BAB II KAJIAN PUSTAKArepository.stei.ac.id/2516/3/BAB II KAJIAN PUSTAKA - SITI...Selain itu komite...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKArepository.stei.ac.id/2516/3/BAB II KAJIAN PUSTAKA - SITI...Selain itu komite...
11
STEI INDONESIA
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Review Hasil – Hasil Penelitian Terdahulu
Pembahasan pada penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian
sebelumnya. Berikut akan diuraikan beberapa penelitian terdahulu yang
mendukung penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Vidiyanna dan Bela (2017) menunjukkan
bahwa leverage berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penghindaran pajak.
Semakin tinggi rasio leverage, semakin tinggi pendanaan dari utang pihak ketiga
yang kemudian meningkatkan biaya bunga yang timbul. Return on Assets (ROA)
berpengaruh negatif dan signifikan karena profitabilitas perusahaan meningkat
mengindikasikan baiknya kinerja perusahaan, lalu mempengaruhi beban pajak
yang meningkat. Variabel ukuran perusahaan berpengaruh postif terhadap cash
effective tax rate (CETR). Semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar
CETR, kemudian menurunnya tingkat penghindaran pajak. Variabel kepemilikan
institusional berpengaruh positif terhadap CETR. Semakin tinggi kepemilikan
institusional, semakin tinggi pula jumlah beban pajak yang harus dibayarkan
perusahaan. Dalam penelitian ini peneliti tertarik menggunakan manajemen laba
sebagai variabel yang menjadi pembeda serta mengambil kepemilikan
institusional sebagai variabel penelitian.
Penelitian yang dilakukan oleh Purwanti dan Sugiyarti (2017)
menunjukkan bahwa variabel intensitas aset tetap berpengaruh secara signifikan
terhadap tax avoidance, karena semakin besar intenistas aset tetap maka semakin
besar pula beban penyusutan yang kemudian membuat semakin besar beban
penyusutan untuk mengurangi beban pajak perusahaan. Variabel pertumbuhan
penjualan berpengaruh secara signifikan terhadap tax avoidance, karena semakin
besar penjualan maka laba yang didapatkan semakin besar, lalu semakin besar
pula beban pajak yang perusahaan tanggung. Variabel koneksi politik tidak
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance, karena semakin besar hubungan
12
STEI INDONESIA
politik yang dimiliki perusahaan, semakin kecil perusahaan memanfaatkan
hubungan politik tersebut untuk melakukan penghindaran pajak. Peneliti tertarik
untuk menggunakan variabel intensitas aset tetap karena asset tetap yang dimiliki
perusahan dapat mempengaruhi pembayaran pajak.
Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan dan Amrie (2016) menyatakan
bahwa leverage berpengaruh positif signifikan terhadap penghindaran pajak.
Besar kecilnya leverage perusahaan akan mempengaruhi peningkatan maupun
penurunan penghindaran pajak. Kompensasi rugi fiskal tidak berpengaruh
signifikan terhadap penghindaran pajak. Besar kecilnya kompensasi rugi fiskal
yang ada pada perusahaan tidak mempengaruhi peningkatan maupun penurunan
penghindaran pajak. Manajemen laba berpengaruh positif signifikan terhadap
penghindaran pajak. Besar kecilnya manajemen laba perusahaan akan
mempengaruhi peningkatan maupun penurunan penghindaran pajak, dilihat dari
nilai koefisien yang positif maka jika manajemen laba meningkat, maka akan
meningkat penghindaran pajak, dan sebaliknya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dharma dan Adriana (2016 menunjukkan
bahwa leverage dan intensitas aset tetap berpengaruh negatif terhadap tax
avoidance. Tingginya tingkat leverage akan menurunkan tingkat tax avoidance,
karena semakin tinggi leverage maka perusahaan cenderung meningkatkan laba.
Semakin besar intensitas aset tetap maka semakin rendah tingkat tax avoidance
suatu perusahaan. Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
Semakin tinggi ukuran perusahaan maka tindakan tax avoidance semakin tinggi.
Lalu. koneksi politik tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Kekurangan dari
penelitian ini yaitu hanya menggunakan rasio-rasio keuangan dan tidak
menambahkan variabel lain yang berpotensi memengaruhi praktik tax avoidance,
sehingga peneliti menambahkan variabel-variabel lain yang berbeda dalam
penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati, Endang, dan Agusti (2016)
bahwa proporsi CSR dan komisaris independen berpengaruh positif dan
signifikan, hal ini karena CSR belum termasuk dalam pengurang pajak dan tidak
semua komisaris independen menunjukkan independensinya sehingga fungsi
13
STEI INDONESIA
pengawasan tidak berjalan baik. Kepenilikan manajerial dan kepemilikan
institusional memiliki efek negatif dan signifikan terhadap penghindaran pajak,
yang dikarenakan saham milik manajer cenderung membuat para manajer
mempertimbangkan keberlangsungan perusahaan yang dikelolanya sehingga
mereka tidak ingin usahanya melakukan penghindaran pajak, sedangkan semakin
tinggi kepemilikan institusional akan mengoptimalkan pengawasan atas kinerja
manajemen dengan memonitor setiap keputusan yang diambil oleh pihak
manajemen.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahulae, Pratomo, dan Nurbaiti (2016)
menunjukkan bahwa Kepemilikan Institusional berpengaruh positif signifikan
terhadap tax avoidance, yang artinya semakin tinggi proporsi kepemilikan saham
yang dimiliki oleh institusional maka akan mempengaruhi tindakan pajak agresif
oleh perusahaan. Kepemilikan Manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap
tax avoidance karena dalam penelitian ini proporsi kepemilikan saham yang
dimiliki oleh pihak manajerial lebih kecil dibanding dengan jumlah kepemilikan
insitusional. Komite Audit berpengaruh negatif signifikan terhadap tax
avoidance, banyak sedikitnya jumlah komite audit tidak menjamin komite audit
dapat meminimalisasi praktik peghindaran pajak yang mungkin dilakukan
perusahaan. Penelitian ini hanya menggunakan perusahaan manufaktur dengan
sektor otomotif, sehingga peneliti menggunakan seluruh sektor dalam perusahaan
manufaktur sebagai pembeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dan Susanto (2015)
menunjukkan bahwa risiko perusahaan dan ROA berpengaruh terhadap tax
avoidance, Naik-turunnya risiko perusahaan mencerminkan kecenderungan dari
karakter eksekutif sedangkan ROA adalah salah satu indikator dalam pencapaian
laba. Laba merupakan faktor terpenting dalam penentuan besaran tarif pajak
efektif. Selain itu komite audit, kualitas audit dan kepemilikan institusional tidak
berpengaruh terhadap tax avoidance. Komite audit dengan anggota sedikit
cenderung dapat bertindak lebih efisien, namun terdapat kelemahan, yakni
minimnya pengalaman anggota. Perusahaan yang diaudit oleh KAP big 4 akan
lebih cenderung dipercayai oleh fiskus karena KAP tersebut memiliki reputasi,
integritas yang tinggi, namun jika perusahaan bisa memberikan keuntungan dan
14
STEI INDONESIA
kesejahteraan yang lebih baik terhadap KAP dengan reputasi baik, bisa saja KAP
tersebut melakukan kecurangan. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan
saham yang dimiliki institusi seperti pemerintah, perusahaan asuransi, investor
luar negeri, atau bank kecuali kepemilikan individual.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014) menunjukkan bahwa likuiditas
tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak. Perusahaan manufaktur tidak
menjadikan pajak sebagai tujuan untuk meminimalisasi biaya. Manajemen laba
tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak, manajemen laba yang dilakukan
perusahaan dapat meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan namun tidak
berdampak besar bagi tujuan meminimalisasi biaya pajak. Corporate Governance
berpengaruh signifikan negatif terhadap agresivitas pajak. Kekurangan dari
penelitian ini hanya menggunakan variabel likuiditas, manajemen laba dan
corporate governance, di mana masih banyak faktor-faktor yang berkontribusi
seperti struktur kepemilikan, sehingga dalam penelitian peneliti menambahkan
variabel kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial.
Penelitian yang dilakukan oleh Dianing Ratna (2016) menunjukkan
profitabilitas berpengaruh negatif terhadap tax avoidance. Profitabilitas adalah
gambaran kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba dari pengelolaan aset.
Kepemilikan keluarga tidak berpengaruh terhadap tax avoidance, karena
kepemilikan keluarga dalam penelitian ini jumlahnya relatif kecil. Dewan
komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance.
Dewan komisaris independen adalah seseorang yang tidak terafiliasi dengan
pemegang saham pengendali, dan tidak menjabat sebagai direktur pada
perusahaan. Kepemilikan institusional berpengaruh negatif secara signifikan
terhadap penghindaran pajak. Kepemilikan saham institusional yaitu kepemilikan
individu atau atas nama perorangan diatas lima persen tetapi tidak termasuk dalam
golongan kepemilikan insider.
Penelitian yang dilakukan oleh Christopher S. Armstrong, Jennifer L.
Blouin, Alan D. Jagolinzer dan David F. Larcker (2015) menunjukkan bahwa
atribut tata kelola ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan lebih banyak
15
STEI INDONESIA
tingkat penghindaran pajak yang ekstrem, yang lebih cenderung menjadi gejala
investasi yang berlebihan dan kurang oleh manajer.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmed Zemzem dan Khaoula Ftouhi pada
tahun 2013 menunjukkan bahwa ukuran papan dan persentase wanita di papan
mempengaruhi aktivitas agresivitas pajak. Pengembalian aset dan ukuran
perusahaan terkait secara signifikan dan positif.
2.2 Landasan Teori
2.2.1. Teori Agensi (Agency Theory)
Teori Keagenan (Agency Theory) dapat mendeskripsikan mengenai
pengelolaan Perusahaan yang harus dipantau dan dikendalikan untuk memastikan
agar pengelolaan Perusahaan yang dilakukan dengan penuh kepatuhan sesuai
peraturan dan ketentuan yang berlaku. (Wolfenson, 1999 dalam Suci, 2018).
Hubungan agensi (agency relationship) terjadi ketika pemilik perusahaan
mengontrak agen (agent) yaitu manajer untuk melakukan jasanya dan
memberikan kekuasaan kepada agen dalam pembuatan keputusan yang terbaik
untuk pemilik perusahaan. Adanya kekuasaan tersebut sering mengakibatkan
konflik yang didasari oleh kepentingan dari madding – masing pihak dimana
pemilik saham berfokus pada peningkatan nilai sahamnya, sedangkan manajer
berfokus pada pemenuhan kepentingan pribadinya yang berhubungan dengan
perusahaan seperti yang dijelaskan dalam teori keagenan Jensen dan Meckling
(1976). Menurut Mathius (2015:5) merupakan implementasi dalam organisasi
modern. Teori agensi menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang
saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga profesional
yang disebut agen yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis sehari-hari.
Tujuan dari dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan perusahaan yaitu agar
pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan
dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional. Mereka, para tenaga-
tenaga profesional, bertugas untuk kepentingan perusahaan dan memiliki
keleluasaan dalam menjalankan manajemen perusahaan. Sehingga dalam hal ini
16
STEI INDONESIA
para profesional tersebut berperan sebagai agennya pemegang saham. Semakin
besar perusahaan yang dikelola memperoleh laba, semakin besar pula manfaat
yang didapatkan agen. Sementara pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya
bertugas mengawasi dan memonitor jalannya perusahaan yang dikelola oleh
manajemen serta mengembangkan sistem insentif bagi pengelola manajemen
untuk memastikan bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan.
Namun pada sisi lain pemisahan seperti ini memiliki sisi negatifnya. Adanya
keleluasaan pengelola manajemen perusahaan untuk memaksimalkan laba
perusahaan bisa mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan
pengelolaannya sendiri dengan beban dan biaya yang harus ditanggung oleh
pemilik perusahaan. Teori keagenan menyatakan perlunya jasa independen
auditor dapat dijelaskan dengan dasar teori keagenan, yaitu hubungan antara
pemilik (principal) dengan manajemen (agent).
2.2.2. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)
Menurut Mathius (2015:2) Stakeholder dapat diartikan sebagai segenap
pihak yang isu dan permasalahan yang sedang diangkat. Misalnya bilamana isu
perpajakan, maka stakeholder dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait
dengan isu perpajakan, seperti principal (pemilik saham), manajemen (agent),
regulator (pemerintah), dan sebaginya. Lembaga-lembaga publik telah
menggunakan istilah stakeholder ini secara luas ke dalam proses-proses
pengambilan keputusan dan implementasi keputusan. Berdasarkan kekuatan,
posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu isi, stakeholder dapat
dikategorikan ke dalam beberapa kelompok ODA (1995) dalam Mathius (2015:3)
mengelompokkan stakeholder ke dalam yaitu stakeholder primer, sekunder, dan
kunci.
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan
kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek.
Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan
keputusan. Misalnya pihak manajer publik: lembaga/badan publik yang
bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan.
17
STEI INDONESIA
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan
kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek,
tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut
bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal
pemerintah. Misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Stakeholder kunci
merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal
pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif
sesuai levelnya, legislatif, dan instansi.
2.2.3. Manajemen Pajak
Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan
dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin
untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Manajemen pajak
merupakan upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal. Tujuan
manajemen pajak adalah :
Menerapkan peraturan perpajakan yang benar.
Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
Membayar pajak menurut hukum dan peraturan yang berlaku.
Menghindari hal-hal yang tidak terduga.
Fungsi manajemen pajak :
1. Perencanaan Pajak (tax planning)
Tahap awal dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap
peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan
penghematan pajak yang akan dilakukan.
Pada umumnya untuk meminimumkan kewajiban pajak
elalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau
fenomena terkena pajak mengetahui faktor-faktor yang akan
dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak.
2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (tax implementation)
Memahami ketentuan peraturan perpajakan.
Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat.
3. Pengendalian Pajak (Tax control)
18
STEI INDONESIA
Bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah
dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah
memenuhi persyaratan formal dan material.
Pemeriksaan pembayaran pajak (timing)
Tax management adalah sebagai proses dan struktur yang digunakan untuk
mengarahkan dan mengelola pajak perusahaan dalam rangka meningkatkan
kinerja perusahaan dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama pengabdian
berbangsa dan bernegara dengan tetap memperhatikan kepentingan para
konstituen (stakeholders). (Mochammad Zain, 2007).
2.2.4. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Salah satu upaya perusahaan untuk memperoleh laba yang diharapkannya
melalui penerapan manajemen pajak salah satunya adalah melalui penghindaran
pajak (tax avoidance), yaitu mengurangi jumlah pajak dengan cara yang tidak
melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan. Penghindaran pajak
dapat juga didefinisikan sebagai suatu bagian dari strategi manajemen pajak
yang tidak dilarang dalam undang-undang pajak. Penghindaran pajak umumnya
dapat dibedakan dari penggelapan pajak (tax evasion), di mana penggelapan pajak
terkait dengan penggunaan cara-cara yang melanggar hukum untuk mengurangi
atau menghilangkan beban pajak sedangkan penghindaran pajak dilakukan secara
“legal” dengan memanfaatkan celah (loopholes) yang terdapat dalam peraturan
perpajakan yang ada untuk menghindari pembayaran pajak, atau melakukan
transaksi yang tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak.
Penghindaran pajak sering dikaitkan dengan perencanaan pajak (tax planning), di
mana keduanya sama-sama menggunakan cara yang legal untuk mengurangi atau
bahkan menghilangkan kewajiban pajak. Akan tetapi, perencanaan pajak tidak
diperdebatkan mengenai keabsahannya, sedangkan penghindaran pajak
merupakan sesuatu yang secara umum dianggap sebagai tindakan yang tidak
dapat diterima.
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan
domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak
19
STEI INDONESIA
dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara.
(Sukartha dan Darmawan, 2014 dan Diantari dan Ulupui, 2016).
2.2.5. Manajemen Laba
Manajemen laba terbagi menjadi dua berdasarkan karakteristik. Pertama,
manajemen laba adalah perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan
utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan biaya-biaya
politik. Kedua, manajemen laba berdasarkan perspektif efficient contracting, di
mana manajemen laba memberi manajer suatu kebebasan untuk melindungi diri
mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian tidak terduga
untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Oleh karena itu,
manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaan melalui manajemen
laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan
pertumbuhan laba sepanjang waktu (Scott, 2015).
Salah satu motivasi timbulnya manajemen laba adalah motivasi pajak.
Perpajakan adalah salah satu alasan utama mengapa perusahaan ingin mengurangi
laba yang dilaporkan melalui penggunaaan akrual. Salah satu karakteristik
manajemen laba yaitu meminimumkan laba dengan cara menguranginya sehingga
menghasilkan laba minimum yang dilaporkan, kemudian perusahaan dapat
meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah (Scott,
2015).
2.2.6. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki institusi
dan kepemilikan blockholder (investor dengan posisi kepemilikan saham paling
sedikit 5%). Semakin tinggi kepemilikan institusional maka diharapkan mampu
menciptakan kontrol yang lebih baik. Kepemilikan institusional akan mendorong
peningkatan efektivitas monitoring kinerja manajemen. Menurut Novitasari
(2017) Pengawasan yang dilakukan oleh investor institusional sangat bergantung
pada besarnya investasi yang dilakukan. Pihak institusional yang menguasai
20
STEI INDONESIA
saham lebih besar daripada pemegang saham lainnya dapat melakukan
pengawasan terhadap kebijakan manajemen yang lebih besar juga sehingga
manajemen akan menghindari perilaku yang merugikan para pemegang saham.
Pihak investor institusional akan melakukan pengawasan secara aktif
terhadap kinerja perusahaan karena di dalam institusi investor itu sendiri terdapat
pihak yang professional dalam melakukan pengawasan. Adanya pengawasan yang
aktif dari pihak investor institusional menyebabkan tekanan pada perusahaan agar
berfokus pada kepentingan ekonomi para investor institusional yaitu laba yang
tinggi. Besar kecilnya konsentrasi kepemilikan institusional maka akan
mempengaruhi kebijakan pajak agresif oleh perusahaan.
2.2.7. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh pihak
manajemen, seperti pejabat perusahaan, para direksi, pemegang saham utama dan
semua pihak yang mempunyai informasi dari dalam perusahaan atas operasi
perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan
pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan secara
langsung dari keputusan yang diambil, manajer juga yang menanggung resiko bila
pengambilan keputusan salah atau tidak tepat.
Musyarrofah (2017) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial juga
berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer
dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang
saham. Sehingga permasalahan keagenan dapat diasumsikan akan hilang jika
seorang manajer dianggap sebagai seorang pemilik. Kebijakan dan keputusan
perusahaan dengan adanya kepemilikan manajerial tentu akan berbeda dengan
perusahaan tanpa kepemilikan manajerial. Perusahaan dengan kepemilikan
manajerial sebagai pemegang saham tentunya akan menyeimbangkan kepentingan
sebagai manajer dan pemegang saham. Pohan (2008) dalam Mahulae, Pratomo,
dan Nurbaiti (2016) mengatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan
saham oleh manajerial maka akan semakin baik kinerja perusahaan, dikarenakan
hal tersebut membantu menyatukan kepentingan pemegang saham dan manajer.
21
STEI INDONESIA
2.2.8. Intensitas Aset Tetap
Aset tetap adalah aset berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai
atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan,
tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun (PSAK No. 16 Tahun 2007.
(Waluyo, 2014:108) dalam Purwanti dan Sugiyarti (2017).
Intensitas aset tetap adalah perbandingan intensitas kepemilikan atas aset
tetap seuatu perusahaan dengan total aset yang dimiliki oleh perusahaan.
Kepemilikan aset tetap yang tinggi akan menyebabkan beban depresiasi yang
tinggi pula, hal ini kemudian mengakibatkan berkurangnya laba perusahaan.
Sehingga tingginya jumlah aset perusahaan dapat meningkatkan penghindarabn
pajak yang diakibatkan oleh tingginya biaya depresiasi yang melekat pada aset
milik perusahaan (Savitri dan Rahmawati, 2017).
Intensitas aset tetap menunjukkan seberapa banyak perusahaan telah
berinvestasi dalam aset tetap perusahaan. Intensitas aset tetap merupakan
persentase aset tetap yang dimiliki perusahaan untuk ditambahkan ke dalam
pengeluaran, yaitu beban penyusutan yang dihasilkan oleh jumlah aset. Intensitas
aset tetap adalah rasio aset tetap terhadap total aset yang dapat mencerminkan
ekspektasi kas yang dapat diterima dari transaksi aset (Taufiqurrochman, 2020).
Intensitas aset tetap menurut Mulyani dalam Meisiska (2016) dalam
Purwanti dan Sugiyarti (2017) merupakan proporsi di mana dalam aset tetap
terdapat pos bagi perusahaan untuk menambahkan beban yaitu beban penyusutan
yang ditimbulkan oleh aset tetap sebagai pengurang penghasilan, jika aset tetap
semakin besar maka laba yang dihasilkan akan semakin kecil, karena adanya
beban penyusutan yang terdapat dalam aset tetap yang dapat mengurangi laba.
Menurut Darmadi dan Zulaikha (2013) Intensitas Aset Tetap mencerminkan
proporsi atau presentase dari asset tetap yang terdapat di Perusahaan dengan cara
dibandingkan dengan total asset yang dimiliki.
Menurut Dharma dan Ardiana (2016) Intensitas kepemilikan aset tetap
dapat memengaruhi pembayaran pajak perusahaan. Intensitas aset tetap
perusahaan menggambarkan banyaknya investasi perusahaan terhadap aset tetap
22
STEI INDONESIA
perusahaan. Pemilihan investasi dalam bentuk aset tetap mengenai perpajakan
adalah dalam hal depresiasi. Beban depresiasi yang melekat pada kepemilikan
aset tetap akan memengaruhi pajak perusahaan, hal ini dikarenakan beban
depresiasi akan bertindak sebagai pengurang pajak.
Menurut Purwanti dan Sugiyarti (2017) intensitas aset tetap yang dimiliki
perusahaan semakin besar pula beban penyusutan yang akan didapatkan dan
semakin besar kemungkinan beban penyusutan akan mengurangi beban pajak
perusahaan dalam rekonsiliasi fiskal. Menurut Sundari dan Aprilina, (2017)
Intensitas Aset Tetap adalah menggambarkan banyaknya investasi perusahaan
terhadap asset tetap. Aset tetap dalam hal ini mencakup bangunan, pabrik,
peralatan, mesin, dan berbagai property lainnya.
2.2.9. Kepemilikan Keluarga
Kepemilikan keluarga merupakan setiap perusahaan yang memiliki
pemegang saham yang dominan, Sedangkan Morck dan Yeung (2004) dalam
Dianing (2016) mendefinisikan perusahaan keluarga meliputi perusahaan yang
dijalankan berdasarkan keturunan atau warisan dari orang – orang yang sudah
lebih dulu menjalankannya atau oleh keluarga yang secara terang-terangan
mewariskan perusahaannya kepada generasi selanjutnya.
Perusahaan keluarga dapat diidentifikasi dari karakteristik Dewan
Komisarisnya, di mana anggota keluarga pemilik seringkali berada, sebagai
anggota atau sebagai komisaris utama. Dewan Komisaris dapat dianggap sebagai
pemegang suara dari pemilik perusahaan untuk dapat mengakomodasi keinginan
dari pemilik perusahaan (Oktavia dan Hananto, 2018).
Sebuah perusahaan dikatakan dimiliki oleh keluarga apabila sebagian
besar kepemilikan dimiliki keluarga pendiri perusahaan serta memegang lebih
dari 20% saham perusahaan yang beredar, kemudian ada juga anggota keluarga
yang menjabat menjadi direktur atau menjadi bagian dari jajaran direksi (Oktavia
dan Hananto, 2018).
Struktur kepemilikan keluarga merupakan salah satu variabel yang dapat
mempengaruhi tindakan agresif suatu perusahaan. Permasalahan pada perusahaan
23
STEI INDONESIA
keluarga yaitu konflik yang lebih besar antara pemegang saham mayoritas dengan
pemegang saham minoritas, dan konflik yang lebih kecil antara pemilik dengan
manajer (Jensen, et al., 1976).
Untuk melihat apakah tindakan pajak yang agresif pada perusahaan keluarga
lebih rendah atau lebih tinggi daripada perusahaan non-keluarga, ditentukan dari
seberapa besar keuntungan atau kerugian yang ditanggung oleh pihak keluarga
sebagai manajemen perusahaan atau pihak manajer dalam perusahaan non-
keluarga. Dibandingkan dengan manajer perusahaan non-keluarga, pemilik
perusahaan keluarga mempunyai porsi kepemilikan yang besar, jangka waktu
investasi yang lebih panjang, serta perhatian yang besar pada reputasi perusahaan
sehingga keuntungan dan kerugian potensial yang bisa timbul dari tindakan pajak
agresif lebih banyak dirasakan oleh pemilik pada perusahaan keluarga (Setyawan,
2015).
2.3. Hubungan Antar Variabel
2.3.1. Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Tax Avoidance
Salah satu motivasi manajemen melakukan manajemen laba adalah
motivasi perpajakan. Hal ini dapat dijelaskan karena dasar pengenaan pajak
adalah jumlah penghasilan kena pajak yang dilaporkan oleh perusahaan maka
perusahaan cenderung menjaga labanya pada level tertentu. Sehingga dapat
diprediksikan bahwa perusahaan dengan tingkat pendapatan yang cenderung
meningkat akan melakukan income decreasing. Sebaliknya, perusahaan dengan
tingkat pendapatan yang cenderung menurun diprediksikan akan melakukan
income increasing untuk menghindari pemeriksaan pajak karena melaporkan
kerugian. Berdasarkan hasil penelitian Ridwan dan Amrie (2016) Manajemen laba
berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak. Hal ini menujukkan bahwa
bahwa terjadi hubungan searah antara Manajemen Laba dengan penghindaran
pajak sehingga apabila terjadi kenaikan pada Manajemen Laba maka akan terjadi
kenaikan pula pada penghindaran pajak. Putri (2014) menyatakan hal yang
sebaliknya, bahwa efek perpajakan tidak dipengaruhi oleh kegiatan manajemen
laba.
24
STEI INDONESIA
H1 : Manajemen Laba Berpengaruh Terhadap Tax Avoidance.
2.3.2. Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Tax Avoidance
Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki institusi
dan kepemilikan blockholder (investor dengan posisi kepemilikan saham paling
sedikit 5%). Semakin tinggi kepemilikan institusional maka diharapkan mampu
menciptakan kontrol yang lebih baik. Kepemilikan institusional akan mendorong
peningkatan efektivitas monitoring kinerja manajemen. Berdasarkan penilitian
Vidiyanna dan Bella (2017) menunjukkan hasil kepemilikan institusional
berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak.
Sedangkan menurut Damayanti dan Susanto (2015) kepemilikan
institusional tidak berpengaruh terhadap tax avoidance, hasil penelitian tersebut
berlawanan karena pemilik institusional kurang peduli dengan citra perusahaan
asalkan perusahaan tersebut bisa memaksimalkan kesejahteraan pemilik
institusional walaupun adanya perilaku manajemen dalam mengambil suatu
keputusan terutama dalam hal pajak yaitu dalam tindakan tax avoidance.
H2 : Kepemilikan Institusional Berpengaruh Terhadap Tax Avoidance.
2.3.3. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Tax Avoidance
Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh pihak
manajemen, seperti pejabat perusahaan, para direksi, pemegang saham utama dan
semua pihak yang mempunyai informasi dari dalam perusahaan atas operasi
perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan
pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan secara
langsung dari keputusan yang diambil, manajer juga yang menanggung resiko bila
pengambilan keputusan salah atau tidak tepat. Jika dalam struktur kepemilikan
perusahaan dimiliki oleh kepemilikan manajerial, maka manajer akan berupaya
untuk mengambil langkah-langkah untuk mengurangi beban pajak perusahaan
selama beberapa tahun (Musyarrofah, 2017).
Berdasarkan penelitian Rahmawati, Endang, dan Agusti (2016)
menunjukkan hasil kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan
25
STEI INDONESIA
terhadap penghindaran pajak. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan
Mahulae, Pratomo, dan Nurbaiti (2016) menyatakan bahwa kepemilikan
manajerial tidak memiliki pengaruh terhadap tax avoidance.
H3 : Kepemilikan Manajerial Berpengaruh Terhadap Tax Avoidance.
2.3.4. Pengaruh Intensitas Aset Tetap Terhadap Tax Avoidance
Intensitas kepemilikan aset tetap dapat memengaruhi pembayaran pajak
perusahaan. Intensitas aset tetap perusahaan menggambarkan banyaknya investasi
perusahaan terhadap aset tetap perusahaan. Pemilihan investasi dalam bentuk aset
tetap mengenai perpajakan adalah dalam hal depresiasi. Beban depresiasi yang
melekat pada kepemilikan aset tetap akan memengaruhi pajak perusahaan, hal ini
dikarenakan beban depresiasi akan bertindak sebagai pengurang pajak. Laba kena
pajak perusahaan yang semakin berkurang akan mengurangi pajak terutang
perusahaan. Perusahaan yang memiliki proporsi yang besar dalam aset tetap akan
membayar pajaknya lebih rendah, karena perusahaan mendapatkan keuntungan
dari depresiasi yang melekat pada aset tetap yang dapat mengurangi beban pajak
perusahaan.
Berdasarkan hasil penelitian Dharma dan Ardiana (2016) menunjukkan
hasil bahwa intensitas aset tetap tidak berpengaruh terhadap tax avoidance.
Sedangkan hasil penelitian Purwanti dan Sugiyarti (2017) menunjukkan hasil
bahwa intensitas aset tetap berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance.
H4 : Intensitas Aset Tetap Berpengaruh Terhadap Tax Avoidance.
2.3.5. Pengaruh Kepemilikan Keluarga Terhadap Tax Avoidance
Proporsi hak kepemilikan menjadi semakin kecil karena kepemilikan yang
semakin tersebar sehingga mengurangi insentif mereka dalam mengawasi manajer
secara efektif. Akibatnya pihak agen mengambil alih kendali dan menjalankan
perusahaan sesuai dengan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan
pemilik. Sedangkan apabila kepemilikan terkonsentrasi seperti perusahaan
keluarga, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengatasi
konflik agensi. Dengan terkonsentrasinya suatu kepemilikan seperti perusahaan
keluarga, menimbulkan kontrol yang kuat dari pihak keluarga dalam mengawasi
26
STEI INDONESIA
kinerja agen. Chen et al., (2010). Perusahaan keluarga sangat peduli terhadap
reputasi perusahaan serta keberlangsungan hidup perusahaan karena perusahaan
tersebut merupakan warisan turun-temurun yang akan diwariskan ke generasi
selanjutnya. Jadi, pihak agen dapat menurunkan biaya agensi. Putri (2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wirawan dan Sukartha
(2018) menunjukkan hasil bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh terhadap tax
avoidance. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2016)
menunjukkan hasil bahwa kepemilikan keluarga tidak berpengaruh signifikan
terhadap tax avoidance.
H5 : Kepemilikan Keluarga Berpengaruh Terhadap Tax Avoidance.
2.4.Kerangka Konseptual
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, ada beberapa faktor yang diidentifikasi
memiliki pengaruh terhadap tax avoidance (Effective Tax Rate) yaitu Manajemen
Laba, Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, Intensitas Aset Tetap
dan Kepemilikan Keluarga. Sehingga dapat terlihat model penelitian pada gambar
2.1
27
STEI INDONESIA
Variabel Kontrol
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Manajemen Laba (X1)
Tax
Avoidance
(Y)
Kepemilikan
Institusional (X2)
Kepemilikan Manajerial
(X3)
H2
H3
H1
Intensitas Aset Tetap
(X4)
Kepemilikan Keluarga
(X5)
H2
H3
H4
H5
Ukuran Perusahaan
Leverage
Sales Growth