BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum...

23
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Perkawinan Menurut Hukum Adat 2.1.1.1 Pengertian Hukum Adat Sebagai orang pertama yang menimbulkan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan dan menempatkan hukum adat berkedudukan sejajar dengan hukum lainnya, Van Vollenhoven dalam Hilman Hadikusuma (1980 : 26) memberikan pengertian tentang hukum adat sebagai “ aturan -aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). Selanjutnya maka dikatakan hukum dikarenakan yang dimaksudkan adalah adat yang mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan larangan dan apabila dilanggar maka sipelanggar akan mendapat ancaman dari masyarakat adat. Kemudian maka dikatakan adat dikarenakan tidak dikodifikasikan artinya tidak dihimpun dalam suatu kitab perundang- undangan yang teratur menurut hukum barat. Hukum adat menurut Soerjono Soekanto (2006 : 18) adalah keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. Dan menurut Ter Haar (dalam Sri Harini D, 2006 : 18) hukum adat merupakan

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Perkawinan Menurut Hukum Adat

2.1.1.1 Pengertian Hukum Adat

Sebagai orang pertama yang menimbulkan hukum adat sebagai ilmu

pengetahuan dan menempatkan hukum adat berkedudukan sejajar dengan

hukum lainnya, Van Vollenhoven dalam Hilman Hadikusuma (1980 : 26)

memberikan pengertian tentang hukum adat sebagai “ aturan-aturan

kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur

asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan

lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). Selanjutnya maka

dikatakan hukum dikarenakan yang dimaksudkan adalah adat yang

mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan larangan dan

apabila dilanggar maka sipelanggar akan mendapat ancaman dari

masyarakat adat. Kemudian maka dikatakan adat dikarenakan tidak

dikodifikasikan artinya tidak dihimpun dalam suatu kitab perundang-

undangan yang teratur menurut hukum barat.

Hukum adat menurut Soerjono Soekanto (2006 : 18) adalah

keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa

kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. Dan

menurut Ter Haar (dalam Sri Harini D, 2006 : 18) hukum adat merupakan

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

11

keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para

perangkat hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan yang dalam

pelaksanaanya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati.

Sedangkan menurut Yulies Tiena Masriani (2004 : 134) hukum adat adalah

keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai

sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan. Dengan kata

lain, Hukum adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.

Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan

penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukun diantara manusia atau orang

dalam pergaulan didalam suatu masyarakat, supaya dengan demikian dapat

dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah

mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu bersifat

batiniah dan jasmaniah, kelihatan dan tidak kelihatan, tetapi diyakini dan

dipercaya sejak turun-temurun atau bahkan sejak kecil sampai

meninggalnya seseorang. Dimana ada masyarakat, disitu ada Hukum adat

dan Hukum Adat itu senantiasa timbul dari suatu kebutuhan hidup yang

nyata, cara dan pandangan hidup yang keseluruhanya merupakan

kebudayaan masyarakat dimana tempat hukum adat itu berlaku.

F.D Holleman dalam Iman Sudiyat (1978 : 30), pidato

pelantikan/pengukuhan menjadi Guru Besar yang berjudul “ De Commune

Trek in het Indonesische Rechtleven “ (Corak Kegotong- royong didalam

kehidupan hukum Indonesia), menyimpulkan adanya empat sifat umum

hukum adat Indonesia yang hendaknya dipandang sebagai kesatuan :

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

12

1) Sifat Komun (commuun)

Sifat komun adalah sifat yang mendahulukan kepentingan umum

dari pada kepentingan diri sendiri.

Hal kedua dari dasar alam pikiran dalam hukun adat adalah suatu

segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih sangat

tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat

semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan

keseluruhan, lebih diutamakan kepentingan umum dari pada

kepentingan individual. Masyarakat, desa/dusun yang senantiasa

memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan dan

keputusannya tidak boleh dapat di sia-siakan, keputusan desa adalah

berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi

dengan hormat dan khidmat.

2) Sifat konkrit (Visual)

Hukum adat bercorak serba konkrit, serba jelas, artinya

hubungan-hubungan hukum yang dilakukan tidak serba tersembunyi

atau samar-samar, antara kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan

nyata. Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian itu baru terjadi

jika jelas dan nyata pembeli telah membayar harganya dan penjual telah

menyerakan barang yang dijualnya.

Hukum adat tidak membenarkan berlakunya hubungan-hubungan

hukum yang samar-samar, yang tidak nyata (abstrak) seperti hukum

barat, misalnya suatu jual beli sudah terjadi walaupun barang belum

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

13

diserahkan dan harganya belum dibayar, begitu pula dalam hukum adat

hubungan pria dan wanita sebelum terjadi perkawinan pria dan wanita

tidak boleh campur sebagai suami isteri sebagaimana dikalangan orang-

orang barat.

3). Sifat Contant (tunai)

Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat tunai

(contant), yaitu prestasi dan kontra prestasi dilakukan sekaligus

bersama-sama pada waktu itu juga.

Sifat tunai mengandung pengertian bahwa dalam suatu perbuatan

nyata, suatu perbuatan simbolis atau pengucapan, tindakan hukum

yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak

bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang

diharuskan oleh adat. Dengan demikian dalam hukum adat segala

sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara

contant itu adalah diluar akibat-akibat hukum dan memang tidak

bersangkut-paut atau bersebab-akibat menurut hukum. Perbuatan

hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu

perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti

urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah

perbuatan yang bersifat contant itu mempunyai arti logis terhadap satu

sama lain. Contohnya dalam hukum adat adalah jual beli lepas,

perkawinan jujur.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

14

4) Sifat Religio- Magis (magis-religius)

Sifat Religio- Magis (magis-religius) adalah pembulatan atau

perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara

berfikir seperti pralogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.

Kuntjaraningrat dalam Soleman Biasane T (1981 : 44), alam

pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. Kepercayaan kepada makluk –makluk halus, roh-roh, dan hantu-

hantu yang menempati seluruh alam, tumbuh-tumbuhan, binatang,

tubuh manusia dan benda-benda.

b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam

semesta dan khusus terdapar dalam peristiwa-peristiwa luar biasa,

tumbuh-tumbuhan yang luar biasa dan suara yang luar biasa.

c. Anggapan kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai “

magische kracth” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk

mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.

d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam

menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai

macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau dihindarkan

dengan berbagai macam pantangan.

2.1.1.2 Pengertian Perkawinan Adat

Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia maka setiap daerah

mempunyai hukum adat yang pengertiannya tentu mempunyai kesamaan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

15

dan perbedaan dengan daerah lainnya. Hal itu di sebabkan karena tiap-tiap

daerah mempunyai aturan-aturan di bidang hukum adat yang mempunyai

keunikan-keunikan tersendiri. Dalam kaitannya dengan pengertian

perkawinan menurut hukum adat (Drajen Saragih, 1984:123)

mengemukakan bahwa:

“Didalam kehidupan manusia kita akan melihat kenyataan-kenyataan di

mana seorang pria dan seorang wanita untuk mejalankan kehidupan bersama

yang mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan

sebagai suami isteri. Kehidupan bersama yang demikian itu dalam

kehidupan sehari-hari mempunyai akibat-akibat hukum di mana hubungan

yang demikian itu di namakan hubungan perkawinan jikalau hubungan itu

sah menurut hukum.

Sedangkan menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero (1989 : 122)

perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam

penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut

wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga orang tua kedua belah

pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-

masing. Malahan dalam hukum adat, perkawinan itu bukan hanya

merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja tetapi

perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya

mendapatkan perhatian dan di ikuti oleh arwah-arwah leluhur dari kedua

bela pihak.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

16

Sesuai dengan penjelasan di atas maka persekutuan hidup bersama

antara seorang pria dan dengan seorang wanita yang di lakukan secara sah

di namakan perkawinan dimana perkawinan dalam masyarakat merupakan

peristiwa yang sangat penting dan sakral sehingga pelaksanaannya

menyangkut kedua calon mempelai, keluarga atau kerabat dan masyarakat

luas.

Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 8 dan 9) hukum adat pada

umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan

perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan

perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi penjelasan di atas diperhatikan

maka memang perkawinan dalam hukum adat mempunyai arti yang luas

sekali. Hal ini disebabkan karena perkawinan tidak menyangkut suami dan

istri tetapi juga hubungan dengan keluarga, masyarakat umum dan orang-

orang yang telah meninggal.

Perkawinan dalam perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai

akibat hukum terhadap hukum adat yang bersangkutan. Akibat hukum itu

telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya

pelamaran sebelum perkawinan. Setelah terjadi perkawinan maka timbul

hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota

keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan

upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara

kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka

yang terikat dalam perkawinan.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

17

Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

perkawinan adat adalah suatu peristiwa yang penting di mana seorang pria

dan seorang wanita untuk mejalankan kehidupan bersama yang

mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan

sebagai suami isteri. Dengan demikian, maka suatu perkawinan tanggung

jawabnya berat sebab suami dan isteri selain bertanggung jawab terhadap

kelangsungan keluarganya, juga terhadap orang banyak (masyarakat) dan

Tuhan.

2.1.1.3 Tujuan Perkawinan Adat

Hilman Hadikusuma (1990 : 23) mengemukakan tujuan perkawinan

bagi masyarakat hukum adat salah satunya adalah melanjutkan keturunaan

dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Disamping itu juga untuk

mempersatukan dua keluarga besar dari pihak pria dan wanita. Dengan

adanya perkawinan tersebut maka diharapkan kelanjutan hidup umat

manusia dimuka bumi akan berkembang terus dan juga melalui perkawinan

dua kelompok yang tadinya tidak merupakan satu keluarga menjadi akrab,

karena sudah satu melalui perkawinan diantara salah satu dari

keluarganya.Tujuan perkawinan menurut adat adalah untuk dapat

melanjutkan keturunan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan

kekal serta berguna bagi kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai.

Dengan demikian maka perkawinan bukan semata-mata urusan dan

kepentingan orang tua dan kekerabatan”.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

18

2.1.1.4 Sahnya Perkawinan Adat

Sahnya perkawinan yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma

(1990: 27) menurut hukum adat Indonesia pada umumnya bagi penganut

agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan.

Dan suatu perkawinan baru diakui sah oleh anggota masyarakat entah itu

masyarakat tradisonal maupun masyarakat modern apabila pelaksanaan

perkawinan tersebut sah menurut pandangan mereka. Hal ini disebabkan

karena pelaksanaan perkawinan yang tidak sah oleh masyarakat dianggap

sebagai suatu aib dalam keluarga. Maksudnya jika telah dilaksanakan

menurut tata tertib adat atau agama mereka itu adalah sah menurut hukum

adat setempat.

2.1.1.5 Syarat Perkawinan Adat

Menurut hukum adat yang walaupun sudah dewasa tidak bebas

menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan

orang tua atau kerabatnya. Maka persetujuan para pihaklah yang sangat

berperan. Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas usia

untuk melangsungkan perkawinan (Hilman Hadikusuma, 1990 : 46).

Sedangkan Iman Sudiyat, (1981 : 1) mengemukakan syarat perkawinan

apabila wanita sudah menstruasi dan pria sudah kuat gawe, pemberian mas

kawin dari pihak pria serta bersedia membantu orang tua.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

19

Syarat-syarat tersebut diatas pada umumnya berlaku di berbagai daerah

Indonesia namun tetap pada syarat-syarat yang unik setiap daerah yang

masih kuat hukum adatnya. Hal ini disebabkan karena hukum adat setempat

sudah menyatu dengan pribadi-pribadi tradisi dari masing-masing daerah

dalam anggota masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian maka

syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat tetap harus dipatuhi dan

dilaksanakan oleh sebagian besar anggota masyarakat kita di berbagai

pelosok daerah sesuai dengan adat-istiadat dan kepentingannya. Dalam

kaitannya dengan penjelasan diatas bangsa Indonesia dalam berbagai daerah

dan adat suku bangsa terdapat syarat-syarat yang berbeda-beda yang harus

dipenuhi karena banyak tergantung pada agama dan hukum adat setempat.

2.1.1.6 Larangan Perkawinan Adat

Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 63) dimana Segala sesuatu yang

dapat menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika dilakukan

maka keseimbangan masyarakat akan terganggu. Maka dari situlah ada

larangan perkawinan bagi hukum adat Karena hubungan kekerabatan

dimana melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita yang mana

satu keturunan “marga”, dan seorang pria dilarang melakukan perkawinan

dengan anak saudara lelaki ibunya, atau larangan antara pria dan wanita

yang besaudara kandung ayahnya, begitu pula dilarang jika bersaudara

misan.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

20

2.1.1.7 Sistem Perkawinan Adat

Dalam sistem perkawinan adat yang dikemukakan Yulies Tiena

Masriani (2004: 137) dikenal ada tiga sistem, yaitu sebagai berikut :

1. Sistem Endogami

Dalam sistem ini seorang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang

dari suku keluarganya sendiri. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu

daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu

daerah Toraja.

2. Sistem Exogami

Dalam sistem ini seseorang diharuskan kawin dengan orang luar suku

keluarganya. Sistem ini demikian terdapat misalnya di daerah Gayo,

Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan, Buru, dan Seram.

3. Sistem Eleutherogami

Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan

seperti halnya dengan sistem endogami dan exogami. Larangan yang

terdapat dalam sistem ini menurut Soerojo Wignjodipuro (1983 : 132)

adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan

yakni larangan karena :

a) Nasab(turunan yang berdekatan), seperti kawin dengan ibu, nenek,

anak kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga

dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.

b) Musyaharah(per-iparan), seperti kawin dengan ibu tiri, menantu,

mertua, anak tiri.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

21

Sistem eleutherogami paling banyak terjadi di Indonesia misalnya di

Aceh, Sumatra Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Selawesi

selatan, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa Madura.

Sistem perkawinan tidak dapat dipisahkan dengn sifat kekeluargaan

yang ada. Di Indonesia terdapat tiga sistem kekeluargaan, dalam garis

besarnya sistem kekeluargaan dibedakan menjadi tiga sistem yaitu .

1. Sistem Patrilineal(kebapaan)

Sistem Patrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan dimana keturunan

diperhitungkan menurut garis bapak yang berarti melalui Ayah

menghubungkan diri kepada keturunan-keturunan leluhurnya sehingga

menimbulkan clan(marga), maka sistem ini disebut kebapaan. Dalam

sistem kekeluargaan kebapaan bentuk perkawinan yang dijunjung tinggi

adalah perkawinan jujur.

2. Sistem Matrilineal(keibuan)

Sistem Matrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan dimana keturunan

di tarik dari garis ketunggalan leluhur ibu, sehingga disebut sistem

keibuan. Dalam kekeluargaan yang bersistem keibuan ada perkawinan

yng disebut kawin “Bertandang” dan kawin “Berkunjung” atau kawin

“Bertamu”.

3. Sistem Parental/Bilateral(keibuan – kebapaan)

Sistem Parental/Bilateral adalah suatu sistem kekeluargaan dimana garis

keturunan ditarik menurut garis ibu dan bapak sehingga disebut sistem

keibuaan-kebapaan.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

22

2.1.1.8 Cara Terjadinya Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut Ter Haar (1953 : 159-164) hukum adat cara terjadinya

perkawinan pada umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)

Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki – laki)

mengajak pihak lain (perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan.

Peminangan ini dilakukan oleh seorang utusan atau seorang wakil,

biasanya di ungkapkan dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan

yang meminang biasanya seorang kerabat atau orang tuanya dengan

persetujuan kelompok kerabat dan orang tua.

2) Perkawinan Lari bersama dan Bawa Lari

Perkawinan lari bersama adalah perkawinan yang lari bersama

dengan tiada peminangan atau pertunangan secara formal, Atau kedua

mempelai (laki – laki dan perempuan) lari bersamaan tanpa melalui

peminangan. Maksud dari pada perkawinan lari bersama atau sama-sama

melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan

sebagai akibat dari perkawinan pinang, dari pihak orang tua dan saudara-

saudara atau keluarga.

Perkawinan bawa lari adalah kadang-kadang lari dengan seorang

perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain,

terkadang membawa lari perempuan dengan paksaan.

3) Perkawinan Mengabdi

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

23

Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang

pembayarannya di tunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri

sudah mulai hidup berkumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum

lunas maka si suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuanya sampai

mas kawinnya terbayar lunas

4) Perkawinan Bertukar

Perkawinan bertukar adalah perkawinan yang dilakukan pada akhirnya ,

bila seorang lelaki dari sesama clan meneruskan perkawinan saudara

laki-laki yang telah mati. Dan seorang perempuan mengganti perkawinan

saudara perempuannya yang telah mati, semuanya tanpa pembayaran

jujur.

Sedangkan di dalam kehidupan masyarakat cara terjadi perkawinan

yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma (2003 : 183-190) yaitu sebagai

berikut :

1) Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian

(pembayaran) uang atau barang jujur, dilakukan oleh pihak kerabat

(marga, suku) calon suami kepada mempelai calon isteri. Sebagai tanda

pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat

persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan

hukum suaminya.

2) Perkawinan Semanda

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

24

Perkawinan semanda ini dalam rangka mempertahankan garis keturunan

pihak ibu (wanita), merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur.

Dalam peerkawinan semanda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak

melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan

sebagaimana berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak

pria.

3) Perkawinan Bebas (Mandiri)

Perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya, dimana

kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam

keluarga atau rumah tangga. Kedudukan dan hak suami isteri seimbang

sama, suami sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan isteri

sebagai ibu keluarga atau rumah tangga.

4) Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang

terjadi di antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya,

dan atau berbeda agama yang dianut.

5) Perkawinan Lari

Sistem perkawinan lari dapat di bedakan antara perkawinan lari

bersamaan dan perkawinan lari paksaan.

Perkawinan lari bersamaan adalah perbuatan belarian untuk

melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita), cara

melakukan belarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin

lari dan pada waktu yang sudah di tentukan melakukan lari bersama.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

25

Perkawinan lari paksaan adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal

tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan

tidak menurut tata-tertib adat belarian.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cara terjadinya

perkawinan menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia ada berbagai

macam atau cara untuk melakukan suatu perkawinan atau dalam mencapai

suatu perkawinan adalah melalui perkawinan pinang, perkawinan jujur,

perkawinan lari, perkawinan bebas dan lain-lain sebagainya.

2.1.2 Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974

2.1.2.1 Perngertian Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dikenal dengan

Undang-Undang perkawinan, dimana telah memberikan defenisi atau

pengertian tentang apa itu perkawinan yang di bahas dalam Bab. I pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah jelas mendefenisikan

perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :

“ Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam penjelasan di atas disebutkan bahwa negara yang berdasarkan

pada Pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa

maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dengan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

26

agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi

unsur batin atau rohani dimana mempunyai peranan yang penting.

Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan

yang merupakan tujuan perkawinan.

Berdasarkan definisi perkawinan di atas, Endang Sumiarti (2004 : 1 dan

2) mengadopsi pendapat R. Soetojo Prawirohamidjojo bahwa pasal 1

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengandung 5 unsur yaitu :

1. Ikatan lahir batin.

Merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya

hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

isteri, hal ini disebutkan sebagai hubungan formal. Ikatan perkawinan

adalah suci seperti yang diajarkan oleh agama masing-masing.

2. Antara seorang pria dan seorang wanita.

Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang

wanita. Perkawinan antara seorang pria dan seorang pria atau seorang

wanita dengan seorang wanita tidak mungkin terjadi. Unsur kedua

mengandung asas monogami.

3. Sebagai suami isteri.

Ikatan perkawinan didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, apabila

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, baik

syarat-syarat intern maupun syarat eksternnya.

4. Tujuan perkawinan.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

27

Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Keluarga

adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang

merupakan sendi dan dasar susunan masyarakat Indonesia. Membentuk

keluarga yang bahgia erat hubungannya dengan keturunan yang

merupakan tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan

anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.

5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, sila Ketuhanan Yang Maha

Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama,

kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir

batin atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai

peranan penting.

Dari rumusan di atas, maka jelas sekali bahwa perkawinan tidak hanya

merupakan ikatan lahir saja, atau batin saja, tetapi merupakan ikatan kedua-

duanya dalam hubungan perkawinan.

2.1.2.2 Tujuan Perkawinan

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan

perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu berarti

bahwa perkawinan tidak hanya dilangsungkan untuk sementara waktu atau

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

28

jangka waktu tertentu saja yang telah direncanakan, dan tidak boleh

diputuskan begitu saja sebab perkawinan tidak diperkenankan

dilangsungkan untuk sementara waktu saja. Yang dimaksud keluarga ialah

satu keastuan yang terdiri dari atas ayah, ibu, dan anak atau anak-anak yang

merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia (Hilman

Hadikusuma, 1990 : 22).

2.1.2.3 Sahnya Perkawinan

Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

diatur dalam pasal 2 ayat 1, yang menyatakan “ Perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”. Jadi perkawinan tidak hanya suatu perbuatan hukum

yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan

keagamaan sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum

agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu agar lebih menjamin

tercapainya tujuan perkawinan dan harus dipenuhi sahnya suatu perkawinan

tersebut, maka setiap orang hendak melangsungkan perkawinan di

Indonesia, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2.1.2.4 Syarat Perkawinan

Sebagaimana yang dikemukakan bahwa yang menjadi tujuan

perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

29

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu agar lebih menjamin tercapainya

tujuan perkawinan tersebut, maka setiap orang hendak melangsungkan

perkawinan di Indonesia, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah

ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan seperti yang

tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 sampai pasal

11 adalah sebagai berikut :

1. Adanya persetujuaan kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum

berusia 21 tahun (pasal 6 ayat 2).

3. Adanya calon mempelai pria sudah mencapai usia 19 tahun dan calon

mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang akan kawin

tidak boleh ada hubungan darah (pasal 8 huruf a-f).

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (pasal 9).

6. Bagi suami isteri yang sudah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan

bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang agama dan kepercayaan dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain (pasal 10).

7. Seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu

(pasal 11 ayat 1).

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

30

2.1.2.5 Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilarang ialah antara dua orang yang :

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

keatas.

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak

tiri.

4) Hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,

dan bibi/paman susuan.

5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Mempunyai hubungan yang erat oleh agamanya atau peraturan yang

berlaku, dilarang kawin. Dan selanjutnya ditambah larangan dalam pasal 9 yang

berbunyi yaitu “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain

tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat

2yaituPengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri

lebih dari seoarng apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 ayat (1)Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,

sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini, maka ia wajib

mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pasal

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

31

4Ayat (2) Pengadilan dimaksudkan data ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin

kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, isrti mendapat cacat badan atau

penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan

keturunan. Sedangkan larangan dalam pasal 10 menyatakan apabila suami dan

isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk

kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

bersangkutan tidak menentukan lain. Larangan dalam pasal 10 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 ini dimaksudkan untuk mencegah perbuatan kawin cerai

berulang kali, agar suami dan isteri saling menghargai dan mengurus rumah

tangga yang tertib dan teratur.

Dengan demikian larangan perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun

1974 menyangkut beberapa larangan, yaitu larangan terhadap yang ada hubungan

darah, hubungan semenda, yang ada hubungan susuan, hubungan periparan, dan

yang ada hubungan dengan larangan agama, dan tidak disebutkan adanya larangan

menurut hukum adat kekerabatan. Hal ini nampaknya terserah kepada masyarakat

adat tersebut untuk mempertahankan adat-istiadatnya.

Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 6), Undang-Undang Perkawinan

menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal.

b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya itu.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4927/3/T1...Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial

32

c. Perkawinan harus dicacat menurut peraturan perundang-undangan.

d. Perkawinan berasas monogami terbuka.

e. Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan

perkawinan.

f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 dan bagi wanita 16 tahun.

g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka sidang pengadilan.

h. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai asas-asas atau prinsip -prinsip

perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan mempunyai tujuan

dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal, tetapi perkawinan haruslah sah

menurut hukum agama, kepercayaannya dan harus dicacat menurut peraturan

perundang-undangan. Perkawinan juga harus sesuai dengan batas usia yang telah

ditetapkan dan perceraian suatu perkawinan dilakukan dimuka sidang pengadilan.