BAB II ) dalam - Universitas Udayana...24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Teori...

74
24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Teori Pembangunan Teori Pembangunan dijadikan teori utama (Grand Theory) dalam penelitian ini. Pembangunan bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek (ekonomi) saja. Pembangunan ekonomi adalah bagian dari cabang ilmu ekonomi yang secara khusus mempelajari tentang pembangunan ekonomi suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan dan perencanaan yang baik. Sen, 1999 (Arsyad, 2010) menyatakan bahwa: Development can be seen, it is argued here, as a process of expanding the real freedom that people enjoy. Ekonomi pembangunan memiliki sifat antara lain: a) adanya proses yang menunjukkan perubahan yang terjadi secara terus menerus, b) adanya usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita, c) peningkatan tersebut berlangsung dalam jangka panjang, d) adanya sistem kelembagaan yang mencakup bidang ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Istilah pembangunan (development) secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau GNP (Gross National Product) tahunan pada tingkat, katakanlah 5 persen hingga 7 persen, atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu memang memungkinkan

Transcript of BAB II ) dalam - Universitas Udayana...24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Teori...

24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Teori Pembangunan

Teori Pembangunan dijadikan teori utama (Grand Theory) dalam

penelitian ini. Pembangunan bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek

dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek (ekonomi) saja.

Pembangunan ekonomi adalah bagian dari cabang ilmu ekonomi yang secara

khusus mempelajari tentang pembangunan ekonomi suatu negara dalam jangka

panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan dan perencanaan yang

baik. Sen, 1999 (Arsyad, 2010) menyatakan bahwa: Development can be seen, it

is argued here, as a process of expanding the real freedom that people enjoy.

Ekonomi pembangunan memiliki sifat antara lain: a) adanya proses yang

menunjukkan perubahan yang terjadi secara terus menerus, b) adanya usaha untuk

meningkatkan pendapatan per kapita, c) peningkatan tersebut berlangsung dalam

jangka panjang, d) adanya sistem kelembagaan yang mencakup bidang ekonomi,

politik, hukum, sosial dan budaya.

Istilah pembangunan (development) secara tradisional diartikan sebagai

kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya

kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk

menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau GNP

(Gross National Product) tahunan pada tingkat, katakanlah 5 persen hingga 7

persen, atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu memang memungkinkan

25

(Todaro, 2004). Pengertian pembangunan mengalami perubahan karena

pengalaman pada tahun 1950-an dan 1960-an menunjukkan bahwa pembangunan

yang berorientasikan pertumbuhan GNP saja tidak akan mampu memecahkan

permasalahan pembangunan secara mendasar di negara berkembang.

Goulet dan tokoh lainnya mengatakan, bahwa paling tidak ada tiga

komponen dasar atau inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman

praktis untuk memahami arti pembangunan yang paling hakiki. Ketiga nilai inti

tersebut adalah 1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan pokoknya (sustenance), 2) meningkatknya rasa harga diri (self esteem)

masyarakat sebagai manusia, dan 3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk

memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi

manusia.

Pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu

perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga

infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin

berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi, dan teknologi semakin meningkat.

Sebagai implikasi dari perkembangan ini diharapkan kesempatan kerja akan

bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat semakin

tinggi (Sukirno, 2006). Proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak

harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut:

1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang

kebutuhan hidup yang pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan

perlindungan keamanan.

26

2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan,

tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapanagan pekerjaan, perbaikan

kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan

kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki

kesejahteraan materiil, tetapi menumbuhkan harga diri pada pribadi dan

bangsa yang bersangkutan.

3. Perluasan pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara

keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap

menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara

lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai

kemanusiaan.

2.1.1.1 Teori Pembangunan Endogen

Salah satu pendekatan paradigma pembangunan perdesaan yang bersifat

bottom up dikenal dengan istilah pembangunan endogen untuk perdesaan

(endogenous rural development approach). Strategi atau pendekatan

pembangunan endogen ini muncul pada awalnya di Eropa, Amerika Utara, dan

Jepang pada pertengahan tahun 1970-an (Yamamoto, 2007). Sosiolog dan

ekonom memperkenalkan pendekatan tersebut untuk menciptakan model

pertumbuhan ekonomi berbasiskan komunitas (community-based economic

growth) yang diharapkan akan dapat mempertahankan dan mempercepat

perkembangan sumberdaya dan industri lokal. Para pendukung strategi ini

mengkritik strategi-strategi eksogen yang lebih bersifat top down yang banyak

digunakan sebelumnya, yang menggunakan mekanisme perencanaan terpusat dan

27

membawa sumberdaya eksternal ke masyarakat perdesaan tetapi tanpa melibatkan

mereka dalam proses pengambilan keputusan.

Massey (1984) mendefinisikan pembangunan endogen sebagai suatu

pendekatan kewilayahan (territorial approach) dalam proses pertumbuhan

ekonomi dan perubahan struktural yang dimotori oleh komunitas lokal dan

memanfaatkan potensi-potensi lokal dalam pembangunan untuk memperbaiki

tingkat kehidupan penduduk lokal. Arocena (1995) mengatakan bahwa

pembangunan endogen merupakan proses pembangunan dimana aspek sosial

terintegrasi dengan aspek ekonomi. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah

(public) dan swasta bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas

perusahaan dan daya saingnya, tetapi juga dalam menyelesaikan dan memperbaiki

kehidupan masyarakat lokal.

Muhlighaus dan Walty (2001) mendefinisikan pembangunan endogen

sebagai strategi pembangunan yang ditentukan sendiri (self determined) yang

bersifat partisipatif yang berbasiskan pada kebutuhan lokal dan penggunaan

potensi-potensi endogen. ITP (2007) mendefinisikan pembangunan endogen

sebagai pembangunan yang terutama sekali didasarkan, sepenuhnya pada

sumberdaya lokal, pengetahuan lokal, dan kepemimpinan lokal dengan

keterbukaan untuk memadukan pengetahuan tradisional dan yang berasal dari

luar. Meskipun strategi pembangunan endogen ini didefinisikan secara berbeda-

beda oleh para pakar, tetapi esensinya tetap sama yakni strategi pembangunan

yang mengandalkan terutama sekali pada kebutuhan, seluruh potensi, dan pelaku

lokal dari suatu daerah tertentu (locality).

28

Lowe et. al (1998) mengungkapkan karakter dasar dari pembangunan

endogen untuk perdesaan sebagai berikut:

1. prinsip utama, sumberdaya khusus suatu wilayah (alam, manusia, dan budaya)

merupakan kunci pembangunan yang berkelanjutan.

2. kekuatan dinamis, inisiatif lokal dan perusahaan lokal.

3. Fungsi daerah perdesaan, perekonomian dengan pelayanan yang beragam.

4. Masalah pembangunan perdesaan yang utama, keterbatasan kapasitas suatu

wilayah dan kelompok sosial untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi

dan pembangunan.

5. Fokus pembangunan perdesaan, pengembangan kapasitas (capacity building)

(keterampilan, institusi, dan infrastruktur) dan mengurangi masalah

keterasingan sosial.

Muhlighaus dan Walty (2001) menggambarkan beberapa karakteristik

pembangunan endogen sebagai berikut:

1. Optimalisasi potensi yang bersifat endogen (endogenous potenstials).

Pendekatan ini menganggap bahwa banyak potensi dan kemampuan lokal

yang belum diidentifikasi dan dimanfaatkan didalam kebijakan pembangunan

regional yang telah dilakukan. Pembangunan endogen harus berdasarkan pada

mobilisasi dari potensi-potensi tersebut. Potensi yang bersifat endogen dapat

didefinisikan sebagai keseluruhan peluang dalam ruang dan waktu yang

terbatas, termasuk sumberdaya alam, keterampilan manusia (human skills) dan

kemampuan sosial (social abilities).

29

2. Meningkatkan ekonomi regional. Konsep pembangunan endogen bertujuan

untuk meningkatkan otonomi daerah dalam upaya untuk mengurangi

ketergantungan terhadap pengaruh dari luar. Program untuk mencapai tujuan

tersebut mencakup peningkatan kerjasama intra wilayah, substitusi produk dan

jasa impor, dan mengekspor barang yang kompetitif.

3. Sustainable development. Pembangunan endogen tidak terbatas hanya pada

aspek ekonomis saja. Strategi ini bertujuan untuk memperlakukan masalah

ekonomi, ekologis, dan sosial secara setara sehingga dapat diharapkan untuk

menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

4. Pentingnya partisipasi masyarakat lokal. Pembangunan endogen ditentukan

sendiri (self determined) oleh masyarakat lokal dan mengacu kepada

kebutuhan lokal. Partisipasi penduduk lokal dalam proses pengambilan

keputusan merupakan karakteristik utama dari pendekatan ini.

5. Penciptaan identitas regional (regional identity). Pembangunan endogen akan

berhasil jika masyarakat mampu mengidentifikasi dengan baik wilayah di

mana mereka hidup dan berkehidupan. Identitas regional akan mengikat

masyarakat untuk lebih termotivasi terlibat di dalam kegiatan-kegaiatan dalam

komunitasnya. Lebih dari itu, strategi ini juga akan berkontribusi pada

penciptaan identitas kelompok yang pada gilirannya menciptakan rasa ikut

memiliki dan meningkatkan komunikasi dan kerja sama.

Vasquez-Barquero (2002) berpendapat bahwa strategi pembangunan

endogen mencari kepuasan kebutuhan dan permintaan lokal melalui partisipasi

aktif dari masyarakat lokal dalam proses pembangunan. Strategi pembangunan ini

30

tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki sisi produksi (pertanian, industri, dan

jasa), tetapi juga untuk mendorong dimensi sosial dan budaya yang memengaruhi

kehidupan masyarakat. Vasquez-Barquero (2005) juga menekankan bahwa

pembangunan endogen berkaitan dengan proses akumulasi modal pada suatu

wilayah tertentu (specific localities) dengan memerhatikan kapasitas wilayah

dalam penyebaran inovasi ke seluruh sistem produksi lokal dan peran yang

dimainkan oleh sistem inovasi lokal. Efisiensi penggunaan potensi lokal juga

sangat ditentukan oleh bagaimana bekerjanya institusi di wilayah perdesaan.

Pernyataan Vasquez-Barquero juga sejalan dengan pendapatan Douglas C.

North, seorang ekonom kelembagaan. North (1990, 1994) menekankan bahwa

proses pembangunan tidak terpisah dan memiliki akar kelembagaan dan budaya

yang kuat. Pembangunan ekonomi harus memerhatikan kekuatan sistem

kelembagaan dari suatu wilayah. Nilai strategis dari aspek kelembagaan ini adalah

bahwa perubahan kelembagaan dan pembangunan akan menurunkan biaya

transaksi dan produksi, memperkuat rasa percaya (trust), dan meningkatkan

pembelajaran dan interaksi. Institusi dapat memengaruhi produktivitas dan pada

gilirannya memengaruhi proses pembangunan.

2.1.2 Pembangunan Perdesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial

Dalam perspektif pembangunan (Boeke, 1983) menyimpulkan bahwa

perekonomian di Indonesia terbagi dalam dua sektor, yaitu tradisional dan modern

yang tidak saling berhubungan. Boeke menyatakan bahwa sektor tradisional perlu

dirangsang dengan adanya instentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi.

Sebaliknya, Greetz dalam Marshus (1995) menyatakan upaya perbaikan macam

31

apapun tidak akan berhasil dilakukan. Scott (1967), persoalan yang berlaku pada

masyarakat perdesaan adalah rasionalitas sosial yang lebih mementingkan

kebersamaan ketimbang persaingan. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek

kelembagaan maupun teknologi justru akan menimbulkan resistensi.

Selama ini permasalahan proses pembangunan perdesaan adalah tidak

terbangunnya kelembagaan sektor ekonomi sebagai instrumen untuk mengatasi

kelangkaan modal (lack of capital) di wilayah perdesaan. Syahyuti (2004), peran

kelembagaan dalam pembangunan perdesaan merupakan pintu masuk agar suatu

lembaga dapat berdiri dan diterima, khususnya di dalam aspek ekonomi.

Revitalisasi kelembagaan ekonomi dinilai penting, agar kelembagan ini bisa

kembali terlegitimasi dalam setiap individu yang berada didalamnya, bisa

menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), jika rasa memiliki ini sudah

muncul, setiap individu akan berpartisipasi dan kelembagaan ini akan berkembang

sehingga potensial untuk bisa mensejahterakan masyarakat karena di dalamnya

sudah ada pembagian peran dan tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan

ekonomi mereka.

Berdasarkan perkembangan pembangunan perdesaan yang terjadi selama

beberapa dekade ini, terlihat bahwa fase tersebut mengidentifikasikan proses

komersialisasi perdesaan. Diperlukan upaya agar penduduk perdesaan bisa lepas

dari komersialisasi ini, yaitu dengan cara menguatkan sistem produksi dan

pengolahan yang berbasis tradisional sehingga masyarakat perdesaan tidak melulu

ada dalam posisi subordinat. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan

adanya modal yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan.

32

Keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah perdesaan.

Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan. Tidak

berjalannya aktivitas ekonomi menyebabkan masyarakat berada dalam posisi

subordinat (Ellis dan Biggs, 2001). Berbekal dari situasi ini, sudah seyogyanya

para perumus kebijakan pembangunan perdesaan mengawinkan kelembagaan

sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar mampu menggerakkan

kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan, khususnya usaha mikro.

Yustika (2008) melihat secara umum persoalan lembaga keuangan di

perdesaan dapat diidentifikasi menjadi tiga aspek berikut:

1. Masalah akses kredit.

2. Posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah

menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan

formal maupun semi-formal.

3. Informasi yang asimetris (asymetric information) dari pemberi

pinjaman/kredit terhadap peminjam (borrower).

Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan dibedakan dalam tiga

jenis: (a) lembaga keuangan formal; (b) lembaga keuangan semi-formal; (c)

lembaga keuangan mikro. Lembaga keuangan dikatakan formal jika lembaga

tersebut secara operasional diatur dalam Undang-Undang perbankan dan

disupervisi oleh bank sentral. Lembaga keuangan semi-formal adalah lembaga

keuangan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen

pemerintah maupun bank sentral. LKM beroperasi di luar regulasi dan supervisi

lembaga pemerintah.

33

LKM bukan sekadar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi,

tetapi kadang-kadang menyediakan pinjaman dalam bentuk barang (in-kind),

(Yustika, 2008). Karakter yang fleksibel, membuat LKM memiliki daya tahan

yang kuat untuk hidup di wilayah pedesaan, karena LKM ini bersifat sangat

fleksibel dalam artian memiliki hubungan personal antara kreditor dan debitor dan

nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Tidak ada kontrak

maupun persyaratan sejumlah agunan seperti pada lembaga keuangan formal.

Dengan segala kemudahan inilah lembaga keuangan mikro sangat diterima di

kalangan perdesaan.

Bank Pembangunan Asia mendefinisikan keuangan mikro sebagai

penyediaan jasa-jasa keuangan dalam ragam yang luas seperti tabungan,

pinjaman, jasa pembayaran, pengiriman uang, dan asuransi untuk rumah tangga

miskin dan berpenghasilan rendah (ADB, 2000). Definisi ADB tersebut

mencakup rumah tangga berpenghasilan rendah dan juga rumah tangga yang

berada di bawah garis kemiskinan karena ada rumah tangga berpenghasilan

rendah yang tidak berada di bawah garis kemiskinan tetapi memiliki akses yang

terbatas terhadap jasa keuangan, terutama di daerah perdesaan.

Sebuah definisi yang sedikit berbeda dirumuskan oleh Meagher (2002).

Dia berpendapat bahwa keuangan mikro adalah pemberian pinjaman uang dalam

jumlah kecil dan dalam jangka waktu yang singkat dengan frekuensi pelunasan

yang tinggi. Dalam kaitannya dengan definisi LKM, dia berpendapat bahwa

prinsip utamanya adalah untuk memberikan definisi yang akan dapat menjadikan

anggota-anggota pasar memiliki tanggung jawab, penuh semangat, dan inovatif.

34

Secara hukum definisinya harus cukup luas sehingga dapat difokuskan pada

kelompok sasaran tertentu dan dapat menyediakan jasa keuangan dengan ragam

yang luas yang sesuai dengan kelompok tersebut.

Lembaga keuangan mikro memiliki kelebihan yang nyata, yaitu

prosedurnya yang sederhana, tanpa agunan, hubungannya yang cair (personal

relationship), dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel (negotiable

repayment). Karakteristik itu sangat sesuai dengan ciri pelaku ekonomi di

perdesaan (khususnya di sektor pertanian) yang memiliki asset terbatas, tingkat

pendidikan rendah dan siklus pendapatan yang tidak teratur (bergantung panen).

Karakter perdesaaan seperti itulah yang ditangkap dengan baik oleh pelaku

lembaga keuangan mikro, sehingga eksistensinya mudah diterima oleh

masyarakat kecil.

Kelemahan utama dari lembaga keuangan mikro, yakni tingkat bunga

kredit yang sangat tinggi, harus diperbaiki sebab keberadaannya cenderung

eksploitatif kepada masyarakat miskin. Pemerintah dapat mendesain regulasi

dengan jalan membatasi tingkat suku bunga, atau memperluas akses masyarakat

miskin kepada kredit formal sehingga dalam jangka panjang tingkat bunga

lembaga keuangan mikro akan tertekan. Model inilah yang harus diadopsi agar

kepentingan masyarakat kecil tidak dirugikan.

Kehadiran LKM dibutuhkan paling tidak karena dua hal (Pantoro, 2008).

Pertama, sebagai salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan.

Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha skala mikro. Terminologi

World Bank, mereka disebut sebagai economically active poor atau pengusaha

35

mikro. Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90 persen unit

usaha merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro

merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development

atau development through equity. Mereka membutuhkan permodalan guna

mengembangkan kapasitas usahanya. Dengan usaha yang meningkat (menjadi

usaha skala kecil), secara efektif akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh

mereka sendiri dan diharapkan dapat membantu masyarakat dalam kategori fakir

miskin. Pada sisi lain, skim keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan

masyarakat berpenghasilan rendah. Kedua, LKM dibutuhkan karena menjadi

salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan mikro. Secara pragmatis,

pasar keuangan mikro merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di

segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit

usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna

menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di segmen mikro pelaku-pelaku

usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa mereka mempunyai

potensi menabung, dan/atau dapat diberdayakan mempunyai kemampuan

menabung. Pendek kata, pada pasar keuangan mikro terdapat potensi besar dalam

hal penawaran (tabungan) dan permintaan (kredit). Berdirinya LKM merupakan

jawaban dari kurang pekanya lembaga keuangan formal dalam merangkul UKM,

sehingga peranannya bisa dibilang sebagai katup penyelamat dalam proses

pembangunan ekonomi pedesaan.

36

2.1.3 Teori Kinerja

Bernardin dan Russel (2002) memberikan pengertian kinerja sebagai

berikut: “performance is defined as the record of outcomes produced on a

specified job function or activity during time period. Prestasi atau kinerja adalah

catatan tentang hasil yang diperoleh dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan

selama kurun waktu tertentu. Gibson, dkk (2003), job performance adalah hasil

dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja

kefektifan kinerja lainnya. Ilyas (1999), kinerja adalah penampilan hasil kerja

personil maupun dalam suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas

kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga

kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi.

Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Simanjuntak (2005), kinerja

adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja

perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan

perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan

untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-

masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. Irawan (2002),

bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat

diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan

organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam

kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dapat disimpulkan bahwa

pengertian kinerja mengandung substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang.

37

Kinerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok

orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga

(institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance)

terdapat hubungan yang erat. Bila kinerja karyawan (individual performance)

baik, maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga

baik.

Penilaian kinerja keuangan mikro harus didasarkan pada tujuan

pendiriannya. Tujuan utama kebanyakan keuangan mikro dalah meningkatkan

kesejahteraan orang-orang miskin. Ada dua pendekatan yang digunakan untuk

mencapai tujuan itu (1) pendekatan kesejahteraan (welfarist), mengukur

keberhasilan terutama dari kemampuan institusi untuk memenuhi kebutuhan

orang-orang yang paling miskin dalam waktu singkat, atau pengurangan

kemiskinan, (2) pendekatan institusional, mengukur keberhasilan berdasarkan

sustanabilitas keuangan mikro dengan asumsi bahwa keuangan mikro yang

memiliki sustanabilitas akan mampu membantu meningkatkan pendapatan dan

mengurangi kemiskinan.

Keuangan mikro dianggap sebagai perantara keuangan yang bertujuan

menyediakan akses yang lebih mudah untuk memeroleh kredit bagi masyarakat

berpenghasilan rendah, karenanya keuangan mikro diharapkan memiliki

kemampuan financial (financially viable) untuk mencapai kemandirian (self-

sustainability). Pengukuran kinerja salah satunya harus didasarkan pada

kemampuan keuangannya. Kemampuan finansial merupakan kemampuan

keuangan mikro untuk menutup biaya-biaya operasionalnya dengan pendapatan

38

yang diterimanya. Efisiensi biaya harus menjadi perhatian utama untuk mencapai

kemandirian keuangan mikro (Khandker, 1998).

Secara teoretis, pengukuran kinerja tidak hanya didasarkan pada

kemandirian tetapi juga jangkauan keuangan mikro tersebut. Indikator jangkauan

merupakan proxy dari peranan keuangan mikro dalam pembangunan (Yaron,

Benjamin, dan Piprek, 1997). Kedua kriteria ini, kemandirian dan jangkauan yang

saling melengkapi telah menjadi alat pembanding dalam evaluasi kinerja

keuangan mikro (Chaves & Gonzales-Veg, 1996, Christen, Ryhne & Vogel, 1995,

Ledgerwood, 1999, Yaron, 1994, Yaron, Benjamin & Charitonenko, 1998).

Sumber: Yaron, dkk (1997)

Gambar 2.1 Penilaian Kinerja Keuangan Mikro

Kerangka penilaian Yaron dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Yaron,

Benjamin & Piprek, 1997). Kriteria pertama adalah kemandirian yang dapat

dicapai apabila tingkat kembalian ekuitas (return on equity), jumlah bersih subsidi

39

yang diterima, sama dengan atau melebihi biaya oportunitas dan ekuitas.

Ketergantungan pada subsidi adalah kebalikan dari kemandirian (Yaron, 1992).

Secara tradisional, keuangan mikro selalu didukung berbagai macam subsidi baik

secara implisit maupun eksplisit demi kelangsungan hidupnya. Kriteria kedua

adalah jumlah klien yang dilayani dan ragam jasa kaungan yang diberikan. Ini

merupakan tujuan jangkauan, yang meliputi skala (scale) dan kedalaman (depth)

jangkauan. Skala jangkauan merupakan jumlah klien yang dilayani dengan

berbagai jenis instrumen dan kedalaman jangkauan merupakan jenis klien yang

terjangkau dan tingkat kemiskinan mereka.

Berdasarkan dua kriteria penting tersebut, kemandirian dan jangkauan,

beberapa teknik penilaian kinerja telah dikembangkan pada 1990-an (CGAP,

2001). Ciri utama beberapa pendekatan dijelaskan pada Tabel 2.1. Pertama adalah

pendekatan ACCION yang mengadopsi metodologi CAMEL untk mengevaluasi

lembaga pemberi pinjaman komersial Amerika Serikat. CAMEL merupakan

akronim dari kecukupan modal, kualitas asset, manajemen, penerimaan dan

likuiditas. ACCION CAMEL menampilkan skor gabungan, hampir sama dengan

ranking, pendekatan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengukur risiko kredit.

Skor akhir berkisar 0 sampai 5. Keuangan mikro yang memiliki skor di bawah 2

harus menjalankan bisnis pemberian pinjaman. Skor dari 2 sampai 3 menunjukkan

bahwa keuangan mikro tersebut memiliki kelemahan pokok yang harus

diperbaiki. Tujuan instrumen ini adalah untuk memperkuat manajemen dan

menghasilkan kerangka kerja umum untuk mengevaluasi dan membandingkan

kinerja afiliasi ACCION di seluruh negara, misalnya di negara Amerika Latin.

40

Tabel 2.1Pendekatan Penilaian Kinerja Keuangan Mikro

ACCIONCAMEL

WOCCUPEARLS

PLANET RATINGGIRAFE MICRORATE

Tujuanevaluasi

Instrumeninternal untukmanajemen,dewan danjejaring

Pengawasankinerjaberkelanjutan olehmanajemen danpengawaseksternal

Pengukuran danpengendalian risiko

1. Mengevaluasirisiko kredit LKMbagi investor dankreditor potensial

2. Memengaruhikinerja LKM

3. Membandingkankinerja keuanganmikro

Nasabah Afiliasi-afiliasiACCION. Baru-baru ini pengawasbank dan lembagasekunder

Serikat kredit yangberafiliasi,perkumpulan, danpengatur serikatkredit

Donor (AFD,BNDES), investor(Blue Orchard,Financial Bank),kreditor, LSM(CARE, VITA) danlembaga-lembagakeuangan mikro

Donor (50%), lembaga-lembaga keuanganmikro (30%) daninvestor (20%)

Ciri utamametodologi

Peta rencanakeuangan mikrountuk menjadiperantarakeuangan formal

Menujukkankelebihan dankekuranganfinancial yangutama

Penilaian perankinganyang rinci tapipendefinisian tingkatrisikonya tidak jelas

Kelayakan kredit(rekomendasi/pengawasan/peringatan) danrasio, penciptaanstandard anpembandingan antarkelompok

Biaspendekatan

Unggul padamanajemen,tingkatkeuntungan danpraktikpenciptaanstandar

Benar-benarsecara financialtermasuk analisiskeuangan yangmenyeluruh

Unggul padamanajemen, tatakelola, dan praktik-praktik terbaik

Unggul pada catatanpengalamankeuangandan penciptaan standarantarkelomok

Kualitatif vskuantitatif

Lebih kualitatif(53%) daripadakuantitatif (47%)Camel yang asli70% kuantitatif

Seluruhnyakuantitatif

Lebih kualitatif (57%)daripada kuantitatif(43%) lebih cenderungpada risiko fidusiari

Lebih kauntitatifdaripada kualitatif

Batasan-batasan

Tidak ada evaluasi Ketergantungan padakonsultan eksternal

Masukan penilaiancenderung sedikit

Sumber: CGAP (2001)

Kedua, Dewan Dunia Serikat Kredit (WOCCU), sebuah organisasi nirlaba

yang mendorong pengembangan kerja sama keuangan, bermarkas di Madison,

Wisconsin, menggunakan PEARLS dalam menilai kinerja keuangan mikro

(CGAP, 2001). PEARLS merupakan satu set rasio yang terdiri dari 45 rasio yang

digunakan untuk mengevaluasi dan memonitor stabilitas keuangan serikat kredit

41

dalam WOCCU, terutama untuk digunakan dalam program pengembangan

institusional. PEARLS dikelompokkan dalam enam wilayah kinerja keuangan:

perlindungan, struktur keuangan yang efektif, kualitas aset, tingkat pendapatan

dan biaya, likuiditas, dan tanda-tanda pertumbuhan. Metodologi PEARLS

berfokus pada kinerja keuangan. PEARLS tidak secara eksplisit menunjuk pada

manajemen walaupun kinerja keuangan suatu lembaga pasti dapat memberikan

gambaran jelas mengenai manajemennya.

Ketiga, Planet Rating, salah satu cabang Planet Finance, sebuah lembaga

nirlaba internasional yang berbasis di Paris, menggunakan penggolongan

GIRAFE yang menilai kinerja keuangan mikro (CGAF, 2001). Dua puluh enam

indikator GIRAFE digolongkan ke dalam 6 wilayah risiko: proses pengambilan

keputusan dan tata kelola, instrumen manajemen dan informasi, analisis dan

kendali risiko, aset-aset termasuk portfolio pinjaman, pembiayaan (ekuitas dan

kelayakan), dan efisiensi dan tingkat keuntungan. Di antara aneka pendekatan

lainnya, GIRAFE lebih menaruh perhatian pada risiko fidusiari, bagaimana suatu

lembaga dikelola dan apakah lembaga tersebut akan gagal memenuhi harapan

para investor dan pemilik saham karena ketidakcakapan dalam sistem, proses dan

pengorganisasian. Metodologi tersebut lebih fokus pada manajamen daripada

risiko. Pendekatan keempat adalah pendekatan yang dikemukakan oleh Microrate

(CGAP, 2001), sebuah perusahaan perseroan terbatas yang berpusat di

Washington DC.

Metodologi Microrate berfokus pada bagaimana macam risiko pada

operasional lembaga-lembaga keuangan mempengaruhi kelayakan kredit suatu

42

lembaga. Komponen utama metodologi ini adalah (1) mengenali wilayah risiko

utama dan penggeraknya; (2) membandingkan kinerja keuangan mikro dengan

kinerja rekannya pada basis yang disesuaikan; (3) mengusahakan agar informasi

ini tersedia bagi pasar kapan saja memungkinkan. Faktor utama yang menjadi

fokus penilaian ini adalah efisiensi, kualitas asset, pertumbuhan dan tingkat

keuntungan. Sejauh ini Microrate sudah merampungkan sekitar 70 penilaian,

kebanyakan di Amerika latin.

Keempat teknik yang dijelaskan sebelumnya dapat digunakan untuk

menilai kinerja keuangan mikro. Dalam memilih teknik penilaian, beberap faktor

kontekstual harus dipertimbangkan, seperti konteks geografis (standar yang tepat

di Amerika Latin dan Afrika belum tentu sesuai diterapkan di Asia), kematangan

lembaga (lembaga yang lebih muda dapat menghabiskan biaya tambahan tanpa

dapat memberikan pendapatan yang sepadan dan seharusnya dibandingkan

lembaga yang sudah matang), dan pendekatan pemberian pinjaman yang beragam

yang digunakan (Ledgerwood, 1999). Indikator kinerja harus diletakkan dalam

konteks bagaimana dan di mana berbagai keuangan mikro yang berbeda

beroperasi.

Ledgerwood (1992) berpendapat bahwa mayoritas teknik penilaian saat ini

didasarkan pada asumsi bahwa kebanyakan keuangan mikro merupakan lembaga

pemberi pinjaman primer. Dia menyarankan sebuah teknik penilaian dalam

bukunya Microfinance Handbook yang diterbitkan oleh Bank Dunia (1999)

seperti ditunjukkan pada Tabel 2.2.

43

Tabel 2.2Indikator Kinerja Lembaga Keuangan Mikro

Wilayah IndikatorKualitas portofolio Tingkat pelunasan

Rasio kualitas portofolio Rasio kerugiian pinjaman

Produktivitas dan efisiensi Rasio produktivitas Rasio efisiensi

Kelayakan keuangan Sebaran financial Kemandirian operasional Kemandirian financial Indeks ketergantungan subsidi

Tingkat keuntungan Rasio pendapatan atas asset Rasio pendapatan atas usaha Rasio pendapatan atas ekuitas

Kecukupan modal dan pembiayaandengan utang

Pembiayaan dengan utanag(rasio utang terhadap modal)

Stndar kecukupan modalUkuran, jangkauan, dan pertumbuhan Klien dan staf

Jangkauan pinjaman Jangkauan simpanan

Sumber: Ledgerwood (1999)

Ledgerwood menunjukkan bahwa teknik ini diambil dari sejumlah LKM,

baik formal atau semiformal, diseluruh dunia. Dia menunjukkan setiap indikator

kinerja dipilih karena mereka bermanfaat dalam mengelola LKM (manajemen

internal) seperti produktivitas dan efisiensi. Kebanyakan mereka (termasuk

kelayakan financial, tingkat keuntungan, rasio kecukupan modal dan pembiayaan

dengan utang, ukuran, jangkauan dan pertumbuhan) juga bermanfaat untuk pihak

eksternal seperti investor atau donor (Ledgerwood, 1999).

2.1.4 Teori Modal Sosial

Dalam mengidentifikasi dan menguliti persoalan pembangunan,

pendekatan ilmu ekonomi (kiasik/neoklasik) menganggap bahwa kelembagaan

44

(informal) yang hidup dalam struktur sosial tidak memiliki pengaruh terhadap

kegiatan ekonomi (investasi, distribusi, konsumsi, dan Iain-lain). Sebaliknya,

pendekatan ilmu sosiologi menentang asumsi rasionalitas material (yang diusung

oleh ilmu ekonomi) sebagai desain strategi pembangunan. Di luar itu, analisis

ekonomi yang cenderung sangat kuantitatif dianggap oleh para sosiolog sangat

mendangkalkan kompleksitas relasi sosial yang ada di masyarakat, sehingga

kebijakan ekonomi yang diproduksi selalu gagal beroperasi. Ssejak dekade 1980-

an, kesenjangan antara ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi tersebut perlahan-

perlahan mulai dapat dikurangi, di mana salah satu jembatannya dipicu oleh

kemunculan teori/konsep modal sosial (social capital). Secara eksplisit, teori

modal sosial ini dianggap sebagai perekat paling potensial untuk menyatukan

(setidaknya mendekatkan) antara disiplin ilmu ekonomi dan sosiologi.

Teori modal sosial kali pertama dipicu oleh tulisan Bourdieu yang

dipublikasikan pada akhir 1970-an (Fine dan Lapavitsas, 2004). Judul tulisan

Bourdieu tersebut antara lain adalah Le Capital Social: Notes Provisoires yang

diterbitkan dalam Actes de la Recherche en Sciences Satialps (1950). Publikasi

tersebut dilakukan dalam bahasa Francis membuat tidak banyak ilmuwan sosial

(khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian. Setelah Coleman

mempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993, barulah para intelektual

mengunduh tema tersebut sebagai salah satu 'santapan' penting yang

mempertemukan antardisiplin ilmu. Akhirnya, hingga saat ini, banyak pihak yang

berkeyakinan bahwa Coleman merupakan ilmuwan pertama yang

memperkenalkan konsep modal sosial, seperti yang ia tulis dalam jurnal American

45

Journal of Sociology yang berjudul Social Capital in the Creation of Human

Capital (1988). Jadi, dalam batas tertentu, persoalan bahasa dapat menimbulkan

mis informasi dan kesalahpahaman yang mengganggu perkembangan ilmu

pengetahuan. Bourdieu hanyalah bagian kecil dari 'korban' dominasi bahasa

(Inggris), yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Lepas dari mis informasi tersebut, topik modal sosial memang sangat

wajar mendapatkan atensi yang besar dari para pemikir sosial karena cakupan dan

relevansinya yang kasat mata. Bahkan, Poldan (dalam Walis, Killerby, dan

Dollery, 2004) menyebut modal sosial sangat dekat untuk menjadi konsep

gabungan bagi seluruh disiplin ilmu sosial (close to becoming a joint concept for

all social sciences). Berbeda dengan dua modal lainnya yang lebih dulu populer

dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan

modal manusia (human capital), modal sosial baru eksis bila ia berinteraksi

dengan struktur sosial. Sifat ini jelas berbeda dari dua modal sebelumnya, yakni

modal ekonomi dan manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/

perusahaan dapat melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan

struktur sosial, demikian pula dengan modal manusia. Hal inilah yang

menyebabkan Coleman (1988) mendefinisikan modal social berdasarkan

fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah entitas tunggal (single entity),

tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen: (i) modal sosial mencakup

beberapa aspek dari struktur sosial; dan (ii) modal sosial memfasilitasi tindakan

tertentu dari pelaku (aktor) baik individu maupun perusahaan di dalam struktur

tersebut (within the structure). Dari perspektif ini, sama halnya dengan modal

46

lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat pencapaian tujuan

tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.

Pengertian modal sosial semacam itulah yang membuat terjadinya

beragam definisi dengan bentangan yang sangat luas. Bourdieu, sebagai peletak

pondasi konsep modal sosial, mendefinisikan modal sosial sebagai agregat sumber

daya actual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet

(durable) sehingga menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan

(acquaintance) yang saling menguntungkan. Melalui pemaknaan tersebut,

Bourdieu berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami

(natural given), melainkan dikonstruksi melalui strategi investasi yang

berorientasi kepada pelembagaan hubungan kelompok (group relations) yang

dapat dipakai sebagai sumber tepercaya untuk meraih keuntungan (benefits).

Selanjutnya, definisi tersebut juga mengandaikan bahwa modal sosial juga

memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial itu sendiri yang mengizinkan

individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi

mereka: dan (b) jumlah dan kualitas dari sumber daya tersebut. Dengan deskripsi

tersebut, melalui modal sosial, aktor dapat meraih akses langsung terhadap

sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran-saran investasi, pasar

yang terlindungi); mereka dapat meningkatkan modal budaya (cultural capital)

lewat kontak dengan ahli-ahli atau individu yang beradab (yang melekat dalam

modal budaya); atau alternatifnya mereka dapat berafiliasi dengan institusi yang

membahas nilai-nilai tepercaya/valued credentials (pelembagaan modal budaya)

(Portes, 1998).

47

Di luar definisi yang sudah disebutkan oleh para pendiri teori modal sosial

tersebut, terdapat banyak pemikir lainnya yang mencoba mendefinisikan modal

sosial menurut versinya, walaupun secara prinsip sebetulnya tidaklah mengubah

banyak dari definisi yang telah diuraikan. Baker misalnya, mendefinisikan modal

sosial sebagai "sumber daya yang diraih oleh pelakunya melalui struktur sosial

yang spesifik dan kemudian digunakan untuk memburu kepentingannya; modal

sosial tersebut diciptakan lewat perubahan-perubahan dalam hubungan antar

pelakunya." Sedangkan Schiff mengartikan modal sosial sebagai 'seperangkat

elemen dan struktur sosial yang mempengaruhi relasi antarmanusia dan sekaligus

sebagai input atau argumen bagi fungsi produksi dan/atau manfaat (utility). Selain

itu, Burt memaknai modal sosial sebagai teman, kolega, dan lebih umum kontak

lewat siapa pun yang membuka peluang bagi pemanfaat modal ekonomi dan

manusia. Uphoff dalam Dhesi (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial

dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi,

budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang memengaruhi

perilaku kerjasama. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran

organisasi sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang

memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Seluruh

definisi tersebut berujung dalam satu hal saja, bahwa modal sosial baru terasa bila

telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial.

Dengan deskripsi tersebut, sekurangnya terdapat tiga pembagian besar

konsep modal sosial yang digagas oleh para pengusung utamanya, yakni

Bourdieu, Coleman, dan Putnam. Coleman (1998) focus melihat modal sosial

48

sebagai struktur hubungan sosial, khususnya peran modal sosial dalam

mengakuisisi modal manusia. Selanjutnya, Bourdieu (1993) lebih peduli dengan

kemampuan modal sosial dalam menghasilkan sumber daya ekonomi. Sementara

itu, Putnam (1993;1995) menekankan hubungan kerjasama yang memapankan

demokrasi melalui keanggotaan kelompok sipil (civic group). Ketiganya itu eksis

bukan untuk saling meniadakan, tetapi pancaran sudut pandang yang saling

melengkapi sehingga menjadi sumber pengayaan konsep modal sosial. Tentu saja,

secara langsung perspektif yang dipakai oleh Bourdieu lebih dekat keterkaitannya

dengan pembangunan ekonomi, tetapi jika ditelisik lebih dalam pandangan yang

disampaikan oleh Coleman dan Putnam juga lekat dengan bidang ekonomi,

setidaknya secara tidak langsung.

Melalui serangkaian pengertian tersebut, akhirnya terdapat sebuah

aporisme terkenal yang menyatakan bahwa modal sosial bukanlah masalah apa

yang anda ketahui, tetapi siapa yang anda kenal (Fine dan Lapavitsas, 2004).

Dengan dasar tersebut, modal sosial dapat merujuk kepada norma atau jaringan

yang memungkinkan orang, untuk melakukan tindakan kolektif. Implikasinya,

makna tersebut lebih memfokuskan kepada sumber (sources) daripada

konsekuensi atas modal sosial, sementara pentingnya deskripsi tentang modal

sosial seperti kepercayaan dan hubungan timbal-balik-dikembangkan dalam

sebuah proses yang terus-menerus. Di luar itu, definisi ini juga mengizinkan

adanya penyatuan (incorporation) dimensi-dimensi yang berbeda dari modal

sosial dan mengakui bahwa komunitas bisa memiliki akses yang lebih luas atau

kecil. Terakhir, meskipun definisi ini melihat komunitas sebagai unit analisis

49

utama (daripada individu, rumah tangga, atau negara), namun tetap mengakui

bahwa individu dan rumah tangga (sebagai anggota dari komunitas) merupakan

pelaku dari modal sosial dan komunitas sendiri dibentuk sebagai bagian dari

relasinya dengan negara (Woolcock dan Narayan, 2000). Realitas ini menguatkan

proposisi yang sudah diterangkan di muka, bahwa jaringan dan norma merupakan

unsur penting dalam formulasi modal sosial sehingga eksistensinya sangat

dibutuhkan.

2.1.4.1 Bentuk-bentuk Modal Sosial

Coleman (1988) menyebut setidaknya terdapat tiga bentuk modal sosial.

Pertama, ekspektasi (expectations), dan kepercayaan (trustworthiness). Dalam

konteks ini, bentuk modal sosial tergantung kepada dua elemen kunci:

kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang

sudah dipenuhi (obligation held). Dari perspektif ini, individu yang bermukim

dalam struktur sosial dengan saling kepercayaan tinggi memiliki modal sosial

yang lebih baik daripada situasi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi

(information channels). Informasi sangatlah penting sebagai basis tindakan. Akan

tetapi, harus disadari bahwa informasi itu mahal, tidak gratis. Pada level yang

paling minimum, ini perlu mendapatkan perhatian, informasi selalu terbatas.

Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan

murah) untuk memperoleh informasi sehingga dapat dikatakan modal sosialnya

tinggi; demikian pula sebaiiknya. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norma

and effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung

individu untuk memperoleh prestasi (achievement) tentu saja dapat digolongkan

50

sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang

berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas yang dapat memengaruhi

orang-orang muda, mempunyai potensi untuk mendidik generasi muda tersebut

memanfaatkan waktu sebaik-baiknya (having a good time).

Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu

kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks).

1. Kepercayaan

Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah harapan

yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku

jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama.

Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995)

kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan

tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga

bersifat kerjasama. Menurutnya We expect others to manifest good will, we trust

our fellow human beings. We tend to work cooperatively, to collaborate with

others in collegial relationships (Cox, 1995). Kepercayaan sosial pada dasarnya

merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik

ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial

melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal

sosial akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

2. Norma

Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-

harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok

51

orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun

standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma

dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan

diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995).

Norma-norma dapat merupaka pra kondisi maupun produk dari kepercayaan

sosial.

3. Jaringan

Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan

kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi

terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan

memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-

jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain.

Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal

maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-

jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya

serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Dari deskripsi tersebut terlihat bahwa bentuk-bentuk modal sosial selalu

berkaitan dengan struktur sosial masyarakat tersebut berdiam. Dalam kasus

bentuk modal sosial yang bertumpu kepada kepercayaan dan ekspektasi,

seseorang yang dianggap jujur dan memiliki reputasi bagus akan lebih mudah

untuk memperoleh penghargaan (reward) daripada individu yang tidak memiliki

kredibilitas, misalnya dalam hal mendapatkan kredit. Dalam masyarakat

tradisional, hubungan transaksi ekonomi yang selalu berulang dan menghasilkan

52

pencapaian yang bagus, dalam jangka panjang mempunyai ekspektasi untuk

bertahan daripada relasi ekonomi yang dipenuhi dengan manipulasi. Modal sosial

dalam bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang dapat ditransformasikan

menjadi keunggulan untuk memperoleh benefit ekonomi. Demikian halnya

dengan jaringan informasi yang bersumber dari banyak pihak, mengandaikan

bahwa individu/tersebut gampang mendapatkan informasi secara lengkap dan

murah. Implikasinya, keputusan (ekonomi) yang dilakukan dapat diambil secara

tepat dan cepat sehingga menghasilkan keuntungan. Sedangkan norma lebih

berorientasi menyiapkan kerangka budaya yang memberi arah dan keamanan bagi

kehidupan yang lebih baik. Contoh, norma yang mengucilkan orang-orang yang

suka malas-malasan (menganggur) akan menuntun komunitas norma tersebut

hidup mencapai kehidupan (material) yang lebih bagus.

Lina dan Von Bern (1999) menjelaskan bahwa modal sosial memiliki

sumbangan positif dalam kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas

organisasi, pengelolaan tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan

modal pengetahuan (conceptual capital). Dalam konteks ini, modal sosial dapat

memperkuat kinerja organisasi. Dengan kata lain, modal sosial dapat menjadi aset

bagi organisasi (lewat penciptaan nilai) maupun anggota organisasi (via

peningkatan keterampilan pekerja). Secara spesifik modal sosial dapat:

a) Memengaruhi sukses pekerjaan/professional

b) Membantu pekerja menemukan pekerjaan dan menciptakan portofolio pekerja

yang lebih baik di organisasi

c) Memfasilitasi pertukaran sumber daya antarunit

53

d) Memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal intelektua;, dan

efisiensi multifungsi tim/kelompok

e) Mengurangi perubahan pekerjaan karyawan (employees job changes)

f) Memperkuat hubungan dengan pemasok, jaringan produksi regional, dan

pembelajaran organisasi.

Seluruh uraian tersebut membawa kepada satu nuansa, bahwa secara

umum modal sosial dapat didekati dari dua perspektif. Pertama, mengkaji modal

sosial dari perspektif pelaku (actor's perspective) yang diformulasikan oleh

Bourdieu, yang melihat modal sosial berisi sumber daya di mana pelaku individu

dapat menggunakannya karena kepemilikannya terhadap jaringan secara eksklusif

(exclusive network). Kedua, mencermati modal sosial dari perspektif masyarakat

(society's perspective) yang dikonseptualisasikan oleh Putnam, yang melihat

modal sosial sebagai barang publik yang diatur oleh organisasi dan jaringan

horizontal yang eksis dalam masyarakat. Sedangkan Coleman melihatnya

sekaligus dari dua sudut pandang tersebut, tetapi dengan cakupan yang lebih luas

(wider range) mengenai bentuk-bentuk modal sosial, termasuk ekspektasi,

kepercayaan, norma, dan sanksi (dalam Rosyadi, 2003). Kedua pendekatan

tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga

penerapannya tergantung kepada kasus yang digunakan. Pada titik ini yang

terpenting adalah meletakkan individu sebagai bagian yang tidak terpisah dari

struktur sosialnya.

54

2.1.4.2 Aspek Kognitif dan Aspek Struktural

Uphoff (1999) menyatakan bahwa pemahaman terhadap modal sosial juga

dapat dilakukan dengan membaginya atas dua aspek yang terkait satu sama lain,

yakni aspek kognitif dan struktural. Sama dengan Uphoff (1999), Grootaert dan

Bastelaer (2002) menyebut kedua aspek tersebut sebagai bentuk modal sosial.

Aspek kognitif adalah modal sosial yang terbentuk di dalam interaksi antara

nasabah dengan lembaga keuangan komunitas yang berupa proses mental

(internalisasi kesadaran) terhadap norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap

atau perilaku (attitudes), keyakinan (beliefs), dan lainnya. Proses internalisasi

tersebut akan mempengaruhi kualitas: kepercayaan, solidaritas, keterpaduan,

kerjasama, kedermawanan, dan lainnnya yang disebut sebagai faktor dinamis.

Output akhir dari proses internalisasi tersebut adalah gagasan-gagasan atau

harapan-harapan yang mengarah kepada perilaku kolektif guna menghasilkan

keuntungan kolektif (mutally beneficial collective action, MBCA). Modal sosial

secara kognisi terwujud dalam bentuk budaya sipil (civil culture), dan memiliki

sifat memengaruhi. Karena itu, modal sosial pada kategori ini biasa disebut

predispose. Maksudnya, yang mempengaruhi mengapa orang-orang bersedia

melakukan MBCA. Sifat lain dari modal sosial pada kategori ini adalah intrinsik

atau tidak dapat diamati.

Adapun aspek struktural dari modal sosial merupakan bangunan

bagaimana modal sosial tersebut tersusun. Karena itu, kebalikan dari modal sosial

kognitif, modal sosial menurut aspek struktural memiliki sifat yang ekstrinsik atau

dapat diamati. Namun, keduanya memiliki kesamanaan, yakni output akhirnya

55

berupa gagasan-gagasan atau harapan-harapan yang mengarah MBCA. Modal

sosial struktural ini terwujud dalam bentuk jaringan, kelompok, ataupun

hubungan-hubungan interpersonal lainnya. Faktor dinamisnya adalah hubungan

horizontal serta hubungan vertical. Modal sosial secara struktural terwujud dalam

bentuk organisasi sosial yang memiliki fungsi untuk memfasilitsai MBCA.

Karena itu, modal sosial pada kategori ini bisa disebut assets.

Dari uraian sebelumnya tampak bahwa menurut pemikiran Uphoff, kedua

aspek modal sosial tersebut bertemu pada gagasan-gagasan atau harapan-harapan

yang mengarah kepada perilaku kolektif untuk menghasilkan keuntungan kolektif

(MBCA). Dalam hal ini, modal sosial kognitif mempengaruhi mengapa komunitas

bersedia melakukan MBCA, sedangkan modal sosial struktural berfungsi

memfasilitasi MBCA tersebut.

2.1.4.3 Dimensi Modal Sosial

Woolcock dan Narayan (2000) mengemukakan bahwa dimensi modal

sosial tumbuh pada suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai, norma, dan

pola-pola interaksi sosial yang mengatur kehidupan keseharian aggotanya. Adler

dan Kwon (Supriono, 2009) mengatakan bahwa dimensi modal sosial merupakan

gambaran keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan

kohesivitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika yang

terjadi dalam masyarakat. Dasgupta dan Serageldin (Supriono, 2009)

mengemukakan bahwa dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang

membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar

kebersamaan dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang

56

tumbuh dan dipatuhi. Coleman (2009) menggambarkan dimensi modal sosial

secara rinci dengan mengemukakan bahwa dimensi modal sosial inheren dalam

struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang

menciptakan berbagai ragam keajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya,

membawa saluran informasi dan menetapkan norma-norma serta sanksi-sanksi

sosial bagi para anggota masyarakat tersebut.

Dari pernyataan-pernyataan mengenai dimensi modal sosial tersebut, yang

menjadi pertanyaan adalah tidak adanya penjelasan mengenai agen atau tokoh

yang menjadi poros atau panutan bagi anggota komunitas dalam mengembangkan

relasi dan jaringan sosial yang terbentuk. Dalam banyak bentuk relasi sosial, dapat

ditemui kesetaraan peran di antara pihak-pihak yang menjalin relasi. Namun

bagaimanapun juga, ada saat-saat tertentu di mana salah satu pihak lebih dominan

terhadap pihak yang lain atau salah satu pihak memberikan pengaruh atau member

arah yang kemudian diikuti oleh pihak lainnya.

Demikian pula halnya dengan modal sosial. Penanaman nilai-nilai dan

norma-norma, pembentukan jaringan sosial dan tumbuhnya gerakan untuk

mencapai tujuan bersama mungkin saja terbentuk secara alamiah dari proses dan

kehidupan sehari-hari dalam suatu komunitas tetapi pada waktu-waktu tertentu

dan ketika menghadapi pihak dari luar komunitas, tentu harus ada orang yang

mewakili untuk menyampaikan aspirasi atau menjawab pertanyaan (maupunn

tantangan) yang timbul.

Dalam dimensi modal sosial, peran agen dan tokoh merupakan hal penting

yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari modal sosial itu sendiri. Sama halnya

57

seperti dalam keluarga, dimana nilai-nilai kebajikan dan budi pekerti ditanamkan

kepada anak (keturunan) oleh orang tuanya maka dalam membangun kepercayaan

maupun relasi sosial serta menggunakan nilai-nilai dan norma-norma untuk

menjadi pengikat dalam komunitas diperlukan adanya tokoh-tokoh yang dapat

menjadi sentral dan dapat memengaruhi seluruh anggota komunitasnya.

Bank Dunia (1999) meyakini bahwa modal sosial adalah sebagai sesutau

yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan

norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam

masyarakat. Modal sosial bukanlah sekadar deretan jumlah institusi atau

kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan

spectrum yang lebih luas, yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga

kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Namun demikian Fukuyama

(1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai

bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku

itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-

nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini

adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku

kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang

didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggotanya.

Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-

nialai luhur (kebajikan) dan keadilan. Setidaknya dengan mendasarkan pada

konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa

dimensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan pada kebersamaan

58

masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan

senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam

proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa

terikat pada nilai-niali dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan

bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, serta berhubungan atau membangun

jaringan dengan pihak lain.

Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan roh modal sosial antara

lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memerhatikan, saling member dan

menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-

norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah

kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif dalam mempertahankan

nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-

ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.

Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada

bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu

jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu

pola inter-relasi yang imbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun di

atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang

positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat

proaktif membuat jalinan hubungan di atas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif,

sikap yang saling memperhatikan, saling member dan menerima, saling percaya

mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang

mendukungnya.

59

2.1.4.4 Modal Sosial dalam Pembangunan

Dalam konteks ilmu ekonomi, seperti halnya modal ekonomi dan manusia,

pembahasan modal sosial sudah barang tentu direlasikan dengan pencapaian

(pembangunan) ekonomi. Jadi, meskipun kelahiran konsep modal sosial dipicu

dari ranah bidang ilmu sosiologi, begitu sampai dalam kupasan bidang ekonomi

dianggap sebagai bagian dari bentuk modal yang diharapkan memiliki donasi

terhadap pertumbuhan ekonomi. Upaya untuk melakukan terobosan pembahasan

ini sudah berlangsung lama, khususnya semenjak isu modal sosial mulai

diperhatikan secara intensif pada awal dekade 1990-an.

Jika dibagi dalam level studi, riset-riset yang mencoba menghubungkan

antara modal sosial dan pembangunan ekonomi biasanya mengambil dua

karakteristik berikut: (i) penelitian hulu yang mencoba mencari landasan teoretis

yang merelasikan modal sosial dengan pembangunan ekonomi; dan (ii) penelitian

hilir yang berusaha melacak implikasi modal sosial terhadap pembangunan

ekonomi. Kedua level studi tersebut masing-masing sudah menyumbangkan

khazanah pemikiran yang matang sehingga saat ini telah tersedia beberapa

argumentasi teoretis maupun empiris untuk menjelaskan hubungan antara modal

sosial dan pembangunan ekonomi.

Sebelum mengupas masalah hubungan antara modal sosial dan

pembangunan ekonomi, terlebih dulu akan dipaparkan perbedaan antara

pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial, seperti yang dijelaskan oleh Lin

(2001). Dalam perspektif rasionalitas transaksional, yang secara tipikal digunakan

untuk melakukan analisis pertukaran ekonomi, tujuan utamanya adalah untuk

60

memperoleh modal ekonomi (sumber daya melalui transaksi) dan kepentingan

dalam aspek transaksional pertukaran dimediasi oleh harga dan uang. Kegunaan

pertukaran untuk mengoptimisasi keuntungan transaksional, sedangkan pilihan

rasional didasarkan kepada analisis hubungan alternatif yang memproduksi

beragam keuntungan dan biaya transaksional.

Dengan basis ini, aturan-aturan pertukaran berperan dalam dua hal.

Pertama, jika hubungan dengan agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka

keputusannya adalah melanjutkan hubungan transaksi berikutnya. Namun, bila

hubungan tersebut gagal menghasilkan laba relatif, maka ada dua pilihan yang

dapat diambil: (1) menemukan hubungan alternatif yang dapat memproduksi

keuntungan; atau (2) merawat hibimgan tersebut, tetapi dengan berupaya

mengurangi biaya transaksional. Keputusan di antara dua pilihan itu didasarkan

kepada bobot relatif yang mungkin diambil dari kemungkinan memperoleh

keuntungan atau mengurangi biaya transaksi. Dengan begitu, analisis kritis dalam

pertukaran ekonomi memfokuskan kepada transaksi simetris dalam episodis atau

transaksi yang berulang.

Rasionalitas relasional, sebaliknya diimplikasikan dalam pertukaran sosial,

memfokuskan kepada aspek relasional dari pertukaran, biasanya diperantarai oleh

pengakuan/recognition (atau ekspektasi bahwa pelaku lainnya akan melakukan

hal itu). Motivasi rasionalitas relasional untuk memperoleh reputasi lewat

pengalaman dalam jaringan atau kelompok. Sedangkan kegunaan pertukaran

adalah untuk mengoptimasi keuntungan relasional (menjaga hubungan sosial)

juga analisis biaya dan keuntungan. Dengan basis ini, juga terdapat dua aturan

61

partisipasi pertukaran. Pertama, jika transaksi spesifik mempromosikan sebuah

hubungan yang kuat dan perluasan pengakuan, maka transaksi akan dilanjutkan.

Kedua, bila transaksi itu gagal untuk mempromosikan hubungan yang kuat, maka

dua pilihan dapat dipertimbangkan: (1) menemukan alternatif transaksi yang akan

memberikan keuntungan (misalnya meningkatkan sensitivitas dalam transaksi

untuk mengiming-imingi dan memperkuat pengakuan); atau (2) merawat transaksi

tersebut dengan jalan mengurangi ongkos relasional. Seterusnya, seperti halnya

rasionalitas transaksional, keputusan tergantung kepada proses untuk menemukan

transaksi alternatif dan biaya relasional relatif (Lin, 2001).

Deskripsi tersebut membawa kepada suatu ruang, bahwa modal sosial

dalam kegiatan transaksi dapat menjadi basis sumber daya ekonomi (economic

resource). Dalam pengertian yang paling luas, modal sosial dapat menjadi

alternatif yang paling mungkin untuk mengalokasikan kegiatan ekonomi secara

efisien bila pasar (market) tidak sanggup mengerjakannya. Pandangan ini tentu

saja mengabaikan isi dari aliran ekonomi klasik, yang mengandaikan bahwa pasar

merupakan instrumen yang paling efisien untuk menggerakkan kegiatan ekonomi.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan pasar selalu tidak sanggup untuk

mengatasi persoalan eksternalitas, barang publik, hak kepemilikan, dan (bahkan)

monopoli, seperti yang dipostulatkan oleh aliran neoklasik (Caporaso dan Levine,

1992).

Pada aspek inilah modal sosial dapat mendonasikan alternatif

penyelesaiannya secara lebih efisien. Dalam kasus barang publik, misalnya

pemindahan produksi dan pengelolaan barang dan jasa (publik) kepada individu

62

akan meningkatkan tanggung jawab (responsibility) dan keeratan komunitas

(sense of community) sehingga efisiensi atas produksi barang publik tersebut dapat

dicapai, seperti keberhasilannya untuk meminimalisasi penunggang bebas/free-

rider. Proposisi inilah yang kemudian menyimpulkan bahwa modal sosial

merupakan sarana individu yang akan mengerjakan kerjasama secara sukarela

untuk mengurusi barang publik/bersama (common good) (dalam Chaplin, 1999).

Hubungan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi tersebut juga

dapat dilacak dari sisi lain. Kegiatan ekonomi selalu berupa kerjasama (baik

dalam pengertian kompetisi maupun saling-bantu) antarpelakunya, apa pun motif

yang ada di baliknya (profit, status, harga diri, preferensi, dan lain-lain).

Sedangkan kerjasama itu membutuhkan kepercayaan (trust), yang dalam ekonomi

modern dapat digantikan dengan mekanisme formal untuk mencegah

kecurangan/penipuan, seperti sistem kontrak. Akan tetapi, formalitas itu sendiri

tidak akan pernah menggantikan kepercayaan karena sistem kontrak hanyalah

instrumen pendukung (bukan utama). Sampai di sini, pandangan paling agung dari

modal sosial menyatakan bahwa kerjasama tergantung kepada kepercayaan.

Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (high trust societies)

akan sanggup untuk melakukan kerjasama sampai level organisasi yang sangat

besar, semacam korporasi transnasional. Sebaliknya, masyarakat yang tingkat

kepercayaannya rendah (low trust societies) kerjasama yang dapat digalang hanya

sampai pada level terbatas, misalnya perusahaan yang berbasis keluarga (family

based-firms). Jadi, dalam hal ini, harus dipahami modal sosial sebagai sumber

daya bermakna bahwa komunitas bukanlah suatu produk atau hasil (outcome)

63

pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan 'prakondisi' bagi tercapainya

pertumbuhan ekonomi (Putnam, 1995; dalam Champlin, 1999).

Andaikan dua negara memiliki ekonomi pasar yang berfungsi, teknologi

yang sama serta stok modal fisik dan manusia yang ekaivalen, sangat mungkin

level produksi dari kedua negara tersebut berlainan karena perbedaan efektivitas

kelembagaan (institutional effectiveness) dan norma masyarakat (societal norms).

Efek produktivitas langsung dari modal sosial ditunjukkan dalam persamaan (2)

sebagai faktor skala (Si) dari fungsi produksi. Menurut Putnam, Si dinyatakan

sebagai jumlah keanggotaan dalam organisasi sukarela sebagai hasil dari

kepercayaan sosial (social trust) dan penilaian subjektif atas efektivitas

pemerintahan. Beberapa studi literatur mengidentifikasi bahwa kohesi sosial dan

efektivitas pemerintahan secara langsung dapat memfasilitasi peningkatan

produktivitas (Wallis, Killerby, dan Dollery, 2004).

Sebagai tambahan efek langsung terhadap produktivitas, modal sosial juga

mempunyai efek tidak langsung melalui peningkatan akumulasi modal manusia,

seperti diilustrasikan dalam persamaan (3), lewat investasi yang lebih besar dalam

sistem pendidikan publik (masyarakat), partisipasi komunitas yang lebih intensif

dalam manajemen sekolah, dan akses yang lebih baik terhadap kredit informal

bagi kaum miskin. Coleman (1988) juga menemukan bahwa modal sosial

berhubungan dengan tingkat putus sekolah (dropout) sekolah.

Modal sosial juga memfasilitasi akumulasi bersih (net accumulation) dari

modal fisik, seperti ditunjukkan dalam persamaan (4). Tingkat investasi dan

tabungan domestik selama ini dianggap lebih tinggi di bawah kondisi stabilitas

64

sosial-politik dan kepastian keuangan (Alesina, et al., 1992). Studi yang

dikerjakan oleh Guiso et. al (2000) di Italia menemukan bahwa wilayah dengan

level kepercayaan sosial yang tinggi, rumah tangga lebih banyak

menginvestasikan modalnya dalam vvujud saham daripada uang (cash),

menggunakan lebih banyak cek (checks), dan memiliki akses yang lebih baik

terhadap kredit. Perusahaan di wilayah dengan kepercayaan tinggi (high-trust

areas) juga lebih banyak mempunyai pemegang saham (multiple shareholders).

Kualitas tata kelola (quality of governance) merupakan kunci terpenting

untuk meningkatkan investasi asing (Rodrik, 1999). Kesimpulannya, hasil kajian

tersebur menginformasikan bahwa modal sosial dapat menghasilkan akumulasi

modal, kemahiran keterampilan, inovasi, transfer informasi dan teknologi, dan

mengurangi biaya transaksi (Hall dan Jones, 1999). Lainnya, modal sosial juga

memfasilitasi pengelolaan kepemilikan bersama (common property) dan

penyediaan barang publik, peningkatan investasi, dan mengurangi biaya sosial

kriminalitas, korupsi, dan bentuk-bentuk tindakan tercela (non-cooperative)

lainnya (Wallis, Killerby, dan Dollery, 2004).

Dengan pembahasan tersebut, menjadi jelas bahwa perbedaan pencapaian

(outcomes) pembangunan tidak dapat dijelaskan dari ketidaksamaan input

material saja. Dalam hal ini terdapat konsensus umum bahwa inisiatif

pembangunan seharusnya dengan memasukkan peranan modal sosial, semacam

ilmu pengetahuan, pemahaman, nilai-nilai, norma, sifat-sifat, dan jaringan sosial

untuk memperkuat hasil yang diinginkan. Pendeknya, konsep modal sosial paralel

dengan konsep lain tentang tindakan (action) sehingga konsep modal social

65

merepresentasikan asset sebagai bentuk lain dari modal. Sedangkan seluruh

bentuk dan modal selalu penting bagi pembangunan, meskipun masing-masing

dari modal tersebut tidak mencukupi bila hanya diambil salah satunya.

Dalam kondisi yang sudah pasti, modal sosial dapat dipertimbangkan

sebagai sumber daya yang bisa memperbaiki efektivitas atas input lainnya dalam

proses pembangunan. Sebaliknya, jika kondisi tersebut absen, modal sosial dapat

menghambat pembangunan. Pada titik ini, modal sosial dapat diputuskan sebagai

akumulasi beragam tipe sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset lain

yang tidak terlihat sehingga memengaruhi perilaku kerjasama (Uphoff, 1999;

dalam, Dhesi, 2000). Seluruh argumentasi tersebut, pada akhirnya,

memaklumatkan satu hal saja: bahwa modal sosial merupakan pilar penting bagi

pembangunan ekonomi.

2.1.5 Teori Partisipasi

Keith Davis (1992) menyatakan bahwa kata partisipasi secara etimologis

berasal dari bahasa inggris “participation” yang berarti mengambil bagian,

participator dimaknai sebagai yang mengambil bagian atau sering disebut dalam

bahasa umum sebagai keikutsertaan. Partisipasi sering dikatakan sebagai peran

serta atau keikutsertaan mengambil bagian dalam kegiatan tertentu. Terdapat

keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang dalam situasi kelompok

yang mendorong partisipan untuk memberikan sumbangan kepada kelompok

dalam usaha mencapai tujuan serta tanggung jawab terhadap usaha mencapai

tujuan yang bersangkutan. Hal yang terakhir senada dengan batasan yang

diberikan dalam batang tubuh UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan

66

Pembangunan Nasional, Pasal 2 ayat 4 huruf d bahwa partisipasi merupakan

keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam

proses penyusunan rencana pembangunan.

Tosun (1999), partisipasi memungkinkan masyarakat melakukan berbagai

kegiatan pada tingkatan yang berbeda-beda, baik lokal, regional, maupun

nasional. Partisipasi yang dilakukan dapat berbeda-beda pula, baik partisipasi

karena paksaan (manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman

(coercive participation), karena adanya dorongan (induced participation),

partisipasi yang bersifat pasif (passive participation), maupun partisipasi secara

spontan (spontaneous participation).

Arnstein (1971), partisipasi penduduk adalah redistribusi kekuasaan yang

memungkinkan penduduk yang tidak mampu secara perlahan dan penuh kehati-

hatian dapat berpartisipasi secara berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa

mereka mendorong adanya perubahan yang memungkinkan mereka ikut

menikmati keuntungan dalam masyarakat yang kaya. Dalam definisi partisipasi

ini, satu hal yang sangat penting adalah tingkat distribusi kekuasaan. Pendekatan

yang dilakukan oleh Arnstein dalam pembahasan partisipasi ini didasarkan atas

tipologi penduduk yang terdiri atas delapan tingkatan, yang kemudian dibagi

menjadi tiga kategori. Tingkatan partisipasi paling rendah adalah partisipasi

manipulative, sedangkan tingkatan partisipasi yang paling tinggi menujukkan

tingkat kekuasaan masyarakat (degrees of citizen’s power).

Selain pendapat tersebut, terdapat beberapa pendapat lain tentang definisi

partisipasi:

67

1. Keterlibatan orang secara sukarela tanpa tekanan dan jauh dari pemerintah

atau kepentingan eksternal (Sumarto, 2003).

2. Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses kegiatan,

sebagai media penumbuhan kohesifitas antar masyarakat, masyarakat dengan

pemerintah juga menggalang tumbuhnya rasa memiliki dan tanggung jawab

pada program yang dilakukan (Handayani, 2006).

3. Keikutsetaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan ataupun kegiatan

(Wardoyo, 1992).

4. Keikutsetaan masyarakat dalam program-program pembangunan (Rahardjo,

1985).

5. Aksi dari kepercayaan akan pembangunan. Karena partisipasi mempunyai

nilai intrinsik kebaikan dan berfokus pada pencarian cara untuk

menyelesaikan masalah. (Cooke and Kothari, 2002)

6. Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya atau

egonya yang sifatnya lebih dari pada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas

saja (Alport dalam Reksopoetranto, 1992).

Karenanya dalam beberapa definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci tentang

definisi partisipasi: a) Keikutsertaan, b) Secara sukarela, c) Keterlibatan

mental/pikiran dan emosi/perasaan, d) Berbentuk pernyataan ataupun kegiatan

nyata, e) Media penumbuhan kohesifitas dan f) Akomodasi kepentingan bersama.

68

2.1.5.1 Bentuk-bentuk Partisipasi

Sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat/kelompok terdapat beberapa

wujud dari partisipasi. Vaneklasen dan Miller dalam Handayani (2006) membagi

partisipasi atas:

1. Partisipasi Simbolis

Masyarakat duduk dalam lembaga resmi tanpa melalui proses pemilihan dan

tidak mempunyai kekuasaan yang sesungguhnya.

2. Partisipasi Pasif

Masyarakat diberi informasi atas apa yang sudah diputuskan dan apa yang

sudah terjadi. Pengambil keputusan menyampaikan informasi tetapi tidak

mendengarkan tanggapan dari masyarakat sehingga informasi hanya berjalan

satu arah.

3. Partisipasi Konsultatif

Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan. Hasil

jawaban dianalisis pihak luar untuk identifikasi masalah dan cara pengatasan

masalah tanpa memasukkan pandangan masyarakat.

4. Partisipasi dengan Insentif Material

Masyarakat menyumbangkan tenaganya untuk mendapatkan makanan, uang

atau imbalan lainnya. Masyarakat menyediakan sumber daya, namun tidak

terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga mereka tidak memiliki

keterikatan untuk meneruskan partisipasinya ketika masa pemberian insentif

selesai.

69

5. Partisipasi Fungsional

Masyarakat berpartisipasi karena adanya permintaan dari lembaga eksternal

untuk memenuhi tujuan. Mungkin ada keputusan bersama tetapi biasanya

terjadi setelah keputusan besar diambil.

6. Partisipasi Interaktif

Masyarakat berpartisipasi dalam mengembangkan dan menganalisa rencana

kerja. Partisipasi dilihat sebagai hak, bukan hanya sebagai alat mencapai

tujuan, prosesnya melibatkan metodologi dalam mencari perspektif yang

berbeda dan serta menggunakan proses belajar yang terstruktur. Karena

masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan maka mereka akan

mempunyai keterikatan untuk mempertahankan tujuan dan institusi lokal

yang ada di masyarakat juga menjadi kuat.

7. Pengorganisasian Diri

Masyarakat berpartisipasi dengan merencanakan aksi secara mandiri. Mereka

mengembangkan kontak dengan lembaga eksternal untuk sumber daya dan

saran teknis yang dibutuhkan, tetapi kontrol bagaimana sumber daya tersebut

digunakan berada di tangan masyarakat sepenuhnya. Secara ideal partisipasi

semestinya berwujud partisipasi interaktif ataupun pengorganisasian diri,

tetapi tentunya hal tersebut menuntut kapabilitas sumber daya manusia yang

optimal. Di negara dunia ketiga yang umumnya berpemerintahan totaliter

menggunakan model partisipasi simbolis, pasif ataupun konsultatif.

2.1.5.2 Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

70

Telaah tentang pengertian partisipasi yang dikemukakan sebelumnya,

dapat disimpulkan bahwa partisipasi atau peran serta, pada dasarnya merupakan

suatu bentuk keterlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karena

alasan-alasan dari dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) dalam

keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan, yang mencakup: pengambilan

keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian (pemantauan, evaluasi,

pengawasan), serta pemanfaatn hasil-hasil kegiatan yang dicapai. Karena itu,

Yadav (1980), mengemukakan tentang adanya empat macam kegiatan yang

menunjukkan partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan;

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan

Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk

pemanfaatan sumberdaya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri

oleh pemerintah pusat, yang dalam banyak hal lebih mencerminkan sifat

kebutuhan kelompok-kelompok kecil elit yang berkuasa dan kurang

mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu,

partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya

forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam

proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di

wilayah setempat atau tingkat lokal.

2. Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai

partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara

sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain

71

pihak, lapisan yang di atasnya (yang umumnya terdiri atas orang-orang kaya)

dalam banyak hal lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan,

tidak dituntut sumbangannya secara proporsional. Karena itu partisipasi

masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan

sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau beragam

bentuk korban lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh

masing-masing warga masyarakat yang bersangkutan.

Disamping itu, yang sering dilupakan dalam pelaksanaan pemabngunan

adalah partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan proyek-proyek pembangunan

kemasyarakatan yang telah berhasil diselesaikan. Oleh sebab itu, perlu adanya

kegiatan khusus untuk mengorganisir warga masyarakat guna memelihara hasil-

hasil pembangunan agar manfaatnya dapat terus dinikmati (tanpa penurunan

kualitasnya) dalam jangka panjang.

3. Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi pembangunan

Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan

sangat diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang

diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memeroleh umpan balik tentang

masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan

yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan

informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat

pembangunan sangat diperlukan.

72

4. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan

Partisipasi dalam pemanfaatn hasil pembangunan, merupaan unsure

terpenting yang sering terlupakan. Sebab, tujuan pembangunan adalah untuk

memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil

pembangunan merupakan tujuan utama. Disamping itu, pemanfaatn hasil

pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk

selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang.

Sayangnya, partisipasi dalam pemanfaatn hasil pembangunan sering

kurang mendapat perhatian pemerintah dan administrator pembangunan pada

umumnya, yang sering menganggap bahwa dengan selesainya pelaksanaan

pembangunan itu otomatis manfaatnya akan pasti dapat dirasakan oleh

masyarakat sasarannya. Padahal, seringakali masyarakat sasaran justru tidak

memahami manfaat dari setiap program pembangunan secara langsung, sehingga

hasil pembangunan yang dilaksanakan menjdi sia-sia.

2.1.6 Keuangan Mikro

Keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga keuangan yang

menyediakan berbagai bentuk jasa dan produk microfinance, antara lain tabungan,

kredit, asuransi, transfer uang untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,

kelompok masyarakat miskin dan skala usaha mikro (Usman, et al, 2004). Istilah

microfinance banyak dikaitkan dengan masalah keterbatasan (inferiority). Karena

itu, konsep microfinance diuraikan sebagai bentuk inferioritas dari masyarakat

miskin (the poors) yang sulit dan terbatas aksesnya terhadap layanan keuangan

pada lembaga keuangan perbankan. Konsep microfinance yang membicarakan

73

tentang sulit dan terbatasnya kelompok masyarakat di dalam mengakses lembaga

keuangan perbankan mendorong pengembangan definisi tentang microfinance.

Berikut diuraikan sejumlah definisi microfinance, antara lain adalah sebagai

berikut:

1. International management Communications Corporation (IMCC),

microfinance sebagai seperangat teknik dan metode perbankan non

tradisional untuk membuka akses seluas-luasnya kepada sektor yang tidak

tersentuh jasa keuangan formal.

2. The Foundation for Development Cooperation, microfinance sebagai

penyediaan jasa keuangan khususnya simpanan dan pinjaman bagi rumah

tangga miskin yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal.

Kedua definisi tersebut lebih mengarahkan microfinance sebagai

pembiayaan dengan skala mikro. Istilah mikro dalam konteks ini berkaitan dengan

nilai transaksi dan kapasitas keuangan nasabah yang umumnya masuk ke dalam

kategori miksin seperti yang dirumuskan oleh UNCDF, CGAP dan ADB, yakni:

Microfinance refers to loans, savings, insurance, transfer services other financial

products targeted at low income clients.

Definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro

adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk

membiayai proyek yang dikerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang

memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Definisi

dalam Microcredit Summit aalah sebagai berikut: Programmes extend small loans

74

to very poor for self employment projects that generate income, allowing them to

care for themselves an their families.

Di Indonesia, definisi mengenai microfinance dikembangkan oleh Bank

Indonesia yang menyebutkan bahwa kredit mkro merupakan kredit yang diberikan

kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang

mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000 per tahun. Lembaga

keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut

Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Asian Development Bank (ADB)

menyebutkan definisi definisi microfinance adalah lembaga yang meneydiakan

jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transakasi jasa

(payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin

dan pengusaha kecil (insurance to poor and low income households and their

microenterprises).

Definisi yang lebih rinci dirumuskan oleh Marguerite Robinson dalam

bukunya The Microfinance Revolution Volume I & II yaitu:

Microfinance is small scale financial services provided to people whofarm or fish or herd; who operate small or microenterprises where goodare produced, recycled, repaired, or traded; who provide services; whowork for wages or commissions; who gain income from renting out smallamounts of land, vehicles, draft animals, or machinery and tools; and toother individuals and groups at the local levels to developing countries,both rurl and urban.

Definisi yang diberikan Robinson tersebut apabila diterjemahkan secara

luas, microfinance adalah sebagai layanan keuangan skala kecil khususnya kredit

dan simpanan yang disediakan bagi mereka yang bergerak di sektor pertanian,

perikanan atau peternakan; yang mengelola usaha kecil atau mikro yang meliputi

75

kegiatan produksi, daur ulang, reparasi atau perdagangan; yang menyediakan

layanan jasa; yang bekerja untuk memeroleh upah atau komisi; yang memeroleh

penghasilan dari atau dengan cara menyewakan tanah, kendaraan, tenaga hewan

ternak, atau peralatan dan mesin-mesin; dan konsep perseorangan atau kelompok

baik di perdesaan maupun di perkotaan di negara-negara berkembang.

Berbagai ragam pengertian sebelumnya, bahwa microfinance memiliki 2

elemen utma yang membedakannya dengan sistem intermediasi keuangan lainnya

seperti perbankan:

1. Batasan transaksi

Nilai transaksi microfinance tidak bersifat universal, artinya tidak ada

konvensi internsaional yang menetapkan nilai transaksi yang masuk

kategori kecil atau mikro. Di Indonesia, nilai transaksi microfinance hanya

dirumuskan pada batasan kredit mikro saja yakni maksimum Rp

50.000.000. sedangkan untuk transaksi keuangan lainnya seperti

simpanan, asuransi, remittance, sistem pembayaran tidak ada pengaturan

yang jelas.

2. Segmen pasar

Microfinance memiliki keunikan dalam melayani masyarakat yakni

terfokus pada masyarakat miksin yang terbagi menjadi empat kelompok,

yaitu:

a. Kelompok I, yakni the poorest of the poor. Penduduk miskin yang

tidak memiliki sumber pendapatan karena faktor usia, sakit, cacat fisik

sehingga tidak memiliki pendapatan

76

b. Kelompok II, yaitu laboring poor. Kelompok miskin yang bekerja

sebagai buruh dengan penghasilan sangat terbatas dan bersifat tidak

tetap atau musiman yang umumnya bekerja di sektor pertanian atau

sektor-sektor lain yang bersifat padat karya.

c. Kelompok III, adalah self employed poor. Merupakan penduduk

miskin yang berpenghasilan relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan

hidup dasarr dengan bekerja di sektor informal.

d. Kelompok IV, ialah enconomiccally active poor. Golongan yang telah

memiliki kekuatan ekonomi dengan sumber pendapatan yang memadai

untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan memiliki surplus income.

Lembaga keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis; (i)

lembaga keuangan formal; (ii) lembaga keuangan semi formal; dan (iii) lembaga

keuangan informal. Di suatu negara, lembaga keuangan formal biasanya secara

operasional diatur dalam undang-undang (UU) perbankan dan disupervisi oleh

bank sentral. Lembaga keuangan tersebut bisa bank pemerintah maupun swasta.

Sedangkan bank semi formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi

disupervisi dalam regulasi oleh agen (lembaga) pemerintah selain bank sentral.

Terakhir, lembaga keuangan informal beroperasi di luar regulasi dan disupervisi

oleh lembaga pemerintah (negara). Lembaga ini berisi kegiatan-kegiatan yang

benar-benar di luar kelembagaan keuangan resmi (official financial institutions),

yang seringkali tidak tercatat. Sungguh pun begitu, tidak berarti sektor keuangan

informal ini bukan sekadar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transakasi,

tetapi kadang-kadang juga memberikan bantuan dalam bentuk barang (in kind).

77

Dengan karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan informal ini

memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilyah perdesaan.

Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi formal adalah pada

tipe kesepakatan yang dibuat dalam bentuk sistem kontrak (contract system).

Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak,

misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan

sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan.

Sebaliknya, lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara

kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan

administrasi yang dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali tidak

menggunakan sistem kontrak, karena biasanya tidak ada persyarata agunan

maupun sanksi. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal

biasanya lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan. Kasryno (1983),

kelembagaan kredit informal sangat berkembang dalam masyarakat perdesaan

akibat belum terjangkaunya pelayanan kredit dari lembaga keuangan formal

(bank) bagi sebagian besar masyarakat perdesaan, terutama petani kecil dan buruh

tani yang selalu memerlukan kredit dengan pelayanan yang terjangkau oleh

mereka.

Dalam konteks pembangunan perdesaan di Indonesia, lembaga keuangan

formal yang sudah teruji selam puluhan tahun adalah Bank Rakyat Indonesia

(Pretes, 2002), ketika pemerintah menginisiasi kebijakan pemberian kredit pada

masa Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada tahun 1975. Oleh karena umumnya

petani tebu (dan petani lainnya) memiliki modal yang terbatas, pemerinth

78

menyediakan fasilitas kredit modal kerja (kredit produksi) melalui bank tersebut

(BRI). Bank ini tidak hanya beroperasi sampai level kecamatan, tetapi juga

sampai di desa-desa. Semula kredit yang disediakan adalah pola Kredit Modal

Kerja Permanen (KMKP) Massal, kemudian diubah menjadi Kredit Modal Kerja

(KMK), dan diganti lagi menjadi Kredit Usaha Tani (KUT) yang disalurkan

melalui KUD. Kewajiban bagi petani kredit adalah mengembalikannya dan

membayar bunga sebesar 1 persen tiap bulan. Dengan demikian petani TRI Kredit

didorong untuk menggunakan modal kerja tersebut dengan efisiensi dan

efektivitas yang tinggi (Birowo, 1992). Selanjutnya, operasi BRI tidak hanya

kepada petani tebu, namun juga ke petani-petani yang menanam komoditas

lainnya.

Sedangkan untuk lembaga keuangan semi formal, terdapat banyak sekali

lembaga keuangan yang dibentuk oleh pemerintah, misalnya BKD (Badan Kredit

Desa), LDKP (Lembaga Dana Kredit Desa), dan Koperasi Unit Desa (Holloh,

1996). BKD merupakan lembaga keuangan yang beroperasi pada desa-desa

terpencil dan sekaligus sebagai bank beras (rice banks) di Jawa. Dalam

implementasinya, BKD disupervisi oleh kepala desa dan BRI. Sedangkan LDKP

beroperasi baik pada level kecamatan maupun desa, yang diregulasi oleh UU

Pemerintah Provinsi dan disupervisi oleh bank Pembangunan Daerah (BPD).

Ketika dilaksanakan di lapangan, jenis LDKP ini bermacam-macam. Di jawa

namanya BKK (Bdan Kredit Kecamatan), di Jawa Timur disebut KURK (Kredit

Usaha Rakyat Kecil), di Jawa Barat namanya LPK (Lembaga Perkreditan

Kecamatan), di Lombok disebut LKP (Lembaga Kredit Perdesaan), di Sumatra

79

Barat disebut LPN (Lumbung Pitih Nagari), dan di Bali diamakan LPD (Lembaga

Perkreditan Desa). Sementara itu, KUD merupakan koperasi desa resmi yang

dibentuk oleh pemerintah dan masuk ke seluruh sektor perekonomian desa.

Meskipun semakin lama reputasi KUD kian redup, tetapi sampai kini lembaga

tersebut tetap bertahan dan beroperasi di wilyah perdesaan.

Di luar itu, di perdesaan juga terdapat satu lembaga keuangan lain yang

kerap disebut sebagai lembaga keuangan swadaya (Holloh, 1996). Prinsip

lembaga keuangan ini adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit (rotating

savings and credit associations), dimana anggota kelompok berkontribusi secara

regular memberikan dana kepada salah satu atau ke beberapa anggota (sistem

kopyok/giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran (rotation) atau tabungan dan

kelompok kredit; yang hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana

pinjaman melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan

bersih dari intermediasi keuangan, dan intermediasi antara penabung dan

peminjam. Di Indonesia, menurut Clifford Geertz, model arisan masih merupakan

bentuk lembaga keuangan swadaya yang paling populer dan menjadi referensi

setiap studi yang mengupas masalah lembaga keuangan swadaya. Selebihnya,

model lainnya merupakan lembaga keuangan modern yang biasanya dimapankan

dengan dukungan dari NGO pada 1970-an dan 1980-an.

Di negara lain juga terdapat beragam lembaga keuangan beroperasi di

perdesaan. Di Bangladesh, misalnya, Grameen Bank (GB) merupakan yang paling

legendaris dan diadopsi di beberapa negara. GB ini berspesilaisasi sebagai

lembaga keuangan yang berdiri sejak 1983 untuk menyediakan kredit kepada

80

masyarakat miskin perdesaan (rumah tangga perdesaan yang memiliki lahan

kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang ebih baik

(Hossain, 1988). GB mendapatkan dana yang akan dipinjamkan berdasarkan basis

komersial dari bank sentral, atau dari lembaga keuangan lain, pasar modal/uang,

dan organisasi bantuan internasional. GB ini, dalam pembahasan-pembahasan

yang dilakukan para ahli, biasanya disebut sebagai lembaga keuangan mikro

(microfinance). Lembaga keuangan mikro ini cenderung bekerja baik kepada para

peminjam (debitur) dengan sumber daya keuangan yang bermacam-macam

(diverse) yang memiliki kemampuan sejati (genuine) untuk membayar pinjaman.

Pada kasus GB tersebut, mereka membuat pinjaman skala kecil (small

loans) di wilayah perdesaan melalui jaringan yang besar (large network) dari

cabang-cabang dan jasa pelayanan alternatif. Dalam prosedur peminjaman ini,

tingkat bunga yang dikenakan lumayan rendah (16 persen) dan tanpa agunan

(Pretes, 2002). Dengan karakter tersebut, GB memberikan dua keuntungan

sekaligus bagi kaum miskin di wilayah perdesaan, yakni membuka akses yang

besar terhadap kredit (karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat

miskin dengan biaya bunga rendah dibandingkan lembaga keuangan informal).

Salah satu dari dua hal itulah yang biasanya tidak dapat dipenuhi oleh lembaga

keuangan formal, yakni adanya agunan, sehingga masyarakat perdesaan tetap

menjalin hubungan dengan lembaga keuangan informal (rentenir) meskipun

dengan tingkat bunga yang tinggi.

Contoh lainnya adalah VEF (Village Enterprise Fund/Dana Usaha Desa)

yang didirikan oleh Brian Lenhen dan Joan Hestenes di Redwood City, sebuah

81

sub urban di San Fransisco, USA (Pretes, 2002). VEF merupakan keuangan mikro

milik lembaga non pemerintah (NGO) yang bertujuan memberikan hibah (grant),

dan bukan pinjaman kepada usaha kecil di desa. Target hibah adalah masyarakat

miskin, atau sangat miskin (too poor), sehingga mereka tidak berani mengmbil

risiko untuk melakukan pinjaman. VEF telah beroperasi di 12 negara, tetapi saat

ini hanya berkonsentrasi kepada tiga negara di Afrika yang tergolong sangat

miskin, yakni Kenya, Uganda, dan Tanzania. Sumber dana VEF berasal dari

sumbangan-sumbangan (donations), baik dari para individu, komisaris (board of

directors) VEF sendiri, gereja, dan lembaga-lembaga lain.

Prosedur penyaluran bantuan dari VEF dilakuakn secara bertingkat.

Pertama, VEF memberikan hibah dalam jumlah tertentu di desa-desa yang

terpilih, dimana di tiap negara ditunjuk satu direktur (country director) yang

bertanggung jawab menjalankan program VEF di negaranya. Kedua, di setiap

desa ditunjuk seorang coordinator sukarelawan yang berfungsi mengidentifikasi

penerima hibah potensial. Penerima hibah ini harus membuat kelompok minimal

terdiri dari 5 orang, tetapi kegiatan usaha yang ditekuni bisa dilakukan sendiri-

sendiri (misalnya ada 5 jenis). Fungsi kelompok ini hanya melakukan proses

konsolidasi, menyiapkan jaringan antar aplikan yang sama, dan saling memantau

penggunaan yang benar ari hibah yang diberikan. Ketiga, jika eseorang

(kelompok) disetujui proposalnya, maka mereka harus menulis rencana bisnis

yang akan dilakukan, seperti kebutuhan input produksi serta ekspektasi

pengeluaran, penjualan, dan profit. Jika rencana bisnis tersebut dianggap telah

82

dimasukkan dan dianggap layak, maka hibah pertama periode pertama

dikeluarkan.

Pada fase ini biasanya pelatihan, seperti pembukuan, manajemen umum,

dan bagaimana menumbuhkan bisnis, diberikan secara gratis. Keempat, setelah

bisnis berjalan, pada bulan ketiga atau keenam mereka diminta membuat laporan

usaha, biasanya berisi tentang laba yang diperoleh dan masalah yang muncul

dalam bisnisnya. Setelah laporan ini dimasukkan, mereka menerima hibah periode

yang kedua dan penerima hibah dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa

keluar dari pengawasan formal VEF. Mereka hanya akan menjalin kontak dengan

coordinator sukarelawan menerim hibah periode yang kedua tanpa jadwal yang

ketat, yang sekaligus menjadi bahan bagi coordinator sukarelawan untuk

melakukan survei secara periodik.

2.2 Kajian Empiris dan Penelitian Terdahulu

2.2.1 Hubungan Modal Sosial dengan Kinerja Usaha

Penelitian terkait modal sosial sudah banyak dilakukan, salah satunya yang

dilakukan oleh Krishna dan Uphoff (1999). Penelitian ini bertujuan untuk melihat

pengaruh modal sosial terhadap kinerja usaha konservasi air di India. Penelitian

ini dilakukan untuk mengkritisi pendekatan yang pernah digunakan oleh Putnam

(1993). Dalam beberapa dimensi, Krisha dan Uphoff (1999) meyakini bahwa

dimensi seperti persentase voting, pembaca koran, dan jumlah asosiasi formal

pada satu sisi dan Community Land Development Index (CLDI) yang digunakan

oleh Putnam tidak relevan dengan kasus di India, dimana tempat Krishan dan

Uphoff melakukan penelitian. Mereka selanjutnya melakukan revisi terhadap

83

indicator Putnam dengan jalan membangun ukuran modal sosial aternatif dengan

mengkombinasikan enam varabel. Hasil menarik dari temuan Krishna dan Uphoff

adalah tingginya modal sosial ternyata berpengaruh positif terhadap kinerja usaha

konservasi air di India dan aktivitas pengembangan kerjasama pada umumnya.

Variabel yang berpengaruh positif terhadap kinerja usaha konservasi air adalah

variabel partisipasi dalam pengambilan keputusan, eksistensi aturan, pengalaman

sebelumnya dalam kaitannya dengan collective action dan historical legacy.

Penelitian serupa juga banyak dilakukan di luar negeri, seperti yang

dilakukan oleh Ito (2003) pada Grameen Bank di Bangladesh. Ito menemukan

adanya pengaruh positif modal sosial dengan kinerja Grameen Bank, dimana

interaksi sosial yang kuat antara staf bank dengan nasabah memungkinkan dapat

menurunkan default pinjaman dari nasabah. Hal yang sama juga dilaporkan oleh

Jain (1996) yang menemukan bahwa salah satu kunci keberhasilan kinerja

keuangan Grameen Bank adalah budaya manajemen yang salah satunya adalanh

intensifnya interaksi sosial antara pengurus dan nasabah yang memfasilitasi untuk

meningkatkan motivasi nasabah untuk membayar pinjamannya. Van Bastelaer

(2000) menelaah secara lengkap hasil penelitian yang berkaitan antara modal

sosial dengan kinerja program pemberian kredit di negara sedang berkembang.

Dalam simpulan telaah penelitiannya Van Bastelaer mengatakan bahwa salah satu

penentu utama dari keberhasilan program pemberian kredit di banyak negara

sedang berkembang adalah adanya hubungan yang dekat antara peminjam dengan

sumber dana (staf) lembaga keuangan mikro. Ketika pemberi kredit mempunyai

84

hubungan yang dekat dengan peminjam, peranan ikatan interpersonal ini

merupakan elemen penting dalam menjamin terbayarnya pinjaman.

Suyatnayasa (2012), menemukan bahwa faktor produksi modal tidak

berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan usaha bagi industri kecil kerajinan

(IKK). Setelah melakukan kajian mendalam melalui analisis kualitatif, akhirnya

direkomendasikan bahwa pelaku usaha industri kecil kerajinan di Kabupaten

Gianyar, dalam berusaha bermodalkan kesederhanaan berpikir dan bermodalkan

kesadaran spiritual kalau semuanya sudah ada yang mengatur yakni Tuhan Yang

Maha Esa. Ini artinya, secara tidak langsung peneliti merekomendasikan bahwa

modal sosial berkontribusi pada kinerja usaha IKK di Kabupaten Gianyar.

Yuliarmi (2010) melakukan penelitian dengan terkait Peran Pemerintah

dan Lembaga Adat dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (Studi

pada Industri kerajinan di Provinsi Bali). Penelitian dilakukan di lima

Kabupaten/Kota di Provinsi Bali yang mewakili seluruh populasi dari industri

kerajinan. Masing-masing Kabupaten/Kota diwakili oleh satu desa. Pada

masing-masing desa yang dijadikan sampel penelitian diambil sejumlah

pemuka lembaga adat, serta pengrajin yang menghasilkan jenis kerajinan yang

dapat mewakili populasi. Untuk mengetahui peran pemerintah/institusi terkait

diambil beberapa pejabat yang berkompeten pada bidang masing-masing

yang mendukung penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif. Analisis

kuantitatif menggunakan teknik analisis SEM. dan SPSS. Analisis SEM

merupakan pendekatan terintegrasi antara Analisis Faktor, Model Struktural,

85

dan Anasisis Path. Salah satu langkah dalam teknik analisis SEM berkaitan

dengan konversi diagram Path dalam model struktural yang terdiri atas

konversi diagram path model struktural ke dalam model matematika dan

konversi diagram path model pengukuran ke dalam model matematika.

Analisis dengan pendekatan SPSS digunakan untuk menguji ada tidaknya

perbedaan pemberdayaan pada IKM yang yang dorong oleh peran

pemerintah dengan IKM yang tanpa didorong oleh peran pemerintah,

menggunakan uji beda dua rata-rata.

Hasil penelitian menunjukkan 1) Terdapat pengaruh signifikan peran

pemerintah terhadap pemberdayaan IKM di provinsi Bali. 2) Terdapat pengaruh

signifikan peran lembaga adat dilihat dari peran sosial, budaya, ekonomi dan

keuangan terhadap pemberdayaan IKM di provinsi Bali. 3) Terdapat

perbedaan signifikan pemberdayaan pada IKM yang didorong oleh peran

pemerintah dengan IKM yang tidak didorong oleh peran pemerintah. 4) Terdapat

pengaruh signifikan modal sosial terhadap peran lembaga adat dilihat dari peran

sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.

2.2.2 Hubungan Modal Sosial dengan Pembangunan

Lochart (2005) melakukan penelitian mengenai perbandingan hasil derajat

modal sosial yang dihasilkan dari program penanggulangan kemiskinan oleh

institusi sekuler dan institusi kegamaan. Hasilnya adalah program yang dijalankan

oleh institusi keagamaan menghasilkan peningkatan modal sosial masyarakat

dibandingkan dengan yang lainnya. Selain itu, modal sosial dapat berpengaruh

secara efektif bagi penduduk miskin dalam meningkatkan kesempatan kerja.

86

Ismawan (2000) melakukan penelitian mengenai kaitan antara intervensi

ekonomi, modal sosial, lembaga keuangan mikro dan pengurangan kemiskinan.

Hasil penelitiannya menginformasikan bahwa intervensi pemerintah dalam

berbagai program khususnya intervensi pada pasar keuangan dapat memperkuat

modal sosial masyarakat, melalui fasilitas terbentuknya kelompok dan

meningkatnya interaksi sosial masyarakat. Hasil penelitian ini juga membuktikan

bahwa LKM sebagai salah satu pendekatan untuk menanggulangi kemiskinan di

perdesaan karena dapat memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat

miskin selama ini yang tidak dapat mengakses pasar kredit formal.

Grootaert (1999) melakukan penelitian mengenai kaitan antara modal

sosial, kesejehteraan keluarga dan kemiskinan di Indonesia. Dengan

menggunakan data dari 3 provinsi di Indonesia yaitu provinsi Jambi, Jawa Tengah

dan Nusa tenggara Timur serat dengan metode pengukuran modal sosial yang

lengkap dan baku melaporkan bahwa modal sosial dapat memfasilitasi dalam

meningkatkan akses kredit dan pendapatan atau kesejahteraan bagi penduduk

miskin. Grootaert (1999) melaporkan bahwa keterlibatan dan keaktifan

masyarakat di dalam dan di luar organisasi lokal mampu meningkatkan akses

kredit.

Temuan Grootaert ini sejalan dengan temuan Sharma dan Zeller (1997)

yang melaporkan bahwa meningkatnya modal sosial masyarakat di masyarakat

Bangladesh mempunyai spilover yang positif terhadap kinerja kelompok

kreditnya. Meskipun penelitian Grootaert di Indonesia ini tergelong pioneer dalam

kaitannya dengan modal sosial namun hasilnya dirasakan kurang memuaskan.

87

Lawang (2004) menyangsikan hasilnya khususnya dalam konteks di Nusa

Tenggara Timur mengingat data BPS dan potensi desa menunjukkan bahwa

kondisi sosial ekonomi masyarakat Nusa tenggara Timur termasuk dalam tiga

provinsi termiskin di Indonesia. Menurut Lawang, ini berarti kemiskinan di NTT

tidak berkurang. Terlepas dari kesangsian ini, hasil penelitian Grootaert ini

memberikan entry point bagi penelitian yang mendalam tentang modal sosial di

Indonesia.

Malucio, Haddad dan May (1999) meneliti pengaruh modal sosial

terhadap pengeluaran rumah tangga di Afrika Selatan. Mereka menggunakan

panel data dari tahun 1993 dan 1998 serta menggunakan indicator kepadatan

kelompok, heterogenitas gender dan kinerja group sebagai komposisi penyusun

indeks modal sosial. Untuk instrument modal sosial mereka menggunakan

beberap variabel lag modal sosial tahun 1993, rata-rata pendidikan, umur kepala

rumah tangga, umur kepala rumah tangga dikuadrat dengan jumlah total

kelompok dalam masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan metode OLS

(Ordinary least Square) dari data tahun terpisah (1993 dan 1998) mereka

menemukan bahwa untuk data tahun 1993 modal sosial rumah tangga dan

masyarakat tidak berpengaruh positif terhadap pengeluaran rumah tangga.

Sebaliknya untuk data tahun 1998 mereka menemukan bahwa meningkatnya 10

persen modal sosial rumah tangga atau modal sosial masyarakat mampu

meningkatkan 1,2 persen tingkat penegeluaran rumah tangga. Hasil menarik

lainnya dari temuan mereka adalah setelah melakukan kontrol terhadap variabel

lain dalam keluarga, tingkat modal sosial rumah tangga dan modal sosial

88

masyarakat tetap tidak berpengaruh signifikan pada tingkat pengeluaran rumah

tangga untuk data tahun 1993. Sementara untuk data tahun 1998 hasilnya masih

konsisten dengan tahun sebelumnya yaitu peningkatan 10 persen modal sosial

rumah tangga atau modal sosial masyarakat mampu meningkatkan 0,9 persen

tingkat pengeluaran rumah tangga.

Knack and Keefer (1997) melalui penelitian lintas negara menemukan

bahwa meningkatnya 12 persen trust masyarakat mampu meningkatkan

pertumbuhan pendapatan per kapita 1 persen. Sementara itu meningkatnya 7

persen tingkat trust mampu meningkatkan 1 persen share investasi dari GDP.

Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Zack and Knack (2001) yang

melaporkan bahwa trust berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi dalam periode yang lama. Menurut mereka trust lebih tinggi di negara

yang kelembagaan formalnya mampu menegakkan kontrak dan mengurangi

kemiskinan. Sejumlah studi lain secara singkat melaporkan kaitan antara trust

(bagian dari komponen modal sosial) dengan pertumbuhan. La Porta et al dalam

Knack (2002) melaporkan bahwa trust dari individu berhubungan positif dengan

pertumbuhan ekonomi. Granato et al (1996) menguji variabel trust dan lima

variabel budaya lainnya dengan regresi pertumbuhan untuk periode tahun 1980-

1990 dengan mengontrol variabel tingkat pendapatan per kapita dan kehadiran

sekolah menemukan bahwa trust berpengaruh positif terhadap pertumbuhan.

Sementara itu Putnam (1993) menganggap bahwa keanggotaan individu dalam

dalam organisasi sebagai sumber trust dan ikatan sosial kondusif bagi performa

ekonomi. Sementara Knack and Keefer (1997) dengan menggunakan regresi tipe

89

Barro menemukan bahwa keanggotaan dalam organisasi tidak berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan tingkat investasi.

Grootaert (1999), Narayan dan Princhett (1999) melalui penelitian dengan

menggunakan data dari tingkat individu dan tingkat desa menemukan bahwa

modal sosial dalam bentuk trust atau ikatan sosial dapat memainkan peranan yang

penting dalam mengurangi kemiskinan. Ikatan sosial yang mereka miliki mampu

meningkatkan akumulasi akses kredit, collective action dan pada akhirnya mampu

meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat. Sementara Chuzu

(2002) melakukan penelitian di Afrika Selatan dengan menggunakan indeks

modal sosial Grootaert (1999), Krishna dan Uphoff (1999) serta modifikasi dari

kedua model tersebut menemukan bahwa modal sosial berpengaruh terhadap

pendapatan. Diantara indikator modal sosial Chuzu (2002) menyebutkan bahwa

network rumah tangga paling berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga

dan berpengaruh terhadap efisiensi teknik usaha tani rumah tangga.

2.2.3 Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan Kinerja Usaha

Sesuai dengan pencitraan perdesaan pada umumnya, masyarakat

perdesaan identik dengan para petani dan kehidupan para petani. Kehidupan

perdesaan tidak lepas dari perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani yaitu

pola ekonomi yang berorientasi subsistem (Scott, 1981), dengan pelaku utama

para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah

hasil pertanian, serta industri rumah tangga. Para pelaku usaha ini pada umumnya

masih dihadapkan pada permasalahan klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal.

Sebagai unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup

90

masyarakat perdesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak aktivitas

sektor pertanian dan perdesaan. Kehadiran LKM dibutuhkan paling tidak karena

dua hal (Pantoro, 2008). Pertama, sebagai salah satu instrumen dalam rangka

mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha

skala mikro. Terminologi World Bank, mereka disebut sebagai economically

active poor atau pengusaha mikro.

Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90 persen unit

usaha merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro

merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development

atau development through equity. Mereka membutuhkan permodalan guna

mengembangkan kapasitas usahanya. melalui peningkatan usaha secara efektif

akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri dan diharapkan

dapat membantu masyarakat dalam kategori fakir miskin. Pada sisi lain, skim

keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan

rendah. Kedua, LKM dibutuhkan karena menjadi salah satu instrumen

pengembangan pasar keuangan mikro.

Secara pragmatis, pasar keuangan mikro merupakan aspek keuangan dari

semua proses ekonomi di segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang

menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata

tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di

segmen mikro pelaku usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa

mereka mempunyai potensi menabung, dan dapat diberdayakan mempunyai

kemampuan menabung. Pendek kata, pada pasar keuangan mikro terdapat potensi

91

besar dalam hal penawaran (tabungan) dan permintaan (kredit). Berdirinya LKM

merupakan jawaban dari kurang pekanya lembaga keuangan formal dalam

merangkul UKM, sehingga peranannya bisa dibilang sebagai katup penyelamat

dalam proses pembangunan ekonomi perdesaan.

Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan

yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Segi

kualitas dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari

prosentase keberhasilan program. Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa

partisipasi masyarakat dalam menerima hasil pembangunan tergantung pada

distribusi maksimal suatu hasil pembangunan yang dinikmati atau dirasakan

masyarakat, baik pembangunan fisik maupun pembangunan non fisik. Ndraha

(1983) mengatakan bahwa partisipasi dalam menerima hasil pembangunan berarti:

menerima setiap hasil pembangunan seolah-olah milik sendiri; menggunakan atau

memanfaatkan setiap hasil pembangunan; mengusahakan; merawat, memelihara

secara rutin dan sistematis, tidak dibiarkan rusak dengan anggapan bahwa kelak

tidak ada bantuan pemerintah untuk pembangunan yang baru.

Penelitian yang dilakukan didapatkan ternyata partisipasi masyarakat

dalam pemanfaatan kinerja LKM belum maksimal. Kenyataan masyarakat sangat

antusias dalam menerima program LKM, karena mengetahui akan ada bantuan

yang akan diberikan. Begitu pula dengan pinjaman dana bergulir, masyarakat

terus merawat kepercayaan yang telah diberikan LKM sehingga tingkat

pengembaliannya 100 persen. Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa

pengaruh positif partisipasi masyarakat terhadap kinerja LKM dapat

92

dipertahankan apabila LKM tersebut memiliki kinerja keuangan dan jangkauan

(outreach) yang baik.

Beberapa studi tentang LKM telah difokuskan pada penilaian kinerja dan

sustanabilitas (sustainability) LKM dengan mengevaluasi indikator-indikator

keuangannya (seperti profitabilitas dan tingkat pengembalian pinjaman atau

repayment rate) yang secara langsung mempengaruhi tingkat kemandirian (self-

sufficiency), jangkauan, dan mekanisme pemberian kredit (Chaves& Gonsales-

Vega,1996, Christen, Rhyne,& Vogel,1995. Christen, 1998, Riedinger, 1994,

Woolcock, 1999, Yaron, Benjamin, & Charitonenko, 1998,Yaron, Benjamin, &

Piprek, 1997). Studi lain yang dilakukan oleh Chaves dan Gonzales-Vega (1996)

mengungkapkan bahwa keberhasilan LKM di Indonesia adalah sebagai akibat dari

rancangan organisasi tersebut dalam melibatkan partisipasi masyarakat. Mereka

berpendapat bahwa rancangan dari suatu organisasi dalam meningkatkan

partsipasi masyarakat sangatlah penting karena hal itu akan menentukan kinerja

LKM tersebut.

Kinerja keuangan LPD secara keseluruhan merupakan gambaran prestasi

yang dicapai LPD dalam operasionalnya, baik menyangkut aspek keuangan,

pemasaran, penghimpunan dan penyaluran dana, teknologi maupun sumber daya

manusia. Kinerja keuangan Bank/LPD merupakan gambaran kondisi keuangan

Bank/LPD pada suatu periode waktu tertentu baik menyangkut aspek

penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang biasanya diukur dengan

indikator kecukupan modal, likuiditas dan profitabilitas Bank/LPD (Jumingan,

2006). Bagi Lembaga Keuangan/Bank dan Lembaga perkreditan Desa/LPD,

93

kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang sangat penting, dalam rangka

pengembangan usaha yang sehat dan dapat menampung risiko kemungkinan

kerugian. Apabila kinerja keuangan LPD baik, diharapkan dapat meningkatkan

pertumbuhan LPD untuk jangka panjang, sebaliknya apabila kinerja keuangan

LPD buruk akan dapat menurunkan pertumbuhan LPD.

Study dari Chaves & Gonsales-Vega juga mengungkapkan bahwa LPD

Bali telah melibatkan agen-agen desa dalam sistem pemberian kredit mereka,

yang biasa disebut dengan tehnik pemberian pinjaman berdasarkan karakter

(character-based lending technique). Chaves & Gonsales-Vega lebih lanjut

menyatakan bahwa pemberian pinjaman berdasarkan karakter (masyarakat) dan

pengawasan lokal sudah cukup efisien untuk menghindari kesalahan fatal dalam

menilai kemungkinan pengembalian pinjaman (Arsyad, 2008).

2.2.4 Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan Pembangunan

Partisipasi masyarakat adalah suatu hal yang sangat penting dalam

pemerintahan demokratis, terutama dalam praktek pemerintahan daerah. Yusran

(2006) mengartikan partisipasi masyarakat sebagai keterlibatan terus-menerus dan

aktif dalam pembuatan keputusan yang dapat memengaruhi kepentingan umum.

Partisipasi masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar

masyarakat senantiasa merasas memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap

pembangunan kehidupan bersama warga desa. Partisipasi pada intinya adalah agar

masyarakat ikut serta dengan pemerintah memberikan bantuan guna

meningkatkan, memperlancar, mempercepat, dan menjamin berhasilnya usaha

94

pembangunan. Secara umum partisipasi dapat diartikan sebagai pengikutsertaan

atau pengambilan bagian dalam kegiatan bersama.

Partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam segala

proses pembangunan baik dari sisi perencanaan, pengambilan keputusan,

pelaksanaan dan evaluasi kegiatan dan merupakan urutan tertinggi dari suatu

keterlibatan publik (Steffek, J (2008), Fung (2008)). Pemberdayaan masyarakat

adalah salah satu tujuan partisipasi masyarakat, selain itu dari sisi kapasitas

penerima manfaat, meningkatkan efektifitas proyek, meningkatkan efisiensi

proyek, dan berbagi biaya proyek juga merupakan tujuan yang ingin dicapai

dengan adanya partisipasi masyarakat (Paul, 1987 dalam Mircea 2011).

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan keterlibatan

anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan

dan pelaksanaan (implementasi) program atau proyek pembangunan yang

dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Partisipasi atau peran serta masyarakat

dalam pembangunan pedesaan dapat diartikan sebagai aktualisasi dari kesediaan

dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam

implementasi program atau proyek di masyarakat (Adisasmita, 2006).

Mubyarto (1984), “Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan

diartikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai

kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorban kepentingan diri sendiri”.

Dalam keadaan yang paling ideal keikutsertaan masyarakat merupakan ukuran

tingkat partisipasi rakyat. Semakin besar kemampuan mereka untuk menentukan

nasibnya sendiri, semakin besar pula kemampuan mereka dalam pembangunan.

95

Pembangunan di perkotaan maupun perdesaan dapat dikatakan sukses

dilihat dari sejauh mana perencanaan pembangunan tersebut mampu mengundang

partisipasi masyarakat ditempat tersebut (Fadli, 2012). Keterlibatan masyarakat

penerima program mengakibatkan keberhasilan pembangunan tersebut akan

sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri (Mediawati, 2011).

Pada proses perencanaan dimana partisipasi masyarakat merupakan level tertinggi

jika dilihat dari sisi keterlibatan masyarakat (Salahuddin, 2012).

Keberhasilan dalam pembangunan dapat dicapai jika pemerintah memberi

tanggung jawab kepada masyarakat untuk menentukan sendiri kebutuhan, proses

pelaksanaan dan pemeliharaan suatu kegiatan, selain adanya partisipasi

masyarakat dalam pembangunan (Mardiansyah, 2008). Pembangunan yang

menempatkan posisi masyarakat selaku subjek dan terlibat secara aktif dalam

sebuah program pembangunan untuk kepentingan masyarakat sendiri merupakan

definisi dari pembangunan partisipatif (Amado et. al, 2010). Partisipasi

masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai kesuksesan dan

keberlanjutan suatu program pembangunan disegala aspek (Fung, 2009).

Penelitian partisipasi masyarakat terhadap tingkat keberhasilan proyek

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi pernah dilakukan oleh

Listya (2010). Variabel yang digunakan adalah partisipasi masyarakat dan tingkat

keberhasilan proyek. Hasil Penelitian tersebut antara lain variabel Partisipasi

masyarakat yang paling berpengaruh di Kabupaten Banyuwangi adalah tahapan

partisipasi. Sedangkan untuk tingkat keberhasilan proyek, variabel yang paling

berpengaruh adalah kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. Fadli (2010)

96

melakukan penelitian kepemimpinan dan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan di desa kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Hasil

penelitiannya bahwa tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan lebih

dominan bersumber dari peran-peran kepemimpinan serta partisipasi masyarakat

dalam pembangunan lebih terpusat pada aspek perencanaan.

2.2.5 Hubungan Kinerja Usaha dengan Pembangunan

Adanya hubungan antara kontribusi kinerja LPD dengan pembangunan

perdesaan didasarkan atas beberapa hasil penelitian terdahulu. Komite

Pemberantasan Kemiskinan (Sutopo, 2005) untuk mencapai sasaran penurunan

angka kemiskinan diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat melalui dua cara,

yaitu pertama, mengurangi kemiskinan dan kedua, meningkatkan produktivitas

masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Sumodiningrat (2003)

menyatakan bahwa peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan

dan pemberdayaan usaha masyarakat, terutama Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan dan pendampingan.

Usaha mikro merupakan mayoritas dari total usaha yang ada di Indonesia sebab

berjumlah 98 persen dari total unit usaha atau 39 juta usaha.

Suartana dan Ariyanto (2012) melakukan penelitian yang mengkaji

hubungan antara rasio kinerja internal LPD dengan penanggulangan kemiskinan

di Provinsi Bali. Adapun hasil penelitannya adalah analisis kinerja internal lewat

analisis informasi keuangan terbukti bisa memprediksi penurunan angka

kemiskinan. Rasio ROA berpengaruh secara negatif dan signifikan, artinya

peningkatan persentase ROA dapat mengakibatkan penurunan angka kemiskinan.

97

Tetapi ada beberapa variabel, seperti rasio akses dan rasio nasabah tidak memiliki

pengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan. Ini artina jumlah LPD yang ada

belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Rasio kredit juga tidak

berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan. Sama seperti rasio akses,

jumlah kredit yang disalurkan belum secara optimal dimanfaatkan oleh

masyarakat atau kemungkinan kredit disalurkan belum menyentuh masyarakat

yang ada di bawah garis kemiskinan.