14615034 Pengeringan Biji Cokelat Dengan Cabinet Dryer Kapasitas 1800 Kgjam Copy
BAB II KAJIAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1800/3/T1_132007704_BAB II.pdf · alam...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1800/3/T1_132007704_BAB II.pdf · alam...
�
�
�
�
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kecemasan
2.1.1 Definisi Kecemasan
Setiap orang menjadi cemas dalam waktu ke waktu saat ujian, pertandingan
olahraga, pertemuan dengan orang penting, dan kekawatiran akan hubungan baru
dapat menciptakan perasaan yang tidak menentu. Orang yang mengalami gangguan
kecemasan dilanda ketidak mampuan menghadapi perasaan cemas yang kronis dan
intens, perasaan tersebut sangat kuat sehingga tidak mampu berfungsi dalam
kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak
menyenangkan mengenai kekawatiran atau ketegangan berupa perasaan cemas,
tegang, dan emosi yang dialami oleh seseorang. Kecemasan adalah suatu keadaan
tertentu, yaitu menghadapi situasi yang tidak pasti dan tidak menentu terhadap
kemampuaanya menghadapi objek tertentu. Hal tersebut berupa emosi yang kurang
menyenangkan yang dialami oleh individu dan bukan kecemasan sebagai sifat yang
melekat pada kepribadian.
Nietzal (dalam Bellack dan M.Hersen, 1988) berpendapat bahwa kecemasan
berasal dari bahasa latin (anxius) dan dari bahasa Jerman (anst), yaitu suatu kata
yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan fisiologi.
Muchlas (dalam Ghufron, 2010) mendefinisikan istilah kecemasan sebagai sesuatu
�
�
��
�
pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang
menyertai konflik atau ancaman.
Sementara Lazarus (dalam Ghufron, 2010) membedakan perasaan cemas
menurut penyebabnya ada 2 yaitu :
(1) State anxiety
Adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu yang dirasakan
seperti ancaman, misalnya mengikuti tes, menjalani operasi, atau lainnya.
Keadaan ini ditentukan oleh perasaan tegang yang subjektif.
(2) Trait anxiety
Adalah disposisi untuk menjadi cemas dalam menghadapi berbagai ancaman
situasi(gambaran kepribadian). Ini merupakan ciri atau sifat yang cukup stabil
yang mengarahkan seseorang atau menginterpretasikan suatau keadaan menetap
pada individu (bersifat bawaan) dan berhubungan dengan kepribadian yang
demikian.
Menurut Nurhanurawati, (2009), kecemasan sering kali digambarkan sebagai
perpaduan empat komponen, yaitu kognitif, somatik, emosi, dan perilaku. Komponen
kognitif, kecemasan menyebabkan seseorang mengalami kehilangan kontrol
konsentrasinya, yang ditandai dengan keinginan untuk menghilangkan perasaan tidak
menentu atau perasaan yang membahayakan bagi dirinya.
Secara somatik, kecemasan membuat orang mengalami kehilangan kontrol
fisiknya, yang ditandai tekanan darah dan kecepatan detak jantung meningkat,
keringat bertambah, aliran darah pada ototutama meningkat, dan fungsi sistem
�
�
���
�
kekebalan dan pencernaan tersumbat, kulit pucat, keringat, gemetar dan biji mata
yang nampak membesar. Secara emosi, kecemasan menyebabkan perasaan seseorang
takut atau panik yang ditandai dengan perasaan muak atau sikap dingin. Secara
perilaku, kecemasan menyebabkan sikap keterpaksaan seseorang melakukan sesuatu
dan ingin melepaskan diri dari sumber kecemasan, yang ditandai dengan sikap yang
tidak terkendalikan dalam melakukan sesuatu.
Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan khawatir yang timbul
karena dirasakan terjadinya sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumber
sebagaian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990 dalam Pri’e
2009).
Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan
yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktiftas sistem
syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan
dan sering merupakan suatu emosi yang normal (Kusuma 1997, dalam Pri’e, 2009).
Beberapa teori memberi kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi
dalam pengembangan kecemasan. Teori tersebut (Pri’e, 2009) adalah sebagai berikut:
1) Teori Psikodinamika
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik
psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil
aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurunkan dan
rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan
�
�
���
�
ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti
phobia, regresi dan perilaku ritualistik.
Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan
timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang
pertamakali. Saat itu masih dalam kondisi sangat lemah. Sehingga belum mampu
memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan
pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari id untuk
menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka
terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan id yang ingin pelepasan dan sangsi dari
super egolahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam
alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap berpengaruh oleh waktu, seiring tidak
realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga
peristiwa, yaitu: sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress
psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya.
2) Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus
khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk
stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan
mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
3) Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar
individu, sehingga menyebabkan individu yang bersangkutan merasa tidak berharga.
�
�
���
�
Deffenbacher dan Hazaleus (dalam Ghufron, 2010) mengemukakan bahwa
sumber penyebab kecemasan meliputi hal-hal di bawah ini:
(1) Kekhawatiran, merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri, seperti
perasaan negatif bahwa lebih jelek dibandingkan dengan teman-temanya.
(2) Emosionalitas, sebagai rekasi diri terhadap rangsanga saraf otonomik, seperti
jantung berdebar debar, keringat dingin dan tegang.
(3) Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas merupakan
kecenderungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran
rasional terhadap tugas.
Morris, dkk (dalam Ghufron, 2010) telah mengadakan percobaan konseptual
untuk mengukur kecemasan yang dialami individu dan kecemasan tersebut
didefinisikan sebagai konsep yang terdiri dari 2 dimensi utama, yaitu kekhawatiran
dan emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem saraf
otonomik yang timbul akibat situasi atau obyek tertentu. Juga merupakan perasaan
yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang tidak
menyenangkan. Dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang dirasakan yang mungkin
terjadi terhadap sesuatu yang akan terjadi, seperti ketegangan bertambah, jantung
berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu.
Khawatir merupakan aspek kognitif dari kecemasan yang dialami berupa pikiran
negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak adanya
harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri,
�
�
���
�
menyerah terhadap situasi yang ada, dan merasa khawatir yang berlebihan tentang
kemungkinan apa yang dilakukan.
Kecemasan dibagi menjadi 3 komponen:
1. Komponen fisik, seperti pusing, sakit perut, tangan berkerigat, perut mual,
perut kering, grogi, dan lain-lain.
2. Emosional seperti panik dan takut
3. kognitif seperti gangguan perhatian dan memori, kekhawatiran,
ketidakteraturan dalam berfikir, dan bingung.
Dinamika kecemasan pada individu yang mengalami kecemasan dipengaruhi
oleh beberapa hal, diantaranya karena adanya pengalaman negatif perilaku yang telah
dilakukan, seperti kekhawatirann akan adanya kegagalan. Merasa frustasi dalam
situasi tertentu dan ketidakpastian melakukan sesuatu. Dinamika kecemasan, ditinjau
dari teori psikoanalisis dapat disebabkan oleh adanya tekanan perilaku masa lalu serta
adanya gangguan mental. Ditinjau dari teori kognitif kecemasan terjadi karena adanya
evaluasi diri yang negatif. Perasaan negatif tentang kemampuan yang dimilikinya dan
orientasi diri yang negatif. Berdasarkan pandangan teori humanistik maka kecemasan
merupakan kekhawatiran tentang masa depan, yaitu kekhawatiran pada apa yang akan
dilakukan.
Adler dan Rodman (dalam Ghufron, 2010) menyatakan faktor yang
menyebabkan adanya kecemasan, pikiran yang tidak rasional. Para psikolog
memperdebatkan bahwa kecemasan terjadi bukan karena suatu kejadian, melainkan
�
�
��
�
kepercayan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab
kecemasan.
Ellis (dalam Ghufron, 2010) memberi daftar kepercayaan atau keyakinan
kecemasan sebagai contoh dari pikiran yang tidak rasional yang disebut sebuah
pikiran yang keliru, yaitu kegagalan katastropik, kesempurnaan, persetujuan, dan
generalisasi yang tidak tepat.
Faktor penyebab timbulnya kecemasan menurut Collins (dalam Wangmuba,
2009) menyatakan bahwa kecemasan timbul karena adanya:
1) Threat (ancaman) baik ancaman terhadap tubuh, jiwa atau psikisnya (seperti
kehilangan kemerdekaan, kehilangan arti hidup) maupun terhadap
eksistensinya (seperti kehilangan hak).
2) Conflict (pertentangan) yaitu karena ada dua keinginan yang keadaannya
bertolak belakang, hampir tiap dua konflik, dua alternatif atau lebih yang
masing-masing mempunyai sifat approach dan avoidance conflicts.
3) Fear (ketakutan), kecemasan timbul karena takut akan sesuatu, takut akan
kegagalan menimbulkan kecemasan, misalnya takut akan kegagalan dalam
menghadapi ujian atau takut akan penolakan menimbulkan kecemasan tiap
kali perlu berhadapan dengan orang yang baru.
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai definisi kecemasan dan beberapa
faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dapat dinyatakan bahwa kecemasan
adalah adanya rasa ketakutan dan ketegangan yang timbul pada keadaan tertentu
terhadap ketidak kemampuan individu dalam menghadapi ancaman dan konflik yang
�
�
��
�
ada, seperti kecemasan para atlet taekwondo yang merasa cemas dengan
ketidakpastian terhadap kemampuaannya dalam menghadapi kejuaraan. Ada dua
aspek yang mendasari terjadinya kecemasan pada individu yaitu aspek psikologis dan
aspek fisiologis. Aspek psikologis ini berupa suasana hati atau emosi yang kurang
menyenangkan seperti rasa takut dan panik, kemudian mental atau kognitif yang
merupakan gangguan perhatian, ketidak teraturan dalam berfikir,dan bingung.
Sedangkan aspek fisiologis yang nampak seperti terasa pusing, jantung yang
berdebar-debar, gangguan pencernaan, tidak bisa tidur dengan nyenyak, dan selera
makan hilang. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kecemasan diantaranya
kekhawatiran akan kegagalan, frustasi pada hasil tindakan yang lalu, evaluasi diri
yang negatif, perasaan diri yang negatif tentang kemampuan yang dimilikinya, dan
orientasi diri yang negatif.
Penyebab kecemasan adalah pikiran tidak rasional yang dapat menimbulkan
pikiran-pikiran yang tidak yakin akan kemampuanya seseorang untuk melakukan
sesuatu. Kecemasan sebagaian besar adalah berupa ancaman yang membuat
seseorang merasa terbatas atau ragu-ragu dalam melakukan sesuatu dan sama halnya
dengan ketakutan yang merupakan penyebab kecemasan yang dimana ketakutan ini
membuat seseorang tidak mampu melakukan sesuatu dengan optimal seperti dalam
ujian kenaikan tingkat, bila seseorang taekwondo-in mengalami ketakutan sebagai
penyebab kecemasan, maka taekwondo-in tersebut belum siap melakukan ujian
kenaikan tingkat dengan optimal. Kemudian dalam hal target atau sesuatu yang ingin
�
�
���
�
dicapai, bila keinginan ini tidak terpenuhi maka seseorang akan merasa cemas karena
terbayang-banyangi dengan keinginan yang ingin diraihnya.
2.2. Pendekatan Behavioral
2.2.1. Tujuan Pendekatan Behavioral
Konselor yang mengambil pendekatan behavioral membantu klien untuk
belajar cara bertindak yang baru dan pantas, atau membantu klien untuk
memodifikasi atau mengeliminasi perilaku yang berlebih. Dengan perkataan lain,
membantu klien agar perilakunya menjadi adaptif dan menghilangkan yang
maladatif. Pendekatan ini merupakan satu jenis konseling yang berorientasi perilaku,
tujuannya untuk menghilangkan perilaku yang tidak betul dan membantu konseli
menguasai keterampilan-keterampilan/perilaku baru (Loekmono, 2003)
Loekmono (2003) menjelaskan tujuan yang utama adalah menyediakan
keadaan-keadaan dan lingkungan-lingkungan agar perilaku yang tidak sesuai dapat
dihapuskan sesudah itu konseli akan diajar untuk menguasai perilaku baru yang
sesuai untuk menggantikan perilaku yang tidak sesuai itu. Menurut konselor,
konseling perilaku masa kini, tujuan yang hendak dituju sebenarnya ditentukan oleh
konseli sendiri di dalam suasana hubungan yang hangat. Peran konselor adalah
membantu konseli memilih tujuan yang hendak dituju, agar sesuai untuk dirinya dan
diterima oleh masyarakat.
Proses penentuan tujuan ini biasanya dilakukan bersama antara konselor
dengan konseli menurut urutan berikut :
�
�
���
�
1) Konselor menjelaskan sifat dan maksud tujuan kepada konseli.
2) Konseli menentukan perubahan atau tujuan khusus yang diinginkan.
3) Konseli dan konselor mengkaji dan meilai kesesuaian tujuan yang
dinyatakan oleh konseli.
4) Secara bersama mengidentifikasi resiko-resiko yang berhubungan
dengan tujuan itu dan menilai resiko-resiko itu.
5) Secara bersama juga mendiskusikan kebaikan yang diperoleh dari
tujuan itu.
6) Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai tujuan yang
dinyatakan oleh konseli, konselor dan konseli akan membuat
keputusan sebagai berikut: (1) Untuk meneruskan konseling atau. (2)
Untuk mempertimbangkan kembali tujuan yang dinyatakan oleh
konseli atau. (3) Untuk merujuk konseli pada konselor lain agar
keinginan dan hasrat konseli tidak kosong dan konselor sendiri tidak
merasa hampa dan kecewa.
Dari nerbagai uraian mengenai pendekatan behavior, dalam konseling
perilaku yang dipentingkan adalah perubahan perilaku, karena bagi pendukung
konseling perilaku, perubahan akan dengan sendirinya menghasilkan perubahan
bagian lain seperti emosi. Dalam konseling perilaku hal yang ingin diubah adalah
perilaku yang dapat diarahkan menjadi lebih baik, dan perubahan itu sesuai dengan
tujuan yang telah disetujui oleh konseli itu sendiri.
�
�
� �
�
2.2.2 Teknik Pendekatan Behavioral
Salah satu sumbangan terapi perilaku adalah pengembangan prosedur-
prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki
melalui metode ilmiah. Dalam terapi perilaku, teknik-teknik spesifik yang beragam
bisa digunakan secara sistematis dan hasil-hasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini
bisa digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantaranya
yang bisa dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model
lain.
Menurut Loekmono (2003), ada tiga hal yang menarik mengenai teknik dan
prosedur yang terdapat di dalam konseling perilaku: (1) Konseling perilaku
mempunyai banyak teknik dan strategi yang telah diusahakan dan diketahui efektif.
(2) Konseling perilaku mengutamakan perilaku yang nyata atau overt, maka dengan
mudah dapat diketahui keberhasilannya atau kegagalan suatu teknik atau strategi
tertentu. (3) Konselor perilaku tidak membelenggu seorang konselor. Konselor dapat
mengkombinasikan teknik-teknik dan strategi-strategi untuk menjadikan pendekatan
efektif.
Beberapa teknik dan strategi yang dipakai dalam konseling perilaku sebagai
berikut: (1) Latihan Relaksasi. (2) Desentisasi Sistematik. (3) Konseling Impulsif. (4)
Aversif. (5) Latihan Asertif. (6) Teknik-teknik kognitif. Dalam penelitian yang akan
dilakukan, peneliti memfokuskan kepada teknik latihan relaksasi.
�
�
���
�
2.2.3. Konseling Kelompok
Konseling kelompok diartikan sebagai suatu proses interpersonal yang
dinamis yang memusatkan pada kesadaran berpikir dan perilaku, serta melibatkan
fungsi-fungsi terapi yang dimungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenya-
taan, membersihkan jiwa, saling percaya dan mempercayai pemeliharaan, pengertian,
penerimaan dan bantuan. Fungsi-fungsi terapi itu diciptakan dan dipelihara dalam
wadah kelompok kecil melalui sumbangan (saling berbagi) dari tiap anggota
kelompok dan konselor. Konseling kelompok adalah suatu proses interpersonal yang
dinamis yang melibatkan penggunaan teknik-teknik konseling untuk individu-
individu yang normal (Nursalim, 2007).
Konseling kelompok merupakan upaya untuk membantu individu agar dapat
menjalani perkembangannya dengan lebih lancar, upaya itu bersifat preventif dan
perbaikan. Dengan kata lain konseling kelompok merupakan upaya pemberian
bantuan yang diberikan pada individu dalam suasana kelompok yang bersifat
pencegahan serta perbaikan agar individu yang bersangkutan dapat menjalankan
perkembangannya dengan lebih mudah (Bariyyah, 2009).
Natawidjaja (2009) berpendapat, dalam melakukan konseling kelompok ada
tiga tahapan yang harus dilakukan oleh konselor yaitu Tahap awal merupakan tahap
memperkenalkan, melibatkan, dan memasukkan para anggota kedalam kehidupan
suatu kelompok. Kemudian Tahap pertengahan meliputi diskusi saling berbagi
pendapat dan pengalaman, dan memecahkan masalah atau mengerjakan tugas-tugas.
Tahap akhir merupakan tahap penutupan konseling kelompok, ini merupakan sat
�
�
���
�
perlunya konselor merangkumkan semua yang telah dilakukan pada fase terdahulu
(tahap awal dan tahap pertengahan). Pada tahap nilah dilakukan reviu terhadap
berbagai pembahasan yang dilakukan sebelumnya.
5 tahapan yang perlu dilakukan dalam konseling yaitu yang pertama adalah
pembukaan. Diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antar pribadi yang baik,
yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah pada penyelesaian masalah.
Tahap kedua adalah penjelasan masalah, mengutarakan masalah yang dihadapi
berkaitan dengan materi diskusi. Kemudian tahap ketiga yaitu penggalian latar
belakang masalah, para konseli pada tahap sebelumnya biasanya belum menyajikan
gambaran lengkap mengenai kedudukan masalah dalam keseluruhan situasi hidup
masing-masing, diperlukan penjelasan lebih mendetail dan mendalam. Tahap
keempat yaitu penyelesaian masalah, berdasarkan apa yang sudah digali dalam fase
analisis kasus, konselor dan para konseli membahas bagaimana persoalan dapat
diatasi. Lalu tahap yang kelima yaitu penutup, proses konseling dapat diakhiri dan
kelompok dibubarkan pada pertemuan terakhir (Winkel & Hastuti ,2007).
2.2.4. Tahapan Konseling Kelompok Behavioral
Rose, Holander dan Kazaoka (dalam Supriatna, 2003) mengungkapkan
tahapan prinsip-prinsip yang secara universal digunakan untuk kelompok behavioral,
yaitu:
�
�
���
�
Tahap 1: Dapat diberi label pembentukan kelompok (forming the group).
Pembentukan kelompok terdiri dari perincian organisasional yang harus
ditunjukan sebelum kelompok dimulai.
Tahap 2: Meliputi membangun atraksi dan identitas kelompok awal. Pemimpin
berperan utama dalam proses ini melalui pemanduan wawancara individu
pada pra-kelompok, dalam proses ini melalui pemanduan wawancara
mengeksplorasi tujuan mereka lebih mendalam.
Tahap 3: Dapat digambarkan sebagai membangun keterbukaan dan pertukaran di
dalam kelompok. Pemimpin mendorong perilaku dengan membiarkan
anggota kelompok mengetahui apa yang diharapkan, melalui perkenalan
sub-group kepada yang lain, dan melalui modeling yang ditanyakan
anggota kelompok untuk dilakukan.
Tahap 4: Membangun suatu kerangka kerja behavioral untuk seluruh peserta yang
sebenarnya merupakan permulaan tahapan kerja di dalam kelompok.
Tahap 5: Membangun dan mengimplementasikan suatu model untuk
perubahan.
Tahap 6: Adalah generalisasi dan transferensi perlakuan kepada lingkungan alamiah,
sebagai ciri-ciri mulai mengakhiri kelompok.
Tahap 7: Dalam kelompok perilaku adalah memelihara perubahan perilaku dan
menghilangkan kebutuhan atas dukungan kelompok. Pemeliharaan didefi-
nisikan sebagai kehidupan yang lebih konsisten dalam melakukan suatu
tindakan yang diinginkan, tanpa mengandalkan kelompok atau pemimpin
�
�
���
�
untuk mendukung. Dalam tahap ini, ditekankan self-control (pengawasan
diri) dan self-management (mengelola diri sendiri) anggota kelompok.
Dari pendapat mengenai tahapan konseling kelompok, penulis menyatakan
bahwa tahapan konseling kelompok behavior dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
awal, inti, dan akhir. Tahapannya sebagai berikut:
1. Dari tahap awal, dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok, lalu setelah
kelompok terbentuk dilakukannya interaksi antar anggota kelompok agar
terciptanya suatu tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok.
2. Kemudian tahapan inti yang dimana kegiatanya berupa membangun kerangka
kerja bagi semua anggota kelompok sehingga kelompok dapat memulai apa
yang akan dilakuakan dalam konseling kelompok. Setelah kerangka kerja
tersusun dan mulai dilakukan dalam kelompok kemudian kelompok diharap
mampu mengimplementasikan tujuan yang akan dicapai. Tujuan itu adalah
perubahan tingkah laku yang lebih baik. Anggota kelompok
mengimplementasikan suatu model (latihan relaksasi) yang akan dipakai dalam
konseling kelompok behavior.
3. Tahap akhir, generalisasi dan transfersi yang nyata di dalam sebuah lingkungan
yang kelompok hadapi. Konselor melakaukan evaluasi kepada kelompok
dengan menanyakan perubahan-perubahan apa saja yang sudah dialami anggota
kelompok, kemudian konselor menyimpulkan kegiatan yang sudah dilakukan
lalu konselor dan anggota kelompok menutup kegiatan tersebut.
�
�
���
�
2.3 Relaksasi
2.3.1 Pengertian Relaksasi
Relaksasi adalah suatu teknik konseling yang lahir dari tradisi konseling
perilaku. Penggunaan relaksasi mempunyai sejarah yang luas dalam bidang
kedokteran, konseling psikologis, dan psikiatri. Menurut Hansen (dalam Abimanyu,
1996) latihan relaksasi diutamakan untuk beberapa kecemasan tetapi lebih mudah
diaplikasikan pada stimulus yang menyebabkan kecemasan. Model yanng paling awal
dikembangkan oleh Jacobson (dalam Abimanyu, 1996) yang merupakan teknik dalam
mengintruksikan konseli untuk merelaksasikan otot. Ini sejalan dengan Chaplin
(dalam Abimanyu, 1996) yang mengatakan relaksasi adalah kembalinya otot ke
keadaan semula (istirahat) setelah kontraksi.atau suatu keadaan tegang yang rendah
dengan tanpa emosi yang kuat. Benson (dalam Abimanyu, 1996) melaporkan hasil
penelitian Porter dan Peters terhadap 120 subjek yang dibagi ke dalam tiga kelompok,
yakni kelompok yang melakukan relaksasi dengan prosedur biasa, kelompok yang
hanya diminta relaks sejenak, serta kelompok yang sama sekali tidak melakukan
relaksasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok yang melakukan
relaksasi mengalami penurunan tekanan darah dan bebas dari simptom-simptom
kecemasan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat didefinisikan berkaitan dengan atlet
taekwondo yang akan menghadapi kejuaraan, bahwa relaksasi adalah suatu teknik
untuk mengurangi kecemasan dengan menstimulasi yang menjadi penyebab-
penyebab kecemasan itu sendiri, sehingga kecemasan yang berupa ketegangan-
�
�
��
�
ketegangan dapat dilakukan relaksasi berupa mengembalikan otot-otot ke dalam
bentuk semula (istirahat) sehingga ketegangan dapat dikurangi tanpa emosi yang
berlebihan.
2.3.2 Tujuan Relaksasi
Pada umumnya relaksasi digunakan untuk mengajarkan konseli bagaimana:
1) Merelaksasikan otot
2) Merileksasikan mental
3) Mengurangi kecemasan
4) Selain itu juga mengontrol stres
5) Menjaga pikiran saat cemas
Tujuan jangka panjang dari rilaksasi otot adalah agar tubuh dapat memonitor
sesegera mungkin sinyal kontrolnya dan secara otomatis membebaskan tegangan
yang tidak diinginkan.
2.3.3 Manfaat Relaksasi
Ada sejumlah manfaat relaksasi yang telah diteliti, antara lain:
(1) Relaksasi yang disajikan sebagai Active Coping Skill secara signifikan
menunjukkan pengurangan kekecewaan yang lebih besar dari pada subyek
yang hanya diberi latihan relaksasi yang disajikan sebagai prosedur
otomatis untuk mengurangai kecemasan. Trien, (dalam Abimanyu, 1996).
�
�
��
�
(2) Latihan relaksasi dapat sangat menolong tekanan daerah tinggi dan
masalah Cardiovascula, migran, asma, dan insomnia. Corey (dalam
Abimanyu, 1996).
(3) Relaksasi digunakan oleh konseli yang mengalami ganguan tidur, sakit
kepala tekanan darah tinggi, kecemasan umum, asma, peminum berat,
hiperaktif, kesulitan mengontrol amarah. Collins (dalam Abimanyu,
1996).
(4) Relaksasi juga dapat dipergunakan untuk membantu melahirkan bayi, agar
dapat lebih rileks dan mengurangi rasa sakit saat melahirkan, Lamaze
(dalam Abimanyu, 1996).
(5) Menurut Joseph Wolpe (dalam Abimanyu, 1996) relaksasi dapat meredam
kecemasan.
(6) Setelah melakukan relaksasi beberapa minggu 1atau dua kali sehari akan
merasakan perubahan mental dan operasional. Pada kelompok yang
melakukan relaksasi mengalami penurunan tekanan darah dan bebas dari
symptom kecemasan, Benson (dalam Abimanyu, 1996).
2.3.4 Langkah Relaksasi
Cormmier dan Cormier (dalam Abimanyu, 1996) mengemukakan tujuh
langkah relaksasi sebagai berikut:
1) Rasional
�
�
���
�
Dalam tahap ini konselor mengemukakan tujuan dan prosedur
singkat pelaksanaan relaksasi, serta konfirmasi tentang
kesediaan/kesungguhan konseli menggunakan strategi ini.
2) Instruksi tentang pakaian
Sebelum session latihan sebenarnya, konseli hendaknya diberi
petunjuk baju yang layak untuk relaksasi. Konseli hendaknya
menggunakan baju yang enak seperti slack, blouse, atau baju longgar,
atau pakaian apa saja yang tidak mengganggu selama relaksasi. Konseli
yang memakai kontak-lens hendaknya melepaskannya dan
menggunakan kacamata biasa agar merasa enak jika memejamkan mata.
3) Menciptakan lingkungan yang nyaman
Lingkungan yang enak diperlukan agar latihan relaksasi menjadi
efektif. Lingkungan latihan hendaknya tenang dan bebas dari suara yang
mengganggu seperti suara telepon, suara TV, radio maupun lalu-lalang
orang lewat. Jika ada hendaknya menggunakan kursi yang berlapis
empuk. Jika latihan relaksasi dilakukan secara kelompok, karpet atau
tikar hendaknya digelar di lantai dan disiapkan bantal kepala. Konseli
dapat telentang di lantai dan tangannya kian ke samping dengan telapak
tangan ke bawah.
4) Konselor memberi contoh latihan relaksasi itu
Sebelum latihan dimulai konselor hendaknya memberi contoh
secara singkat beberapa latihan otot yang akan dipakai dalam relaksasi.
�
�
���
�
Konselor mulai dengan tangan kiri atau kanan: mengepalkan tangan,
lalu mengendurkannya dan membuka jari-jari, kepalkan dan kendurkan
lagi jari-jari lainnya, lalu bengkokan kedua pergelangan dan kendurkan,
angkat bahu dan kendurkan lagi. Demonstrasi dapat dilanjutkan dengan
latihan otot lainnya. Konselor hendaknya mengatakan kepada konseli
bahwa demonstrasi ini dilakukan lebih cepat daripada yang akan
dilakukan oleh konseli.
Konselor hendaknya juga memberi komentar pada demons-
trasinya. Misalnya: “Jika saya memegang otot bisep saya seperti ini,
saya merasakan tegangan pada otot bisep saya dan sekarang, jika saya
relaks dan saya turunkan tangan saya, saya merasakan adanya
perbedaan antara tegangan yang tadi dengan setelah dikendurkan.
Demonstrasi ini digunakan untuk memberi contoh perbedaan antara
tegangan dan relaksasi.
5) Instruksi-instruksi untuk relaksasi otot
Dalam memberikan instruksi latihan relaksasi, suara konselor
hendaknya berbentuk percakapan, bukan dramatisasi. Golfreid dan
Davison (dalam Abimanyu, 1996) menyarankan agar konselor melak-
sanakan bersama-sama konseli selama permulaan latihan, agar konseli
tidak merasa janggal kok seperti latihan olahraga saja. Dalam memberi
instruksi konseli agar menegangkan dan mengendurkan otot, konselor
tidak boleh menginstruksikan konseli untuk menegangkan sekeras-
�
�
� �
�
kerasnya. Tetapi konselor diperbolehkan memberi tambahan dari
instruksinya dengan komentar tentang pernapasan konseli atau
pengalaman tentang kehangatan atau perasaan berat. Komentar
semacam itu dapat membantu konseli relaks. Konselor
menginstruksikan konseli untuk memperoleh rasa enak, menutup mata,
dan mendengarrkan instruksi.
Konselor menginstruksikan konseli untuk menegangkan dan
merelaksasi (mengendorkan) secara bergantian tiap 17 kelompok otot
(dua kali bagi tiap kelompok otot dalam latihan awal). Ketujuhbelas
kelompok otot itu yaitu: kepalan tangan kanan, kepalan tangan kiri,
pergelangan tangan, otot bisep, bahu, dahi, mata, lidah atau rahang
bibir, kepala belakang, leher punggung, dada, perut, pantat, kaki, dan
jari kaki. Setelah itu konselor menginstruksikan konseli untuk
memeriksa kembali dan merelakskan semua kelompok otot. Untuk
melihat keberhasilan konseli membuat ototnya relaks, konselor
menyuruh konseli untuk menilai tingkat kerelaksan otot tersebut,
dengan skala 0 sampai 5. 0 berarti sama sekali relaks dan 5 sangat
tegang.
6) Penilaian setelah Relaksasi
Konselor menanyakan konseli tentang session pertama latihan
relaksasi, mendiskusikan masalah-masalah jika selama latihan konseli
mengalaminya.
�
�
���
�
7) Pekerjaan rumah dan tindak lanjut
Konselor menugaskan pekerjaan rumah dan meminta konseli
mengisi buku penilaian terhadap latihan relaksasi di rumah itu. Di
samping itu konselor juga mengatur session tindak lanjut.
2.4 Langkah-langkah Konseling Kelompok Behavioral Menggunakan Teknik
Relaksasi
Penulis mendefinisikan tahapan konseling kelompok menjadi tiga tahapan
yaitu tahap awal, tahap pertengahan, dan tahap akhir. Dalam tahap awal terdapat
aspek seperti pembukaan yang perlu dilakukan untuk memulai sebuah kegiatan
konseling kelompok, lalu penjelasan masalah yang akan dibahas dalam konseling
kelompok. Tahap pertengahan atau tahap inti terdapat aspek pembahasan masalah
yang sudah diutarakan dalam tahap sebelumnya, dan aspek penyelesaian masalah
merupakan penyelasaian masalah yang sudah dibahas besama kelompok. Tahap akhir
yaitu penutup, dilakukan pada pertemuan yang terahkir.
Tahapan konseling kelompok behavior dibagi menjadi tiga yaitu awal, inti,
dan akhir. Tahap awal, dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok, setelah
kelompok terbentuk dilakukan interaksi antar anggota kelompok agar tercipta tujuan
yang ingin dicapai oleh kelompok. Kemudian tahapan inti dimana kegiatanya berupa
membangun kerangka kerja bagi semua anggota kelompok, sehingga kelompok dapat
memulai apa yang akan dilakukan dalam konseling kelompok. Setelah kerangka kerja
tersusun dan mulai dilakukan dalam kelompok, diharap kelompok mampu
�
�
���
�
mengimplementasikan tujuan yang akan dicapai, yaitu perubahan tingkah laku yang
lebih baik.
Anggota kelompok mengimplementasikan suatu model (latihan relaksasi)
yang akan dipakai dalam konseling kelompok behavior. Tahap akhir, generalisasi dan
transfersi yang nyata di dalam lingkungan yang kelompok hadapi. Konselor
melakukan evaluasi dengan menanyakan perubahan-perubahan apa saja yang sudah
dialami anggota kelompok, kemudian konselor menyimpulkan kegiatan yang sudah
dilakukan dan bersama-sama menutup kegiatan tersebut.
Langkah-langkah relaksasi definisikan kembali bagaimana langkah-langkah
latihan relaksasi dapat dilakukan kepada atlet taekwodo. Latihan relaksasi tersebut
memberi gambaran bagaimana para atlet dapat membuat dirinya nyaman dan dapat
mengurangi ketegangan-ketegangan yang dialami sebelum menghadapi kejuaraaan.
Berdasarkan tahapan yang ada, langkah relaksasi di bagi menjadi tiga yaitu langkah
awal, langkah inti, kemudian langkah akhir. Dalam langkah awal dapat disimpulkan
bahwa membuat kondisi terasa nyaman perlu dilakukan untuk mawal kegiatan
relaksasi. Kemudian memasuki tahap inti, para peserta relaksasi mulai memasuki
latihan relaksasi dengan bimbingan sesuai prosedur yang ada. Lalu tahap selanjutnya
adalah tahap akhir, di tahap ini peserta diharapkan mampu mengutarakan perasaan
dan keadaan tubuhnya setelah melakukan latihan relaksasi ini. Dalam tahap akhir
juga perlu di tekankan agar latihan relaksasi tidak hanya dilakukan di tempat latihan
saja, melainkan dianjurkan melakukannya di luar jam latihan relaksasi tersebut,
contoh: melakukannya di rumah.
�
�
���
�
Dari definisi diatas, penulis menyatakan ada tiga tahap utama dalam
melakukan konseling behavior melalui teknik relaksasi yaitu tahap awal, tahap
pertengahan atau inti, dan tahap akhir.
a. Tahap awal
Tahap ini dimulai dengan membentuk kelompok yang mempunyai
masalah yang sama yaitu tentang kecemasan dalam menghadapi ujian
kenaikan tingkat. Kelompok melakukan perkenalan dengan sesama
anggotanya. Selanjutnya penulis menyampaikan tujuan dari kegiatan
konseling kelompok. Setelah itu, terlebih dahulu penulis menjelaskan tentang
pengertian konseling kelompok dan cara-cara pelaksanaan konseling
kelompok sebelum menjelaskan pengertian kecemasan dan gejala-gejala
orang yang mengalami kecemasan, dilanjutkan dengan permainan. Ketika
suasana mulai hangat, kegiatan selanjutnya yaitu setiap anggota kelompok
diminta untuk mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan
kecemasan sebelum menghadapi ujian kenaikan tingkat. Penulis bersama
anggota kelompok menentukan tujuan anggota kelompok dalam mengikut
konseling kelompok. Kemudian penulis menetapkan teknik relaksasi untuk
mengatasi permasalahan.
b. Tahap pertengahan
Tahap ini memasuki inti dari konseling kelompok, dimulai dengan
membahas masalah yang ada. Dari permasalahan yang dimiliki anggota
kelompok mengenai kecemasan sebelum menghadapi ujian kenaikan tingkat,
�
�
���
�
penulis menggunakan teknik latihan relaksasi untuk mengurangi kecemasan
anggota kelompok. Kelompok melakukan relaksasi sesuai dengan instruksi
penulis. Diharapkan latihan relaksasi ini dapat mengurangi kecemasan pada
anggota kelompok. Setelah melakukan latihan relaksasi anggota kelompok
memberikan kesan-kesan yang dirasakan. Kemudian penulis dan kelompok
memutuskan untuk mengadakan tindak lanjut.
c. Tahap akhir
Pada tahap ini penulis mengadakan evaluasi yang berkaitan dengan
layanan konseling kelompok menggunakan teknik relaksasi yang sudah
diberikan kepada anggota kelompok seperti, penulis menanyakan kembali
perasaan dan perkembangan anggota kelompok setelah melakukan konseling
kelompok dengan teknik relaksasi. Penulis memberi post test kepada anggota
untuk mengetahui hasil setelah melakukan konseling kelompok menggunakan
teknik relaksasi. Kemudian penulis menghakhiri pertemuan.
2.5 Temuan Penelitian Yang Relevan
Sulistiyana (2010) dalam penelitian “Efektivitas Teknik Relaksasi Fisik (Otot)
untuk Menurunkan Kecemasan Siswa dalam Menghadapi UAS di SMAN 3 Malang.
Dari hasil analisis tersebut nilai hitung uji wilcoxon Z=-2,371a dan mempunyai
signifikansi hitung kurang dari 0,018< 0,05 maka dapat dikatakan bahwa terdapat
efektifitas yang signifikan terhadap penurunan kecemasan antara kelompok kontrol
�
�
���
�
dengan kelompok eksperimen, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelatihan relaksasi
efektif untuk menurunkan kecemasan Siswa dalam Menghadapi UAS.
Ghazalba (2009) dalam penelitian “Pengaruh Pelatihan Relaksasi Terhadap
Kecemasan Pada Atlet Karate”. Dari hasil U-test diperoleh nilai U sebelum pelatihan
(pre-test) sebesar 135,500 dengan p>0,05, sedangkan nilai U setelah pelatihan (post-
test) sebesar 59,500 dengan p<0,05, hal ini dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang
signifikan tingkat kecemasan kelompok eksperimen sebelum pelatihan dengan setelah
pelatihan, dimana rerata kelompok eksperimen sebelum pelatihan sebesar 19,97 dan
sesudah pelatihan sebesar 12,81. Dengan demikian kecemasan setelah pelatihan pada
kelompok eksperimen lebih rendah dibandingkan sebelum pelatihan. Sedangkan pada
kelompok kontrol diperoleh rerata pretest 17,03 dan posttest 24,19 sehingga ada
perbedaan kecemasan pada kelompok kontrol pada awal pengetesan dan akhir
pengetesan, hal ini dapat diartikan bahwa pada kelompok kontrol tingkat
kecemasanya lebih tinggi.
2.6 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah relaksasi dalam
pendekatan behavior efektif untuk mengurangi kecemasan Taekwondo-in sebelum
menghadapi ujian kenaikan tingkat.
�
�