BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi HIV-SN8... · 2017. 4. 1. · 11 Gambar 2.2 Struktur virion...

22
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi HIV-SN Definisi HIV-SN adalah gangguan fungsi atau perubahan patologis pada saraf tepi yang ditemukan pada penderita HIV/AIDS yang umumnya melibatkan sistem sensorik, jarang pada sistem motorik (Ellis dkk, 2005). Secara umum terdapat 2 tipe HIV-SN, yang disebabkan karena virus HIV secara langsung dikenal dengan HIV-associated distal sensory polyneuropathy (HIV-DSP) dan yang timbul akibat efek toksik ARV dinamakan dengan antiretroviral toxic neuropathy (ATN) (Keswani dkk, 2002). 2.2 Gambaran Klinis Penderita HIV-SN memiliki gejala klinis menyerupai neuropati umum, seperti pada neuropati diabetika dan neuropati alkoholik (Evans dkk, 2011). Gejala klasik yang dijumpai adalah gejala sensorik dengan awitan gejala yang sifatnya gradual, bilateral terutama dirasakan pada bagian distal ekstremitas, membentuk pola distribusi yang khas, menyerupai sarung tangan dan kaos kaki (Keswani dkk, 2002 ; Phillips dkk, 2011). Pada tipe yang klasik, rasa tidak nyaman dimulai dari telapak kaki kemudian meluas ke tungkai bawah dalam beberapa bulan selanjutnya dapat melibatkan ujung jari tangan pada tahap lanjut (Keswani dkk, 2002 ; Phillips dkk, 2011).

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi HIV-SN8... · 2017. 4. 1. · 11 Gambar 2.2 Struktur virion...

  • 6

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Definisi HIV-SN

    Definisi HIV-SN adalah gangguan fungsi atau perubahan patologis

    pada saraf tepi yang ditemukan pada penderita HIV/AIDS yang umumnya

    melibatkan sistem sensorik, jarang pada sistem motorik (Ellis dkk, 2005).

    Secara umum terdapat 2 tipe HIV-SN, yang disebabkan karena virus HIV

    secara langsung dikenal dengan HIV-associated distal sensory

    polyneuropathy (HIV-DSP) dan yang timbul akibat efek toksik ARV

    dinamakan dengan antiretroviral toxic neuropathy (ATN) (Keswani dkk,

    2002).

    2.2 Gambaran Klinis

    Penderita HIV-SN memiliki gejala klinis menyerupai neuropati umum,

    seperti pada neuropati diabetika dan neuropati alkoholik (Evans dkk, 2011).

    Gejala klasik yang dijumpai adalah gejala sensorik dengan awitan gejala

    yang sifatnya gradual, bilateral terutama dirasakan pada bagian distal

    ekstremitas, membentuk pola distribusi yang khas, menyerupai sarung

    tangan dan kaos kaki (Keswani dkk, 2002 ; Phillips dkk, 2011). Pada tipe

    yang klasik, rasa tidak nyaman dimulai dari telapak kaki kemudian meluas

    ke tungkai bawah dalam beberapa bulan selanjutnya dapat melibatkan ujung

    jari tangan pada tahap lanjut (Keswani dkk, 2002 ; Phillips dkk, 2011).

  • 7

    Gejala sensorik didominasi dengan rasa nyeri pada 90% kasus (nilai P <

    0,02) (Keswani dkk, 2002 ; Smyth dkk, 2007) yang terutama dirasakan pada

    telapak kaki terutama pada malam hari (Phillips dkk, 2011). Keluhan sensorik

    lainnya dapat berupa rasa kesemutan pada 76% kasus (nilai P < 1) dan rasa

    kebas pada 67% kasus (nilai P < 0,4) (Smyth dkk, 2007). Penderita HIV-SN

    seringkali mengalami hiperalgesia (penurunan ambang nyeri) dan alodinia

    (nyeri yang dicetuskan oleh rangsangan non-noxious seperti gesekan), yang

    menyebabkan rasa tidak nyaman pada telapak kaki saat disentuh, terutama

    saat menggunakan alas kaki (Keswani dkk, 2002).

    Membedakan HIV-DSP dan ATN secara klinis sulit dilakukan, namun

    apabila dijumpai neuropati sensorik yang sifatnya akut, berkembang

    progresif, dan memiliki hubungan antara awitan gejala dengan paparan ARV

    serta membaik saat agen ARV yang diduga sebagai penyebab dihentikan,

    maka dapat dipertimbangkan bahwa neuropati sensorik tersebut disebabkan

    karena ATN. Karena sulit dibedakan dan seringkali timbul bersamaan, maka

    digunakan istilah yang mencakup kedua tipe tersebut yaitu HIV-SN (Phillips

    dkk, 2010).

    Penderita HIV-SN yang klasik jarang mengalami kelemahan motorik,

    dan apabila ditemukan umumnya terbatas pada otot intrinsik kaki (Keswani

    dkk, 2002). Apabila ditemukan kelemahan motorik pada penderita HIV,

    maka perlu dipertimbangkan alternatif diagnosis selain HIV-SN (Phillip dkk,

    2010).

  • 8

    Pemeriksaan fisik pada HIV-SN ditemukan penurunan refleks achilles

    dibandingkan refleks patella dan pada tahap lanjut refleks tadi dapat

    menghilang, disamping itu terdapat penurunan sensasi getar pada kedua ibu

    jari kaki, yang pada tahap lanjut dapat menghilang sama sekali. Pada HIV-

    SN juga didapatkan penurunan sensibilitas nyeri tajam dan suhu, dengan pola

    distribusi yang khas menyerupai sarung tangan dan kaos kaki (Keswani dkk,

    2002 ; Evans dkk, 2011).

    Pemeriksaan penunjang pada HIV-SN menggunakan elektrofisiologi

    akan terlihat polineuropati sensorik tipe aksonal yang bersifat length-

    dependent (Keswani dkk, 2002), dengan ambang sensorik kuantitatif /

    quantitative sensory threshold (QST) terlihat gangguan sensibilitas suhu

    yang merupakan penanda khas kerusakan serabut saraf tipis tipe C

    (Bouhassira dkk, 1999 ; Martin dkk, 2003).

    2.3 Gambaran Patologi

    Penderita HIV-SN yang klasik akan mengalami degenerasi akson

    panjang terutama bagian distal (Pardo dkk, 2001), pola seperti ini dikenal

    dengan istilah dying-back, karena degenerasi serabut saraf awalnya terjadi

    pada bagian distal dan disusul dengan kerusakan ke arah proksimal

    (Keswani dkk, 2002).

    Penderita HIV-SN yang dilakukan skin punch biopsies pada tungkai

    bawah akan didapatkan penurunan kepadatan serabut saraf intraepidermal,

    yang dominan melibatkan serabut saraf tipis tidak bermielin (gambar 2.1),

    temuan ini memberi gambaran patologis yang khas sesuai dengan small

  • 9

    fiber neuropathy (Holland dkk, 1997 ; Polydefkis dkk, 2002). Gambaran

    patologis yang demikian serupa dengan yang ditemukan pada penderita

    dengan neuropati diabetika (Keswani dkk, 2002).

    Perubahan neuropatologis pada HIV-SN juga meliputi adanya infiltrat

    limfosit yang mengalami inflamasi serta aktivasi makrofag, dengan

    pengecatan imunokimia tampak pula berbagai sitokin proinflamasi seperti

    tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon-γ dan interleukin (IL)-6

    (Keswani dkk, 2002; Mc Arthur dkk, 2005; Zhu dkk, 2007; Kamerman dkk,

    2012).

    Gambar 2.1 Biopsi kulit dari penderita HIV. (A) Dari kelompok HIV-SN sama

    sekali tidak terlihat adanya serabut saraf tipis tidak bermielin yang dapat

    mencapai epidermis. Terlihat pleksus saraf pada lapisan dermis di bawah lapisan

    epidermis (panah warna biru). (B) Dari kelompok bukan HIV-SN terlihat

    serabut saraf tipis tidak bermielin yang mencapai lapisan epidermis (panah

    hitam), perbatasan dermis epidermis ditandai dengan garis terputus berwarna

    merah, dan terlihat pula pleksus saraf pada lapisan dermis (panah biru) pada

    pewarnaan saraf. Pembesaran 40x, batang hitam berukuran = 50 µm. HIV-SN,

    HIV sensory neuropathy (Phillips dkk, 2014)

  • 10

    2.4 Patogenesis HIV-SN

    Patogenesis HIV-SN hingga saat ini belum diketahui secara pasti,

    infeksi HIV secara langsung pada neuron sangat jarang terjadi. Hipotesis

    mengenai patogenesis HIV-SN yang ada saat ini lebih menjelaskan pada

    neurotoksisitas akibat protein yang dihasilkan oleh virus HIV dan adanya

    disregulasi sistem imun pada infeksi HIV (Phillip dkk, 2010).

    Aktivasi makrofag multifokal pada jaringan saraf tepi dan dorsal radix

    ganglion (DRG) pada penderita HIV merupakan mekanisme yang paling

    penting dalam terjadinya HIV-SN, yang dijelaskan melalui beberapa teori.

    Teori pertama menyebutkan bahwa degenerasi aksonal derajat ringan akibat

    berbagai kondisi seperti defisiensi nutrisi, paparan alkohol, penyalahgunaan

    obat, dan dislipidemia termasuk peningkatan kadar trigliserida akan

    menyebabkan aktivasi makrofag dan pada penderita HIV respon makrofag

    terjadi secara berlebihan, menyebabkan inflamasi multifokal dan

    mengakibatkan degenerasi aksonal lebih lanjut dan lebih berat (Keswani

    dkk, 2002). Teori kedua menjelaskan bahwa infeksi HIV dikaitkan dengan

    peningkatan sirkulasi sitokin proinflamasi dan makrofag yang teraktivasi,

    dan akibat kebocoran sawar darah saraf maka sistem imun yang beredar

    dalam darah dapat masuk ke jaringan saraf tepi dan DRG dengan mudah,

    menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin lebih lanjut yang bersifat

    toksik terhadap jaringan saraf (Keswani dkk, 2002).

  • 11

    Gambar 2.2 Struktur virion virus HIV (Verma, 2001)

    2.4.1 Patogenesis HIV-DSP

    Virus HIV memerlukan bantuan protein untuk masuk ke dalam sel

    imun dan melakukan replikasi, protein tersebut merupakan bagian

    dari pembungkus virus HIV yaitu gp120 (gambar 2.2).

    Interaksi gp120 dengan reseptor neuron, Chemokine Co

    Receptor 4 (CXCR4) / Chemokine Co Receptor 5 (CCR5) akan

    menginduksi proses apoptosis neuron melalui sekresi TNF-α (Melli

    dkk, 2006 ; Wallace dkk 2007 ; Bhangoo dkk, 2009 ; Maratou dkk,

    2009), dan sekresi sitokin proinflamasi yang bersifat toksik secara

    berlebihan akibat aktivasi makrofag dan sel Schwann. Degenerasi

    akson saraf perifer terjadi melalui disfungsi mitokondria (Gambar

    2.3) (Kaul dan Lipton, 1999 ; Keswani dkk, 2003 ; Melli dkk, 2006).

    2.4.2 Patogenesis ATN

    Berbagai penelitian yang telah dikerjakan untuk menemukan model

    hewan coba yang mengalami ATN selalu menemui kegagalan, hal

  • 12

    ini mendasari pemikiran perlunya adanya infeksi HIV bersamaan

    dengan paparan NRTI untuk memunculkan ATN. Teori double hit,

    menjelaskan bahwa awalnya neuron DRG mengalami kerusakan

    atau tersensitisasi akibat disregulasi sistem imun pada infeksi HIV.

    Infeksi HIV mendasari kerusakan sawar darah saraf sehingga

    memudahkan sel imun masuk ke dalam jaringan saraf tepi dan

    DRG, dan menyebabkan kerusakan lanjutan (Keswani dkk, 2002),

    neuron DRG mengalami kerusakan lebih lanjut akibat paparan

    dideoxynucleoside reverse transcriptase inhibitors (dNRTI)

    (Keswani dkk, 2002), melalui mekanisme disfungsi mitokondria

    (Kakuda, 2000 ; Wallace dkk, 2007).

    Teori double hit ini memerlukan infeksi HIV dengan segala

    kelainan pada sistem saraf tepi yang menyertainya sebagai

    prasyarat terjadinya ATN (Keswani dkk, 2002).

    Gambar 2.3 Patogenesis kerusakan saraf tepi oleh protein virus HIV gp120

    (Kamerman dkk, 2012)

  • 13

    2.5 Faktor Risiko HIV-SN

    Penelitian kohort yang dilakukan oleh Evans dkk (2011) pada penderita

    HIV mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat beberapa faktor risiko HIV-

    SN, antara lain: umur > 40 tahun [OR 1,89, IK 95% (1,73 - 2,07), p < 0,001]

    ; penggunaan HAART saat ini [OR 1,40, IK 95% (1,20 – 1,63), p < 0,001]

    ; tinggi badan > 170 cm [OR 1,11, IK 95% (1,05 – 1,17), p < 0,001] ; ras

    kulit hitam dibandingkan kulit putih [OR 1,25, IK 95% (1,03 – 1,51), p =

    0,004] ; ras selain kulit putih dibandingkan ras kulit putih [OR 1,96, IK 95%

    (1,21 – 3,19), p = 0,004].

    Individu dengan tinggi badan > 170 cm lebih berisiko mengalami

    neuropati karena semakin panjang akson maka permukaan akson makin luas

    sehingga makin berisiko mengalami cedera baik akibat bahan toksik

    maupun akibat trauma. Disamping itu akson yang panjang memerlukan

    waktu regenerasi yang lebih lama setelah mengalami cedera. Risiko

    terjadinya neuropati perifer juga meningkat seiring dengan penambahan

    usia (Cheng dkk, 2006).

    Evans dkk (2011) juga menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor

    risiko yang tidak bermakna secara statistik dalam timbulnya HIV-SN, antara

    lain: baseline CD4 200 atau kurang dibandingkan dengan CD4 minimal 501

    [OR 1,39, IK 95% (1,02 – 1,90), p = 0,121] ; current CD4 200 atau kurang

    dibandingkan dengan CD4 minimal 501 [OR 1,47, IK 95% (1,16 – 1,87), p

    = 0,007] ; riwayat diabetes mellitus (DM) [OR 1,57, IK 95% (0,96 – 2,59),

    p = 0,080] ; penggunaan statin [OR 1,17, IK 95% (0,98 – 1,41), p = 0,097].

  • 14

    Namun pada penelitian yang dilakukan Astika (2014) disimpulkan

    bahwa kadar CD4 nadir < 200 sel/µl merupakan faktor risiko timbulnya nyeri

    neuropatik pada penderita HIV di RSUP Sanglah.

    Lebih lanjut pada penelitian yang dilakukan Banerjee dkk (2011)

    menyimpulkan bahwa kadar serum trigliserida tinggi berkorelasi bermakna

    dengan status HIV (p < 0,001), dan dengan kejadian HIV-SN [OR 5,1, IK

    95% (2,4-11)], dan pada analisis multivariat dengan melakukan kontrol

    terhadap usia, tinggi badan, CD4 nadir, DM tipe 2, penggunaan PI dan

    statin, kadar serum trigliserida tinggi tetap berkorelasi bermakna dengan

    kejadian HIV-SN secara independen [OR 2,6, IK 95% (1,2 – 5,8)].

    2.6 Patofisiologi Peningkatan Kadar Serum Trigliserida Penderita HIV

    Trigliserida merupakan produk lipid yang tidak larut darah, sehingga

    memerlukan lipoprotein sebagai pembawa agar dapat larut dalam darah.

    Trigliserida endogen dihasilkan oleh jaringan hati dan terlarut dalam darah

    sebagai very low density lipoprotein (VLDL), sedangkan trigliserida

    eksogen dihasilkan melalui proses penyerapan lemak dari saluran cerna dan

    terlarut dalam darah sebagai chylomicrons. Trigliserida dan asam lemak

    bebas memiliki peran penting sebagai sumber energi dalam proses

    metabolisme tubuh (gambar 2.4). Perubahan metabolisme lipid pada

    penderita HIV diketahui dapat mempengaruhi proses imun (Ceraciolo dkk,

    2002).

  • 15

    Gambar 2.4 Metabolisme lipid. Lemak yang berasal dari saluran pencernaan

    diserap dan dilarutkan dalam darah dalam bentuk chylomicrons, lemak dapat

    juga dihasilkan oleh jaringan hati dan dilarutkan dalam darah dalam bentuk

    VLDL. Chylomicrons dan VLDL merupakan lipoprotein yang kaya akan

    trigliserida sebagai sumber energi dalam proses metabolisme dan agar dapat

    masuk ke dalam jaringan otot maupun adiposa diperlukan proses pemecahan

    trigliserida dari lipoprotein pengangkutnya oleh enzim lipoprotein lipase

    (vanWijk dan Cabezas, 2011)

    2.6.1 Pada era pre HAART

    Penderita HIV yang tidak mendapat cART, secara alamiah akan

    mengalami gangguan metabolisme lipid, mekanisme pasti yang

    mendasari belum sepenuhnya dipahami dan diduga multifaktor,

    termasuk salah satunya karena infeksi HIV itu sendiri (Souza dkk,

    2013).

    Gangguan metabolisme lipid pada penderita HIV meliputi

    peningkatan kadar trigliserida yang diikuti penurunan total

  • 16

    kolesterol, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density

    Lipoprotein (LDL) (Souza dkk, 2013).

    Peningkatan kadar serum trigliserida pada penderita HIV

    seropositif yang tidak mendapat cART ditemukan lebih tinggi

    dibandingkan kelompok kontrol yang tidak terinfeksi HIV (Fourie

    dkk, 2010). Pada penderita HIV peningkatan kadar serum

    trigliserida dikaitkan dengan peningkatan jumlah virus HIV dan

    penurunan kadar limfosit CD4+ dalam darah tepi, secara klinis

    ditandai dengan munculnya berbagai infeksi opertunistik (vanWijk

    dan Cabezas, 2011).

    Peningkatan kadar serum trigliserida diduga disebabkan karena

    peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6 dan IFN-γ

    (Grunfeld dan Feingold, 1992 ; Haugaard dkk, 2006) serta

    peningkatan kadar hormon steroid (Nguemaem dkk, 2010). Sitokin

    proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6 mempengaruhi metabolisme

    asam lemak bebas (FFA), menekan proses lipogenesis,

    menyebabkan terjadinya peroksidase lipid, aktivasi endotel dan

    platelet, serta peningkatan produksi Reactive Oxygen Species

    (ROS) (Ducobu dan Payen, 2000 ; Haugaard dkk, 2006).

    2.6.2 Pada era HAART

    Gangguan metabolisme lipid pada penderita HIV pre HAART telah

    banyak dilaporkan, pada era HAART kondisi ini menjadi semakin

    sering ditemukan dan semakin parah (Mehta dan Reilly, 2005).

  • 17

    Lebih dari 50% penderita HIV era HAART mengalami gangguan

    metabolisme lipid, kondisi ini ditemukan pada berbagai kelompok

    usia (Souza dkk, 2013).

    Dislipidemia yang diinduksi cART memiliki karakteristik

    berupa peningkatan serum trigliserida, total kolesterol, LDL-C,

    VLDL dan apolipoprotein B (apoB) disertai dengan penurunan

    kadar HDL-C (Ducobu dan Payen, 2000).

    Penggunaan cART secara khusus mengakibatkan peningkatan

    kadar serum trigliserida (Carr, 2003 ; Grinspoon dan Carr, 2005),

    peningkatan > 92 mg/dL (> 2,3 mmol/L) dijumpai pada 23% - 40%

    penderita HIV era HAART, tergantung dari golongan ARV yang

    digunakan (Friis-Møller dkk, 2003).

    Perubahan profil lipid ini mulai tampak 3 bulan setelah terpapar

    ARV dan menetap hingga 6 sampai 9 bulan (Sherer, 2003).

    Perubahan ini terutama dijumpai pada penderita HIV dengan

    penggunaan ARV golongan PI, namun kemudian dijumpai pula

    pada kelompok yang menggunakan preparat nucleoside analogue

    reverse transcriptase inhibitors (NRTI) dan nonnucleoside

    analogue reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI) (Zou dan

    Berglund, 2007 ; Souza dkk, 2013). Risiko peningkatan kadar serum

    trigliserida akibat penggunaan ARV golongan protease inhibitor

    (PI) lebih besar dibandingkan dengan ARV dari golongan lainnya

    (Mehta dan Reilly, 2005 ; Boccara, 2008).

  • 18

    Penderita HIV era HAART umumnya menggunakan

    kombinasi dari 3 golongan ARV, terdiri dari: 2 ARV dari golongan

    NRTI dengan 1 bahan aktif dari golongan NNRTI, atau dari

    golongan PI (Kementerian Kesehatan RI, 2012b ; Panel On

    Antiretroviral Guidelines For Adult and Adolescents, 2014).

    Penggunaan cART melibatkan 3 golongan ARV tersebut mengacu

    pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh Panel On Antiretroviral

    Guidelines For Adult and Adolescents seperti dapat dilihat pada

    tabel 2.1, dan sesuai dengan rekomendasi Nasional yang diterbitkan

    oleh Kementrian Kesehatan RI seperti dapat dilihat pada tabel 2.2.

    Berbagai golongan ARV dan pengaruhnya terhadap profil

    lipid dapat dilihat pada Tabel 2.3.

    Tabel 2.1

    Rekomendasi cART lini pertama (Panel On Antiretroviral Guidelines For Adult

    and Adolescents, 2014)

  • 19

    Tabel 2.2

    Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum

    pernah mendapat terapi ARV (treatment-naive) (Kementerian Kesehatan RI,

    2012b)

    Tabel 2.3

    Dampak ARV terhadap profil lipid (Feeney dan Mallon, 2011)

    Golongan ARV Kolesterol Total LDL-C HDL-C Trigliserida

    PI

    Lopinavir (LPV) ↑↑ ↑↑ ↔ / ↓ ↑↑↑

    Atazanavir (ATV) ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↓ ↔

    Fosamprenavir (FPV) ↑ ↑ ↔ / ↓ ↑↑

    Saquinavir (SQV) ↑↑ ↑↑ ↔ / ↓ ↑

    Darunavir (DRV) ↑ ↑ ↔ / ↓ ↑

    Tipranavir (TPV) ↑↑ ↑↑ ↔ / ↓ ↑↑↑

    NNRTI

    Efavirenz (EFV) ↑ ↑ ↑ ↑

    Nevirapine (NVP) ↑ ↑ ↑↑ ↔ / ↑

    NRTI

    Tenofovir (TDF) ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↑

    Abacavir (ABC) ↔ / ↑ ↑ ↑ ↑

    Lamivudine (3TC) ↔ ↔ ↔ ↔

    Zidovudine (AZT) ↑ ↑ ↑ ↑↑

    Stavudine (d4T) ↑↑ ↑↑ ↑ ↑↑

    CCR5 Inhibitors

    Maraviroc (MVC) ↔ ↔ ↔ / ↑ ↔

    Integrase Inhibitors

    Raltegravir (RAL) ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔ / ↑ ↔

  • 20

    2.6.2.1 Efek langsung ARV terhadap profil lipid

    Penggunaan ARV golongan PI seringkali dikaitkan dengan

    kejadian dislipidemia. Perubahan profil lipid yang paling nyata ditemukan

    pada penggunaan ritonavir dosis booster, suatu dosis kecil yang sengaja

    ditambahkan untuk menghambat kerja enzim sitokrom hati yang

    memetabolisme ARV dari golongan lain. Perubahan profil lipid pada

    penggunaan ARV golongan PI dikaitkan dengan paparan obat secara

    langsung, dibuktikan pada pemberian ritonavir pada relawan sehat non

    HIV selama 4 minggu dan didapatkan peningkatan kadar serum trigliserida

    serta penurunan kolesterol HDL (Pao dkk, 2010), perubahan profil lipid ini

    mulai terlihat pada minggu pertama setelah paparan PI, tanpa bergantung

    pada stadium infeksi HIV maupun distribusi lemak tubuh (vanWijk dan

    Cabezas, 2011).

    Penggunaan preparat golongan NRTI juga memiliki dampak

    serupa, walaupun peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida umumnya

    tidak lebih tinggi daripada ARV golongan PI (Friis-Møller dkk, 2003).

    Jaringan adiposa yang terpapar NRTI akan menunjukkan disfungsi

    mitokondria, yang terlihat dari penurunan aktivitas mitokondria DNA

    (mtDNA) (Nolan dkk, 2003 ; Janneh dkk, 2003) dan penurunan ekspresi

    mitokondria RNA (mtRNA) (Mallon dkk, 2008), hal ini kemungkinan

    karena penghambatan DNA polymerase-γ, enzim yang menghambat

    mtDNA (Cote, 2005). Preparat dari golongan NRTI memiliki peran yang

    sama seperti PI dalam menekan ekspresi peroxisome proliferation

  • 21

    activated receptor gamma (PPARγ) pada jaringan adiposa. Perubahan

    molekular ini yang menjelaskan terjadinya inhibisi proses diferensiasi

    jaringan preadiposit menjadi adiposit (Stankov dkk, 2008).

    Preparat dari golongan NNRTI juga dikaitkan dengan peningkatan

    kadar trigliserida dan kolesterol (Grunfeld dkk, 1992). Prevalensi dan

    derajat keparahan dari kondisi dislipidemia pada penderita HIV

    dipengaruhi oleh stadium infeksi, kondisi resistensi insulin serta

    lipodistrofi yang menyertai pada penderita tersebut (Friis-Møller dkk,

    2007).

    2.6.2.2 Efek tidak langsung ARV terhadap profil lipid

    Secara biomolekuler, ARV dari golongan PI menghambat aktivitas

    Sterol Regulatory Element Binding Protein-1 (SREBP-1) pada jaringan

    adiposit (Caron dkk, 2003), yang menyebabkan penurunan diferensiasi

    jaringan adiposit, sehingga menghambat kemampuan menyimpan lemak

    yang beredar dalam sirkulasi darah. Preparat dari golongan PI juga

    menurunkan ekspresi reseptor PPARγ (Caron dkk, 2001), yang merupakan

    hasil transkripsi dari SREBP-1. Kerusakan pada SREBP-1 secara tidak

    langsung turut berperan menurunkan ekspresi PPARγ. Berkurangnya

    jaringan lemak subkutan, akibat proses lipodistrofi, merupakan faktor

    risiko dislipidemia termasuk peningkatan kadar serum trigliserida

    (vanWijk dan Cabezas, 2011).

    Terdapat 2 teori berkaitan dengan fungsi jaringan adiposa, pertama

    menyebutkan bahwa jaringan lemak subkutan dapat diasumsikan sebagai

  • 22

    tempat pembersihan kelainan metabolik, mencegah penumpukan lemak

    ektopik yang berbahaya seperti trigliserida dan asam lemak bebas / Free

    Fatty Acid (FFA) pada organ seperti hati yang dapat menyebabkan

    peningkatan produksi VLDL dan penumpukan lemak pada otot skeletal

    yang menimbulkan risiko terjadinya resistensi insulin. Berkurangnya

    jaringan lemak subkutan pada HIV lipodistrofi dikaitkan dengan

    penurunan kemampuan pembersihan asam lemak bebas (Berthold dkk,

    1999), peningkatan risiko perlemakan hati (Young dkk, 2005),

    peningkatan produksi VLDL (Shor-Posner dkk, 1993 ; Berthold dkk,

    1999), dan gangguan pembersihan trigliserida (Gambar 2.5) (Anastos dkk,

    2007).

    Kedua, jaringan adiposa memiliki peran penting dalam

    menghasilkan sejumlah sitokin dan mediator bioaktif lainnya yang dapat

    mempengaruhi keseimbangan berat badan, respon inflamasi dan

    sensitivitas insulin (Gallant dkk, 2004 ; 2006). Mediator bioaktif yang

    dihasilkan antara lain adalah adipositokin dan adiponectin, leptin, IL-6 dan

    TNF-α (vanWijk dan Cabezas, 2011). Sehingga jaringan adiposa memiliki

    peranan sebagai organ endokrin aktif dan turut terlibat dalam proses

    inflamasi dan proses metabolik lainnya.

  • 23

    Gambar 2.5 Patogenesis hiperlipidemia berkaitan dengan penggunaan cART.

    ARV golongan PI menghambat pemecahan SREBP-1, termasuk nascent apoB

    dari jaringan hati, menyebabkan peningkatan VLDL (1). Pada fase post-prandial,

    terjadi penurunan pembersihan trigliserida akibat penurunan aktivitas

    lipoprotein lipase (LPL), (2) dan penurunan pembersihan partikel remnant oleh

    jaringan hati (3). Penderita dengan lipodistrofi mengalami gangguan

    penyimpanan FFA (4) menyebabkan peningkatan lipid yang bersirkulasi (5) dan

    peningkatan produksi VLDL oleh jaringan hati (vanWijk dan Cabezas, 2011)

    2.7 Kadar Serum Trigliserida Tinggi dan Infeksi HIV Sebagai Faktor

    Risiko HIV-SN

    Dari semua komponen sindrom metabolik, hanya peningkatan

    trigliserida yang meningkatkan risiko HIV-SN (p = 0,009). Dari penelitian

    CHARTER, kohort terhadap 1518 penderita HIV, diketahui bahwa

    peningkatan kadar serum trigliserida baik yang puasa maupun tidak,

    merupakan faktor risiko terjadinya HIV-SN (OR = 1.30, p = 0.01, 95% CI

    1.06–1.59) (Ances dkk, 2009).

    Timbulnya neuropati perifer akibat kadar serum trigliserida tinggi

    dapat terjadi melalui 2 mekanisme: (1) mikroangiopati dan (2) stress

    oksidatif (Shankar dkk, 2012).

  • 24

    Mikroangiopati akibat kadar serum trigliserida tinggi mengakibatkan

    penebalan dinding pembuluh darah sehingga lumen pembuluh darah

    menyempit, mengakibatkan aliran darah pada vasa nervorum menurun,

    dan memicu perubahan patologis pada serabut saraf tepi dan mencetuskan

    degenerasi Wallerian (Eckel, 1981). Pada penderita HIV terdapat

    disregulasi sistem imun yang akan menyebabkan aktivasi sistem imun

    terjadi secara berlebihan dan menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada

    sistem saraf tepi.

    Selain menyebabkan mikroangiopati, kadar serum trigliserida tinggi

    juga merupakan kontributor penting terjadinya stres oksidatif (Honjo dkk,

    2008). Mitokondria merupakan sumber utama penghasil stres oksidatif

    (Akude dkk, 2011), pada kondisi fisiologis mitokondria merupakan

    penghasil energi utama bagi sel termasuk neuron, namun pada kondisi

    patologis proses tersebut dapat disertai dengan pembentukan reactive

    oxygen spesies (ROS).

    Proses pembentukan ROS terjadi melalui jalur sebagai berikut (gambar 2.6) :

    1) Pompa proton yang terdapat pada membran mitokondria secara fisiologis

    bertugas untuk mempertahankan potensial membran dan menghasilkan

    peroxidase (O2-) sebagai produk sampingan dari proses electron

    respiratory chain (ERC) yang fisiologis.

    2) ERC terletak pada membran mitokondria, terdiri atas kompleks I - IV dan

    kompleks penghasil ATP. Dalam kondisi patologis, akan terjadi kebocoran

    elektron dari ERC dan elektron tersebut akan berikatan dengan O2- dan

  • 25

    menghasilkan ROS, menyebabkan stress oksidatif, dan bersifat toksik

    terhadap jaringan saraf tepi (Akude dkk, 2010). Dalam kondisi ERC tidak

    bekerja dengan baik, produksi ATP oleh mitokondria juga mengalami

    penurunan, kondisi ini semakin memperberat stres oksidatif yang telah ada

    (Chowdhury dkk, 2010 ; Edwards dkk, 2010).

    3) mtDNA merupakan komponen penting yang menjamin mitokondria tetap

    dapat bekerja dengan baik. Saat produksi mitokondria DNA (mtDNA)

    mengalami penurunan akan terjadi perubahan pada ERC, potensial

    membran mitokondria dan gangguan produksi ATP yang pada akhirnya

    meningkatkan produksi ROS dan memperberat stres oksidatif (Hur dkk,

    2010).

    4) Selain itu mitokondria juga menghasilkan antioksidan yang penting bagi

    tubuh, beberapa antioksidan tersebut antara lain adalah: Manganese

    Superoxide Dismutase (MnSOD), glutathione peroxidase (GPX) dan

    katalase. Antioksidan MnSOD akan mengubah O2- menjadi H2O2, ;

    selanjutnya GPX dan katalase akan mengubah H2O2 menjadi H2O (Zhang,

    2013).

    5) Penggunaan ARV golongan NRTI secara in vitro menekan kerja enzim DNA

    polymerase, yang bertugas membentuk mtDNA, bila terjadi penurunan

    mtDNA akan terjadi disfungsi mitokondria (Feng dkk, 2001 ; Johnson dkk,

    2001).

  • 26

    Gambar 2.6 Mekanisme disfungsi mitokondria pada penderita HIV, akibat

    paparan ARV maupun metabolik toksik seperti hipertrigliseridemia. (1) Pompa

    proton pada membran mitokondria menghasilkan O2- sebagai produk sampingan

    dari oksidasi fosforilasi, (2) Disfungsi mitokondria akibat penurunan mtDNA

    menyebabkan struktur membran, pompa proton, dan fungsi ERC tidak bekerja

    dengan baik, (3) Terjadi kebocoran elektron pada kompleks ERC I-IV termasuk

    kegagalan produksi ATP (4) Elektron yang bocor akan berikatan dengan O2-

    menghasilkan radikal bebas yang toksik terhadap DRG dan akson saraf tepi (5)

    Disfungsi mitokondria menyebabkan produksi antioksidan mitokondria

    terganggu (Keswani dkk, 2002)

    2.8 Dasar Diagnosis HIV-SN

    Pemeriksaan penunjang pada HIV-SN menggunakan kecepatan hantar

    saraf dapat memperlihatkan gambaran polineuropati sensorik tipe aksonal

    yang bersifat length-dependent (Keswani dkk, 2002), dengan QST dapat

    terlihat adanya gangguan sensibilitas suhu (Bouhassira dkk, 1999 ; Martin

    dkk, 2003) dan dengan Intra Epidermal Nerve Fibre Density (IENFD)

    ditemukan penurunan kepadatan serabut saraf tipis tidak bermielin

    (Holland dkk, 1997 ; Polydefkis dkk, 2002).

  • 27

    Diagnosis neuropati perifer serabut saraf tipis dengan IENFD

    merupakan yang paling objektif namun merupakan prosedur invasif dan

    memerlukan biaya mahal sehingga tidak praktis dikerjakan secara rutin

    (Widjaja dkk, 2014).

    Kelompok studi AIDS di Amerika Serikat mengembangkan alat

    penapisan yang mudah, murah dan akurat untuk mendeteksi HIV-SN

    secara klinis, alat tersebut terdiri dari sejumlah kuisioner serta pedoman

    pemeriksaan neurologis singkat yang dikenal dengan nama Penapisan

    Neuropati Perifer Singkat / Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS)

    (Birbeck dkk, 2009). Alat penapisan ini telah digunakan secara luas di

    berbagai negara untuk kepentingan penelitian epidemiologis dan

    menunjukkan hasil yang baik (Cherry dkk, 2005).

    Penegakkan diagnosis klinis HIV-SN menggunakan BPNS memiliki

    sensitivitas dan spesifisitas sebesar 86% dan 81% untuk keluhan subjektif

    ; 84% dan 98% untuk pemeriksaan fisik dibandingkan dengan IENFD

    (Cherry dkk, 2005).

    Uji reliabilitas terhadap BPNS bahasa Indonesia telah dilakukan oleh

    Widjaja dkk. (2014) dan disimpulkan bahwa BPNS dapat digunakan

    sebagai instrumen pemeriksaan yang reliabel dengan kappa coefficient

    agreement adalah 0,735.