BAB II GERAKAN ETNONASIONALISME DI THAILAND … 2.pdf · BAB II GERAKAN ETNONASIONALISME DI...
Click here to load reader
Transcript of BAB II GERAKAN ETNONASIONALISME DI THAILAND … 2.pdf · BAB II GERAKAN ETNONASIONALISME DI...
17
BAB II
GERAKAN ETNONASIONALISME DI THAILAND SELATAN
II.1. Sejarah Singkat Etnis Muslim Melayu di Thailand Selatan
Thailand merupakan negara dengan penduduk mayoritas etnis Thai.
Namun berbeda halnya dengan kawasan Thailand Selatan yang terbagi
menjadi 4 provinsi, yaitu Yala, Narathiwat, Pattani dan Songkhla. Tiga dari
keempat provinsi tersebut yaitu Yala, Narathiwat dan Pattani masyarakatnya
didominasi oleh etnis Muslim Melayu. Masyarakat etnis Muslim Melayu yang
hidup dan berdomisili di kawasan Thailand Selatan ini mencapai 80% dari
total penduduk yang ada disana. Keadaan ini membuat kehidupan sosial etnis
Muslim Melayu di Thailand Selatan berbeda dengan wilayah lain. Perbedaan
tersebut mencakup perbedaan bahasa, tulisan, dan tata cara kehidupan yang
berbeda dengan etnis lain pada umumnya (McCargo, 2010:1).
Keberadaan etnis Muslim Melayu yang terpusat di Thailand bagian
selatan ini tidak lepas dari sejarah kawasan Thailand Selatan. Provinsi Pattani,
Narathiwat, Songhkla, dan Yala yang berada di kawasan Thailand Selatan
sebelumnya merupakan bagian dari kerajaan Pattani. Kerajaan Pattani ialah
Kerajaan Melayu berdaulat dengan mayoritas penduduknya merupakan etnis
18
Muslim Melayu. Kerajaan Patani dikenal sebagai kerajaan penting penyebar
agama Islam dan pertumbuhan perdagangan karena Kerajaan Pattani
merupakan satu-satunya kota pelabuhan dan pusat perdagangan Islam yang
memiliki pengaruh yang kuat di perairan Laut Cina Selatan. Hal ini
menjadikan Kerajaan Pattani menjadi salah satu simbol kejayaan Melayu pada
masanya. Kerajaan Pattani memiliki kekayaan sumber daya alam yang
melimpah. Kekayaan alam kerajaan Pattani meliputi emas, timah, laka, kapur
barus, gerahu serta emboni. Banyak negara yang datang untuk melakukan
perdagangan maupun sekedar berkunjung ke Pattani. Karena pengaruhnya
dalam perdagangan dan kekayaan alamnya itulah, kerajaan ini menjadi
kerajaan yang diperhitungkan keberadaannya (Yuniarto, 2004:3).
Kerajaan Pattani yang memiliki wilayah yang sangat strategis menjadi
incaran Kerajaan Siam yang ingin melakukan ekspansi wilayah dan
menguasai kerajaan yang memiliki salah satu pelabuhan penting di perairan
Laut Cina Selatan tersebut. Diantara tekanan yang dilakukan Kerajaan Siam
dan gempuran dari imperialisme barat, Kerajaan Siam yang saat itu
melakukan kerjasama dengan Kerajaan Inggris berhasil menaklukkan
Kerajaan Pattani. Penyerahan wilayah Kerajaan Pattani ke Kerajaan Siam oleh
Inggris dilakukan pada tahun 1909 di Bangkok dan dikenal dengan Anglo
Siam Treatment (Thnaprarnsing, 2009: 3).
19
Perjanjian Anglo Siam Treatment menyatakan berakhirnya kekuasaan
Kerajaan Pattani dan wilayah kerajaan ini sebelumnya sah menjadi wilayah
dibawah kekuasaan Kerajaan Siam. Wilayah Kerajaan Pattani tersebut adalah
Patani, Teluban (sekarang Narathiwat), Jalor (sekarang Yala), dan sebagian
wilayah Senggora (sekarang dikenal dengan nama Songkhla). Dikuasainya
wilayah Kerajaan Pattani oleh Kerajaan Siam mengakibatkan penduduk yang
berada di wilayah tersebut harus tunduk terhadap segala peraturan yang
diberlakukan Kerajaan Siam dan identitas mereka sebagai warga Kerajaan
Pattani resmi berganti menjadi warga Kerajaan Siam atau sekarang dikenal
sebagai Thailand.
Bergabungnya wilayah serta penduduk yang dulunya merupakan
Kerajaan Pattani ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam menimbulkan
permasalahan baru. Permasalahan yang terjadi mulai dari anggapan dari etnis
Muslim Melayu yang dulunya merupakan warga Kerajaan Pattani bahwa
pemerintahan Siam yang sekarang Thailand cenderung menyudutkan mereka,
hingga tidak diakuinya kekuasaan Thailand atas wilayah Kerajaan Pattani. Isu
– isu tersebut kemudian semakin meluas dan menimbulkan aksi protes yang
berujung pada aksi kekerasan dan gerakan etnonasionalisme yang dilakukan
oleh etnis Muslim Melayu.
20
II.2. Faktor – faktor Munculnya Gerakan Etnonasionalisme di Thailand
Selatan
Kekerasan yang kerap terjadi di Thailand Selatan ini dilakukan oleh
kelompok etnonasionalis etnis Muslim Melayu yang merasa tergerak untuk
melakukan perubahan nasib kaum mereka. Hal ini terjadi karena adanya
ketidak-sepahaman antara etnis ini dengan kebijakan – kebijakan yang
diterapkan oleh Pemerintah Thailand di Thailand Selatan. Terdapat pula
beberapa faktor lain yang melatar belakangi terjadinya gerakan
etnonasionalisme yang terjadi di Thailand Selatan ini. Menurut Thnaprarnsing
(2009), faktor-faktor tersebut adalah faktor sejarah, faktor ekonomi dan sosial
serta faktor budaya.
II.2.1. Faktor Sejarah
Semenjak ditanda-tanganinya perjanjian Anglo Siam Treatment pada
tahun 1909 di Bangkok, keempat wilayah yang dulunya merupakan wilayah
kekuasaan Kerajaan Pattani yaitu Patani, Narathiwat, Yala dan Songkhla
resmi menjadi wilayah Thailand. Hal ini memaksa etnis Muslim Melayu yang
merupakan penduduk mayoritas di keempat wilayah tersebut untuk hidup
berdampingan dengan penduduk Thailand yang merupakan mayoritas etnis
Thai. Etnis Muslim Melayu yang sebelumnya menjadi mayoritas, kini
21
menjadi kaum minoritas di Thailand dengan jumlah hanya sekitar 7,5% dari
jumlah total penduduk Thailand (Yusuf, 2010:2).
Sebagai etnis yang pernah menjadi simbol kejayaan Muslim Melayu di
Asia, menjadi etnis minoritas dalam sebuah negara merupakan sebuah
perubahan besar bagi kehidupan sosial mereka. Ditambah lagi, etnis ini
terpaksa menjadi bagian dari sebuah negara yang memang memiliki hubungan
kurang baik sejak lama. Seperti yang sudah dipaparkan diatas, saat Kerajaan
Patani mengalami kejayaan karena sumber alam yang melimpah dan kejayaan
maritimnya, hubungan dengan Kerajaan Siam yang sekarang menjadi
Thailand tidak terlalu harmonis. Kerajaan Siam kala itu yang memiliki
wilayah berdampingan dengan Kerajaan Patani beberapa kali melakukan
upaya untuk merebut wilayah Kerajaan Patani.
Etnis Muslim Melayu yang tinggal di wilayah Kerajaan Patani yang
kini menjadi wilayah Thailand hanya sedikit yang mengakui kekuasaan
Thailand. Banyak dari mereka beranggapan bahwa masuknya wilayah
Kerajaan Patani menjadi wilayah Thailand bukan karena penundukan
Thailand, tapi karena campur tangannya imperialisme barat kala itu. Kalahnya
Kerajaan Pattani oleh Kerajaan Siam dianggap semata- mata karena bantuan
persenjataan dan militer dari Inggris yang memang menjalin kerjasama
dengan Kerajaan Siam. Mereka tidak mengakui kedaulatan Pemerintah
Thailand akan wilayah Patani dan sekitarnya. Etnis ini menginginkan
22
kejayaan mereka bisa terulang serta mampu menjadi pemimpin di tanah
sendiri, dan bukan menjadi bagian dari Thailand.
II.2.2. Faktor Ekonomi dan Pendidikan
Kemiskinan dan permasalahan ekonomi dianggap sebagai salah satu
faktor dibalik terjadinya kekerasan dan pemberontakan di Thailand Selatan.
Meskipun wilayah Thailand Selatan merupakan wilayah yang kaya akan
sumber daya alam, namun masih banyak masyarakat disana yang ekonominya
berada dibawah garis kemiskinan. Bahkan dari seluruh wilayah di Thailand,
sebagian daerah yang masih kumuh dan menjadi daerah miskin adalah berada
di wilayah selatan ini. Pada tahun 2000 terdapat 610.000 penduduk yang
berada dibawah garis kemiskinan, 45% diantaranya merupakan penduduk
etnis Muslim Melayu di wilayah Thailand Selatan.
Kemiskinan yang terjadi di Thailand Selatan disebabkan karena
ketidak-merataan pembangunan dan ekonomi dari Pemerintah Thailand.
Sumber daya alam di Thailand Selatan yang melimpah seperti minyak, ikan,
hasil hutan dan sumber ekonomi lainnya memang dikelola diwilayah ini,
namun akses ekonominya hanya dinikmati oleh sebagian kecil warga Thailand
Selatan. Yang menikmati hasil pengelolaan tersebut adalah komunitas yang
beragama Budha dan keturunan Tionghoa. Sedangkan etnis Muslim Melayu
23
yang merupakan kaum pribumi hanya sebagai pekerja bawah dengan bayaran
yang sedikit.
Masyarakat Patani yang merupakan etnis Muslim Melayu hanya
bekerja sebagai pelengkap dalam tatanan perekonomian di Thailand Selatan.
Mereka hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar, nelayan, pedagang kecil
serta sebagai buruh di sektor transportasi. Sangat sedikit dari etnis Muslim
Melayu yang menduduki posisi penting dalam pekerjaan. Keadaan ini
membuat etnis Muslim Melayu merasa tersingkir secara perlahan. Dengan
kekayaan alam di Thailand Selatan yang sebagian besar keuntungannya
digunakan untuk melakukan pembangunan di daerah lain, warga etnis Muslim
Melayu yang menjadi warga dominan di Thailand Selatan ini merasa
dirugikan. Daerah mereka hanya mendapatkan kerugian dari proses
penambangan dan pengolahan sumber daya alam seperti kerusakan ekologi,
pencemaran tanah, air maupun udara.
Salah satu faktor mendasar yang mempengaruhi kemiskinan di
Thailand Selatan adalah faktor pendidikan. Terjadi ketimpangan perhatian
antara etnis Thai dengan etnis Muslim Melayu dalam hal pendidikan. Sebagai
perbandingan, 69,80% penduduk etnis Muslim Melayu hanya merupakan
lulusan sekolah dasar, dan hanya 9,20% dari penduduk etnis Muslim Melayu
yang mengenyam pendidikan setingkat SMP, sedangkan penduduk etnis Thai
yang sudah lulus pendidikan setingkat SMP mencapai 13,20% dalam provinsi
24
yang sama. Begitu halnya dengan penduduk etnis Muslim Melayu yang
mengenyan pendidikan sarjana hanya 1.70% dibandingkan dengan penduduk
etnis Thai yang mencapai 9.70% dalam wilayah yang sama. Selain itu,
pendidikan yang diterima oleh penduduk di wilayah Thailand Selatan semua
menggunakan bahasa dan tulisan Thai. Faktor lainnya adalah faktor lapangan
pekerjaan. Jabatan pemerintahan di wilayah Thailand Selatan 19.20%
pegawainya merupakan etnis Thai, sementara etnis Muslim Melayu hanya
2.4%. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan perhatian yang diberikan
Pemerintah Thailand terhadap etnis Muslim Melayu di wilayah Thailand
Selatan dibandingkan dengan etnis lain di wilayah yang sama (Slagter dan
Kerbo, 2000:77).
II.2.3. Faktor Budaya
Penanda tanganan Anglo Siam Treatment yang menyatakan wilayah
Patani menjadi wilayah Thailand menimbulkan masalah bagi etnis Muslim
Melayu yang hidup disana. Mereka harus beradaptasi dengan situasi dan
aturan-aturan yang baru. Kehidupan Thailand yang mayoritas merupakan etnis
Thai sangat berbeda dengan mereka yang terbiasa hidup dalam aturan
Kerajaan Patani. Perbedaan ini mencakup cara hidup, cara berkomunikasi,
perbedaan keyakinan akan agama, hingga perbedaan dalam bermasyarakat.
25
Kehidupan masyarakat etnis Muslim Melayu kemudian berubah total.
Dibawah kekuasaan Thailand sebagai kaum minoritas, etnis Muslim Melayu
ini mengalami berbagai macam tekanan dan diskriminasi dari etnis Thai.
Orang Thai menyebut warga etnis Muslim Melayu sebagai Khaek
yang berarti orang luar atau pendatang. Khaek secara umum juga digunakan
orang Thai untuk menggambarkan orang yang memiliki kulit sawo matang
seperti pendatang – pendatang dari Asia Selatan. Lama berselang, istilah
Khaek ini digunakan sebagai stereotip terhadap etnis Muslim Melayu. Istilah
Khaek digunakan untuk menggambarkan etnis Muslim Melayu yang malas,
jorok, kotor, miskin dan hal-hal negatif lainnya. Intinya adalah orang Thai
menganggap bahwa etnis Muslim Melayu memiliki derajat yang lebih rendah
dari mereka etnis Thai.
Sebaliknya etnis Muslim Melayu menganggap etnis Thai sebagai
orang yang berlaku sewenang – wenang, menindas, memerangi serta dianggap
sebagai kaum jahiliyah. Kaum etnis Muslim Melayu juga menyebut etnis Thai
sebagai kaum kafir dan kelompok penyembah patung. Sebagai etnis yang
pernah memiliki masa kejayaan dimasa kerajaan Patani, etnis Muslim Melayu
tidak menerima perlakuan etnis Thai yang menganggap etnis Muslim Melayu
lebih rendah. Bagi etnis Muslim Melayu, etnis Thai dianggap sebagai kaum
yang memiliki sifat zalim dan harus diperangi karena bertentangan dengan
hukum Islam (Yuniarto, 2004:9).
26
Etnis Muslim Melayu menganggap etnis Thai sebagai etnis penjajah.
Etnis ini menganggap hubungannya dengan Pemerintah Thailand bukan
seperti rakyat pada penguasanya, namun menganggap sebagai hubungan
antara penjajah dengan yang dijajah. Anggapan ini muncul karena etnis ini
merasa mereka tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah layaknya
warga negara pada umumnya. Etnis ini merasa asing dan tidak bisa berbaur
dengan kehidupan dan aturan yang berlaku di Thailand.
Anggapan ini kemudian semakin besar pasca diberlakukannya
kebijakan dari Pemerintah Thailand yang dianggap diskriminatif. Salah satu
kebijakan yang diberlakukan Pemerintah Thailand adalah kebijakan untuk
melakukan integrasi sosial di wilayah Thailand untuk meningkatkan stabilitas
negara. Kebijakan ini bertujuan untuk membentuk semangat patriotisme dan
menumbuhkan jiwa nasionalisme di masyarakat Thailand. Kebijakan yang
diberlakukan Pemerintah Thailand ini berlandaskan pada tiga asas utama
yaitu, asas satu agama, satu kerajaan, dan tunduk pada kekuasaan raja (Thai
Rak Tai) (Yuniarto, 2005:92).
Etnis Muslim Melayu dipaksa untuk menjadi satu dengan etnis Thai
secara keseluruhan. Hal itu mencakup agama yang dianut, bahasa, tulisan dan
tata cara hidup sehari-hari. Pemaksaan tersebut diwujudkan dengan
dikeluarkannya kebijakan asimilasi budaya. Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, asimilasi budaya berarti proses pengadopsian suatu budaya akan
27
budaya lain secara spesifik yang berakibat pada nilai-nilai budaya asli akan
memudar. Kebijakan ini dimulai dengan memberlakukan aturan tentang
pakaian sehari – hari. Aturan seperti pelarangan penggunaan sarung, kopiah,
kerudung, sandal serta mengunyah sirih bagi etnis Muslim Melayu. Mereka
diwajibkan untuk memakai pakaian yang lebih modern seperti celana panjang
serta kemeja.
Kebijakan asimilasi ini juga mencakup hal – hal mendasar seperti
nama seseorang. Etnis Muslim Melayu dihimbau untuk mengganti nama
mereka menjadi nama yang sesuai dengan etnis Thai. Nama – nama yang
mengandung unsur Muslim atau Melayu tidak diperkenankan penggunaannya.
Bagi etnis Muslim Melayu yang tidak mengikuti aturan ini atau
mempertahankan nama Melayu mereka terancam tidak akan mendapatkan
promosi karir atau bahkan tidak mendapatkan pekerjaan (Yuniarto, 2005:107).
Dalam tulisan Yuniarto (2004), dipaparkan bahwa asimilasi budaya di
Thailand Selatan dilakukan dengan cara mewajibkan pendidikan sekuler bagi
masyarakat Thailand, termasuk etnis Muslim Melayu dan menjadikan bahasa
Thai sebagai bahasa nasional. Kewajiban menempuh pendidikan sekuler
menjadikan pemondokan (pesantren) yang sebelumnya merupakan tempat
utama masyarakat etnis Muslim Melayu mendapat pendidikan, kini hanya
menjadi tempat pendidikan tambahan. Begitu pula dengan bahasa yang
masyarakat etnis Muslim Melayu pergunakan. Bahasa Melayu yang sehari-
28
hari mereka gunakan dalam berinteraksi dilarang dan diwajibkan
menggunakan bahasa Thai. Aturan ini berlaku bagi seluruh warga Thailand,
dan bagi masyarakat etnis Muslim Melayu yang tetap memasukkan anaknya
untuk mengenyam pendidikan di pondok maupun menggunakan bahasa
Melayu akan dinyatakan melanggar hukum.
Kebijakan ini langsung memicu emosi etnis Muslim Melayu. Etnis
untuk melakukan protes dan pemberontakan terhadap Thailand. Aksi
kekerasan pun tak terhindarkan antara pihak etnis Muslim Melayu dengan
Pemerintah Thailand. Mereka tidak mau identitas mereka sebagai etnis
Muslim Melayu digantikan menjadi identitas Thai demi kepentingan nasional.
Identitas sebagai etnis Muslim Melayu menurut mereka merupakan suatu
warisan leluhur yang harus dipertahankan dan dilindungi. Mereka menuntut
adanya penghormatan terhadap identitas mereka sebagai etnis yang sudah ada
selama berabad-abad.
II.3. Aktor – aktor yang Terlibat dalam Gerakan Etnonasionalisme di
Thailand Selatan
Kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan memang sudah lama
terjadi, tepatnya dimulai sejak abad ke-19. Ketegangan yang terjadi karena
ketidak-harmonisan hubungan antara etnis Muslim Melayu dengan
29
Pemerintah Thailand ini intens terjadi dan tidak menemukan solusi. Kedua
pihak saling memperjuangkan kepentingan masing – masing. Dimana etnis
Muslim Melayu memperjuangkan kedaulatan mereka sebagai etnis Muslim
Melayu yang mampu berdiri sendiri dan identitas mereka yang ingin
dihormati. Sedangkan Pemerintah Thailand adalah untuk mempertahankan
kedaulatan dan keutuhan wilayah negara Thailand.
Awalnya kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan hanya
berlangsung secara acak dan tidak terorganisir. Pengrusakan dan bentrokan
yang terjadi hanya dalam skala kecil. Namun kekerasan berkembang menjadi
semakin berbahaya karena munculnya aktor – aktor yang merangkul dan
mengorganisir pemberontak. Adanya aktor – aktor ini merubah bentuk, dan
cara kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan. Kekerasan menjadi
terorganisir dan terjadi secara terencana serta semakin efektif dalam
menimbulkan dampak negatif bagi Thailand Selatan.
Ada banyak aktor yang terlibat dalam kekerasan di Thailand Selatan.
Seperti Barisan Revolusi Nasional Coordinate (BRN - C), Pattani United
Liberation Organization (PULO), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani
(GMIP). Beberapa laporan resmi dari militer menyatakan adanya keterlibatan
dan pengaruh organisasi internasional dalam kekerasan yang terjadi seperti
Al-Qaeda (AQ) dan Jemaah Islamiyah (JI). Namun karena modus operandi
yang berbeda, dimana AQ dan JI tidak pernah dilaporkan menjalankan
30
serangan terhadap sekolah dan kamp militer seperti yang dilakukan kaum
pemberontak di Thailand Selatan, kemungkinan keterlibatan organisasi
internasional ini sangatlah kecil (Thnaprarnsing, 2009:3).
II.3.1. Barisan Revolusi Nasional Coordinate (BRN – C)
Barisan Revolusi Nasional (BRN) terbentuk pada bulan Maret 1963
oleh Jaji Abdul Karim Hassan dan memiliki hubungan erat dengan Partai
Komunis di Malaysia. Namun pada tahun 1984, BRN pecah menjadi 3 fraksi
yang berbeda karena adanya perbedaan pendapat mengenai prospek BRN
kedepannya diantara petinggi organisasi ini. BRN pecah menjadi BRN –
Congress, BRN – Coordinate dan BRN – Uran. Diantara ketiga pecahan BRN
ini, Barisan Revolusi Nasional Coordinate (BRN – C) merupakan yang paling
luas dikenal dan paling berpengaruh dari kedua pecahan BRN yang lainnya
(Yuniarto, 2005:7).
BRN – C merupakan sebuah organisasi Islamis yang paling menonjol
dari ketiga pecahan BRN yang lain. Hal ini dikarenakan BRN – C merupakan
pecahan BRN yang memiliki perencanaan dan strategi yang matang dalam
mengembangkan dan memperbesar pengaruh organisasinya. BRN – C
berkembang menjadi jaringan yang besar dengan memanfaatkan tempat
ibadah serta sekolah – sekolah keagamaan sebagai sarana penyebaran
31
ideologinya. Beberapa informan dari aparat Thailand mengatakan adanya
kemungkinan beberapa sekolah yang bersifat keagamaan memiliki peran
penting dalam perekrutan anggota pemberontak. Mereka menduga adanya
pelatihan fisik dan militer, atau guru sekolah tersebut telah memberikan
doktrin terhadap muridnya dengan ideologi yang bersifat fundamental.
(Reuters, May 7 , 2004).
Jumlah anggota dari BRN – C ini masih belum diketahui secara pasti.
Namun pihak pemerintah Thailand mengatakan bahwa organisasi ini
diperkirakan memiliki sekitar 1.000 anggota. Semua itu terdiri dari tokoh-
tokoh simpatisan, beberapa dari kalangan guru serta ustad. Sekolah – sekolah
yang dimaksud antara lain Thamawittiya Foundation School di Yala,
Samphan Wittaya School, Jihad Wittaya School dan Pattani Islam. Beberapa
guru dari sekolah – sekolah tersebut ditangkap oleh aparat karena kepemilikan
senjata, bahan baku pembuat bom dan beberapa video tutorial pembuatan
bom. Beberapa tokoh BRN – C yang dikenal saat ini pernah mengikuti
pelatihan di Afganishtan adalah Masae Useng, Sapaeng Basoe, Abdullah
Munir, Duloh Waeman (Ustadz Loh), Abroseh Parehruepoh, Abdulkanin
Kalupang, Isma-ae Toyalong, Arduen Mama, Bororting Binbuerheng dan
Yusuf Rayalong (Ustadz Isma-ae). BRN – C ini merupakan organisasi
terstruktur dan memiliki banyak jaringan. Diperkirakan sebanyak 70% dari
32
seluruh desa di kawasan Thailand Selatan sedikitnya 5 hingga 10 warganya
merupakan anggota BRN-C (Abuza, 2006:1)
BRN – C merupakan salah satu organisasi pemberontak yang memiliki
peran penting dalam mengkoordinasi orang – orang dan mengarahkan gerakan
– gerakan pemberontakan yang terjadi. Organisasi ini menggunakan dua
pendekatan dalam menjalankan rencananya, pertama adalah menggunakan
agama sebagai alat untuk memobilisasi massa dan yang kedua adalah
menanamkan doktrin kepada generasi muda etnis Muslim Melayu untuk
melawan tekanan – tekanan yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand. BRN –
C menjadikan biksu dan sipil sebagai target serangan. Hal ini mengakibatkan
banyak warga dari etnis Thai yang beragama Budha keluar dan meninggalkan
desanya demi menyelamatkan diri. Tujuan dari serangan- serangan tersebut
adalah untuk mengurangi atau bahkan menghapus semua pengaruh Budha dari
wilayah Patani (Melvin, 2007:8).
II.3.2. The Pattani United Liberation Organization (PULO)
PULO terbentuk di India pada tahun 1968 dan didirikan oleh Kabir
Abdul Rahman yang merupakan seorang keturunan bangsawan Patani. Abdul
Rahman juga merupakan seorang mahasiswa yang sedang melakukan studi di
Timur Tengah. Ia merupakan mahasiswa yang mendalami agama dan politik.
33
Abdul Rahman mendirikan organisasi ini berdasarkan pengamatannya akan
apa yang terjadi di Thailand Selatan dan merasa harus melakukan sebuah
perubahan perlakuan terhadap kaumnya di Thailand Selatan (Chalk, 2008:16).
Ideologi dari organisasi ini adalah “Religion, Race, Homeland, and
Humanitarianism”. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk merubah nasib
dari etnis Muslim Melayu yang dianggapnya mendapatkan tekanan dari
Pemerintah Thailand. Perubahan yang dimaksudkan adalah mampu berdiri di
kaki sendiri atau dengan kata lain dengan mendirikan sebuah negara Muslim
yang berdaulat. Perjuangan yang dilakukan oleh organisasi ini tidak dengan
melakukan negosiasi atau persuasive, namun dengan jalan perjuangan
bersenjata. Karena seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya diatas, mereka
menganggap orang dengan etnis Thai adalah orang yang zalim terhadap Islam
dan harus diperangi karena bertentangan dengan hukum Islam.
PULO dalam melakukan gerakan pemberontakannya menggunakan
dua cara, yaitu cara kekerasan dan cara non-kekerasan. Cara non-kekerasan
seperti melakukan peningkatan standar pendidikan terhadap masyarakat
Muslim Melayu di kawasan Thailand Selatan. Seiring dengan itu, cara ini juga
diimbangi dengan peningkatan pengetahuan mengenai situasi politik dan
kesadaran akan identitas mereka sebagai etnis Muslim Melayu. Mereka ikut
pula menyebarkan doktrin dalam benak masyarakat bahwa etnis Muslim
Melayu merupakan etnis yang berbeda dengan etnis Thai, etnis yang pernah
34
berjaya dan tidak sepantasnya menjadi bawahan etnis lain. Dengan kata lain,
PULO berusaha menanamkan pemikiran anti Thai dalam benak masyarakat
sejak dini.
Sedangkan cara kekerasan adalah dengan jalan mengerahkan massa
bersenjata untuk melakukan serangan-serangan terhadap pemerintah Thailand.
PULO memiliki peran penting dalam menggalang massa dalam setiap
serangan kelompok etnonasionalisme di Thailand Selatan. PULO melakukan
hal ini dengan menyebarkan selebaran di sepanjang wilayah Thailand Selatan
yang berisi ajakan terhadap warga etnis Muslim Melayu untuk ikut angkat
senjata dalam memperjuangkan nasib etnisnya. PULO menanamkan doktrin
bahwa dengan melakukan serangan bersenjata terhadap fasilitas dan tempat
umum di Thailand Selatan akan mampu mengusir orang Thai dari tanah
Thailand Selatan dan aspirasi mereka untuk mendirikan negara Islam yang
berdaulat lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat domestik serta
internasional. Massa bersenjata yang berada dibawah naungan PULO ini
menamai diri mereka Patani United Liberation Army.
II.3.3. Gerakan Mujahideen Islam Patani (GMIP)
GMIP merupakan organisasi cabang dari GMP (Gerakan Mujadideen
Patani) yang dibentuk pada tahun 1986 dan dipimpin oleh Wae-hama wae-
35
Yuso. Dari sekian banyak organisasi etnonasionalisme di Thailand Selatan,
GMIP merupakan organisasi yang paling mendapatkan pengaruh dari dari
Afganishtan dan organisasi Jihad dunia. GMIP terbentuk pada tahun 1995
oleh Nasori Saesaeng (alias Awae Keleh Poh War atau Haji Wae), yang
merupakan warga asli dari daerah Bacho di Narathiwat. Nasori pernah
menjalani pelatihan militer di Libya dan pernah ikut bertempur melawan
Soviet bersama anggota mujahideen lainnya di Afganishtan (Gunaratna,
2013:188).
GMIP dan BRN diketahui memiliki hubungan yang erat. Berdasarkan
laporan yang diterima Thai International Security Operations Command,
GMIP menjadi organisasi frontier dari BRN. GMIP disinyalir merupakan
salah satu pelaksana dari rencana – rencana serangan yang disusun oleh BRN.
Karena pengaruh Jihad dalam organisasi ini, dalam melakukan serangannya
GMIP identik dengan pembunuhan ditempat umum, penculikan, pengeboman
dan sebagainya.
Keuangan GMIP didapat dari sumbangan dan bantuan keagamaan dari
negara seperti Saudi Arabia. Hal ini diduga berkaitan dengan kedekatan GMIP
dengan organisasi – organisasi yang menganut Jihad dari negara tersebut.
GMIP juga dilaporkan memiliki restoran masakan khas Thailand yang berdiri
di wilayah Kuala Trengganu, Malaysia. Selain dari sumber keuangan yang
legal, GMIP juga mendapatkan sumber keuangan dari kegiatannya yang
36
bersifat kriminal, seperti melakukan sabotase dan pembunuhan. Karena hal
inilah GMIP kemudian sering disalah artikan sebagai organisasi kriminal
biasa yang melakukan aksi hanya demi uang.
Dalam setiap tindakan yang dilakukan GMIP, anggotanya biasa
menggunakan persenjataan militer yang dapat dikatakan lengkap, seperti
senapan buru AK-47, M-16, HK-33, serta selalu memakai rompi anti peluru,
pistol 9mm dan perlengkapan merakit dan meletakkan bom. Kebanyakan
persenjataan ini didapatkan dari hasil melakukan penjarahan terhadap pos
polisi dan militer di Thailand Selatan, dan sebagian lagi didapatkan dari
membeli.
GMIP mulai mendapatkan respon yang serius dari pemerintah
Thailand pada awal tahun 2002 sejak GMIP melakukan serangan terhadap pos
polisi dan militer dan mencuri gudang persenjataan di 3 provinsi di Thailand
Selatan yaitu Yala, Narathiwat dan Patani. Pada tahun 2002 hingga 2004,
kelompok ini diklaim bertanggung jawab terhadap kematian 40 anggota
polisi. Serangan terhadap gudang senjata merupakan modus operandi
kelompok ini pada 5 tahun terakhir.