BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler 2.pdfBerdasarkan WHO, tumor primer...

52
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan neoplasma ganas sel epitel folikel tiroid yang membentuk pola pertumbuhan papiler atau disertai dengan pola folikuler dan utamanya ditandai oleh karakteristik inti khas KTP. Gambaran inti yang khas KTP meliputi ukuran inti membesar, berbentuk oval, mengalami elongasi, saling tumpang tindih dengan gambaran clearing atau ground glass appearance atau dengan kontur inti yang ireguler mencakup adanya groove dan inklusi sitoplasma intranuklear. KTP tergolong tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (De Lellis et al., 2004). 2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid Berdasarkan WHO, tumor primer tiroid diklasifikasikan menjadi epitelial dan nonepitelial, jinak atau ganas, dengan kategori yang terpisah untuk limfoma dan keganasan lainnya (tabel 2.1) (De Lellis et al., 2004). Klasifikasi karsinoma tiroid berdasarkan garis besar diferensiasinya dijabarkan menurut American Joint Commission on Cancer (AJCC) sesuai yang dijabarkan tabel 2.2 (Rubin et al., 2012). Penelitian ini mengacu pada sistem klasifikasi WHO dan AJCC.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler 2.pdfBerdasarkan WHO, tumor primer...

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler

Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan neoplasma ganas sel epitel folikel tiroid

yang membentuk pola pertumbuhan papiler atau disertai dengan pola folikuler dan

utamanya ditandai oleh karakteristik inti khas KTP. Gambaran inti yang khas KTP

meliputi ukuran inti membesar, berbentuk oval, mengalami elongasi, saling tumpang

tindih dengan gambaran clearing atau ground glass appearance atau dengan kontur

inti yang ireguler mencakup adanya groove dan inklusi sitoplasma intranuklear. KTP

tergolong tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (De Lellis et al., 2004).

2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid

Berdasarkan WHO, tumor primer tiroid diklasifikasikan menjadi epitelial dan

nonepitelial, jinak atau ganas, dengan kategori yang terpisah untuk limfoma dan

keganasan lainnya (tabel 2.1) (De Lellis et al., 2004). Klasifikasi karsinoma tiroid

berdasarkan garis besar diferensiasinya dijabarkan menurut American Joint

Commission on Cancer (AJCC) sesuai yang dijabarkan tabel 2.2 (Rubin et al., 2012).

Penelitian ini mengacu pada sistem klasifikasi WHO dan AJCC.

2

Tabel 2.1

Klasifikasi histologik tumor tiroid berdasarkan WHO (Rubin et al., 2012)

I. Tumor epitelial

A. Jinak

1. Adenoma Folikuler

2. Lainnya

B. Ganas

1. Karsinoma Folikuler

2. Karsinoma Papiler

3. Karsinoma Meduler*

4. Karsinoma Undifferentiated (anaplastik)

5. Lainnya

II. Tumor Non-epitelial

A. Jinak

B. Ganas

III. Limfoma maligna

IV. Lainnya

V. Tumor sekunder

VI. Tumor yang tidak dapat diklasifikasikan

VII. Lesi yang menyerupai tumor

*Karsinoma sel non epitelial folikel

3

Tabel 2.2

Tipe Histopatologis Karsinoma Sel Folikel Tiroid (Rubin et al., 2012)

A. Karsinoma papiler (mencakup KTPVF)

B. Karsinoma folikuler (mencakup karsinoma sel hurtle)

C. Karsinoma poorly differentiated

D. Karsinoma undifferentiated (anaplastic)

2.3 Epidemiologi

Karsinoma tiroid merupakan keganasan tersering dari organ endokrin. Karsinoma ini

merupakan 3% dari insiden terbaru seluruh kanker yang terdiagnosis di Amerika

Serikat dan 1,7% dari insiden terbaru seluruh kasus kanker di dunia. Insiden dan

prevalen karsinoma tiroid mengalami peningkatan yang tetap selama tiga dekade

terakhir, terutama sejak pertengahan tahun 1990-an di berbagai negara di dunia. Saat

ini insiden karsinoma tiroid diperkirakan antara 5 hingga 8 kasus per 105 penduduk

per tahun di negara-negara berkembang (Frasca et al., 2008). Data lain menyebutkan

telah ditemukan lebih dari 213.000 kasus baru karsinoma tiroid di seluruh dunia pada

tahun 2008, dengan angka insiden kasar 3,1/100.000 (Cossu et al., 2013). Temuan

kasus baru meningkat lagi pada tahun 2010 berdasarkan penelitian terbaru yang

didukung oleh WHO yaitu ditemukan sekitar 44.670 kasus baru (De Matos et al.,

2012). Berdasarkan data SEER (Surveillance, Epidemiology, and End Results) di

Amerika Serikat, insiden karsinoma tiroid meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1973,

4

dengan kecepatan pertumbuhan 2,4% per tahun antara tahun 1980 hingga 1997 dan

6,5% per tahun sejak tahun 1997 serta saat ini menduduki lima besar karsinoma yang

mengalami peningkatan insiden tercepat, baik pada pria maupun wanita. Insiden

karsinoma tiroid di seluruh dunia bervariasi pada masing-masing daerah geografis

dan secara keseluruhan lebih tinggi pada negara ekonomi berkembang (Nikiforov,

2009).

Peningkatan insiden karsinoma tiroid terutama terjadi pada KTP, sedangkan tipe

lain seperti folikuler, meduler, maupun anaplastik tidak menunjukkan perubahan

yang signifikan. KTP berjumlah sekitar 83% dari keseluruhan keganasan tiroid dan

80% dari keseluruhan tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (Nikiforov, 2009;

Meng et al., 2012; Zidan et al., 2003). Peningkatan insiden KTP mencakup KTP

klasik dan KTPVF, baik pada tumor yang berukuran <1 cm maupun >1 cm atau

bahkan >4 cm hingga 5 cm. Peningkatan temuan insiden KTP kemungkinan terkait

dengan semakin maraknya metode deteksi dini melalui pemeriksaan ultrasonografi

maupun biopsi jarum halus (FNA/ fine needle aspiration). Alasan lainnya yaitu

karena telah dikenalnya perubahan inti yang khas menjadi kriteria morfologi KTP

(Nikiforov, 2009; Kondo et al,. 2006).

Di Indonesia tidak ditemukan data khusus tentang insiden KTP, data yang

dilaporkan adalah keseluruhan kasus kanker tiroid. Menurut Registrasi Perhimpunan

Dokter Spesialis Patologi Indonesia, dari tahun 2008-2010 kanker tiroid menempati

urutan ke 5 dari 10 kanker terbanyak dan urutan ke 4 dari 10 kanker terbanyak pada

5

perempuan. Di Denpasar pada rentang tahun yang sama kanker tiroid menduduki

urutan ke 3 dari 10 kanker terbanyak dengan prevalensi secara berurutan yaitu

155/2000 kasus, 84/865 kasus, 118/1124 kasus. Diantara keseluruhan kasus tersebut,

diperkirakan sekitar 80% merupakan kasus KTP, dengan varian klasik (KTP Klasik)

sebagai subtipe KTP terbanyak (80%) dan diikuti oleh KTPVF sebagai subtipe kedua

terbanyak (9-22,5% kasus KTP) (Ditjen Yan Med, 2008-2010; Gupta et al., 2012).

0

2

4

6

8

10

2008 2009 2010

Denpasar

Gambar 2.1

Grafik prevalensi kasus karsinoma tiroid di Denpasar tahun 2008-2010

berdasarkan data registrasi kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi

Anatomi Indonesia (Ditjen Yan Med, 2008-2010).

Hingga saat ini epidemiologi KTP masih sangat menarik untuk ditelusuri.

Penelitian berbagai negara di dunia telah membandingkan insiden tumor ini pada

populasi yang tinggal di area dataran tinggi (pegunungan) dengan populasi yang

tinggal di sekitar pantai membuktikan bahwa konsentrasi asupan iodium

mempengaruhi insiden KTP bahkan pada beberapa kasus berkaitan dengan morfologi

Prev

alen

si kasu

s

Tahun

6

KTP (LiVolsi., 2011). Dilaporkan bahwa insiden KTP lebih sering pada daerah

dengan asupan iodium yang cukup, sedangkan insiden KTF berkaitan dengan

defisiensi iodium (Knobel et al., 2007).

Kasus goiter baik endemik maupun non endemik (sporadik) diyakini merupakan

prekursor perkembangan kanker tiroid. Prevalensi goiter di seluruh dunia pada

populasi umum sekitar 4-7%, dan insiden keganasan terjadi pada 10% kasus tiroid

goiter. Dilaporkan bahwa insiden karsinoma tiroid tercatat meningkat pada daerah

goiter endemik seperti Kolumbia dan Austria serta daerah non endemik seperti

Jerman. Peningkatan insiden karsinoma tiroid terkait goiter juga menjadi

permasalahan di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. WHO mencatat sekitar

655 juta jiwa di dunia mengalami goiter dan 27% diantaranya berada di Asia

Tenggara (Htwe, 2012). Adapun perbandingan hasil studi epidemiologi karsinoma

tiroid terkait goiter di beberapa Negara Asia Tenggara sesuai tabel 2.3.

Di RSUP Sanglah Denpasar sekitar 70% kasus KTP berasal dari nodul goiter

baik nodul soliter tunggal maupun multipel. Pada kasus tersebut umumnya secara

mikroskopis akan ditemukan adanya latar belakang gambaran goiter di sekitar area

neoplastik. Hal ini menunjukkan bahwa kasus KTP di RSUP Sanglah Denpasar juga

berkaitan dengan kasus goiter.

7

Tabel 2.3

Tabel temuan beberapa studi di Malaysia dan Myanmar tentang hubungan antara

karsinoma tiroid dan goiter (Htwe, 2012)

Studi; tahun

Sarawak;

2000–2004

Kelantan;

1994–2004

Perak;

2004–2007

Myanmar;

1996–1998

Kesimpulan dan diskusi

•Insiden secara signifikan lebih tinggi

pada pria (p=0,01)

•Prevalensi tertinggi pada rentang usia

21-40 tahun

•Tipe histologis tersering: KTP

•28,1% dari 1.480 lesi tiroid merupakan

lesi neoplastik

•Tersering adalah KTP (76,6%)

•Mayoritas kasus (59.9%) terjadi dengan

latar belakang hiperplasia noduler

•Studi menunjukkan karsinoma tiroid

yang berkembang dari MNT terbanyak

pada area defisiensi iodium

•Bukan merupakan area endemik ,

sampel sedikit tetapi Karsinoma tiroid

lebih tinggi dari daerah lain (11%) dan

KTP (57,5%)

•Rentang usia 21-60 tahun, tertinggi pada

ras malay, diikuti india kemudian china.

•Kejadian karsinoma tiroid diantara

keseluuhan kasus lebih tinggi secara

signifikan; p< 0,0001

•Frekuensi secara signifikan lebih tinggi

pada pasien usia 21-60 tahun; p < 0,008

•KTP dan adenoma folikuler secara

signifikan lebih tinggi dari tipe lainnya; p

= 0,003

•Peningkatan insiden tiap tahun;p > 0.034

8

Studi epidemiologis lain telah melaporkan kaitan KTP dengan radiasi. Pada

pertengahan abad yang lalu, karsinoma tiroid seringkali terdiagnosis pada individu

yang sebelumnya pernah menjalani terapi radiasi dosis rendah pada bagian kepala

leher untuk penyakit jinak seperti hemangioma, limfangioma, pembesaran kelenjar

tymus, pembesaran tonsil dan adenoid. Laporan selanjutnya menyebutkan KTP

dijumpai pada korban serangan bom atom di Jepang pada akhir perang dunia II

(LiVolsi., 2011). Terakhir diketahui terjadi peningkatan tajam KTP pada anak-anak

usia di bawah 15 tahun akibat bencana Chernobyl di Belarusia pada bulan april 1986

yang dikenal sebagai epidemik KTP (LiVolsi., 2011; De Lellis et al., 2004).

Tabel 2.4

Prevalensi kasus karsinoma tiroid selama 3 tahun (2008-2010) di Indonesia

berdasarkan kelompok usia

Kelompok Prevalensi (%)

Usia 2008 2009 2010

<15 1,34 1,17 1,45

15-24 10,96 8,73 7,79

25-34 20,96 18,18 18,55

35-44 22,11 23,22 23,61

45-54 20,86 23,85 24,73

55-64 12,40 13,50 12,69

65-74 7,59 6,12 8,51

≥75 1,53 2,07 1,12

Berdasarkan kelompok usia, KTP bermanifestasi pada usia dewasa antara 20-50

tahun (median usia 43 tahun) dengan rasio perbandinganan antara perempuan dan

laki-laki yaitu 4:1. Jika terjadi diatas usia 50 tahun, dominasi perempuan berkurang.

Sedangkan median usia untuk kasus KTPVF sama dengan KTP pada umumnya yaitu

9

44 tahun dengan rasio perbandingan perempuan terhadap laki-laki yaitu 6:1 (De

Lellis et al., 2004; Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Sesuai tabel 2.4 di

Indonesia, selama tahun 2008-2010 lebih dari 75% kasus karsinoma tiroid terjadi

pada rentang usia 25-64 tahun, median usia yaitu 49 tahun, dengan rasio

perbandingan antara kelompok perempuan terhadap laki-laki yaitu 4:1.

Tingkat mortalitas akibat karsinoma tiroid masih rendah, namun kejadiannya

telah mengalami peningkatan sejak tahun 1992 dengan kecepatan 0,6% per tahun.

Pada tahun 2010, data terbaru WHO menyebutkan insiden mortalitas karsinoma tiroid

sebanyak 3,78%. Sedangkan untuk karsinoma berdiferensiasi baik seperti KTP, angka

harapan hidup tergolong tinggi yaitu sekitar 82-86% dan sebanding antara KTP klasik

maupun KTPVF (De Matos et al., 2012)

2.4 Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor risiko terkait karsinoma tiroid terutama KTP, diantaranya

goiter, paparan radiasi, tiroiditis limfositik, faktor hormonal dan faktor herediter

(genetik). Goiter merupakan proliferasi kelenjar tiroid yang dapat terkait kondisi

eutiroid, hipo- maupun hipertiroid akibat penyakit primer pada tiroid maupun

rangsangan sekunder oleh faktor hormonal maupun faktor lain (Kondo et al., 2006).

Di Indonesia, beberapa wilayah masih tercatat sebagai daerah endemis goiter akibat

rendahnya asupan iodium. Adapula kasus goiter dengan etiologi yang belum jelas

diketahui, dikenal sebagai goiter sporadik diyakini berkaitan dengan faktor biologis

10

intrinsik (prevalensi goiter lima hingga sepuluh kali lipat lebih sering terjadi pada

wanita daripada laki-laki), goitrogen alami, merokok, defisiensi zinc atau selenium

dan stress emosional (Fuhrer et al., 2012).

Goiter dapat menimbulkan hiperplasia yang bersifat difusa maupun noduler

(nodul tunggal dan multipel) dan dipercaya mempengaruhi peningkatan insiden KTP.

Analisis klonal telah dimanfaatkan dalam membedakan hiperplasia dengan neoplasia,

dimana hiperplasia digolongkan sebagai proliferasi yang bersifat poliklonal

sedangkan neoplasia merupakan proliferasi monoklonal dari sel yang mengalami

transformasi genetik. Pada tiroid, ditemukan perubahan pola monoklonal pada

kelompok nodul yang sebelumnya merupakan nodul hiperplastik (Kondo et al.,

2006). Mekanisme bagaimana perubahan poliklonal menjadi monoklonal ini

merupakan interaksi antara faktor risiko goiter dan adanya predisposisi genetik yang

selanjutnya menciptakan lingkungan mutagenik yang ditandai oleh peningkatan

proliferasi sel disertai pembentukan radikal bebas yang memicu adanya mutasi

somatik tirosit. Klonal tumor terbentuk jika defek genetik tidak dapat diperbaiki.

Pada kondisi ini, mutasi merupakan pencetus proliferasi sel (Fuhrer et al., 2012).

Goiter meningkatkan risiko karsinoma tiroid sebanyak dua setengah kali lipat (Cossu

et al., 2013)

Ditemukan bahwa insiden KTF lebih tinggi terjadi pada area goiter endemik yang

berkaitan dengan rendahnya asupan iodium. Sedangkan insiden KTP lebih sering

berkaitan dengan goiter sporadik pada area dengan asupan iodium yang cukup.

11

Sebuah penelitian eksperimental pada hewan coba yang sebelumnya dengan asupan

iodium rendah kemudian diberikan suplementasi iodium didapatkan terjadinya

perubahan morfologi folikuler menjadi papiler. Hal ini menunjukkan peranan kadar

iodium lebih penting dalam memodulasi morfologi tumor daripada inisiator pada

karsinogenesis tiroid. Jika propilaksis iodium diberikan, maka terjadi penurunan rata-

rata TSH (Thyroid Stimulating Hormone) serum dan peningkatan perbandingan rasio

struktur papiler : folikuler (Kondo et al., 2006). Selain itu peningkatan iodium juga

berkaitan dengan frekuensi mutasi BRAFV600E dengan mekanisme yang belum

diketahui dan baru dibuktikan melalui beberapa studi epidemiologi (Pellegriti et al.,

2013)

Gambar 2.2

Mekanisme nodul goiter sebagai faktor risiko KTP (Fuhrer et al., 2012)

Radiasi meningkatkan risiko karsinoma tiroid hingga enam kali lipat (DeLellis et

al., 2004) Paparan radiasi menyebabkan terjadinya tata ulang kromosom yang

menghidupkan aktivitas gen secara berlebih, memicu instabilitas genomik melalui

mekanisme langsung maupun tak langsung, menyebabkan perubahan awal genetik

12

yang melibatkan jalur sinyal mitogen activated protein kinase (MAPK). Aktivasi

onkogenik sinyal MAPK selanjutnya meningkatkan instabilitas genomik, memicu

perubahan lanjut genetik yang melibatkan jalur sinyal lainnya, regulator siklus sel dan

berbagai molekul adesi. Instabilitas genomik dan perubahan genetik secara bersama-

sama memicu progresi karsinoma tiroid (Kondo et al., 2006)

Gambar 2.3

Mekanisme beberapa faktor risiko seperti radiasi dalam memicu karsinoma tiroid

(Kondo et al., 2006)

Infiltrat limfosit seringkali dijumpai pada KTP, mengindikasikan faktor

imunologis yang terlibat dalam progresi KTP. Limfositik tiroiditis seperti pada

tiroiditis Hashimoto maupun autoimun memicu KTP tidak hanya melalui peningkatan

level TSH tetapi juga dengan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi dan tekanan

oksidatif yang meningkatkan tumorigenesis tiroid (Kondo et al., 2006). Risiko

13

terjadinya KTP akibat pengaruh imunologis sekitar satu sepertiga kali lipat

dibandingkan populasi normal (Baloch et al., 2010).

Terjadinya kasus KTP yang dua hingga empat kali lebih sering pada wanita

menunjukkan bahwa hormon pada wanita mengatur karsinogenesis tiroid. Beberapa

penelitian melaporkan bahwa reseptor estrogen diekspresikan oleh sel-sel epitel

folikel, sehingga pada pasien pemakai kontrasepsi oral maupun yang menjalani terapi

estrogen rentan mengalami karsinoma tiroid karena estrogen dapat memicu

proliferasi sel epitel folikel. Faktor lain seperti pada kehamilan terjadi peningkatan

hormon tiroid serum dan estrogen yang mendukung peranan estrogen dalam

karsinogenesis tiroid. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa estrogen dapat

meningkatkan ekspresi reseptor estrogen α (ERα) pada sel KTP non anaplastik,

meningkatkan proliferasi sel dan menghambat ekspresi protein pro-apoptosis. Sinyal

estrogen berkaitan dengan KTP yang tidak agresif, dengan diferensiasi dan prognosis

yang baik. Hal ini terjadi karena pada mayoritas KTP, efek proliferasi ERα akan

dihambat oleh ekspresi dominan reseptor estrogen β (ERβ) (Kondo et al., 2006;

Kavanagh et al., 2010)

Risiko karsinoma tiroid meningkat hingga enam kali lipat jika orang tua atau

saudara mengalami karsinoma tiroid, hal ini menunjukkan adanya peranan faktor

herediter. Bentuk idiopatik familial non-medullary thyroid carcinoma ditemukan

pada 3,5-6,2% kasus karsinoma tiroid. Karsinoma tiroid familial berkaitan dengan

beberapa sindrom tumor seperti gen adenomatous polyposis coli (APC), Cowden

14

disease (terkait mutasi gen PTEN/ Phosphatase with tensin homology gene), sindrom

Werner (terkait mutasi gen WRN) serta karsinoma sel renal papiler (terjadi

kerentanan pada lokus 1q21) dan goiter multinoduler familial (kerentanan pada lokus

19p13.2) (Kondo et al., 2006)

2.5 Patogenesis Karsinoma Tiroid Papiler Klasik dan Varian Folikuler

Karsinoma tiroid terjadi akibat akumulasi dari sejumlah perubahan di tingkat

genomik (mutasi) yang dikenal sebagai instabilitas genomik. Berbeda dengan KTF,

pada KTP kromosom masih diploid atau mendekati diploid dengan frekuensi Loss of

Heterozygosity (LOH) yang lebih jarang. Perbedaan pola instabilitas kromosom ini

menunjukkan bahwa kedua tipe karsinoma tiroid ini melalui jalur molekuler yang

berbeda. Selanjutnya, instabilitas genomik memicu progresi neoplasma tiroid melalui

peningkatan aktivasi onkogenik hingga terhindar dari apoptosis. Serupa dengan

karsinoma di berbagai organ, proses karsinogenesis pada tiroid terjadi melalui

berbagai tahapan (multi-step) sehingga menimbulkan berbagai perubahan yang dapat

diamati secara histologik (Viglietto et al., 2012).

15

Gambar 2.4

Kaskade karsinogenesis neoplasma tiroid (Viglietto et al., 2012).

Terdapat tiga jalur utama perubahan biologi molekuler pada tumor-tumor yang

berasal dari sel epitel folikel tiroid yaitu TSH/cAMP, MAP kinase (MAPK) dan

P13K/AKT. Jalur mitogenik dan diferensiasi TSH/cAMP terlibat pada

hipertiroidisme sedangkan jalur mitogenik MAPK terlibat dalam perkembangan

karsinoma tiroid dan jalur P13K/AKT mempengaruhi perkembangan karsinoma yang

masih berdiferensiasi maupun yang berdiferensiasi buruk. Mutasi reseptor TSH

(TSHR) maupun Guanine nucleotide-binding α subunit 1 (GNAS1) memicu

proliferasi sel pada nodul hiperfungsi tiroid maupun adenoma melalui aktivasi GSα-

adnylyl cyclase-cAMP. Mutasi TSHR dan GNAS1 jarang ditemukan pada keganasan

16

tiroid, meskipun beberapa laporan kasus pernah menunjukkan adanya mutasi GNAS1

pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik (Kondo et al., 2006).

Gambar 2.5

Jalur sinyal sel pada neoplasia sel folikuler (Kondo et al., 2006).

Secara umum, karsinogenesis KTP terjadi melalui jalur kaskade RAS-BRAF-

MAPK. Tata ulang RET dan TRK merupakan karakteristik KTP yang berkaitan

dengan pecahnya rangkaian DNA. Sedangkan penelitian lain menemukan rendahnya

tata ulang kedua gen ini pada KTP dengan mutasi BRAF. Sehingga diketahui adanya

dua mekanisme utama pada KTP dalam aktivasi kaskade ini yaitu tata ulang RET

atau NTRK1 (Neurotrophic tyrosine kinase receptor1) dan aktivasi point mutation

pada BRAF, hanya diperlukan salah satu dari kedua mekanisme ini. Tata ulang RET

17

atau NTRK selanjutnya menyandi reseptor tirosin kinase (TRK) transmembran

(Chien et al, 2012). Sedangkan aktivasi point mutation pada BRAF, akan menjadi

komponen signaling intermediet dari jalur MAPK, hal ini terjadi terutama pada tumor

yang bersifat sporadik (Chien et al, 2012; Fuhrer et al., 2006; Viglietto et al., 2012)

Tata ulang gen RET/PTC diketahui sebagai alterasi genetik spesifik pertama pada

karsinogenesis tiroid. Gen RET mengkode reseptor tirosin kinase dari glial cell-

derived nervous growth factor dan secara endogen terekspresi pada sel

neuroendokrin. Terjadi ekspresi yang salah dari potongan gen RET pada melalui fusi

promotor pada regio N-terminal dari gen terkait (disebut PTC-1,2 dan seterusnya) dan

regio C-terminal fungsional dari gen RET (mengandung tirosin kinase). Hasilnya

adalah aktivasi RAS-RAF-MAPK signaling. Saat ini teridentifikasi lebih dari 8

protein chimera RET/PTC pada karsinoma tiroid, dimana RET/PTC-1

(inv(10)(q11.2;q21) dan RET/PTC-3 atau ELE1-RET (inv(10)(q11.2;q10) terhitung

kira-kira 80% dan merupakan fusi gen yang tersering (Chien et al, 2012). Keduanya

melibatkan inversi pada lengan panjang kromosom 10, menghasilkan perpaduan

antara RET dengan gen Histone H4 (histone protein nucleosome) pada RET/PTC-1

atau RET dengan nuclear receptor coactivator 4 (NCOA4) pada RET/PTC-3 (Chien

et al., 2012; Santoro et al., 2006).

Tata ulang gen RET/PTC spesifik untuk tumor yang memiliki arsitektur klasik

dan mikrokarsinoma dan prevalennya ditemukan lebih tinggi (30% sampai 65%) pada

keganasan yang disebabkan oleh radiasi (Chernobyl-tumor) dan lebih jarang (5%

18

sampai 15%) pada kanker yang sporadis. KTP varian klasik berkaitan dengan

RET/PTC1 (Chien et al., 2012).

Gambar 2.6

Tata ulang gen RET/PTC. A.Skema tampilan mekanisme molekuler terbentuknya

onkogen PTC. B.Perbandingan antara protoonkogen RET dan onkogen RET/PTC

(Viglietto et al., 2012)

Tata ulang gen lainnya pada KTP adalah inversi kromosom 7q menghasilkan fusi

antara BRAF dan AKAP 9 (A-kinase anchor protein 9 gene). Fusi protein ini

meningkatkan aktivitas kinase. Sepertiga sampai setengah dari kasus KTP ditemukan

gain-of-function mutation pada gen BRAF (Chien et al, 2012; Constantine et al,

2007). BRAF berlokasi pada kromosom 7q32, dan terjadi transversi thymine ke

adenine yang menyebabkan perubahan valine menjadi glutamate pada kodon 600

(BRAF V600E) (Constantine et al., 2007; Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada BRAF

V600E dapat menyebabkan aktivasi RAF kinase dan secara in vitro dapat

menyebabkan transformasi sel dengan efikasi yang lebih tinggi daripada wild-type

A B

19

BRAF. Mutasi BRAF V600E dilaporkan sebagai defek molekular yang sering terjadi

pada KTP yang sporadis (berkisar antara 36% sampai 69%) dan pada KTP klasik

(antara 29-69%). Sementara tata ulang gen AKAP9/BRAF (inv(7)(q21-22q34) terjadi

pada radiation-induced karsinoma tiroid. Mutasi BRAF berkaitan dengan tumor yang

lebih agresif, sehingga memiliki prognosis yang buruk (Chien et al., 2012).

Seperti halnya yang sering dijumpai pada KTF, 13% KTPVF mengalami

translokasi kromosom t(2;3)(q13;p25) yang menggabungkan faktor transkripsi

khusus tiroid PAX8 ke PPARɤ, reseptor hormon inti yang secara normal terlibat

dalam diferensiasi sel berbagai jaringan. Selanjutnya ditemukan bahwa terdapat

hubungan antara adanya translokasi PAX8-PPARɤ dengan KTPVF yang multifokal

dan dengan invasi vaskuler. Sehingga tata ulangnya ini kemungkinan berperan

memicu proses metastasis (Chien et al., 2012; Salajegheh et al., 2008).

Translokasi PAX8-PPARɤ juga disertai mutasi BRAF non konvensional (K601E)

yang menimbulkan penggantian lisin oleh glutamat pada kodon 601 (BRAF K601E),

akibatnya terjadi peningkatan aktivitas kinase seperti yang terjadi pada mutasi BRAF

V600E pada KTP klasik. Namun aktivitas kinase BRAF V600E 2,5 kali lebih besar

daripada aktivitas kinase oleh BRAF K601E. Penelitian Trovisco dkk meyakinkan

bahwa mutasi BRAF K601E spesifik untuk KTPVF (Chien et al., 2012; Salajegheh et

al., 2008).

Berikutnya juga dilaporkan bahwa pola mutasi Ras pada KTF serupa dengan yang

terjadi pada sekitar 21% KTP terutama KTPVF. Hal ini menunjukkan kemungkinan

20

korelasi yang sangat kuat antara mutasi Ras dengan diferensiasi folikuler pada

karsinogenesis tiroid. Terdapat tiga protoonkogen Ras, diantaranya HRAS (pada

kromosom 11p11), KRAS (pada kromosom 12p12), dan NRAS (pada kromosom

1p13) merupakan kelompok famili besar protein yang berikatan dengan guanosin

triposfat (GTP) (Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada karsinoma tiroid ini melibatkan

kodon 61 dari HRAS dan NRAS. Diketahui bahwa insiden mutasi Ras lebih jarang

dijumpai pada karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik dibandingkan dengan yang

berdiferensiasi buruk maupun yang anaplastik. Hal ini membuktikan bahwa mutasi

Ras berhubungan dengan progresi tumor (Kondo et al., 2006).

Selain keseluruhan proses intraseluler tersebut, progresi KTP berkaitan dengan

berbagai proses ekstraseluler seperti interaksi antar sel maupun interaksi sel dengan

ECM yang pada akhirnya juga mempengaruhi kondisi intraseluler (gambar 2.7).

Fibroblast growth factor (FGF) dan reseptornya (FGFR) merupakan regulator

penting dalam proses tomorigenesis maupun angiogenesis pada KTP. Pada berbagai

karsinoma tiroid akan terekspresi FGFR1, FGFR3 maupun FGFR4, sedangkan

FGFR2 hanya terekspresi pada tiroid normal dewasa. FGFR4 akan terekspresi pada

fenotip yang agresif mempengaruhi proliferasi, migrasi maupun diferensiasi sel.

Selain itu reseptor tirosin kinase MET yang merupakan reseptor untuk hepatocyte

growth factor (HGF) diketahui terekspresi kuat pada KTP (77-93%) dan berkaitan

dengan motilitas, kemampuan invasif dan memicu angiogenesis (Kondo et al., 2006).

21

Gambar 2.7

Interaksi antar sel dengan sel dan sel dengan ECM pada karsinoma tiroid (Kondo

et al., 2006).

Ligan Vascular endothelial growth factor (VEGF) seperti VEGFA, VEGFB,

VEGFC dan VEGFD berikatan dengan reseptornya dan memicu proliferasi sel

endotel dan limfatik. Ditemukan bahwa overekspresi VEGFC dan VEGFD pada KTP

berkaitan dengan densitas metastasis limfatik maupun KGB. Keseluruhan interaksi

ini juga dapat meningkatkan regulasi fibronektin pada KTP yang tidak invasif.

Fibronektin merupakan protein matriks ekstraseluler yang mengatur adesi, migrasi,

invasi tumor dan metastasis. Molekul adesi ini secara umum menghubungkan sel ke

kolagen atau substrat proteoglikan ECM lainnya. Pada kasus KTP yang invasif terjadi

penurunan ekspresi fibronektin dan kemampuan adesinya didegradasi oleh MMP

(Kondo et al., 2006).

22

2.6 Gejala klinis dan Makroskopis

Secara umum, KTP tampak sebagai massa tiroid atau cold nodule pada scan

radioaktif iodium atau seperti limfadenopati regio servikal. Pada area dengan

defisiensi iodium, KTP dapat berkembang dan tampak sebagai nodul yang berbeda

diantara goiter multinoduler. Sedangkan pada populasi dengan asupan iodium yang

cukup, KTP tampak sebagai nodul soliter yang teraba diantara kelenjar tiroid normal.

KTP seringkali ditemukan secara insidental pada nodul tiroid yang tidak teraba,

misalnya pada kasus trauma atau penyakit lainnya saat pemeriksaan imaging seperti

USG (Ultrasonografi). Nodul preklinis yang berupa fokus kecil atau fokus

mikroskopik KTP juga kadang ditemukan pada saat otopsi. Pentingnya arti klinis

karsinoma papiler yang tidak teraba tidak terlalu diperdebatkan sejak diketahui bahwa

karsinoma papiler dengan ukuran yang besar dan teraba pada pasien usia muda

memiliki harapan hidup 20 tahun sebanyak lebih dari 98% (De Lellis et al., 2004).

KTP klasik dapat menunjukkan berbagai pola makroskopis, lesi umumnya

berupa massa padat putih keabu-abuan dengan tepi yang ireguler atau kadang tampak

infiltrasi secara makroskopis ke parenkim tiroid sekitarnya. Beberapa kasus dapat

menunjukkan gambaran papil, perubahan kistik, kalsifikasi distrofik atau bahkan

pembentukan tulang. Ukuran tumor bervariasi, dari terkecil (<1 mm) hingga beberapa

sentimeter, ukuran rata-rata sekitar 2-3 cm. Tumor yang multisentrik juga sering

terjadi. Pada kasus lainnya tumor primer tampak solid meskipun metastasis ke KGB

menunjukkan gambaran kistik.

23

Gambar 2.8

Makroskopis karsinoma tiroid papiler. A. Irisan KTP klasik menunjukkan lesi dapat

bersifat multifokal, lesi terbesar berupa area kistik dengan tonjolan papiler di

dalamnya. (foto dari John Nicholls, MD, Hong Kong University) B. Lesi soliter dan

berkapsel pada KTPVF menyerupai adenoma folikuler (Baloch et al., 2011).

Karsinoma papiler juga dapat berkembang dari kista duktus tiroglosus dan dapat

menunjukkan perluasan langsung ke lemak peritiroid, otot skeletal, esofagus, larynx

dan trakea. Karsinoma papiler memiliki kemampuan menginvasi sistem limfatik

dalam kelenjar tiroid sehingga metastasis ke kelenjar getah bening sering terjadi.

Untuk KTPVF, secara makroskopis sering menyerupai adenoma folikuler

encapsulated yaitu berupa tumor cenderung soliter berbentuk bulat hingga ovoid,

dan berkapsel (De Lellis et al., 2004). Pada irisan akan tampak berwarna kuning

kecoklatan, mengkilat (glassy) karena kandungan koloid yang dimilikinya (Baloch et

al., 2010).

A B

24

2.7 Mikroskopis Karsinoma Papiler Tiroid Klasik dan Varian Folikuler

Terdapat berbagai varian/ subtipe KTP, diantaranya varian terbanyak yaitu varian

klasik yang didominasi pola pertumbuhan papiler dan varian terbanyak berikutnya

yaitu varian folikuler (KTPVF) yang didominasi dengan pola pertumbuhan folikuler.

Selain itu terdapat pula varian lain yang lebih agresif dilihat dari pola pertumbuhan,

tipe sel dan reaksi stroma seperti tall cell, columnar cell, diffuse sclerosing, clear cell

dan varian onkositik (Salajegheh et al., 2008). Secara umum, kriteria diagnosis KTP

awalnya didasarkan pada pola pertumbuhan papiler, namun saat ini sesuai ketetapan

WHO, hallmark diagnosis KTP didasarkan pada karakteristik inti (LiVolsi, 2011).

Gambaran histologi karakteristik inti KTP yaitu inti sel yang jernih, kosong, atau

Orphan Annie eye. Inti jernih ini berukuran lebih besar dengan bentuk yang lebih

ireguler dibandingkan inti sel folikel normal dan mengandung kromatin yang

hipodens. Gambaran inti yang jernih berkaitan dengan area tengah inti yang

eukromatin sedangkan area heterokromatin mayoritas terpusat di tepi inti. Anak inti

juga membenam di bagian tepi inti sehingga anak inti menjadi tidak terlihat. Inti pada

KTP ini tersusun saling tumpang tindih (overlapping) terkait dengan sitoplasma sel

epitelial folikel ganas yang terpusat di bagian apikal maupun basal sehingga inti sel

yang berdekatan tampak ramai dan saling tumpang tindih (LiVolsi, 2011). Sayangnya

gambaran inti yang jernih tidak hanya dijumpai pada KTP, tetapi juga dapat timbul

pada kasus tiroiditis autoimun khususnya tiroiditis hashimoto. Tetapi pada kasus non

neoplastik seperti tiroiditis, gambaran inti jernih bersifat fokal. Karakteristik inti

25

lainnya yaitu adanya nuclear groove yaitu gambaran inti yang terbelah seperti biji

kopi (LiVolsi, 2011; Gonzalez et al., 2011).

Pada KTP klasik, susunan sel didominasi oleh struktur papiler namun dapat

bervariasi dan bercampur dengan struktur folikuler (Gonzalez et al., 2011). Struktur

papiler umumnya kompleks dan bercabang, pada beberapa kasus papil bisa sangat

edematous. Struktur papiler ini dilapisi oleh epitel dengan polaritas yang terganggu

dan sitoplasma yang eosinofilik. Pola arsitektur lain seperti folikuler maupun solid

umumnya bersamaan dengan struktur papiler dan sangat jarang menemukan pola

petumbuhan papiler murni (Livolsi, 2011).

Papiler pada KTP harus dibedakan dengan struktur papiler yang terkadang

ditemukan pada goiter noduler atau adenoma folikuler dengan papil, dan dari lipatan

papiler pendek hiperplasia difus. Pada kondisi tersebut, inti sel epitelnya umumnya

bulat, terletak di basal dan yang terpenting tidak menunjukkan gambaran inti

karsinoma papiler atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang sangat sedikit (De

Lellis et al., 2004).

26

Gambar 2.9

Karakteristik inti KTP

A.Inti menggambarkan ground glass appearance (tanda panah). B.Karakeristik lain

inti KTP yaitu nuclear groove (tanda panah) (Livolsi, 2011; DeLellis et al., 2004)

Gambar 2.10

Mikroskopis KTP klasik

A. KTP dengan struktur papiler yang dominan. B. Fibrovascular core pada KTP

klasik (Gonzales et al., 2011)

A B

A B

27

Varian KTP lainnya yang sering yaitu KTPVF. Deskripsi histologik KTPVF

pertama kali diperkenalkan oleh Lindsay pada tahun 1960, diikuti oleh Chen dan

Rosai tahun 1977 dan Rosai et al tahun 1983. Sesuai dengan namanya, KTPFV

ditandai oleh gambaran inti KTP yang khas (inti jernih, groove dan pseudoinklusi)

disertai pola pertumbuhan folikuler. Pola pertumbuhan folikuler dapat dijumpai pada

KTP dengan beragam proporsi dan istilah KTPVF awalnya dipakai untuk karsinoma

invasif yang menunjukkan arsitektur histologis folikuler yang dominan. Ini berarti

bahwa KTPVF merupakan KTP dengan komponen folikuler yang dominan, dan

adanya proporsi minor dari komponen papiler masih dapat diterima. Namun

gambaran komponen papiler merupakan papiler abortif yaitu berupa tonjolan papiler

yang pendek tanpa tangkai (stalk) yang jelas, menyerupai komponen papiler pada

goiter hiperplastik (Koseoglu et al., 2006). Pada beberapa laporan, masih adanya

komponen papiler pada sekitar 20% atau bahkan 30% masih diterima sebagai KTPVF

(Kakudo et al., 2012).

28

Gambar 2.11

KTPVF yang encapsulated. KTP tersusun membentuk struktur folikuler pada

seluruh area tumor dengan inti menunjukkan karakteristik KTP (Gonzalez et al.,

2011).

KTPVF memiliki beberapa varian, diantaranya varian encapsulated,

nonencapsulated, dan difus (Gupta et al., 2012). KTPVF varian encapsulated

seringkali dikelirukan dengan adenoma folikular. Sehingga untuk menegaskan

diagnosis KTPFV pada kasus lesi tiroid berkapsel, LiVolsi and Baloch menetapkan

kriteria ditemukannya karakteristik sitologi KTP baik multifokal maupun difus pada

KTPFV yang berkapsel (Chen et al., 2012). Chan mengajukan kriteria yang lebih

ketat meliputi evaluasi gambaran mayor dan minor. Terdapat empat gambaran mayor,

antara lain: (1) inti oval hingga bulat, (2) inti yang tumpang tindih dengan polaritas

terganggu, (3) pola kromatin inti yang jernih atau pucat pada hampir seluruh lesi atau

gambaran groove yang jelas, dan (4) adanya psammoma bodies. Jika hanya ada satu

gambaran yang teridentifikasi, seluruh kriteria minor diperlukan untuk

29

menyimpulkan diagnosis. Kriteria minor tersebut mencakup: (1) adanya papil abortif,

(2) didominasi oleh folikel yang memanjang atau ireguler, (3) koloid berwarna gelap,

(4) adanya pseudoinklusi inti, dan (5) histiosit berinti banyak pada lumen folikel

(Chen et al., 2012). Selain itu, folikel neoplastik pada KTPVF umumnya dengan

bentuk yang ireguler dan ukuran yang lebih bervariasi daripada karsinoma maupun

adenoma folikuler (Baloch et al., 2011).

Gambaran psammoma bodies, kalsifikasi dan respon desmoplastik dapat

ditemukan pada KTPVF tapi cenderung lebih jarang jika dibandingkan dengan KTP

klasik. Psammoma bodies tampak sebagai “bayangan” papil yang telah mati

merupakan diferensiasi kalsifikasi distrofik terbentuk dari area infark fokal pada

ujung papil yang menarik kalsium. Infark yang terus menerus disertai deposit kalsium

menimbulkan lamelasi. Psammoma bodies biasanya tampak pada bagian sentral

tangkai, pada stroma tumor, atau pembuluh limfatik, namun tidak pernah berada di

dalam folikel neoplastik (koloid) (Livolsi 2011; De Lellis et al., 2004).

2.8 Sistem Stadium dan Pola Perluasan Karsinoma Tiroid Papiler

Klasifikasi stadium tumor tiroid sesuai sistem TNM yang didasarkan pada ukuran

tumor (T), penyebaran limfatik (N), dan metastasis jauh (M). Sistem TNM ini

disahkan oleh International Union Against Cancer (IUCC) dan American Joint

Commission on Cancer (AJCC). Berikut penjabaran klasifikasi sistem TNM

berdasarkan AJCC dalam menentukan stadium karsinoma tiroid (Rubin et al., 2012).

30

Tabel 2.5

Sistem TNM berdasarkan AJCC (Rubin et al., 2012)

Definisi TNM

Kelompok stadium

T1

Dimensi terbesar tumor ≤2

cm, terbatas pada tiroid

N0

Tanpa metastasis KGB

regional

Stadium I

T1 N0 M0

T2

Dimensi terbesar tumor >2cm tetapi ≤ 4 cm

N0

Tanpa metastasis KGB regional

Stadium II

T2N0M0

T3

Dimensi terbesar tumor >4

cm atau tumor dengan berbagai ukuran dengan

perluasan ekstratiroid

minimal (contoh: ke otot sternotiroid)

N1a

Metastasis ke level VI (KGB Pretrakea, paratrakea

dan Delphian/ Prelaringeal)

Stadium III

T3N0M0

T1N1aM0

T2N1aM0

T3N1aM0

T4a

Tumor berbagai ukuran melewati kapsel,

kejaringan subkutan, laring, trakea, esophagus

dan recurrent laryngeal

nerve.

N1b

Metastasis ke KGB

servikal unilateral, bilateral, kontralateral atau

superior mediastinum.

Stadium IVa

T4aN0M0

T4aN1aM0

T1N1bM0

T2N1bM0

T3N1bM0

T4N1bM0

T4b

Tumor menginvasi fascia

prevertebra atau menyelubungi arteri karotis

atau pembuluh darah

mediastinal

Stadium IVb

T4b berbagai N

M0

M1

Metastasis jauh

Stadum IVc Berbagai T

Berbagai N M1

31

Invasi kapsel maupun invasi intravasa merupakan faktor prediktif terjadinya

metastasis pada KTP. Selanjutnya adanya metastasis baik ke KGB maupun metastasis

jauh mempengaruhi tingginya angka kekambuhan dan mortalitas pada pasien KTP

(Gupta et al., 2012). Secara morfologi, KTPVF cenderung lebih sering berkapsel

dibandingkan KTP klasik sehingga gambaran invasi kapsel lebih sering dijumpai

pada kasus KTPVF, seperti halnya pada KTF maupun adenoma folikuler. Frekuensi

invasi kapsel pada KTPVF encapsulated lebih tinggi dibandingkan KTP klasik yaitu

65% berbanding 38% (Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Pada KTPVF

encapsulated, kaskade perluasan tumor diawali dengan invasi tumor melewati

kapselnya, baik tanpa atau disertai adanya invasi vasa intra kapsuler maupun ekstra

kapsuler. Seiring dengan peningkatan ukuran tumor dan kemampuan invasifnya,

akhirnya terjadi kaskade lanjutan berupa perluasan tumor ke jaringan ekstra tiroid.

Namun proses lanjutan ini jarang terjadi pada KTPVF encapsulated, perluasan ekstra

tiroid lebih sering dijumpai pada KTPVF nonencapsulated dalam frekuensi yang

sebanding dengan KTP klasik (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein

et al., 2009). Penentuan kriteria adanya invasi kapsel pada KTPVF sama seperti

penentuan invasi kapsel pada KTF (Ghossein et al., 2009).

32

Gambar 2.12

Gambaran Skematik Interpretasi Invasi Kapsel (Ghossein et al., 2009)

Gambar 2.12 menunjukkan bahwa follicular neoplasm (oranye) yang dikelilingi oleh

kapsel fibrous (hijau). A dan B menggambarkan bagian tumor belum melewati

kapsel, C. Tumor secara total melewati kapsel, D. Tumor diliputi oleh kapsel fibrous

tipis, namun sudah meluas melampaui garis imajiner yang ditarik melalui kontur luar

kapsel, E. Satellite tumor nodule dengan arsitektur dan sitomorfologi yang sama

dengan tumor utama berada di luar kapsel, F. Folikel terletak tegak lurus pada kapsel

memberi kesan adanya invasi, G. Folikel terletak sejajar pada kapsel, H. Tumor

menyerupai gambaran mushroom, secara total melewati kapsel, I. Tumor menyerupai

gambaran mushroom, namun belum melampaui kapsel, J. Folikel neoplastik pada

kapsel fibrous disertai adanya sel limfosit dan siderofag, berkaitan dengan ruptur

kapsel karena tusukan jarum saat pemeriksaan FNAB sebelumnya. Yang digolongkan

33

telah mengalami invasi kapsel adalah C, D, E dan H sedangkan A, B, F, G, I dan J

belum dinyatakan mengalami invasi kapsel (Ghossein et al., 2009).

KTPVF merupakan varian KTP yang unik karena pola invasinya beragam, selain

menembus kapsel dan menimbulkan perluasan ke jaringan ekstratiroid, KTPVF dapat

meluas melalui vaskuler sehingga menimbulkan metastasis ke organ jauh dan dapat

pula serupa dengan KTP klasik yang melalui jalur limfonodi dan akhirnya

bermatastasis di KGB. Hal ini berkaitan dengan latar belakang molekuler KTPVF

yang dapat mengikuti pola molekuler KTP klasik maupun KTF (Chen et al., 2012;

Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009).

Penentuan adanya invasi vaskuler pada KTPVF maupun KTP klasik berdasarkan

kriteria 1) adanya sel tumor pada ruang vaskuler, 2) adanya sel tumor yang menempel

di endotel vaskuler, 3) adanya sel tumor yang invasif melalui dinding pembuluh

darah dan endotel dan 4) adanya trombus yang menempel pada tumor intravaskuler

(Mete et al., 2011). Frekuensi invasi vaskuler pada KTPVF juga lebih tinggi daripada

KTP klasik yaitu 25% berbanding 5%. Pada berbagai penelitian, frekuensi terjadinya

metastasis jauh pada KTP berkisar antara 1,73-8,4% kasus yang umumnya terjadi

pada KTPVF. Dari hasil review 13 penelitian dilaporkan bahwa frekuensi metastasis

jauh tersering yaitu pada paru (49%), diikuti tulang (25%) dan pada tulang maupun

paru (5%). Sedangkan metastasis ke KGB dijumpai pada sekitar 35% keseluruhan

kasus KTP dan 70% diantaranya terjadi pada KTP klasik. Kecenderungan KTP klasik

untuk menimbulkan metastasis melalui KGB berkaitan juga dengan dasar biologi

34

molekulernya yaitu adanya perubahan genetik akibat mutasi BRAF dan tata ulang

RET/PTC (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009;

NCNN, 2012).

2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler

Penanganan pasien dengan KTP secara umum terdiri dari empat komponen utama

diantaranya ekstirpasi pembedahan yang adekuat, ablasi RAI (Radioactive Iodine)

tambahan pada kasus tertentu, supresi TSH, dan surveillance. Keseluruhan strategi

terapi tergantung pada temuan preoperatif dan intraoperatif sesuai klasifikasi TNM

serta evaluasi postoperatif yang berkaitan dengan perangai biologis tumor (Cooper et

al., 2006; NCCN, 2012). Penelitan sebelumnya menunjukkan perangai KTPVF

varian encapsulated berbeda dengan KTP klasik, terkait tingkat mutasi BRAF V600E

dan metastasis KGB yang lebih rendah. Berbeda dengan KTPVF non encapsulated

yang perangai biologisnya menyerupai KTP klasik, dengan tingkat mutasi BRAF

V600E dan metastasis KGB yang secara signifikan lebih tinggi. Namun penelitian

terbaru menemukan bahwa perangai kedua varian KTPVF ini tidak menunjukkan

perbedaan yang bermakna, sehingga penentuan agresivitas kasus KTPVF dari

berbagai aspek sangat penting untuk ketegasan penentuan terapi karena kasus yang

agresif memerlukan tiroidektomi total, radical neck dissection (RND) dan ablasi RAI

(Constantine et al., 2007; Chang et al., 2006; Xing et al., 2005)

35

Pilihan terapi untuk reseksi tumor primer tiroid sering diperdebatkan, apakah

harus memilih lobektomi atau tiroidektomi total atau near-total (mendekati total).

Hingga saat ini masih diperdebatkan luas tiroidektomi yang harus dilakukan,

terutama untuk KTP yang berukuran kecil, intratiroid, berisiko rendah dan

berdiferensiasi baik. Beberapa memaparkan bahwa terapi lobektomi tidak

memberikan keuntungan harapan hidup dibandingkan tiroidektomi yang lebih luas

namun bisa mengurangi risiko terjadinya komplikasi cedera RLN (Recurrent

Laryngeal Nerve) dan hipoparatiroidisme permanen (Cooper et al., 2006; Bilimoria et

al., 2007)

Pendapat yang mendukung tiroidektomi total meliputi laporan bahwa tiroidektomi

yang lebih luas mengurangi risiko kekambuhan dan memberikan keuntungan untuk

harapan hidup dibandingkan lobektomi. Demikian pula di tangan ahli bedah endokrin

yang berpengalaman, tingkat komplikasi antara tiroidektomi total sebanding dengan

lobektomi. KTP bersifat multifokal pada 80% kasus dan bilateral pada 60% kasus,

dan pilihan untuk menghilangkan seluruh kelenjar tiroid memfasilitasi kegunaan RAI

postoperatif untuk menangani sisa tumor yang tampak secara mikroskopik atau lesi

metastatik, serta mendukung kegunaan tiroglobulin (Tg) postoperatif sebagai marker

sensitif dalam mengetahui kekambuhan. Pedoman konsensus menganjurkan

tiroidektomi total atau yang mendekati total sebagai pilihan terapi awal pada pasien

KTP dengan indikasi absolut meliputi riwayat paparan radiasi, kanker tiroid familial,

tumor ukuran lebih dari 4 cm, adanya perluasan ekstratiroid, adanya metastasis

36

limfonodi atau metastasis jauh, atau varian histologis KTP bersifat agresif (Toniato et

al., 2008; Haigh et al., 2005)

Metastasis KGB pada kasus KTP sering ditemukan, melalui tindakan diseksi

leher propilaktik didapatkan prevalensi 33-63% untuk metastasis KGB leher sentral

(pre-atau paratrakea/ level VI), dan prevalensi 57-64% untuk metastasis KGB leher

lateral (level II, III, dan IV) yang sebelumnya tidak terdeteksi melalui pemeriksaan

ultrasonografi preoperatif. Diseksi limfonodi yang berorientasi pada terapeutik

kompartemen diindikasikan bagi metastasis limfonodi servikal yang sudah diketahui.

Meskipun jumlah ini tinggi, namun arti pentingnya metastasis limfonodi masih belum

jelas karena beberapa studi menunjukkan bahwa metastasis limfonodi tidak

berpengaruh pada keseluruhan harapan hidup, terutama pada pasien yang berusia

dibawah 45 tahun (Shindo et al., 2006; Ito et al., 2006; Pereira et al., 2005)

Kegunaan limfadenektomi propilaktik dalam terapi kasus KTP masih kontroversi.

Kelompok pendukung RND berpendapat bahwa metastasis limfonodi regional sering

terjadi dan berkaitan dengan tingginya tingkat kekambuhan dan kematian. Sedangkan

kelompok yang menetang berpendapat bahwa metastasis limfonodi tidak berpengaruh

pada keseluruhan harapan hidup, dan prosedur ini justru meningkatkan risiko

komplikasi dengan dilaporkannya 2-7% kasus paralisis vocal cord sementara, 14-

60% hipoparatiroidisme sementara dan 2-5% hipoparatiroidisme permanen. American

Thyroid Association Guidelines (ATA) 2009 memberi rekomendasi untuk tindakan

elektif (propilaksis) diseksi kompartemen sentral leher pada pasien dengan tumor

37

primer bersifat lanjut (T3 atau T4) meskipun secara klinis tidak ditemukan

keterlibatan limfonodi sentral leher (Ito et al., 2012). Disisi lainnya, pedoman NCCN

(National Comprehensive Cancer Network) tidak menganjurkan tindakan diseksi

leher sentral rutin, kecuali jika pada pemeriksaan palpasi atau biopsi limfonodi positif

menunjukkan lesi metastasis (Ito et al., 2012; Pereira et al., 2005).

Komponen kedua pada strategi penanganan global pasien KTP adalah ablasi RAI

yang diberikan pada 4-12 minggu setelah tindakan pembedahan, bertujuan untuk

menghancurkan sisa jaringan tiroid setelah tiroidektomi dan menangani lesi

metastasis yang masih tersembunyi ataupun telah diketahui. Kontroversi tindakan

ablasi RAI timbul karena meskipun dapat mengurangi tingkat kekambuhan dan

mortalitas, beberapa studi justru menunjukkan tidak ada keuntungan, terutama bagi

pasien yang masuk dalam kelompok risiko rendah. Baik pedoman ATA maupun

NCCN menganjurkan ablasi RAI untuk seluruh pasien KTP kecuali pasien stadium 1

yang memiliki risiko kekambuhan sangat rendah (pasien dengan diferensiasi baik,

unifokal, tumor berukuran lebih kecil dari 1 cm, tanpa perluasan ekstratirod atau

invasi vaskuler, dan tanpa metastasis limfonodi maupun jauh (Sawka et al., 2004).

Komponen ketiga untuk strategi penanganan global kasus KTP adalah pemberian

hormon tiroid dosis suprafisiologis dalam bentuk levotiroksin (LT4) dengan harapan

dapat menekan TSH yang diketahui menjadi stimulator proliferasi sel tiroid.

Penelitian retrospektif maupun prospektif menunjukkan bahwa pasien dengan terapi

LT4 mengalami penurunan risiko efek samping klinis mayor terutama pada kelompok

38

pasien risiko tinggi. Pedoman ATA menganjurkan penekanan TSH dibawah 0.1

mIU/mL untuk kelompok risiko tinggi dan antara 0.1-0.5 mIU/mL untuk kelompok

risiko rendah (McGriff et al., 2004).

Komponen terakhir pada strategi penanganan global kasus KTP adalah surveilens.

Lonjakan terjadinya tumor dipantau secara periodik oleh klinisi yang berpengalaman.

Pengukuran TSH, Tg dan anti-TG serum, USG servikal dan scan RAI sensitif untuk

adanya lesi sisa atau kekambuhan (Cooper et al., 2006).

Terapi terbaru untuk pasien dengan KTP lanjut dan metastatik meliputi pemberian

agen rediferensiasi, dimana agen tersebut memiliki target pada jalur RAS, BRAF,

VEGF dan reseptornya, jalur reseptor EGF dan jalur angiogenik lain dengan agen

seperti thalidomide dan proteasome (Xing et al., 2005; Ito et al., 2007).

2.10 Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase (MMP)

MMP merupakan famili endopeptida yang tergantung pada zinc. MMP sering disebut

sebagai kelompok protease metzincin karena selalu menyediakan corak pengikat zinc

yang tersimpan ada bagian katalitik aktifnya. MMP pertama kali ditemukan oleh

Jerome Gross dan Charles Lapiere pada tahun 1962 ketika mengetahui adnya

aktivitas enzimatik selama metamorfosis ekor kecebong. Mereka menemukan bahwa

triple helix kolagen didegradasi jika ekor kecebong ditempatkan pada matriks

kolagen kecebong yang bermetamorfosis (Ansari et al., 2013; Loffek et al., 2011).

39

MMP dilepaskan sebagai proenzim yang tidak aktif, tetapi selanjutnya diaktifkan

oleh berbagai faktor yang dikendalikan oleh TIMP (tissue inhibitors of matrix

metalloproteinases). Kelompok/ famili TIMP dibentuk oleh empat enzim. Kondisi

patologis akan timbul jika terjadi ketidakseimbangan tingkat MMP dan TIMP.

Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan ekspresi MMP memicu

berbagai penyakit inflamasi, keganasan dan degeneratif. Disinilah pentingnya

aktivitas penghambat MMP dalam terapi (Ansari et al., 2013). Seperti yang tampak

pada gambar 2.13, MMP memiliki tiga domain utama, yaitu:

1) Pro-peptida yang berperan menjaga enzim dalam bentuk tidak aktif. Domain

ini mengandung “Cystein switch” yakni residu cystein unik dan selalu terjaga,

yang berinteraksi dengan zinc pada bagian aktif. Saat aktivasi enzim, bagian

ini akan dipecah secara proteolitik oleh furin secara intraseluler atau MMP

lainnya dan protease serin secara ekstraseluler.

2) Domain katalitik yang menjadi penanda struktural corak pengikat zinc. Ion

Zn2+, diikat oleh tiga residu histidin membentuk area aktif. Area aktif ini

berjalan secara horizontal melewati molekul sebagai celah dangkal dan

berikatan dengan substrat.

3) Bagian penghubung (hinge region) merupakan sebuah jembatan lentur atau

bagian penghubung yang terbuat dari 75 rantai asam amino berfungsi untuk

menghubungkan domain katalitik dengan domain terminal-C. Bagian ini

sangat penting untuk menjaga stabilitas enzim.

40

4) Domain terminal-C yang menyerupai hemopexin merupakan domain yang

rangkaiannya menyerupai protein serum hemopexin. Rantai polipeptida

domain ini tersusun dalam empat lembaran β yang simetris. Permukaan datar

yang disediakan oleh struktur ini dipercaya terlibat dalam interaksi antar

protein dan merupakan penentu spesifisitas substrat, contohnya: TIMP

berinteraksi pada area ini.

Gambar 2.13

Struktur Matriks Metaloproteinase (MMP) (Ansari et al., 2013)

Kemampuan MMP dalam menghancurkan berbagai komponen matriks

ekstraseluler (ECM) menunjukkan bahwa berperan utama dalam remodeling ECM

yang signifikan selama perkembangan embryogenik karena remodeling ECM

merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan morfogenesis jaringan. Ini juga

didukung oleh penelitian terbaru yang menunjukkan peranan penting MMP sebagai

jaringan sinyal pengatur komponen ekstraseluler yang mempengaruhi kondisi seluler

41

(Loffek et al., 2011). Secara sistematis, beberapa fungsi seluler MMP selama

perkembangan dan fisiologis normal, yaitu (sesuai gambar 2.15) (Ansari et al., 2013):

1) Membantu migrasi sel melalui degradasi molekul ECM

2) Mengubah perangai seluler dengan mengubah lingkungan mikro ECM

3) Membantu aktivitas molekul aktif secara biologis dengan pemecahan

langsung, pelepasan dari simpanan, atau memodulasi aktivitas

penghambatnya.

Gambar 2.14

Fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal.

Berdasarkan spesifisitas MMP terhadap komponen ECM, MMP dibagi menjadi

kelompok kolagenase, gelatinase, stromelysin dan matrilysin. Sedangkan diantara

42

delapan kelas struktural MMP, 5 disekresikan dan 3 lainnya merupakan MMP tipe

membran (MT-MMP) (Ansari et al., 2013).

Tabel 2.6

Jenis Matriks Metaloproteinase (Ansari et al., 2013)

Jenis MMP Kelas struktural Nama umum MMP-1 Simple hemopexin domain Kolagenase-1, interstitial Kolagenase, fibroblast

kolagenase, tissue kolagenase

MMP-2 Gelatin-binding Gelatinase A, 72-kDa gelatinase, 72-kDa typeIV

kolagenase, neutrophil gelatinase

MMP-3 Simple hemopexin domain Stromelysin-1, transin-1, proteoglikanase, protein

pengaktivasi prokolagenase

MMP-7 Minimal domain Matrilysin, matrin, PUMP1, small uterine

metalloproteinase

MMP-8 Simple hemopexin domain Kolagenase-2, kolagenase neutrophil, kolagenase

PMN, kolagenase granulosit

MMP-9 Gelatin-binding Gelatinase B, gelatinase 92-kDa, kolagenase 92-

kDa tipe IV

MMP-10 Simple hemopexin domain Stromelysin-2, transin-2 MMP-11 Furin-activated

dan Stromelysin-3

MMP-12 Simple hemopexin domain Metalloelastase, elastase makrofag, metalloelastase

makrofag

MMP-13 Simple hemopexin domain Kolagenase-3

MMP-14 Transmembrane MT1-MMP, MT-MMP1

MMP-15 Transmembrane MT2-MMP, MT-MMP2

MMP-16 Transmembrane MT3-MMP, MT-MMP3

MMP-17 GPI-linked MT4-MMP, MT-MMP4

MMP-18 Simple hemopexin domain Kolagenase-4 (Xenopus)

MMP-19 Simple hemopexin domain RASI-1, MMP-18

MMP-20 Simple hemopexin domain Enamelysin

MMP-21 Vitronectin-like insert Homolog dari Xenopus XMMP

MMP-22 Simple hemopexin domain CMMP (pada ayam)

MMP-23 Type II transmembrane Cysteine array MMP (CA-MMP), femalysin,

MIFR,MMP-21/MMP-22

MMP-24 Transmembrane MT5-MMP, MT-MMP5

MMP-25 GPI-linked MT6-MMP, MT-MMP6, leukolysin

MMP-26 Minimal domain Endometase, matrilysin-2

MMP-27 Simple hemopexin domain

MMP-28 Furin-activated and secreted Epilysin

Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-A (pada tikus)

Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-B (pada tikus)

Tanpa nama Gelatin-binding Gelatinase 75-kDa (pada ayam)

43

Dalam proses keganasan, peranan MMP juga menyerupai yang terjadi dalam

proses fisiologis namun terjadi ketidakseimbangan dengan aktivitas penghambatnya.

Terjadi degradasi komponen ECM pada membran basalis dan jaringan ikat interstisial

yang tersusun atas kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Suatu karsinoma pertama-

tama harus menembus membran basalis dibawahnya, kemudian melintasi jaringan

ikat, dan secara cepat mencapai sirkulasi dengan cara menembus membran basalis

pembuluh darah. Proses ini berulang lagi jika emboli sel tumor mengalami

ekstravasasi ke tempat jauh. Invasi melalui ECM mengawali kaskade metastasis dan

merupakan proses aktif yang melibatkan beberapa tahap, diantaranya perubahan

interaksi antara sel tumor dengan sel, degradasi ECM, perlekatan ke komponen

terbaru ECM dan migrasi sel tumor (Kumar et al., 2010).

MMP terlibat dalam tahap kedua proses invasi yaitu degradasi lokal membran

basalis dan jaringan ikat interstisial. Sekresi MMP tersebut dapat berasal langsung

dari sel tumor atau dari induksi terhadap sel stroma (seperti fibroblast dan sel

inflamasi). Protease lain yang juga disekresikan yaitu cathepsin D dan urokinase

plasminogen activator. MMP mengatur invasi tumor tidak hanya dengan cara

mengubah komponen yang tidak larut pada membran basalis dan matriks interstisial,

tetapi juga dengan pelepasan growth factor yang disimpan ECM (Kumar et al., 2010;

Bouchet et al., 2014).

44

2.11 Fungsi Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9/Gelatinase)

Diantara seluruh MMP, salah satu kelompok gelatinase yaitu MMP-9 (gelatinase B)

mendapat perhatian pada beberapa penelitian dalam memahami sifat invasif dan

metastatik tumor terkait kemampuannya dalam mendegradasi kolagen IV, komponen

utama dari membran basalis epitel dan vaskuler. Hubungan antara komponen radang,

stroma dan tumor mempengaruhi aktivasi dan produksi MMP-9/ gelatinase B. Gen

MMP-9/ gelatinase B berlokasi pada kromosom 20q11.2-q13.1, terdiri dari 7.654

basa dan ditranskripsikan sebagai 2.4 kb mRNA tunggal (Bouchet et al., 2014;

Marecko et al., 2014).

Protein MMP-9 merupakan enzim metallo-multidomain, dengan catalytic site

tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site oleh ulangan

tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi substrat besar seperti elastin dan

penghancuran kolagen. Dalam regio ini, asam amino Asp309, Asn319, Asp232,

Tyr320 dan Arg3076 penting untuk pengikat gelatin. Catalytic site tetap

dipertahankan dalam bentuk tidak aktif oleh amino-terminal pro-peptide PRCGXPD,

dengan koordinasi cysteine bersama katalitik Zn2+. Ujung terminal COOH dari

MMP-9 mengandung domain hemopexin yang mengatur ikatan dengan substrat,

berinteraksi dengan inhibitor dan membantu ikatan ke permukaan sel. Domain O-

glycosylated sentral memberikan fleksibilitas molekuler, mengatur spesifisitas

substrat MMP-9 invasi yang bergantung MMP-9, interaksi dengan TIMP dan

lokalisasi permukaan sel. Domain ini membantu pergerakan MMP-9 sepanjang

45

substrat makromolekuler dan melepaskan ikatan kolagen sebelum dipecahkan oleh

enzim lainnya (Farina et al., 2014; Loffek et al., 2011).

Keterangan:

Gambar 2.15

Struktur MMP-9 (Gelatinase B) (Loffek et al., 2011)

MMP-9 dihasilkan oleh sel tubuh manusia, seperti sel fibroblast stroma, sel

endotelial, sel polimorfonuklear (PMN), keratinosit, makrofag dan beberapa sel

epitel. Aktivitas enzimatik MMP-9 dihambat oleh inhibitor protease sistemik α2-

makrogloblin, anggota famili TIMP dan antagonis terhadap domain hemopexinnya

sendiri. MMP-9 mendapat perhatian khusus karena ekspresi basalnya rendah secara

normal, sedangkan pada kondisi kanker MMP-9 terekspresi kuat akibat respon

terhadap berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin. Melalui penelitian eksperimental

terhadap tikus dengan defisiensi MMP-9 menunjukkan kegagalan metastasis dan

pertumbuhan tumor (Farina et al., 2014).

Peranan proonkogenik MMP-9 telah dilaporkan, diantaranya berkaitan dengan

transformasi neoplastik, inisiasi dan promosi tumor dan instabilitas genetik. MMP-9

46

dapat menempati inti sel, meskipun memiliki sinyal lokalisasi inti klasik yang rendah

dan aktivitas gelatinase inti menyatu dengan peningkatan fragmentasi DNA.

Gelatinase inti ini mendegradasi matriks protein inti yaitu PARP (poly-ADP-ribose-

polymerase), menghindarkannya dari proses perbaikan DNA (Farina et al., 2014).

Gambar 2.16

Peranan MMP-9 yang bebas TIMP yang berasal dari sel radang PMN sel tumor

maupun stroma dalam inisiasi tumor dan promosi instabilitas genetik. Melalui

degradasi matriks ekstraseluler (ECM), dan aktivitas kemokin, sitokin dan growth

factor (Farina et al., 2014).

Peningkatan aktivitas MMP-9 yang ditunjang oleh PMN neutrofil selanjutnya

juga meningkatkan penarikan neutrofil melalui degradasi yang dimediasi MMP-9 dan

superaktivasi IL-8, meningkatkan istabilitas genetik. Selanjutnya MMP-9 terlibat

dalam ekspansi klonal yang merupakan tahap penting pada progresi tumor dengan

melibatkan keseimbangan antara proliferasi, apoptosis dan angiogenesis. Transisi

epitelial menjadi mesenkimal (EMT) merupakan kemampuan perubahan sel epitel

yang awalnya tidak dapat bergerak menjadi sel progenitor mesenkimal yang dapat

47

bergerak. Mekanisme ini penting untuk perkembangan (tipe 1), proses penyembuhan

normal atau fibrosis patologis (tipe 2) dan transformasi metastatik sel kanker (tipe 3).

EMT tipe 3 sangat fundamental pada progresi tumor untuk bermetastasis, dan baik sel

kanker yang mengalami reaktivasi ataupun dediferensiasi atau teraktivasi ini akan

terinduksi menjadi fenotip yang invasif dan memiliki kemampuan motilitas. MMP-9

merupakan protein penting yang berkaitan dan bahkan penyebab EMT (Antonietta et

al, 2014).

Gambar 2.17

Transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9 (Farina et al.,

2014)

Neovaskularisasi tumor merupakan proses penting untuk ekspansi tumor primer,

progresi metastatik dan pertumbuhan metastatik, terjadi melalui beberapa proses

meliputi permulaan angiogenesis, vaskulogenesis, gabungan intersusepsi dan/atau

menyerupai vaskuler. Tidak seperti pembuluh darah normal, pembuluh darah pada

tumor bersifat abnormal dan imatur. MMP-9/ gelatinase B merupakan molekul

proangiogenik dan memicu aktivasi angiogenik pada pembuluh darah tua dengan cara

48

mengatur proliferasi perisit, apoptosis dan penarikan perisit selama angiogenesis serta

memobilisasi perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang ke stroma tumor untuk

meningkatkan proses angiogenik dan vaskulogenik tumor. MMP-9 juga memicu

aktivasi angiogenik dengan memobilisasi mitogen angiogenik seperti FGF and

VEGF. Selain itu hipoksia karena tumor merupakan stimulus angiogenesis dan

berperan meningkatkan ekspresi MMP-9 vaskuler (Farina et al., 2014).

Gambar 2.18

Peranan MMP-9 bebas TIMP dari sel radang PMN, MMP-9 tumor/ stroma onkogen

dan hipoksia dalam mengaktifkan angiogenesis (Farina et al., 2014)

Sedangkan keterlibatan MMP-9 dengan proses metastasis merupakan kolaborasi

proses ekspansi, EMT dan angiogenesis. Khusus mengenai invasi ke limfonodi

dikaitkan dengan keterlibatan interaksi antara kemokin dengan reseptor kemokin

49

CCR7 yang sebelumnya berfungsi meningkatkan ekspresi MMP-9 (Farina et al.,

2014).

Gambar 2.19

Kaitan MMP-9 dengan kemampuan metastasis tumor (Farina et al., 2014)

2.12 Peranan Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9)/Gelatinase B pada

Karsinoma Tiroid Papiler

Berbagai landasan teoritis telah memaparkan bahwa MMP-9 mempengaruhi sifat

invasif, kemampuan progresi dan kemampuan bermetastasis tumor sehingga dapat

menjadi acuan bahwa MMP-9 layak menjadi salah satu marka atau penanda

agresivitas tumor. Sebuah penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara ekspresi MMP-9 dengan stadium IUCC dan metastasis ke

limfonodi. Penelitian lainnya membuktikan perbedaan ekspresi MMP-9 yang sangat

bermakna antara karsinoma tiroid, adenoma tiroid dan goiter multinoduler. Hal ini

50

menunjukkan bahwa MMP-9 memiliki peranan kunci dalam transformasi onkogenik

tumor tiroid. Adapula penelitian yang menyebutkan bahwa ekspresi MMP-9 secara

bermakna berkaitan dengan ukuran tumor selain stadium UICC dan adanya

metastasis ke limfonodi maupun metastasis jauh. Namun ekspresi MMP-9 tidak

berkorelasi dengan jenis kelamin dan usia pasien. Hasil penelitian ini mendukung

teori mengenai kaitan MMP-9 dengan progresi, kemampuan invasi dan metastasis

tumor. Temuan ini kemudian menjadi landasan bahwa tingginya ekspresi MMP-9

dapat menjadi marker diagnostik yang berguna dan mungkin juga merupakan target

yang potensial pada terapi karsinoma tiroid (Marecko et al., 2008).

Bahkan temuan terbaru membuktikan BRAFV600E yang merupakan marka spesifik

penentu agresivitas KTP terlebih dahulu perlu menginduksi MMP untuk memunculan

sifat invasif dan kemampuan metastasis tumor. Hal ini tampak setelah dilakukan

pemeriksaan imunohistokimia pada enam puluh kasus KTP klasik baik antibodi anti

MMP-2 maupun MMP-9, didapatkan MMP-2 terdeteksi pada 32 spesimen (53.3%),

sedangkan MMP-9 pada 52 spesimen (86.7%). Pada analisis univariat, terdapat

korelasi yang signifikan antara positivitas BRAFV600E dengan hasil IHK MMP-2 atau

MMP-9 atau keduanya (PZ 0.028). Adanya ekspresi MMP-2 maupun MMP-9 secara

signifikan juga berkaitan dengan perluasan ekstratiroid (PZ 0.030). Temuan ini

menegaskan bahwa ekspresi MMP-9 merupakan marka atau penanda yang sinergis

dengan ekspresi BRAFV600E Akhirnya disimpulkan bahwa MMP merupakan mediator

efek BRAF pada sifat invasif tumor (Frasca et al., 2008).

51

Diketahui pula bahwa P53 yang merupakan guardian of genome dapat mengatur

ekspresi MMP secara kompleks, dengan memicu peningkatan ekspresi MMP-2 dan

DDR1 namun menghambat ekspresi MMP-1 dan MMP-9. Sehingga adanya mutasi

P53 secara tidak langsung akan meningkatkan ekspresi MMP-9. Mutasi P53

berkaitan dengan sifat agresivitas tumor dan penanda prognosis yang buruk.

Mengingat keterkaitan mutasi P53 dengan peningkatan ekspresi MMP-9 maka

ekspresi MMP-9 merupakan marker yang relevan dalam menentukan agresivitas

tumor, khususnya pada KTP (Powell et al., 2014).

Penelitian terbaru lainnya membuktikan bahwa imunoekspresi MMP-9 aktif

berkorelasi positif dengan usia pasien, adanya metastasis ke limfonodi, adanya invasi

ekstratiroid dan derajat infiltrasi tumor. Penelitian ini agak berbeda dengan penelitian

sebelumnya karena menemukan bahwa ukuran tumor tidak terkait dengan tingkat

ekspresi MMP-9 aktif. Hasil yang masih serupa yaitu memaparkan bahwa jenis

kelamin juga tidak berhubungan dengan ekspresi MMP-9. Temuan ini kembali

memaparkan bahwa MMP-9 bersifat aktif pada sel tumor dan hal ini mempengaruhi

perangai agresif pada KTP (Ansari et al., 2013).

Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma

sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat berdasarkan

analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaannya (Meng et al.,

2012; Marecko et al., 2014).

52

Gambar 2.20

Pulasan MMP-9 pada KTP. A.Hasil pulasan IHK MMP-9 total pada kasus KTP

encapsulated yang menunjukkan gambaran difus sedang. B. Hasil IHK MMP-9 aktif

dengan gambaran negatif pada sampel yang sama. C. Pulasan MMP-9 yang positif

kuat dan difus pada kasus KTP dengan invasi ekstratiroid. D. Pulasan MMP-9 yang

juga positif kuat pada KTP dengan invasi ekstratiroid (Marecko et al., 2014).