BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN...

63
23 BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK Gerakan demonstrasi massa yang dimunculkan di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah gerakan sosial. Setiap gerekan sosial dalam bentuk demonstrasi massa, pawai, dan mimbar bebas, pasti digerakan oleh manusia dan memiliki tujuan tertentu. Setiap gerakan sosial memiliki dasar serta tujuan yang berbeda- beda. Dasar serta tujuan dari suatu gerakan sosial tentu memiliki faktor-faktor penyebab yang sangat beragam. Hal ini menyebabkan setiap gerakan sosial yang terjadi pada tiap-tiap wilayah akan sangat berbeda-beda, akan tetapi setiap gerakan sosial selalu menginginkan perubahan entah perubahan yang diinginkan mengarah pada hal-hal yang positif atau negatif, hal itu tidak bisa dipastikan. Namun dari fakta riil, sebuah gerakan dapat diberi nilai positif atau negatif, hal itu sangat tergantung pada suatu keadaan. Misalnya dalam konteks bernegara, Indonesia merupakan negera hukum, karena itu jika ada gerakan sosial yang menentang hukum yang berlaku, maka kita dapat memberi nilai negtif terhadap tujuan gerekan tersebut. Atau sebaliknya, jika dalam praktek pemerintahan terjadi pelanggaran atas hukum, dan muncul gerakan sosial menentang sikap pemerintahan, maka tujuan sebuah gerakan sosial dapat dipastikan positif. Muncul pertanyaan pada bagian ini adalah; apakah sebuah gerakan sosial dapat disamakan dengan gerakan perlawanan? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum penulis menguraikan bagian-bagian yang lain dari bab ini. Gerakan sosial tentu mencakup semua gerakan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan dengan situasi sosial. Karena hubungan gerekan sosial selalu berhubungan dengan situasi sosial, maka untuk menilai apakah

Transcript of BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN...

23

BAB II

GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI

GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN

KEBIJAKAN PUBLIK

Gerakan demonstrasi massa yang dimunculkan di tengah-tengah

masyarakat merupakan sebuah gerakan sosial. Setiap gerekan sosial

dalam bentuk demonstrasi massa, pawai, dan mimbar bebas, pasti

digerakan oleh manusia dan memiliki tujuan tertentu.

Setiap gerakan sosial memiliki dasar serta tujuan yang berbeda-

beda. Dasar serta tujuan dari suatu gerakan sosial tentu memiliki

faktor-faktor penyebab yang sangat beragam. Hal ini menyebabkan

setiap gerakan sosial yang terjadi pada tiap-tiap wilayah akan sangat

berbeda-beda, akan tetapi setiap gerakan sosial selalu menginginkan

perubahan entah perubahan yang diinginkan mengarah pada hal-hal

yang positif atau negatif, hal itu tidak bisa dipastikan. Namun dari fakta

riil, sebuah gerakan dapat diberi nilai positif atau negatif, hal itu sangat

tergantung pada suatu keadaan. Misalnya dalam konteks bernegara,

Indonesia merupakan negera hukum, karena itu jika ada gerakan sosial

yang menentang hukum yang berlaku, maka kita dapat memberi nilai

negtif terhadap tujuan gerekan tersebut. Atau sebaliknya, jika dalam

praktek pemerintahan terjadi pelanggaran atas hukum, dan muncul

gerakan sosial menentang sikap pemerintahan, maka tujuan sebuah

gerakan sosial dapat dipastikan positif.

Muncul pertanyaan pada bagian ini adalah; apakah sebuah

gerakan sosial dapat disamakan dengan gerakan perlawanan?

Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum penulis menguraikan

bagian-bagian yang lain dari bab ini. Gerakan sosial tentu mencakup

semua gerakan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan

dengan situasi sosial. Karena hubungan gerekan sosial selalu

berhubungan dengan situasi sosial, maka untuk menilai apakah

24

gerakan tersebut merupakan gerakan perlawanan, atau bukan gerakan

perlawanan, hal itu sangat tergantung pada substansi gerakan tersebut.

Jika terjadi gerakan sosial atas dasar menentang ketidakadilan, maka

gerakan tersebut termasuk gerakan perlawanan karena menentang

ketidakadilan untuk tujuan keadilan. Hal ini berbeda dengan gerakan

sosial untuk tujuan kemanusiaan. Gerakan sosial untuk kemanusiaan

secara langsung diarahkan pada masalah sosial yang dihadapi oleh

sekelompok orang yang membutuhkan pelayanan kemanusiaan.

Reaksi gerakan perlawanan simbolik adat terhadap kebijakan

pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, merupakan dua sisi yang

berada dalam satu arena realitas masyarakat lokal. Antara kebijakan

publik dan gerakan perlawanan simbol keduanya saling bersinggungan

secara negatif. Pada konteks realitas obyektif, gerakan perlawanan

simbol adat menginginkan adanya keadilan dalam pelaksanaan

kebijakan pembangunan. Tuntutan obyektif masyarakat lokal,

didasarkan pada fakta kebijakan pembangunan yang dirasakan

mengalami kepincangan disaat kebijakan pembangunan

diimplementasikan.

Sesungguhnya, substansi kebijakan pemerintah daerah

Kabupaten Kaimana, merupakan bagian dari sikap pemerintah yang

bertujuan untuk menjawab persoalan sosial yang dialami masyarakat.

Hal ini memiliki hubungan erat dengan mandat rakyat dipegang oleh

seorang kepala daerah yang berasal dari rakyat. Mandat yang diberikan

tidak hanya dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk politik yang

menyalurkan hak politiknya, pada sisi yang lain, mandat rakyat

dititipkan kepada seorang kepala daerah merupakan titipan dari rakyat

sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh pihak

lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dalam hal ini

pemerintah sebagai penerima mandat rakyat dianggap mampu

menjawab kebutuhan manusia yang tidak bisa dipenuhinya sendiri.

Dalam konteks tersebut, ternyata melahirkan fakta berbeda dan

menimbulkan ketegangan masyarakat versus pemerintah.

Terlepas dari sisi manusia sebagai makhluk politik, dan makhluk

sosial, manusia adalah makhluk simbolik. Artinya, dalam

25

berkomunikasi dan berprilaku, manusia selalu menggunakan simbol-

simbol untuk menyampaikan pesan-pesan yang dirasakannya kepada

pihak lain. Interaksi manusia dengan sesama dalam menggunakan

simbol telah terjadi sejak manusia hadir di dunia, karena itu ukuran

usia manusia dengan usia simbol adalah sama, tidak ada yang lebih

duluan satu dengan yang lain. Dalam konteks inilah, manusia disebut

juga sebagai makhluk pengguna simbol. Untuk menyampaikan pesan-

pesan dalam bentuk simbol, pesan yang disampaikan bisa bermaksud

positif tetapi juga negatif, hal tersebut sangat tergantung pada masalah

yang dirasakan manusia untuk disampaikan kepada pihak lain.

Simbol selalu dipahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang

mewakili sesuatu yang lain, maka setiap penggunaan simbol pasti

dilakukan berdasarkan pada tujuan yang ingin disampaikan. Hal ini

dimaksudkan agar menjadi jelas pada pihak lain sebagai sasaran atau

tujuan penerima simbol. Untuk itu, setiap simbol yang digunakan harus

diperjelas tujuan penggunaan simbol, mulai dari pengirim maupun

kepada penerima simbol agar tidak menimbulkan prasangka serta

penilaian buruk. Pada sisi lain dalam situasi tertentu simbol terkadang

dapat dimodifikasi dan dipolitisir untuk kepentingan individu atau

kelompok tertentu.

Pada bagian ini penulis akan mendudukan kajian literatur

gerakan sosial, simbol dan kebijakan publik yang memiliki kaitan

dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah yang dijuluki

―Negeri 1001 Senja‖.

Gerakan Perlawanan Simbol

Pengertian ―pergerakan‖ menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa

Indonesia) dari kata dasar ―gerak‖ dengan pengertian ―peralihan tempat

atau kedudukan, baik hanya sekali maupun berkali-kali‖. Selanjutnya

kata per-gerak-an dijelaskan; 1) hal atau keadaan bergerak; 2)

kebangkitan (untuk perjuangan atau perbaikan): contoh: ―pada waktu

itu pergerakan nasional muncul di mana-mana‖. Untuk kata ―simbol‖

26

diartikan ―lambang‖,1 dari kedua kata jika digabung maka narasinya

akan menjadi begini ―pergerakan simbol‖ dan memberi arti sebagai

berikut: dalam suatu keadaan tertentu simbol/lambang mengalami

pergerakan, atau digerakan oleh ―sesuatu‖.

Sangat tidak mungkin simbol mengalami pergerakan tanpa ada

yang menggerakan. Yang dimaksud penulis tentang ―sesuatu‖ dalam

konteks ini adalah manusia sebagai penggerak simbol, sebab manusia

adalah makhluk simbol dan makhluk pengguna simbol. Setiap gerakan

tentu memiliki tujuan, artinya tidak ada gerakan/pergerakan yang

dilakukan manusia tanpa memiliki dasar serta tujuan. Berdasarkan

tujuan tersebut maka sebuah gerakan/pergerakan dilakukan untuk

mencapai maksud dan tujuan yang dijadikan sebagai target pencapaian

tujuan.

Dalam catatan sejarah pergerakan sosial, munculnya berbagai

gerakan di mana-mana selalu didasarkan atas nama kebebasan

demokrasi. Tidak ketinggalan pula di Indonesia, bahkan sampai ke

pelosok daerah terpencil sekalipun. Misalnya, pergerakan sosial yang

terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an yang

dikenal dengan nama ―komunitas gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam‖. Gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan

lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun

gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Kesemuanya itu

membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori

tentang gerakan sosial (Fakih, 1966:35).

Gerakan sosial dalam beberapa catatan dunia, misalnya

perjuangan etnis atau nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni

Soviet, dan gerakan anti apartheid di Afrika Selatan. Tujuan dari

gerakan sosial tersebut untuk pendekatan perubahan sosial yang

dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang

direkayasa oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai pembangunan

(development).

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan an pengembangan bahsa cetakan 3 Jakarta Balai Pustaka-1990. BP No 3658.

27

Kebijakan pembangunan oleh pemerintah, merupakan bagian

yang menampakan eksistensi/keberadaan pemerintah, sebagai institusi

penerima kuasa/mendat rakyat dalam konteks berdemokrasi. Dalam

pandangan masyarakat, pembangunan tidak selamanya menghadirkan

pemerataan, karena dalam benak masyarakat, penyebab kemacetan,

krisis ekonomi, ekologis yang mencekik kehidupan masyarakat,

dipandang oleh masyarakat sebagai kekeliruan kebijakan pemerintah

dalam mengelola dan menjalankan mandat rakyat. Menyikapi konteks

tersebut, pergerakan perlawanan simbol masyarakat adat, dinilai

sebagai bagian dari kritik terhadap skenario modernisasi yang memiliki

asumsi merancang kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu

negara. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks gerakan sosial dan

transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah

―pembangunan‖2.

Gerakan Sosial

Sejarah gerakan sosial yang terjadi di pelosok dunia, bahkan di

Indonesia merupakan bagian dari masalah sosial yang dihadapi oleh

umat manusia. Tentu setiap gerakan sosial memiliki dasar dan tujuan

tersendiri, misalnya rangkaian revolusi yang melanda jazirah Eropa

Barat pada akhir abad tujuh belas sampai abad sembilan belas. Kondisi

tersebut pada sisi substansi, tentu memiliki perbedaan dengan yang

terjadi di belahan dunia yang lain, namun indikator pergerakan yang

memainkan peran dalam suatu gerakan sosial tentu memiliki

kesamaan. Dalam kesamaan tersebut muncul berbagai teori dan analisa

yang bertujuan untuk mengidentifikasi setiap gerakan sosial. Tujuan

dilakukannya identifikasi setiap gerakan sosial dan penyebab

munculnya gerakan sosial, telah dikelompokan oleh para ahli dan para

akademisi yang memiliki kompetensi dalam memahami sebuah

gerakan sosial, serta mampu menghasilkan pendapat dan teori-teori

gerakan sosial. Dari sekian banyak teori gerakan sosial yang telah

dibuat, pada bagian ini penulis mengedepankan beberapa pendapat

2 Ibid...36.

28

para ahli dan akademisi tentang bagaimana mereka memandang

berbagai gerakan sosial tersebut.

Teori Perilaku Kolektif

Sidney Tarrow (1998) berpendapat, bahwa ahli-ahli sosiologi

terdahulu seringkali mengaitkan dampak negatif Revolusi Prancis dan

kemarahan massa pada periode abad pencerahan sebagai akar

perkembangan teori gerakan sosial. Salah satu teorinya adalah teori

―prilaku kolektif‖, kemudian menjadi salah satu teori klasik dalam

mempelajari fenomena gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika

Utara. Gustave Le Bon (1895) perintis utama teori prilaku kolektif

menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan

bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang. Yang dilihat

oleh Gustave Le Bon dari Revolusi Prancis adalah, dalam sebuah

kerumunan massa, setiap individu yang terbentuk dalam komunitas

pergerakan massa, tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol diri,

dan kemampuan untuk bertindak secara positif. Yang ada dalam diri

setiap individu adalah mengikuti keinginan massa. Dengan kata lain,

individu-individu di dalam kerumunan massa tidak lagi menjadi

individu yang rasional dan taat terhadap tatanan norma-norma standar

yang ada di masyarakat.

David Popenoe (1977:259) melihat prilaku kolektif seringkali

muncul sebagai sebuah respon atau stimulus terhadap sebuah situasi

yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur. Dengan kata

lain, prilaku kolektif merupakan tindakan yang tidak mencerminkan

struktur sosial yang ada. Yang dimaksudkan dengan struktur sosial oleh

David Popenoe berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan

pemerintah dan lembaga formal dan non formal, seperti yang diuraikan

oleh Herbert Blumer:

―….masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri), tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan

29

individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/pertimbangan individu terhadap setiap tindakan yang lainnya‖.(Irving Zetlin, 1995:332).

Neil Smelser (1962) prilaku kolektif dalam bentuk gerakan sosial

merupakan efek samping dari transformasi sosial yang berjalan begitu

cepat. Bagi Smelser seperti yang diinterpertasi ulang oleh Donatella

Della Porta dan Mario Diani (1999: 4) kemunculan perilaku-perilaku

kolektif seperti gerakan sosial dan berbagai bentuk protes masyarakat

memiliki makna ganda dalam periode transformasi sosial yang berlaku

begitu cepat dan dalam skala besar. Pada satu sisi mencerminkan

ketidakmampuan lembaga-lembaga dan mekanisme kontrol sosial

mereproduksi keretakan sosial, dan di sisi lain merefleksikan berbagai

upaya masyarakat untuk bereaksi atas krisis sosial melalui berbagai

keprihatinan kepada kelompok yang lebih luas, kemudian menjadi

dasar baru terbentuknya solidaritas sosial.

Ralph H. Tuner dan Lewis M. Killian (1972) menegaskan bahwa

―prilaku kolektif hanya terjadi meskipun tidak harus selalu, ketika organisasi negara dan mahasiswa berhenti memberikan arahan dan menyediakan saluran bagi masyarakat‖ (Popenoe 1977:404).

Teori pilihan rasional

Teori ini bertolak belakang dengan teori prilaku massa, teori

pilihan rasional memandang berbagai bentuk perlawanan masyarakat

terhadap lembaga-lembaga negara, korporasi atau organisasi

keagamaan dan sosial merupakan manifestasi sebuah tindakan

individu-individu yang rasional dan dilakukan secara sadar untuk

mengejar kepentingan individunya. Mancur Olson dalam bukunya The Logic Of Collective Action: Public Goods And The Theory Of Groups mengatakan bahwa aksi-aksi kolektif yang melibatkan berbagai bentuk

kekerasan, menimbulkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat,

melanggar hukum negara dan norma-norma kepantasan di masyarakat,

individu-individu tersebut melakukannya secara sadar sebagai bentuk

kerasionalannya. Para pelaku tidak mempersoalkan bila aksi yang

mereka lakukan membahayakan, bahkan mereka belajar dari

30

pengalaman-pengalaman yang tersedia dan observasi mereka sendiri,

bahwa hanya dengan cara kekerasan tujuan individu-individu dalam

aksi-aksi kolektif seringkali cukup efektif dalam mencapai tujuan.

Olson berpendapat:

―jika anggota-anggota dalam beberapa organisasi memiliki kepentingan dan tujuan bersama, jika mereka akan menjadi lebih baik jika tujuan bersama tersebut dapat dicapai, mereka akan bertindak untuk mencapai tujuannya, sebagai bentuk rasionalitasnya dan kepentingan pribadinya‖.

Teori perjuangan kelas vanguard dan hegemoni budaya

Jauh sebelum Olson mencetuskan gagasan teori aksi kolektifnya

yang dikenal dengan teori rasional, Karl Marx telah merintis terlebih

dahulu pada abad delapan belas, dengan konsep perjuangan kelas. Di

dalam The Manifesto of the Communist Party, Karl Marx dan

Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap perkembangan

peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat ini, tidak dapat

dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains, 2000: 31). Menurut

Marx, masyarakat selalu terdiri dari dua kelompok besar, satu

kelompok menjadi penindas dan satu kelompok masyarakat lainnya

menjadi yang ditindas. Kita mengenal kategori-kategori di dalam

masyarakat sebagai berikut:―orang bebas versus budak‖, ―bangsawan versus masyarakat desa‖, raja versus hamba sahaya‖, pemilik alat produksi versus buruh‖. Karena sejarah perkembangan masyarakat

selalu bergerak maju, dan secara konstan mengarah pada perbaikan dan

kebebasan lebih besar, maka revolusi sosial seperti antara para

penggarap tanah dengan para tuan tanah yang umumnya para

bangsawan atau para buru dengan para pemilik alat produksi tidak bisa

dielakan. Masing-masing revolusi sosial memberikan jalan bagi

masyarakat yang tertindas untuk menjadi kelas yang berkuasa sebelum

kemudian dihancurkan oleh revolusi sosial lainnya seperti revolusi

para penggarap tanah dan para budak menghancurkan kelompok feodal

yang kemudian memberikan jalan bagi kelas borjuis untuk berkuasa,

begitupun sebaliknya kelas buruh akan menghancurkan kelas borjuis

31

dengan menggantikannya menjadi masyarakat sosialis dalam bergerak

menuju ke masyarakat komunis (Giddens, 2000:12).

Konsep perjuangan kelas Karl Marx ini menempatkan aksi-aksi

kolektif dalam bentuk revolusi, gerakan sosial dan bentuk perlawanan

merupakan rangkaian tindakan dari sebuah kelompok masyarakat yang

rasional untuk keluar dari situasi buruk penindasan. Menurut Karl

Marx, hanya dengan cara perjuangan kelas kelompok yang tertindas

bisa keluar dari jebakan penindasan. Kelompok yang tertindas tidak

bisa berharap dari lembaga-lembaga negara atau kerajaan, peradilan

dan lembaga-lembaga sosial seperti organisasi keagamaan untuk

mengeluarkan mereka dari situasi penindasan karena lembaga-

lembaga tersebut telah menjadi alat yang berkuasa untuk

mempertahankan kekuasaannya. Perjuangan kelas akan tumbuh

dengan sendirinya secara spontanitas, ketika penderitaan

berkepanjangan dari sebuah kelompok yang ditindas dan tidak bisa

dikompromikan antara kedua kelas yang sedang bertentangan. Situasi

penindasan ini menumbuhkan kesadaran kelas baru, dan kesadaran ini

menjadi faktor pemicu sebuah revolusi sosial untuk menumbangkan

kelas yang sedang berkuasa.

Teori gerakan sosial modern

Teori gerakan sosial modern memiliki beberapa ciri utama:

pertama, memandang dan menempatkan aktivitas gerakan sosial

sebagai sebuah aksi kolektif yang rasional dan memiliki nilai positif.

Kedua, memperbaiki dan mengkontekstualisasikan teori-teori gerakan

sosial sebelumnya ke dalam era kekinian seperti menjeneralisasi teori

eksploitasi kelas Karl Marx menjadi teori keluhan yang lebih cocok

dipergunakan dalam konteks saat ini, aksi-aksi kolektif berkembang

tidak hanya didorong oleh eksploitasi kelas pemilik alat produksi

terhadap buruh di masyarakat kapitalis. Ketiga, semakin banyaknya

riset dan studi gerakan sosial di negara-negara di luar Amerika Utara

dan Eropa Barat yang membuat kajian gerakan sosial semakin kaya.

Dan ke empat, teori gerakan sosial modern berhasil mengidentifikasi

faktor-faktor yang memfasilitasi tumbuhnya gerakan sosial, kuat

lemahnya dan berhasil atau tidaknya sebuah gerakan sosial.

32

Teori keluhan

Mempergunakan analisa Karl Marx berkenan dengan penyebab

utama perjuangan kelas, Sidney Tarrow dan sejumlah akademisi

gerakan sosial memodifikasi konsep eksploitasi kelas menjadi teori

keluhan dan kemudian dipergunakan sebagai pisau analisa dalam

mempelajari gerakan sosial dan berbagai bentuk politik perlawanan

lainnya (Tarrow 1998:11). Teori keluhan ini juga digunakan untuk

menjembatani perdebatan para ahli gerakan sosial dalam menganalisa

pemicu utama gerakan sosial dari bingkai produk eksploitasi,

ketidakadilan dan ketimpangan yaitu keluhan.

Donatella Della Porta dan Mario Diani mengutarakan

―kebangkitan berbagai bentuk gerakan pada tahun 1960-an dan 1970-

an adalah sebuah kritik terhadap model interpertasi Marxis atas konflik

kelas. Model tersebut telah menemui sejumlah masalah dalam

menjelaskan perkembangan gerakan sosial. Transformasi sosial yang

terjadi setelah perang dunia kedua meletakan pusat konflik antara

buruh dengan pemilik modal dalam pertanyaan besar.

Meluasnya akses terhadap pendidikan tinggi atau masuknya

perempuan dalam dunia kerja telah menciptakan kemungkinan-

kemungkinan struktur baru atas konflik dan meningkatnya relevansi

stratifikasi sosial yang tidak hanya berbasis sumber daya ekonomi‖

(Porta dan Diani, 1999: 11). Pandangan Alberto Melucci, gerakan sosial

baru sebagai sebuah bentuk reaksi dan keluhan baru justru ingin

melakukan perlawanan atas intervensi negara dan pasar yang terlalu

besar dalam ruang privat individu-individu dan berupaya merebut

kembali ekonomi sebagai individu yang telah dihancurkan oleh sebuah

sistem yang sangat manipulatif. Karena itu, gerakan sosial baru tidak

akan berhenti hanya mendapatkan porsi pembagian keuntungan dari

pendapatan usaha produksi yang lebih berimbang dengan para

kelompok borjuis tetapi yang lebih penting adalah gerakan ini

melawan semua upaya lembaga-lembaga negara melakukan intervensi

melalui aparatur birokasi dalam kehidupan sehari-hari (Melucci, 1995:

41-63).

33

Joe Fowerker mengutip Mouffe, juga sependapat dengan

beberapa ahli gerakan sosial, keluhan baru mendorong gerakan sosial

baru dalam konteks negara-negara di Eropa Barat. Keluhan itu berupa

bentuk baru subordinasi kapitalisme, komersialisasi kehidupan sosial,

ekspansi kapitalisme yang mengkooptasi budaya, kebahagiaan dan

seksualitas, birokratisasi masyarakat, hegemonisasi kehidupan

masyarakat melalui intervensi media massa. Gagalnya pembangunan,

tindakan represif militer, penolakan kebijakan populis atau dukungan

terhadap kebijakan populis seperti pendidikan gratis bagi masyarakat

miskin adalah bentuk-bentuk keluhan baru yang dipergunakan oleh

para aktor dalam membangun gerakan sosial (Fowareker, 1995: 41-42).

Dari pandangan teori para ahli dan akademisi tentang gerakan

sosial menunjukan bahwa, terjadinya gerakan sosial diakibatkan pada

tingkatan strata dalam kehidupan manusia. Atau, dalam kehidupan

manusia telah tercipta tingkatan strata yang didasarkan pada tingkatan

kedudukan sosial (jabatan, kekayaan dan kepemilikan harta) yang

mengakibatkan munculnya tekanan pada kaum jelata yang menjadi

pekerja rendahan. Akibat dari kedudukan dan tekanan kaum borjuis

dan birokrasi pemerintah atau organisasi terhadap kelompok

masyarakat jelata memungkinkan munculnya gerakan-gerakan

pelawanan yang mengakibatkan konflik sosial.

Simbol Dan Tanda Dalam Tindakan Manusia

Simbol dan tanda dalam sejarah manusia sangat memainkan

peran penting. Peran simbol dan tanda diibaratkan sebagai alur yang

memungkinkan seseorang dapat memulai dari mana dia datang dan

kemana dia pergi. Karena itu, memahami simbol dan tanda merupakan

keharusan bagi manusia, baik secara individu, marga/klan, bahkan

dalam suatu komunitas masyarakat.

Meremehkan simbol dan tanda, akan mewajibkan seseorang

untuk menanggung akibat dari sikap yang dilakukan. Kenyataan itu

bisa terlihat dalam konteks keseharian manusia dalam beraktifitas di

jalan raya, entah menggunakan kenderaan atau sebagai pejalan kaki.

34

Rambu-rambu lalulintas yang terpasang misalnya, jika tidak diakui dan

ditaati oleh manusia, tentu akan menimbulkan kekacauan, bahkan

dapat mengakibatkan manusia kehilangan nyawa disaat seseorang

mengabaikan rambu-rambu lalulintas. Minimal akibat dari

ketidaktaatan mematuhi rambu-rambu lalulintas, seseorang akan

dikenai sanksi hukum sebagai rujukan untuk diproses berdasarkan jenis

pelanggaran yang dilakukan. Contoh ini merupakan bagian kecil dari

kekuatan simbol dan tanda yang diciptakan dan disepakati manusia

dengan tujuan mengatur manusia saat beraktifitas di jalan raya.

Dalam komunitas manusia yang berada di wilayah-wilayah

terpencil sekalipun, simbol dan tanda dibuat untuk disepakati dan

ditaati bersama. Tidak berbeda jauh dengan simbol dan tanda di

wilayah perkotaan, di wilayah pedalaman atau wilayah-wilayah

terpencil, simbol dan tanda memainkan peran penting untuk mengatur

manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam, hal ini dilakukan

dengan tujuan agar tercipta keseimbangan antar manusia dengan

sesama dan manusia dengan alam yang bertujuan pada keselamatan

manusia itu sendiri.

Salah satu tujuan mulia dibuatnya simbol dan tanda oleh

manusia, tidak hanya untuk ditaati dan dilaksanakan, tetapi ada hal

penting dan menjadi keinginan bersama yang kuat, yaitu untuk

menciptakan keteraturan hidup setiap individu. Keteraturan hidup

yang diinginkan dalam konteks ini adalah, kedamaian hidup antar

individu, antar sesama komunitas, dan antara komunitas dengan alam.

Pada bagian ini, akan diuraikan peran simbol dan tanda, makna

dan tindakan simbolik manusia dalam kehidupan (individu dan

komunitas) bersama.

Simbol dan tanda

Terkadang manusia mengalami kesulitan dalam membedakan

dua kata yang berkaitan dengan simbol dan tanda. Mengawali

penjelasan terkait simbol dan tanda, kajian ini diawali dengan

pertanyaan apakah simbol dan apakah tanda itu?

35

Secara etimologi simbol berasal dari bahasa Yunani ―sym-ballein‖

yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan) yang

dikaitkan dengan ide (Hartoko dan Rakhmanto, 1998 : 133). Ada pula

yang menyebutkan ―syimbolos‖, yang berarti tanda atau ciri yang

memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).

Biasanya simbol terjadi berdasarkan metanoia (metonimy), yakni nama

untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya

(misalnya si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan

metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk

obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki

gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia) (Kridalaksana,

2001:136-138).

Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, suatu

rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan.

Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbol. Simbol

adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan

bentuk simbolik itu sendiri. Karena itu, Peirce mengemukakan bahwa:

―A symbol is a sign which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object‖ (Peirce 1931-58, 2.249).

Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang

mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan

antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda)

sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat

pemakainya, ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan

menafsirkan maknanya.

―bahasa‖ komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), prilaku non verbal dan obyek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan mengenai

36

hubungan antara manusia dan obyek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut‖.3

Berger (2000a:85) mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi tiga

bagian: (1) konvensional. Konvensional adalah kata-kata yang kita

pelajari yang berdiri/ada untuk (menyebut/menggantikan) sesuatu; (2)

aksidental (accidental), adalah bentuk kontras dari konvensional, dia

lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan

seseorang; dan (3) universal adalah sesuatu yang berakar dari

pengalaman semua orang4.

Sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan manusia

(simbol), maka simbol itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan

manusia. Kata budaya, menurut perbendaharaan bahasa Jawa, berasal

dari kata budi dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata

membentuk satu pengertian baru yang dalam bahasa Jawa adalah:

a. Kata budi mengandung arti:

1. akal, dalam arti ―batin‖ untuk menimbang baik dan buruk, benar

dan tidak; dalam bahasa Jawa : ditimbang-timbangin batin;

2. tabiat, watak, akhlak, perangai; dalam bahasa Jawa: berbudi bawa

laksana;

3. kebaikan, perbuatan baik; dalam bahasa Jawa; budi luhur;

4. daya upaya, ikhtiar; dalam bahsa Jawa: mangulir budi;

5. kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah; dalam bahasa Jawa:

hambudi daya;

b. Kata daya mengandung arti:

1. kekuatan, tenaga; dalam bahasa Jawa : Dayaning batin;

2. pengaruh; dalam bahasa Jawa : Daya pangaribawa;

3. akal, jalan/cara, ikhtiar; dalam bahasa Jawa : Daya upaya;

4. muslihat, tipu; dalam bahasa Jawa : Hambudi daya.

Kedua kata tersebut kalau diperhatikan memiliki beberapa

persamaan dalam arti yang dikandungnya. Setelah dijarwodosokan menjadi ―budaya‖ memperoleh pengertian yang baru yaitu: ―kekuatan

3 Semiotika Komunikasi. Alex Sobur P.T. Remaja Rosdakarya-Bandung, 2009,hlm.156. 4 Tanda-tanda dalam kebudayaan Kontemporer. Arthur Berger Asa. Penerjemah M. Dewi marianto dan Sunarto, Yogyakarta: 2000b.Tiara Wacana.

37

batin dalam daya upayanya menuju kebaikan‖ atau ―kesadaran batin

menuju kebaikan‖. Ada pula yang mengartikan ―daya upaya manusia

untuk menciptakan sesuatu keindahan5.

Konsep humanistik mengenai budaya menyebutkan dengan kata

―cultura animi‖ (kebudayaan dari budi)6, menurut Koentjaraningrat

kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhaya, ialah bentuk

jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan itu

dapat diartikan: ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal‖.

Zoetmulder dalam bukunya ―Cultuur, Oost en West‖ berpendapat

bahwa asal kata budaya itu merupakan perkembangan dari majemuk

―budi-daya‖, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.)7

Ki Sarino Mangunpranoto berpendapat, bahwa budaya manusia

itu terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau

lingkungannya. Norma hidup itu terwujud dalam bentuk: alam pikir,

alam budi, alam karya, alam tatasusila, alam seni yang meliputi: (seni

rupa: pahat, sungging, lukis dan sebagainya; seni sastra; seni suara; seni

tari; seni musik, seni drama, olah raga dan sebagainya).

Keseluruhan sifat-sifat hidup ini melahirkan adanya rasa budaya

manusia. Kalau rasa budaya ini dilaksanakan maka terjadilah

kebudayaan atau budaya manusia.8 Begitu eratnya hubungan manusia

dengan kebudayaannya, disebabkan oleh karena kebudayaan

merupakan lingkup di mana manusia harus hidup. Aktifitas mulai dari

rohani, jasmani, merupakan bagian dari kehidupan manusia yang

menggunakan akal budi logika manusia dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan.

Pernyataan bahwa manusia merupakan makhluk budaya

mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam

hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal

5 Pakem Pengetahuan tentang Keris, Koesni, penerbit C.V. Aneka Semarang, 1979, hlm. 33 6 Suatu Konsepsi Kearah Penerbitan Bidang Filsafat, The Liang Gie Penerbit Karya Kencana, Yogyakarta, 1979,hlm.128. 7 Kebudayaan, mentalitet dan Pembangunan, Koencaraningrat,Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta hlm.19. 8 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.7.

38

bagaimana manusia memberi tanggapan terhadap dunianya,

lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi

landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya,

bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan harus

dilakukannya, sehubungan dengan pola hidup dan tata cara

kemasyarakatannya. Konteks ini sejalan dengan pikiran Michael

Landman dalam bukunya ―Filosofische Antropologie‖ menyatakan

bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan sesuatu tujuan,

yaitu bahwa setiap benda alam di sekitarnya yang disentuh dan

dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai. Nilai

yang diperoleh manusia dapat bermacam-macam, misalnya nilai sosial,

ekonomis keindahan, kegunaan dan sebagainya. Dengan demikian,

berkarya berarti menciptakan nilai, atau dalam setiap karya terwujud

sesuatu idea dari manusia. Dengan demikian, manusia disebut ―homo creator‖, karena dalam setiap karyanya, setiap manusia memberi

bentuk dan isi yang manusiawi secara pribadi pada setiap benda

budaya yang menandakan nilai tertentu, menunjukan maksud serta

gagasan-gagasan penciptanya.9

Dalam konteks manusia sebagai makhluk yang

berbudaya/memiliki budaya, lahirlah konsep-konsep manusia yang

diwujudkan dengan simbol (abstrak dan non abstrak). Simbol lahir

sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang mampu berkreasi

tanpa dinding pembatas dalam budayanya, sehingga budaya itu sendiri

terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil

karya dan prilaku manusia. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila

dikatakan bahwa: ―begitu eratnya kebudayaan manusia itu dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol‖. Dengan perkataan lain dunia kebudayaan adalah dunia

penuh simbol, manusia menciptakan dan menggunakan simbol.

Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas dari mansia,

yang dengan jelas membedakannya dari hewan. Maka Ernst Cassirer

cenderung menyebut manusia:

9 Menuju Kepada Manusia Seutuhnya, Soerjanto Poespowerdojo, dalam buku Sekitar Manusia Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, P.T. Gramedis, Jakarta 1978.hlm. 11.

39

―The great thinkers who have defined man as an animal rationale,‖ writes Ernst Cassirer,―were not empiricists, nor did they ever intend to give an empirical account of human nature. By this definition they were expressing rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate term with which to comprehend the forms of man‘s cultural life in all their richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence, instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum‖ (Cassirer 1974, 25-26) Digunakan untuk menyebutkan manusia sebagai: ―animal symbolicum‖ atau hewan yang bersimbol‖10.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan WJS

Poewadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam

tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan

suatu hal, atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya, warna

putih melambangkan kesucian, padi lambang kemakmuran, dan kopiah

merupakan salah satu tanda mengenal warga Negara Republik

Indonesia.

Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang

merupakan pengantara pemahaman terhadap obyek. Untuk

mempertegas pengertian simbol atau lambang dibedakan antara

pengertian-pengertian isyarat, tanda dan simbol atau lambang. Isyarat

ialah sesuatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh si subyek

kepada obyek, artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk

memberitahukan keadaan si obyek yang diberi isyarat agar si obyek

mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan

pemakaiannya, ia hanya berlaku pada saat dikeluarkan atau dilakukan

oleh subyek. Isyarat yang dapat ditangguhkan atau disimpan

penggunaannya akan berubah bentuk menjadi tanda. Sedangkan tanda

ialah sesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau

memberitahukan sesuatu kepada si obyek, sedangkan simbol atau

lambang ialah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si

subyek kepada obyek. Tanda selalu menunjukan kepada sesuatu yang

10 An Essay on Man. An Introduction to a Philosophy of Human Culture, Ernst Cassire, New Haven, 1944, hlm 23-26.

40

riil atau benda, kejadian atau tindakan, misalnya guntur selalu ditandai

dengan adanya kilat yang mendahuluinya. Tanda-tanda alamiah ini

merupakan suatu bagian dari hubungan alamiah tertentu, dan

menunjukan pada bagian yang lain yaitu hubungan sebab akibat (asap

menandakan ada api). Tanda-tanda yang dibuat oleh manusiapun

menunjukan sesuatu yang terbatas artinya dan menunjukan hal-hal

yang tertentu, misalnya rambu-rambu lalulintas, tugu-tugu jarak

jalanan seperti kilometer, tanda baca, tanda pangkat atau jabatan dll.11

C.A. van Peursen dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖ yang

diterjemahkan oleh Dick Hartono, menguraikan tentang pengertian

dan proses terwujudnya simbol atau lambang dalam kebudayaan

manusia antara lain sebagai berikut: 12

1. Sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol atau

lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa

yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan

tanda adanya api. Seekor hewan dapat diajari menghafalkan tanda-

tanda, maka bukan hanya tanda-tanda yang diikutsertakannya. Ia

sendiri dapat menciptakan tanda-tanda, dan tanda-tanda ciptaannya

kita namakan simbol-simbol. Antara tanda dan apa yang ditandai tak

ada lagi suatu pertalian alamiah. Huruf a—p—i itu merupakan sebuah

simbol. Dengan cepat kita memahami tanda-tanda tersebut: suatu

perjanjian lisan dan sederhana sudah cukup untuk itu. Terdapat juga

simbol-simbol yang semata-mata berdasarkan perjanjian serupa itu,

seperti misalnya tanda-tanda dalam ilmu aljabar atau petunjuk-

petunjuk disebuah stasiun.

2. Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad.

Lambang-lambang purba seperti ―api‖, ―air‖, ―matahari‖, ―ikan‖ dan

sebagainya mempunyai fungsi yang kadang-kadang relijius, kadang-

kadang seni dan kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat

komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan

11 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.11. 12 Strategi kebudayaan, C.A. van Peursen, Yayasan Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia Jakarta, 1976.hlm.141-150.

41

dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama.

Contoh yang bagus kita jumpai dalam huruf-huruf hiroglif di Mesir

kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi mengandung

berita, tetapi tidak lewat huruf-huruf biasa, satu huruf satu bunyi

misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang

sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.

3. Lambang-lambang mengejawantahkan proses belajar, sehingga

kita seolah-olah dapat naik menara dan memandang daerah-daerah

yang luas yang dulu tidak pernah kita kenal, kita lalu tahu arah mana

kita harus berkiblat. Manusia lalu tidak lagi seperti hewan terkurung

dalam lingkungan alam, alam itu diangkat ke dalam daya-daya cetusan

simbol-simbolnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia tidak hanya

mendirikan menara-menara yang memperluas pandangan sendiri

diubahnya. Lambang-lambang merupakan penunjuk jalan di tengah-

tengah kesimpangsiuran perbuatan manusiawi. Lambang itu

melontarkan pertanyaan kepada kita: bagaimana kita menanggapi

situasi sekeliling kita? Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang

menandai proses belajar umat manusia, penunjuk jalan ke arah

pembaharuan dan penyusunan kembali. Bahkan lambang-lambang

purba yang sepenjang segala abad kita jumpai dalam dunia mitos

kesenian, khayalan, impian dan dunia bawah sadar, bukanlah batu-

batu yang berdiri tegak tanpa perubahan, melainkan selalu harus

ditafsirkan kembali. Baru lewat penafsiran kembali itu lambang-

lambang tadi tetap berlaku, seperti misalnya, dalam psikoterapi seperti

kesenian. Daya simboliknya tetap sama, asal disusun kembali dijadikan

kaidah-kaidah baru.

4. Lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah yang

berlaku dalam perbuatan manusiawi, pengertian dan ekspresi. Kaidah-

kaidah tersebut tidak hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian

manusia, tetapi dengan seluruh pola kehidupannya, seluruh perbuatan

dan harapan manusia. Kaidah-kaidah tersebut selalu mengalami

perubahan, dan ini memerlukan suatu proses belajar yang bertalian

dengan situasi-situasi yang disusun kembali lewat perubahan dalam

simbol-simbol. Lambang-lambang bukan hasil pemerasan otak, bukan

42

semacam teka-teki silang. Lambang-lambang harus dipraktekkan,

merupakan penunjuk jalan yang memberi arah kepada perjalanan kita,

alat-alat terinformasi, untuk merubah sesuatu. Semua aktivitas manusia

berlangsung lewat kaidah-kaidah tertentu, entah dalam suatu

mekanisme teknis, kebijaksanaan politik, perwujudan artistik, atau

argumentasi ilmiah. Kaidah-kaidah tadi mengakomodir lambang-

lambang.

5. Lambang-lambang terdapat di luar badan manusia dan tidak

terikat oleh naluri jasmaniah. Manusia dapat menangani simbol-

simbol. Simbol dimana manusia sedang belajar, atau bila proses belajar

sedang berlangsung. Belajar berarti memperoleh suatu kepandaian

baru, pengertian baru, atau kaidah kelakuan yang baru. Seluruh

kebudayaan manusia merupakan proses belajar yang besar. Untuk

menampung hasil pelajarannya, manusia memiliki dan menggunakan

media yaitu bahasa. Dengan bahasa itu manusia meneruskan hasil

pelajarannya, bahkan mewariskannya kepada ingatan penerusnya.

Dengan demikian apa yang dipelajari setiap angkatan terus menambah

khasana pelajaran dari angkatan-angkatan sebelumnya, sehingga

pengetahuan manusia terus bertambah. Tradisi belajar dengan lisan

diikuti dengan tradisi belajar secara tertulis. Dan kemudian

pengetahuan manusia meneruskan dan dialihkan dengan menggunakan

lambang-lambang atau simbol-simbol abstrak yang disandikan/bahasa

sandi, maka pengertian bahasa menjadi meluas, tidak hanya meliputi

bahasa dalam arti kata yang sempit, melainkan meliputi segala macam

bentuk lambang atau simbol berupa: kata, tarian, gambar-gambar

isyarat.

I. Kuntara Wiryamartana seorang ahli filsafat berpendapat

bahwa bentuk lambang dapat berupa: bahasa, (cerita, perumpamaan,

pantun, syair, peribahasa), gerak tubuh (tari), suara atau bunyi (lagu

musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan).13

13 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.14.

43

Memaknai sesuatu itu (simbol), tersirat sikap individu dan

kelompok tertentu untuk melakukan apa yang ada pada simbol

tersebut. Memaknai menunjukan sikap yang relevan antara makna dan

pemakna. Terjadinya perlawanan antara makna (maksud simbol) dan

pemakna (pengguna simbol), akan muncul sikap perlawanan yang

mengakibatkan hilangnya tujuan pada sesuatu itu (simbol). Karena itu,

memaknai simbol dibutuhkan rasa kolektiv, cara padang kolektiv, cara

bertindak kolektiv pada tujuan yang akan dicapai. Jika pada komunitas

tertentu, tujuan atau hasil dari simbol yang dilakukan tidak tercapai,

maka hal tersebut akan berdampak pada kekacauan individu, dan

berakibat pada kesuraman simbol di masa depan. Pada uraian berikut,

akan diuraikan makna dan tindakan simbolik manusia.

Makna dan tindakan simbolik manusia

Manusia dan simbol yang digunakan merupakan dua sisi yang

memiliki kaitan, dan sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan, keduanya

saling memberi pemaknaan. Untuk mengetahui manusia bersama

seluruh aspek hidupnya, simbol menjadi pintu masuk. Dari simbol

yang dimunculkan melalui perilaku manusia, pada saat yang sama pula,

manusia sementara menyampaikan pesan kepada pihak lain tentang

apa yang sementara dipikirkan dan dikerjakan. Dalam konteks

tersebut, menurut sosiolog R.M. Maclver bahwa:

―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol‖14.

Dalam bukunya berjudul, Culture and Communication, Edmund

Leach (1950:340), memasukan tanda dan isyarat (sinyal) sebagai

operator dalam proses komunikasi; ketiganya merupakan ―tindakan-

tindakan ekspresif‖ yang ―entah hanya mengatakan sesuatu tentang

tatanan dunia sebagaimana adanya, entah bermaksud untuk mengubah

14 Soceiety, Macmilan, R.M. Maclver, 1950, hlm. 340.

44

tatanan itu secara metaforis‖. Operator-operator seperti isyarat, tanda,

dan simbol, menurut Leach, bersifat deskriptif atau transformatif.15

F.W. Dillistone, menjelskan pendapatnya tentang beberapa

istilah umum yang berkaitan dengan gambaran, penunjuk, ikon,

kiasan, bahwa simbol agak terpisah dari dunia, sedangkan penunjuk

dan tanda-tanda pertama-tama diterapkan pada dunia sebagaimana

adanya. Menurutnya, penunjuk dan tanda-tanda beroperasi dalam

lingkungan yang relativ statis, di mana kata-kata atau gerak-gerik yang

sudah dikenal digunakan untuk mendeskripsikan suatu barang atau

peristiwa. Biasanya ada kesesuaian langsung, satu lawan satu; tugas

penguraian kode (decoding), apabila pemberi dan penerima berada

dalam masyarakat yang sama dan tetap, hanya sedikit yang

menimbulkan kesulitan. Ia menjelaskan juga, bahwa sinyal memiliki

perbedaan, kata sinyal mengisyaratkan permintaan perhatian atau

tindakan, yang dengan suatu cara untuk mengubah

(mentransformasikan) suatu keadaan atau duduk perkara yang ada.

Kata ini lebih tepat digunakan dan sesuai dalam konteks-konteks

kemiliteran, perdagangan, dan cara modern dalam menyampaikan

pesan-pesan dengan sarana elektronik. Meskipun demikian, dalam

banyak hal, baik dalam deskripsi maupun dalam tindakan

transformatif, komunikasi dimaksudkan untuk mencapai suatu hasil

langsung, dengan menggunakan tanda dan sinyal yang ada, dalam

peristilahan umum suatu sisitem budaya khusus. Dalam situasi yang

sangat kompleks, apabila bahasa simbol dan simbolisme digunakan,

―simbol‖ dan ―simbolis‖ dalam iklan, berita, pidato politik, prakiraan

cuaca, dan analisis ekonomi, semakin tidak menunjukan

ketidaksesuaian dengan istilah-istilah yang digunakan.16

Symbollein17, memberi penekanan pada sebuah benda yang

dipecahkan menjadi dua bagian dan masing-masing pihak memegang

15 Culture and Communication, Edmund Leach, Cambridge University Press, 1976 16 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm. 17 Pada waktu dua orang Yunani kuno mengadakan perjanjian, mereka kerapkali memeteraikan perjanjian itu dengan memecahkan sesuatu – sebuah lempengan, sebuah cincin, sebuah benda dari tanah liat – menjadi dua bagian dan masing-masing pihak menyimpan satu bagian. Jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, kemudian menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau

45

kedua bagian merupakan satu kekuatan yang mengikat kedua pihak.

Walaupun dalam kenyataannya kedua pihak tidak berada dalam satu

wilayah, namun patahan benda tersebut sewaktu-waktu dapat dapat

disatukan atau ―dicocokan‖ kembali. Pada saat kedua patahan benda

tersebut ―dicocokan‖ maka kata ―dicocokan/disatukan‖ itu disebut

simbol. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam

pengertian yang lebih luas, misalnya, untuk anggota-anggota

masyarakat, rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar... Sebuah simbol

pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda, atau sebuah kata

yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan ―arti‖ yang sudah

dipahami oleh kedua pihak.

Dari kata symbollein, Edmund Leach memberikan pernyataan

bahwa:

―kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol, mengisyaratkan bahwa masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol18.

A.N. Whitehead menulis dalam bukunya symbolisim ―pikiran

manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen

menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai

komponen-komponen lain pengalamannya‖. Perangkat komponen

terdahulu adalah ―simbol‖ dan perangkat komponen yang kemudian

adalah ―makna‖ simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan

adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut

―referensi‖19.

wakilnya akan mengidentivikasikan diri dengan mencocokan bagian dari barang yang telah dipecah itu dengan bagian yang lain. ―Mencocokan‖ dalam bahasa Yunani adalah symbollein dan atau kedua bagian atau kepingan itu disebut ―syimbola‖. 18 Culture and Communication, The logich by which symbols are connected and introduction to the use of structuralist analysis in social anthropology, Edmund Leach,Published by the press syndicate of the university of cambridge,2003.hlm.23. 19 Simbolisim, A.N. Whitehed, Cambridge University Press, 1928, hlm.9.

46

Goethe menyatakan bahwa dalam simbolisme sejati, yang khusus

mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan,

melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga,

sedangkan Coleridge menandaskan bahwa sebuah simbol

sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya

dapat dimengerti. Pengambil bagian, atau partisipasi ini dilukiskan

kemudian hari pada abad ke sembilan belas dengan istilah ―substansi‖

seperti misalnya oleh George MacDonald, putranya menulis tentang

―ujaran simbolis‖. Baginya sebuah simbol jauh melebihi tanda lahir dan

terlihat arbiter untuk sebuah konsepsi yang abstrak: nilainya yang

tinggi terletak dalam suatu substansi bersama ide yang disajikan‖20.

Berbeda dengan Arnold Toynbee yang memusatkan

perhatiannya pada dunia intelek, menurutnya; ―sebuah simbol tidak

identik atau koekstensif dengan obyek yang disimbolkannya‖.

Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak dapat menjadi

simbol barang itu, melainkan barang itu sendiri. Adalah salah anggapan

bahwa sebuah simbol dimaksudkan untuk menjadi reproduksi barang;

sebenarnya simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya,

melainkan untuk meneranginya. Pengujian yang menunjukan bahwa

sebuah simbol berhasil atau gagal bukan karena simbol merepro atau

tidak merepro dengan setiap obyek yang ditunjukannya; pengujiannya

adalah, apakah simbol itu memberi tarang atas obyek itu, atau

mengaburkan pemahaman kita tentangnya. Simbol yang efektif adalah

simbol yang memberi terang, dan simbol efektif merupakan bagian

mutlak perlengkapan intelektual kita. Jika sebuah simbol harus bekerja

dengan efektif sebagai alat untuk tindakan intelektual – artinya,

sebagai ―model‖ – simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam

sehingga menjadi seperti sesuatu yang mirip peta-sketsa, jadi bukan

sebuah fotograf yang diambil dari pesawat terbang U-2‖21.

Erwin Goodenough dalam telaahannya yang panjang lebar,

Jewish symbols in graeco-roman period, mendefinisikan simbol sebagai

berikut:

20 Lois Macneice, Varietis Cambridge University Press, 1965.hlm.94,97. 21 A Study of History Arnold Toynbee (edisi pertama), Thomas and Hudson,1976,hlm.53.

47

―simbol adalah barang atau pola yang apa pun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan itu‖. ―Simbol memiliki maknanya sendiri, atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini, daya kekuatan sendiri untuk menggerakan kita‖. Singkatnya, referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima. Malahan, daya kekuatan simbol yang bersifat emotif, yang merangsang orang untuk bertindak dipandang sebagai ciri hakikinya‖22.

Fungsi simbol menurut Erwin Goodenough merangsang daya

imajinasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sementara

Whitehead menjelaskan bahwa ‗simbol mengacu pada makna‘; bagi

Goethe ‗simbol menggambarkan yang universal‘; bagi Coledrige ‗simbol

berpartisipasi dalam realitas‘; bagi Toynbee ‗simbol menyinari realitas‘;

bagi Goodenaugh ‗simbol mendatangkan transformasi atas apa yang

harafiah dan lumrah‘; dan bagi Brown ‗simbol menyelubungi ke-Allah-

an‘.

F.W. Dillistone menggambarkan simbol dalam tiga bagian

diantaranya adalah:

1. sebuah kata, atau barang, atau obyek, atau tindakan, atau

peristiwa, atau pola, atau pribadi, atau hal yang konkrit;

2. yang mewakili, atau menggambarkan, atau mengisyaratkan, atau

menandakan, atau menyelubungi, atau menyampaikan, atau

mengunggah, atau mengungkapkan, atau mengingatkan, atau

merujuk kepada, atau berdiri menggantikan, atau mencorakan,

atau menunjukan, atau berhubungan dengan, atau bersesuaian

dengan, atau menerangi, atau mengacu kepada, atau mengambil

bagian dalam, atau menggelar kembali, atau berkaitan dengan;

3. sesuai yang lebih besar, atau transenden, atau tertinggi, atau

terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi,

kepercayaan masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.

22 Erwin Goodenough, Jewish Symbols in the Graecho-Roman Period, jilid 4, Pantheon Press, New York, 1953.hlm.28.

48

Dari ke tiga hal yang dijelaskan; poin nomor satu lebih dapat

dilihat, lebih dapat didengar, lebih dapat diraba, lebih dekat, lebih

konkret dari pada nomor tiga. Fungsi simbol menurut defenisi-defenisi

ini ialah, untuk menjembatani jurang antara dunia nomor satu dan

dunia nomor tiga, dan hal ini teramat penting demi berfungsinya hidup

masyarakat. Fariasi yang mungkin timbul dalam defenisi-defenisi itu

diakui secara umum, bahwa sebuah simbol sedikit banyak

menghubugkan dua entitas.23

Raymond Firth ―Hakikat simbolisme terletak dalam pengakuan, bahwa hal yang satu mengacu pada (mewakili) hal yang lain, dan hubungan antara keduanya, pada hakikatnya adalah hubungan yang konkret dengan hal yang abstrak, hal yang khusus dengan hal yang umum. Hubungan ini sedemikan rupa, sehingga simbol dari dirinya tampak mempunyai kemampuan, untuk menimbulkan dan menerima akibat-akibat yang dalam keadaan yang lain, hanya diperuntukan bagi obyek yang diwakili oleh simbol itu—dan akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan emosional yang kuat‖.

Simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam urusan-

urusan manusia:

―manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol, dan bahkan merekonstruksi realitasnya dengan simbol‖. Simbol menurut pandanganya, tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan – fungsi yang dapat dianggap pertama-tama bersifat intelektual‖. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada dirinya sendiri, seluruh semangat yang semestinya hanya menjadi milik realitas terakhir (tertinggi) yang diwakilinya‖.

Sesungguhnya menurut Firth, sebuah simbol dapat menjadi

sarana, untuk menegakkan tatanan sosial, atau untuk menggugah

kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadang-kadang

dapat memenuhi suatu fungsi, yang dapat bersifat privat dan

individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam

sebuah simbol, yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman

sosial yang lebih luas.

23 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm. 20, 21.

49

Pada bagian akhir, buku yang ditulis oleh Firth ―symbol and substance‖, Firth memusatkan perhatian pada soal yang asasi bagi

semua teori simbolisme, dia menyatakan dengan terus terang; apa itu

simbol? Jika dalam masyarakat bentuk-bentuk simbolis digunakan,

apakah yang diwakili oleh bentuk-bentuk simbol itu, apa fungsinya,

makna apa yang termaktub, apa akibatnya pada hidup orang-orang

yang menggunakan bentuk-bentuk simbol itu? Dua istilah yang

digunakan oleh Firth penting artinya: ―simbol‖ mencakup dua entitas:

―substansi‖ berarti zat atau bahan yang mendasari, tidak terbagi. Suatu

pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol bersifat biner

(berpasangan): tidak ada perpaduan kristalisasi penuh, menjadi sebuah

masa yang kuat padat, melainkan antar hubungan yang tetap unsur-

unsur satu sama lain. Suatu pandangan hidup yang berdaya upaya

untuk mendefenisikan substansi-substansi bersifat uniter (kesatuan):

mungkin ada banyak substansi, tetapi masing-masing atomis, mandiri,

final. Maka dari itu, substansi hanyalah substansi; tidak dapat berkaitan

secara hidup dengan sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak

dapat membangun hubungan simbolis apapun (Firth 1973:105)24

Mary Douglas dalam bukunya Natural Symbolis, pada bagian

yang diberi judul; ―The Two Bodies‖. Dijelaskan ―ia sangat terkesan

melihat hubungan erat yang ada antara tubuh manusia dan masyarakat

manusia‖... Tubuh merupakan anologi yang cocok sekali untuk

diterapkan pada masyarakat umum: susunan, tata kerja dan tata

hubungan antara pelbagai bagian tubuh dapat disejajarkan dengan

hidup setiap masyarakat tertutup. Oleh karena adanya korelasi ini

maka dijelaskan bahwa: ―simbol-simbol alami tidak akan ditemukan

dalam butir-butir leksikal yang individual‖. Tubuh jasmani dapat

mempunyai makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab

sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Apa

yang disimbolkannya secara alamiah adalah hubungan bagian-bagian

sebuah organisme dengan keseluruhan.

24 Lihat Syimbols: and Privasi, Allen and Unwin Raymond Firth 1973. hlm.103-105.

50

Dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat: kadang-kadang

keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir menjadi satu; kadang-

kadang keduanya terpisah jauh. ―Tegangan antara keduanya

memungkinkan pengembangan makna-makna‖. Seperti halnya

manusia berusaha menciptakan tatanan dan pengendalian dalam hal-

hal yang berhubungan dengan tubuhnya sendiri, demikian juga ia

mengupayakan kategori-kategori stabilitas untuk kehidupan sosialnya.

Sesungguhnya ia tidak dapat tumbuh berkembang mencapai

kematangan badani dan budaya kalau tidak di dalam sistem simbolis

yang koheren.

Demikian juga sistem simbolis yang paling memuaskan, rupanya

adalah apa yang terstruktur secara organis dan yang menjaga hubungan

erat antara ungkapan sosial dan ungkapan tubuh. Bahwa bahasa

manusia dan tata cara dipengaruhi secara mendalam oleh susunan

masyarakat dan vice versa, bahwa setiap masyarakat menemukan

simbol-simbolnya yang autentik dengan menimbah dari anologi-

anologi yang diberikan oleh prilaku berpola tubuh manusia. Karena

keyakinannya yang mendalam bahwa simbol-simbol sangat penting,

tidak hanya untuk menata masyarakat tetapi juga untuk

mengungkapkan kosmologinya.

Viktor Turner (1969:15), dalam bukunya ―the forest of symbols‖

dan ―the ritual process‖ membicarakan fungsi simbol dalam mengatur

kehidupan sosial. Ia menjelaskan ada dua segi yang harus

dipertimbangkan: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang

memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari, munculnya kelompok-

kelompok komunal yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-

hasrat bersama, serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang

berbeda, dari cara-cara masyarakat luas. Ia menjelaskan, bentuk-

bentuk simbolis dalam ritual konteks Ndembu;

―hampir setiap barang yang dipakai, setiap gerak-gerik yang digunakan, setiap nyanyian atau doa, setiap satuan tempat dan waktu, menurut adat, berarti sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, lebih banyak dari pada tampaknya, dan kerap kali jauh lebih banyak‖.

51

Suatu unsur, atau satuan ritual disebut chijikijilu. Secara harafiah

kata ini berarti, suatu ―hal yang menonjol‖ atau ―nyala api‖ (untuk

mencari atau membuat jalan), chijikijilu juga berarti suatu ―unsur‖

sesuatu dalam pemandangan alam yang jelas kelihatan, seperti

misalnya sebuah sarang semut... Jadi, kata ini mempunyai dua artian (i)

sebagai nyala api pemburu, mengartikan suatu unsur hubungan antara

wilayah yang diketahui dan yang tidak diketahui; (ii) baik sebagai

nyala api maupun suar, memberikan pengertian tentang, yang tersusun

dan teratur, sebagai lawan yang tidak tersusun, dan kacau balau.

Pemakaiannya dalam upacara sudah bersifat metaforis,

menghubungkan dunia yang diketahui, yaitu dunia yang terserap

pancaindra, dengan dunia yang tidak ketahui dan tidak kelihatan, yaitu

dunia bayang-bayang gelap. Membuat apa yang misterius, dan juga

berbahaya menjadi dapat dimengerti‖. Jika penafsiran kata chijikijilu ini benar, itu berarti ada keinginan yang kuat untuk memelihara suatu

―suar‖ kehidupan, yang teratur dan tepat suatu ruang keramat yang

sentral, suatu tempat terbuka dalam semak belukar yang tanpa bentuk,

di mana pribadi-pribadi simbolis dapat bekerja dengan menetapkan

peraturan dan pemeliharaan siklus tata cara yang tepat.25

Namun, tidak hanya masyarakat Ndembu, tetapi juga untuk

banyak masyarakat suku lainnya, fungsi rangkap bentuk-bentuk

simbolis ini perlu. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan secara

simbolis, tempat yang keramat atau kuil, penataan terus menerus atas

upacara-upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber, dan

kematian, atau dengan siklus penanggalan perayaan gerakan-gerakan

benda-benda langit. Di lain pihak, ada tata cara simbol yang harus

dilaksanakan ketika suatu peristiwa kritis hampir terjadi: suatu

perjalanan ekspedisi baru, perjumpaan dengan suku bangsa lain. Ini

adalah pengalaman-pengalaman kritis, dimana kelompok-kelompok

terbatas harus berpetualang masuk ke dalam dunia yang tidak

diketahui. Upacara-upacara simbolis diperlukan untuk menjamin

kepergian yang aman, dan kedatangan kembali yang membahagiakan.

25 The Ritual Process, Routledge and Kegan Paul, 1969. hlm.15.

52

Jadi, di satu pihak ada bentuk-bentuk simbolis yang diperlukan,

untuk menjaga kesehatan yang berkelangsungan dan kehidupan teratur

seluruh masyarakat. Seiring dengan itu, Turner membuat perbedaan

antara simbol dan tanda: dalam simbol-simbol, ada semacam kemiripan

(entah bersifat metafora atau bersifat metanomia), antara hal yang

ditandai maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai

kemiripan seperti itu... Tanda-tanda hampir selalu ditata dengan sitem-

sistem ―tertutup‖, sedangkan simbol-simbol, khususnya simbol yang

dominan dari dirinya sendiri bersifat ―terbuka‖ secara semantis. Makna

simbol sama sekali tidaklah tetap... Makna-makna baru, dapat saja

ditambahkan oleh ―arbriter‖26, pada wahana-wahana simbolis yang

lama. Lagi pula, individu-individu dapat menambahkan makna pribadi

pada makna umum sebuah simbol.27

Clifford Geertz selama beberapa tahun menetapkan tujuan utama

hidupnya untuk menafsirkan kebudayaan-kebudayaan. Dalam

bukunya berjudul ―Anthropological Approaches to the Study of Religion‖ yang disunting oleh Michael Banton (1968:3), Geertz

menyatakan, bahwa

―dalam praktek-praktek keagamaan yang ditelaah oleh para ahli antropologi budaya ―kebudayaan‖ telah menjadi istilah yang kabur dan kerap kali ambigu dibanyak tempat. Menurut penggunaan Geertz, ―kebudayaan‖ berarti ―suatu pola yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan penge-tahuan mereka, sikap-sikap terhadap hidup‖28.

26 ...disepakati oleh dua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan keputusan yang akan ditaati oleh kedua belah pihak. Dalam hubungannya dengan kesepakatan terhadap pemaknaan penggunaan simbol, terkadang simbol mengalami perubahan desain berdasarkan konteks,maka ―arbriter‖ menjadi pilihan bersama dan semua pihak diminta untuk menaati perubahan penambahan atau pengurangan terhadap simbol bersama. Konteks ini dalam kehidupan suku Mairasi di Kabupaten Kaimana, komunitas suku telah mengubah sikap lama yang terikat kental dengan sikap masa lalu ―nyawa ganti nyawa‖ jika ada anggota suku yang terbunuh. Masa sekarang,tuntutan tersebut mengalami perubahan, anggota suku yang terbunuh diganti dengan seorang anak (dalam keadaan hidup-bukan dalam bentuk membalas membunuh). 27 F.W. Dillistone, Relegious Experience and Christian Faith, SCM Press, 1983. 28 Michael Banton (ed), Anthropologival Aproaces to the Study of Religion, Methuen,1968.hlm, 3.

53

Jadi, makna yang diejawantahkan dalam simbol, konsep yang

terungkap dalam bentuk simbolis, merupakan pusat minat dan

pilihannya. ―Geertz memberikan paradigma; simbol keagamaan

―berfungsi mensintesiskan etos suatu bangsa – nada, watak, mutu hidup

mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya – serta pandangan hidup yang

mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa adanya, gagasan mereka

yang paling komprehensip tentang tatanan‖. Cara hidup dan

pandangan hidup saling melengkapi, kerap kali melewati satu bentuk

simbolis. Hal ini memberikan gambaran tatanan yang komprehensif,

dan pada waktu yang sama, mewujudkan pola sintesis perilaku sosial.

Ada kongruensi, atau kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan

universial, dan hal ini terungkap dalam sebuah simbol yang terkait

dengan keduanya.

Setiap obyek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang

dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi; dan konsepsi ini adalah,

―makna‖ simbol. Jadi penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah

penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, terserap,

umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol

yang mensintesiskan ―dunia sebagaimana dihayati dan dunia

sebagaimana dibayangkan‖, dan simbol-simbol ini berguna untuk

menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan. Dengan

memegang pandangan ini, Geertz menyingkirkan semua teori

mentalitas primitif, atau evolusi budaya. Yang diinginkan Geertz

adalah, memahami apa arti atau makna tindakan-tindakan simbolis,

bagi orang-orang yang melakukannya, membeberkan ―struktur-

struktur konseptual yang dinyatakan oleh tindakan-tindakan ritual‖29.

Kekuasaan Simbolik Dalam Bahasa Dan Prilaku Manusia

Dalam kehidupan sosial, wujud kekuasaan seringkali terpatri

dalam gagasan politik formal seperti negara, dan kekerasan

diidentikkan dengan aktivitas fisik yang merugikan. Perwujudan relasi

29 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm.115.

54

kekuasaan dan kekerasan dilihat sebagai peristiwa yang melibatkan

entitas-entitas fisik, seperti tubuh para aktor, sarana prasarana fisik,

institusi, dan lainnya.

Seiring dengan globalisasi dan teknologi informasi, wujud

kekuasaan dan kekerasan mengalami perubahan secara radikal.

Keduanya hadir dalam sebuah ruang yang seolah-olah tidak terjadi apa-

apa, atau seakan-akan kosong dari segala kepentingan. Kekuasaan dan

kekerasan dipikirkan sebagai suatu entitas yang terpisah, dimana

kekuasaan sepertinya tak bersinggungan dengan kekerasan, dan

begitupun sebaliknya. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan

pada era sekarang ini tidak lagi tampil dalam ruang konkrit yang

melibatkan aktivitas fisik, keduanya beroperasi dalam sebuah ruang

representasi, yang menjadikan sumber daya simbol sebagai kekuatan

abstrak, untuk menciptakan kebenaran.

Melalui representasi, sebuah realitas yang sebelumnya tidak

dapat dihadirkan, bisa dipresentasikan kembali melalui mobilisasi

sistem simbol, entah itu bahasa, wacana, gambar, dan semacamnya.

Representasi kebenaran melalui semesta simbolik mampu menciptakan

mekanisme sosial yang di dalamnya terdapat pertautan antara

kekuasaan dan kekerasan. Representasi yang seharusnya mengandung

keselarasan antara tanda-tanda yang diproduksi dengan apa yang

dipresentasikannya, seringkali mengaburkan realitas yang sebenarnya.

Hal ini terjadi dikarenakan adanya patahan-patahan dalam sistem

representasi tersebut, di mana sistem simbolik sebagai medium

representasi telah didominasi oleh sistem kekuasaan tertentu.

Pengambilalihan sistem simbol ini terjadi sedemikian rupa, sehingga

menyebabkan mereka yang menerimanya tidak merasakan apa-apa.

Penerimaan begitu saja oleh mereka yang didominasi terhadap segala

bentuk tata simbol itulah yang menandakan berlangsungnya praktik

kekerasan dalam ruang sosial. Dengan kata lain, relasi kekuasaan dan

kekerasan senantiasa hadir dalam bilik-bilik kehidupan, walaupun

pola, teknik, dan mekanismenya mengambil bentuk yang berbeda.30

30 Pierre Bourdieu/Fashri, Fauzi, Menyingkap Kuasa Simbol, Yogyakarta 2014.hlm.10.

55

Setiap rezim yang muncul dalam menjalankan kekuasaannya,

tentu menghadirkan pula simbol-simbol yang menjadi tujuan dan

mewarnai kebijakan yang menjadi tujuan.

Orde politik era Sukarno misalnya, memproduksi gagasan

NASAKOM31 (Nasionalisme Agama Komunis) sebagai gugus simbolik

yang bertujuan menyatukan komponen kekuatan politik yang terbelah

pada masa itu. Di era Orde Baru32, sistem simbolik bersarang pada

wacana pembangunan. Begitu pula pada masa SBY-JK, wacana good

31 Konsepsi ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Sukarno muda di tahun 1926, melalui artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga aliran itu, kata Sukarno, merupakan kekuatan politik utama dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Nah, dalam kerangka melawan kolonialisme, penyatuan tiga aliran itu menjadi mutlak adanya. Dalam Suluh Indonesia Muda, tahun 1926, Sukarno sudah mengemukakan gagasan Nasakom ini. ―Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah azas-azas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan diIndonesia-kita ini,‖ kata Sukarno. Bukan tanpa alasan Sukarno mengatakan demikian. Memang sejak awal perjuangan kemerdekaan, kita memang sudah mengenal tiga aliran politik ini mewarnai berbagai organisasi pergerakan zaman itu. Semisal Indsche partij dan Sarekat Hindia yang ―Nasionalis‖, Sarikat Islam yang berideologi islam, dan kemudian ISDV/PKI yang berideologi marxisme. Dalam surat kabar pemandangan, melalui artikel berjudul Menjadi Pembantu Pemandangan, tahun 1941. Sukarno menganggap dirinya sebagai perasaan dari nasakom. Nasakom menjadi konsepsi Sukarno untuk menyatukan berbagai barisan perjuangan dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan. Saat memberi amanat di Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia, di Istana Negara, 23 Oktober 1965, Sukarno terang-terangan menyebut dirinya sebagai perasan dari nasakom. ―Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one, Sukarno. Lain kali disini, dimuka Istana merdeka saya pernah berkata, aku adalah perasan dari pada Nasakom‖ (Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/sukarno-dan-konsep-persatuan-nasakom/. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2018. 32 Pemerintahan Orde Baru adalah suatu penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan negara serta menjadi titik awal koreksi terhadap penyelewengan pada masa yang lalu. Orde Baru bisa diartikan sebagai orde yang mempunyai sikap dan tekad mendalam untuk mengabdi kepada rakyat serta mengabdi kepada kepentingan nasional yang didasari oleh falsafah Pancasila dan menjunjung tinggi asas serta sendi Undang-undang Dasar 1945. ―Orde Baru juga bisa diartikan sebagai masyarakat yang tertib dan negara yang berdasarkan hukum, dimana terdapat keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat serta warga negara mempunyai pemimpin atau penguasa yang tunduk kepada ketentuan yang berlaku‖ (Jenderal Soeharto, 1967:7). ―Surat Perinttah 11 Maret 1966 atau Supersemar itulah yg menjadi titik awal lahirnyya Orde Baru‖ sebab dengan Supersemar itulah kemudian Soeharto membubarkan PKI dan mengambil tidakan-tindakan pembaharuan dan stabilisasi politik. Dan dengan Supersemar itulah sebenarnya kekuasaan Soekarno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin menjadi lenyap. Lenyapnya kekuasaan Soekarno kemudian diperkuat dengan ketetapan MPRS yang melalui sidang istimewa pada tahun 1967 mengangkat Letjen Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sehingga sebagai simbol pun Soekarno tidak diakui sebagai pemegang kekuasaan. Kemudian pada bulan Maret 1968 MPRS menganggkat dan melantik Letjen Soeharto sebagai Presiden (Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984: 415).

56

governance dijadikan simbol utama untuk mendayung visi besar

pemerintahan. Rezim politik juga seringkali melukiskan dirinya dalam

bahasa simbolik seperti ―penyambung lidah rakyat‖, ―bapak

pembangunan‖, atau ―anak bangsa‖. Pemilik simbol dapat

mengejewantahkan dirinya seperti apa yang disimbolkan. Jika

demikian, rezim politik bisa menjalankan praktik kekuasaan-nya, atas

nama simbol yang diciptakan sendiri. Ia memiliki wewenang untuk

menjadikan simbol itu nyata, dan mendapatkan pengakuan bahwa

rezim politik memiliki mandat untuk bertindak sesuai dengan karakter

yang disimbolkan.

Simbol mengandung kekuatan untuk membentuk wajah realitas.

Kekuatan itu tersimpan dalam proses kategorisasi, penilaian, dan

pemaksaan ide-ide tertentu kepada obyek yang menafsirkan simbol.

Dalam dunia politik, operasi kerja kekuatan tak bisa dilepaskan dari

kekuatan struktur aktor politik yang berkepentingan mengonstruksi

realitas. Wacana good governance yang digulirkan pemerintah SBY-JK

sebagai visi besar pengelolaan negara. Mangacu pada pandangan

Edward Said di bagian pendahuluan Magnum Opus-nya, menyatakan

bahwa ―there is no such things as a delivered presence; there is onli re-presence, or representation‖ di balik pewacanaan good governance terdapat upaya menyembunyikan relasi kuasa yang tak tampak, seolah-

olah objektif. Wacana terorisme, misalnya, digunakan oleh pemerintah

untuk menentukan kelompok mana yang disebut teroris dan mana

yang bukan. Terorisme sebagai wacana simbolik dijadikan modal

politik bagi pemerintah dalam mengesahkan Undang-Undang

Terorisme yang memberikan payung hukum sah untuk melakukan

praktik politik, seperti membuat kategori teroris hingga ke proses

penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dikategorikan

terorisme33.

Niccolo Mechiavelli dalam karyanya ―The Prince‖, kekuasaan

harus dilestarikan melalui cara apapun agar kedaulatan sang penguasa

(negara) tetap tegak. Karenanya penggunaan kekerasan yang bersifat

fisik pun dapat dibenarkan, seperti intimidasi, penyiksaan penculikan,

33 Ibid.hlm. 11-13.

57

dan sebagainya. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan

melakukan politik kekerasan untuk mempertahankan dominasinya

terhadap yang dikuasainya. Antonio Gramsci seorang pemikir

neomarxis dari Itali–menyatakan, bahwa kekuasaan dapat

dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang

dimaksudkan oleh Gramsci ialah: peran kepemimpinan intelektual dan

moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide

dominan. Kekuasaan yang dimaksudkan diperoleh lewat hegemoni ide-

ide (dalam wilayah budaya) didasarkan atas mekanisme konsensus.

Melalui hegemoni, ide-ide yang diciptakan penguasa menentukan

struktur kognitif masyarakat34.

Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan

dan relasi kekuasaan, Louis Althusser menyatakan, negara sebagai

institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa

masyarakat dalam reproduksi kekuasaan, Ia membedakan antara kuasa

negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara)

sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatus negara di sisi lain.

Pada bagian ini, uraian simbol kuasa dalam bahasa dan prilaku

simbolik manusia akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis.

Simbol kuasa dalam bahasa manusia

Bahasa berperan positif bagi pembentukan makna, dalam

bentuk-bentuk kekuasaan di balik beroperasinya/penggunaan bahasa.

Artinya, bahasa menempati posisi strategi bagi penyemaian ideologi

yang ada di baliknya, serta mengandaikan modus kekuasaan tertentu

dalam setiap praktik bahasa, pilihan kata, gaya mengungkapkan dan

perbendaharaan kata, hingga kandungan pengetahuan yang

diungkapkan, atau disamarkan oleh suatu bahasa. Karena itu, bahasa

menjadi begitu penting bagi individu maupun kelompok tertentu

untuk meraih, melanggengkan, bahkan melawan suatu kekuasaan.

Perkara ini digambarkan oleh John B. Thompson sebagai berikut:

34 Menyingkap Kuasa Simbol, Pierre Bourdieu/Fashri, Fauzi, Yogyakarta 2014.hlm.16.

58

―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power. We are sensitive to the variation in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy. We are aware that individuals speak with differing degrees of authority, that words are loaded with unequal weights, depending on who utters them and how they are said, such that some word uttered in certain circumstances have a farces and a conviction that they wauld not have elsewhere. We are experts in the innumerable and subtle strategies by which words can be used as instruments of coercion and constrain, as tools of intimidation and abuse, as signs politeness, condescension and contempt‖.35

Bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup

sekumpulan kata-kata bermakna, dalam sebuah proses pemahaman. Ia

juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi

semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah satu

ruang produksi dan diaspora simbol—didapati oleh pelbagai

kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan

otoritas guna menanamkan otoritas. Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang

plural), karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia digunakan

untuk menyampaikan informasi (atau versi informasi), yang sesuai

dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan simbolik, selalu

terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara

resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia sosial, dan memaksa

pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan

simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan tujuan akhir

memperoleh kekuasaan.

Kekuasaan simbolik—dalam pengertian Bourdieu—merupakan

suatu kekuasaan untuk mengonstruksi realitas, melalui tatanan

gneosological, yaitu melalui pemaknaan yang paling dekat mengenai

dunia sosial untuk kelompok atau orang. Kekuasaan simbolik ialah

kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujunnya untuk

memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak

35 Ibid..hlm.116.

59

dikenali bentuk aslinya, tapi ia tetap diakui. Kekuasaan simbolik

bekerja dengan menggunakan simbol-simbol sebagai instrumen

―pemaksa‖, terhadap kelompok subordinat yang turut berperan

mereproduksi tatanan sosial, sesuai dengan keinginan kelompok

dominan. Seperti yang dipaparkan oleh Bourdieu. ―What creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them‖36.

Kekuasaan simbolik bagi Bourdieu, dalam mengoptimalkan

kekuatannya, sangat bergantung pada dua hal. Pertama, seperti halnya

wacana performatif, kekuasaan simbolik didasarkan pada kepemilikan

modal simbolik (symbolic capital). Semakin besar seseorang atau suatu

kelompok memiliki modal simbolik, semakin besar peluangnya untuk

menang. Artinya, modal simbolik merupakan kredit bagi terbentuknya

otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan sebelumnya. Kedua, bergantung pada efektivitas simbolik di mana strategi investasi

sombolik bekerja. Efektivitas ini atas dasar pandangan yang

ditawarkan, atau sejauh mana strategi investasi simbolik dijalankan.

Dalam pandangan ini, kekuasaan simbolik merupakan sebuah

kekuasaan pentahbisan, sebuah kekuasaan untuk menyembunyikan

atau menampakkan sesuatu lewat kata-kata.37

Dominasi yang mengambil bentuk halus inilah yang disebut

Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu sebuah

kekerasan yang lembut (a gentle violence), sebuah kekerasan tak kasat

mata (imperceptible and visible) secara lebih lengkap, kekerasan

simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang halus dan tak

tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi. Bourdieu

bertutur:

...‖the gentle, invisible form of violence, misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of personal loyality, of hospitality, of the gift, of the debt, of

36 Ibid..hlm.142. 37 Ibid..hlm.143.

60

recognition, of piety—of all virtues, in a word, which an honoured by the ethics of honour‖38.

Kekerasan simbolik menciptakan mekanisme kekerasan sosial yang

bersifat obyektif, di mana mereka yang dikuasai menerimanya begitu

saja. Mekanisme objektif yang diciptakan kekerasan simbolik

memanfaatkan simbol-simbol yang ada untuk memenuhi fungsi

politiknya, yaitu kehendak untuk berkuasa.

Prilaku simbolik manusia

Tidak bisa dipungkiri bahwa simbol dalam kehidupan

masyarakat (lokal, kelompok garis keras, politik dll), telah melekat dan

menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Simbol telah menjadi identitas,

individu, marga/klan, hingga komunitas kesukuan. Karena itu,

kehidupan manusia memang digerakan oleh simbol-simbol, dibentuk

oleh simbol-simbol dan dirayakan dengan simbol-simbol.

Sebagai sebuah identitas dalam hal apapun, simbol terkadang

diagung-agungkan, dibesar-besarkan, bahkan dipahami sebagai sebuah

peradaban. Baik menyangkut peradaban masa lalu hingga peradaban

masa sekarang. Karena itu, di tengah-tengah munculnya ketegangan

antara pihak-pihak tertentu, simbol menjadi sasaran penghancuran

musuh. Ketika simbol dihancurkan, orang dapat mengetahui siapa yang

melakukan dan dengan alasan apa musuh itu menghancurkan simbol

tersebut.

Ketika aksi terorisme 11 September meluluhlantakan gedung

kembar WTC (World Trade Center) di kawasan Manhattan New York

Amerika Serikat; dan ketika orang-orang di negeri hiruk pikuk

menghancurkan, memorak-porandakan dan membakari gedung

pemerintahan, kendaraan, mall, atau tempat-tempat ibadah, sasaran

sesungguhnya bukan pada benda-benda itu sendiri. Sasaran mereka

sebenarnya adalah simbol. Gedung-gedung pencakar langit, kendaraan,

pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat ibadah, hal itu bisa saja

dilihat sebagai simbol ―kecongkakan‖, ―kekuasaan‖, ―kesewenangan‖,

―keserakahan‖, ―ke-pura-pura-an‖, dan itulah yang menjadi sasaran

38 Ibid..hlm.143.

61

penghancuran oleh kelompok-kelompok yang menganggap dirinya

sebagai musuh pemilik simbol-simbol tersebut39.

Sebagai identitas diri, simbol dijadikan tempat bergantung bagi

manusia dan merupakan kebutuhan dasar. Alfred Korzybski melihat

simbol merupakan ―prestasi-prestasi manusia‖. Manusia ―bergantung pada simbol-simbol‖ (Hayakawa, dalam Mulyana dan Rakhmat

1996:96), dengan demikian, Susanne K. Langer berkeyakinan bahwa,

―kebutuhan dasar ini hanya ada pada manusia, itu adalah kebutuhan

akan simbolisasi. Fungsi pembentukan simbol di antara kegiatan-

kegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat dan bergerak, ini

adalah proses fundamental dari pikiran, dan berlangsung setiap

waktu‖.40

Dalam penggunaan simbol, berbagai faktor menjadi

pertimbangan penting, misalnya; simbol perang kegunaannya harus

disesuaikan dengan konteks perang; simbol larangan kegunaannya

harus disesuaikan pada benda/tempat yang dianggap keramat. Prinsip

utamanya adalah; simbol itu muncul dalam konteks yang sangat

beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol itu sendiri

adalah ―objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu,‖

menurut James P. Spradley (1997:212). Simbol itu juga, adalah suatu

istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotik, dan epistemologi

(Wallek dan Waren, 1995:239).

Upaya penggunaan simbol oleh masyarakat adat sangat beraneka

ragam, dalam kehidupan mereka (lahir sampai meninggal), simbol

menjadi dasar acuan aktifitas masyarakat, baik secara individual,

marga/klan, hingga komunitas suku. Konteks ini disebabkan, karena

sifat simbol adalah untuk mewakili sesuatu yang lain. Dalam

penggunaan simbol dengan mengacu pada sifat simbol tersebut yaitu

―mewakili sesuatu yang lain‖, yang diakui dan disepakati bersama oleh

komunitas tertentu, maka simbol selalu mengandung tiga unsur,

antara lain: pertama, simbol itu sendiri; kedua, satu rujukan atau lebih;

39 Semiotika Komunikasi Alex Sobur,P.T. REMAJA ROSDAKARYA, Bandung 2009.hlm.153, 154. 40 Ibid..hlm.154.

62

dan ketiga, hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini

merupakan dasar bagi semua makna simbolik41.

Peirce, Ogden dan Richards, ketiganya menggunakan istilah

simbol dengan pengertian yang kurang lebih sama dengan dengan

simbol dalam wawasan Peirce. Dalam padangan Ogden dan Richards

(Aminudin, 1997:205-206), simbol memiliki hubungan asosiatif dengan

gagasan atau referensi serta referen atau dunia acuan. Sebagaimana

dalam wawasan Peirce, hubungan ketiga butir tersebut bersifat

konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran

atau referensi), dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui

bagan semiotik triangle sebagai berikut.

Sumber: Aminudin,1997. Stilistika; Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya

Sastra. Semarang; CV. IKIP Press.

Gambar 2.1. Semiotic Triangle Ogden Richards

Berdasarkan bagan tersebut, dapat dijelaskan, bahwa pikiran

merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil

pemikiran itu pula terbuahkan referensi: hasil penggambaran maupun

konseptualisasi acuan simbolik. Referensi demikian merupakan

gambaran hubungan, antara tanda kebahasaan berupa, kata-kata

maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan

pengertian tertentu.

41 Ibid..hlm.155, 156.

63

Ruang komunikasi politik simbol

Komunikasi merupakan bagian dari aktivitas manusia, setiap

komunikasi, tentu tidak terlepas dari ruang dan waktu, serta tujuan

orang berkomunikasi. Tidak ada komunikasi yang tidak dibangun

dalam suatu ruang tertentu, dan tidak memiliki tujuan tertentu.

Bahkan, disaat komunikasi dibangun untuk sifat serta tujuan

komunikasi tersebut, maka komunikasi selalu menggunakan simbol-

simbol dengan tujuan agar orang lain yang tidak memiliki kepentingan

tidak bisa memahami komunikasi yang sementara berlangsung.

Komunikasi politik (political communication), telah menjadi

istilah yang sangat dikenal di Indonesia. Sejak masa kolonial,

komunikasi politik telah dilakukan, dalam usaha untuk meraih

kemerdekaan. Beberapa perkumpulan seperti Budi Utomo, organisasi

priyayi Jawa yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, memberi

perubahan tujuan merebut kemerdekaan dari perubahan bersenjata

menuju perjuangan politik. Perubahan corak perjuangan ini kemudian

membawa implikasi pada praktek komunikasi yang dilakukan oleh

para pejuang kemerdekaan.

Secara etimologi, komunikasi (communication) berasal dari kata

―communis‖ yang berarti ―milik bersama‖ bisa juga bermakna ―berlaku

di mana-mana‖. Dalam kaitannya dengan simbol, secara teori, simbol

diciptakan secara bersama-sama oleh kelompok manusia tertentu, dan

disepakati untuk diberlakukan di mana pun yang telah dikehendaki.

Khaterine Miller dalam pernyataannya bahwa; ―konseptualisasi

komunikasi telah mengalami secara substansial selama bertahun-

tahun‖ (Miller dalam Turner da West 2007:4). Sarah Trenholm

menyebutkan bahwa ―meskipun studi komunikasi telah berlangsung

lama, bukan berarti komunkasi dengan muda dipahami artinya‖

(Trenholm dalam Turner da West 2007:4). Sulitnya memahami

komunikasi dalam bentuk simbol-simbol menunjukan bahwa,

komunikasi simbolik tidak hanya diciptakan oleh masyarakat adat

sebatas membangun komunikasi (bahasa) semata, tetapi merupakan

bagian dari sarana untuk mengamankan diri sebagai identitas

masyarakat adat (lokal).

64

Dalam beragam prespektif, komunikasi selalu dilihat sebagai

proses ―tatap muka‖ dan proses ―komunikasi bermedia‖. Dari kedua hal

ini, kita dapat mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah proses sosial

di mana individu-individu menggunakan simbol untuk menafsirkan

makna dalam lingkungan mereka. Ketika komunikasi adalah proses

sosial, maka itu berarti, komunikasi melibatkan manusia dan

berinteraksi antara pengirim dan penerima, karena itu komunikasi juga

bersifat dinamis, kompleks dan secara terus menerus berubah (Turner

dan West 2007: 5)42.

Komunikasi politik (political communication) dibutuhkan untuk

pencapaian terget, baik individual maupun kelompok dan kepentingan

masyarakat banyak. Berangkat dari sejarah bangsa Indonesia,

komunikasi politik di era pasca kemerdekaan, komunikasi politik

dimainkan secara terbuka dan terang-terangan dipraktekkan oleh para

tokoh dan partai politik. Tujuan dari komunikasi politik yang

dilakukan tidak hanya sekedar membangun dialog di antara pimpinan

partai, tetapi lebih dari itu, komunikasi politik dibangun dengan tujuan

untuk memengaruhi masyarakat dan mendapat dukungan masyarakat

sebagai wujud legalitas menjadi pemimpin bangsa saat itu43.

Perlu juga dipahami, bahwa komunikasi yang dibangun antara

kedua pihak, baik dalam bentuk simbol, melalui media, gerak tubuh,

bahasa dll, prinsipnya adalah, antara pihak pengirim simbol telah

mengenal dan mengetahui bahwa, pihak penerima dapat mengerti

pesan-pesan simbol komunikasi yang dikirim. Karena itu, sangatlah

tidak tepat, jika kita melakukan komunikasi dengan menggunakan

simbol sebagai media komunikasi, ternyata penerima yang dituju tidak

memahami apa yang disampaikan. Sebab, komunikasi dapat diartikan

sebagai ―proses saling memberikan tafsiran kepada/dari antar pihak

42 Komunikasi Politik, Teore, Aplikasi dan Strategi di Indonesia. Fajar Juanedi. Buku Litera Yogyakarta. Yogyakarta. 2013.hlm.20. 43 Ibid..hlm.3.

65

yang saling melakukan hubungan, mewujudkan prilaku sebagai reaksi

atas maksud atau pesan yang disampaikan oleh pihak lain tersebut‖44.

Pada masa Orde Lama, komunikasi politik berkembang terutama

pada masa demokrasi liberal di tahun 1949 sampai 1959. Pada masa ini,

partai politik saling melakukan kampanye untuk meraih dukungan

publik, bahkan tidak jarang agitasi menjadi menu dalam komunikasi

politik saat itu. Peran media massa pada saat itu hanya menjadi

bawahan (onderbouw) dari partai politik. Posisi seperti ini

menyebabkan media massa, terutama koran, tidak ubahnya sebagai

corong propaganda dari partai politik. Partai politik pada masa itu,

menjadi aktor utama dalam komunikasi politik, melalui berbagai

aktivitas yang mereka lakukan, pada saat itu politik adalah panglima.

Pada masa itu, komunikasi politik simbol digunakan dengan

nama ‖demokrasi terpimpin‖ dan didominasi oleh presiden Soekarno.

Proses komunikasi politik yang berlangsung, melalui berbagai aktivitas

yang dilakukan oleh Soekarno, seperti pidato di depan khalayak

dengan memanfaatkan media massa yang ada. Koran-koran yang terbit

pada masa ―demokrasi terpimpin‖ adalah koran yang bersedia

mengikuti alur ―demokrasi terpimpin‖, hal ini menyebabkan beberapa

koran yang kritis terhadap penguasa dibredel dilarang terbit. Stasiun

radio RRI (Radio Republik Indonesia) saat itu dikuasai oleh pemerintah

secara mutlak. Selain itu, politik simbol dimainkan pula oleh

pemerintah dengan membuat program mercusuar, seperti proyek

pembangunan MONAS (Monumen Nasional), ISTORA (Istana Olah

Raga) di Senayan, hotel HI (Hotel Indonesia). Semua program

pembangunan saat itu dilakukan tidak semata-mata dalam rangka

menjawab kepentingan pembangunan, pada sisi lain, Pemerintah

Republik Indonesia ingin menunjukkan keberadaannya sebagai sebuah

negara baru yang kuat di Asia Timur45.

44 Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip Kencana Prenamedia Group. Yogyakarta, 2011.hlm.76. 45 Ibid, hlm.6,7.

66

Kebijakan Publik dan Gerakan Kolektif Masyarakat

Dalam menghadapi beragam permasalahan, seorang pemimpin

diharuskan membuat pertimbangan kebijakan untuk menyelesaikan

permasalahan publik yang beragam dan kompleks.

Permasalahan publik yang beragama dan kian kompleks, lebih

membutuhkan perhatian ekstra pemerintah, untuk memilah mana

permasalahan rutin dan klasis, serta mana permasalahan publik yang

yang tidak lazim/fenomenal menantang program pelaksanaan

pembangunan.

Menghadapi permasalahan yang tidak lazim/fenomenal,

pemerintah dituntut secara ―cepat‖ dan dengan ―kecermatan‖ untuk

mengidentifikasi dan menganalisa setiap permasalahan, untuk

selanjutnya menentukan ketepatan metode yang bisa digunakan dalam

hal menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Analisa kebijakan

permasalahan yang dilakukan secara cepat dan cermat, akan

melahirkan solusi kebijakan yang tepat juga.

Masyarakat merupakan lahan/basis kepentingan secara individu

maupun kelompok. Dalam konteks ini, Bourdieu menggunakan istilah

dengan sebutan ―arena‖. Pada arena ini, setiap agen tidak bertindak

dalam ruang hampa, melainkan di dalam situasi sosial riil yang diatur

oleh seperangkat relasi sosial yang obyektif. Pembentukan relasi sosial

apapun, selalu distrukturkan melalui rangkaian ―arena‖ yang

terorganisasi secara hirarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena

politik, arena kultur dll). Setiap ―arena‖ memiliki defenisi, struktur

dan berbagai kaidah dengan tujuan dan fungsi masing-masing dengan

relasi kekuasaannya sendiri. Bourdieu mendefinisi ―arena‖ adalah suatu

konsep dinamis di mana perubahan posisi agen mau tak mau

menyebabkan perubahan struktur ―arena‖. Dalam ―arena‖ apapun,

agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau

yang menciptakan posisi-posisi baru), terlibat di dalam kompetisi

67

memperebutkan kontrol kepentingan dan sumber daya yang khas

dalam ―arena‖ bersangkutan46.

Pemerintah dalam relasi negara dan masyarakat harus

menempati posisi keberpihakan pada masyarakat. Posisi pemerintah

menjadi sangat penting, karena kedaulatan rakyat telah dititipkan

kepada pemerintah dan mengakibatkan pemerintah memiliki

―kekuasaan dan kewenangan‖. Kekuasaan adalah kemampuan

menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki seseorang atau

kelompok orang untuk memengaruhi pihak lain, sehingga pihak lain

(yang dipengaruhi) berprilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan

pihak yang memengaruhi ini.47 Di sinilah, terletak perbedaan yang

cukup mendasar antara kekuasaan (power) dan kewenangan

(authority). Jika setiap kemampuan untuk memengaruhi pihak lain

dinamakan kekuasaan, maka kewenangan lebih menekankan pada

legalitas dari pengaruh yang ada pada diri seseorang atau kelompok

orang tersebut. Kewenangan lebih diartikan sebagai kekuasaan yang

melekat pada diri seseorang atau sekelompok orang yang telah

mendapat dukungan dari masyarakat yang dikuasainya (legalized power)48. Dalam setiap situasi dan hubungan kekuasaan, terdapat tiga

unsur yang terlibat di dalamnya, yaitu: pertma, tujuan dari kekuasaan;

kedua, cara penggunaan sumber-sumber pengaruh; dan ketiga, hasil

penggunaan sumber-sumber pengaruh. Adapun ciri-ciri kekuasaan

yang merupakan penjabaran dari ketiga unsur ini di antaranya adalah:

1) kekuasaan adalah hubungan antar manusia (interaksi sosial); 2)

pemegang kekuasaan memengaruhi pihak lain; 3) pemegang kekuasaan

bisa seorang individu, sekelompok orang, kelompok sosial, kelompok

budaya, atau juga pemerintah; 4) sasaran kekuasaan (yang dipengaruhi)

bisa berupa individu, kelompok atau pemerintah; 5) seorang yang

mempunyai sumber-sumber kekuasaan, belum tentu mempunyai

kekuasaan. Hal ini tergantung pada penggunaan sumber-sumber ini; 6)

46 Arena Reproduksi Kultural - Sebuah Kajian Sosiologi Budaya (judul asli: The Field of Cultural Production) Essay on Art and Literature – Colombia University Press, 1993. Penulis : Pierre Bourdieu. Diterjemahkan oleh: Yudi Santoso cetakan keempat, November 2016. Kreasi wacana Perum Sidorejo Bumi Indah.hlm.xvii. 47 Dasar-dasar ilmu politik, Ramlan Surbakti. Surabaya, Airlangga University Press 1984.hlm.34. 48 Sosiologi Suatu pengatar. Soerjono Soekanto. edisi kedua Jakarta Rajawali Pers,1986,hlm,242.

68

penggunaan sumber-sumber mungkin melibatkan paksaan, konsensus,

atau kombinasi, hal ini tergantung dari; (a) prespektif moral, apakah

tujuan kekuasaan yang hendak dicapai itu baik atau buruk; (b) hasil

penggunaan sumber-sumber itu dapat meng-untung-kan seluruh

masyarakat, atau hanya meng-untung-kan sekelompok kecil

masyarakat, hal itu tergantung pada, ada tidaknya distribusi

(pembagian) kekuasaan yang relatif merata dalam masyarakat; (c) pada

umumnya kekuasaan ada yang bersifat politis yang mempunyai makna

bahwa sumber-sumber itu digunakan dan dilaksanakan untuk

masyarakat umum, dan ada pula bentuk kekuasaan yang bersifat

pribadi yang cenderung digunakan untuk kepentingan sebagian kecil

masyarakat; (d) kekuasaan yang beraspek politik adalah penggunaan

sumber-sumber untuk memengaruhi proses pembuatan dan

pelaksanaan keputusan politik49.

Dari konsep tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan

kekuasaan selalu identik dengan kekerasan dan pemaksaan.

Penentu kebijakan publik

Secara umum, istilah ―kebijakan‖ atau ―policy‖ digunakan untuk

menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu

kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor

dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Menurut Charles O. Jones,

istilah kebijakan (policy term) di samping digunakan dalam praktik

sehari-hari, juga digunakan untuk menggantikan kegiatan atau

keputusan yang sangat berbeda. Istilah sering dipertukarkan dengan

tujuan (goals), program, keputusan, (decision), standard, proposal, dan grand design. 50

Robert Eyestone mengatakan bahwa ―secara luas‖, kebijakan

publik dapat didefinisikan sebagai ―hubungan suatu unit pemerintah

dengan lingkungannya‖. Thomas R. Dye mengatakan bahwa kebijakan

publik adalah ―apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan

dan tidak dilakukan‖. Dalam bukunya:

49 Ramdan Surbakti, Op, cit., hlm. 34,35. 50 Kebijakan Publik Era Globalisasi oleh Budi Winarno, CAPS (center of Academic Publising Service) Yogyakarta 2016.hlm. 18, 19.

69

―What Government Do, Why They Do It, What difference It Maker, Dye dengan tegas mengatakan bahwa kebijakan publik adalah― studi tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut‖? Pendapat Dye ini selaras dengan yang dilakukan oleh Heidenheimer, at, al., 1930 : 1), bahwa kebijakan publik merupakan studi tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari tindakan aktif (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖.

Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan hendaknya

dipahami sebagai ―serangkaian kegiatan yang sedikit banyak

berhubungan beserta konsekwensi-konsekwensi-nya bagi mereka yang

bersangkutan, ketimbang sebagai suatu keputusan tersendiri‖. Definisi

ini sebenarnya bersifat ambigu, namun definisi ini berguna karena

kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar

suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.51

Carl Friedrik, ia memandang kebijakan sebagai

―suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah, dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang, terhadap kebijakan yang diusulkan, untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran, atau suatu maksud tertentu‖.

Amir Santoso dengan komparasi berbagai definisi yang

dikemukakan oleh para ahli, yang menaruh minat dalam bidang

kebijakan publik, menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan

mengenai kebijakan publik dapat dibagi dalam dua wilayah kategori.

Pertama, pendapat ahli yang dapat menyamakan kebijakan publik

dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini

cenderung menganggap bahwa, semua tindakan pemerintah dapat

disebut sebagai kebijakan publik. Kedua, para ahli yang tergabung

dalam pandangan ini juga terbagi dalam dua kubu, yakni mereka yang

memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan

pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan

51 Kebijakan Publik Era Globalisasi oleh Budi Winarno, CAPS (center of Academic Publising Service) Yogyakarta 2016.hlm.19.

70

mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat

yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk dalam kubu yang

pertama melihat kebijakan publik dalam tiga dominan, yakni;

perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan

kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat

dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi

kebijakan. Ini berarti, bahwa kebijakan publik adalah ―serangkaian

instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksanaan kebijakan

yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan

tersebut‖. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri

dari ―rangkaian keputusan dan tindakan‖. Kubu kedua ini diwakili oleh

Presman dan Wildavsky yang mendefinasikan kebijakan publik sebagai

suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-

akibat yang bisa diramalkan.52

Membangun dan menghargai yang lokal

Dengan mudahnya masyarakat diyakini dengan ungkapan dan

pernyataan-pernyataan; ―masyarakat seharusnya berswadaya‖,

―seharusnya ada lebih banyak pemberdayaan pada tingkat akar

rumput‖, atau ―rakyat seharusnya mampu menentukan masa depan

mereka sendiri‖. Tetapi mungkin mudah menyatakan retorikan

tersebut, gagasan itu sendiri ketika ditempatkan ke dalam praktik

adalah sangat radikal, dan bagi banyak orang membutuhkan suatu

perubahan cara berpikir yang besar (Salleh, 1997). Gagasan itu

berlawanan dengan banyak pandangan dominan yang diterima

sekarang yang inheren dalam pembuatan kebijakan dalam manejemen

program, terutama dalam tradisi barat53.

Para pekerja masyarakat menghadapi godaan yang lazim terjadi

pada semua pekerja layanan kemanusiaan: mereka mengasumsikan

bahwa entah bagaimana mereka adalah ―para ahli‖ dengan

pengetahuan khusus untuk dibawa kepada masyarakat, dan digunakan

52 Kebijakan Publik Era Globalisasi oleh Budi Winarno, CAPS (center of Academic Publising Service) Yogyakarta 2016.hlm. 20,21. 53 Community Development: Alternatif pengembangan Masyarakat Di Era Globalisasi. Jim Ife dan Frank Tesoriero (penerjemah Sastrawan Manulang dkk). Pustaka Pelajar Yogyakarta 2016.hlm.242.

71

untuk ―menolong‖ dengan suatu cara. Ke-ahli-an khusus, di antara

segalanya, merupakan satu-satunya klaim atas keabsahan yang dapat

dimiliki para pekerja masyarakat. Tidak ada keraguan bahwa para

pekerja masyarakat seringkali benar-benar mempunyai pengetahuan

spesialis, tetapi mengistimewakan pengetahuan ini, dengan demikian

mendevaluasi pengetahuan lokal masyarakat adalah antitesis dari

pengembangan masyarakat. Menghargai pengetahuan lokal adalah

sebuah komponen esensial dari setiap kerja pengembangan masyarakat,

dan ini dapat dirangkum dengan frasa ―masyarakat yang paling tahu‖.

Masyarakat lokal-lah yang memiliki pengetahun, kearifan dan keahlian

ini, dan peran pekerja masyarakat adalah, untuk mendengar dan belajar

dari masyarakat, bukan mengajari masyarakat tentang problem dan

kebutuhan mereka (Holland & Blackburn 1998).

Patut disayangkan, biasanya bukan para anggota masyarakat

lokal yang tampaknya memiliki ―keahlian‖. Gagasan menjadi seorang

ahli biasanya lebih diterapkan kepada orang yang telah menjalani

kursus pendidikan formal tertentu, yang memiliki gelar atau yang

merupakan anggota dari suatu kelompok profesi yang dikenal

(Chambers, 1993). Faktor lain yang memberi kontribusi pada

penurunan nilai pengetahuan lokal adalah cara ―pengetahuan‖

dimengerti dalam lingkup wacana arus utama. Paradigma positivisme,

yang menghargai pengetahuan yang objektif, ilmiah, dapat diuji dan

diukur, telah dominan dalam banyak disiplin akademik, sampai tingkat

yang seringkali tidak dipertanyakan, dan ini berarti pengetahuan yang

bebas dari konteksnya, dapat diterapkan secara universal dan sah secara

universal (Fey 1975). Orang-orang pribumi dari seluruh dunia terus

menerus menekankan kepentingan bentuk-bentuk lain dari

―pengetahuan‖—spiritualitas, kekuatan gaib, kecantikan, alam,

dongeng dan pengetahuan tentang wilayah (Knudston & Suzuki,

1992)—dan hal ini juga menggema dengan pengalaman intuitif dari

banyak non pribumi, yang menyadari bahwa; musik, seni, teater, puisi,

gunung-gunung, laut, hutan, binatang, tarian, cinta, tawa, permainan

72

dan cerita rakyat, dapat menjadi pembawa ―pengetahuan‖ yang

penting, dengan cara yang menentang penyimpanan digital54.

Visi versus mimpi realita tersembunyi dalam diri manusia

Dua hal yang terkadang membingungkan masyarakat dalam

menggunakan istilah visi dan mimpi. Dalam penggunaan kedua kata,

visi dan mimpi, orang lebih suka menggunakan visi, khususnya pada

lingkaran manusia yang memiliki status sosial yang jauh lebih baik dari

mereka yang status sosialnya dianggap jauh dari konteks kehidupan

modern. Pada manusia yang lingkaran hidupnya berada pada lingkaran

sosial yang jauh dari kehidupan modern, ide-ide mereka lebih cocok

disebut sebagai mimpi.

Penulis mencoba mencocokan pengertian dua istilah ini (visi dan

mimpi) berdasarkan penjelasan KBBI, ditemukan bahwa: visi

merupakan ―kemampuan melihat pada inti persoalan, atau apa yang

tampak dalam ―khayal‖ yang berhubungan dengan ―penglihatan‖ dan

―pengamatan‖, sementara mimpi merupakan sesuatu yang ―terlihat‖

atau ―dialami‖ di ―tidur‖, bisa juga disebut ―angan-angan‖, dari kata

dasar ―mimpi‖ jika diberi awalan ―ber‖ menjadi ―bermimpi‖ maka

pengertiannya akan menjadi ――melihat‖ atau ―mengalami‖ sesuatu di

―mimpi‖ dan atau ―berkhayal‖‖.

Memperhatikan perbedaan kedua istilah tersebut, visi lebih

menunjukan pada ―kemampuan melihat pada inti persoalan‖,

sementara mimpi lebih menunjukan pada sesuatu yang ―terlihat‖ atau

―dialami‖ di ―tidur‖. Sementara yang membuat kedua istilah tersebut

menjadi sama adalah visi masih tetap mendapat kejelasan sebagai

kemampuan melihat pada inti persoalan yang masih berupa khayalan

atau asumsi, bukan pada sesuatu yang sudah pasti. Hal ini pun sama

dengan mimpi yang memberi penekanan pada kemampuan melihat

dalam khayalan atau asumsi pula.

54 Community Development: Alternatif pengembangan Masyarakat Di Era Globalisasi. Jim Ife dan Frank Tesoriero (penerjemah Sastrawan Manulang dkk). Pustaka Pelajar Yogyakarta 2016.hlm.247.

73

Berangkat dari kedua istilah tersebut, secara prinsip masing-

masing memiliki perbedaan, namun ada pula kesamaan, karena itu,

penggunaannya dalam mewakili kumpulan ide-ide tidak bisa diklaim

sepihak, bahwa visi hanya milik kelompok para elitisme dan mimpi

hanya menjadi bagian dari masyarakat adatis yang jauh dari sentuhan

modernisasi.

Zamaan modernisasi orang lebih condong mengakomodir

pikiran-pikiran para elit yang memiliki status sosial terpandang.

Wacana mereka tentang pembangunan seakan dipandang merupakan

solusi tanpa kendala, bahkan solusi yang mereka tawarkan selalu diberi

label ―visi‖. Sementara kumpulan pandangan kaum jelata (tokoh adat

dan masyarakat lokal) pemilik negeri dan wilayah adat terkadang

dipandang tidak memiliki konsep pembangunan terhadap negerinya

sendiri, dan karena itu label kemasan pikiran mereka lebih cocok

diberi label ―mimpi‖.

Ada alasan, mengapa pikiran kedua kelompok tersebut diberi

label berbeda, hal ini disebabkan karena, label ―visi‖ selalu

dihubungkan dengan status sosial (jabatan, pengaruh, strata pendidikan

dan dll) dan dianggap pikiran mereka dianggap jauh lebih tauh soal

pembangunan. Sementara kumpulan pikiran yang diberi label ―mimpi‖

tidak diakomodir dan diberi ruang selayaknya pada mereka yang

memiliki status sosial terpadang. Tanpa disadari dengan danya

penggunaan istilah untuk membedakan dua kelompok yang memiliki

tujuan yang sama, maka dengan penuh kesadaran manusia dalam satu

wilayah pembangunan telah dikotak-kotakkan. Konetks ini pada

akhirnya akan memunculkan gesekan konflik dan saling klaim diri

menurut label simbol yang dipakaikan kepada mereka.

Pertanyaan dalam konteks ini adalah: apakah masyarakat lokal

tidak boleh bervisi dan hanya boleh bermimpi? Sesungguhnya, ber-

―visi‖ atau ber-―mimpi‖, tentu kedua-duanya memiliki tujuan yang

sama, namun terkadang orang tidak melihat substansi dari ―visi‖ dan

―mimpi‖. Yang dilihat orang adalah ―siapa‖ maka rujukannya ada pada

individu dan kelompok pribumi, bukan yang dilihat pada ―mengapa‖,

sebagai dasar rujukan mereka memimpikan sesuatu.

74

Bertolak dari gambaran tersebut, ditemukan beragam konsep

pembangunan yang selalu diagung-agungkan sebagai program yang

bisa menjawab permasalahan sosial masyarakat misalnya: untuk

program pembangunan skala kabupaten, muatan ―visi‖ pemerintahan

selalu didengung dengan simbol spirit ―membangun dari kampung‖.

Konotasi ―visi‖ seperti ini hendak menjelaskan tujuan pembangunan

harus dimulai dari kampung menuju wilayah perkotaan. Artinya, ada

keinginan para elit dalam birokrasi untuk menjawab sejumlah masalah

sosial yang dihadapi oleh masyarakat kampung yang berhubungan

dengan buta aksara, kesehatan dan ekonomi rakyat. Tetapi hingga saat

ini, pembangunan yang dimulai dari kampung ternyata belum mampu

menjawab permasalahan tersebut.

Terlepas dari spirit ―membangun dari kampung‖, ditemukan pula

istilah ―wilayah Indonesia timur dan Indonesia barat‖ dalam skala

nasional. Awal mula penggunaan istilah ini hanya bertujuan memberi

penjelasan di mana seseorang atau sekelompok orang berada dalam

sebuah wilayah.

Dalam penggunaan istilah Timur dan Barat, ternyata penggunaan

istilah tersebut mengalami pergesaran pemaknaan secara negatif.

Wilayah timur dikonotasikan sebagai wilayah tertinggal, kurang

modern, kebanyakan bermimpi, tempat yang tidak kondusif, dan

terkesan barbar. Sementara untuk wilayah barat dikonotasikan sebagai

wilayah yang memiliki infrastruktur modern, jauh dari anggapan

kekolotan, manusianya ramah, iklim HANKAMNAS (Pertahanan

Keamanan Nasional)-nya kondisif,

Samuel P. Hungtinton dalam bukunya ―the clash of civilizations and the remaking of word order‖ (benturan antar peradaban dan masa

depan politik dunia) menjelaskan, bahwa polarisasi budaya dan

peradaban dunia telah menimbulkan berbagai prasangka dan stereotip

yang seringkali menimbulkan konflik. Pembagian dunia menjadi

Timur dan Barat juga menambah rumitnya persoalan tentang di mana

sebenarnya kita berpijak. Karena, kategori Timur dan Barat ternyata

tidak hanya ditentukan oleh tempat dan letak geografis, tetapi juga

75

oleh pandangan dunia, aliran politik, peradaban dan kebudayaan yang

kita miliki55.

Dalam terminologi hukum alam, kebijakan pemerintah akan

dianggap bersifat absah, sejauh masih berorientasi dan sejalan dengan

kepentingan umum. Tinjauan normatif di atas jika disinkronisasikan

dengan realitas sosial yang ada di tiap daerah di Indonesia, maka

tafsiran terahadap ruang sosial yang ada harus diproporsikan dan

diperhatikan secara maksimal dan kontinyu, tanpa harus dilakukan

dengan pemaksaan kehendak. Artinya, pemikiran serta pandangan

yang ideal untuk kemajuan bukan bersifat sempit, terbatas, atau

sektoral. Dalam upaya melakukan perubahan dan perombakan sosial,

masyarakat diharuskan untuk bertindak secara kolektiv (collective action), baik dalam level konsolidasi pemikiran, sampai pada

konsolidasi sikap dan tindakan56.

Sikap konsolidasi yang dilakukan sangatlah beralasan, karena

masyarakat secara individu dilahirkan dalam struktur keluarga, suku

dan lingkungan yang berlainan, begitupun masing-masing lingkungan

memiliki sistem keteraturan sosial, hal ini tercermin dalam sistem nilai,

kepercayaan, norma, etika, budaya, moralitas, serta peraturan adat dan

pemerintah. Latar belakang pendidikan, profesi, dan lingkungan, juga

berperan dalam menentukan karakter individu, masing-masing

lingkungan akan memberikan perbedaan terhadap beragam individu

tersebut (Firmanzah, 2007:188-189).

Perlu dipahami bersama, bahwa budaya lokal dengan sejumlah

simbol adat yang masih bertahan (survive) hingga saat ini, haruslah

dipahami memiliki harapan-harapan dan nilai-nilai tentang masa

depan yang terus dinantikan keterwujudannya. Kondisi ini membuat

cara pandang masyarakat adat, selalu berbeda dengan cara pandang

pemerintah dan masyarakat luar (logis versus nir logis). Walaupun ada

perbedaan, tetapi tidak harus menimbulkan ketegangan yang

55 Narasi Demokrasi (Refleksi atas Kebudayaan, Relasi Kebudayaan dan Polemik Politik Lokal). Amas Mahmud Litera Buku Yogyakarta. 2011.hlm.52. 56 Ibid hlm.52,53.

76

mengakibatkan konflik, apalagi memunculkan hegemoni kekuasaan

dan ekspansi terhadap pihak yang lain.

Dalam aspek politik, terganggunya budaya lokal disebabkan telah

merajalelanya gaya hidup western, dengan sajian instan dan topeng

dengan paradigma politik para praktisi politik yang materialistik.

Contoh konkritnya, masyarakat kita telah dimanjakan dengan praktek

politik uang yang tidak mendidik, budaya lokal masyarakat adat mulai

dirongrong dan terganggu akibat dominasi kaum primodial. Budaya

masyarakat lokal tidak mendapat porsi yang utama dalam konteks

pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah hingga daerah-

daerah. Semestinya juga kita ingat, bahwa berdirinya negara ini, tidak

hanya sebatas dengan doa dan kerja, dalam konteks budaya yang penuh

dengan kemistisannya, masyarakat adat turut memainkan peran mistis

yang dimiliki untuk mengusir penjajah, tetapi sekarang kemistisan

budaya lokal seolah dianggap kotor dan tidak bisa diberi perhatian

dalam konteks pembangunan. Sadar atau tidak, pemalangan dengan

menggunakan simbol adat memberi tanda bahwa demokrasi dalam

ranah masyarakat adat mulai bangkit dan menuju identitas keasalannya

dalam alam demokrasi Indonesia.

Konflik sebagai simbol integritas

Dalam pandangan banyak orang konflik diidentikkan dengan

upaya memecahbelah suatu kekuatan, baik yang berhubungan dengan

persekutuan marga, suku, organisasi hingga keutuhan hidup berbangsa.

Dari pandangan ini, maka berbagai upaya dilakukan agar konflik dapat

dihilangkan. Tetapi dalam kenyataannya konflik tidak bisa dihindari.

Dari berbagai teori konflik yang dibangun oleh para ahli ada

teori yang mengatakan, inti dari konflik ialah ―bagaimana hubungan

masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam

hal ini, pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial

yang tidak dapat dihindari, yang bisa dilakukan adalah konflik hanya

bisa diminimalisir melalui beberapa konsensus yang disepakati

bersama. Selain itu, konflik menunjukan bahwa di dalam hubungan

atau relasi sosial masyarakat terdapat dominasi, koersi, serta kekuasaan.

Hal itu menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik. selain itu teori

77

konflik melihat bahwa terjadinya konflik karena ada otoritas yang

berbeda-beda yang menghasilkan situasi super-ordinasi dan sub-

ordinasi. Perbedaan antara super-ordinasi dan sub-ordinasi dapat

memicu konflik akibat adanya perbedaan kepentingan57.

Lewis A. Coser memandang konflik dapat direkayasa untuk

menciptakan kohesi atau keteraturan sosial. Pada paradigma ini,

konflik tidak dilihat dari dinamika negatif, karena itu juga dapat

bermakna positif, terutama sebagai upaya untuk memperkuat

ketahanan serta adaptasi dari kelompok dan interaksi sosial. Fungsi

positif konflik, sebagaimana dianalisis oleh Lewis A. Coser dapat dilihat

dalam ilustrasi satu golongan yang sedang mengalami konflik dengan

pihak lain. Sebagai contoh, pengesahan pemisahan gereja kaum

tradisional yang mempertahankan praktek-praktek ajaran Katolik

sebelum konsili vatikan II dan gereja Anglo-Katolik. Perang yang

terjadi selama bertahun-tahun di Timur Tengah telah memperkuat

identitas kelompok negara-negara Arab dan Israel. Konflik dapat

bermakna negatif ketika dipandang sebagai pemicu atau masalah yang

memperlemahkan hubungan masyarakat58.

Berbeda dengan pandangan Karl Marx yang menganalisa konflik

dari sudut pandang yang berbeda. Bahwa, konflik terjadi disebabkan

adanya struktur kelas yang berada dalam masyarakat, kepentingan

ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang yang berada

di dalam kelas yang berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas

ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadarannya,

dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan

perubahan struktur sosial. Karl Marx memberi tekanan pada dasar

ekonomi untuk kelas sosial, khususnya tentang ramalannya mengenai

pertumbuhan yang semakin besar antara kelas borjuis dan prolaterial.

57 Herman Arisandi. Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi dari Klasik Sampai Modern. Yogyakarta 2015.hlm.147. 58 Herman Arisandi. Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi dari Klasik Sampai Modern. Yogyakarta 2015.hlm.148.

78

Ramalan Karl Marx ia mengatakan bahwa perubahan struktur sosial

hanya bisa terjadi melalui revolusi kaum proletarial.59

Konflik terjadi diakibatkan adanya gejala mobilisasi sosial yang

ditandai dengan adanya benturan nilai dan kepentingan. Benturan ini

terjadi akibat adanya dua kelompok yang memiliki sikap berbeda; pada

satu pihak menginginkan perubahan nilai-nilai yang dianggap sebagai

pelegetimasian kedudukan mereka, dan kelompok yang lain masih

menginginkan pemberlakuan nilai-nilai yang lama dan tidak mau

dengan cepat pada perubahan nilai-nilai yang baru. Dengan demikian

terjadi benturan kepentingan dan kedua-duanya berada dalam

konflik60.

Simpulan Bab

Setiap gerakan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat

disebabkan karena adanya indikator awal yang memengaruhi situasi

sosial disertai dengan adanya tujuan (target) dari gerakan sosial yang

ingin dicapai. Haruslah dibedakan bahwa gerakan sosial memiliki ciri

masing-masing. Ada gerakan sosial yang melakukan perlawanan

terhadap pimpinan/atasan atau badan tertentu, tetapi ada gerakan sosial

yang memainkan peran pelayanan sosial. Tentu kedua-duanya

memiliki perbedaan didasarkan pada indikator penggerak/pemicu dan

pada tujuan akhir yang hendak dicapai.

Gerakan sosial yang terjadi di Kabupaten Kaimana Papua Barat,

dikategorikan sebagai gerakan yang berkiblat pada gerakan

perlawanan, sebabnya didasarkan pada implementasi kebijakan

pemerintah yang mengalami benturan dengan konsep-konsep

masyarakat lokal. Fenomena munculnya gerakan perlawanan dengan

menggunakan simbol adat di Kabupaten Kaimana sesungguhnya

didasarkan pada fakta-fakat pembangunan yang dinilai dari prespektif

masyarakat adat.

59 Yakobus Ranjabar Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pngantar. ALFABETA c.v. Bandung 2014.hlm.221. 60 Ibdi.hlm.517.

79

Prespektif masyarakat tersebut sangat tergantung pada konsep-

konsep adat berupa cerita tuturan yang seringkali dibahasakan dalam

bahasa adat ―tete nene moyang punya janji‖, sementara pemerintah

berangkat dari konsep pembangunan modern. Dari perbedaan konsep

inilah, muncul gesekan antara pemerintah dan masyarakat adat.

Beberapa teori tantang kebijakan dan gerakan sosial, ditemukan

di sana bahwa gerakan sosial yang dikemas dalam bentuk perlawanan

seringkali terjadi disebabkan karena, ketidakadilan yang dirasakan oleh

masyarakat dari kebijakan yang dibuat oleh pemerinta atau kaum

buruh sebagai pekerja pabrik. Dari konteks inilah, muncul sejumlah

gerakan sosial yang dikemas dalam bentuk perlawanan, dalam bentuk

fisik maupun non fisik.

Dalam catatan sejarah dunia tentang gerakan sosial, pada tahun

1950-an dan 1960-an terjadi sejumlah gerakan, salah satunya dikenal

dengan nama ―komunitas gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit

Hitam‖. Lahirnya gerakan ini disebabkan karena faktor diskriminasi

terhadap kaum kulit hitam dan gerakan apartheid di Afrika Selatan.

Menurut pendapat Bonner, dalam konteks gerakan sosial dan

transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah

―pembangunan‖.

Dalam konteks pembangunan, seringkali muncul diskriminasi

terhadap kaum minoritas, jika sebuah kaum hanya sebagai kelompok

minoritas dalam sebuah wilayah, kiblat pembangunan hanya diarahkan

kepada kaum mayoritas. Dalam penyusunan aturan-aturan misalnya,

hak-hak kaum mayoritas lebih akomodir.

Di Indonesia, gerakan-gerakan perlawanan yang muncul

disetiap daerah, tidak terlepas dari kasus intimidasi, hak asasi manusia,

yang marak terjadi terhadap masyarakat sipil khususnya di wilayah

Timur Indonesia Tanah Papua. Kondisi ini pada akhirnya membangun

kesadaran masyarakat lokal untuk membuat gerakan perlawanan yang

ditujukan kapada pemerintah.

Lahirnya teori gerakan sosial yang dimulai dari teori gerakan

sosial klasik hingga teori keluhan, tidak didasarkan pada daya

80

imajinatif dan hasil khayalan para ahli. Lahirnya teori gerakan sosial

didasarkan pada fakta-fakta empiris sosial yang dimulai dari gerakan

Revolusi Prancis.

Teori yang didasarkan pada fakta Revolusi Prancis disebut

sebagai teori klasik yang dipelopori oleh beberapa ahli seperti Sidney

Tarrow (1998), dia melihat gerakan sosial tersebut dan menyebutnya

sebagai ―prilaku kolektif‖. Gustave Le Bon (1895), ia melihat prilaku

kolektif dan menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis

merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang.

David Popenoe (1977:259) melihat prilaku kolektif merupakan

tindakan yang tidak mencerminkan struktur sosial yang ada. Struktur

sosial yang dimaksuda oleh David Popenoe berkaitan dengan

peraturan, undang-undang, kebijakan pemerintah dan lembaga formal

dan non formal.

Berbeda dengan Herbert Blumer ―….masyarakat terdiri dari

individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni

membuat indikasi untuk diri mereka sendiri), tindakan individu itu

merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja.

Yang dipahami oleh Blumer adalah, bahwa setiap gerakan sosial

yang lakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari apa yang mereka

pikirkan, atinya apa yang dilakukan oleh masyarakat itulah yang

dipikirkan oleh mereka secara individu.

Penekanan Blumer lebih jauh menegaskan bahwa:

keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran

situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif

itu terdiri dari beberapa susunan tindakan individu yang disebabkan

oleh penafsiran individu/pertimbangan individu terhadap setiap

tindakan yang lainnya‖.(Irving Zetlin, 1995:332).

Pandangan para ahli yang berlatar pada gerakan Revolusi Prancis

disebutan dengan gerakan kolektif. Dari cara pandang mereka,

―terbentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang‖, ―tidak

mencerminkan struktur sosial yang ada‖, ―mengikuti kemaunnya

sendiri‖.

81

Jika teori klasis gerakan sosial mengidentifikasi gerakan sosial

seperti emosi binatang dan tidak mencerminkan struktur sosial, maka

hal itu berbeda dengan pendapat Mancur Olson dalam bukunya The Logic Of Collective Action: Public Goods And The Theory Of Groups.

Yang ingin disampaikan oleh Mancur Olson bahwa gerakan

sosial yang dilakukan oleh individu-individu tersebut, mereka

melakukannya secara sadar sebagai bentuk kerasionalannya.

Pendapat Olson lebih melihat pada awal mula sebuah tindakan,

bukan pada tindakan yang sudah terjadi. Sebab tindakan yang sudah

terjadi, selalu berawal dan berhubungan dengan kesadaran awal

sebelum seorang secara individu bergabung melakukan gerakan

perlawanan.

Dalam keseharian makhluk yang satu ini (manusia), mulai dari

gerakan, tutur kata, selalu menggunakan simbol. Simbol yang

digunakan bisa berupa material (benda-benda disekitarnya) dan non

material, seperti seluruh gerakan anggota badan ―whole movement of limbs‖.

Simbol yang digunakan manusia, tidak berasal dari luar, ia

(simbol) yang digunakan manusia merupakan hasil ciptaannya sendiri,

karena itu cara menggunakan simbol sebagai alat perlawanan,

diibaratkan sebagai senjata pamungkas untuk menjawab dan

menghadapi serangan dan tantangan dari luar. Dari konteks inilah,

sejumlah teori simbol dan perlawanan simbol dibangun oleh para ahli.

Hartoko dan Rakhmanto (1998 : 133), menggambarkan teori

secara etimologi dari bahasa Yunani ―sym-ballein‖ yang berarti

melemparkan bersama suatu yang dikaitkan dengan ide, tetapi ada pula

yang menyebut ―syimbolos‖, yang berarti tanda atau ciri yang

memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).

Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang

mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan

antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda)

sifatnya konvensional. Berger (2000a:85) mengklasifikasikan simbol-

82

simbol menjadi tiga bagian: (1) konvensional. (2) aksidental

(accidental), (3) universal.

Sebagai ―sym-ballein‖ atau ―syimbolos‖, masyarakat mencipta-

kannya untuk tujuan mengartikan sesuatu atau mewakili sesuatu

berdasarkan apa yang digunakan dan disepakati bersama. Walaupun

tanda yang menandai sesuatu itu terkadang tidak sama, serupa dan

segambar, namun dalam hal ini simbol merupakan hasil pikir bersama

dan karya bersama dalam kehidupan manusia.

Kebijakan sangat memainkan peran penting dalam menjalankan

roda kepemimpinan. Karena itu, kepemimpinan yang tidak melahirkan

kebijakan-kebijakan untuk menjawab permasalahan sosial yang

dihadapi masyarakat, maka kepemimpinan tersebut terkesan

kehilangan roh.

Artinya, setiap organisasi memiliki kelengkapan program kerja

dengan sejumlah peralatan pendukung, tetapi jika tidak ada komando

atau dibijaki oleh pimpinan, maka setiap anggota akan menjalankan

tugas dan fungsinya sesuai dengan apa yang mereka mau. Karena itu,

jangan salah ketika melihat seorang pegawai hanya memainkan HP-

nya dalam ruang kerja, pada saat anada bertanya: apa kerja anda hari

ini, jika dia menajwab tidak ada kerja, maka yang dimaksudkan bukan

tidak ada kerja, tetapi tidak ada kebijakan dari pimpinan, karena itu

kerjanya hanya mengotak atik HP-nya.

Kebijakan terkadang dipahami sebagai sesuatu yang terlalu luar

biasa. Dengan pemahaman seperti itu, maka orang selalu

mengidentikan kebijakan dengan status sosial. Sementara tidak disadari

bahwa seorang petani, nelayan buruh serabutan, dan tukang beca

dalam kehidupan sehari-hari, mereka selalu membuat kebijakan.

Cara pandang kita yang keliru tentang kebijakan, dikarenakan

teori-teori kebijakan lahir dari konsep orang putih, mata kucing dan

mereka yang memiliki gelar akademik atau jabatan. Di sinilah terlihat

bagaimana kita memosisikan kebijakan itu, bukan sebaliknya kebijakan

merupakan sesuatu yang biasa terjadi di mana saja, kapan saja dan oleh

siapa saja.

83

Cara kita memahami dan menempatkan kebijakan pada status

sosial yang tinggi telah membuat kita salah dalam menilai, kalau

ternyata selama para leluhur di Papua, walu hanya menggunakan

cawat dan koteka, ternyata sebelum republik ini ada, mereka sudah

membuat kebijakan.

Dari kasus gerakan perlawanan dengan menggunakan simbol-

simbol adat, hal ini menyadarkan kita semua bahwa, kebijakan pun

sudah lama dibuat oleh leluhur kita di Papua. Yang menjadi

permasalahan adalah, pada saat mereka membuat kebijakan, saat itu

belum ada alat tulis, komputer yang bisa digunakan untuk menulis dan

menyimpan apa yang mereka buat. Hanya dengan mengandalkan otak,

mereka menyimpan segala sesuatu yang telah mereka lakukan.

Mereka hanya hidup dengan mengandalkan kemampuan cerita-

certia tuturan (cerita berantai) lintas generasi. Sayangnya, kebijakan

yang dibuat oleh para leluhur di Papua, secara khusus delapan suku asli

di ―Negeri 1001 Senja‖, tidak tertulis, sehingga dunia tidak bisa

membaca konsep-konsep itu.

Karena itu, pada kesimpulan ini, beberapa teori kebijakan yang

digunakan penulis akan disimpulkan sebagai berikut:

Indikator manusia menggunakan simbol untuk menata

kehidupan mereka, karena manusia adalah makhluk yang selalu

menimbulkan masalah dan berjumpa dengan masalah. Menghadapi

kondisi itu, manusia mulai mencari solusi untuk menata keteraturan

hidupan.

Untuk menata keteraturan hidup tersebut, manusia berupaya

dengan kreasinya sendiri untuk menciptakan simbol-simbol yang

digunakan sebagai aturan. Hal ini dilakukan karena dalam diri manusia

sebagai makhluk sosial ada keinginan untuk ingin hidup teratur.

Keinginan untuk hidup teratur tidak datang begitu saja, harus

ada upaya atau kreasi dari manusia. Maka diciptakanlah simbol-simbol

untuk tujuan yang diharapkan. Berangkat dari sikap keaslian manusia,

maka dapat disimpulkan bahwa hidup teratur, damai, santun dengan

sesama adalah bagian dari cara manusia mendesain situasi.

84

Dalam hubungannya dengan pemerintah, telah banyak teori

yang dibuat dalam rangka untuk menata birokrasi pemerintah,

sehingga mandat yang diterima dari rakyat dapat dijalankan dengan

baik. Dalam menjalankan pembangunan tersebut, pemerintah selalu

berjalan dengan sejumlah konsep dan teori dari luar dirinya tentang

kebijakan publik seperti:

Carl Friedrik, ia memandang kebijakan sebagai ―suatu arah

tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah,

dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-

hambatan dan peluang-peluang, terhadap kebijakan yang diusulkan,

untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu

tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran, atau suatu maksud tertentu‖.

Melihat kebijakan sebagai suatu arahan yang berasal dari

pimpinan atau badan, maka sudah seharusnya kebijakan tersebut

dilaksanakan atau diimplementasikan sesuai dengan arah kebijakan

yang telah dibuat.

Terkadang pula sebagai bawahan, dalam melaksanakan kebijakan

yang diterima dari atasannya, banyak orang takut pada dampak atau

pada konflik yang seringkali muncul akibat dari diimplementasikannya

kebijakan tersebut. Karena itu, terkadang dalam menindaklanjuti

kebijakan, banyak anggota atau bawahan menjadi ragu bahkan mereka

bisa menolak untuk mengimplementasikan kebijakan dimaksud. Hal

ini disebabkan karena terkadang manusia takut berhadapan dengan

konflik. Sikap seperti ini pada akhirnya memunculkan kegagalan dari

sebuah kebijakan.

Terkadang kita memahami bahwa konflik tidak dibutuhkan,

bahkan dihindari oleh manusia, namun dalam kondisi apapun, situasi

sosial selalu menghadirkan konflik. Karena kondisi sosial tidak dihuni

oleh sekumpulan manusia robot, gaya gerak, gaya berbicara, cara

jalanya selalu dipandu dengan sistem kontrol.

Lingkungan sosial merupakan kumpulan manusia yang terdiri

dari sejumlah individu yang memiliki kedirian bebas, mereka tidak bisa

dipandu seperti robot. Karena itu, konflik menjadi sangat penting dan

85

sangat dibutuhkan dalam situasi sosial di mana manusia ada. Konflik

menjadi penting, karena konflik memiliki dampak negatif dan positif

untuk mengembalikan situasi sosial yang tidak kondusif menjadi jauh

lebih baik.

Dari berbagai teori konflik yang dibangun oleh para ahli, mereka

memahami inti dari konflik ialah ―bagaimana hubungan masyarakat

dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam hal ini,

pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang

tidak dapat dihindari, yang bisa dilakukan adalah konflik hanya bisa

diminimalisir melalui beberapa konsensus yang disepakati bersama.