BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2...

29
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan Saluran Cerna Lebih dari 95-97% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah berasal dari kolon, sedangkan 3-5% sisanya berasal dari usus halus. LGIB terjadi ± 20% dari perdarahan gastrointestinal (Barnert, 2009). Insidensi LGIB meningkat dengan bertambahannya usia, yang berhubungan dengan lesi yang didapat pada kolon sehingga terjadi perdarahan yaitu pada divertikulosis dan angiodisplasia. Hemmoroid merupakan penyebab tersering LGIB pada pasien dengan usia < 50 tahun, tetapi perdarahan biasanya ringan. Penyebab utama LGIB adalah divertikulosis sebesar 33% kasus, diikuti dengan kanker dan polip yaitu sebesar 19% (Nguyen dan Frizelle, 2007). 2.2 Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Penyebab paling sering dari LGIB adalah penyakit diverticular sebesar 60%, IBD 13%, dan penyakit anorektal 11% (Lavakoli, et al., 2004). 2.2.1 Divertikulosis Divertikulosis adalah suatu kelainan dimana terjadi herniasi mukosa atau submukosa dan hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding kolon yang lemah yaitu tempat dimana vasa rekta menembus dinding kolon (Nguyen dan Frizelle, 2007).

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Perdarahan Saluran Cerna

Lebih dari 95-97% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah berasal dari

kolon, sedangkan 3-5% sisanya berasal dari usus halus. LGIB terjadi ± 20% dari

perdarahan gastrointestinal (Barnert, 2009). Insidensi LGIB meningkat dengan

bertambahannya usia, yang berhubungan dengan lesi yang didapat pada kolon

sehingga terjadi perdarahan yaitu pada divertikulosis dan angiodisplasia.

Hemmoroid merupakan penyebab tersering LGIB pada pasien dengan usia < 50

tahun, tetapi perdarahan biasanya ringan. Penyebab utama LGIB adalah

divertikulosis sebesar 33% kasus, diikuti dengan kanker dan polip yaitu sebesar

19% (Nguyen dan Frizelle, 2007).

2.2 Etiologi Perdarahan Saluran Cerna

Penyebab paling sering dari LGIB adalah penyakit diverticular sebesar 60%,

IBD 13%, dan penyakit anorektal 11% (Lavakoli, et al., 2004).

2.2.1 Divertikulosis

Divertikulosis adalah suatu kelainan dimana terjadi herniasi mukosa atau

submukosa dan hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding kolon yang

lemah yaitu tempat dimana vasa rekta menembus dinding kolon (Nguyen dan

Frizelle, 2007).

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

7

Gambar 2.1 Gambaran kolon dengan diverticular disease (Anonim, 2013).

Divertikulosis kolon merupakan penyebab yang paling umum dari perdarahan

saluran cerna bagian bawah, ± 40-50% dari semua kasus perdarahan. Prevalensi

menurut umur ditemukan bahwa semakin tua usia semakin tinggi angka kejadian

dari penyakit ini. Laki-laki dengan usia < 50 tahun lebih banyak dibandingkan

dengan perempuan. Pada usia 50-70 tahun insiden pada perempuan lebih banyak

daripada laki-laki. Perdarahan dari divertikulum umumnya tidak nyeri dan terjadi

pada 3% pasien divertikulosis. Tinja biasanya berwarna merah marun kadang-

kadang juga bisa juga menjadi merah segar. Divertikula paling sering terletak pada

kolon sigmoid dan kolon desendens. Kemunkinannya disebabkan oleh faktor

traumatis lumen, termasuk fecalit yang menyebabkan abrasi dari pembuluh darah

sehingga terjadi perdarahan (Barnert dan Messmann, 2009).

Perdarahan divertikular terjadi secara spontan pada 80% pasien. Meskipun

divertikula kolon sebelah kiri lebih umum terjadi, namun perdarahan cenderung

lebih umum terjadi pada divertikula pada kolon kanan. Perdarahan dari lesi kolon

kanan dapat lebih banyak dan menghasilkan volume yang lebih besar daripada

divertikula sisi sebelah kiri. Perdarahan ulang (rebleeding) mungkin terjadi kembali

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

8

pada 10% pasien pada tahun pertama, setelah itu, risiko untuk perdarahan ulang

meningkat menjadi 25% setelah 4 tahun (Nguyen dan Frizelle, 2007).

2.2.2 Arteriovenous Malformation (Angiodisplasia)

Angiodisplasia menjadi penyebab 3-20% dari kasus perdarahan saluran cerna

bagian bawah. Angiodisplasia, yang juga disebut sebagai malformasi arteriovenosa,

adalah distensi atau dilatasi dari pembuluh darah kecil pada submukosa saluran

pencernaan. Angiodisplasia dapat terjadi sepanjang saluran pencernaan dan

merupakan penyebab paling umum dari perdarahan dari usus kecil pada pasien

berusia diatas 50 tahun (Barbara dan Douglas, 2004).

Angiodisplasia tampak jelas pada kolonoskopi berwarna merah, lesi rata

dengan diameter sekitar 2-10 mm. Lesi tampak seperti bintang, oval, tajam, atau

tidak jelas. Meskipun angiografi mampu mengidentifikasikan lesi, namun

kolonoskopi adalah metode yang paling sensitif untuk mengidentifikasi

angiodisplasia (Barbara dan Douglas, 2004).

Angiodisplasia usus merupakan malformasi arteri yang terletak di sekum dan

kolon asenden. Angiodisplasia usus merupakan lesi yang diperoleh dan

mempengaruhi orang tua berusia > 60 tahun. Lesi ini terdiri dari kelompok-

kelompok pembuluh darah yang berdilatasi, terutama pembuluh darah vena, pada

mukosa dan submukosa kolon (Barbara dan Douglas, 2004).

Tidak seperti perdarahan divertikular, angiodisplasia cenderung menyebabkan

perdarahan dengan episode lambat tetapi berulang. Oleh karena itu, pasien dengan

angiodisplasia datang dengan anemia. Angiodisplasia yang menyebabkan hilangnya

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

9

darah dalam jumlah besar jarang didapat. Perdarahan lesi aktif dapat diobati dengan

elektrokoagulasi koloskopi (Barbara dan Douglas, 2004).

2.2.3 Inflammatory Bowel Disease (IBD)

IBD adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan

penyebab pastinya belum diketahui. Secara garis besar IBD dibagi menjadi 3 jenis,

yaitu kolitis ulseratif, penyakit chorn dan bila sulit untuk membedakan keduanya

maka dimasukkan dalam kategori Indeterminate Colitis (Djojoningrat, 2007).

Gambar 2.2 Segmen usus pada penyakit IBD (Anonim, 2012).

Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran

cerna bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda, melainkan

berkembang dalam perjalanan penyakitnya dan penyebabnya diduga berdasarkan

riwayat pasien. Sampai dengan 20% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah

akut disebabkan oleh salah satu kondisi peradangan. Kebanyakan perdarahan

berhenti secara spontan atau dengan terapi spesifik pada penyebabnya (Barbara dab

Douglas, 2004).

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

10

Perdarahan masif karena IBD jarang terjadi. Colitis menyebabkan diare

berdarah pada beberapa kasus. Pada 50% pasien dengan colitis ulseratif, perdarahan

gastrointestinal bagian bawah ringan-sedang muncul, dan sekitar 4% pasien dengan

kolitis ulseratif terjadi perdarahan yang masif (Senagore, 2007).

Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada pasien dengan penyakit

Crohn’s jarang terjadi, tidak seperti pada pasien kolitis ulseratif, hanya 1-2%

pasien dengan Crohn’s terjadi perdarahan yang masif. Pada sumber lain

mengatakan hanya kurang dari 1% pasien saja (Senagore, 2007).

2.2.4 Benign Anorectal Disease

Penyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

dapat menyebabkan perdarahan rektum intermiten. 11% dari pasien dengan

perdarahan saluran cerna bagian bawah terjadi dari penyakit anorektal. Pasien yang

memiliki varises rektum dengan hipertensi portal dapat membuat perdarahan masif

saluran cerna bagian bawah tanpa rasa sakit, sehingga pemeriksaan awal anorektum

menjadi penting. Jika diketahui terjadi perdarahan aktif, mengobatinya harus

agresif. Perhatikan bahwa penemuan penyakit anorektal jinak tidak

mengesampingkan kemungkinan perdarahan yang lebih proksimal dari saluran

cerna bagian bawah. Pada kasus-kasus ini perdarahan yang timbul berwarna merah

segar dan tidak bercampur dengan feces (Barbara dan Douglas, 2004; Debas, 2004).

Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di

daerah anus yang berasal dari plexus hemoroidalis. Di bawah atau di luar linea

dentate pelebaran vena yang berada dibawah kulit (subkutan) disebut hemoroid

eksterna. Sedangkan di atas atau di dalam linea dentate, pelebaran vena submukosa

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

11

disebut hemoroid interna. Biasanya struktur anatomis anal canal masih normal

(Djojoningrat, 2007).

2.2.5 Neoplasma

Neoplasma kolorektal dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni polip kolon

dan kanker kolon. Polip adalah tonjolan di atas permukaan mukosa. Polip kolon

dapat dibagi dalam 3 tipe, yakni neoplasma epithelium, non neoplasma, dan

submukosa. Makna klinis yang penting dari polip ada dua, pertama adalah

kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker kolorektal dan kedua dengan

tindakan pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat dicegah (Abdullah, 2007;

DeCosse dan Tsioulias, 2011).

Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua tebanyak dari seluruh

pasien kanker di Amerika. Lebih dari 150.000 kasus baru terdiagnosis setiap

tahunnya di AS dengan angka kematian mendekati angka 60.000. Rata-rata pasien

kanker kolorektal berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi pada

mereka yang berumur diatas 55 tahun. Sedangkan polip juvenile merupakan

penyebab perdarahan kedua paling umum pada pasien lebih muda dari usia 20

tahun (Debas, 2004).

Neoplasma kolon dapat muncul dalam bentuk dan sifat bermacam-macam.

Biasanya perdarahan dari lesi ini lambat, ditandai dengan perdarahan samar dan

anemia sekunder. Neoplasma ini juga dapat berdarah dengan cepat, namun pada

beberapa bentuk sampai dengan 20% dari kasus perdarahan akut pada akhirnya

ditemukan muncul karena polip kolon atau kanker (Barbara dan Douglas, 2004;

Branner dan Ota, 2007).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

12

Keluhan yang paling sering dirasakan adalah perubahan buang air besar,

perdarahan per anus (hematokesia dan konstipasi). Jika terjadi obstruksi maka

gejala yang timbul berupa nyeri abdomen, mual, muntah dan obstipasi. Pada tumor

yang telah melakukan invasi lokal maka akan timbul gejala tenesmus, hematuria,

infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra bahkan perforasi abdomen

(Barbara dan Douglas, 2004).

2.3 Manifestasi Klinik Perdarahan Saluran Cerna

Perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat bermanifestasi dalam bentuk

hematoskezia, maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar.

2.3.1 Hematoskezia

Darah segar yang keluar lewat anus/rektum. Hal ini merupakan manifestasi

klinis perdarahan yang paling sering. Sumber perdarahan pada umumnya berasal

dari anus, rektum, atau kolon bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi

juga dapat berasal dari usus kecil atau saluran cerna bagian atas bila perdarahan

tersebut berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak sempat kontak

dengan asam lambung) dan masa transit usus yang cepat (Davila dan Rajan, 2005).

2.3.2 Maroon stool

Darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur dengan melena) yang

biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian kanan (ileo-caecal) atau juga

dapat dari usus kecil bila waktu transit usus cepat (Davila dan Rajan, 2005).

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

13

2.3.3 Melena

Feses yang berwarna hitam seperti kopi (bubuk kopi) atau seperti aspal,

berbau busuk dan hal ini disebabkan perubahan hemoglobin menjadi

hematin. Perubahan ini dapat terjadi akibat kontak hemoglobin dengan asam

lambung atau akibat degradasi darah oleh bakteri usus. Misalnya pada perdarahan

yang bersumber di kolon bagian kanan yang disertai waktu transit usus yang

lambat. Perdarahan saluran cerna bagian bawah akan tersamar bila jumlah darah

sedikit sehingga tidak mengubah warna feses yang keluar. Gambaran klinis lainnya

akan sesuai dengan penyebab perdarahan (misalnya pada tumor rektum, teraba

massa pada pemeriksaan colok dubur) dan dampak hemodinamik yang terjadi

akibat perdarahan tersebut (misalnya anemia atau adanya renjatan). Sebagian besar

perdarahan berlangsung akut, berhenti spontan, dan jarang menimbulkan gangguan

hemodinamik (Davila dan Rajan, 2005).

2.4 Faktor Risiko

Identifikasi faktor risiko kanker kolorektal penting untuk menetapkan

program skrining pada populasi umum sedini mungkin (Bullard dan Rothenberger,

2007).

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

14

1. Usia

Lebih dari 90% kasus didiagnosis pada populasi berusia > 50 tahun. Hal ini

adalah alasan memulai uji skrining pada populasi asimptomatis > 50 tahun.

Individu segala usia berpotensi mengidap kanker kolorektal, sehingga gejala

seperti; perubahan signifikan kebiasaan buang air besar (change in bowel habits),

perdarahan rektum, melena, anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat

badan memerlukan evaluasi menyeluruh (Bullard dan Rothenberger, 2007).

Liang dkk (2006) menyatakan risiko kanker kolorektal meningkat seiring

usia, pada pasien muda sering timbul < 40 tahun. Tumor kolorektal herediter

[hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), adenomatosis coli, dan

suspected HNPCC] terjadi pada 38.4% pasien < 40 tahun dan 3.5% pada > 55

tahun. Karena itu, tumor kolorektal herediter lebih sering pada individu muda

dengan faktor herediter daripada faktor diet maupun gaya hidup. Penelitian di

Eropa menunjukkan, pasien usia ≤ 30 tahun, memiliki 25-30% 5-year survival rate.

60-67% pasien kanker kolorektal muda tergolong stadium III/IV, dengan poorly

differentiated atau musinosum. Pasien muda sering datang dalam stadium lanjut.

Hal ini menunjukkan kanker kolorektal usia muda memiliki prognosis buruk.

2. Faktor Risiko Herediter

Bullard (2007) menyatakan 80% kanker kolorektal terjadi sporadis, sementara

20% timbul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

15

Tabel 2.1

Risiko Herediter dan Kanker Kolon (Robert, et al., 2007)

FAMILIAL SETTING COLON CANCER LIFETIME RISK

General U.S. population 6%

1 first-degree relatif[*] with colon cancer 2- to 3-fold increased

2 first-degree relatifs[*] with colon cancer 3- to 4-fold increased

First-degree relatif[*] with colon ca diagnosed ≤50 yr 3- to 4-fold increased

1 second- or third-degree relatif[†][‡] with colon cancer 1.5-fold increased

2 second- or third-degree relatifs[†][‡] with colon cancer 2- to 3-fold increased

1 first-degree relatif[*] with adenomatous polyp 2-fold increased

From Burt RW: Colon cancer screening. Gastroenterology 119:837-853, 2000, with permission.

* First-degree relatifs include parents, siblings, and children.

↑ Second-degree relatifs include grandparents, aunts, and uncles.

‡ Third-degree relatifs include great-grandparents and cousins

3. Faktor Lingkungan dan Diet

Penelitian menunjukkan bahwa karsinoma kolorektal terjadi pada populasi

yang mengkonsumsi diet tinggi lemak hewani dan rendah serat, hal ini

menghasilkan suatu hipotesis bahwa faktor-faktor diet berkontribusi besar terhadap

karsinogenesis. Diet tinggi lemak tersaturasi jenuh atau lemak tak jenuh ganda

meningkatkan risiko kanker kolorektal, sedangkan diet tinggi asam oleat (minyak

zaitun, minyak kelapa, dan minyak ikan) menurunkan risiko. Penelitian pada hewan

menunjukkan bahwa lemak dapat bersifat racun pada mukosa usus, sehingga

menyebabkan perubahan karsinogenesis awal. Sebaliknya, diet tinggi serat

tampaknya bersifat protektif. Konsumsi kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E,

karotenoid, dan fenol nabati dapat menurunkan risiko kanker kolorektal. Obesitas

dan gaya hidup tidak sehat secara dramatis meningkatkan mortalitas kanker,

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

16

termasuk KKR. Hal ini merupakan dasar strategi pencegahan primer untuk

menurunkan angka KKR dengan mengubah diet dan gaya hidup tidak sehat.

4. Inflammatory Bowel Disease

Pasien dengan penyakit kolitis kronis (Inflammatory Bowel Disease) berisiko

menderita kanker kolorektal. Hal ini akibat peradangan kronis mukosa yang

menjadi predisposisi keganasan. Durasi dan luasnya kolitis berkorelasi dengan

risiko. Dalam pankolitis ulseratif (ulcerative pankolitis), risiko karsinoma sekitar

2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Pasien

dengan pankolitis Crohn (Crohn's pankolitis) berisiko yang sama. Kolitis pada

kolon kiri berisiko lebih rendah. Untuk alasan diatas, skrining kolonoskopi dan

biopsi mukosa dianjurkan setiap tahun setelah 8 tahun menderita pankolitis

dan setelah 12 -15 tahun pada kolitis kiri.

5. Faktor Risiko Lain

Bullard dan Rothenberger (2007) mengaitkan rokok dengan peningkatan

risiko adenoma kolon, terutama setelah usia 35 tahun. Pasien dengan

ureterosigmoidostomi meningkatkan risiko pembentukkan adenoma dan karsinoma.

Akromegali, yang berhubungan dengan peningkatan sirkulasi hormon pertumbuhan

dan insulin-like growth factor-1, juga meningkatkan risiko. Radiasi daerah panggul

dapat meningkatkan risiko pengembangan karsinoma rektum (akibat kerusakan

radiasi atau akibat kanker rektum dan keganasan panggul).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

17

Tabel 2.2

Faktor Risiko Kanker Kolon (Zinner dan Ashley, 2007)

RISK FACTOR COMMENT

Geographic variation Highest risk in Western countries and lowest risk in developing

countries

Age Risk increase sharply after the fifth decade

Diet Increased with total and animal fat diets

Physical inactivity Increased with obesity and sedentary life style

Adenoma Risk dependent on type and size

FAP penetrance in gene carriers 100%

HNPCC penetrance in gene carriers 80%

Hamartomatous syndromes Risk increased with Peutz-Jeghers syndrome and juvenile

polyposis but not isolated juvenile polyps

Previous history of colon cancer Increased risk for recurrent cancer

Ulcerative colitis 10–20% after 20 years

Radiation Associated with mucinous histology and poor prognosis

Ureterosigmoidostomy 100–500 times increased risk at or adjacent to the uretero-

colonic anastomosis

Reproduced, with permission, from Wu JS, Fazio VW, 2000

2.4 Test Skrining

2.5.1 Prinsip Skrining

CCI (Conference on Preventive Aspects of Chronic Disease) pada tahun

1951 mendefinisikan uji skrining sebagai identifikasi penyakit atau cacat yang tidak

diakui melalui suatu tes, pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan

dengan cepat. Menurut Wilson dan Jungner (1968), test skrining memilah orang-

orang yang mungkin memiliki penyakit dari orang-orang yang mungkin tidak.

Sebuah test skrining bukanlah suatu alat diagnostik. Berdasarkan

definisi, gejala yang belum diakui serta penyakit presimptomatik termasuk

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

18

pemeriksaan fisik dianggap sebagai bagian dari prosedur skrining.WHO pada 1968

mengeluarkan pedoman alat skrining, antara lain: (Boyle, 2005).

1. Harus menjadi masalah kesehatan yang penting.

Di seluruh dunia, kanker kolorektal menempati urutan kedua sebagai kanker

paling sering pada wanita dan kanker tersering ketiga pada laki-laki, dan

penyakit ini tidak hanya terbatas pada negara dengan gaya hidup barat. Risiko

meningkat di negara yang sebelumnya dianggap berisiko rendah.

2. Harus ada pengobatan untuk kondisi tersebut.

Five-year survival rate kanker kolorektal Duke A yang menjalani reseksi

tumor sekitar 80% dan rata-rata survival rate setelah pembedahan dan reseksi

adenomatous pedunculated polyp yang mengandung karsinoma in situ atau

mengalami displasia berat atau karsinoma intramukosal mencapai 100%.

Perbedaan survival rate stadium dini dan stadium lanjut sangat besar,

sehingga deteksi dini memegang peranan penting. Pengangkatan polip atau

lesi prekanker berguna untuk mencegah perubahan menjadi kanker, sehingga

menurunkan risiko kanker kolorektal invasif.

3. Fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan harus tersedia.

Sangat penting untuk memandang uji skrining sebagai satu langkah awal

penatalaksanaan kanker kolorektal, perlu disadari bahwa diagnosis

multidisiplin dan pengobatan terintegrasi berperan sangat penting.

4. Harus ada fase laten dari penyakit tersebut.

Sebagian besar kanker invasif muncul dari polip adenomatosa dan menjadi

penanda biologis terbaik untuk identifikasi risiko pasien saat pemeriksaan.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

19

5. Harus ada tes atau pemeriksaan untuk kondisi tersebut.

FOBT, sigmoidoskopi, double-contrast barium enema dan kolonoskopi

merupakan alat skrining kanker kolorektal yang efektif. Suatu penelitian acak

(randomized trials) menunjukkan penurunan angka insidensi dan kematian

akibat kanker kolorektal pada individu yang menjalani uji FOBT

(Haemoccult). Pada suatu studi observasional didapatkan sigmoidoskopi

sekali satu tahap dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal dan kematian

akibat penyakit ini. Studi observasional lainnya menunjukkan bahwa

kolonoskopi juga dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal dan kematian

akibat kanker ini.

6. Tes harus dapat diterima oleh masyarakat.

Partisipasi dalam berbagai pencobaan sebelumnya menunjukkan FOBT dan

sigmoidoskopi dapat diterima sebagian besar populasi, meskipun terdapat

variasi individu dalam memilih tes skrining kanker kolorektal yang diminati.

7. Perjalanan alami dari penyakit harus sudah dipahami secara memadai.

Telah diketahui bahwa pemahaman mengenai kanker kolorektal lebih baik

dari pada jenis kanker padat lainnya.

8. Harus ada kebijakan mengenai siapa yang berwenang mengobati.

Sangat tidak rasional bila kita mencari sukarelawan, menemukan kankernya

namun, tidak memberikan pengobatan. Diperlukan suatu panduan berbagai

modalitas pengobatan dan tindak lanjut setelah menegakkan diagnosis.

9. Total biaya harus ekonomis dan seimbang dengan pengeluaran medis.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

20

Penanaman investasi dalam program kesehatan preventif didasarkan pada

beberapa pertimbangan, termasuk bukti ilmiah, tekanan publik dan kemauan

politik dari pemerintah. Penelitian menunjukkan uji skrining kanker

kolorektal telah terbukti cost-effective. Namun, pengambilan keputusan

menghabiskan sejumlah dana untuk skrining tidak bisa hanya diliat dari segi

nominal saja.

10. Proses berkesinambungan, bukan hanya proyek "once and for all".

Setelah program skrining dilakukan, penting melakukan tindak lanjut hasil.

2.5.2 Test Skrining Feses (Fecal screening test)

Test skrining feses bertujuan mendeteksi darah samar pada saluran

pencernaan (mulut hingga usus besar). Test positif dapat merupakan akibat

pendarahan gastrointestinal atas atau bawah dan menjadi alasan kuat dilakukannya

investigasi lebih lanjut. Test ini tidak secara langsung mendeteksi kanker kolorektal

tetapi sering digunakan sebagai skrining untuk penyakit tersebut, juga dapat

digunakan untuk mendeteksi darah samar bila timbul gejala gastrointestinal

(Bardhan, et al., 2000).

Ada beberapa jenis FOBT:

1. Guaiac Fecal Occult Blood Test (gFOBT)

Mendeteksi aktivitas peroksidase heme dan tidak spesifik untuk darah

manusia. Pengujian satu kali dengan uji guaiac standar ini, memiliki sensitivitas

deteksi kanker 33-50%, sedangkan test guaiac sensitif (Hemoccult Sensa, Beckman

Coulter) memiliki sensitivitas 50-75%. Tiga sampel tinja terpisah per pemeriksaan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

21

memiliki kepekaan lebih unggul, dibandingkan satu atau dua sampel (Lieberman,

2009).

Metode pemeriksaan ini, komponen heme dalam hemoglobin memiliki efek

menyerupai enzim peroksidase (peroxidase-like effect), yang secara cepat akan

menghancurkan hidrogen peroksida. Pada beberapa keadaan, perdarahan lambung

atau saluran cerna bagian atas, tes guaiac mungkin lebih sensitif dibandingkan tes

deteksi globin, hal ini dikarenakan globin dipecah di usus bagian atas lebih besar

dari pada heme. Terdapat beberapa alat tes gFOBT dari yang memiliki sensitifitas

rendah hingga tinggi, dan hanya yang memiliki sensitifitas tinggi sajalah yang

direkomendasikan sebagai alat skrining. Hasil tes gFOBT yang optimal sangat

tergantung dari persiapan diet pasien.

2. Fecal porphyrin quantification: HemoQuant

Tidak seperti gFOBT dan FIT, memungkinkan kuantifikasi hemoglobin lebih

tepat dan analitis divalidasi dengan asam lambung dan urin, serta sampel tinja.

Gugus heme dari hemoglobin utuh secara kimia dikonversi oleh asam oksalat dan

oksalat besi atau ferro-sulfat menjadi protoporfirin, dan kandungan porfirin baik

dari sampel asli dan sampel setelah konversi hemoglobin ke porfirin ditentukan

besarannya oleh fluoresensi perbandingan terhadap standar acuan (referensi),

sedangkan spesifisitas hemoglobin meningkat dengan mengurangi fluoresensi

sampel kosong berisi asam sitrat untuk mengoreksi efek yang mengacaukan dari

potensi zat non-spesifik yang ada. Pengukuran kuantifikasi yang tepat terbukti

sangat berguna dalam aplikasi penelitian klinis (Schwartz, 2010).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

22

3. Fecal Immunochemical Test (FIT)

Data terbaru menunjukkan bahwa FOBT baru yang disebut FIT lebih unggul

dari gFOBT yang lebih umum digunakan (Allison, 2007; Fraser, et al., 2006).

Pada test ini menggunakan antibodi spesifik hemoglobin manusia, albumin,

atau komponen darah lainnya dan lebih spesifik untuk darah manusia dibandingkan

dengan gFOBT. Satu kali pemeriksaan ini memiliki sensitivitas untuk mendeteksi

kanker sebesar 60-85% dengan menggunakan satu sampai tiga sampel tinja.

(Schwartz, 2010; Fraser, et al., 2012).

FIT tidak bereaksi dengan globin yang bukan manusia atau dengan makanan

seperti buah-buahan dan sayuran mentah yang mungkin berisi aktivitas peroksidase.

Oleh karena itu pembatasan diet tidak diperlukan bila dengan tes ini. Test ini juga

tidak terpengaruh oleh obat-obatan seperti obat anti-inflamasi nonsteroid atau

vitamin C. Semua keunggulan ini dapat memperlihatkan bahwa FIT lebih dapat

diterima bagi mereka yang diskrining dibandingkan gFOBT (Allison, 2007).

luminal processing

Gambar 2.3 Skema pemecahan hemoglobin pada feses (Young, 2004).

Heme

Test gFOBT

Guaiac detects peroxidase activity

Interfered with by plant

peroxidases and red meal, vit C

Detects bleeding from entire GIT

Hemoglobin

Globin

Test-FIT

Antobody detects globin

No dietary interference

Detects only colonic bleeding

when occult

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

23

Keunggulan FIT dibandingkan gFOBT sebagai berikut (Allison, 2007):

1. FIT memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik.

2. FIT menggunakan antibodi spesifik untuk globin manusia dan tidak seperti

gFOBT, khusus untuk perdarahan kolorektal dan tidak dipengaruhi oleh

diet atau obat-obatan.

3. Beberapa FIT dapat dikembangkan untuk pengelolaan sejumlah besar tes

dengan cara standar dengan jaminan kualitas yang baik.

4. Teknologi baru dari FIT memungkinkan mereka untuk mengukur

hemoglobin tinja sehingga sensitivitas, spesifisitas dan laju positif dapat

disesuaikan dalam skrining untuk neoplasia kolorektal.

5. Instrumen yang dikembangkan untuk beberapa FIT memiliki kemampuan

untuk membaca kode bar pada tes. Fitur ini memastikan identifikasi akurat

dari orang yang disaring dan memungkinkan untuk print-out dari hasil serta

pengingat print-out untuk keperluan di masa depan.

Keterbatasan dari Uji FIT (Allison, 2007):

1. FIT hanya untuk mendeteksi adanya haemoglobin dalam feces.

2. FIT hanya digunakan untuk skrining dan tidak dimaksudkan untuk

menggantikan test prosedur diagnostik.

3. Adanya darah dalam feces kemungkinan disebabkan juga oleh karena

haemoroid, darah dalam urine atau iritasi lambung selain perdarahan

kolorektal. Bila didapatkan hasil positif maka pemeriksaan lain perlu

dilakukan untuk menentukan penyebab dan sumber dari perdarahan dalam

spesimen feces.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

24

4. Hasil negatif tidak dapat menyingkirkan adanya perdarahan karena bisa

intermiten. Hasil negatif palsu bisa jadi oleh karena darah tersamar tidak

terdistribusi merata dalam feces.

5. Kadang kadang adanya polip atau kanker kolorektal bisa berdarah secara

intermiten atau tidak sama sekali.

Tabel 2.3

Perbandingan karakteristik gFOBT dan FIT (Young, 2004).

Test and type Specificity

for neoplasia

Sensitivity for cancer

Rehydrated Hemoccult:

gFOBT

90% 90% with repeated annual

screnning

Hemoccult II: gFOBT 94%-98% 35%-55% with once-off

testing. Up to 80% with

repeated annual testing

Hemoccult SENSA:

gFOBT

88%-92% 80% with once-off testing

Heme Select variants:

FIT

95% 70%-82% with once-off

testing

2.5.3 Studi Radiografi

Pemeriksaan barium enema secara akurat mengidentifikasi kanker stadium

lanjut, tetapi merupakan tes yang buruk untuk lesi prekanker dan jarang digunakan

untuk skrining penyakit kanker kolorektal saat ini. Pemeriksaan penunjang dengan

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

25

Computed Tomografi (CT) kolonografi membuat gambaran usus dua-dimensi dan

gambar tiga-dimensi dari usus besar dan memerlukan persiapan kolon yang baik.

Suatu studi klinis menunjukkan 90% dari polip berdiameter lebih dari 10 mm telah

diidentifikasi dengan benar, dengan tingkat positif palsu 14%. Tingkat deteksi polip

berdiameter yang > 6 mm (ambang batas merujuk pasien untuk kolonoskopi)

adalah 78% (spesifisitas 88%). Dengan cut off-point 15-25% dari orang yang

menjalani skrining dirujuk untuk kolonoskopi (Lieberman, 2009).

Tingkat rujukan untuk kolonoskopi merupakan elemen penting dari biaya

program. CT kolonografi kurang sensitif dan spesifik untuk polip berdiameter < 6

mm. Namun, rencana perawatan pasien dengan diameter < 6 mm masih

kontroversial. Pemeriksaan CT kolonografi menunjukkan < 2% pasien memiliki

adenoma lanjut, dan kanker yang langka. Tidak ada satupun penelitian

menunjukkan keselamatan pasien dengan CT kolonografi berulang (Lieberman,

2009).

Adanya ketidakpastian tentang apakah CT kolonografi dapat digunakan

untuk mengidentifikasi polip datar (flat polyp), beberapa di antaranya mungkin

tempat tumbuhnya sel ganas. Interval skrining yang tepat setelah pemeriksaan

negatif atau dalam kasus pertumbuhan, yang berdiameter < 6 mm dan kemungkinan

polip masih tidak pasti. Selain itu, sensitivitas dan spesifisitas CT kolonografi

dalam rutinitas pengaturan praktek klinis tidak diketahui. Paparan radiasi yang

berhubungan dengan CT kolonografi dapat meningkatkan risiko kanker. Meskipun

rejimen dosis rendah yang digunakan, ada kekhawatiran tentang paparan radiasi

kumulatif, dan beberapa negara tidak memungkinkan diakukannya pencitraan untuk

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

26

tujuan skrining. Suatu studi menunjukkan bahwa 27-69% dari orang yang

menjalani pemeriksaan dengan CT kolonografi memiliki minimal satu ditemukan

masa di luar usus besar, yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada 5-16% dari

orang menjalani skrining (Lieberman, 2009).

2.5.4 Sigmoidoskopi

Suatu penelitian case-control menunjukkan secara signifikan hubungan antara

kegunaan suatu uji sigmoidiskopi dengan penurunan mortalitas akibat kanker

kolorektal pada lokasi kolon yang dilakukan pemeriksaan. Pada suatu studi

randomized control trial, tidak terjadi penurunan insidens kanker kolorektal

diantara individu yang setuju menjalani pemeriksaan sigmoidoskopi, dan pada

suatu analisis intention-to-treat, menunjukkan penurunan mortalitas yang tidak

signifikan pada individu tersebut selama 6 tahun dibandingkan dengan kontrol.

Namun Lieberman, (2009), menyatakan bahwa suatu studi dengan menggunakan

skrining kolonoskopi telah menunjukkan lebih dari 30% pasien dengan neoplasia

stadium lanjut yang memiliki lesi neoplasia proksimal yang tidak dapat

teridentifikasi dengan sigmoidoskopi, hal ini lebih sering terjadi pada wanita

dibandingkan laki-laki dan pada pasien lebih dari 60 tahun dari pada pasien usia

muda. Pemeriksaan ini memerlukan persiapan usus dan kunjungan pada jam kerja

(office visit) dan biasanya terkait dengan ketidaknyamanan saat pemeriksaan.

Beberapa klinisi dan pasien, lebih memilih pemeriksaan kolonoskopi daripada

sigmoidoskopi, hal ini dikarenakan pasien tersedasi dan menjalani pemeriksaan

kolon lengkap disertai polipektomi. Semua keterbatasan ini telah menyebabkan

pembatasan penggunaannya di Amerika Serikat (Lieberman, 2009).

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

27

2.5.5 Kolonoskopi

Kolonoskopi merupakan langkah penilaian final dalam setiap program

skrining untuk deteksi kanker kolorektal. Beberapa penelitian kohort berskala besar

telah menunjukkan kemampuan dan keamanan kolonoskopi sebagai tes skrining

primer. Suatu lesi maligna/premaligna dapat terjadi pada beberapa kasus kanker

yang terdeteksi melalui kolonoskopi. Lesi dengan diameter > 10 mm dapat tidak

terdeteksi pada 2-12% kasus. Kolonoskopi mungkin kurang berperan dalam

menurunkan risiko kanker kolon proksimal, kecuali pemeriksaan dilakukan secara

lengkap dan seluruh polip diangkat. Suatu rekomendasi pemeriksaan berulang

dengan interval 10 tahun setelah suatu hasil negatif kolonoskopi, telah dibuktikan

melalui suatu studi case-control. Dua penelitian terbaru menunjukkan risiko yang

rendah neoplasia stadium lanjut, setelah 5 tahun dengan kolonoskopi negatif

(Lieberman, 2009).

Kontraindikasi kolonoskopi (Modric, 2011):

1. Kehamilan.

2. Penyakit jantung akut.

3. Perforasi usus dan obstruksi total.

4. Divertikulitis akut.

5. Kolitis fulminan, megakolon toksik, nekrosis kolon, atau peritonitis akut.

6. Aneurisma aorta abdominalis > 5-6 cm yang bergejala.

7. Kelainan koagulasi darah atau penurunan signifikan leukosit atau

trombosit dalam darah.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

28

8. Hernia Bochdalek.

9. Pasien yang tidak kooperatif atau tidak dapat diobati.

10. Sore hari sebelum dilakukan kolonoskopi, konsumsi laksatif. Dan mulailah

puasa makanan padat setelahnya, dan mulailah puasa total sekitar 6-8 jam

sebelum tindakan.

11. Sekitar 1 jam sebelum prosedur, dokter mungkin akan memberikan pasien

enema untuk melengkapi bowel preparation.

Komplikasi Kolonoskopi (Modric, 2011):

1. Perdarahan yang mungkin terjadi selama prosedur hingga sekitar 1 minggu

setelah kolonoskopi, biasanya berhenti spontan, namun dapat pula hingga

memerlukan kolonoskopi ulang untuk menghentikannya.

2. Aritmia, biasanya terkait efek samping pembiusan.

3. Obstruksi usus halus.

4. Divertikulitis.

5. Perforasi kolon.

6. Sedatif dapat menyebabkan ansietas, mual, alergi atau depresi pernafasan.

Prosedur Kolonoskopi

Selama prosedur pasien diberi sedatif (fentanyl atau midazolam). Langkah

pertama adalah pemeriksaan colok dubur untuk memeriksa tonus sfingter ani dan

menetukan apakah persiapan cukup adekuat. Endoskop kemudian dimasukkan

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

29

melalui anus hingga rektum, kolon (sigmoid, kolon desenden, tranversum, dan

kolon asenden, serta caecum), dan terakhir pada ileum terminal (Modric, 2011).

Endoskop memiliki ujung fleksibel dan saluran untuk memasukkan

instrumen, udara, suction dan sumber cahaya. Lumen usus akan diinsuflasi dengan

udara untuk memaksimalkan pemeriksaan. Biopsi dilakukan selama prosedur ini.

Dikarenakan tikungan yang tajam dan redudansi pada kolon yang tidak terfiksir,

menyebabkan bowing effect yang berakibat regangan kolon dan mesenterika yang

menimbulkan ketidaknyamanan (DiPalma, 2003; Modric, 2011).

Pemeriksaan visual sering dilakukan 20-25 menit setelah penarikan endoskop.

Lesi yang tampak mencurigakan akan dikauterisasi, dipotong dengan sinar laser

atau dengan kawat listrik untuk keperluan biopsi atau polipektomi lengkap. Obat

dapat disuntikkan selama prosedur berlangsung, misalnya untuk mengontrol

perdarahan. Prosedur ini memakan waktu 20-30 menit, tergantung pada indikasi

dan temuan selama prosedur. Dengan beberapa polipektomi atau biopsi, waktu

prosedur dapat menjadi lebih lama. Setelah prosedur dilakukan, diperlukan waktu

untuk pemulihan akibat obat penenang diperkirakan 30-60 menit (DiPalma, 2003).

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

30

Tabel 2.4

Sensitifitas Test Skrining Satu Tahap (Lieberman dan Weiss, 2001)

TEST SENSITIVITY (%)

CANCER ADVANCED

ADENOMAS*

STOOL-BASED TEST

Standard guaiac fecal occult-blood test

(3 samples)

Sensitive guaiac fecal occult-blood test

(3 samples)

Immunochemical fecal occult-blood test

(1-3 stool samples)

One stool DNA test (1 sample)

New stool DNA test (1 sample)

33-50

50-75

60-85

51

≥ 80

11

20-25

20-50

18

40

STRUCTURAL EXAMINATIONS OF THE

COLON

CT Colonography

Sigmoidoscopy

Colonoscopy

Uncertain; probably > 90

> 95 (in the distal colon)

> 95

90 (if Ø ≥ 10mm)

70 †

88-98

* Advanced adenoma is defined as a tubular adenoma that is 10 mm or larger in

diameter or an adenoma with villous histologic features or high-grade dysplasia.

† If an adenoma is detected in the distal colon, the patient would undergo complete

colonoscopy, which would result in the detection of some proximal advanced

adenomas.

Percobaan klinis telah menunjukkan bahwa individu dengan Fecal Occult

Blood Test positif memiliki risiko kanker tiga sampai empat kali lebih tinggi

dibandingkan individu dengan tes negatif, dan kolonoskopi sebaiknya dianjurkan

bagi orang dengan tes positif. Suatu penelitian uji kontrol-acak (randomized

controlled trials) dimana tes guaiac standar setiap 1 atau 2 tahun selama periode

10-13 tahun, berhasil mengurangi 15-33% kematian akibat kanker kolorektal

(Anonim, 2011).

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

31

2.6 Tehnik Fecal Immunochemical Test

2.6.1 Prinsip

FIT ini memanfaatkan suatu kombinasi yang unik dari dua antibodi

monoklonal untuk secara selektif mendeteksi adanya haemoglobin manusia didalam

sampel feses. Test device terdiri dari pad yang dilapisi dengan gold colloidal

dikonjugasikan dengan anti human haemoglobin antibodies, suatu membran

nitrocellulose yang dilapisi antibody manusia pada test band dan goat antimouse

antibodies pada control band area. Begitu jumlah sampel cairan feses telah cukup

jumlahnya ditambahkan kedalam test device maka dia bermigrasi sepanjang test

device secara kapiler. Bila sampel feses mengandung haemoglobin manusia 10

mg/ml atau lebih, test band nampak sebagai suatu red purple band. Bila kadar

haemoglobin manusia kurang dari sampel feses yang dapat dideteksi maka tidak

akan ada test band. Kontrol band akan nampak tidak tergantung dari adanya

haemoglobin manusia didalam sampel.

2.6.2 Persiapan Spesimen

1. Pengumpulan spesimen hendaknya tidak dilakukan pada saat sedang

menstruasi atau dalam tiga hari dari suatu periode menstruasi, begitu juga

bila penderita mempunyai hemoroid yang sedang berdarah atau bila ada

darah dalam urine. Bila dilakukan maka kemungkinan didapatkan hasil

positif palsu.

2. Pengaturan diet (diet restriction) tidak diperlukan.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

32

3. Mengkonsumsi alkohol, aspirin dan obat-obatan lain dalam jumlah yang

berlebihan akan dapat menyebabkan occult bleeding (pendarahan tersamar).

Bahan-bahan itu hendaknya dihentikan setidaknya 48 jam sebelum test.

2.6.3 Pengumpulan spesimen

1. Dalam pemeriksaan ini hendaknya hanya digunakan spesimen feces. Feses

dapat dikoleksi dari toilet paper (tissue toilet) atau diletakkan dalam suatu

clean container. Spesimen hendaknya jangan sampai terkontaminasi air

toilet (toilet water).

2. Screw pada bagian atas dari sample collection device dilepaskan dan untuk

mengumpulkan sampel feses dengan cara memasukkan stick secara random

kedalam tiga tempat berbeda dari sampel feses yang sama.

3. Letakkan sampel collection stick yang berisi sampel feses kembali kedalam

sampel collection device dan screw kembali dengan ketat, kocoklah dengan

baik.

4. Sampel yang terkoleksi dapat disimpan pada suhu ruangan (< 30° C) selama

5 hari atau direfrigerasi pada suhu 4 -8° C selama 7 hari.

2.6.4 Prosedur Test

1. Tempatkan sampel yang sudah diekstrak pada temperatur ruangan bila

sampel itu direfrigerasi. Kemudian campur dengan baik sampel yang sudah

diekstrak dengan cara mengocok sebentar sampel collection device.

2. Pindahkan test disk dari kantong foil dan tempatkan pada permukaan yang

datar dan kering.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

33

3. Peganglah sample collection device sedemikian rupa sehingga ujung device

menghadap keatas, kemudian robeklah ujung dari collection device.

Kemudian pencet sebanyak 2 tetes dari extracted sampel kedalam sampel

dengan baik.

4. Pada saat test kit mulai bekerja, anda akan melihat purple color bergerak

sepanjang result windows ditengah tengah (center) dari test disk.

5. Lakukan interprestasi dari hasil test dalam waktu 10 menit, jangan lakukan

setelah 10 menit.

Catatan : waktu interpestasi diatas dilaksanakan atas pembacaan hasil test

pada suhu ruangan antara 15-30°C. Bila suhu ruangan anda secara

siginifikan dibawah 15°C, maka waktu interpretasi hendaknya dinaikkan

dengan tepat.

Gambar 2.4 Test Kit untuk Uji FIT

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Perdarahan …erepo.unud.ac.id/17269/3/1014028103-3-bab 2 fit.pdfPenyakit anorektal jinak (misalnya hemorrhoid, fisura ani, fistula anorektal)

34

2.6.5 Interpretasi dari Test

1. Suatu pita warna (color band) akan nampak pada bagian bawah dari

result window untuk menunjukkan bahwa test sedang bekerja dengan

sempurna. Pita ini adalah Control Band atau “C” band.

2. Bagian atas dari result window menunjukkan hasil test. Bila pita warna

yang lain nampak pada bagian atas, pita ini adalah Test Band atau “T”

band.

Hasil positif : Adanya dua pita warna (“C” dan “T” bands) didalam result window

tanpa memandang pita mana yang muncul terlebih dahulu, menunjukkan hasil

positif.

Hasil negatif : Bila yang nampak hanya satu purple color (“C”) di dalam result

window, menunjukkan hasil negatif.

Hasil cacat (invalid result): apabila setelah test dikerjakan purple color band tidak

kelihatan didalam result window maka test dinyatakan cacat (invalid).

Kemungkinan petunjuk tidak diikuti dengan tepat atau terjadi kerusakan. Dalam hal

ini spesimen direkomendasikan untuk di test ulang.