BAB II Iskandar

65
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Konsep Motivasi 1. Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move. Secara umum mengacu pada adanya kekuatan dan dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu (Quinn, 1995). Menurut Steers dan Porter (Riggio, 2003) dikutip dari Hasibuan (2000) motivasi adalah suatu kekuatan yang memiliki tiga fungsi yaitu suatu kekuatan, atau menyebabkan orang untuk melakukan sesuatu, fungsi kedua mengarahkan prilaku untuk mendapatkan tujuan yang khusus dan fungsi yang ketiga kekuatan di atas menambahkan usaha dalam mencapai tujuan tersebut. Motivasi juga diartikan sebagai suatu perangsangan keinginan dan daya penggerak 8

description

deskriptif

Transcript of BAB II Iskandar

Page 1: BAB II Iskandar

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Konsep Motivasi

1. Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move. Secara

umum mengacu pada adanya kekuatan dan dorongan yang

menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu (Quinn, 1995). Menurut

Steers dan Porter (Riggio, 2003) dikutip dari Hasibuan (2000) motivasi

adalah suatu kekuatan yang memiliki tiga fungsi yaitu suatu kekuatan,

atau menyebabkan orang untuk melakukan sesuatu, fungsi kedua

mengarahkan prilaku untuk mendapatkan tujuan yang khusus dan

fungsi yang ketiga kekuatan di atas menambahkan usaha dalam

mencapai tujuan tersebut. Motivasi juga diartikan sebagai suatu

perangsangan keinginan dan daya penggerak kemauan seseorang

bekerja, setiap motivasi mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai.

Menurut Winardi (2007) mengatakan bahwa motivasi adalah

proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya,

diarahkannya, dan terjadinya kegiatan-kegiatan sukarela atau volunter

yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Motivasi ini merupakan hasil

dari sebuah proses yang bersifat internal dan eksternal. Yang

membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita mencapai tujuan

tertentu, dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu

8

Page 2: BAB II Iskandar

9

(Nursalam & Efendi, 2008).

2. Proses Motivasi

Menurut Winardi (2007, dalam Nursalam & Efendi, 2008) proses

motivasi diawali dengan timbulnya keinginan, adanya kebutuhan dan

munculnya berbagai harapan atau expectancy. Hal ini akan

mengakibatkan timbulnya ketegangan-ketegangan (tensi) pada diri

individu yang dianggap kurang menyenangkan. Dengan anggapan bahwa

perilaku tertentu dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan yang

dirasakan sehingga orang yang bersangkutan melakukan suatu perilaku.

Perilaku tersebut diarahkan kepada tujuan untuk mengurangi kondisi

ketegangan yang dirasakan. Dimulainya perilaku tersebut menyebabkan

timbulnya petunjuk-petunjuk yang memberikan umpan balik (informasi)

kepada orang yang bersangkutan tentang dampak perilakunya.

3. Teori-teori Motivasi

Ada beberapa teori-teori motivasi dikutip dari Notoatdmodjo

(2007), sebagai berikut :

a. Content theory, yaitu motivasi yang dikaji dengan mempelajari

kebutuhan kebutuhan. Teori ini mengajukan cara untuk

menganalisa kebutuhan yang mendorong seseorang unutk

bertingkah laku tertentu.

b. Process theory, yaitu motivasi yang dikaji dengan mempelajari

prosesnya. Teori ini berusaha memahami proses berpikir yang ada

Page 3: BAB II Iskandar

10

yang dapat mendorong seesorang untuk berpikir tertentu.

c. Cognitive theory (Vroom, 1964), yaitu teori yang menjelaskan

mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia

dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan tersebut sangat

ia inginkan.

d. Menurut Herzberg (1996), ada dua jenis faktor yang mendorongan

seseorang utuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri

dari ketidakpuasa. Dua faktor itu adalah faktor hygiene (faktor

ekstrinik) dan faktor motivator (faktor instrinsik). Faktor hygiene

memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk

didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi

lingkungan. Sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang

untuk berusaha mencapai kepuasan yang termasuk di

dalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat

kehidupan.

e. Teori motivasi ERG (Clayton Alderfer), teori yang didasarkan

pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan

(relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini

mengemukakan jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum

dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerak yang

fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari

situasi ke situasi. ( Notoatmodjo, 2007).

Page 4: BAB II Iskandar

11

4. Motif Motivasi

Menurut Morgan (1986) dikutip dari Notoatmodjo (2005), motif

motivasi adalah:

a. Motif biogenesis adalah motif yang berkembang pada diri

seseorang yang berasal dari organismenya sebagi makhluk biologi,

motif biologi sudah ada sejak lahir dan tidak dipelajari, bercorak

universal dan kurang terikat pada lingkungan kebudayaan. Secara

biologis manusia cenderung untuk mengikuti prinsip homeostatis.

Homeostatis adalah kecenderungan tubuh kita untuk memelihara

kondisi internal. Sel reseptor tubuh kita secara terus-menerus akan

memonitor tubuh kita. Jika ada ketidakseimbangan dalam tubuh,

maka tubuh akan melakukan adaptasi untuk mencapai keadaan

yang seimbang. Kebutuhan biologi misalnya; kebutuhan untuk

makan, minum, mempertahankan suhu tubuh, seksual, umunya

menganut prinsi ini (Morgan, 1986 dikutip dari Notoatdmojo,

2005).

b. Motif sosiogenik adalah motif yang dipelajari orang dan berasal

dari lingkingan kebudayaan dimana orang itu berada dan

berkembang. Motif sosiogenik tidak berkembang dengan

sendirinya tetapi berdasarkan interaksi sosial dengan orang lain

atau hasil kebudayaan. Motif sosial merupakan sesuatu dorongan

untuk bertindak yang tidak kita pelajari, namun pelajari dalam

kelompok sosial dimana kita hidup. Motif sosial juga

Page 5: BAB II Iskandar

12

mencerminkan karakteristik dari seseorang yang juga merupakan

komponen yang penting dari kepribadiannya.

c. Motif teogenesis, berasal dari interaksi antara manusia dengan

tuhan seperti yang nyata dalam ibadahnya dan dalam kehidupan

sehari-hari dimana ia berusaha merealisasikan norma-norma

agama tertentu. Manusia memerlukan interaksi dengan tuhannya

untuk dapat menyadari akan tugasnya sebagai manusia yang

berketuhanan di dalam masyarakat yang serba ragam.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Secara umum, motivasi ada dua macam yang dikenal, yaitu

motivasi intrinsik(datang dari dalam diri individu), dan motivasi

ekstrinsik (datang dari lingkungan). Motivasi intrinsik yaitu motivasi

internal yang timbul dari dalam diri pribadi seseorang itu sendiri,

seperti yang termasuk faktor intrinsik adalah pembawaan individu,

tingkat pendidikan, harapan/keinginan, pengalaman masa lampau dan

aspek lain yang secar internal melekat pada seseorang. Sedangkan

motivasi ekstrinsik yaitu motivasi eksternal yang muncul dari luar diri

pribadi seseorang, seperti lingkungan, dorongan atau bimbingan dari

orang lain, pengaruh sosial ekonomi seperti jarak antar tempat tinggal

dengan posyandu. Faktor intrinsik adalah pembawaan individu, tingkat

pendidikan, harapan/keinginan, pengalaman masa lampau (Nursalam &

Efendi, 2008), sehingga dapat dijabarkan sebagai berikut :

Page 6: BAB II Iskandar

13

a. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya

seseorang menyerap dan memahami informasi yang mereka

peroleh. Tinggi rendahnya pendidikan erat kaitanya dengan

keaktifan ibu yang memiliki balita untuk berkunjung ke posyandu,

serta kesadaran terhadap program posyandu yang bermanfaat

khususnya untuk kesehatan balitanya. Tingkat pendidikan ibu yang

memiliki balita yang rendah mempengaruhi penerimaan informasi

sehingga pengetahuan tentang posyandu terhambat atau terbatas

ketidakaktifan ibu yang memiliki balita merupakan sikap dari ibu

terhadap salah satu program posyandu dalam kunjungan ke

posyandu, proses pendidikan maupun sebagai dampak dari

penyebaran informasi (Notoatmodjo, 2003).

b. Harapan/keinginan

Harapan adalah melihat kedepan dengan kepercayaan diri.

Ketika ada harapan, maka ada kehidupan. Harapan yang dibuat

oleh hati adalah impian, sedangka harapan yang dibuat oleh

pikiran adalah rencana, seseorang tidak mungkin melihat jalan

menuju yang baik, bila hati kosong dari harapan. Harapan yang

tinggi adalah pembentukan kesungguhan hati untuk menggunakan

semua kekuatan dari keberadaan kita untuk mencapai yang

tertinggi dari yang mungkin kita capai (Notoatmodjo, 2003).

Page 7: BAB II Iskandar

14

c. Pengalaman masa lampau

Pengalaman masa lampau disebut juga faktor penguat yang

mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku pada masyarakat

dalam berkunjung ke posyandu. Perilaku berawal dari adanya

pengalaman seseorang serta fakta-fakta dari luar (lingkungan),

baik fisik maupun non fisik, kemudian pengalaman dan

lingkungan diketahui, dipersepsikan, diyakini, sehingga

menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak yang akhirnya terjadi

perwujudan niat yang berupa perilaku (Notoatmodjo, 2003).

Faktor eksternal seperti lingkungan, dorongan atau bimbingan

dari orang lain dan jarak antar tempat tinggal dengan posyandu

(Notoatmodjo, 2003) :

a. Lingkungan

Lingkungan didefenisikan sebagai kesatuan ruang dengan

semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di

dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta

makhluk hidup lainnya.

b. Dorongan atau bimbingan dari orang lain

Faktor ini berasal dari luar individu, berupa stimulus untuk

membantu dan mengubah sikap, stimuls dapat bersifat langsung

ataupun tidak langsung misalnya individu dengan keluarganya atau

dengan kelompokknya.

Page 8: BAB II Iskandar

15

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Bidan Tinggal di Desa

Menurut Nurmawati, 2000, Faktor-faktor yang berhubungan dengan

kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa adalah faktor

umur, status perkawinan, keinginan melanjutkan pendidikan, lokasi tempat

kerja suami, pendapatan tambahan di luar gaji, dan dukungan puskesmas,

sedangkan menurut Kusnanto, 1999, Faktor-faktor yang berhubungan dengan

kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa adalah faktor,

lama tugas, status kepegawaian, lokasi tempat kerja suami, ketersediaan

polindes, dukungan masyarakat, dan dukungan puskesmas.

Menurut Fikawati, 2003 Faktor-faktor yang berhubungan dengan

kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa adalah faktor

umur, status perkawinan, lokasi tempat kerja suami.

1. Umur Bidan

Umur juga berpengaruh terhadap psikis seseorang dimana umur

muda sering menimbulkan ketegangan, kebingungan, rasa cemas dan

rasa takut sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkah lakunya.

Biasanya semakin dewasa maka cenderung semakin menyadari sering

dan semakin rajin memanfaatkan pelayanan kesehatan (Potter & Perry,

2005).

Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikutip dari

(Potter & Perry, 2005), tahap perkembangan manusia menurut umur

dibagi kedalam delapan tahapan. Pada penelitian ini, katagori umur bidan

yang menjadi pembahasan dalam penelitian adalah :

Page 9: BAB II Iskandar

16

a. Early adult-hood (20 – 35 tahun)

Pada masa dewasa awal ini, hubungan sosial utama seseorang

sudah terfokus pada partner dalam hubungan teman dan seks

(perkawinan), kompetisi dalam bekerja dan bekerja sama.

Semangat/motivasi untuk bekerja begitu menggebu-gebu tetapi

cenderung masih kurang stabil dalam emosinya. Karakteristik dari

krisis psikososial yang terjadi pada masa ini adalah “keintiman

versus isolasi” dimana bila masa ini dapat dilewati dengan baik akan

meningkatkan kemampuan membentuk hubungan dekat dan

membuat komitmen karier dalam bekerja.

b. Young and middle adult-hood (36 – 45 tahun)

Pada masa dewasa pertengahan, hubungan sosial seseorang

terfokus pada pembagian tugas antara bekerja dengan rumah tangga.

Pada masa ini emosi sudah mulai stabil dan motivasi kerja sangat

tinggi serta biasanya pada masa ini, seseorang mencapai puncak

karier dalam bekerja. Karakteristik dari krisis psikososial yang

terjadi pada masa ini adalah “generativity versus konsentrasi diri”

dimana bila masa ini dapat dilewati dengan baik akan meningkatkan

kemampuan dalam memikirkan kerja dan karier, keluarga,

masyarakat serta generasi mendatang.

Menurut Nurmawati (2000, dalam Fikawati, dkk., 2003)

bahwa faktor internal bidan seperti umur mempengaruhi motivasi

bidan dalam bekerja dan akan berdampak pada kinerja bidan

Page 10: BAB II Iskandar

17

tersebut. Umur bidan terkait dengan pengalamannya dalam

memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat. Umumnya

masyarakat lebih memilih bidan yang umurnya lebih dewasa untuk

melakukan pertolongan persalinan karena dianggap lebih

berpengalaman. Hal ini membuat bidan yang umurnya lebih muda

menjadi kurang percaya diri dan mendapatkan penolakan dari

masyarakat.

Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003)

masyarakat kurang yakin terhdap kemampuan bidan desa yang

umurnya lebih muda. Masyarakat menganggap bahwa bidan desa

yang umurnya lebih muda kurang berpengalaman dalam menolong

persalinan, sehingga bidan desa kurang dipercaya dan dianggap tidak

mampu oleh masyarakat. Hal ini membuat bidan desa tersebut

menjadi kurang percaya diri dan menolak untuk tinggal dan bekerja

di Polindes.

2. Status perkawinan

Perkawinan merubah status seseorang dari bujangan atau

janda/duda menjadi berstatus kawin. Dalam demografi status perkawinan

penduduk dapat dibedakan menjadi status belum pernah menikah,

menikah, pisah atau cerai, janda atau duda. Di daerah dimana pemakaian

KB rendah, rata-rata umur penduduk saat menikah pertama kali serta

lamanya seseorang dalam status perkawinan akan mempengaruhi tinggi

Page 11: BAB II Iskandar

18

rendahnya tingkat fertilitas.  Usia kawin dini menjadi perhatian penentu

kebijakan serta perencana program karena berisiko tinggi terhadap

kegagalan perkawinan, kehamilan usia muda yang berisiko kematian

maternal, serta risiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan

menjadi orangtua yang bertanggung jawab (BPS, 2013).

Ada beberapa konsep yang tersedia dalam membahas perkawinan

di Indonesia. Konsep Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan

no.1 Tahun 1974 (BPS, 2013) :

a. Perkawinan adalah ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. 

b. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun, dan untuk

perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun.

c. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai dengan ijin kedua

atau salah satu orangtua atau yang ditunjuk sebagai wali.

Konsep perkawinan dalam lingkup demografi dan kependudukan

adalah lebih difokuskan kepada keadaan dimana seorang laki-laki dan

seorang perempuan hidup bersama dalam kurun waktu yang lama. Dalam

hal ini hidup bersama dapat dikukuhkan dengan perkawinan yang syah

sesuai dengan undang-undang atau peraturan hukum yang ada

(perkawinan de jure) ataupun tanpa pengesahan perkawinan (de facto).

Konsep ini dipakai terutama untuk mengkaitkan status perkawinan

Page 12: BAB II Iskandar

19

dengan dinamika penduduk terutama banyaknya kelahiran yang

diakibatkan oleh panjang-pendeknya perkawinan atau hidup bersama ini

(BPS, 2013).

Norma dan adat di Indonesia menghendaki adanya pengesahan

perkawinan secara agama maupun secara undang-undang. Tetapi untuk

keperluan studi demografi, Badan Pusat Statistik mendefinisikan

seseorang berstatus kawin apabila mereka terikat dalam perkawinan pada

saat pencacahan, baik yang tinggal bersama maupun terpisah, yang

menikah secara sah maupun yang hidup bersama yang oleh masyarakat

sekelilingnya dianggap sah sebagai suami istri (BPS, 2000). Definisi luas

tentang perkawinan ini digunakan oleh BPS karena dalam kenyataannya

pada suatu masyarakat sering diketemukan banyak pasangan laki-laki

dan perempuan yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah

secara hukum. Seringkali hal ini disebabkan karena persyaratan

perkawinan yang sah memberatkan kedua belah pihak yang hendak

menikah, misalnya biaya perhelatan adat yang terlampau tinggi, tidak

mampu membayar biaya memproses perkawinan yang syah atau biaya

mahar yang tidak terjangkau oleh pasangan yang hendak menikah secara

resmi (BPS, 2013).

Indikator perkawinan berguna bagi penentu kebijakan dan

pelaksana program kependudukan, terutama dalam hal pengembangan

program-program peningkatan kualitas keluarga dan perencanaan

keluarga. Perkawinan usia dini akan berdampak pada rendahnya kualitas

Page 13: BAB II Iskandar

20

keluarga, baik ditinjau dari sisi ketidak siapan secara psikis dalam

menghadapi persoalan sosial atau ekonomi rumah tangga, maupun

kesiapan fisik bagi calon Ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan

bayinya. Dalam hal kehamilan yang tidak dikehendaki karena usia calon

Ibu masih sangat muda, ada risiko pengguguran kehamilan yang

dilakukan secara illegal dan tidak aman secara medis. Pengguguran

kandungan semacam ini dapat berakibat komplikasi aborsi. Program

konseling maupun pelayanan kesehatan reproduksi remaja akan dapat

dilakukan secara tepat apabila mengetahui berapa banyaknya dan dimana

perkawinan usia dini terdapat (BPS, 2013). 

Diketahuinya berapa besar pasangan usia subur (persentase

perempuan usia subur yang menikah) akan memudahkan para perencana

program KB untuk mempersiapkan pelayanan KB dan Kesehatan

Reproduksi dan dikemudian hari anak-anak yang dilahirkan para Ibu ini

akan menjadi generasi yang sehat dan berpotensi tinggi sebagai sumber

daya manusia yang handal (BPS, 2013).

Dari sisi lain, data mengenai banyaknya pasangan suami isteri serta

rata-rata umur kawin laki-laki dan perempuan akan menjadi bahan utama

pengembangan kebijakan penyediaan pelayanan dasar lainnya seperti

pengembangan perumahan, kebutuhan peralatan rumah tangga

disesuaikan dengan kemampuan daya beli, keperluan alat transportasi

dan lain-lain (BPS, 2013).

Page 14: BAB II Iskandar

21

Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003) pernikahan

mempengaruhi kinerja bidan di desa. Bidan desa yang sudah menikah

biasanya lebih betah tinggal di Polindes. Hal ini disebabkan karena bidan

desa yang telah memiliki suami lebih merasa aman untuk tinggal dan

bekerja jauh dari tempat tinggal asalnya. Dukungan suami terhadap

pekerjaan bidan desa juga mempengaruhi kinerja bidan desa tersebut.

3. Lama bertugas/Masa kerja

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud masa

kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja (pada suatu kantor,

badan, dan sebagainya). Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 23

tahun 1994 Tanggal: 7 April 1994, Pasal 7 disebutkan bahwa lamanya

pelaksanaan tugas bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap adalah 3 (tiga)

tahun sebagai pelaksanaan masa bakti dan dapat diperpanjang untuk

paling lama 3 (tiga) tahun.

Hasil penelitian Fikawati, dkk (2003) menunjukkan bahwa bidan

desa yang sudah bekerja lebih lama bersedia untuk bekerja dan tinggal di

desa dibandingkan yang baru bekerja. Faktor lama masa bekerja ini juga

merupakan salah satu faktor yang dominan berhubungan dengan

kesediaan bidan desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desanya. Hal ini

dapat dipahami, karena bidan desa yang telah bekerja cukup lama sudah

saling mengenal masyarakat di wilayah kerjanya. Waktu pengenalan

Page 15: BAB II Iskandar

22

yang cukup lama membuat rasa keterikatan dan saling memiliki dapat

terjalin dengan lebih baik.

Penelitian Rustam (dikutip dalam Fikawati, dkk., 2003) di

Kuningan, Jawa Barat menyebutkan bahwa para bidan desa umumnya

membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat beradaptasi dengan

masyarakat dan lingkungannya. Bidan desa tidak dapat langsung bekerja

tanpa adanya penyesuaian diri dengan lingkungan kerjanya.

Nurmawati (2000, dalam Fikawati, dkk., 2003) mengatakan bahwa

lamanya seorang bidan bekerja sangat mempengaruhi mutu pelayanan

kebidanan. Hal ini terkait dengan pengalaman bidan tersebut dalam

memberikan pelayanan. Misalnya seorang bidan desa yang telah lama

bertugas di masyarakat, maka bidan desa tersebut memiliki pengalaman

yang cukup baik dalam melayani masyarakat di desa tempatnya bertugas.

Lamanya waktu bertugas seorang bidan desa di masyarakat menimbulkan

keterikatan dan hubungan social dengan masyarakat setempat.

Masyarakatpun menganggap bidan desa tersebut merupakan bagian dari

mereka. Hal ini dapat meningkatkan motivasi bidan desa untuk tetap

bekerja di desa.

4. Status kepegawaian

Page 16: BAB II Iskandar

23

Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 23 tahun 1994

Tanggal: 7 April 1994, Pasal 7 disebutkan bahwa bidan sebagai Pegawai

Tidak Tetap adalah bidan yang bukan pegawai negeri, diangkat oleh

Pejabat yang berwenang untuk melakukan pekerjaan sebagai bidan dalam

rangka pelaksanaan program pemerintah. Peraturan tersebut

menyebutkan bahwa bidan yang ditempatkan di desa bukan pegawai

negeri sipil. Akan tetapi seiring perkembangan, saat ini bidan yang

bertugas dan tinggal di desa sudah banyak yang berstatus pegawai negeri

sipil. Hal ini dilakukan karena jumlah bidan yang bekerja di puskesmas

sudah cukup banyak, sehingga bagi bidan yang dulunya berstatus

pegawai tidak tetap setelah menjadi pegawai negeri sipil tetap bertugas di

desa asal.

Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003) bidan desa

yang berstatus PNS lebih termotivasi dalam bekerja. Hal ini karena

kejelasan status dan masa depan mereka. Status PNS merupakan tujuan

utama dari karir seorang bidan desa. Status PNS membuat bidan desa

lebih bersemangat dalam bekerja, sehingga ia bersedia tetap bekerja di

desa.

5. Pendapatan tambahan diluar gaji

Menurut UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN) gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan

dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja

Page 17: BAB II Iskandar

24

kepada pekerja ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja,

kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,termasuk tunjangan

bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang

telah atau akan dilakukan.

Hasibuan (2002) menjabarkan bahwa gaji adalah balas jasa yang

dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan

yang pasti.

Menurut Hasibuan (2002), pendapatan diluar gaji atau lebih dikenal

dengan istilah insentif adalah tambahan-tambahan gaji diatas atau diluar

gaji atau upah yang diberikan oleh organisasi. Program-program insentif

disesuaikan dengan memberikan bayaran tambahan berdasarkan

produktivitas, penjualan, keuntungan-keuntungan atau upaya-upaya

pemangkasan biaya.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 23 tahun 1994 tentang

Pengangkatan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada pasal 4

ayat 1a disebutkan bahwa bidan sebagai pegawai tidak tetap berhak

memperoleh penghasilan berupa gaji pokok dan tunjangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1199/MENKES/PER/X/2004 tentang Pedoman Pengadaan Tenaga

Kesehatan dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik Penerintah

disebutkan bahwa hak tenaga kesehatan yang dipekerjakan dengan

perjanjian kerja (termasuk bidan PTT) adalah memperoleh tunjangan

transportasi, premi asuransi jiwa dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

Page 18: BAB II Iskandar

25

Kemudian juga berhak memperoleh kesejahteraan/insentif yang

ditetapkan oleh pimpinan, misalnya jasa medik, lembur dan lain-lain.

Lebih lanjut berdasrakan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :

369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan disebutkan

bahwa seorang bidan dapat melakukan praktik kebidanan di berbagai

tatanan pelayanan termasuk di rumah, masyarakat, rumah sakit, klinik

atau unit kesehatan lainnya. Hal ini memberikan peluang bagi bidan desa

untuk memperoleh penghasilan tambahan diluar gaji yang diterimanya.

Menurut Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003) bidan desa

yang membuka praktik kebidanan di desa tempatnya bertugas dan

dimanfaatkan oleh masyarakat setempat memberikan motivasi tersendiri

bagi bidan desa tersebut untuk menetap di desa. Salah satu faktor yang

menyebabkan bidan desa bersedia menetap di desa adalah penghasilan

yang diperoleh diluar gaji yang dapat meningkatkan kesejahteraan bidan

desa tersebut. Hal ini dapat diperoleh dengan membuka praktik bidan

diluar tugasnya sebagai bidan desa.

6. Kondisi Polindes

Pondok bersalin Desa (Polindes) adalah salah satu bentuk peran

serta masyarakat dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan

pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk KB didesa (Depkes RI,

1999).

Page 19: BAB II Iskandar

26

Secara umum persyaratan untuk mendirikan polindes/poskesdes

adalah tersedianya tempat yang bersih, namun serasi dengan lingkungan

perumahan di desa serta tersedianya tenaga bidan di desa. Secara lebih

rinci, persyaratan yang perlu diusahakan adalah (Kemenkes, 2012) :

a. Tersedianya bidan di desa yang bekerja penuh untuk mengelola

polindes.

b. Tersedianya sarana untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi

bidan, antara lain :

1) Bidan kit

2) IUD kit

3) Sarana imunisasi dasar dan imunisasi ibu hamil

4) Timbangan berat badan ibu dan pengukur tinggi badan

5) Infus set dan cairan dextrose 5%, nacl 0,9%

6) Obat-obatan sederhana dan uterotonika

7) Buku-buku pedoman kia, kb, dan pedoman kesehatan lainnya

8) Inkubator sederhana

c. Memenuhi persyaratan rumah sehat, antara lain :

1) Penyediaan air bersih

2) Ventilasi cukup

3) Penerangan cukup

4) Tersedia sarana pembuangan air limbah

5) Lingkungan pekarangan bersih

6) Ukuran minimal 3x4 meter persegi

Page 20: BAB II Iskandar

27

d. Lokasi dapat dicapai dengan mudah oleh penduduk sekitarnya dan

mudah dijangkau oleh kendaraan roda empat.

e. Ada tempat untuk melakukan pertolongan persalinan dan perawatan 

post partum(minimal satu tempat tidur).

Kondisi Polindes atau Poskesdes menjadi salah satu faktor penyebab

bidan desa enggan untuk bekerja dan tinggal di desa. Menurut Kusnanto

(1999 dalam Fikawati, dkk, 2003), letak Polindes yang jauh dari pusat

desa dengan lingkungan sekitar yang tidak kondusif, kondisi bangunan

yang jauh dari layak huni membuat bidan desa tidak betah untuk tinggal

di Polindes.

7. Dukungan Masyarakat

Polindes/Poskesdes merupakan Upaya Kesehatan Bersumberdaya

Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka

mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat

desa (Kemenkes, 2012).

Polindes/Poskesdes merupakan bentuk peran serta masyarakat

dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong

dirinya di bidang kesehatan. Poskesdes/Polindes merupakan pendorong

dalam menumbuhkembangkan terbentuknya UKBM lain di masyarakat

serta meningkatkan partisipasi masyarakat dan kemitraan dengan

berbagai pemangku kepentingan terkait. Kegiatan dilakukan berdasarkan

pendekatan edukatif atau kemasyarakatan yang dilakukan melalui

Page 21: BAB II Iskandar

28

musyawarah dan mufakat oleh forum desa siaga aktif atau forum

kesehatan lainnya yang sudah ada, yang disesuaikan dengan kondisi dan

potensi masyarakat setempat (Kemenkes, 2012).

Prinsip pengorganisasian Poskesdes/Polindes adalah dikelola oleh

masyarakat yang dalam hal ini kader kesehatan dengan bimbingan tenaga

kesehatan. Kepengurusan Poskesdes dipilih melalui musyawarah dan

mufakat masyarakat desa atau forum desa siaga aktif setempat, serta

ditetapkan oleh Kepala Desa. Struktur pengurus minimal terdiri dari

Pembina, Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota. Susunan pengurus

Poskesdes bersifat fleksibel sehingga dapat dikembangkan sesuai dengan

kebutuhan, kondisi, dan permasalahan setempat (Kemenkes, 2012).

Bentuk dukungan masyarakat terhadap tugas bidan desa adalah

dengan menyediakan lokasi pendirian polindes sebagai tempat kerja dan

tempat tinggal bagi bidan desa tersebut. Lokasi yang disediakan harus

dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh masyarakat desa dan

merupakan lokasi yang layak tinggal. Biasanya polindes didirikan dekat

dengan pusat pemerintahan desa (kantor desa) (Kemenkes, 2012).

Dukungan masyarakat terhadap bidan desa berupa penyediaan

lahan untuk pembangunan Polindes, aktif membantu bidan desa sebagai

kader kesehatan dan memaksimalkan pemanfaatan Polindes sebagai

fasilitas pelayanan kesehatan khususnya bagi kesehatan ibu dan anak.

Kusnanto (1999 dalam Fikawati, dkk, 2003) mengatakan bahwa Polindes

yang ramai digunakan oleh masyarakat di desa tempat bidan bertugas

Page 22: BAB II Iskandar

29

memotivasi kinerja bidan tersebut. Bidan merasa tenaganya benar-benar

dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga membuatnya mau untuk tinggal di

Polindes.

8. Dukungan Puskesmas

Polindes/Poskesdes berada di bawah pengawasan dan bimbingan

Puskesmas setempat. Pelaksana Polindes/Poskesdes wajib melaporkan

kegiatannya kepada Puskesmas ataupun kepada sector terkait. Laporan

kegiatan yang menyangkut pelayanan kesehatan disampaikan kepada

Puskesmas oleh tenaga kesehatan Poskesdes. Adapun laporan yang

menyangkut pertanggungjawaban keuangan disampaikan kepada Kepala

Desa selaku Ketua Forum Desa Siaga Aktif Tingkat Desa (Kemenkes,

2012).

Pembinaan Polindes/Poskesdes dilaksanakan secara terpadu dengan

lintas sektor. Pembinaan teknis kesehatan dilakukan oleh Puskesmas,

sedangkan hal-hal non-teknis kesehatan dilakukan oleh Pemerintahan

Desa, Forum Desa Siaga Aktif dan lintas sektor di tingkat Kecamatan.

Pembinaan Polindes/Poskesdes meliputi peningkatan pengetahuan baik

petugas kesehatan, kader kesehatan, pembinaan administrasi, termasuk

pengelolaan keuangan. Pembinaan ini ditujukan untuk keberlangsungan

operasional dan berfungsinya Polindes/Poskesdes. Pembinaan tersebut

ditujukan pada pengelolaan sumberdaya Polindes/Poskesdes, yang terdiri

dari dana, sarana penunjang, dan sumberdaya manusia. Pembinaan

Page 23: BAB II Iskandar

30

dilaksanakan secara berjenjang mulai dari desa sampai pusat oleh

berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) (Kemenkes, 2012).

Adapun bentuk dukungan puskesmas terhadap penyelenggaraan

Polindes/Poskesdes adalah sebagai berikut (Kemnekes, 2012) :

a. Melaksanakan monitoring, pembinaan, dan evaluasi berkaitan

dengan teknis medis (pelatihan, supervisi, dsb).

b. Melaksanakan advokasi kepada pejabat dan kelompok potensial

lainnya.

c. Menggalang informasi kesehatan dari hasil pelaporan.

d. Melakukan fasilitasi pelayanan kesehatan apabila diperlukan.

Bentuk dukungan Puskesmas terhadap keberadaan bidan di desa

adalah dengan memenuhi kebutuhan peralatan dan bahan guna

menunjang kerja bidan desa tersebut.Selanjutnya juga bimbingan dam

bentuk supervise yang rutin dilakukan oleh Puskesmas kepada bidan desa

akan mempengaruhi kinerjanya. Menurut Kusnanto (1999 dalam

Fikawati, dkk, 2003) supervisi dari Puskesmas kepada bidan desa yang

dilakukan secara rutin dapat meningkatkan motivasi bidan desa tersebut

untuk bekerja di Polindes karena mendapat perhatian terhadap

pekerjaannya di desa. Hal ini juga secara langsung menyebabkan bidan

desa bersedia tetap tinggal di Polindes.

C. Bidan Desa

1. Definisi Bidan Desa

Page 24: BAB II Iskandar

31

Definisi bidan menurut International Confederation of Midwives

(ICM) yang dianut dan diadopsi oleh seluruh organisasi bidan di seluruh

dunia, dan diakui oleh WHO dan Federation of International

Gynecologist Obstetrition (FIGO). Definisi tersebut secara berkala di

review dalam pertemuan Internasional / Kongres ICM. Definisi terakhir

disusun melalui konggres ICM ke 27, pada bulan Juli tahun 2005 di

Brisbane Australia ditetapkan sebagai berikut: Bidan adalah seseorang

yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di

negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi

kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah

untuk melakukan praktik bidan (IBI, 2007).

2. Tujuan Penempatan Bidan Di Desa

Tujuan penempatan bidan di desa secara umum adalah untuk

meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan melalui

puskesmas dan Posyandu dalam rangka menurunkan angka kematian ibu,

anak balita dan menurunkan angka kelahiran, serta meningkatkan

kesadaran masyarakat berperilaku hidup sehat. Secara khusus tujuan

penempatan bidan desa adalah (Depkes RI, 2007) :

c. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat,

d. Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan,

e. Meningkatkan mutu pelayanan ibu hamil, pertolongan persalinan,

perawatan nifas dan perinatal, serta pelayanan kontrasepsi,

Page 25: BAB II Iskandar

32

f. Menurunnya jumlah kasus-kasus yang berkaitan dengan penyulit

kehamilan, persalinan dan perinatal,

g. Menurunnya jumlah balita dengan gizi buruk dan diare,

h. Meningkatnya kemampuan keluarga untuk sehat dengan membantu

pembinaan kesehatan masyarakat,

i. Meningkatnya peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD

termasuk gerakan Dana Sehat.

3. Tugas dan Wewenang Bidan di Desa

a. Tugas Bidan di Desa

Tugas seorang bidan di suatu desa adalah sebagai berikut:

1) Melaksanakan kegiatan di desa wilayah kerjanya berdasarkan

urutan prioritas masalah kesehatan yang dihadapi, sesuai dengan

kewenangan yang dimiliki dan diberikan.

2) Menggerakkan dan membina masyarakat desa di wilayah

kerjanya (Depkes RI, 2007).

b. Wewenang Bidan di Desa

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 900/MENKES/

SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan pada pasal 17

sampai dengan pasal 21 menjelaskan bahwa dalam keadaan tidak

terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut, bidan dapat

memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu

dan anak sesuai dengan kemampuannya. Selanjutnya juga dikatakan

Page 26: BAB II Iskandar

33

bahwa bidan juga berwenang untuk melakukan tindakan sebagai

berikut :

2) memberikan imunisasi;

3) memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinan dan

nifas;

4) mengeluarkan placenta secara manual;

5) bimbingan senam hamil;

6) pengeluaran sisa jaringan konsepsi;

7) episiotomi;

8) penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat II;

9) amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm;

10) pemberian infus;

11) pemberian suntikan intramuskuler uterotonika, antibiotika dan

sedativa;

12) kompresi bimanual;

13) versi ekstraksi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan

seterusnya;

14) vacum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul;

15) pengendalian anemi;

16) meningkatkan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu;

17) resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia;

18) penanganan hipotermi;

19) pemberian minum dengan sonde/ pipet;

Page 27: BAB II Iskandar

34

20) pemberian obat-obat terbatas, melalui lembaran permintaan obat

sesuai dengan Formulir VI terlampir;

21) pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian.

Bidan juga berwenang melakukan kegiatan sebagai berikut :

1) memberikan obat dan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat

kontrasepsi dalam rahim, alat

2) kontrasepsi bawah kulit dan kondom;

3) memberikan penyuluhan/konseling pemakaian kontrasepsi;

4) melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim;

5) melakukan pencabutan alat kontrasepsi bawah kulit tanpa

penyulit;

6) memberikan konseling untuk pelayanan kebidanan, keluarga

berencana dan kesehatan masyarakat.

7) pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan

anak;

8) memantau tumbuh kembang anak;

9) melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas;

10) melaksanakan deteksi dini, melaksanakan pertolongan pertama,

merujuk dan memberikan

11) penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan

Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta

penyakit lainnya.

Page 28: BAB II Iskandar

35

4. Tempat Tinggal

Sesuai dengan namanya bidan desa, maka bidan desa ditempatkan

dan diwajibkan tinggal di desa (polindes) tersebut serta bertugas

melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang meliputi 1 sampai 2 desa.

Dalam melaksanakan tugasnya bidan bertanggung jawab langsung

kepada Kepala Puskesmas setempat (Depkes RI, 2007).

5. Program bidan desa

Salah satu program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah

menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu, dan untuk

mempercepat penurunan angka Kematian Ibu dan Anak adalah dengan

meningkatkan mutu pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan

kesehatan ibu dan perinatal. Dalam usaha meningkatkan mutu pelayanan

kebidanan dan kesehatan anak terutama di desa maka tenaga kesehatan

(medis) seperti bidan harus menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga

non medis seperti dukun dengan mengajak dukun untuk melakukan

pelatihan dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan dalam

menolong persalinan dan dapat mengenal tanda-tanda bahaya dalam

kehamilan dan persalinan (Depkes RI, 2007).

Selain bekerja sama dengan tenaga non medis seperti dukun,bidan

desa juga bekerja sama dengan masyarakat yang secara sukarela

membantu dan melaksanakan pos yandu. Biasanya masyarakat tersebut

telah mendapat pelatihan dalam menjalankan tugasnya tersebut sebagai

Page 29: BAB II Iskandar

36

kader. Tugas dan fungsi bidan utama bidan desa adalah memberikan

pelayanan kesehatan ibu dan anak, sebagaimana tertuang dalam SE

Dirjen Binkesmas nomor : 492/Binkesmas/Dj/89 yang menyatakan

penempatan bidan desa adalah memberikan pelayanan ibu dan anak serta

KB dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta

kelahiran. Namun pada kenyataannya bidan desa dibebani dengan

berbagai macam program pelayanan kesehatan lainnya. Pada kondisi ini

bidan desa dihadapkan pada keterbatasan kemampuan dan kondisi

masyarakat yang beragam karakteristik (Depkes RI, 2007).

Kehadiran bidan di desa diharapkan mampu memperluas

jangkauan pelayanan yang telah ada sekaligus dapat meningkatkan

cakupan program pelayanan KIA melalui (Depkes RI, 2007) :

a. peningkatan pemeriksaan kesehatan ibu hamil yang bermutu

b. pertolongan persalinan

c. deteksi dini faktor kehamilan dan peningkatan pelayanan neonatal.

d. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pada bayi

Serta bekerja sama dengan kader posyandu mencari sasaran ibu

hamil dengan melakukan :

a. kunjungan rumah

b. sosialisasi pentingnya pemeriksaan kesehatan antenatal

c. memotivasi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan secara rutin

minimal empat kali selama kehamilannya.

Page 30: BAB II Iskandar

37

6. Prinsip Pelayanan Kebidanan di Desa

a. Pelayanan di komunitas desa sifatnya multi disiplin meliputi ilmu

kesehatan masyarakat, kedokteran, sosial, psikologi, komunikasi,

ilmu kebidanan, dan lain-lain yang mendukung peran bidan di

komunitas

b. Dalam memberikan pelayanan di desa bidan tetap berpedoman pada

standar dan etika profesi yang menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia

c. Dalam memberikan pelayanan bidan senantiasa memperhatikan dan

memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat, sepanjang tidak merugikan dan tidak bertentangan

dengan prinsip kesehatan (Depkes RI, 2007).

D. Pondok Bersalin Desa (Polindes)

1. Pengertian

Pondok bersalin Desa (Polindes) adalah salah satu bentuk peran

serta masyarakat dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan

pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk KB didesa. Polindes dirintis

dan dikelola oleh pamong desa setempat (Kemenkes RI, 2012).

2. Tujuan Polindes

a. Terwujudnya masyarakat sehat yang diaga terhadap permasalahan

kesehatan diwilayah desanya.

Page 31: BAB II Iskandar

38

b. Terselenggaranya promosi kesehatan dalam rangka menuingkatkan

pengetahuan masyarakat tentang kesehatan.

c. Terselenggarakannya pengamatan, pencatatan dan pelaporan dalam

rangka meningkatkan keawspadaan dan kesigapan masyarakat

terhadap resiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan

kesehatan, terutama penyakit menular yang berpotensi menimbulkan

kejadian luar biasa (KLB) serta faktor-faktor resikonya.

d. Tersedianya upaya pemberdayaan masyarakat dalam rangka

meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya

dibidang kesehatan.

e. Terselenggaranya pelayanan kesehatan dasr yang dilaksanakan oleh

masyarakat dan tenaga professional kesehatan.

f. Terkoordinasinya penyelenggaraan UKBM lainnya yang ada didesa

(Kemenkes RI, 2012).

3. Persyaratan Polindes

Secara umum persyaratan untuk mendirikan polindes adalah

tersedianya tempat yang bersih, namun serasi dengan lingkungan

perumahan di desa serta tersedianya tenaga bidan didesa. Secara lebih

rinci, persyaratan yang perlu diusahakan adalah (Kemenkes RI, 2012) :

a. Tersedianya bidan di desa yang bekerja penuh untuk mengelola

polindes.

b. Tersedianya sarana untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi

bidan, antara lain :

Page 32: BAB II Iskandar

39

1) Bidan kit

2) IUD kit

3) Sarana imunisasi dasar dan imunisasi ibu hamil

4) Timbangan berat badan ibu dan pengukur tinggi badan

5) Infus set dan cairan dextrose 5%, nacl 0,9%

6) Obat-obatan sederhana dan uterotonika

7) Buku-buku pedoman kia, kb, dan pedoman kesehatan lainnya

8) Inkubator sederhana

9) Memenuhi persyaratan rumah sehat, antara lain:

10) Penyediaan air bersih

11) Ventilasi cukup

12) Penerangan cukup

13) Tersedia sarana pembuangan air limbah

14) Lingkungan pekarangan bersih

15) Ukuran minimal 3x4 meter persegi

c. Lokasi dapat dicapai dengan mudah oleh penduduk sekitarnya dan

mudah dijangkau oleh kendaraan roda empat.

d. Ada tempat untuk melakukan pertolongan persalinan dan perawatan 

post partum(minimal satu tempat tidur)

4. Kegiatan Utama Polindes

a. Pengamatan dan kewaspadaan dini (survey penyakit, surveilans gizi,

surveilans perilaku beresiko, sueveylans lingkungan dan masalah

Page 33: BAB II Iskandar

40

kesehatan lainnya), penanganan kegawatdaruratan kesehatan dan

kesiapsiagaan terhadap bencana serta pelayanan kesehatan dasar.

b. Promosi kesehatan, penyehatan lingkungan dan lain-lain.

Kegiatan dilakukan berdasarkan pendekatan edukatif atau

kemasyarakatan yang dilakukan melalui musyawarah mufakat yang

disesuaikan kondisi dan potensi masyarakat setempat.

5. Fungsi Pondok bersalin desa

a. Sebagai tempat pelayanan kesehatan ibu dan anak (termasuk KB).

b. Sebagai tempat pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.

c. Sebagai tempat untuk konsultasi, penyuluhan dan pendidikan

kesehatan masyarakat dan dukun bayi maupun kader (Kemenkes RI,

2012).

6. Manfaat Polindes

a. Bagi masyarakat

1) Permasalahan didesa dapat terdekteksi dini, sehingga bisa

ditangani cepat dan diselekaikan, sesauai kondisi, potensi dan

kemampuan yang ada.

2) Memperoleh pelayanan kesehatan dasar yang dekat.

b. Bagi kader

1) Mendapat informasi awal di bidang kesehatan

2) Mendapat kebanggaan, dirinya lebih berkarya bagi masyarakat

c. Bagi puskesmas

Page 34: BAB II Iskandar

41

1) Memperluas jangkauan pelayanan puskesmas dengan

mengoptimalkan sumber data secara efisien dan efektif

2) Mengoptimalkan fungsi puskesmas sebagai penggerak

pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan

masyarakat dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama

d. Bagi sektor lain

1) Dapat memadukan kegiatan sektornya dengan bidang kesehatan.

2) Kegiatan pemberdayaan mesyarakat dapat dilakukan lebih

efektif dan efisien (Kemenkes RI, 2012).

7. Stratifikasi Polindes

Dalam menganalisa pertumbuhan Polindes harus mengacu kepada

indikator tingkat perkembangan Polindes yang mencakup beberapa hal :

a. Fisik

Tempat yang disediakan oleh masyarakat untuk polindes perlu

memenuhi persyaratan antara lain :

1) Bangunan polindes tampak bersih, salah satunya ditandai tidak

adanya sampah berserakan

2) Lingkungan yang sehat, bila polindes jauh dari kandang ternak

3) Mempunyai jumlah ruangan yang cukup untuk : pemeriksaan

kehamilan dan pelayanan KIA, mempunyai ruang untuk

pertolongan persalinan.

Page 35: BAB II Iskandar

42

4) Tempat pelayanan bersih dengan aliran udara/ventilasi yang

baik terjamin.

5) Mempunyai perabotan dan alat-alat yang memadai untuk

pelaksanaan pelayanan.

6) Mempunyai sarana air bersih dan jamban yang memenuhi

persyaratan kesehatan.

Idealnya suatu polindes mempunyai bangunan sendiri dan memenuhi

persyaratan di atas, namun dalam kenyataannya mungkin saja

polindes masih menumpang di salah satu rumah warga atau bersatu

dengan kediaman bidan di desa (Kemenkes RI, 2012).

b. Tempat tinggal bidan desa

Keberadaan bidan di desa secara terus menerus (menetap)

menentukan efektifivitas pelayanannya, termasuk efektivitas

polindes. Selain itu, jarak tempat tinggal bidan yang menetap di desa

dengan polindes. Bidan yang tidak tinggal di desa dianggap tidak

mungkin melaksanakan pelayanan pertolongan persalinan di

polindes. Untuk mempercepat tumbuh kembang Polindes bidan

harus selalu berada/tinggal di desa dan lebih banyak melayani

masalah kesehatan masyarakat desa setempat (Kemenkes RI, 2012).

c. Pengelolaan polindes

Pengelolaan Polindes yang baik akan menentukan kualitas

pelayanan, sekaligus pemanfaatan pelayanan oleh masyarakat.

Page 36: BAB II Iskandar

43

Kriteria pengelolaan polindes yang baik antara keterlibatan

masyarakat melalui wadah LPM dalam menentukan tarif pelayanan.

Tarif yang ditetapkan secara bersama, diharapkan memberikan

kemudahan kepada masyarakat untuk memanfaatkan polindes,

sehingga dapat meningkatkan cakupan dan sekaligus dapat

memuaskan semua pihak (Kemenkes RI, 2012).

d. Cakupan persalinan

Tinggi rendahnya cakupan persalinan dipengaruhi banyak

faktor, diantaranya ketersediaan sumberdaya kesehatan termasuk

didalamnya keberadaan polindes beserta tenaga profesionalnya, yaitu

bidan desa. Tersedianya polindes dan bidan di suatu desa

memberikan kemudahan untuk mendapatkan pelayanan KIA,

khususnya dalam pertolongan persalinan, baik ditinjau dari segi jarak

maupun dari segi pembiayaan. Meningkatnya cakupan persalinan

yang ditolong di polindes, selain berpengaruh terhadap kualitas

pelayanan ibu hamil, sekaligus mencerminkan kemampuan bidan itu

sendiri baik di dalam kemampuan teknis medis maupun di dalam

menjalin hubungan dengan masyarakat. Cakupan persalinan dihitung

secara kumulatif selama setahun (Kemenkes RI, 2012).

e. Sarana air bersih

Tersedianya air bersih merupakan salah satu persyaratan

untuk hidup sehat. Demikian juga halnya di dalam operasional

Page 37: BAB II Iskandar

44

pelayanan polindes. Polindes dianggap baik apabila telah tersedia air

bersih yang dilengkapi dengan : MCK, tersedia sumber air (sumur,

pompa, PAM, dll), dan dilengkapi pula dengan saluran pembuangan

air limbah (Kemenkes RI, 2012).

f. Kemitraan bidan dan dukun bayi

Kader masyarakat yang paling terkait dengan pelayanan di

polindes adalah dukun bayi. Karena itu, polindes dimanfaatkan pula

sebagai sarana meningkatkan kemitraan bidan dan dukun bayi dalam

pertolongan persalinan. Kemitraan bidan dan dukun bayi merupakan

hal yang dianjurkan dalam pelayanan pertolongan persalinan di

Polindes. Penghitungan cakupan kemitraan bidan dan dukun

dihitung secara kumulatif selama setahun (Kemenkes RI, 2012).

g. Kegiatan KIE untuk kelompok sasaran

KIE merupakan salah satu teknologi peningkatan peran sertaa

masyarakat yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar mau

dan mampu memelihara dan melaksanakan hidup sehat sesuai

dengan kemampuan yang dimilikinya, melalui jalinan komunikasi,

informasi dan edukasi yang bersifat praktis. Dengan keberadaan

polindes beserta bidan ditengah-tengah masyarakat diharapkan akan

terjalin interaksi antara antara bidan dengan masyarakat. Semakin

sering bidan di desa menjalankan KIE, akan semakin mendorong

masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup sehatnya, termasuk

Page 38: BAB II Iskandar

45

di dalamnya meningkatkan kemampuan dukun bayi sebagai mitra

kerja di dalam memberikan penyuluhan kesehatan ibu hamil.

Seharusnya suatu polindes di dalam pelaksanaan kegiatannya telah

melakukan KIE untuk kelompok sasaran minimal sekali dalam setiap

bulannya. Kegiatan KIE ini dihitung secara kumulatif selama

setahun (Kemenkes RI, 2012).

h. Dana Sehat/JPKM

Dana sehat sebagai wahana memandirikan masyarakat untuk

hidup sehat, pada gilirannya diharapkan akan mampu melestarikan

berbagai jenis upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat setempat.

Suatu polindes dianggap baik bila masyarakat di desa binaannya

telah terliput dana sehat, sehingga diharapkan kelestarian polindes

dapat terjamin, kepastian untuk mendapatkan pelayanan yang

berkualitas tak perlu dikhawatirkan lagi. Cakupan dana sehat

dianggap baik bila telah mencapai 50 % (Kemenkes RI, 2012).

8. Pengorganisasian

Prinsip pengorganisasian poskesdes adalah dikelola masyarakat dalam

hal ini bimbingan tenaga ksehatan (Kemenkes RI, 2012).

a. Tenaga Poskesdes

1) Tenaga masyarakat

a) Kader

b) Tenaga sukarela lainnya

Page 39: BAB II Iskandar

46

Tenaga masyarakat minimal 2 orang yang telah mendapatkan

pelatihan khusus

2) Tenaga kesehatan

Tenaga kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan di

poskesdes minimal seorang bidan.

b. Kepengurusan

Kepengurusan poskesdes dipilih melaui musyawarah mufakat

musyarakat desa, srta ditetap[kan oleh kepala desa. Struktur

pengurus minimal terdiri dari Pembina, ketua, sekretaris, bendahara

dan anggota. Susunan pengurus bersifat fleksibel, sehingga dapat

dikembangkan sesuai dengan kondisi, kebutuhan, kondisi dan

permasalahan setempat.

c. Kedudukan dan Hubungan kerja

Kedudukan hubungan kerja antara poskesdes dengan unit-unit peran

serta masyarakat digambarkan pada bagan :

Gambar 2.1Kedudukan dan Hubungan Kerja Antara Poskesdes dengan

Unit-unit Peran Serta Masyarakat

Page 40: BAB II Iskandar

47

E. Kerangka Konseptual

Gambar 2. Kerangka Teoritis

Motivasi Bidan Desa:1. Instrinsik2. Ekstrinsik(Nursalam & Effendi, 2008)

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa 1. lama tugas2. Status kepegawaian3. lokasi tempat kerja suami4. Ketersediaan polindes5. Dukungan masyarakat6. Dukungan puskesmas.

Kusnato (1999)

Faktor faktor yang berhubungan dengan kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa : 1. Umur2. Status perkawinan,3. Keinginan melanjutkan

pendidikan4. lokasi tempat kerja suami5. pendapatan tambahan di luar

gaji6. Dukungan puskesmas,

Nurmawati (2000)

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesediaan bidan di desa untuk tetap bekerja dan tinggal di desa1. faktor umur2. status perkawinan3. lokasi tempat kerja suami

Fikawati (2003)