usia<35 tahun
Node positif (1-3 node) dan
• HER2 tidak dengan overekspresi atau
amplifikasi
Risiko tinggi Node positif (1-3 node) dan
• HER2 dengan overekspresi atau amplifikasi
Node positif (4 atau lebih node)
Status limfonodi aksila merupakan indikator prognostik adanya metastasis
jauh yang terpenting. The 13th St Gallen International Breast Cancer Conference
2013 Expert Concensus mengajukan rekomendasi tentang terapi lokal dan
regional pada early breast cancer dan mensuport prosedur pembedahan yang
kurang ekstensif. Diseksi aksila tidak dikerjakan pada pasien dengan
mikrometastasis pada sentinel node serta pasien dengan 1-2 sentinel node yang
positif secara makroskopis yang akan menjalani breast conserving therapy dan
terapi radiasi (Goldhirsch et al, 2013). Seiring dengan mulai banyak dilakukannya
skrining kanker payudara dengan mamografi, maka ke depan akan semakin
banyak ditemukannya kasus early breast cancer, dan operasi tanpa diseksi aksila
akan semakin banyak dilakukan sehingga evaluasi status limfonodi aksila tidak
bisa dilakukan. Diperlukan dipelajari parameter baru yang berasosiasi dengan
adanya metastasis pada karsinoma payudara, selain parameter-parameter
prognostik lain yang sudah ada.
2.3 Biologi Metastasis
2.3.1 Metastasis dan hallmarks of cancer
Pada tahun 2000, Hanahan dan Weinberg mengajukan “6 Hallmarks” dari
kanker, yaitu 6 kemampuan yang dimiliki oleh sel kanker yang terdiri dari: 1.
Signal proliferasi yang terus menerus; 2. Menghindari penghambatan
pertumbuhan; 3. Resisten terhadap kematian sel; 4. Induksi angiogenesis; 5.
Invasi dan metastasis; dan 6. Imortalitas (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 The six hallmarks dari kanker (Hanahan dan Weinberg, 2000)
Pada tahun 2011 mereka merevisi tulisan mereka sebelumnya dan
menambahkan teori sebelumnya menjadi “10 Hallmarks” dari sel kanker, yaitu: 1.
Signal proliferasi yang terus menerus; 2. Menghindari penghambatan
pertumbuhan; 3. Resisten terhadap kematian sel; 4. Induksi angiogenesis; 5.
Invasi dan metastasis; 6. Imortalitas; 7. Mutasi dan instabilitas genomik; 8.
Inflamasi protumoral; 9. Menghindar dari destruksi sistem imun; dan 10.
Deregulasi energi seluler (Gambar 2.2). EMT dikaitkan dalam kemampuan sel
tumor menghindari penghambatan pertumbuhan, khususnya oleh TGFβ, serta
terutama dalam proses invasi dan metastasis tumor (Hanahan dan Weinberg,
2011).
Gambar 2.2 The ten hallmarks dari kanker (Hanahan dan Weinberg, 2011)
Perkembangan dalam beberapa dekade terakhir dalam kaitan penatalaksanaan
pasien kanker yaitu dengan ditemukannya berbagai targeting therapy yang
berbasis pada mekanisme penyakit. Berbagai targeting therapy ini dapat
dikategorikan berdasarkan efek terapi tersebut terhadap salah satu atau lebih dari
“10 Hallmarks” kemampuan yang dimiliki oleh sel kanker.
2.3.2 Kaskade metastasis
Metastasis adalah implantasi tumor yang tidak berhubungan langsung
dengan tumor primernya, dan merupakan tanda pasti dari suatu keganasan.
Metastasis adalah penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada penderita
kanker.
Metastasis merupakan proses yang melibatkan berapa tahapan. Sel-sel
tumor dari tumor primer mengalami ekspansi klonal, pertumbuhan, diversifikasi,
dan angiogenesis. Ekspansi klonal menjadi berbagai subklon sel yang memiliki
berbagai kapabilitas, di antaranya subklon yang berpotensi metastatik. Sel-sel ini
akan menempel dan menembus membran basalis. Setelah melalui matriks
ekstraseluler, selanjutnya sel-sel ini mengalami intravasasi. Di dalam pembuluh
darah, sel tumor berinteraksi dengan sel-sel limfoid. Sel-sel tumor ini juga
beragregasi dengan platelet membentuk trombus fibrin dan beredar mengikuti
sirkulasi. Di tempat baru yang sesuai, sel tumor mengalami ekstravasasi dan
membentuk deposit metastatik. Di tempat yang baru ini, sel tumor yang ditunjang
dengan angiogenesis mengalami pertumbuhan dan membentuk kolonisasi tumor
yang baru (Gambar 2.3) (Kumar et al., 2015).
Gambar 2.3 Kaskade metastasis (Kumar et al., 2015)
2.4 High Grade Tumor Budding sebagai Faktor Prognosis pada Karsinoma
Payudara
Karsinoma payudara merupakan kanker yang berasal dari epitel kelenjar
payudara. Diagnosis karsinoma payudara dilakukan berdasarkan pemeriksaan
klinis, pencitraan, dan histopatologik. Selain memberikan diagnosis suatu
malignansi atau tidak, pemeriksaan morfologi juga dapat memberikan berbagai
parameter prognosis ataupun prediktif terapi. Secara umum, ukuran tumor, grade
histologik, aktivitas mitosis, adanya invasi limfatik dan vaskuler, infiltrasi radang,
dan keterlibatan limfonodi merupakan gambaran morfologi yang dapat dideteksi
dengan pemeriksaan mikroskopik rutin. Namun demikian, penilaian faktor-faktor
tersebut tidak selalu dapat memprediksi secara akurat karakteristik biologi dari
tumor dan luaran klinisnya. Manajemen pasien kanker akan mendapatkan
manfaat dari adanya tambahan informasi penting selain penilaian tentang faktor-
faktor prognosis yang konvensional yang telah ada.
Belakangan mulai diinterpretasinya gambaran morfologi baru yaitu tumor
budding. Tumor budding merupakan suatu gambaran morfologi yang belakangan
dimasukkan dalam gambaran morfologi tambahan yang harus dilaporkan pada
hasil pemeriksaan histopatologik, khususnya pada karsinoma kolorektal (Lugli et
al., 2012). Tumor budding didefinisikan sebagai sel kanker tunggal atau dalam
kelompok kecil (1-5 sel) pada tepi invasi tumor. Derajat tumor budding
ditentukan dengan menghitung jumlah dari tumor budding pada bagian terluar
tumor invasif.
High grade tumor budding merefleksikan progresi malignan dan
merupakan faktor prognosis untuk angka survival yang rendah (Masuda et al.,
2012). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa derajat tumor budding
dapat berperan sebagai faktor prognosis pada beberapa keganasan, diantaranya
pada karsinoma kolorektal, karsinoma payudara, dan tumor epithelial lainnya
(Kanazawa et al., 2008; Liang et al., 2013; Karamitopoulou et al., 2013;
Teramoto et al., 2013). Penelitian Liang et al. (2013) menujukkan bahwa high
grade tumor budding berhubungan dengan adanya invasi limfovaskuler, tumor
yang berukuran lebih besar, dan luaran klinis yang jelek.
2.5 High Grade Tumor Budding sebagai Manifestasi dari Epithelial-
Mesenchymal Transition
2.5.1 Epithelial-Mesenchymal Transition
Epithelial-mesenchymal transition merupakan salah satu bentuk plastisitas
sel di mana sel epitel berubah menjadi memiliki fenotip mesenkimal (Lee dan
Nelson, 2012).
Epitel yang tersusun berupa lembaran sel yang terpolarisasi merupakan
bagian fundamental dari suatu organisme. Epitel merupakan suatu barier yang
membatasi suatu jaringan dengan jaringan lainnya, serta mempertahankan
homeostasis dan arsitektur suatu organ. Lembaran epitel mengalami remodeling
selama morfogenesis dan penyembuhan luka melalui kombinasi antara proliferasi
sel, perubahan bentuk, dan pengaturan lokal, yang kesemuanya diregulasi ketat
untuk mempertahankan integritas jaringan epitel tersebut.
Mesenkim adalah jaringan penyangga yang merupakan derivat mesoderm.
Mesenkim per definisi adalah jaringan mesenkim primitif, atau sel yang memiliki
bentuk spindel menyerupai sel fibroblas. Berbeda dengan sel eptiel, sel mesenkim
dapat berinvasi sebagai sel individu melalui matriks ekstaseluler diantara
lembaran sel epitel dan sel mesenkim tersebut (Yang dan Weinberg, 2008).
Sel epitel dapat diubah menjadi sel mesenkim melalui proses yang disebut
dengan epithelial-mesenchymal transition (EMT). EMT dan proses sebaliknya,
mesenchymal-epithelial transition (MET), merupakan proses yang meregulasi
tahapan awal dari perkembangan: EMT diperlukan selama proses gastrulasi
(Thiery & Sleeman, 2006) dan MET terjadi selama somitogenesis, pembentukan
ginjal, pembentukan kavitas coelomik (Thiery et al., 2009).
Reaktivasi dari EMT pada orang dewasa dianggap sebagai usaha fisiologis
untuk mengontrol inflamasi dan penyembuhan dari kerusakan jaringan. EMT juga
dijumpai pada proses patologis yaitu fibrosis dan kanker.
Berdasarkan konteks terjadinya EMT, EMT diklasifikasikan menjadi 3
yaitu: tipe 1 EMT yang terjadi pada fase embryogenesis, tipe 2 EMT yang terjadi
dalam kaitan penyembuhan luka, regenerasi jaringan dan fibrosis organ, dan tipe
3 EMT yang terjadi pada karsinoma (Gambar 2.4) (Lee dan Nelson, 2012).
Gambar 2.4 Tipe EMT (Lee dan Nelson, 2012)
Epithelial-mesenchymal transition merupakan perubahan awal yang
dialami oleh sel tumor untuk invasi ke stroma disekitarnya. Melalui EMT ini, sel
tumor yang berasal dari epitel mengalami perubahan fenotip menjadi menyerupai
sel mesenkim, baik perubahan morfologi, adesi, dan kapasitas motilitasnya. Sel
tumor yang mengalami akan menunjukkan morfologi berupa sel yang berbentuk
kumparan (menyerupai fibroblas) dan tersusun lobih longgar.
Sejumlah proses molekuler yang terlibat dalam proses EMT ini, aktivasi
faktor transkripsi, ekspresi protein permukaan sel yang spesifik, reorganisasi dan
ekspresi protein sitoskeletal, produksi enzim yang dapat mendegradasi matriks
ekstraseluler, dan perubahan dalam ekspresi microRNA yang spesifik (Kalluri
dan Weinberg, 2009). Sel yang mengalami proses ini akan menunjukkan ekspresi
E-cadherin, sitokeratin, dan desmoplakin yang berkurang. Sebaliknya sel ini akan
menunjukkan ekspresi beberapa faktor transkripsi (Snail, Slug , Zeb, Twist, β
cathenin, dan NF-κB); matriks metalloproteinase (MMP2, MMP3, dan MMP9);
protein permukaan sel (N-cadherin); sitoskeletal (vimentin); dan miRNA (miR10b
dan miR-2X) (Lee dan Nelson, 2012). (Gambar 2.5)
Gambar 2.5 Signaling pathways dan marka dari EMT (Demirkan, 2013)
Induksi EMT dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya
adanya ikatan antara faktor pertumbuhan dan reseptornya, sitokin, hipoksia,
reactive oxygen species (ROS), protein Wnt, dan stres mekanik (Lee & Nelson,
2012).
EMT merupakan proses penting dalam metastasis kanker. Proses EMT
yang memungkinkan sel tumor migrasi keluar tumor primer, kemudian memasuki
sirkulasi yang akhirnya menempel pada endotel mikrovaskuler pada lokasi organ
target dan berekstravasasi. Selanjutnya sel kanker mengalami peristiwa MET dan
membentuk deposit metastatik (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 EMT, MET, dan kaskade metastasis (Samatov et al., 2013)
Penelitian oleh Markiewicz et al. (2012) menunjukkan bahwa ekspresi
marka EMT pada metastasis limfonodi merupakan petanda potensi metastatik dari
tumor primer pada kanker payudara.
EMT juga dikaitkan dengan cancer stem cell (CSC). Studi in vitro
menunjukkan bahwa fenotip sel yang mengalami EMT menunjukkan properti
yang overlap dengan CSC (Floor et al., 2011). CSC pada kanker payudara
menunjukkan resistensi terhadap kemoterapi standard dan memiliki kemampuan
memperbanyak diri dan menyebabkan rekurensi yang sering terjadi pada pasien
kanker payudara setelah mendapatkan terapi standar (Dave et al., 2012).
2.5.2 High grade tumor budding dan epithelial-mesenchymal transition
Tumor budding dianggap berhubungan dengan proses invasi kanker dan
metastasis dan dipostulatkan merupakan representasi histologik dari EMT (Prall,
2007). Hal ini tampaknya perlu dibuktikan apakah terjadi pada berbagai
keganansan. Penelitian ini akan mempelajari korelasi antara high grade tumor
budding dengan EMT. Penelitian ini akan menilai apakah high grade tumor
budding berkorelasi dengan ekspresi beberapa marka EMT, diantaranya E-
cadherin dan MMP-9, pada karsinoma payudara. Pada EMT, yang
direpresentasikan secara histologi berupa tumor budding, akan dijumpai
penurunan ekspresi E-cadherin dan peningkatan ekspresi MMP-9.
E-cadherin adalah molekul adesi pada sel epitel yang bergantung kalsium
yang diekspresikan pada adherens junctions. Kehilangan ekspresi E-cadherin
menimbulkan fenotip sel tumor yang berdiferensiasi jelek. Mutasi E-cadherin
menimbulkan morfologi sel yang kurang menyerupai epitel dan dengan adesi
yang terganggu. Di samping itu, sel dengan mutasi E-cadherin menunjukkan
peningkatan motilitas dan terganggunya organisasi dari sitoskeleton. Hilangnya
ekspresi E-cadherin juga dihubungkan dengan metastasis. Hilangnya ekspresi E-
cadherin juga ditemukan pada karsinoma payudara invasif tipe lobuler, bahkan
mulai sejak stadium awal.
Banyak penelitian tentang E-cadherin yang telah dilakukan pada kasus
karsinoma payudara. Salah satu penelitian yang menilai hubungan ekspresi E-
cadherin dengan faktor prognosisnya yaitu oleh Younis et al. (2007). Pada
penelitian ini ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspresi E-
cadherin yang kuat dengan kasus dengan status limfonodi aksila negatif. Dijumpai
pula bahwa pada ekspresi E-cadherin hilang pada kanker payudara stadium lanjut
dan mendukung pendapat bahwa hilangnya ekspresi E-cadherin merupakan marka
agresifitas tumor.
MMP-9 adalah endopeptidase yang bergantung seng dengan berat molekul
92 kDa yang meningkatkan degradasi kolagen tipe IV, yang merupakan
komponen utama dari membran basal.
Beberapa penelitian tentang ekspresi MMP-9 pada kanker payudara telah
dilakukan. Penelitian oleh Wu et al. (2014) menunjukkan bahwa MMP-9 yang
terekspresi pada epitel dan limfonodi berhubungan positif dengan metastasis
limfonodi. Penelitian yang lain penelitian oleh Yousef et al. (2014) menunjukkan
bahwa ekspresi MMP-9 pada sel kanker payudara meningkat jika dibandingkan
dengan jaringan payudara normal. Terdapat korelasi positif antara level
peningkatan ekspresi MMP-9 dengan peningkatan grade histologik tumor. Dan
lebih jauh, ekspresi MMP-9 bervariasi antar subtipe molekuler kanker payudara,
dan overekspresi MMP-9 merupakan petanda dari TNBC dan kanker payudara
dengan HER2 positif. Terakhir, overekspresi MMP-9 berhubungan dengan
insiden metastasis dan relaps.
2.6 Evaluasi Tumor Budding
Tumor budding adalah gambaran morfologi yang ditandai dengan sel
tunggal dan kelompok kecil sel kanker yang terdiri 1 sampai 5 sel kanker dan
tidak membentuk struktur glandular (Ueno et al., 2002). Evaluasi tumor budding
dilakukan pada sediaan konvensional yang dipulas dengan pulasan H-E dan
dikonfirmasi dengan pulasan IHK sitokeratin.
Untuk penelitian-penelitian sebelumnya yang melakukan evaluasi tumor
buddingpun menggunakan metode yang bervariasi, diantaranya metode Haze,
metode Nakamura, metode Ueno, metode satu high power field (HPF), dan
metode rerata dari 10 HPF (Lugli et al., 2012). Metode-metode di atas
menggunakan cara interpretasi bervariasi (subyektif atau obyektif), serta katagori
yang bervariasi pula (2 atau 3 tingkatan). Meskipun menggunakan metode yang
berbeda-beda, banyak penelitian yang membuktikan bahwa tumor budding
merupakan parameter prognostik yang kuat, khususnya pada karsinoma
kolorektal.
Penelitian sebelumnya tentang tumor buding pada karsinoma payudara
mengelompokkan tumor budding menjadi dua, yaitu high grade dan low grade
tumor budding (Liang et al., 2013). Jumlah tumor budding dihitung pada sediaan
H-E dan dilakukan pada area invasif terbanyak. Penghitungan dilakukan pada
pembesaran 200x (luas area 0,95 mm 2) dengan mikroskop cahaya. Hitungan
terbanyak pada setiap kasus dipergunakan sebagai jumlah tumor budding.
Imunostaining Pan-sitokeratin dikerjakan jika ditemukan kesulitan membedakan
antara tumor budding dengan sel fibroblas atau sel inflamasi. (Gambar 2.7)
Gambar 2.7 Tumor budding pada karsinoma payudara (panah kuning) A.
Low grade (sediaan H&E). B. Low grade (sediaan IHK pan-sitokeratin). C.
High grade (sediaan H&E). D. High grade (sediaan IHK pan-sitokeratin).
(Liang et al., 2013)