BAB II IVP
-
Upload
zahrotul-mahmuda -
Category
Documents
-
view
60 -
download
0
description
Transcript of BAB II IVP
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Anatomi Fisiologi Sistem urinaria
Sistem urinaria adalah suatu sistem tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan
oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urine (air kemih) (Syaifuddin, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Urinaria (Bontrager, 2001)
2.1.1 Ginjal
Ginjal merupakan suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang
kavum abdominalis dibelakang peritonium pada kedua sisi vertebra
lumbalis tiga, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk
ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal
kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih
panjang dari ginjal wanita. Fungsi ginjal yaitu memegang peranan penting
dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun, mempertahankan suasana
keseimbangan cairan, mempertahankan keseimbangan kadar asam dan
5
basa dari cairan tubuh, mempertahankan keseimbangan garam-garam dan
zat-zat lain dalam tubuh, mengeluarkan sisa-sia metabolisme hasil akhir
dari protein ureum, kreatinin dan amoniak (Syaifuddin, 2006).
Struktur ginjal. Secara anatomis ginjal terbagi menjadi dua bagian,
yaitu korteks dan medula ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial
dan di dalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan unit
fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas, tubulus kontortus
proksimalis, tubulus kontortus distalis, dan duktus kolegentes. Darah yang
membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) di dalam
glomerulus kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan
tubuh mengalami reabsobsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami
sekresi bersama air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter
cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter.
Urine yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke
sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter.
Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks
major, dan pielum/ pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas
epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu
berkontraksi untuk mengalirkan urine sampai ke ureter (Purnomo, 2003).
Gambar 2.2 Anatomi Ginjal
6
2.1.2 Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urine dari ginjal ke dalam buli-buli (vesika urinaria). Pada
orang dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm. dindingnya terdiri atas
mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan
longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna
mengeluarkan urine ke buli-buli. Jika karena sesuatu sebab terjadi
sumbatan pada aliran urine, terjadi kontraksi otot polos yang berlebihan
yang bertujuan untuk mendorong/ mengeluarkan sumbatan itu dari saluran
kemih. Kontraksi itu dirasakan sebagai nyeri yang datang berkala, sesuai
dengan irama peristaltik ureter (Purnomo, 2003).
2.1.3 Vesika Urinaria
Vesika urinaria merupakan kantung berongga yang dapat
diregangkan dan volumenya dapat disesuaikan dengan mengubah status
kontraksi otot polos di dindingnya. Secara berkala urin dikosongkan dari
kandung kemih ke luar tubuh melalui ureter. Organ ini mempunyai fungsi
sebagai reservoir urine (200 - 400 cc). Dindingnya mempunyai lapisan
otot yang kuat, letaknya di belakang pubis, bentuk bila penuh seperti telur
(avoid). Apabila kosong seperti limas, apek (puncak) vesika urinaria
terletak di belakang simpisis pubis (Pearce, 1999).
Gambar 2.3 Vesika Urinaria
7
2.1.4 Uretra
Uretra merupakan saluran membranosa sempit berpangkal pada
kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih dari kandung
kemih menuju keluar tubuh. Uretra pada pria berjalan berkelok-kelok
melalui tengah-tengah prostate kemudian menembus lapisan fibrosa yang
menembus tulang pubis kebagian penis. Merupakan tempat pengaliran
urine dan sistem reproduksi (Pearce, 1999).
Pada pria panjang uretra sekitar 20 cm dan berakhir pada akhir penis.
Uretra pada pria dibagi menjadi 4 bagian dinamakan sesuai dengan
letaknya :
1. Pars pra-prostatica, terletak sebelum kelenjar prostat.
2. Pars prostatica, terletak di prostate. Terdapat pembukaan kecil,
dimana terletak muara vas deferens.
3. Pars membranosa, sekitar 1,5 cm dan di lateral terdapat kelenjar
bulbou retralis.
4. Pars spongiosa/ cavernosa, sekitar 15 cm dan melintas di corpus
spongiosum penis.
Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis, berjalan miring
sedikit kearah atas. Hanya berfungsi sebagai tempat menyalurkan urine ke
bagian luar tubuh. Uretra pada wanita terdiri atas lapisan :
1. Tunika muskularis (bagian luar)
2. Lapisan spongeosa
3. Lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam)
8
2.2 Patologi Kanker Serviks
Kanker leher rahim atau disebut juga kanker serviks adalah
sejenis kanker yang 99,7% disebabkan oleh human papilloma virus (HPV)
onkogenik, yang menyerang leher rahim. Human papilloma virus (HPV)
16 dan 18 merupakan penyebab utama pada 70% kasus kanker serviks di
dunia. Perjalanan dari infeksi HPV hingga menjadi kanker serviks
memakan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 10 hingga 20 tahun.
Namun proses penginfeksian ini sering tidak disadari oleh para penderita,
karena proses HPV kemudian menjadi pra-kanker sebagian besar
berlangsung tanpa gejala. Karena itu, Vaksinasi Kanker Serviks sangat
dianjurkan. Penyakit kanker leher rahim (serviks) ini biasanya merupakan
penyakit kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah
yang berada pada organ reproduksi wanita yang merupakan suatu pintu
untuk masuk menuju rahim, letak dari leher rahim ini adalah antara uterus
dan juga vagina. Sistem yang umumnya digunakan untuk pembagian
stadium kanker serviks adalah sistem yang diperkenalkan oleh
International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO).
Stadium 0, Stadium ini disebut juga carcinoma in situ (CIS). Tumor
masih dangkal, hanya tumbuh di lapisan sel serviks.
Stadium I, Kanker telah tumbuh dalam serviks, namun belum
menyebar kemanapun. Stadium I dibagi menjadi :
- Stadium IA1, Dokter tidak dapat melihat kanker tanpa
mikroskop. Kedalamannya kurang dari 3 mm dan besarnya
kurang dari 7 mm.
9
- Stadium IA2, Dokter tidak dapat melihat kanker tanpa
mikroskop. Kedalamannya antara 3-5 mm dan besarnya kurang
dari 7 mm.
- Stadium IB1, Dokter dapat melihat kanker dengan mata
telanjang. Ukuran tidak lebih besar dari 4 cm.
- Stadium IB2, Dokter dapat melihat kanker dengan mata
telanjang. Ukuran lebih besar dari 4 cm.
Stadium II, Kanker berada di bagian dekat serviks tapi bukan di luar
panggul. Stadium II dibagi menjadi :
- Stadium IIA, Kanker meluas sampai ke atas vagina, tapi belum
menyebar ke jaringan yang lebih dalam dari vagina.
- Stadium IIB, Kanker telah menyebar ke jaringan sekitar vagina
dan serviks, namun belum sampai ke dinding panggul.
Stadium III, Kanker telah menyebar ke jaringan lunak sekitar vagina
dan serviks sepanjang dinding panggul. Mungkin dapat menghambat
aliran urin ke kandung kemih.
Stadium IV, Pada stadium ini, kanker telah menyebar ke bagian lain
tubuh, seperti kandung kemih, rektum, atau paru-paru. Stadium IV
dibagi menjadi :
- Stadium IVA, Kanker telah menyebar ke organ terdekat, seperti
kandung kemih dan rectum
- Stadium IVB, Kanker telah menyebar ke organ yang lebih jauh,
seperti paru-paru.
10
2.3 Teknik Pemeriksaan Intravena Pyelografi
2.3.1 Pengertian pemeriksaan intravena pyelografi
Merupakan suatu ilmu yang mempelajari prosedur atau tata cara
pemeriksaan ginjal, ureter, dan blass (vesica urinary) dengan
menggunakan sinar-x dan disertai dengan injeksi media kontras melalui
vena.
2.3.2 Tujuan pemeriksaan BNO-IVP
Pemeriksaan BNO-IVP dapat membantu dokter mengetahui
adanya kelainan pada sistem perkemihan dengan melihat kerja ginjal dan
sistem perkemihan pasien. Pemeriksaan ini juga dipergunakan untuk
mengetahui gejala seperti kencing darah (hematuria) dan sakit pada daerah
punggung. Dengan IVP dokter dapat mengetahui adanya kelainan pada
sistem urinaria seperti batu ginjal, hidronefrosis, pembesaran prostate,
tumor pada ginjal, ureter dan blass.
2.3.3 Indikasi pemeriksaan IVP
Beberapa indikasi dari pemeriksaan BNO-IVP adalah diantaranya :
1. Renal agenesis
2. Polyuria
3. BPH (benign prostatic hyperplasia)
4. Congenital anomali (kelainan abnormal)
5. Hydroneprosis
6. Pyelonepritis
7. Renal hypertention
11
2.3.4 Kontra indikasi pemeriksaan IVP
Pemeriksaan BNO-IVP tidak dapat dilakukan pada pasien dengan
kontra indikasi sebagai berikut :
1. Neonatus Diabetes mellitus tidak terkontrol atau parah
2. Pasien yang sedang dalam keadaan kolik
3. Alergi terhadap media kontras
4. Pasien yang mempunyai kelainan seperti penyakit jantung
5. Pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung
6. Multi myeloma
7. Hasil ureum dan creatinin tidak normal
Batas normal ureum : 20 – 40 mg/dl
Batas normal kreatinin : 0,5 – 1,5 mg/dl
2.4 Prosedur pemeriksaan intravena pyelografi
2.4.1 Persiapan pasien
Persiapan pemeriksaan pada sistem urinaria perlu dilakukan
bertujuan agar abdomen bebas dari feses dan udara dengan melakukan
urus-urus. Selain itu juga harus dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin
(normal 0,6-1,5 mg/100 ml) dan ureum normal (8-25 mg/ 100 ml) darah di
laboratorium serta pengukuran tekanan darah pasien. Prosedurnya yaitu :
1. Pasien makan bubur kecap saja sejak 2 hari (48 jam) sebelum
pemeriksaan BNO-IVP dilakukan.
2. Pasien tidak boleh makan makanan berlemak serta sayur-sayuran
yang berserat.
12
3. Jam 20.00 sebelum pemeriksaan pasien minum garam inggris
(magnesium sulfat), dicampur 1 gelas air matang untuk urus-urus,
disertai minum air putih 1-2 gelas, selanjutnya puasa.
4. Selama puasa pasien dianjurkan untuk tidak merokok dan banyak
bicara guna meminimalisir udara dalam usus.
5. Pasien datang ke unit radiologi untuk dilakukan pemeriksaan, dan
sebelum pemeriksaan dimulai pasien diminta buang air kecil untuk
mengosongkan kandung kencing.
2.4.2 Persiapan alat dan bahan
Alat dan bahan untuk pemeriksaan Intra Vena Pyelografi yang
harus dipersiapkan antara lain :
1. Pesawat rontgen lengkap
2. Kaset dan film ukuran 24 x 30 cmdan 35 x 43 cm, grid, marker dan
plester.
3. Alat steril untuk memasukkan media kontras antara lain : spuit 50
ml, jarum suntik, wings needle, kain kassa, kain alkohol, obat anti
alergi, infus set, mangkok kecil, korentang, media kontras, dan
plester.
4. Alat-alat bantu non steril terdiri atas : bengkok, pengatur waktu,
tensimeter, tabung oksigen, dan standar infus.
5. Perlatan proteksi radiasi : apron Pb dan gonad shield.
6. Obat untuk mengatasi alergi : anti histamin, dan adrenalin.
7. Media Kontras Iodium
13
2.4.3 Teknik pemeriksaan BNO-IVP
Sebelum pembuatan foto 5 menit dan penyuntikan media kontras,
pasien dijelaskan terlebih dahulu tentang pemeriksaan yang akan
dilakukan, selanjutnya keluarga pasien dipersilahkan untuk mengisi dan
menandatangani surat Inform Consent sebagai pernyataan hukum. Ini
sangat penting dilakukan karena bila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan,
kita (Radiografer) mendapat perlindungan secara hukum bila memang
pemeriksaan yang kita lakukan sesuai dengan prosedur yang telah ada.
Sebelum penyuntikan media kontras terlebih dahulu dilakukan skin test
lah pasien tidak mengalami terhadap pasien. Selanjutnya setelah pasien
tidak mengalami alergi maka pasien tersebut telah memenuhi syarat
dilakukan pemeriksaan Intra Vena Pyelografi. Penyuntikan pada
pemeriksaan Intra Vena Pyelografi mempunyai dua cara pemasukan media
kontras yaitu penyuntikan langsung dan drip infus. Penyuntikan media
kontras secara langsung dilakukan melaui pembuluh darah vena dengan
cara memasukkan wing needle ke dalam vena mediana cubiti. Penyuntikan
media kontras drip infus adalah media kontras sebanyak 40 ml dicampur
dengan larutan fisiologis sebanyak 100 ml kemudian dimasukkan melaui
selang infus.
2.4.3.1 Foto polos abdomen
1. Tujuan untuk melihat kesiapan pasien serta melihat apakah ada udara
di rongga perut.
2. Posisi pasien berbaring diatas meja pemeriksaan, kedua lengan
disamping tubuh.
14
3. Posisi objek yaitu batas atas processus xypoideus dan batas bawah
crista iliaca.
4. Kaset berukuran 30 cm x 40 cm diatur melintang tubuh.
5. CR vertikal tegak lurus terhadap kaset
6. Titik bidik ditujukan pada garis pertengahan yang menghubungkan
antara processus xypoideus dan umbilicus.
7. FFD 100 cm
8. Eksposi dilakukan pada saat ekspirasi dan tahan nafas.
9. Kriteria dapat menampakkan rongga perut secara keseluruhan.
2.4.3.2 Foto Antero Posterior 5 menit setelah penyuntikan Media Kontras
1. Tujuan pemotretan ini adalah untuk melihat fungsi ginjal dan untuk
melihat pengisian media kontras pada pelviocalises.
2. Posisi pasien berbaring terlrntang diatas meja pemeriksaan, kedua
lengan disamping tubuh.
3. Posisi objek batas atas processus xypoideus dan batas bawah crista
iliaca.
4. Kaset ukuran 24 cm x 30 cm diatur melintang tubuh.
5. CR vertikal tegak lurus terhadap kaset
6. Titik bidik ditujukan pada garis pertengahan yang menghubungkan
antara processus xypoideus dan umbilicus.
7. FFD 100 cm
8. Eksposi dilakukan pada saat ekspirasi dan tahan nafas.
9. Kriteria dapat menampakkan kedua kontur ginjal yang terisi media
kontras.
15
2.4.3.3 Foto Antero Posterior 15 menit setelah penyuntikan Media Kontras
1. Tujuan pemotretan ini adalah untuk melihat fungsi ginjal dan untuk
melihat pengisian media kontras pada pelviocalises.
2. Posisi pasien berbaring terlrntang diatas meja pemeriksaan, kedua
lengan disamping tubuh.
3. Posisi objek batas atas processus xypoideus dan batas bawah crista
iliaca.
4. Kaset ukuran 35 cm x 43 cm diatur melintang tubuh.
5. CR vertikal tegak lurus terhadap kaset.
6. Titik bidik ditujukan pada garis pertengahan yang menghubungkan
antara processus xypoideus dan umbilicus.
7. FFD 100 cm
8. Eksposi dilakukan pada saat ekspirasi dan tahan nafas.
9. Kriteria dapat menampakkan media kontras mengisi kedua ureter.
2.4.3.4 Foto Antero Posterior 30 menit setelah penyuntikan Media Kontras
1. Tujuan pemotretan ini adalah untuk melihat pengisian ureter dan
kandung kemih.
2. Posisi penderita berbaring terlrntang diatas meja pemeriksaan, kedua
lengan disamping tubuh.
3. Posisi objek atur pasien sehingga mid sagital plane berada ditengah
meja pemeriksaan.
4. Kaset ukuran 35 cm x 43 cm diatur memanjang sejajar tubuh dengan
batas atas kaset pada procesuss xypodeus dan batas bawah pada
symphisis pubis.
16
5. CR vertikal tegak lurus terhadap kaset.
6. Titik bidik ditujukan pada mid sagital plane tubuh setinggi garis
yang menghubungkan crista illiaca kanan dan kiri.
7. FFD 100 cm
8. Eksposi dilakukan pada saat ekspirasi dan tahan nafas.
9. Kriteria tampak batas atas vertebrae thorakal XII, batas bawah
symphisis pubis terlihat jelas dalam foto harus simetris.
2.4.3.5 Pemotretan Post Miksi AP supine
1. Tujuan untuk melihat pengosongan kandung kemih, untuk melihat
kondisi seperti massa atau tumor, melihat pelebaran kelenjar prostat,
dan untuk melihat apakah ada gangguan ren mobilis.
2. Posisi pasien berbaring terlentang diatas meja pemeriksaan, letakkan
bantal diatas kepala. Tempatkan kedua lengan disamping tubuh,
ganjal kedua lutut untuk mengurangi ketegangan dan pergerakan.
3. Posisi objek atur pasien sehingga mid sagital plane berada di tengah
meja pemeriksaan, batas atas processus xypoideus dan batas bawah
crista iliaca.
4. Kaset ukuran 35 cm x 43 cm diatur memanjang sejajar tubuh dengan
batas atas kaset pada processus xypoideus dan batas bawah pada
sympisis pubis.
5. CR vertikel tegak lurus terhadap kaset.
6. Titik bidik pada mid sagital plane tubuh setinggi garis yang
menghubungkan crista iliaca kanan dan kiri.
7. FFD 100 cm
17
8. Eksposi dilakukan pada saat ekspirasi dan tahan nafas.
9. Kriteria tidak tampak media kontras pada kandung kemih. Tampak
kedua ginjal dari ureter, daerah simpisis pubis masuk dalam
radiograf.
2.5 Proteksi Radiasi
Proteksi radiasi adalah upaya – upaya untuk memberi perlindungan
terhadap bahaya radiasi. Proteksi radiasi yang dibutuhkan saat melakukan
teknik radiografi adalah proteksi bagi pasien, bagi petugas, dan bagi
masyarakat, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Proteksi Bagi Pasien
- Kolimasi secukupnya dengan memperkecil luas lapangan penyinaran
- Menggunakan faktor eksposi yang tepat
- Tidak terjadi pengulangan foto karena kesalahan
- Waktu penyinaran sesingkat mungkin
- Pasien hamil pada triwulan pertama tidak di perkenankan
pemeriksaannya
2. Proteksi Bagi Petugas
- Tidak menggunakan berkas sinar – X yang mengarah ke petugas
- Berlindung pada tabir / tirai, saat melakukan eksposi
- Menggunakan TLD
3. Proteksi Bagi Masyarakat
- Pintu pemeriksaan tertutup rapat
- Tidak mengarahkan sinar sumber sinar – X ke ruangan umum
18