BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

29
7 BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase Drainase adalah salah satu bangunan air yang terbuat dari pasangan batu ataupun pasangan beton yang berfungsi untuk mengalirkan, mengalihkan ataupun membuang air buangan ataupun limpasan air hujan dari suatu wilayah. Sehingga tidak mengalami genangan akibat meluapnya air. (Suripin, 2004) Drainase merupakan infrastuktur perkotaan yang wajib untuk dibangun saat melakukan suatu pembangunan. Suatu manajemen mutu akan terlihat memiliki kualitas yang baik jika sistem drainase nya memiliki kualitas yang baik juga, karena dengan adanya penerapan sistem drainase yang baik, pembangunan kota akan terbebas dari adanya ancaman genangan air bahkan banjir. (Suripin, 2004) Drainase terbagi menjadi 2 konsep yaitu drainase konvensional dan drainase berwawasan lingkungan (Eco-drainage). Adapun penjelasannya dapat dilihat sebagai berikut: 2.1.1. Drainase Konvensional Konsep pada drainase konvensional yaitu air limpasan hujan yang masuk ke dalam drainase secepatnya harus dibuang atau dialirkan ke sungai tanpa meresapkan air ke dalam tanah. Konsep ini jika terus diterapkan maka akan berdampak negatif pada kondisi sungai. Dan akan terjadi penurunan tinggi muka air tanah (Maryono, 2007) Drainase dapat dibedakan sesuai dengan klasifikasinya, yaitu sebagai berikut: 1. Drainse berdasarkan dari sejarah terbentuknya a. Drainase Alamiah (Natural Drainage) Drainase ini terbentuk karena adanya gerusan air yang akhirnya membentuk jalan air permanen. b. Drainase Buatan (Arficial Drainage) Drainase yang dibuat dari pasangan beton ataupun pasangan batuu dengan maksud dan tujuan tertentu serta dibutuhkan bangunan pelengkap lainnya.

Transcript of BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

Page 1: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

7

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Drainase

Drainase adalah salah satu bangunan air yang terbuat dari pasangan batu ataupun

pasangan beton yang berfungsi untuk mengalirkan, mengalihkan ataupun

membuang air buangan ataupun limpasan air hujan dari suatu wilayah. Sehingga

tidak mengalami genangan akibat meluapnya air. (Suripin, 2004)

Drainase merupakan infrastuktur perkotaan yang wajib untuk dibangun saat

melakukan suatu pembangunan. Suatu manajemen mutu akan terlihat memiliki

kualitas yang baik jika sistem drainase nya memiliki kualitas yang baik juga,

karena dengan adanya penerapan sistem drainase yang baik, pembangunan kota

akan terbebas dari adanya ancaman genangan air bahkan banjir. (Suripin, 2004)

Drainase terbagi menjadi 2 konsep yaitu drainase konvensional dan drainase

berwawasan lingkungan (Eco-drainage). Adapun penjelasannya dapat dilihat

sebagai berikut:

2.1.1. Drainase Konvensional

Konsep pada drainase konvensional yaitu air limpasan hujan yang masuk ke

dalam drainase secepatnya harus dibuang atau dialirkan ke sungai tanpa

meresapkan air ke dalam tanah. Konsep ini jika terus diterapkan maka akan

berdampak negatif pada kondisi sungai. Dan akan terjadi penurunan tinggi muka

air tanah (Maryono, 2007)

Drainase dapat dibedakan sesuai dengan klasifikasinya, yaitu sebagai berikut:

1. Drainse berdasarkan dari sejarah terbentuknya

a. Drainase Alamiah (Natural Drainage)

Drainase ini terbentuk karena adanya gerusan air yang akhirnya

membentuk jalan air permanen.

b. Drainase Buatan (Arficial Drainage)

Drainase yang dibuat dari pasangan beton ataupun pasangan batuu dengan

maksud dan tujuan tertentu serta dibutuhkan bangunan pelengkap lainnya.

Page 2: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

8

2. Drainase Berdasarkan Letaknya

a. Drainase Atas Permukaan (Surface Drainage)

Berfungsi untuk mengalirkan atupun membuang limpasan air hujan yang

berada di atas permukaan tanah. Sesuai dengan fungsi nya maka drainase

ini dibuat di atas permukaan tanah.

b. Drainase Bawah Permukaan (Subsurface Drainage)

Berfungsi untuk mengalirkan atau membuang air limpasan hujan ataupun

air buangan melalui pipa yang terpasang di bawah permukaan tanah.

Drainase jenis ini diterapkan karena adanya nya tuntunan artistik dan

keperluan tertentu seperti pada lapangan sepak bola, bandara, atapun

lainnya.

3. Drainase Menurut Fungsi

a. Single Purpose

Saluran ini dibuat bertujuan unutk membuang satu jenis air buangan saja,

yaitu bisa berupa air hujan saja ataupun air buangan rumah tangga ataupun

air limbah pabrik saja.

b. Multi Purpose

Saluran ini dibuat bertujuan unutk membuang beberapa jenis air buangan,

secara bergantian maupun bercampur. Contohnya yaitu drainase yang ada

di perumahan selain sebagai air buangan hujan juga dapat digunakan

sebagai air buangan rumah tangga.

4. Drainase Menurut Konstruksi

a. Saluran Terbuka

Saluran drainase ini memiliki penampang permukaan yang terbuka,

biasanya diterapkan untuk drainase yang menampung air hujan di daerah

dengan area yang luas, syarat untuk menerapkan drainase jenis ini yaitu air

buangan yang masuk ke drainase ini nantinya tidak menggangu kesehatan

maupun linkungan.

b. Saluran Tertutup

Saluran drainase ini memiliki penampang permukaan yang tertutup karena

pada saluran drainase ini digunakan untuk membuang air buangan kotor

yang dapat mengganggu kesehatan ataupun menggagu kenyamanan

Page 3: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

9

lingkungan. Biasanya diterapkan di kota atau permukiman padat penduduk

ataupun pada daerah pabrik.

Tabel 2. 1. Kala Ulang Untuk Desain Drainase

Tipelogi Kota Daerah Tangkapan Air (Ha)

< 10 10 - 100 101 – 500 > 500

Kota Metropolitan 2 th 2 - 5 th 5 - 10 th 10 - 5 th

Kota Besar 2 th 2 - 5 th 2 - 5 th 5 - 20 th

Kota Sedang 2 th 2 - 5 th 2 - 5 th 5 - 10 th

Kota Kecil 2 th 2 th 2 th 2 -5 th

Sumber: Permen PU No. 12 Tahun 2014 Tentang Drainase Perkotaan

2.1.2. Drainase Berwawasan Lingkungan (Eco-Drainage)

Eco-Drainage atau drainase berwawasan lingkungan merupakan usulan pada

tahun 2001 oleh Dr. Ing. Ir. Agus Maryono dengan judul Pembangunan Sungai:

Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai. Eco-

Drainage atau drainase berwawasan lingkungan merupakan upaya untuk

meresapkan air limpasan hujan sebanyak banyaknya ke dalam tanah, selain itu

pada konsep ini bertujuan untuk menjaga konservasi air tanah dan meningkatkan

cadangan air pada tanah. (Maryono, 2001)

Berdasarkan pada Kementerian PU tahun 2011 mengenai Drainase Berwawasan

Lingkungan, untuk penanganan dengan metode Eco-Drainage dapat dibagi

menjadi 3 wilayah penanganan yaitu sebagai berikut:

1. Wilayah Hulu

Limpasan air hujan dialirkan untuk kemudian diresapkan (pola retensi).

2. Wilayah Tengah

Limpasan air hujan dialirkan ke kolam tampungan untuk ditampung sementara

atau diresapkan bila memungkinkan (gabungan pola retensi dan detensi).

3. Wilayah Hilir

Air limpasan dialirkan melalui saluran drainase ke waduk atau kolam untuk

penampungan sementara (pola detensi) sebelum dialirkan atau dipompa ke

badan air (sungai atau laut).

Untuk metode Eco-drainage dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan di suatu wilayah. Adapun beberapa contoh metode Eco-Drainage

adalah sebagai berikut:

Page 4: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

10

1. Lubang Resapan Biopori

merupakan lubang yang dibuat tegak lurus ke dalam tanah dengan diameter

antara 10-30 cm dan tidak memiliki muka air tanah dangkal.

2. Sumur Resapan

Merupakan bangunan yang dibuat seperti sumur gali dengan kedalaman

minimal 2 meter di atas tinggi muka air tanah dan yang berfungsi sebagai

tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap

air dan meresapkannya ke dalam tanah.

3. Kolam Konservasi (detensi atau retensi)

Kolam retensi merupakan bangunan penunjang drainase yang memiliki fungsi

untuk meresapkan dan menampung air hujan yang masuk kedalam kolam

retensi di suatu wilayah. Sedangkan kolam detensi merupakan kolam

tampungan sementara sebelum air dialirkan atau di pompa ke sungai atau laut.

4. Parit Infiltrasi

Parit infiltrasi merupakan suatu galian yang diisi kembali dengan batuan

sehingga membentuk cekungan di bawah permukaan tanah yang berfungsi

untuk menampung limpasan air hujan. Limpasan tersebut akan tersimpan dan

terinfiltrasi ke dalam tanah setelah beberapa hari.

5. Rorak

Rorak merupakan saluran buntu atau lubang-lubang buntu dengan ukuran

tertentu yang berfungsi untuk menjebak atau menangkap aliran permukaan dan

tanah yang tererosi serta dapat bermanfaat sebagai tempat penampungan bahan

organik.

7. Penampung Air Hujan (PAH)

Penampungan Air Hujan (PAH) adalah wadah untuk menampung air hujan

sebagai air baku, yang penggunaannya bersifat individual atau komunal. PAH

digunakan untuk mengumpulkan dan menyimpan limpasan air hujan, biasanya

dari atap dengan menggunakan bantuan pipa.

2.1.3. Peran Drainase

Menurut Suripin (2014) sistem drainase memiliki peran yang sangat penting untuk

suatu wilayah, yaitu sebagai berikut:

Page 5: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

11

1. Berfungsi untuk mengalirkan, mengalihkan ataupun membuang air buangan

ataupun air berlebih dari suatu wilayah;

2. Dapat digunakan sebagai pengendalian air di permukaan seperti mengindari

terjadinya genangan air ataupun banjir;

3. Menjaga tinggi muka air tanah agar berada pada tingkat atau level yang ideal;

4. Menjaga agar tidak mengalami erosi pada tanah, kerusakan pada jalan serta

kerusakan pada bangunan di wilayah tersebut;

5. Mampu mengendalikan limpasan air hujan.

2.1.4. Konservasi Air Tanah

Konservasi air tanah merupakan upaya untuk memasukkan atau meresapkan air ke

dalam tanah untuk meningkatkan laju infiltrasi guna pengisian air tanah. Selain itu

berfungsi untuk menjaga tinggi muka air tanah agar berada pada pada level atau

tingkat yang ideal. (Mulyana, 1998)

2.2. Banjir

Menurut Rahayu (2009) banjir ialah dimana tergenangnya wilayah akibat

meluapnya air pada saluran pembuangan karena kapasitas pada saluran

pembuangan sudah tidak memadai lagi. Banjir juga merupakan ancaman pada

ssaat mussim hujan. Adapun dampak dari banjir yaitu masyarakat akan mengalami

kerugian baik secara fisik, ekonomi maupun lingkungan.

Sedangkan menurut Suripin (2004) banjir merupakan peristiwa meluapnya air

akibat saluran pembuang tidak mampu menampung debit yang terjadi. Hal ini

dapat disebabkan karena kurangnya kapasitas tampungan pada saluran pembuang

ataupun karena adanya sumbatan aliran air pada drainase ataupun saluran

pembuang.

2.3. Analisis Hidrologi

Analisi Hidrologi pada penelitian ini dilakukan untuk merencanakan beban aliran

yang dapat ditampung pada drainase dengan berdasarkan Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No. 12/PRT/M/2014 Tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase

Perkotaan.

Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan cara melakukan pengolahan data

seperti pada curah hujan, luas area dan bentuk daerah pengaliran (catchment

Page 6: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

12

area), kemiringan tanah, dan data tata guna lahan pada daerah tersebut. Nantinya

data ini digunakan untuk menghitung curah hujan maksimum, koefisien

pengaliran (C), waktu konsentrasi (tc), intensitas curah hujan (I), serta debit banjir

rencana (Q) pada daerah tersebut.

2.3.1. Uji Konsistensi atau Validasi Data Hujan

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi dan validasi data hujan

pada stasiun hujan yang dipakai. Berdasarkan Soewarno 1987, terdapat dua jenis

pengujian yang dapat dilakukan yaitu Uji Lengkung Massa Ganda (Double Mass

Curve) dan Uji RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums). Uji Lengkung Massa

Ganda (Double Mass Curve) dilakukan dengan caara membandingkan curah hujan

tahunan dengan curah hujan rata–rata pada stasiun hujan yang digunakan adapun

dilakukan untuk mengetahui adanya penyimpangan data hujan atau tidak pada

stasiun hujan tersebut, jika tidak mengalami penyimpangan data hujan maka data

hujan dapat dipakai untuk perhitungan hidrologi. Sedangkan Uji RAPS merupakan

pengujian dengan membandingkan nilai Qhitung dan Qkritis serta Rhitung dan Rtabel.

Jika Qhitung < QKritis dan Rhitung < Rkritis maka data hujan dapat diterima.

Tabel 2. 2. Nilai Qkritis dan Rkritis

N

Nilai Q/(n^0,5) dan R/(n^0,5)

Q/(n^0,5) R/(n^0,5)

90% 95% 99% 90% 95% 99%

10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38

20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,6

30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70

40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74

50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78

100 1,17 1,29 1,55 1,5 1,62 1,86

1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00

Sumber: Sri Harto (1993)

Pada penelitian ini pengujian data hujan yang dilakukan yaitu dengan

menggunakan Uji RAPS dengan Persamaan sebagai berikut:

(2.1)

i-x (2.2)

Sk ( i-x)n ( i-x)

n (2.3)

y i-x

n (2.4)

Page 7: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

13

Dy = √∑ y (2.5)

Sk** = Sk

y (2.6)

R = Sk** max – Sk** min (2.7)

Qhitung =

√ (2.8)

Rhitung = R

√n (2.9)

Dimana:

x = Rata- rata curah hujan

= Curah hujan ke-n

Sk = Selisih curah hujan ke-n

Q = Sk** max

2.3.2. Curah Hujan Wilayah

Metode Aljabar dapat digunakan untuk menghitung curah hujan wilayah. Pada

metode ini stasiun hujan yang dapat dihitung adalah yang berada di dalam DAS,

dan stasiun yang berada di luar DAS dengan jarak yang paling dekat dari suatu

wilayah masih bisa dihitung dengan menggunakan metode ini. metode ini dapat

digunakan jika :

1. Lokasi penelitian berada pada daerah yang datar

2. Luas daerah penelitian ˂ 50.000 hektar

Cara ini dapat diperoleh dari Persamaan:

Xi =

n max max … maxn (2.10)

Dimana :

Xi = Curah hujan wilayah (mm)

n = Banyak stasiun pengamatan

CH max1, CH max2, CH maxn = Besar curah hujan di stasiun hujan ke-1, ke-2 dan

ke-n (mm)

2.3.3. Penentuan Analisis Frekuensi

Analisis Frekuensi merupakan upaya untuk memperkirakan suatu probabilitas

hidrologi yang akan terjadi pada kala ulang tertentu yang biasanya dalam bentuk

Page 8: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

14

debit ataupun curah hujan rencana (Sri Harto, 1993). Adapun Parameter statistik

dapat dihitung dengan Persamaan sebagai berikut:

x ∑ i

n (2.11)

Sd √∑ (xi - x)

ni

n- (2.12)

s n ∑ {(xi)-x }

ni

(n- )(n- )Sd (2.13)

k

n∑ {(xi)-x }

ni

Sd (2.14)

v Sd

x (2.15)

Dimana :

Sd = Standar deviasi

Xi = Curah hujan ke-n

Cs = Koefisien Kemencengan

x = Rata-rata curah hujan

Ck = Koefisien kurtosis

n = Banyak data

Cv = Koefisien variasi curah hujan

2.3.4. Analisis Curah Hujan Rancangan

Dalam menghitung analisis curah hujan rancangan dapat dihitung dengan

menggunakan beberapa metode, yaitu sebagai berikut:

1. Distribusi Normal

Persamaan yang dapat digunakan:

XT = X + KT × S (2.16)

Dimana:

XT = Curah hujan rencana

X = Rata-rata varian

S = Deviasi standar

Page 9: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

15

KT = Faktor frekuensi

2. Distribusi Log Normal

Mencari nilai yang diharapkan dengan periode ulang tertentu

Log XT = Log X + (KT × S Log X) (2.17)

Mencari nilai rata-rata varian

(2.18)

Mencari nilai deviasi standar varian

S log X = ∑ log i-∑ log

n- (2.19)

Perkiraan curah hujan rancangan

Rt = Xr + Kt × S (2.20)

Dimana:

XT = Curah hujan rencana dengan periode ulang T tahun

X = Rata-rata varian

S = Deviasi standar

KT = Faktor frekuensi

Rt = Curah hujan rancangan

3. Distribusi Gumbel

Mencari nilai Reduce variant

t - ln -lnTr-

Tr] (2.21)

Dimana:

Yt = Nilai Reduce variant

Tr = Kala ulang

Mencari nilai koefisien frekuensi gumbel (K):

(2.22)

Dimana:

Yn = Nilai Reduced mean

Sn = Nilai Reduce standart

Ytr = Nilai Reduce variant

Page 10: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

16

Menghitung curah hujan rancangan (Rt)

Rt = √ r Sd (2.23)

Dimana:

Rt = Curah hujan rencana dengan kala ulang tertentu

Xr = Harga rata-rata

K = Koefisien frekuensi Gumbel

Sd = Deviasi standar

4. Distribusi Log Pearson III

Menurut Seowarno (1995) Persamaan yang dapat digunakan untuk Metode

Log Pearson III ini adalah sebagai berikut:

Menghitung koefisien kemecengan

Cs = n ∑ log i-∑ log

(n- ) (n.- ) S log (2.24)

Menghitung nilai curah hujan kala ulang tertentu

Log Xt = Log Xr + Koefisien G × Sd (2.25)

Menghitung nilai standar deviasi

Sd = ∑ (∑ ∑ )

(2.26)

Menghitung curah hujan rancangan pada kala ulang tertentu

Rt = (2.27)

Dimana:

XT = Curah hujan rencana (mm)

X = Nilai rata-rata variant

Sd = Standar Deviasi

KT = Faktor frekuensi

Page 11: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

17

Tabel 2. 3. Pemilihan Jenis Distribusi JENIS DISTRIBUSI SYARAT

Normal s ≈ 0

Ck = 3

Gumbel s ≤ , 96

k ≤ 5, 00

Log Pearson III s ≠ 0

Log Normal s ≈ v v ²

Ck = 5,383

Sumber: Sutiono. Dkk

2.3.5. Uji Kesesuaian Distribusi

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi yang dipakai merupakan

distribusi yang tepat atau tidak untuk dipakai di suatu daerah. Pada pengujian ini

terdapat dua macam pengujian yang dapat dilakukan, yaitu Uji Chi Kuadrat (Chi-

Square Test) dan Uji Smirnov-Kolmogorov.

1. Uji Chi Kuadrat (Chi- Square Test)

Pengujian ini digunakan untuk Persamaan distribusi yang dipakai sudah tepat

atau belum. Parameter X2 didapatkan dari Persamaan sebagai berikut:

K = 1 + ( 3,3 log n ) (2.28)

Dk = K – (P +1) (2.29)

Ef = n

(2.30)

∆ = max - min

n (2.31)

P(X)n = X min – (1/2 ∆ (2.32)

P(X)n+1 = P(X)n ∆ (2.33)

X n 2 = ∑

f-Of

f

i (2.34)

Dimana:

K = Jumlah kelas

P = Nilai untuk distribusi normal dan binomal = 2 dan untuk distribusi

poisson =1

∆ = Lebar kelas

DK = Derajat Kebebasan

Xh 2

= Nilai Chi-Kuadrat

Page 12: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

18

Of = Nilai yang diamati dari kelas atau kelompok

Ef = Nilai teoritis dari kelas atau kelompok

n = Banyaknya parameter

2. Uji Smirnov Kolmogorov

Menurut Soewarno (1995) pengujian ini dilakukan untuk mencari selisih dari

nilai peluang empiris (PX dengan nilai peluang teoritis P’ m . Berikut

merupakan Persamaan yang dapat digunakan, yaitu:

P(X) = m

n =

0 (2.35)

P(X<) = 1 – P (2.36)

P'(X) = m

n- =

0- (2.37)

P'(X<) = 1 – P' (2.38)

Do = [P(X<) - P'(X<)] (2.39)

Dimana:

P(X) = Peluang empiris

P'(X) = Peluang teoritis

m = Rangking data

n = Banyak data

Do = Selisih antara Peluang empiris dan peluang teoritis

Nilai Do didapatkan dari Tabel 2.4. Apabila nilai Do max ˃ o kritis maka

distribusi teoritis yang digunakan dianggap salah atau tidak dapat diterima.

Dan sebaliknya jika nilai Do max ˂ o kritis maka distribusi teoritis yang

digunakan dianggap benar atau dapat diterima.

Tabel 2. 4. Nilai Do Untuk Uji Smirnov Kolmogorov

N A

0,2 0,1 0,05 0,01

5 0,368 0,41 0,56 0,67

10 0,32 0,37 0,41 0,49

20 0,23 0,26 0,29 0,36

25 0,21 0,24 0,27 0,32

35 0,18 0,2 0,23 0,27

40 0,17 0,19 0,21 0,25

45 0,16 0,18 0,2 0,24

50 0,15 0,17 0,19 0,23

N >

50 1,07 / (N1/2) 1,22 / (N1/2) 1,36 / (N1/2) 1,63 / (N1/2)

Sumber: Soewarno, 1995

Page 13: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

19

2.3.6. Analisis Intensitas Hujan

Tinggi hujan pada setiap satuan waktu disebut dengan intensitas hujan. Besarnya

intensitas hujan pada suatu daerah yaitu berbeda-beda hal ini dilihat dari lamanya

curah hujan dan frekuensi yang terjadi pada daerah tersebut. Berdasarkan pada

Permen PU No.12/PRT/M/2014 intensitas hujan dapat dihitung dengan Metode

Mononobe, adapun metode ini digunakan untuk menghitung intensitas hujan

setiap waktunya dengan menggunakan data hujan harian. adapun persamaan

Metode Mononobe, yaitu sebagai berikut :

R

(

t)

(2.40)

Dimana :

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

t = Durasi curah hujan (jam)

R24 = Curah hujan rencana kala ulang tertentu

2.3.7. Waktu Konsentrasi (tc)

Waktu konsentrasi (tc) adalah lama waktu yang diperlukan aliran air dari titik

terjauh drainase sampe ke titik yang ditinjau. Untuk mendapatkan nilai Tc perlu

diketahui dahulu waktu aliran permukaan (to) dan waktu aliran di saluran (ts).

Berdasarkan dari Permen PU No.12/PRT/M/2014 untuk Perhitungan Waktu

konsentrasi (tc) dapat menggunakan Persamaan Kirpich (1940), yaitu sebagai

berikut:

Waku aliran permukaan (to) dengan Persamaan Kirpich (1940) :

to 0,0 95L0,77

S-0,

(2.41)

Perhitungan waktu aliran di saluran (ts):

ts L

60 (2.42)

Menghitung waktu konsentrasi (tc):

t to ts (2.43)

Dimana:

tc = Waktu konsentrasi (menit)

to = Lama aliran di permukaan (menit)

Page 14: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

20

ts = Lama aliran di dalam saluran (menit)

L = Panjang saluran total drainase (m)

Lo = Panjang saluran dari titik terjauh sampai titik yang ditinjau (m)

S = Kemiringan dasar pada saluran

V = Kecepatan aliran pada saluran (m/detik)

2.3.8. Analisis Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran (C) merupakan perbandingan antara volume aliran

permukaan dengan volume hujan yang jatuh, nilai C juga dapat digunakan sebagai

indikator gangguan fisik dalam suatu DAS. Nilai C semakin besar menunjukkan

bahwa semakin banyak air hujan yang menjadi limpasan permukaan dan

sebaliknya nilai C semakin kecil makan semakin banyak air yang terinfiltrasi ke

dalam tanah. Sedangkan Ckomposit merupakan penjumlahan nilai C dari sinkronisasi

tata guna lahan. Adapun berdasarkan Permen PU No.12/PRT/M/2014 perhitungan

Ckomposit dapat dilihat pada persamaan sebagai berikut:

Ckomposit = ∑( )

∑ (2.44)

Dimana:

Ckomposit = Total Koefisien pengaliran dari sinkronisasi tata guna lahan pada

lokasi penelitian

C = Koefisien pengaliran

A = Luas daerah pengaliran (km2)

Tabel 2. 5. Koefisien Pengaliran (C) Tataguna lahan C Tataguna lahan C

Perkantoran Tanah Lapang

Daerah Pusat kota 0.070-0.95 Berpasir, datar, 2% 0.05-0.10

Daerah sekitar kota 0.50- 0.70 Berpasir,agak rata, 2-7% 0.10-0.15

Perumahan Berpasir, miring, 7% 0.15-0.20

Rumah Tinggal 0.30-0.50 Tanah berat, datar, 2% 0.13-0.17

Rumah Susun, terpisah 0.40-0.60 Tanah berat, agak rata, 7% 0.18-0.22

Rumah susun, bersambung 0.60 0.75 Tanah berat, miring, 7% 0.25-0.35

Pinggiran kota 0.25-0.40 Tanah Pertanian, 0-30%

Daerah Industri Tanah kosong

Kurang padat industri 0.50-0.80 - Rata 0.30-0.60

Page 15: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

21

Tataguna lahan C Tataguna lahan C

Padat industri 0.60-0.90 - Kasar 0.20-0.50

Taman, kuburan 0.10-0.25 Ladang Garapan

Tempat bermain 0.20-0.35 - Tanah berat, tanpa vegetasi 0.30-0.60

Daerah Stasiun KA 0.20-0.40 - Tanah berat, dengan vegetasi 0.20-0.50

Daerah tak berkembang 0.10-0.30 - Berpasir, tanpa vegetasi 0.05-0.10

Jalan Raya - Berpasir, dengan vegetasi 0.20-0.25

Beraspal 0.70-0.95 Padang Rumput 0.10-0.285

Berbeton 0.80-0.95 - Tanah berat 0.15-0.45

Berbatu bata 0.70-0.85 - Berpasir 0.05-0.25

Trotoar 0.75-0.85 Hutan/Bervege 0.05-0.25

Daerah beratap 0.75-0.95 Tanah tidak Produktif, >30%

1. Rata, kedap air 0.70-0.90

2. Kasar 0.50-0.70

Sumber : Asdak, 2001;164

2.3.9. Analisis Debit Banjir Rencana

Analisis debit banjir pada penelitian ini didapatkan dari penjumlahan debit

limpasan hujan dan debit air buangan rumah tangga. Adapun persamaannya

adalah sebagai berikut:

Qrencana = Qlimpasan hujan + Qair Buangan (2.45)

Dimana:

Qrencana = Debit Banjir Rencana

Qlimpasan hujan = Debit Limpasan Hujan

Qair Buangan = Debit Air Buangan

1. Analisis Debit Limpasan Hujan

Menurut Suripin (2014) untuk melakukan analisis debit limpasan hujan

metode yang sering digunakan adalah Metode Rasional USSCS (1973).

Metode Rasional USSCS (1973) dapat digunakan apabila wilayah tersebut

memiliki luas pengaliran ˂ 00 ha. Metode ini dikembangkan berdasarkan dari

asumsi curah hujan memiliki intensitas hujan yang seragam dan merata di

seluruh daerah pengaliran. Persamaan Metode Rasional, yaitu sebagai berikut:

Q 0, 78 komposit (2.46)

Page 16: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

22

Dimana :

Q = Debit limpasan hujan (m3/detik)

0,278 = Konstanta, nilai ini dapat digunakan jika satuan luas daerah

menggunakan km2 dan intensistas hujan menggunakan mm/jam

Ckomposit = Koefisien pengaliran dari sinkronisasi tata guna lahan pada

lokasi penelitian

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

A = Luas daerah pengaliran (km2)

2. Analisis Debit Air Buangan

Debit air buangan ini merupakan air buangan yang berasal dari aktifitas

penduduk seperti mandi, mencuci, dan lainnya yang berasal dari rumah

tangga. Untuk menghitung analisis debit buangan dapat menggunakan Metode

Geometri. Metode Geometri merupakan proyeksi perhitungan penduduk yang

didasarkan pada kenaikan rata-rata penduduk pertahun. Pada metode ini tidak

memperhatikan penurunan jumlah penduduk. Persamaan Metode Geometri,

yaitu sebagai berikut :

Pn= Po × (1+r)dn

(2.47)

Qair buangan =

× 70 % (2.48)

Dimana:

Pn = Jumlah penduduk setelah n tahun (jiwa)

Po = Jumlah penduduk di awal tahun proyeksi (jiwa)

r = Rata-rata pertumbuhan tiap tahun (%)

dn = Kurun waktu proyeksi (tahun)

Qair buangan = Air buangan rumah tangga (liter/detik)

Tabel 2. 6. Pemakaian Air Bersih No Penggunaan Gedung Pemakaian Air Satuan

1 Rumah tinggal 120 liter/orang/hari

2 Rumah susun 100 liter/orang/hari

3 Asrama 120 liter/orang/hari

4 Rumah Sakit 500 liter/tempat tidur pasien/hari

5 Sekolah Dasar 40 liter/siswa/hari

6 SLTP 50 liter/siswa/hari

7 SMU/SMK dn lebih tinggi 80 liter/siswa/hari

8 Ruko/Rukan 100 liter/orang/hari

9 Kantor/Pabrik 50 liter/orang/hari

Page 17: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

23

No Penggunaan Gedung Pemakaian Air Satuan

10 Toserba,toko pengeceran 5 liter/m2

11 Restoran 15 liter/kursi

12 Hotel berbintang 250 liter/tempat tidur/hari

13 Hotel Melati/Penginapan 150 liter/tempat tidur/hari

14 Gd.pertunjukan ,Biskop 10 liter/kursi

15 Gd.Serba Guna 25 liter/kursi

16 Stasiun ,terminal 3 liter/penumpang

17 Peribdatan 5 liter/orang

Sumber: SNI 03-7065-2005

2.4. Analisis Hidrolika

Analisis hidrolika dapat digunakan sebagai upaya untuk mengetahui kemampuan

penampang drainase dalam menampung debit air yang direncanakan. Analisis

hidrolika dapat dilakukan setelah mendapatkan data-data dari analisis hidrologi.

Menurut Sunjoto dalam perencanaan drainase terdapat syarat dalam membuat

freeboard atau tinggi jagaan yaitu sebesar 5%-30% dari kedalaman rencana.

Menurut Suripin (2004) untuk melakukan perhitungan analisis hidrolika dapat

menggunakan Metode Manning, yaitu dengan persamaan sebagai berikut:

Q (2.49)

h (2.50)

P h (2.51)

R

P (2.52)

(2.53)

S= –

(2.54)

W = f × h (2.55)

Dimana:

Q = Debit rencana (m³/detik)

V = Kecepatan aliran pada saluran (m/detik)

a = Luas penampang basah (m²)

b = Lebar dasar saluran (m)

f = 5% - 30%

h = Tinggi basah kedalaman air (m)

R = Jari-jari (m)

Page 18: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

24

P = Keliling penampang basah (m)

n = Koefisien kekasaran

S = Kemiringan dasar saluran

L = Panjang saluran drainase (m)

H1 = Elevasi Hulu (m)

H2 = Elevasi Hilir (m)

w = Freeboard/Tinggi Jagaan (m)

Gambar 2. 1. Penampang Drainase

Tabel 2. 7. Koefisien Kekasaran Manning

No. Tipe saluran dan Jenis Bahan Nilai N

Minimum Normal Maksimum

1 Beton

Gorong - gorong lurus dan bebas dari kotoran 0,001 0,011 0,013

Gorong - gorong dengan belokan dan sedikit

kotoran 0,001 0,013 0,014

Beton dipoles 0,011 0,012 0,014

Saluran pembuangan dengan bak kontrol 0,013 0,015 0,017

2 Tanah, Lurus, dan Seragam

Bersih baru 0,016 0,018 0,02

Bersih telah lapuk 0,018 0,022 0,025

Berumput pendek, terdapat tanaman

pengganggu 0,022 0,025 0,033

3 Saluran Alam

Bersih lurus 0,025 0,03 0,033

Bersih, berkelok-kelok 0,033 0,04 0,045

Banyak tanaman penggangu 0,05 0,07 0,08

Dataran banjir, berumput 0,025 0,03 0,035

Saluran semak belukar 0,035 0,05 0,07

Sumber: Suripin, 2004

2.5. Kolam Retensi

Kolam retensi merupakan bangunan penunjang drainase yang memiliki fungsi

untuk meresapkan dan menampung air hujan yang masuk kedalam kolam retensi

di suatu wilayah. Selain itu kolam retensi juga dapat digunakan sebagai upaya

Page 19: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

25

untuk menjaga level atau tinggi muka air agar berada pada level yang ideal.

Kolam retensi juga dapat digunakan sebagai ruang sosial terbuka, tempat wisata

dan olahraga bagi masyarakat sekitar. (Cipta Karya, 2013).

Terdapat 2 jenis kolam retensi berdasarkan dari sejarah terbentuknya, yaitu kolam

retensi alami dan kolam retensi non alami atau buatan. Kolam retensi alami

merupakan kolam retensi yang terbentuk secara alamiah karena adanya cekungan

akibat air yang meresap ke dalam tanah yang terjadi secara terus menerus di lokasi

tersebut. Kolam retensi alami ini biasanya digunakan masyarakat sebagai kolam

penyimpanan.

Sedangkan pada kolam retensi non alami merupakan kolam retensi yang

diterapkan sesuai dengan desain yang telah direncanakan dengan bentuk dan

kapasitas yang dibutuhkan pada suatu wilayah, dengan menggunakan bahan

material seperi pasangan batu dan beton. Pada kolam jenis ini, kolam retensi harus

memiliki kapasitas tampungan sesuai dengan curah hujan dan debit banjir yang

telah direncanakan. Sehingga kolam retensi ini nantinya dapat berguna sebagai

sarana penunjunag untuk mengurangi ataupun mencegah banjir pada saat hujan

tiba, dikarenakan kolam retensi ini dapat digunakan sebagai daerah resapan air

limpasan hujan serta tampungan air hujan. (Kemen.PUPR, 2014)

Kolam retensi memiliki fungsi untuk menyerapkan air kedalam tanah guna untuk

menjaga konservasi air tanah pada suatu wilayah. Kolam retensi juga memilik

fungsi untuk menampung serta menyerapkan air limpasan hujan ke dalam tanah.

Selain itu dapat digunakan sebagai upaya untuk mengurangi banjir maupun

genangan di wilayah tersebut.

2.5.1. Perhitungan Debit Air Masuk dan Volume Air Masuk

Menurut Florince (2015), untuk menghitung debit air masuk (Qin) dan volume air

masuk (Vin) pada kolam retensi yaitu berdasarkan dari selisih debit banjir dengan

debit exsisting drainase, dimana aliran air pada drainase exsisting tidak hanya di

alirkan ke kolam retensi tetapi di alirkan ke saluran pembuang seperti sungai

ataupun laut. Maka dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:

Qin = Qrencana – Qeksisting (2.56)

Page 20: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

26

Tetapi jika kolam retensi berfungsi untuk menampung dan meresapkan semua

debit limpasan yang ada maka dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:

Qin = Qrencana (2.57)

Vin = Qin × durasi hujan × 60 (2.58)

Dimana:

Qin = Debit air masuk (m3/detik)

Vin = Volume air masuk (m3)

Qrencana = Debit banjir rencana kala ulang tertentu (m3/detik)

Qeksisting = Debit pada drainase eksisting (m3/detik)

2.5.2. Perhitungan Dimensi Kolam Retensi

Dimensi kolam retensi dapat diketahui berdasarkan pada perhitungan volume air

yang telah direncanakan. Kolam retensi dapat diterapkan jika volume rencana

(Vrencana) > volume air masuk (Vin). Adapun Persamaan yang dapat digunakan

adalah sebagai berikut:

A= P × L (2.59)

(2.60)

Dimana :

P = Panjang (m)

L = Lebar (m)

V = Volume tampungan kolam retensi (m3)

A = Luas kolam retensi (m2)

H = Tinggi kolam retensi (m)

2.5.3. Perhitungan Dinding dan Pondasi Kolam Retensi

Dinding penahan tanah pada perencanaan kolam retensi ini berfungsi untuk

menahan tanah agar tidak terjadi keruntuhan atau longsor akibat beban yang ada di

permukaan tanah. Sedangkan fungsi pondasi pada perencanaan kolam retensi ini

yaitu bagian utama yang berfungsi untuk menompang beban bangunan diatas nya

agar menghasilkan bangunan yang kokoh dan terhindar dari keruntuhan atau

longsor.

Page 21: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

27

Berdasarkan dari spesifikasi teknis serta peraturan mengenai perencanaan dinding

penahan tanah atau talud pada SNI 8460:2017 bahwa untuk perencanaan dimensi

dinding serta pondasi dari kolam retensi memiliki beberapa ketentuan dalam

menentukan tinggi serta lebar dari dinding dan pondasi nya, adapun ketentuan ini

diterapkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lokasi perencanaannya.

Adapun ketentuan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

A = 30 cm sampai

(2.61)

B =

sampai

(2.62)

D =

8 sampai

6 (2.63)

E =

sampai (2.64)

Dimana:

H = Kedalaman atau ketinggian dinding (m)

A = Lebar permukaan dinding (m)

B = Lebar total dasar pondasi (m)

D = Tinggi pondasi (m)

E = Lebar sisi pondasi (m)

Gambar 2. 2. Ketentuan Perencanaan Dinding Penahan Tanah

Sumber: SNI 8460:2017

Page 22: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

28

2.5.4. Perhitungan Stabilitas Dinding Kolam Retensi

Konstruksi yang paling sering digunakan dalam dinding penahan tanah adalah

beton atau pasangan batu, dimana memiliki tinggi kurang dari 5 meter. Analisis

stabilitas lereng biasanya digunakan untuk menentukan dimensi dinding penahan

tanah agar stabil terhadap gaya-gaya yang bekerja seperti seperti stabilitas gaya

geser, gaya guling, dan gaya dukung. Konstruksi dinding penahan dikatakan baik

jika dapat menahan gaya-gaya yang terjadi. Dinding penahan tanah di katakan

baik atau stabil jika F daya dukung tanah ≥ ,5, F geser ≥ , dan F guling ≥ ,5

(Mayerhof,1955)

Berikut merupakan tahapan dalam melakukan perhitungan terhadap stabilitas gaya

guling, gaya geser, dan gaya dukung:

1. Menghitung Tekanan Vertikal

a. Berat Atau Beban Vertikal

ΣV = W1 + W2 … Wn (2.65)

b. Momen Vertikal

ΣMV = (W1 × L1) + (W2 × L2) … Wn × Ln) (2.66)

2. Menghitung Tekanan Horizontal

a. Menghitung Tekanan Horizontal Aktif (Pa)

Ka = tan2 (45 -

) (2.67)

Pa =

√ (2.68)

ΣMHpa = (Pa1 × L1) + (Pa2 × L2) … Pan × Ln) (2.69)

b. Menghitung Tekanan Horizontal Pasif (Pp)

Kp = tan2 (45 +

) (2.70)

Pp =

√ (2.71)

ΣMHpp = (Pp1 × L1) + (Pp2 × L2) … Ppn × Ln) (2.72)

c. Menghitung Berat Atau Beban Horizontal

ΣH = ΣPa – ΣPp (2.73)

d. Menghitung Momen Horizontal

ΣMH = ΣMPa – ΣMPp (2.74)

Page 23: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

29

3. Menghitung Stabilitas Guling

FSGuling =

(2.75)

4. Faktor Keamanan Terhadap Geser

FSGeser =

(2.76)

5. Faktor Keamanan Terhadap Daya Dukung Tanah

a. Menghitung Daya Dukung Terhadap Tanah dasar

e =

( )

˂

(2.77)

b. Menghitung qmaksimum dan qminimum

qmax =

(

) (2.78)

qmax =

(

) (2.79)

c. Menghitung Faktor Daya Dukung

Fcd = 1 + 0,4 (

) (2.80)

Fqd = 1 + 2 tanϕ (1-sinϕ)2 (

) (2.81)

Fγd = 1 (2.82)

ψ = tan-1

(2.83)

Fci = Fqi = (

)2

(2.84)

Fγi = (

)2

(2.85)

d. Menghitung qult

qult = c.Nc.Fcd.Fci + (γ.E).Nq.Fqd.Fqi ½. γ. (B-2e).Nγ.Fγd.Fγi (2.86)

e. Menghitung FSbearing

FSbearing=

(2.87)

Dimana:

W = Berat atau beban

L = Jarak (m)

ΣV = Jumlah Berat atau beban

Page 24: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

30

Pa = Tekanan Aktif Horizontal

Pp = Tekanan Pasif Horizontal

ΣMHpa = Momen Aktif Horizontal

ΣMHpp = Momen Pasif Horizontal

Ka = Koefisien Aktif

Kp = Koefisien Pasif

FSGuling = Keamanan Terhadap Guling

FSGeser = Keamanan Terhadap Geser

FSbearing = Keamanan Terhadap Daya Dukung Tanah

Nc, Nq, Nγ = Faktor daya dukung yang tergantung pada sudut geser

Tabel 2. 8. Hubungan Sudut Geser dalam dengan Jenis Tanah Jenis Tanah Sudut Geser

Kerikil Kepasiran 35 - 40

Kerikil 35 - 40

Pasir 30 - 40

Lempung 25 - 30

Lanau 20 - 25

Sumber: Mekanika Tanah Jilid II, Braja DAS

Tabel 2. 9. Hubungan Antara Nilai Berat Volume Tanah dengan Jenis tanah No Jenis Tanah γ Sat (KN/M

3) γ Dry (KN/M

3)

1 Kerikil 20 -22 15 - 17

2 Pasir 18 - 20 13 - 16

3 Lanau 18 - 20 14 - 18

4 Lempung 16 - 22 14 - 21

Sumber: Mekanika Tanah Jilid II, Braja DAS

2.5.5. Perhitungan Laju Infiltrasi dan Waktu Resapan

Aliran air yang masuk kedalam tanah melalui pori-pori tanah dapat disebut dengan

infiltrasi. Laju infiltrasi merupakan kecepatan aliran air yang masuk kedalam

tanah per satuan waktu yang dapat dinyatakan dalam satuan milimeter per jam

(mm/jam). jenis tanah, kepadatan tanah, kelembapan tanah dan lainnya merupakan

faktor yang memepengaruhi besar nya laju infiltrasi. Setiap jenis tanah memiliki

laju infiltrasi yang berbeda, semakin padat komponen tanah maka laju infiltrasi

semakin kecil. Selain itu, air limpasan yang tidak terinfiltrasi maka akan

mengalami evapotranspirasi. (Triatmodjo, 2008)

Page 25: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

31

Dasar kolam retensi dapat diasumsikan selalu jenuh karena pada dasar kolam

retensi selalu tergenang oleh air atau karena selalu menampung air, sehingga

memiliki laju infiltrasi konstan (fc) sebagai berikut:

Tabel 2. 10. Infiltrasi Konstan (Fc) Textur Class Infiltration Rate

(fc) (in./hr)

SCS Hydrologic

Soil Grouping

Sand 0,35 A

Loamy sand 0,31 A

Sandy loam 0,25 B

Loam 0,19 B

Silt loam 0,17 C

Sandy clay loam 0,14 C

Clay loam 0,14 D

Silty clay loam 0,11 D

Sandy clay 0,09 D

Silty clay 0,09 D

Clay 0,08 D

Sumber : Rawles,1982

Untuk menghitung waktu yang dibutuhkan kolam retensi untuk meresapkan air ke

dalam tanah yaitu dapat menggunakan langkah-langkah serta persamaan yang

berdasarkan dari panduan “Tata ara Pem uatan olam Retensi dan Sistem

Polder” Departemen Pekerjaan Umum dan referensi jurnal terdahulu yaitu dengan

Persamaan sebagai berikut :

1. Laju infiltrasi yang terjadi pada dasar kolam

(2.88)

2. Volume Tampungan Kolam Retensi

( ) (2.89)

3. Waktu resapan

T =

v (2.90)

Dimana :

v = Laju infiltrasi (m3/jam)

V = Volume kolam retensi (m3)

T = Waktu resapan (jam)

P = Panjang kolam retensi (m)

L = Lebar kolam retensi (m)

H = Tinggi kolam retensi (m)

Page 26: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

32

Fc = Laju infiltrasi konstan (m/jam)

A = Luasan kolam retensi (m2)

2.5.6. Perencanaan Bak Penangkap Lemak

Bak penangkap lemak atau biasa disebut Grease Trap merupakan bangunan

penunjang drainase yang berfungsi untuk menyisihkan minyak dan lemak serta

sendimen yang terdapat pada air buangan yang berasal dari rumah tangga agar air

terfiltrasi dahulu sebelum masuk ke dalam kolam retensi. Bak penangkap minyak

dan lemak dapat terbuat dari beberapa material, seperti: stainless steel, plastik,

beton, ataupun baja. Bak Penangkap Lemak atau Grease trap terdiri dari dua

bagian, yaitu kompartemen pertama dengan luas sebesar 2/3 dari total panjang

yang berfungsi untuk menangkap berbagai jenis padatan dengan berat jenis lebih

besar dari air sehingga akan mengendap di dasar serta minyak dan lemak dengan

berat jenis lebih ringan dari air akan mengapung di permukaan air. Sedangkan

kompartemen kedua dengan luas sebesar 1/3 dari total panjang kedua berfungsi

untuk memastikan bahwa minyak dan lemak tetap tertahan di dalam sistem dan

tidak ikut terbawa air saat keluar dari outlet menuju saluran selanjutnya.. Grease

trap juga dilengkapi dengan lubang kontrol (manhole) dengan kriteria diameter

minimum sebesar 0,6 m. kompartemen minyak dan lemak yang tertahan tersebut

nantinya harus dibersihkan secara berkala untuk menjaga kebersihan unit dan

mencegah terjadinya penyumbatan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa

grease trap mampu menangkap minyak dan lemak hingga 80%. Untuk ukuran

atau dimensi grease trap belum memiliki kriteria khusus tetapi disarankan

memiliki kecepatan aliran sebesar 2- 4 m/jam. (Cipta Karya)

Gambar 2. 3. Skematik Grease Trap

Sumber: Cipta Karya, Panduan Perencanaan Teknik Terinci Bangunan Pengolahan Lumpur

Page 27: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

33

Berdasarkan pada buku Panduan Perencanaan Teknik Terinci Bangunan

Pengolahan Lumpur yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya

Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat bahwa untuk perencanaan

Bak Penangkap Lemak atau Grease Trap adalah sebagai berikut:

Volume dibutuhkan = Debit influen × waktu detensi (2.91)

Panjang kompartemen 1 = 2/3P (2.92)

Panjang kompartemen 2 = 1/3P (2.93)

Luas grease trap (A) = P × L (2.94)

Kecepatan Aliran dalam grease trap = de it influen

Luas g e e p (2.95)

Volume tampungan grease trap = A × H (2.96)

Dimana:

Debit Influen = Debit aliran (m3/detik)

Waktu detensi = Lama air di dalam saluran drainase (menit)

A = Luas grease trap (m2)

P = Panjang grease trap (m)

L = Lebar grease trap (m)

H = Kedalaman total (m)

2.5.7. Tipe-Tipe Kolam Retensi

Adapun beberapa tipe dari kolam retensi berdasarkan dari panduan “Tata ara

Pembuatan Kolam Retensi dan Sistem Polder” Departemen Pekerjaan Umum

adalah sebagai berikut :

1. Kolam retensi di samping badan sungai

Kolam retenssi direncanakan di samping badan sungai. Tipe kolam retensi ini

akan berguna secara optimal jika diterapkan di lokasi yang memiliki lahan yang

luas. Tipe ini memiliki kelebihan yaitu tidak menggangu sistem aliran serta

pembuatan dan pemeliharaan kolam jenis ini cukup mudah. Pada tipe ini

bangunan penunjang atau kelengkapan sistem berupa pintu inlet, bangunan

pelimpah samping, pintu outlet, jalan akses menuju kolam retensi, ambang

rendah di depan pintu outlet, saringan sampah, dan kolam penangkap sedimen.

Page 28: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

34

Gambar 2. 4. Kolam Retensi di Samping Badan

Sumber : DPU (Tata Cara pembuatan Kolam Retensi dan Polder) 2. Kolam retensi di dalam badan sungai

Kolam direncanakan di dalam badan sungai. Dimana pada tipe ini dapat

dilakukan jika suatu wilayah mengalami kesulitan dalam mendapatkan lahan

untuk membangun kolam retensi ini. Adapun kekurangan dari tipe ini, yaitu

kapasitas air yang dapat ditampung terbatas dan juga pelaksanaan serta biaya

pemeliharannya yang cukup mahal. Pada tipe ini bangunan penunjang atau

kelengkapan sistem berupa tanggul keliling, pintu outlet, bendung, saringan

sampah, kolam penangkap sedimen.

Gambar 2. 5. Kolam Retensi di Dalam Badan Sungai

Sumber : DPU (Tata Cara pembuatan Kolam Retensi dan Polder)

3. Kolam retensi tipe memanjang

Kolam ini memiliki saluran yang dalam dan lebar. Tipe ini dapat diterapkan

jika di wilayah ini terdapat keterbatasan lahan. Adapun Kelemahan dari tipe ini

adalah adanya keterbatasan dalam menampung kapasitas air pada kolam serta

menunggu aliran air yang masuk dari hulu ataupun dari air hujan dan juga

pelaksanaannya yang lebih sulit. Pada tipe ini bangunan penunjang atau

kelengkapan sistem berupa saluran yang lebar dan dalam serta memanfatkan

bendung setempat.

Page 29: BAB II DASAR TEORI 2.1. Drainase

35

Gambar 2. 6. Kolam Retensi Tipe Memanjang

Sumber : DPU (Tata Cara pembuatan Kolam Retensi dan Sistem Polder)

2.5.8. Tahapan Perencanaan Kolam Retensi

Berdasarkan pada Peraturan Tata Cara Membuat Kolam Retensi dan Sistem

Polder yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Cipta

Karya untuk tahapan perencanaan kolam retensi adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui karakteristik hidrologi pada lokasi yang ditinjau;

2. Mengetahui karakteristik hidrolika pada lokasi yang ditinjau;

3. Kala ulang yang dipakai berdasarkan dari luas area pengaliran (catchment

area), dapat dilihat pada Tabel 2.1;

4. Mengetahui debit dan volume air yang akan masuk pada kolam retensi;

5. Membuat desain kolam retensi berdasarkan pada volume air yang akan masuk

pada kolam retensi;

6. Kombinasi muatan atas konstruksi ditentukan secara individual sesuai fungsi,

cara, dan tempat penggunaannya.

7. Stabilitas konstruksi bangunan penahan tanah dikontrol keamanannya terhadap

daya dukung tanah (terhadap penurunan tanah /amblas), gaya geser dan gaya

guling. Faktor-faktor keamanan minimumnya sebagai berikut:

F daya dukung tanah ≥ 1,5

F geser ≥ 1,2

F guling ≥ 1,5

8. Bahan konstruksi yang digunakan harus sesuai dengan persyaratan bahan

bangunan yang telah ditetapkan.