BAB II ) dalam - Universitas Udayana...24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Teori...
Transcript of BAB II ) dalam - Universitas Udayana...24 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Teori...
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Teori Pembangunan
Teori Pembangunan dijadikan teori utama (Grand Theory) dalam
penelitian ini. Pembangunan bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek (ekonomi) saja.
Pembangunan ekonomi adalah bagian dari cabang ilmu ekonomi yang secara
khusus mempelajari tentang pembangunan ekonomi suatu negara dalam jangka
panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan dan perencanaan yang
baik. Sen, 1999 (Arsyad, 2010) menyatakan bahwa: Development can be seen, it
is argued here, as a process of expanding the real freedom that people enjoy.
Ekonomi pembangunan memiliki sifat antara lain: a) adanya proses yang
menunjukkan perubahan yang terjadi secara terus menerus, b) adanya usaha untuk
meningkatkan pendapatan per kapita, c) peningkatan tersebut berlangsung dalam
jangka panjang, d) adanya sistem kelembagaan yang mencakup bidang ekonomi,
politik, hukum, sosial dan budaya.
Istilah pembangunan (development) secara tradisional diartikan sebagai
kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya
kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk
menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau GNP
(Gross National Product) tahunan pada tingkat, katakanlah 5 persen hingga 7
persen, atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu memang memungkinkan
25
(Todaro, 2004). Pengertian pembangunan mengalami perubahan karena
pengalaman pada tahun 1950-an dan 1960-an menunjukkan bahwa pembangunan
yang berorientasikan pertumbuhan GNP saja tidak akan mampu memecahkan
permasalahan pembangunan secara mendasar di negara berkembang.
Goulet dan tokoh lainnya mengatakan, bahwa paling tidak ada tiga
komponen dasar atau inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman
praktis untuk memahami arti pembangunan yang paling hakiki. Ketiga nilai inti
tersebut adalah 1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya (sustenance), 2) meningkatknya rasa harga diri (self esteem)
masyarakat sebagai manusia, dan 3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk
memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi
manusia.
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu
perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga
infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin
berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi, dan teknologi semakin meningkat.
Sebagai implikasi dari perkembangan ini diharapkan kesempatan kerja akan
bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat semakin
tinggi (Sukirno, 2006). Proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak
harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut:
1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang
kebutuhan hidup yang pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan
perlindungan keamanan.
26
2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan,
tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapanagan pekerjaan, perbaikan
kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki
kesejahteraan materiil, tetapi menumbuhkan harga diri pada pribadi dan
bangsa yang bersangkutan.
3. Perluasan pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara
keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap
menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara
lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai
kemanusiaan.
2.1.1.1 Teori Pembangunan Endogen
Salah satu pendekatan paradigma pembangunan perdesaan yang bersifat
bottom up dikenal dengan istilah pembangunan endogen untuk perdesaan
(endogenous rural development approach). Strategi atau pendekatan
pembangunan endogen ini muncul pada awalnya di Eropa, Amerika Utara, dan
Jepang pada pertengahan tahun 1970-an (Yamamoto, 2007). Sosiolog dan
ekonom memperkenalkan pendekatan tersebut untuk menciptakan model
pertumbuhan ekonomi berbasiskan komunitas (community-based economic
growth) yang diharapkan akan dapat mempertahankan dan mempercepat
perkembangan sumberdaya dan industri lokal. Para pendukung strategi ini
mengkritik strategi-strategi eksogen yang lebih bersifat top down yang banyak
digunakan sebelumnya, yang menggunakan mekanisme perencanaan terpusat dan
27
membawa sumberdaya eksternal ke masyarakat perdesaan tetapi tanpa melibatkan
mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Massey (1984) mendefinisikan pembangunan endogen sebagai suatu
pendekatan kewilayahan (territorial approach) dalam proses pertumbuhan
ekonomi dan perubahan struktural yang dimotori oleh komunitas lokal dan
memanfaatkan potensi-potensi lokal dalam pembangunan untuk memperbaiki
tingkat kehidupan penduduk lokal. Arocena (1995) mengatakan bahwa
pembangunan endogen merupakan proses pembangunan dimana aspek sosial
terintegrasi dengan aspek ekonomi. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah
(public) dan swasta bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas
perusahaan dan daya saingnya, tetapi juga dalam menyelesaikan dan memperbaiki
kehidupan masyarakat lokal.
Muhlighaus dan Walty (2001) mendefinisikan pembangunan endogen
sebagai strategi pembangunan yang ditentukan sendiri (self determined) yang
bersifat partisipatif yang berbasiskan pada kebutuhan lokal dan penggunaan
potensi-potensi endogen. ITP (2007) mendefinisikan pembangunan endogen
sebagai pembangunan yang terutama sekali didasarkan, sepenuhnya pada
sumberdaya lokal, pengetahuan lokal, dan kepemimpinan lokal dengan
keterbukaan untuk memadukan pengetahuan tradisional dan yang berasal dari
luar. Meskipun strategi pembangunan endogen ini didefinisikan secara berbeda-
beda oleh para pakar, tetapi esensinya tetap sama yakni strategi pembangunan
yang mengandalkan terutama sekali pada kebutuhan, seluruh potensi, dan pelaku
lokal dari suatu daerah tertentu (locality).
28
Lowe et. al (1998) mengungkapkan karakter dasar dari pembangunan
endogen untuk perdesaan sebagai berikut:
1. prinsip utama, sumberdaya khusus suatu wilayah (alam, manusia, dan budaya)
merupakan kunci pembangunan yang berkelanjutan.
2. kekuatan dinamis, inisiatif lokal dan perusahaan lokal.
3. Fungsi daerah perdesaan, perekonomian dengan pelayanan yang beragam.
4. Masalah pembangunan perdesaan yang utama, keterbatasan kapasitas suatu
wilayah dan kelompok sosial untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi
dan pembangunan.
5. Fokus pembangunan perdesaan, pengembangan kapasitas (capacity building)
(keterampilan, institusi, dan infrastruktur) dan mengurangi masalah
keterasingan sosial.
Muhlighaus dan Walty (2001) menggambarkan beberapa karakteristik
pembangunan endogen sebagai berikut:
1. Optimalisasi potensi yang bersifat endogen (endogenous potenstials).
Pendekatan ini menganggap bahwa banyak potensi dan kemampuan lokal
yang belum diidentifikasi dan dimanfaatkan didalam kebijakan pembangunan
regional yang telah dilakukan. Pembangunan endogen harus berdasarkan pada
mobilisasi dari potensi-potensi tersebut. Potensi yang bersifat endogen dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan peluang dalam ruang dan waktu yang
terbatas, termasuk sumberdaya alam, keterampilan manusia (human skills) dan
kemampuan sosial (social abilities).
29
2. Meningkatkan ekonomi regional. Konsep pembangunan endogen bertujuan
untuk meningkatkan otonomi daerah dalam upaya untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pengaruh dari luar. Program untuk mencapai tujuan
tersebut mencakup peningkatan kerjasama intra wilayah, substitusi produk dan
jasa impor, dan mengekspor barang yang kompetitif.
3. Sustainable development. Pembangunan endogen tidak terbatas hanya pada
aspek ekonomis saja. Strategi ini bertujuan untuk memperlakukan masalah
ekonomi, ekologis, dan sosial secara setara sehingga dapat diharapkan untuk
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
4. Pentingnya partisipasi masyarakat lokal. Pembangunan endogen ditentukan
sendiri (self determined) oleh masyarakat lokal dan mengacu kepada
kebutuhan lokal. Partisipasi penduduk lokal dalam proses pengambilan
keputusan merupakan karakteristik utama dari pendekatan ini.
5. Penciptaan identitas regional (regional identity). Pembangunan endogen akan
berhasil jika masyarakat mampu mengidentifikasi dengan baik wilayah di
mana mereka hidup dan berkehidupan. Identitas regional akan mengikat
masyarakat untuk lebih termotivasi terlibat di dalam kegiatan-kegaiatan dalam
komunitasnya. Lebih dari itu, strategi ini juga akan berkontribusi pada
penciptaan identitas kelompok yang pada gilirannya menciptakan rasa ikut
memiliki dan meningkatkan komunikasi dan kerja sama.
Vasquez-Barquero (2002) berpendapat bahwa strategi pembangunan
endogen mencari kepuasan kebutuhan dan permintaan lokal melalui partisipasi
aktif dari masyarakat lokal dalam proses pembangunan. Strategi pembangunan ini
30
tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki sisi produksi (pertanian, industri, dan
jasa), tetapi juga untuk mendorong dimensi sosial dan budaya yang memengaruhi
kehidupan masyarakat. Vasquez-Barquero (2005) juga menekankan bahwa
pembangunan endogen berkaitan dengan proses akumulasi modal pada suatu
wilayah tertentu (specific localities) dengan memerhatikan kapasitas wilayah
dalam penyebaran inovasi ke seluruh sistem produksi lokal dan peran yang
dimainkan oleh sistem inovasi lokal. Efisiensi penggunaan potensi lokal juga
sangat ditentukan oleh bagaimana bekerjanya institusi di wilayah perdesaan.
Pernyataan Vasquez-Barquero juga sejalan dengan pendapatan Douglas C.
North, seorang ekonom kelembagaan. North (1990, 1994) menekankan bahwa
proses pembangunan tidak terpisah dan memiliki akar kelembagaan dan budaya
yang kuat. Pembangunan ekonomi harus memerhatikan kekuatan sistem
kelembagaan dari suatu wilayah. Nilai strategis dari aspek kelembagaan ini adalah
bahwa perubahan kelembagaan dan pembangunan akan menurunkan biaya
transaksi dan produksi, memperkuat rasa percaya (trust), dan meningkatkan
pembelajaran dan interaksi. Institusi dapat memengaruhi produktivitas dan pada
gilirannya memengaruhi proses pembangunan.
2.1.2 Pembangunan Perdesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial
Dalam perspektif pembangunan (Boeke, 1983) menyimpulkan bahwa
perekonomian di Indonesia terbagi dalam dua sektor, yaitu tradisional dan modern
yang tidak saling berhubungan. Boeke menyatakan bahwa sektor tradisional perlu
dirangsang dengan adanya instentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi.
Sebaliknya, Greetz dalam Marshus (1995) menyatakan upaya perbaikan macam
31
apapun tidak akan berhasil dilakukan. Scott (1967), persoalan yang berlaku pada
masyarakat perdesaan adalah rasionalitas sosial yang lebih mementingkan
kebersamaan ketimbang persaingan. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek
kelembagaan maupun teknologi justru akan menimbulkan resistensi.
Selama ini permasalahan proses pembangunan perdesaan adalah tidak
terbangunnya kelembagaan sektor ekonomi sebagai instrumen untuk mengatasi
kelangkaan modal (lack of capital) di wilayah perdesaan. Syahyuti (2004), peran
kelembagaan dalam pembangunan perdesaan merupakan pintu masuk agar suatu
lembaga dapat berdiri dan diterima, khususnya di dalam aspek ekonomi.
Revitalisasi kelembagaan ekonomi dinilai penting, agar kelembagan ini bisa
kembali terlegitimasi dalam setiap individu yang berada didalamnya, bisa
menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), jika rasa memiliki ini sudah
muncul, setiap individu akan berpartisipasi dan kelembagaan ini akan berkembang
sehingga potensial untuk bisa mensejahterakan masyarakat karena di dalamnya
sudah ada pembagian peran dan tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka.
Berdasarkan perkembangan pembangunan perdesaan yang terjadi selama
beberapa dekade ini, terlihat bahwa fase tersebut mengidentifikasikan proses
komersialisasi perdesaan. Diperlukan upaya agar penduduk perdesaan bisa lepas
dari komersialisasi ini, yaitu dengan cara menguatkan sistem produksi dan
pengolahan yang berbasis tradisional sehingga masyarakat perdesaan tidak melulu
ada dalam posisi subordinat. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan
adanya modal yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan.
32
Keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah perdesaan.
Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan. Tidak
berjalannya aktivitas ekonomi menyebabkan masyarakat berada dalam posisi
subordinat (Ellis dan Biggs, 2001). Berbekal dari situasi ini, sudah seyogyanya
para perumus kebijakan pembangunan perdesaan mengawinkan kelembagaan
sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar mampu menggerakkan
kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan, khususnya usaha mikro.
Yustika (2008) melihat secara umum persoalan lembaga keuangan di
perdesaan dapat diidentifikasi menjadi tiga aspek berikut:
1. Masalah akses kredit.
2. Posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah
menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan
formal maupun semi-formal.
3. Informasi yang asimetris (asymetric information) dari pemberi
pinjaman/kredit terhadap peminjam (borrower).
Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan dibedakan dalam tiga
jenis: (a) lembaga keuangan formal; (b) lembaga keuangan semi-formal; (c)
lembaga keuangan mikro. Lembaga keuangan dikatakan formal jika lembaga
tersebut secara operasional diatur dalam Undang-Undang perbankan dan
disupervisi oleh bank sentral. Lembaga keuangan semi-formal adalah lembaga
keuangan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen
pemerintah maupun bank sentral. LKM beroperasi di luar regulasi dan supervisi
lembaga pemerintah.
33
LKM bukan sekadar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi,
tetapi kadang-kadang menyediakan pinjaman dalam bentuk barang (in-kind),
(Yustika, 2008). Karakter yang fleksibel, membuat LKM memiliki daya tahan
yang kuat untuk hidup di wilayah pedesaan, karena LKM ini bersifat sangat
fleksibel dalam artian memiliki hubungan personal antara kreditor dan debitor dan
nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Tidak ada kontrak
maupun persyaratan sejumlah agunan seperti pada lembaga keuangan formal.
Dengan segala kemudahan inilah lembaga keuangan mikro sangat diterima di
kalangan perdesaan.
Bank Pembangunan Asia mendefinisikan keuangan mikro sebagai
penyediaan jasa-jasa keuangan dalam ragam yang luas seperti tabungan,
pinjaman, jasa pembayaran, pengiriman uang, dan asuransi untuk rumah tangga
miskin dan berpenghasilan rendah (ADB, 2000). Definisi ADB tersebut
mencakup rumah tangga berpenghasilan rendah dan juga rumah tangga yang
berada di bawah garis kemiskinan karena ada rumah tangga berpenghasilan
rendah yang tidak berada di bawah garis kemiskinan tetapi memiliki akses yang
terbatas terhadap jasa keuangan, terutama di daerah perdesaan.
Sebuah definisi yang sedikit berbeda dirumuskan oleh Meagher (2002).
Dia berpendapat bahwa keuangan mikro adalah pemberian pinjaman uang dalam
jumlah kecil dan dalam jangka waktu yang singkat dengan frekuensi pelunasan
yang tinggi. Dalam kaitannya dengan definisi LKM, dia berpendapat bahwa
prinsip utamanya adalah untuk memberikan definisi yang akan dapat menjadikan
anggota-anggota pasar memiliki tanggung jawab, penuh semangat, dan inovatif.
34
Secara hukum definisinya harus cukup luas sehingga dapat difokuskan pada
kelompok sasaran tertentu dan dapat menyediakan jasa keuangan dengan ragam
yang luas yang sesuai dengan kelompok tersebut.
Lembaga keuangan mikro memiliki kelebihan yang nyata, yaitu
prosedurnya yang sederhana, tanpa agunan, hubungannya yang cair (personal
relationship), dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel (negotiable
repayment). Karakteristik itu sangat sesuai dengan ciri pelaku ekonomi di
perdesaan (khususnya di sektor pertanian) yang memiliki asset terbatas, tingkat
pendidikan rendah dan siklus pendapatan yang tidak teratur (bergantung panen).
Karakter perdesaaan seperti itulah yang ditangkap dengan baik oleh pelaku
lembaga keuangan mikro, sehingga eksistensinya mudah diterima oleh
masyarakat kecil.
Kelemahan utama dari lembaga keuangan mikro, yakni tingkat bunga
kredit yang sangat tinggi, harus diperbaiki sebab keberadaannya cenderung
eksploitatif kepada masyarakat miskin. Pemerintah dapat mendesain regulasi
dengan jalan membatasi tingkat suku bunga, atau memperluas akses masyarakat
miskin kepada kredit formal sehingga dalam jangka panjang tingkat bunga
lembaga keuangan mikro akan tertekan. Model inilah yang harus diadopsi agar
kepentingan masyarakat kecil tidak dirugikan.
Kehadiran LKM dibutuhkan paling tidak karena dua hal (Pantoro, 2008).
Pertama, sebagai salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan.
Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha skala mikro. Terminologi
World Bank, mereka disebut sebagai economically active poor atau pengusaha
35
mikro. Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90 persen unit
usaha merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro
merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development
atau development through equity. Mereka membutuhkan permodalan guna
mengembangkan kapasitas usahanya. Dengan usaha yang meningkat (menjadi
usaha skala kecil), secara efektif akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh
mereka sendiri dan diharapkan dapat membantu masyarakat dalam kategori fakir
miskin. Pada sisi lain, skim keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat berpenghasilan rendah. Kedua, LKM dibutuhkan karena menjadi
salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan mikro. Secara pragmatis,
pasar keuangan mikro merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di
segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit
usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna
menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di segmen mikro pelaku-pelaku
usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa mereka mempunyai
potensi menabung, dan/atau dapat diberdayakan mempunyai kemampuan
menabung. Pendek kata, pada pasar keuangan mikro terdapat potensi besar dalam
hal penawaran (tabungan) dan permintaan (kredit). Berdirinya LKM merupakan
jawaban dari kurang pekanya lembaga keuangan formal dalam merangkul UKM,
sehingga peranannya bisa dibilang sebagai katup penyelamat dalam proses
pembangunan ekonomi pedesaan.
36
2.1.3 Teori Kinerja
Bernardin dan Russel (2002) memberikan pengertian kinerja sebagai
berikut: “performance is defined as the record of outcomes produced on a
specified job function or activity during time period. Prestasi atau kinerja adalah
catatan tentang hasil yang diperoleh dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan
selama kurun waktu tertentu. Gibson, dkk (2003), job performance adalah hasil
dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja
kefektifan kinerja lainnya. Ilyas (1999), kinerja adalah penampilan hasil kerja
personil maupun dalam suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas
kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga
kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi.
Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Simanjuntak (2005), kinerja
adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja
perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan
perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan
untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-
masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. Irawan (2002),
bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat
diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan
organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam
kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dapat disimpulkan bahwa
pengertian kinerja mengandung substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang.
37
Kinerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok
orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga
(institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance)
terdapat hubungan yang erat. Bila kinerja karyawan (individual performance)
baik, maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga
baik.
Penilaian kinerja keuangan mikro harus didasarkan pada tujuan
pendiriannya. Tujuan utama kebanyakan keuangan mikro dalah meningkatkan
kesejahteraan orang-orang miskin. Ada dua pendekatan yang digunakan untuk
mencapai tujuan itu (1) pendekatan kesejahteraan (welfarist), mengukur
keberhasilan terutama dari kemampuan institusi untuk memenuhi kebutuhan
orang-orang yang paling miskin dalam waktu singkat, atau pengurangan
kemiskinan, (2) pendekatan institusional, mengukur keberhasilan berdasarkan
sustanabilitas keuangan mikro dengan asumsi bahwa keuangan mikro yang
memiliki sustanabilitas akan mampu membantu meningkatkan pendapatan dan
mengurangi kemiskinan.
Keuangan mikro dianggap sebagai perantara keuangan yang bertujuan
menyediakan akses yang lebih mudah untuk memeroleh kredit bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, karenanya keuangan mikro diharapkan memiliki
kemampuan financial (financially viable) untuk mencapai kemandirian (self-
sustainability). Pengukuran kinerja salah satunya harus didasarkan pada
kemampuan keuangannya. Kemampuan finansial merupakan kemampuan
keuangan mikro untuk menutup biaya-biaya operasionalnya dengan pendapatan
38
yang diterimanya. Efisiensi biaya harus menjadi perhatian utama untuk mencapai
kemandirian keuangan mikro (Khandker, 1998).
Secara teoretis, pengukuran kinerja tidak hanya didasarkan pada
kemandirian tetapi juga jangkauan keuangan mikro tersebut. Indikator jangkauan
merupakan proxy dari peranan keuangan mikro dalam pembangunan (Yaron,
Benjamin, dan Piprek, 1997). Kedua kriteria ini, kemandirian dan jangkauan yang
saling melengkapi telah menjadi alat pembanding dalam evaluasi kinerja
keuangan mikro (Chaves & Gonzales-Veg, 1996, Christen, Ryhne & Vogel, 1995,
Ledgerwood, 1999, Yaron, 1994, Yaron, Benjamin & Charitonenko, 1998).
Sumber: Yaron, dkk (1997)
Gambar 2.1 Penilaian Kinerja Keuangan Mikro
Kerangka penilaian Yaron dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Yaron,
Benjamin & Piprek, 1997). Kriteria pertama adalah kemandirian yang dapat
dicapai apabila tingkat kembalian ekuitas (return on equity), jumlah bersih subsidi
39
yang diterima, sama dengan atau melebihi biaya oportunitas dan ekuitas.
Ketergantungan pada subsidi adalah kebalikan dari kemandirian (Yaron, 1992).
Secara tradisional, keuangan mikro selalu didukung berbagai macam subsidi baik
secara implisit maupun eksplisit demi kelangsungan hidupnya. Kriteria kedua
adalah jumlah klien yang dilayani dan ragam jasa kaungan yang diberikan. Ini
merupakan tujuan jangkauan, yang meliputi skala (scale) dan kedalaman (depth)
jangkauan. Skala jangkauan merupakan jumlah klien yang dilayani dengan
berbagai jenis instrumen dan kedalaman jangkauan merupakan jenis klien yang
terjangkau dan tingkat kemiskinan mereka.
Berdasarkan dua kriteria penting tersebut, kemandirian dan jangkauan,
beberapa teknik penilaian kinerja telah dikembangkan pada 1990-an (CGAP,
2001). Ciri utama beberapa pendekatan dijelaskan pada Tabel 2.1. Pertama adalah
pendekatan ACCION yang mengadopsi metodologi CAMEL untk mengevaluasi
lembaga pemberi pinjaman komersial Amerika Serikat. CAMEL merupakan
akronim dari kecukupan modal, kualitas asset, manajemen, penerimaan dan
likuiditas. ACCION CAMEL menampilkan skor gabungan, hampir sama dengan
ranking, pendekatan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengukur risiko kredit.
Skor akhir berkisar 0 sampai 5. Keuangan mikro yang memiliki skor di bawah 2
harus menjalankan bisnis pemberian pinjaman. Skor dari 2 sampai 3 menunjukkan
bahwa keuangan mikro tersebut memiliki kelemahan pokok yang harus
diperbaiki. Tujuan instrumen ini adalah untuk memperkuat manajemen dan
menghasilkan kerangka kerja umum untuk mengevaluasi dan membandingkan
kinerja afiliasi ACCION di seluruh negara, misalnya di negara Amerika Latin.
40
Tabel 2.1Pendekatan Penilaian Kinerja Keuangan Mikro
ACCIONCAMEL
WOCCUPEARLS
PLANET RATINGGIRAFE MICRORATE
Tujuanevaluasi
Instrumeninternal untukmanajemen,dewan danjejaring
Pengawasankinerjaberkelanjutan olehmanajemen danpengawaseksternal
Pengukuran danpengendalian risiko
1. Mengevaluasirisiko kredit LKMbagi investor dankreditor potensial
2. Memengaruhikinerja LKM
3. Membandingkankinerja keuanganmikro
Nasabah Afiliasi-afiliasiACCION. Baru-baru ini pengawasbank dan lembagasekunder
Serikat kredit yangberafiliasi,perkumpulan, danpengatur serikatkredit
Donor (AFD,BNDES), investor(Blue Orchard,Financial Bank),kreditor, LSM(CARE, VITA) danlembaga-lembagakeuangan mikro
Donor (50%), lembaga-lembaga keuanganmikro (30%) daninvestor (20%)
Ciri utamametodologi
Peta rencanakeuangan mikrountuk menjadiperantarakeuangan formal
Menujukkankelebihan dankekuranganfinancial yangutama
Penilaian perankinganyang rinci tapipendefinisian tingkatrisikonya tidak jelas
Kelayakan kredit(rekomendasi/pengawasan/peringatan) danrasio, penciptaanstandard anpembandingan antarkelompok
Biaspendekatan
Unggul padamanajemen,tingkatkeuntungan danpraktikpenciptaanstandar
Benar-benarsecara financialtermasuk analisiskeuangan yangmenyeluruh
Unggul padamanajemen, tatakelola, dan praktik-praktik terbaik
Unggul pada catatanpengalamankeuangandan penciptaan standarantarkelomok
Kualitatif vskuantitatif
Lebih kualitatif(53%) daripadakuantitatif (47%)Camel yang asli70% kuantitatif
Seluruhnyakuantitatif
Lebih kualitatif (57%)daripada kuantitatif(43%) lebih cenderungpada risiko fidusiari
Lebih kauntitatifdaripada kualitatif
Batasan-batasan
Tidak ada evaluasi Ketergantungan padakonsultan eksternal
Masukan penilaiancenderung sedikit
Sumber: CGAP (2001)
Kedua, Dewan Dunia Serikat Kredit (WOCCU), sebuah organisasi nirlaba
yang mendorong pengembangan kerja sama keuangan, bermarkas di Madison,
Wisconsin, menggunakan PEARLS dalam menilai kinerja keuangan mikro
(CGAP, 2001). PEARLS merupakan satu set rasio yang terdiri dari 45 rasio yang
digunakan untuk mengevaluasi dan memonitor stabilitas keuangan serikat kredit
41
dalam WOCCU, terutama untuk digunakan dalam program pengembangan
institusional. PEARLS dikelompokkan dalam enam wilayah kinerja keuangan:
perlindungan, struktur keuangan yang efektif, kualitas aset, tingkat pendapatan
dan biaya, likuiditas, dan tanda-tanda pertumbuhan. Metodologi PEARLS
berfokus pada kinerja keuangan. PEARLS tidak secara eksplisit menunjuk pada
manajemen walaupun kinerja keuangan suatu lembaga pasti dapat memberikan
gambaran jelas mengenai manajemennya.
Ketiga, Planet Rating, salah satu cabang Planet Finance, sebuah lembaga
nirlaba internasional yang berbasis di Paris, menggunakan penggolongan
GIRAFE yang menilai kinerja keuangan mikro (CGAF, 2001). Dua puluh enam
indikator GIRAFE digolongkan ke dalam 6 wilayah risiko: proses pengambilan
keputusan dan tata kelola, instrumen manajemen dan informasi, analisis dan
kendali risiko, aset-aset termasuk portfolio pinjaman, pembiayaan (ekuitas dan
kelayakan), dan efisiensi dan tingkat keuntungan. Di antara aneka pendekatan
lainnya, GIRAFE lebih menaruh perhatian pada risiko fidusiari, bagaimana suatu
lembaga dikelola dan apakah lembaga tersebut akan gagal memenuhi harapan
para investor dan pemilik saham karena ketidakcakapan dalam sistem, proses dan
pengorganisasian. Metodologi tersebut lebih fokus pada manajamen daripada
risiko. Pendekatan keempat adalah pendekatan yang dikemukakan oleh Microrate
(CGAP, 2001), sebuah perusahaan perseroan terbatas yang berpusat di
Washington DC.
Metodologi Microrate berfokus pada bagaimana macam risiko pada
operasional lembaga-lembaga keuangan mempengaruhi kelayakan kredit suatu
42
lembaga. Komponen utama metodologi ini adalah (1) mengenali wilayah risiko
utama dan penggeraknya; (2) membandingkan kinerja keuangan mikro dengan
kinerja rekannya pada basis yang disesuaikan; (3) mengusahakan agar informasi
ini tersedia bagi pasar kapan saja memungkinkan. Faktor utama yang menjadi
fokus penilaian ini adalah efisiensi, kualitas asset, pertumbuhan dan tingkat
keuntungan. Sejauh ini Microrate sudah merampungkan sekitar 70 penilaian,
kebanyakan di Amerika latin.
Keempat teknik yang dijelaskan sebelumnya dapat digunakan untuk
menilai kinerja keuangan mikro. Dalam memilih teknik penilaian, beberap faktor
kontekstual harus dipertimbangkan, seperti konteks geografis (standar yang tepat
di Amerika Latin dan Afrika belum tentu sesuai diterapkan di Asia), kematangan
lembaga (lembaga yang lebih muda dapat menghabiskan biaya tambahan tanpa
dapat memberikan pendapatan yang sepadan dan seharusnya dibandingkan
lembaga yang sudah matang), dan pendekatan pemberian pinjaman yang beragam
yang digunakan (Ledgerwood, 1999). Indikator kinerja harus diletakkan dalam
konteks bagaimana dan di mana berbagai keuangan mikro yang berbeda
beroperasi.
Ledgerwood (1992) berpendapat bahwa mayoritas teknik penilaian saat ini
didasarkan pada asumsi bahwa kebanyakan keuangan mikro merupakan lembaga
pemberi pinjaman primer. Dia menyarankan sebuah teknik penilaian dalam
bukunya Microfinance Handbook yang diterbitkan oleh Bank Dunia (1999)
seperti ditunjukkan pada Tabel 2.2.
43
Tabel 2.2Indikator Kinerja Lembaga Keuangan Mikro
Wilayah IndikatorKualitas portofolio Tingkat pelunasan
Rasio kualitas portofolio Rasio kerugiian pinjaman
Produktivitas dan efisiensi Rasio produktivitas Rasio efisiensi
Kelayakan keuangan Sebaran financial Kemandirian operasional Kemandirian financial Indeks ketergantungan subsidi
Tingkat keuntungan Rasio pendapatan atas asset Rasio pendapatan atas usaha Rasio pendapatan atas ekuitas
Kecukupan modal dan pembiayaandengan utang
Pembiayaan dengan utanag(rasio utang terhadap modal)
Stndar kecukupan modalUkuran, jangkauan, dan pertumbuhan Klien dan staf
Jangkauan pinjaman Jangkauan simpanan
Sumber: Ledgerwood (1999)
Ledgerwood menunjukkan bahwa teknik ini diambil dari sejumlah LKM,
baik formal atau semiformal, diseluruh dunia. Dia menunjukkan setiap indikator
kinerja dipilih karena mereka bermanfaat dalam mengelola LKM (manajemen
internal) seperti produktivitas dan efisiensi. Kebanyakan mereka (termasuk
kelayakan financial, tingkat keuntungan, rasio kecukupan modal dan pembiayaan
dengan utang, ukuran, jangkauan dan pertumbuhan) juga bermanfaat untuk pihak
eksternal seperti investor atau donor (Ledgerwood, 1999).
2.1.4 Teori Modal Sosial
Dalam mengidentifikasi dan menguliti persoalan pembangunan,
pendekatan ilmu ekonomi (kiasik/neoklasik) menganggap bahwa kelembagaan
44
(informal) yang hidup dalam struktur sosial tidak memiliki pengaruh terhadap
kegiatan ekonomi (investasi, distribusi, konsumsi, dan Iain-lain). Sebaliknya,
pendekatan ilmu sosiologi menentang asumsi rasionalitas material (yang diusung
oleh ilmu ekonomi) sebagai desain strategi pembangunan. Di luar itu, analisis
ekonomi yang cenderung sangat kuantitatif dianggap oleh para sosiolog sangat
mendangkalkan kompleksitas relasi sosial yang ada di masyarakat, sehingga
kebijakan ekonomi yang diproduksi selalu gagal beroperasi. Ssejak dekade 1980-
an, kesenjangan antara ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi tersebut perlahan-
perlahan mulai dapat dikurangi, di mana salah satu jembatannya dipicu oleh
kemunculan teori/konsep modal sosial (social capital). Secara eksplisit, teori
modal sosial ini dianggap sebagai perekat paling potensial untuk menyatukan
(setidaknya mendekatkan) antara disiplin ilmu ekonomi dan sosiologi.
Teori modal sosial kali pertama dipicu oleh tulisan Bourdieu yang
dipublikasikan pada akhir 1970-an (Fine dan Lapavitsas, 2004). Judul tulisan
Bourdieu tersebut antara lain adalah Le Capital Social: Notes Provisoires yang
diterbitkan dalam Actes de la Recherche en Sciences Satialps (1950). Publikasi
tersebut dilakukan dalam bahasa Francis membuat tidak banyak ilmuwan sosial
(khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian. Setelah Coleman
mempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993, barulah para intelektual
mengunduh tema tersebut sebagai salah satu 'santapan' penting yang
mempertemukan antardisiplin ilmu. Akhirnya, hingga saat ini, banyak pihak yang
berkeyakinan bahwa Coleman merupakan ilmuwan pertama yang
memperkenalkan konsep modal sosial, seperti yang ia tulis dalam jurnal American
45
Journal of Sociology yang berjudul Social Capital in the Creation of Human
Capital (1988). Jadi, dalam batas tertentu, persoalan bahasa dapat menimbulkan
mis informasi dan kesalahpahaman yang mengganggu perkembangan ilmu
pengetahuan. Bourdieu hanyalah bagian kecil dari 'korban' dominasi bahasa
(Inggris), yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Lepas dari mis informasi tersebut, topik modal sosial memang sangat
wajar mendapatkan atensi yang besar dari para pemikir sosial karena cakupan dan
relevansinya yang kasat mata. Bahkan, Poldan (dalam Walis, Killerby, dan
Dollery, 2004) menyebut modal sosial sangat dekat untuk menjadi konsep
gabungan bagi seluruh disiplin ilmu sosial (close to becoming a joint concept for
all social sciences). Berbeda dengan dua modal lainnya yang lebih dulu populer
dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan
modal manusia (human capital), modal sosial baru eksis bila ia berinteraksi
dengan struktur sosial. Sifat ini jelas berbeda dari dua modal sebelumnya, yakni
modal ekonomi dan manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/
perusahaan dapat melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan
struktur sosial, demikian pula dengan modal manusia. Hal inilah yang
menyebabkan Coleman (1988) mendefinisikan modal social berdasarkan
fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah entitas tunggal (single entity),
tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen: (i) modal sosial mencakup
beberapa aspek dari struktur sosial; dan (ii) modal sosial memfasilitasi tindakan
tertentu dari pelaku (aktor) baik individu maupun perusahaan di dalam struktur
tersebut (within the structure). Dari perspektif ini, sama halnya dengan modal
46
lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat pencapaian tujuan
tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.
Pengertian modal sosial semacam itulah yang membuat terjadinya
beragam definisi dengan bentangan yang sangat luas. Bourdieu, sebagai peletak
pondasi konsep modal sosial, mendefinisikan modal sosial sebagai agregat sumber
daya actual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet
(durable) sehingga menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan
(acquaintance) yang saling menguntungkan. Melalui pemaknaan tersebut,
Bourdieu berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami
(natural given), melainkan dikonstruksi melalui strategi investasi yang
berorientasi kepada pelembagaan hubungan kelompok (group relations) yang
dapat dipakai sebagai sumber tepercaya untuk meraih keuntungan (benefits).
Selanjutnya, definisi tersebut juga mengandaikan bahwa modal sosial juga
memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial itu sendiri yang mengizinkan
individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi
mereka: dan (b) jumlah dan kualitas dari sumber daya tersebut. Dengan deskripsi
tersebut, melalui modal sosial, aktor dapat meraih akses langsung terhadap
sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran-saran investasi, pasar
yang terlindungi); mereka dapat meningkatkan modal budaya (cultural capital)
lewat kontak dengan ahli-ahli atau individu yang beradab (yang melekat dalam
modal budaya); atau alternatifnya mereka dapat berafiliasi dengan institusi yang
membahas nilai-nilai tepercaya/valued credentials (pelembagaan modal budaya)
(Portes, 1998).
47
Di luar definisi yang sudah disebutkan oleh para pendiri teori modal sosial
tersebut, terdapat banyak pemikir lainnya yang mencoba mendefinisikan modal
sosial menurut versinya, walaupun secara prinsip sebetulnya tidaklah mengubah
banyak dari definisi yang telah diuraikan. Baker misalnya, mendefinisikan modal
sosial sebagai "sumber daya yang diraih oleh pelakunya melalui struktur sosial
yang spesifik dan kemudian digunakan untuk memburu kepentingannya; modal
sosial tersebut diciptakan lewat perubahan-perubahan dalam hubungan antar
pelakunya." Sedangkan Schiff mengartikan modal sosial sebagai 'seperangkat
elemen dan struktur sosial yang mempengaruhi relasi antarmanusia dan sekaligus
sebagai input atau argumen bagi fungsi produksi dan/atau manfaat (utility). Selain
itu, Burt memaknai modal sosial sebagai teman, kolega, dan lebih umum kontak
lewat siapa pun yang membuka peluang bagi pemanfaat modal ekonomi dan
manusia. Uphoff dalam Dhesi (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial
dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi,
budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang memengaruhi
perilaku kerjasama. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran
organisasi sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang
memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Seluruh
definisi tersebut berujung dalam satu hal saja, bahwa modal sosial baru terasa bila
telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial.
Dengan deskripsi tersebut, sekurangnya terdapat tiga pembagian besar
konsep modal sosial yang digagas oleh para pengusung utamanya, yakni
Bourdieu, Coleman, dan Putnam. Coleman (1998) focus melihat modal sosial
48
sebagai struktur hubungan sosial, khususnya peran modal sosial dalam
mengakuisisi modal manusia. Selanjutnya, Bourdieu (1993) lebih peduli dengan
kemampuan modal sosial dalam menghasilkan sumber daya ekonomi. Sementara
itu, Putnam (1993;1995) menekankan hubungan kerjasama yang memapankan
demokrasi melalui keanggotaan kelompok sipil (civic group). Ketiganya itu eksis
bukan untuk saling meniadakan, tetapi pancaran sudut pandang yang saling
melengkapi sehingga menjadi sumber pengayaan konsep modal sosial. Tentu saja,
secara langsung perspektif yang dipakai oleh Bourdieu lebih dekat keterkaitannya
dengan pembangunan ekonomi, tetapi jika ditelisik lebih dalam pandangan yang
disampaikan oleh Coleman dan Putnam juga lekat dengan bidang ekonomi,
setidaknya secara tidak langsung.
Melalui serangkaian pengertian tersebut, akhirnya terdapat sebuah
aporisme terkenal yang menyatakan bahwa modal sosial bukanlah masalah apa
yang anda ketahui, tetapi siapa yang anda kenal (Fine dan Lapavitsas, 2004).
Dengan dasar tersebut, modal sosial dapat merujuk kepada norma atau jaringan
yang memungkinkan orang, untuk melakukan tindakan kolektif. Implikasinya,
makna tersebut lebih memfokuskan kepada sumber (sources) daripada
konsekuensi atas modal sosial, sementara pentingnya deskripsi tentang modal
sosial seperti kepercayaan dan hubungan timbal-balik-dikembangkan dalam
sebuah proses yang terus-menerus. Di luar itu, definisi ini juga mengizinkan
adanya penyatuan (incorporation) dimensi-dimensi yang berbeda dari modal
sosial dan mengakui bahwa komunitas bisa memiliki akses yang lebih luas atau
kecil. Terakhir, meskipun definisi ini melihat komunitas sebagai unit analisis
49
utama (daripada individu, rumah tangga, atau negara), namun tetap mengakui
bahwa individu dan rumah tangga (sebagai anggota dari komunitas) merupakan
pelaku dari modal sosial dan komunitas sendiri dibentuk sebagai bagian dari
relasinya dengan negara (Woolcock dan Narayan, 2000). Realitas ini menguatkan
proposisi yang sudah diterangkan di muka, bahwa jaringan dan norma merupakan
unsur penting dalam formulasi modal sosial sehingga eksistensinya sangat
dibutuhkan.
2.1.4.1 Bentuk-bentuk Modal Sosial
Coleman (1988) menyebut setidaknya terdapat tiga bentuk modal sosial.
Pertama, ekspektasi (expectations), dan kepercayaan (trustworthiness). Dalam
konteks ini, bentuk modal sosial tergantung kepada dua elemen kunci:
kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang
sudah dipenuhi (obligation held). Dari perspektif ini, individu yang bermukim
dalam struktur sosial dengan saling kepercayaan tinggi memiliki modal sosial
yang lebih baik daripada situasi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi
(information channels). Informasi sangatlah penting sebagai basis tindakan. Akan
tetapi, harus disadari bahwa informasi itu mahal, tidak gratis. Pada level yang
paling minimum, ini perlu mendapatkan perhatian, informasi selalu terbatas.
Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan
murah) untuk memperoleh informasi sehingga dapat dikatakan modal sosialnya
tinggi; demikian pula sebaiiknya. Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norma
and effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung
individu untuk memperoleh prestasi (achievement) tentu saja dapat digolongkan
50
sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang
berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas yang dapat memengaruhi
orang-orang muda, mempunyai potensi untuk mendidik generasi muda tersebut
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya (having a good time).
Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu
kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks).
1. Kepercayaan
Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah harapan
yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku
jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama.
Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995)
kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan
tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga
bersifat kerjasama. Menurutnya We expect others to manifest good will, we trust
our fellow human beings. We tend to work cooperatively, to collaborate with
others in collegial relationships (Cox, 1995). Kepercayaan sosial pada dasarnya
merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik
ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial
melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal
sosial akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).
2. Norma
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-
harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok
51
orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun
standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma
dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan
diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995).
Norma-norma dapat merupaka pra kondisi maupun produk dari kepercayaan
sosial.
3. Jaringan
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan
kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi
terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan
memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-
jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain.
Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal
maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-
jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya
serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.
Dari deskripsi tersebut terlihat bahwa bentuk-bentuk modal sosial selalu
berkaitan dengan struktur sosial masyarakat tersebut berdiam. Dalam kasus
bentuk modal sosial yang bertumpu kepada kepercayaan dan ekspektasi,
seseorang yang dianggap jujur dan memiliki reputasi bagus akan lebih mudah
untuk memperoleh penghargaan (reward) daripada individu yang tidak memiliki
kredibilitas, misalnya dalam hal mendapatkan kredit. Dalam masyarakat
tradisional, hubungan transaksi ekonomi yang selalu berulang dan menghasilkan
52
pencapaian yang bagus, dalam jangka panjang mempunyai ekspektasi untuk
bertahan daripada relasi ekonomi yang dipenuhi dengan manipulasi. Modal sosial
dalam bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang dapat ditransformasikan
menjadi keunggulan untuk memperoleh benefit ekonomi. Demikian halnya
dengan jaringan informasi yang bersumber dari banyak pihak, mengandaikan
bahwa individu/tersebut gampang mendapatkan informasi secara lengkap dan
murah. Implikasinya, keputusan (ekonomi) yang dilakukan dapat diambil secara
tepat dan cepat sehingga menghasilkan keuntungan. Sedangkan norma lebih
berorientasi menyiapkan kerangka budaya yang memberi arah dan keamanan bagi
kehidupan yang lebih baik. Contoh, norma yang mengucilkan orang-orang yang
suka malas-malasan (menganggur) akan menuntun komunitas norma tersebut
hidup mencapai kehidupan (material) yang lebih bagus.
Lina dan Von Bern (1999) menjelaskan bahwa modal sosial memiliki
sumbangan positif dalam kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas
organisasi, pengelolaan tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan
modal pengetahuan (conceptual capital). Dalam konteks ini, modal sosial dapat
memperkuat kinerja organisasi. Dengan kata lain, modal sosial dapat menjadi aset
bagi organisasi (lewat penciptaan nilai) maupun anggota organisasi (via
peningkatan keterampilan pekerja). Secara spesifik modal sosial dapat:
a) Memengaruhi sukses pekerjaan/professional
b) Membantu pekerja menemukan pekerjaan dan menciptakan portofolio pekerja
yang lebih baik di organisasi
c) Memfasilitasi pertukaran sumber daya antarunit
53
d) Memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal intelektua;, dan
efisiensi multifungsi tim/kelompok
e) Mengurangi perubahan pekerjaan karyawan (employees job changes)
f) Memperkuat hubungan dengan pemasok, jaringan produksi regional, dan
pembelajaran organisasi.
Seluruh uraian tersebut membawa kepada satu nuansa, bahwa secara
umum modal sosial dapat didekati dari dua perspektif. Pertama, mengkaji modal
sosial dari perspektif pelaku (actor's perspective) yang diformulasikan oleh
Bourdieu, yang melihat modal sosial berisi sumber daya di mana pelaku individu
dapat menggunakannya karena kepemilikannya terhadap jaringan secara eksklusif
(exclusive network). Kedua, mencermati modal sosial dari perspektif masyarakat
(society's perspective) yang dikonseptualisasikan oleh Putnam, yang melihat
modal sosial sebagai barang publik yang diatur oleh organisasi dan jaringan
horizontal yang eksis dalam masyarakat. Sedangkan Coleman melihatnya
sekaligus dari dua sudut pandang tersebut, tetapi dengan cakupan yang lebih luas
(wider range) mengenai bentuk-bentuk modal sosial, termasuk ekspektasi,
kepercayaan, norma, dan sanksi (dalam Rosyadi, 2003). Kedua pendekatan
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga
penerapannya tergantung kepada kasus yang digunakan. Pada titik ini yang
terpenting adalah meletakkan individu sebagai bagian yang tidak terpisah dari
struktur sosialnya.
54
2.1.4.2 Aspek Kognitif dan Aspek Struktural
Uphoff (1999) menyatakan bahwa pemahaman terhadap modal sosial juga
dapat dilakukan dengan membaginya atas dua aspek yang terkait satu sama lain,
yakni aspek kognitif dan struktural. Sama dengan Uphoff (1999), Grootaert dan
Bastelaer (2002) menyebut kedua aspek tersebut sebagai bentuk modal sosial.
Aspek kognitif adalah modal sosial yang terbentuk di dalam interaksi antara
nasabah dengan lembaga keuangan komunitas yang berupa proses mental
(internalisasi kesadaran) terhadap norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap
atau perilaku (attitudes), keyakinan (beliefs), dan lainnya. Proses internalisasi
tersebut akan mempengaruhi kualitas: kepercayaan, solidaritas, keterpaduan,
kerjasama, kedermawanan, dan lainnnya yang disebut sebagai faktor dinamis.
Output akhir dari proses internalisasi tersebut adalah gagasan-gagasan atau
harapan-harapan yang mengarah kepada perilaku kolektif guna menghasilkan
keuntungan kolektif (mutally beneficial collective action, MBCA). Modal sosial
secara kognisi terwujud dalam bentuk budaya sipil (civil culture), dan memiliki
sifat memengaruhi. Karena itu, modal sosial pada kategori ini biasa disebut
predispose. Maksudnya, yang mempengaruhi mengapa orang-orang bersedia
melakukan MBCA. Sifat lain dari modal sosial pada kategori ini adalah intrinsik
atau tidak dapat diamati.
Adapun aspek struktural dari modal sosial merupakan bangunan
bagaimana modal sosial tersebut tersusun. Karena itu, kebalikan dari modal sosial
kognitif, modal sosial menurut aspek struktural memiliki sifat yang ekstrinsik atau
dapat diamati. Namun, keduanya memiliki kesamanaan, yakni output akhirnya
55
berupa gagasan-gagasan atau harapan-harapan yang mengarah MBCA. Modal
sosial struktural ini terwujud dalam bentuk jaringan, kelompok, ataupun
hubungan-hubungan interpersonal lainnya. Faktor dinamisnya adalah hubungan
horizontal serta hubungan vertical. Modal sosial secara struktural terwujud dalam
bentuk organisasi sosial yang memiliki fungsi untuk memfasilitsai MBCA.
Karena itu, modal sosial pada kategori ini bisa disebut assets.
Dari uraian sebelumnya tampak bahwa menurut pemikiran Uphoff, kedua
aspek modal sosial tersebut bertemu pada gagasan-gagasan atau harapan-harapan
yang mengarah kepada perilaku kolektif untuk menghasilkan keuntungan kolektif
(MBCA). Dalam hal ini, modal sosial kognitif mempengaruhi mengapa komunitas
bersedia melakukan MBCA, sedangkan modal sosial struktural berfungsi
memfasilitasi MBCA tersebut.
2.1.4.3 Dimensi Modal Sosial
Woolcock dan Narayan (2000) mengemukakan bahwa dimensi modal
sosial tumbuh pada suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai, norma, dan
pola-pola interaksi sosial yang mengatur kehidupan keseharian aggotanya. Adler
dan Kwon (Supriono, 2009) mengatakan bahwa dimensi modal sosial merupakan
gambaran keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan
kohesivitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika yang
terjadi dalam masyarakat. Dasgupta dan Serageldin (Supriono, 2009)
mengemukakan bahwa dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang
membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar
kebersamaan dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
56
tumbuh dan dipatuhi. Coleman (2009) menggambarkan dimensi modal sosial
secara rinci dengan mengemukakan bahwa dimensi modal sosial inheren dalam
struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang
menciptakan berbagai ragam keajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya,
membawa saluran informasi dan menetapkan norma-norma serta sanksi-sanksi
sosial bagi para anggota masyarakat tersebut.
Dari pernyataan-pernyataan mengenai dimensi modal sosial tersebut, yang
menjadi pertanyaan adalah tidak adanya penjelasan mengenai agen atau tokoh
yang menjadi poros atau panutan bagi anggota komunitas dalam mengembangkan
relasi dan jaringan sosial yang terbentuk. Dalam banyak bentuk relasi sosial, dapat
ditemui kesetaraan peran di antara pihak-pihak yang menjalin relasi. Namun
bagaimanapun juga, ada saat-saat tertentu di mana salah satu pihak lebih dominan
terhadap pihak yang lain atau salah satu pihak memberikan pengaruh atau member
arah yang kemudian diikuti oleh pihak lainnya.
Demikian pula halnya dengan modal sosial. Penanaman nilai-nilai dan
norma-norma, pembentukan jaringan sosial dan tumbuhnya gerakan untuk
mencapai tujuan bersama mungkin saja terbentuk secara alamiah dari proses dan
kehidupan sehari-hari dalam suatu komunitas tetapi pada waktu-waktu tertentu
dan ketika menghadapi pihak dari luar komunitas, tentu harus ada orang yang
mewakili untuk menyampaikan aspirasi atau menjawab pertanyaan (maupunn
tantangan) yang timbul.
Dalam dimensi modal sosial, peran agen dan tokoh merupakan hal penting
yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari modal sosial itu sendiri. Sama halnya
57
seperti dalam keluarga, dimana nilai-nilai kebajikan dan budi pekerti ditanamkan
kepada anak (keturunan) oleh orang tuanya maka dalam membangun kepercayaan
maupun relasi sosial serta menggunakan nilai-nilai dan norma-norma untuk
menjadi pengikat dalam komunitas diperlukan adanya tokoh-tokoh yang dapat
menjadi sentral dan dapat memengaruhi seluruh anggota komunitasnya.
Bank Dunia (1999) meyakini bahwa modal sosial adalah sebagai sesutau
yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan
norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam
masyarakat. Modal sosial bukanlah sekadar deretan jumlah institusi atau
kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan
spectrum yang lebih luas, yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga
kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Namun demikian Fukuyama
(1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai
bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku
itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-
nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini
adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku
kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang
didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggotanya.
Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-
nialai luhur (kebajikan) dan keadilan. Setidaknya dengan mendasarkan pada
konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa
dimensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan pada kebersamaan
58
masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan
senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam
proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa
terikat pada nilai-niali dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan
bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, serta berhubungan atau membangun
jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan roh modal sosial antara
lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memerhatikan, saling member dan
menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-
norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah
kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif dalam mempertahankan
nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-
ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.
Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada
bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu
jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu
pola inter-relasi yang imbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun di
atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang
positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat
proaktif membuat jalinan hubungan di atas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif,
sikap yang saling memperhatikan, saling member dan menerima, saling percaya
mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
mendukungnya.
59
2.1.4.4 Modal Sosial dalam Pembangunan
Dalam konteks ilmu ekonomi, seperti halnya modal ekonomi dan manusia,
pembahasan modal sosial sudah barang tentu direlasikan dengan pencapaian
(pembangunan) ekonomi. Jadi, meskipun kelahiran konsep modal sosial dipicu
dari ranah bidang ilmu sosiologi, begitu sampai dalam kupasan bidang ekonomi
dianggap sebagai bagian dari bentuk modal yang diharapkan memiliki donasi
terhadap pertumbuhan ekonomi. Upaya untuk melakukan terobosan pembahasan
ini sudah berlangsung lama, khususnya semenjak isu modal sosial mulai
diperhatikan secara intensif pada awal dekade 1990-an.
Jika dibagi dalam level studi, riset-riset yang mencoba menghubungkan
antara modal sosial dan pembangunan ekonomi biasanya mengambil dua
karakteristik berikut: (i) penelitian hulu yang mencoba mencari landasan teoretis
yang merelasikan modal sosial dengan pembangunan ekonomi; dan (ii) penelitian
hilir yang berusaha melacak implikasi modal sosial terhadap pembangunan
ekonomi. Kedua level studi tersebut masing-masing sudah menyumbangkan
khazanah pemikiran yang matang sehingga saat ini telah tersedia beberapa
argumentasi teoretis maupun empiris untuk menjelaskan hubungan antara modal
sosial dan pembangunan ekonomi.
Sebelum mengupas masalah hubungan antara modal sosial dan
pembangunan ekonomi, terlebih dulu akan dipaparkan perbedaan antara
pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial, seperti yang dijelaskan oleh Lin
(2001). Dalam perspektif rasionalitas transaksional, yang secara tipikal digunakan
untuk melakukan analisis pertukaran ekonomi, tujuan utamanya adalah untuk
60
memperoleh modal ekonomi (sumber daya melalui transaksi) dan kepentingan
dalam aspek transaksional pertukaran dimediasi oleh harga dan uang. Kegunaan
pertukaran untuk mengoptimisasi keuntungan transaksional, sedangkan pilihan
rasional didasarkan kepada analisis hubungan alternatif yang memproduksi
beragam keuntungan dan biaya transaksional.
Dengan basis ini, aturan-aturan pertukaran berperan dalam dua hal.
Pertama, jika hubungan dengan agen tertentu menghasilkan keuntungan, maka
keputusannya adalah melanjutkan hubungan transaksi berikutnya. Namun, bila
hubungan tersebut gagal menghasilkan laba relatif, maka ada dua pilihan yang
dapat diambil: (1) menemukan hubungan alternatif yang dapat memproduksi
keuntungan; atau (2) merawat hibimgan tersebut, tetapi dengan berupaya
mengurangi biaya transaksional. Keputusan di antara dua pilihan itu didasarkan
kepada bobot relatif yang mungkin diambil dari kemungkinan memperoleh
keuntungan atau mengurangi biaya transaksi. Dengan begitu, analisis kritis dalam
pertukaran ekonomi memfokuskan kepada transaksi simetris dalam episodis atau
transaksi yang berulang.
Rasionalitas relasional, sebaliknya diimplikasikan dalam pertukaran sosial,
memfokuskan kepada aspek relasional dari pertukaran, biasanya diperantarai oleh
pengakuan/recognition (atau ekspektasi bahwa pelaku lainnya akan melakukan
hal itu). Motivasi rasionalitas relasional untuk memperoleh reputasi lewat
pengalaman dalam jaringan atau kelompok. Sedangkan kegunaan pertukaran
adalah untuk mengoptimasi keuntungan relasional (menjaga hubungan sosial)
juga analisis biaya dan keuntungan. Dengan basis ini, juga terdapat dua aturan
61
partisipasi pertukaran. Pertama, jika transaksi spesifik mempromosikan sebuah
hubungan yang kuat dan perluasan pengakuan, maka transaksi akan dilanjutkan.
Kedua, bila transaksi itu gagal untuk mempromosikan hubungan yang kuat, maka
dua pilihan dapat dipertimbangkan: (1) menemukan alternatif transaksi yang akan
memberikan keuntungan (misalnya meningkatkan sensitivitas dalam transaksi
untuk mengiming-imingi dan memperkuat pengakuan); atau (2) merawat transaksi
tersebut dengan jalan mengurangi ongkos relasional. Seterusnya, seperti halnya
rasionalitas transaksional, keputusan tergantung kepada proses untuk menemukan
transaksi alternatif dan biaya relasional relatif (Lin, 2001).
Deskripsi tersebut membawa kepada suatu ruang, bahwa modal sosial
dalam kegiatan transaksi dapat menjadi basis sumber daya ekonomi (economic
resource). Dalam pengertian yang paling luas, modal sosial dapat menjadi
alternatif yang paling mungkin untuk mengalokasikan kegiatan ekonomi secara
efisien bila pasar (market) tidak sanggup mengerjakannya. Pandangan ini tentu
saja mengabaikan isi dari aliran ekonomi klasik, yang mengandaikan bahwa pasar
merupakan instrumen yang paling efisien untuk menggerakkan kegiatan ekonomi.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan pasar selalu tidak sanggup untuk
mengatasi persoalan eksternalitas, barang publik, hak kepemilikan, dan (bahkan)
monopoli, seperti yang dipostulatkan oleh aliran neoklasik (Caporaso dan Levine,
1992).
Pada aspek inilah modal sosial dapat mendonasikan alternatif
penyelesaiannya secara lebih efisien. Dalam kasus barang publik, misalnya
pemindahan produksi dan pengelolaan barang dan jasa (publik) kepada individu
62
akan meningkatkan tanggung jawab (responsibility) dan keeratan komunitas
(sense of community) sehingga efisiensi atas produksi barang publik tersebut dapat
dicapai, seperti keberhasilannya untuk meminimalisasi penunggang bebas/free-
rider. Proposisi inilah yang kemudian menyimpulkan bahwa modal sosial
merupakan sarana individu yang akan mengerjakan kerjasama secara sukarela
untuk mengurusi barang publik/bersama (common good) (dalam Chaplin, 1999).
Hubungan antara modal sosial dan pembangunan ekonomi tersebut juga
dapat dilacak dari sisi lain. Kegiatan ekonomi selalu berupa kerjasama (baik
dalam pengertian kompetisi maupun saling-bantu) antarpelakunya, apa pun motif
yang ada di baliknya (profit, status, harga diri, preferensi, dan lain-lain).
Sedangkan kerjasama itu membutuhkan kepercayaan (trust), yang dalam ekonomi
modern dapat digantikan dengan mekanisme formal untuk mencegah
kecurangan/penipuan, seperti sistem kontrak. Akan tetapi, formalitas itu sendiri
tidak akan pernah menggantikan kepercayaan karena sistem kontrak hanyalah
instrumen pendukung (bukan utama). Sampai di sini, pandangan paling agung dari
modal sosial menyatakan bahwa kerjasama tergantung kepada kepercayaan.
Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (high trust societies)
akan sanggup untuk melakukan kerjasama sampai level organisasi yang sangat
besar, semacam korporasi transnasional. Sebaliknya, masyarakat yang tingkat
kepercayaannya rendah (low trust societies) kerjasama yang dapat digalang hanya
sampai pada level terbatas, misalnya perusahaan yang berbasis keluarga (family
based-firms). Jadi, dalam hal ini, harus dipahami modal sosial sebagai sumber
daya bermakna bahwa komunitas bukanlah suatu produk atau hasil (outcome)
63
pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan 'prakondisi' bagi tercapainya
pertumbuhan ekonomi (Putnam, 1995; dalam Champlin, 1999).
Andaikan dua negara memiliki ekonomi pasar yang berfungsi, teknologi
yang sama serta stok modal fisik dan manusia yang ekaivalen, sangat mungkin
level produksi dari kedua negara tersebut berlainan karena perbedaan efektivitas
kelembagaan (institutional effectiveness) dan norma masyarakat (societal norms).
Efek produktivitas langsung dari modal sosial ditunjukkan dalam persamaan (2)
sebagai faktor skala (Si) dari fungsi produksi. Menurut Putnam, Si dinyatakan
sebagai jumlah keanggotaan dalam organisasi sukarela sebagai hasil dari
kepercayaan sosial (social trust) dan penilaian subjektif atas efektivitas
pemerintahan. Beberapa studi literatur mengidentifikasi bahwa kohesi sosial dan
efektivitas pemerintahan secara langsung dapat memfasilitasi peningkatan
produktivitas (Wallis, Killerby, dan Dollery, 2004).
Sebagai tambahan efek langsung terhadap produktivitas, modal sosial juga
mempunyai efek tidak langsung melalui peningkatan akumulasi modal manusia,
seperti diilustrasikan dalam persamaan (3), lewat investasi yang lebih besar dalam
sistem pendidikan publik (masyarakat), partisipasi komunitas yang lebih intensif
dalam manajemen sekolah, dan akses yang lebih baik terhadap kredit informal
bagi kaum miskin. Coleman (1988) juga menemukan bahwa modal sosial
berhubungan dengan tingkat putus sekolah (dropout) sekolah.
Modal sosial juga memfasilitasi akumulasi bersih (net accumulation) dari
modal fisik, seperti ditunjukkan dalam persamaan (4). Tingkat investasi dan
tabungan domestik selama ini dianggap lebih tinggi di bawah kondisi stabilitas
64
sosial-politik dan kepastian keuangan (Alesina, et al., 1992). Studi yang
dikerjakan oleh Guiso et. al (2000) di Italia menemukan bahwa wilayah dengan
level kepercayaan sosial yang tinggi, rumah tangga lebih banyak
menginvestasikan modalnya dalam vvujud saham daripada uang (cash),
menggunakan lebih banyak cek (checks), dan memiliki akses yang lebih baik
terhadap kredit. Perusahaan di wilayah dengan kepercayaan tinggi (high-trust
areas) juga lebih banyak mempunyai pemegang saham (multiple shareholders).
Kualitas tata kelola (quality of governance) merupakan kunci terpenting
untuk meningkatkan investasi asing (Rodrik, 1999). Kesimpulannya, hasil kajian
tersebur menginformasikan bahwa modal sosial dapat menghasilkan akumulasi
modal, kemahiran keterampilan, inovasi, transfer informasi dan teknologi, dan
mengurangi biaya transaksi (Hall dan Jones, 1999). Lainnya, modal sosial juga
memfasilitasi pengelolaan kepemilikan bersama (common property) dan
penyediaan barang publik, peningkatan investasi, dan mengurangi biaya sosial
kriminalitas, korupsi, dan bentuk-bentuk tindakan tercela (non-cooperative)
lainnya (Wallis, Killerby, dan Dollery, 2004).
Dengan pembahasan tersebut, menjadi jelas bahwa perbedaan pencapaian
(outcomes) pembangunan tidak dapat dijelaskan dari ketidaksamaan input
material saja. Dalam hal ini terdapat konsensus umum bahwa inisiatif
pembangunan seharusnya dengan memasukkan peranan modal sosial, semacam
ilmu pengetahuan, pemahaman, nilai-nilai, norma, sifat-sifat, dan jaringan sosial
untuk memperkuat hasil yang diinginkan. Pendeknya, konsep modal sosial paralel
dengan konsep lain tentang tindakan (action) sehingga konsep modal social
65
merepresentasikan asset sebagai bentuk lain dari modal. Sedangkan seluruh
bentuk dan modal selalu penting bagi pembangunan, meskipun masing-masing
dari modal tersebut tidak mencukupi bila hanya diambil salah satunya.
Dalam kondisi yang sudah pasti, modal sosial dapat dipertimbangkan
sebagai sumber daya yang bisa memperbaiki efektivitas atas input lainnya dalam
proses pembangunan. Sebaliknya, jika kondisi tersebut absen, modal sosial dapat
menghambat pembangunan. Pada titik ini, modal sosial dapat diputuskan sebagai
akumulasi beragam tipe sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset lain
yang tidak terlihat sehingga memengaruhi perilaku kerjasama (Uphoff, 1999;
dalam, Dhesi, 2000). Seluruh argumentasi tersebut, pada akhirnya,
memaklumatkan satu hal saja: bahwa modal sosial merupakan pilar penting bagi
pembangunan ekonomi.
2.1.5 Teori Partisipasi
Keith Davis (1992) menyatakan bahwa kata partisipasi secara etimologis
berasal dari bahasa inggris “participation” yang berarti mengambil bagian,
participator dimaknai sebagai yang mengambil bagian atau sering disebut dalam
bahasa umum sebagai keikutsertaan. Partisipasi sering dikatakan sebagai peran
serta atau keikutsertaan mengambil bagian dalam kegiatan tertentu. Terdapat
keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang dalam situasi kelompok
yang mendorong partisipan untuk memberikan sumbangan kepada kelompok
dalam usaha mencapai tujuan serta tanggung jawab terhadap usaha mencapai
tujuan yang bersangkutan. Hal yang terakhir senada dengan batasan yang
diberikan dalam batang tubuh UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan
66
Pembangunan Nasional, Pasal 2 ayat 4 huruf d bahwa partisipasi merupakan
keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam
proses penyusunan rencana pembangunan.
Tosun (1999), partisipasi memungkinkan masyarakat melakukan berbagai
kegiatan pada tingkatan yang berbeda-beda, baik lokal, regional, maupun
nasional. Partisipasi yang dilakukan dapat berbeda-beda pula, baik partisipasi
karena paksaan (manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman
(coercive participation), karena adanya dorongan (induced participation),
partisipasi yang bersifat pasif (passive participation), maupun partisipasi secara
spontan (spontaneous participation).
Arnstein (1971), partisipasi penduduk adalah redistribusi kekuasaan yang
memungkinkan penduduk yang tidak mampu secara perlahan dan penuh kehati-
hatian dapat berpartisipasi secara berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa
mereka mendorong adanya perubahan yang memungkinkan mereka ikut
menikmati keuntungan dalam masyarakat yang kaya. Dalam definisi partisipasi
ini, satu hal yang sangat penting adalah tingkat distribusi kekuasaan. Pendekatan
yang dilakukan oleh Arnstein dalam pembahasan partisipasi ini didasarkan atas
tipologi penduduk yang terdiri atas delapan tingkatan, yang kemudian dibagi
menjadi tiga kategori. Tingkatan partisipasi paling rendah adalah partisipasi
manipulative, sedangkan tingkatan partisipasi yang paling tinggi menujukkan
tingkat kekuasaan masyarakat (degrees of citizen’s power).
Selain pendapat tersebut, terdapat beberapa pendapat lain tentang definisi
partisipasi:
67
1. Keterlibatan orang secara sukarela tanpa tekanan dan jauh dari pemerintah
atau kepentingan eksternal (Sumarto, 2003).
2. Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses kegiatan,
sebagai media penumbuhan kohesifitas antar masyarakat, masyarakat dengan
pemerintah juga menggalang tumbuhnya rasa memiliki dan tanggung jawab
pada program yang dilakukan (Handayani, 2006).
3. Keikutsetaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan ataupun kegiatan
(Wardoyo, 1992).
4. Keikutsetaan masyarakat dalam program-program pembangunan (Rahardjo,
1985).
5. Aksi dari kepercayaan akan pembangunan. Karena partisipasi mempunyai
nilai intrinsik kebaikan dan berfokus pada pencarian cara untuk
menyelesaikan masalah. (Cooke and Kothari, 2002)
6. Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya atau
egonya yang sifatnya lebih dari pada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas
saja (Alport dalam Reksopoetranto, 1992).
Karenanya dalam beberapa definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci tentang
definisi partisipasi: a) Keikutsertaan, b) Secara sukarela, c) Keterlibatan
mental/pikiran dan emosi/perasaan, d) Berbentuk pernyataan ataupun kegiatan
nyata, e) Media penumbuhan kohesifitas dan f) Akomodasi kepentingan bersama.
68
2.1.5.1 Bentuk-bentuk Partisipasi
Sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat/kelompok terdapat beberapa
wujud dari partisipasi. Vaneklasen dan Miller dalam Handayani (2006) membagi
partisipasi atas:
1. Partisipasi Simbolis
Masyarakat duduk dalam lembaga resmi tanpa melalui proses pemilihan dan
tidak mempunyai kekuasaan yang sesungguhnya.
2. Partisipasi Pasif
Masyarakat diberi informasi atas apa yang sudah diputuskan dan apa yang
sudah terjadi. Pengambil keputusan menyampaikan informasi tetapi tidak
mendengarkan tanggapan dari masyarakat sehingga informasi hanya berjalan
satu arah.
3. Partisipasi Konsultatif
Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan. Hasil
jawaban dianalisis pihak luar untuk identifikasi masalah dan cara pengatasan
masalah tanpa memasukkan pandangan masyarakat.
4. Partisipasi dengan Insentif Material
Masyarakat menyumbangkan tenaganya untuk mendapatkan makanan, uang
atau imbalan lainnya. Masyarakat menyediakan sumber daya, namun tidak
terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga mereka tidak memiliki
keterikatan untuk meneruskan partisipasinya ketika masa pemberian insentif
selesai.
69
5. Partisipasi Fungsional
Masyarakat berpartisipasi karena adanya permintaan dari lembaga eksternal
untuk memenuhi tujuan. Mungkin ada keputusan bersama tetapi biasanya
terjadi setelah keputusan besar diambil.
6. Partisipasi Interaktif
Masyarakat berpartisipasi dalam mengembangkan dan menganalisa rencana
kerja. Partisipasi dilihat sebagai hak, bukan hanya sebagai alat mencapai
tujuan, prosesnya melibatkan metodologi dalam mencari perspektif yang
berbeda dan serta menggunakan proses belajar yang terstruktur. Karena
masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan maka mereka akan
mempunyai keterikatan untuk mempertahankan tujuan dan institusi lokal
yang ada di masyarakat juga menjadi kuat.
7. Pengorganisasian Diri
Masyarakat berpartisipasi dengan merencanakan aksi secara mandiri. Mereka
mengembangkan kontak dengan lembaga eksternal untuk sumber daya dan
saran teknis yang dibutuhkan, tetapi kontrol bagaimana sumber daya tersebut
digunakan berada di tangan masyarakat sepenuhnya. Secara ideal partisipasi
semestinya berwujud partisipasi interaktif ataupun pengorganisasian diri,
tetapi tentunya hal tersebut menuntut kapabilitas sumber daya manusia yang
optimal. Di negara dunia ketiga yang umumnya berpemerintahan totaliter
menggunakan model partisipasi simbolis, pasif ataupun konsultatif.
2.1.5.2 Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
70
Telaah tentang pengertian partisipasi yang dikemukakan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa partisipasi atau peran serta, pada dasarnya merupakan
suatu bentuk keterlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karena
alasan-alasan dari dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) dalam
keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan, yang mencakup: pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian (pemantauan, evaluasi,
pengawasan), serta pemanfaatn hasil-hasil kegiatan yang dicapai. Karena itu,
Yadav (1980), mengemukakan tentang adanya empat macam kegiatan yang
menunjukkan partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan;
1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan
Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk
pemanfaatan sumberdaya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri
oleh pemerintah pusat, yang dalam banyak hal lebih mencerminkan sifat
kebutuhan kelompok-kelompok kecil elit yang berkuasa dan kurang
mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu,
partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya
forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam
proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di
wilayah setempat atau tingkat lokal.
2. Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai
partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara
sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain
71
pihak, lapisan yang di atasnya (yang umumnya terdiri atas orang-orang kaya)
dalam banyak hal lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan,
tidak dituntut sumbangannya secara proporsional. Karena itu partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan
sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau beragam
bentuk korban lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh
masing-masing warga masyarakat yang bersangkutan.
Disamping itu, yang sering dilupakan dalam pelaksanaan pemabngunan
adalah partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan proyek-proyek pembangunan
kemasyarakatan yang telah berhasil diselesaikan. Oleh sebab itu, perlu adanya
kegiatan khusus untuk mengorganisir warga masyarakat guna memelihara hasil-
hasil pembangunan agar manfaatnya dapat terus dinikmati (tanpa penurunan
kualitasnya) dalam jangka panjang.
3. Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi pembangunan
Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan
sangat diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang
diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memeroleh umpan balik tentang
masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan
yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan
informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat
pembangunan sangat diperlukan.
72
4. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan
Partisipasi dalam pemanfaatn hasil pembangunan, merupaan unsure
terpenting yang sering terlupakan. Sebab, tujuan pembangunan adalah untuk
memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil
pembangunan merupakan tujuan utama. Disamping itu, pemanfaatn hasil
pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk
selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang.
Sayangnya, partisipasi dalam pemanfaatn hasil pembangunan sering
kurang mendapat perhatian pemerintah dan administrator pembangunan pada
umumnya, yang sering menganggap bahwa dengan selesainya pelaksanaan
pembangunan itu otomatis manfaatnya akan pasti dapat dirasakan oleh
masyarakat sasarannya. Padahal, seringakali masyarakat sasaran justru tidak
memahami manfaat dari setiap program pembangunan secara langsung, sehingga
hasil pembangunan yang dilaksanakan menjdi sia-sia.
2.1.6 Keuangan Mikro
Keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga keuangan yang
menyediakan berbagai bentuk jasa dan produk microfinance, antara lain tabungan,
kredit, asuransi, transfer uang untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
kelompok masyarakat miskin dan skala usaha mikro (Usman, et al, 2004). Istilah
microfinance banyak dikaitkan dengan masalah keterbatasan (inferiority). Karena
itu, konsep microfinance diuraikan sebagai bentuk inferioritas dari masyarakat
miskin (the poors) yang sulit dan terbatas aksesnya terhadap layanan keuangan
pada lembaga keuangan perbankan. Konsep microfinance yang membicarakan
73
tentang sulit dan terbatasnya kelompok masyarakat di dalam mengakses lembaga
keuangan perbankan mendorong pengembangan definisi tentang microfinance.
Berikut diuraikan sejumlah definisi microfinance, antara lain adalah sebagai
berikut:
1. International management Communications Corporation (IMCC),
microfinance sebagai seperangat teknik dan metode perbankan non
tradisional untuk membuka akses seluas-luasnya kepada sektor yang tidak
tersentuh jasa keuangan formal.
2. The Foundation for Development Cooperation, microfinance sebagai
penyediaan jasa keuangan khususnya simpanan dan pinjaman bagi rumah
tangga miskin yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal.
Kedua definisi tersebut lebih mengarahkan microfinance sebagai
pembiayaan dengan skala mikro. Istilah mikro dalam konteks ini berkaitan dengan
nilai transaksi dan kapasitas keuangan nasabah yang umumnya masuk ke dalam
kategori miksin seperti yang dirumuskan oleh UNCDF, CGAP dan ADB, yakni:
Microfinance refers to loans, savings, insurance, transfer services other financial
products targeted at low income clients.
Definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro
adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk
membiayai proyek yang dikerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang
memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Definisi
dalam Microcredit Summit aalah sebagai berikut: Programmes extend small loans
74
to very poor for self employment projects that generate income, allowing them to
care for themselves an their families.
Di Indonesia, definisi mengenai microfinance dikembangkan oleh Bank
Indonesia yang menyebutkan bahwa kredit mkro merupakan kredit yang diberikan
kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang
mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000 per tahun. Lembaga
keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut
Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Asian Development Bank (ADB)
menyebutkan definisi definisi microfinance adalah lembaga yang meneydiakan
jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transakasi jasa
(payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin
dan pengusaha kecil (insurance to poor and low income households and their
microenterprises).
Definisi yang lebih rinci dirumuskan oleh Marguerite Robinson dalam
bukunya The Microfinance Revolution Volume I & II yaitu:
Microfinance is small scale financial services provided to people whofarm or fish or herd; who operate small or microenterprises where goodare produced, recycled, repaired, or traded; who provide services; whowork for wages or commissions; who gain income from renting out smallamounts of land, vehicles, draft animals, or machinery and tools; and toother individuals and groups at the local levels to developing countries,both rurl and urban.
Definisi yang diberikan Robinson tersebut apabila diterjemahkan secara
luas, microfinance adalah sebagai layanan keuangan skala kecil khususnya kredit
dan simpanan yang disediakan bagi mereka yang bergerak di sektor pertanian,
perikanan atau peternakan; yang mengelola usaha kecil atau mikro yang meliputi
75
kegiatan produksi, daur ulang, reparasi atau perdagangan; yang menyediakan
layanan jasa; yang bekerja untuk memeroleh upah atau komisi; yang memeroleh
penghasilan dari atau dengan cara menyewakan tanah, kendaraan, tenaga hewan
ternak, atau peralatan dan mesin-mesin; dan konsep perseorangan atau kelompok
baik di perdesaan maupun di perkotaan di negara-negara berkembang.
Berbagai ragam pengertian sebelumnya, bahwa microfinance memiliki 2
elemen utma yang membedakannya dengan sistem intermediasi keuangan lainnya
seperti perbankan:
1. Batasan transaksi
Nilai transaksi microfinance tidak bersifat universal, artinya tidak ada
konvensi internsaional yang menetapkan nilai transaksi yang masuk
kategori kecil atau mikro. Di Indonesia, nilai transaksi microfinance hanya
dirumuskan pada batasan kredit mikro saja yakni maksimum Rp
50.000.000. sedangkan untuk transaksi keuangan lainnya seperti
simpanan, asuransi, remittance, sistem pembayaran tidak ada pengaturan
yang jelas.
2. Segmen pasar
Microfinance memiliki keunikan dalam melayani masyarakat yakni
terfokus pada masyarakat miksin yang terbagi menjadi empat kelompok,
yaitu:
a. Kelompok I, yakni the poorest of the poor. Penduduk miskin yang
tidak memiliki sumber pendapatan karena faktor usia, sakit, cacat fisik
sehingga tidak memiliki pendapatan
76
b. Kelompok II, yaitu laboring poor. Kelompok miskin yang bekerja
sebagai buruh dengan penghasilan sangat terbatas dan bersifat tidak
tetap atau musiman yang umumnya bekerja di sektor pertanian atau
sektor-sektor lain yang bersifat padat karya.
c. Kelompok III, adalah self employed poor. Merupakan penduduk
miskin yang berpenghasilan relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup dasarr dengan bekerja di sektor informal.
d. Kelompok IV, ialah enconomiccally active poor. Golongan yang telah
memiliki kekuatan ekonomi dengan sumber pendapatan yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan memiliki surplus income.
Lembaga keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis; (i)
lembaga keuangan formal; (ii) lembaga keuangan semi formal; dan (iii) lembaga
keuangan informal. Di suatu negara, lembaga keuangan formal biasanya secara
operasional diatur dalam undang-undang (UU) perbankan dan disupervisi oleh
bank sentral. Lembaga keuangan tersebut bisa bank pemerintah maupun swasta.
Sedangkan bank semi formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi
disupervisi dalam regulasi oleh agen (lembaga) pemerintah selain bank sentral.
Terakhir, lembaga keuangan informal beroperasi di luar regulasi dan disupervisi
oleh lembaga pemerintah (negara). Lembaga ini berisi kegiatan-kegiatan yang
benar-benar di luar kelembagaan keuangan resmi (official financial institutions),
yang seringkali tidak tercatat. Sungguh pun begitu, tidak berarti sektor keuangan
informal ini bukan sekadar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transakasi,
tetapi kadang-kadang juga memberikan bantuan dalam bentuk barang (in kind).
77
Dengan karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan informal ini
memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilyah perdesaan.
Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi formal adalah pada
tipe kesepakatan yang dibuat dalam bentuk sistem kontrak (contract system).
Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak,
misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan
sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan.
Sebaliknya, lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara
kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan
administrasi yang dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali tidak
menggunakan sistem kontrak, karena biasanya tidak ada persyarata agunan
maupun sanksi. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal
biasanya lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan. Kasryno (1983),
kelembagaan kredit informal sangat berkembang dalam masyarakat perdesaan
akibat belum terjangkaunya pelayanan kredit dari lembaga keuangan formal
(bank) bagi sebagian besar masyarakat perdesaan, terutama petani kecil dan buruh
tani yang selalu memerlukan kredit dengan pelayanan yang terjangkau oleh
mereka.
Dalam konteks pembangunan perdesaan di Indonesia, lembaga keuangan
formal yang sudah teruji selam puluhan tahun adalah Bank Rakyat Indonesia
(Pretes, 2002), ketika pemerintah menginisiasi kebijakan pemberian kredit pada
masa Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada tahun 1975. Oleh karena umumnya
petani tebu (dan petani lainnya) memiliki modal yang terbatas, pemerinth
78
menyediakan fasilitas kredit modal kerja (kredit produksi) melalui bank tersebut
(BRI). Bank ini tidak hanya beroperasi sampai level kecamatan, tetapi juga
sampai di desa-desa. Semula kredit yang disediakan adalah pola Kredit Modal
Kerja Permanen (KMKP) Massal, kemudian diubah menjadi Kredit Modal Kerja
(KMK), dan diganti lagi menjadi Kredit Usaha Tani (KUT) yang disalurkan
melalui KUD. Kewajiban bagi petani kredit adalah mengembalikannya dan
membayar bunga sebesar 1 persen tiap bulan. Dengan demikian petani TRI Kredit
didorong untuk menggunakan modal kerja tersebut dengan efisiensi dan
efektivitas yang tinggi (Birowo, 1992). Selanjutnya, operasi BRI tidak hanya
kepada petani tebu, namun juga ke petani-petani yang menanam komoditas
lainnya.
Sedangkan untuk lembaga keuangan semi formal, terdapat banyak sekali
lembaga keuangan yang dibentuk oleh pemerintah, misalnya BKD (Badan Kredit
Desa), LDKP (Lembaga Dana Kredit Desa), dan Koperasi Unit Desa (Holloh,
1996). BKD merupakan lembaga keuangan yang beroperasi pada desa-desa
terpencil dan sekaligus sebagai bank beras (rice banks) di Jawa. Dalam
implementasinya, BKD disupervisi oleh kepala desa dan BRI. Sedangkan LDKP
beroperasi baik pada level kecamatan maupun desa, yang diregulasi oleh UU
Pemerintah Provinsi dan disupervisi oleh bank Pembangunan Daerah (BPD).
Ketika dilaksanakan di lapangan, jenis LDKP ini bermacam-macam. Di jawa
namanya BKK (Bdan Kredit Kecamatan), di Jawa Timur disebut KURK (Kredit
Usaha Rakyat Kecil), di Jawa Barat namanya LPK (Lembaga Perkreditan
Kecamatan), di Lombok disebut LKP (Lembaga Kredit Perdesaan), di Sumatra
79
Barat disebut LPN (Lumbung Pitih Nagari), dan di Bali diamakan LPD (Lembaga
Perkreditan Desa). Sementara itu, KUD merupakan koperasi desa resmi yang
dibentuk oleh pemerintah dan masuk ke seluruh sektor perekonomian desa.
Meskipun semakin lama reputasi KUD kian redup, tetapi sampai kini lembaga
tersebut tetap bertahan dan beroperasi di wilyah perdesaan.
Di luar itu, di perdesaan juga terdapat satu lembaga keuangan lain yang
kerap disebut sebagai lembaga keuangan swadaya (Holloh, 1996). Prinsip
lembaga keuangan ini adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit (rotating
savings and credit associations), dimana anggota kelompok berkontribusi secara
regular memberikan dana kepada salah satu atau ke beberapa anggota (sistem
kopyok/giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran (rotation) atau tabungan dan
kelompok kredit; yang hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana
pinjaman melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan
bersih dari intermediasi keuangan, dan intermediasi antara penabung dan
peminjam. Di Indonesia, menurut Clifford Geertz, model arisan masih merupakan
bentuk lembaga keuangan swadaya yang paling populer dan menjadi referensi
setiap studi yang mengupas masalah lembaga keuangan swadaya. Selebihnya,
model lainnya merupakan lembaga keuangan modern yang biasanya dimapankan
dengan dukungan dari NGO pada 1970-an dan 1980-an.
Di negara lain juga terdapat beragam lembaga keuangan beroperasi di
perdesaan. Di Bangladesh, misalnya, Grameen Bank (GB) merupakan yang paling
legendaris dan diadopsi di beberapa negara. GB ini berspesilaisasi sebagai
lembaga keuangan yang berdiri sejak 1983 untuk menyediakan kredit kepada
80
masyarakat miskin perdesaan (rumah tangga perdesaan yang memiliki lahan
kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang ebih baik
(Hossain, 1988). GB mendapatkan dana yang akan dipinjamkan berdasarkan basis
komersial dari bank sentral, atau dari lembaga keuangan lain, pasar modal/uang,
dan organisasi bantuan internasional. GB ini, dalam pembahasan-pembahasan
yang dilakukan para ahli, biasanya disebut sebagai lembaga keuangan mikro
(microfinance). Lembaga keuangan mikro ini cenderung bekerja baik kepada para
peminjam (debitur) dengan sumber daya keuangan yang bermacam-macam
(diverse) yang memiliki kemampuan sejati (genuine) untuk membayar pinjaman.
Pada kasus GB tersebut, mereka membuat pinjaman skala kecil (small
loans) di wilayah perdesaan melalui jaringan yang besar (large network) dari
cabang-cabang dan jasa pelayanan alternatif. Dalam prosedur peminjaman ini,
tingkat bunga yang dikenakan lumayan rendah (16 persen) dan tanpa agunan
(Pretes, 2002). Dengan karakter tersebut, GB memberikan dua keuntungan
sekaligus bagi kaum miskin di wilayah perdesaan, yakni membuka akses yang
besar terhadap kredit (karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat
miskin dengan biaya bunga rendah dibandingkan lembaga keuangan informal).
Salah satu dari dua hal itulah yang biasanya tidak dapat dipenuhi oleh lembaga
keuangan formal, yakni adanya agunan, sehingga masyarakat perdesaan tetap
menjalin hubungan dengan lembaga keuangan informal (rentenir) meskipun
dengan tingkat bunga yang tinggi.
Contoh lainnya adalah VEF (Village Enterprise Fund/Dana Usaha Desa)
yang didirikan oleh Brian Lenhen dan Joan Hestenes di Redwood City, sebuah
81
sub urban di San Fransisco, USA (Pretes, 2002). VEF merupakan keuangan mikro
milik lembaga non pemerintah (NGO) yang bertujuan memberikan hibah (grant),
dan bukan pinjaman kepada usaha kecil di desa. Target hibah adalah masyarakat
miskin, atau sangat miskin (too poor), sehingga mereka tidak berani mengmbil
risiko untuk melakukan pinjaman. VEF telah beroperasi di 12 negara, tetapi saat
ini hanya berkonsentrasi kepada tiga negara di Afrika yang tergolong sangat
miskin, yakni Kenya, Uganda, dan Tanzania. Sumber dana VEF berasal dari
sumbangan-sumbangan (donations), baik dari para individu, komisaris (board of
directors) VEF sendiri, gereja, dan lembaga-lembaga lain.
Prosedur penyaluran bantuan dari VEF dilakuakn secara bertingkat.
Pertama, VEF memberikan hibah dalam jumlah tertentu di desa-desa yang
terpilih, dimana di tiap negara ditunjuk satu direktur (country director) yang
bertanggung jawab menjalankan program VEF di negaranya. Kedua, di setiap
desa ditunjuk seorang coordinator sukarelawan yang berfungsi mengidentifikasi
penerima hibah potensial. Penerima hibah ini harus membuat kelompok minimal
terdiri dari 5 orang, tetapi kegiatan usaha yang ditekuni bisa dilakukan sendiri-
sendiri (misalnya ada 5 jenis). Fungsi kelompok ini hanya melakukan proses
konsolidasi, menyiapkan jaringan antar aplikan yang sama, dan saling memantau
penggunaan yang benar ari hibah yang diberikan. Ketiga, jika eseorang
(kelompok) disetujui proposalnya, maka mereka harus menulis rencana bisnis
yang akan dilakukan, seperti kebutuhan input produksi serta ekspektasi
pengeluaran, penjualan, dan profit. Jika rencana bisnis tersebut dianggap telah
82
dimasukkan dan dianggap layak, maka hibah pertama periode pertama
dikeluarkan.
Pada fase ini biasanya pelatihan, seperti pembukuan, manajemen umum,
dan bagaimana menumbuhkan bisnis, diberikan secara gratis. Keempat, setelah
bisnis berjalan, pada bulan ketiga atau keenam mereka diminta membuat laporan
usaha, biasanya berisi tentang laba yang diperoleh dan masalah yang muncul
dalam bisnisnya. Setelah laporan ini dimasukkan, mereka menerima hibah periode
yang kedua dan penerima hibah dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa
keluar dari pengawasan formal VEF. Mereka hanya akan menjalin kontak dengan
coordinator sukarelawan menerim hibah periode yang kedua tanpa jadwal yang
ketat, yang sekaligus menjadi bahan bagi coordinator sukarelawan untuk
melakukan survei secara periodik.
2.2 Kajian Empiris dan Penelitian Terdahulu
2.2.1 Hubungan Modal Sosial dengan Kinerja Usaha
Penelitian terkait modal sosial sudah banyak dilakukan, salah satunya yang
dilakukan oleh Krishna dan Uphoff (1999). Penelitian ini bertujuan untuk melihat
pengaruh modal sosial terhadap kinerja usaha konservasi air di India. Penelitian
ini dilakukan untuk mengkritisi pendekatan yang pernah digunakan oleh Putnam
(1993). Dalam beberapa dimensi, Krisha dan Uphoff (1999) meyakini bahwa
dimensi seperti persentase voting, pembaca koran, dan jumlah asosiasi formal
pada satu sisi dan Community Land Development Index (CLDI) yang digunakan
oleh Putnam tidak relevan dengan kasus di India, dimana tempat Krishan dan
Uphoff melakukan penelitian. Mereka selanjutnya melakukan revisi terhadap
83
indicator Putnam dengan jalan membangun ukuran modal sosial aternatif dengan
mengkombinasikan enam varabel. Hasil menarik dari temuan Krishna dan Uphoff
adalah tingginya modal sosial ternyata berpengaruh positif terhadap kinerja usaha
konservasi air di India dan aktivitas pengembangan kerjasama pada umumnya.
Variabel yang berpengaruh positif terhadap kinerja usaha konservasi air adalah
variabel partisipasi dalam pengambilan keputusan, eksistensi aturan, pengalaman
sebelumnya dalam kaitannya dengan collective action dan historical legacy.
Penelitian serupa juga banyak dilakukan di luar negeri, seperti yang
dilakukan oleh Ito (2003) pada Grameen Bank di Bangladesh. Ito menemukan
adanya pengaruh positif modal sosial dengan kinerja Grameen Bank, dimana
interaksi sosial yang kuat antara staf bank dengan nasabah memungkinkan dapat
menurunkan default pinjaman dari nasabah. Hal yang sama juga dilaporkan oleh
Jain (1996) yang menemukan bahwa salah satu kunci keberhasilan kinerja
keuangan Grameen Bank adalah budaya manajemen yang salah satunya adalanh
intensifnya interaksi sosial antara pengurus dan nasabah yang memfasilitasi untuk
meningkatkan motivasi nasabah untuk membayar pinjamannya. Van Bastelaer
(2000) menelaah secara lengkap hasil penelitian yang berkaitan antara modal
sosial dengan kinerja program pemberian kredit di negara sedang berkembang.
Dalam simpulan telaah penelitiannya Van Bastelaer mengatakan bahwa salah satu
penentu utama dari keberhasilan program pemberian kredit di banyak negara
sedang berkembang adalah adanya hubungan yang dekat antara peminjam dengan
sumber dana (staf) lembaga keuangan mikro. Ketika pemberi kredit mempunyai
84
hubungan yang dekat dengan peminjam, peranan ikatan interpersonal ini
merupakan elemen penting dalam menjamin terbayarnya pinjaman.
Suyatnayasa (2012), menemukan bahwa faktor produksi modal tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan usaha bagi industri kecil kerajinan
(IKK). Setelah melakukan kajian mendalam melalui analisis kualitatif, akhirnya
direkomendasikan bahwa pelaku usaha industri kecil kerajinan di Kabupaten
Gianyar, dalam berusaha bermodalkan kesederhanaan berpikir dan bermodalkan
kesadaran spiritual kalau semuanya sudah ada yang mengatur yakni Tuhan Yang
Maha Esa. Ini artinya, secara tidak langsung peneliti merekomendasikan bahwa
modal sosial berkontribusi pada kinerja usaha IKK di Kabupaten Gianyar.
Yuliarmi (2010) melakukan penelitian dengan terkait Peran Pemerintah
dan Lembaga Adat dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (Studi
pada Industri kerajinan di Provinsi Bali). Penelitian dilakukan di lima
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali yang mewakili seluruh populasi dari industri
kerajinan. Masing-masing Kabupaten/Kota diwakili oleh satu desa. Pada
masing-masing desa yang dijadikan sampel penelitian diambil sejumlah
pemuka lembaga adat, serta pengrajin yang menghasilkan jenis kerajinan yang
dapat mewakili populasi. Untuk mengetahui peran pemerintah/institusi terkait
diambil beberapa pejabat yang berkompeten pada bidang masing-masing
yang mendukung penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif. Analisis
kuantitatif menggunakan teknik analisis SEM. dan SPSS. Analisis SEM
merupakan pendekatan terintegrasi antara Analisis Faktor, Model Struktural,
85
dan Anasisis Path. Salah satu langkah dalam teknik analisis SEM berkaitan
dengan konversi diagram Path dalam model struktural yang terdiri atas
konversi diagram path model struktural ke dalam model matematika dan
konversi diagram path model pengukuran ke dalam model matematika.
Analisis dengan pendekatan SPSS digunakan untuk menguji ada tidaknya
perbedaan pemberdayaan pada IKM yang yang dorong oleh peran
pemerintah dengan IKM yang tanpa didorong oleh peran pemerintah,
menggunakan uji beda dua rata-rata.
Hasil penelitian menunjukkan 1) Terdapat pengaruh signifikan peran
pemerintah terhadap pemberdayaan IKM di provinsi Bali. 2) Terdapat pengaruh
signifikan peran lembaga adat dilihat dari peran sosial, budaya, ekonomi dan
keuangan terhadap pemberdayaan IKM di provinsi Bali. 3) Terdapat
perbedaan signifikan pemberdayaan pada IKM yang didorong oleh peran
pemerintah dengan IKM yang tidak didorong oleh peran pemerintah. 4) Terdapat
pengaruh signifikan modal sosial terhadap peran lembaga adat dilihat dari peran
sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.
2.2.2 Hubungan Modal Sosial dengan Pembangunan
Lochart (2005) melakukan penelitian mengenai perbandingan hasil derajat
modal sosial yang dihasilkan dari program penanggulangan kemiskinan oleh
institusi sekuler dan institusi kegamaan. Hasilnya adalah program yang dijalankan
oleh institusi keagamaan menghasilkan peningkatan modal sosial masyarakat
dibandingkan dengan yang lainnya. Selain itu, modal sosial dapat berpengaruh
secara efektif bagi penduduk miskin dalam meningkatkan kesempatan kerja.
86
Ismawan (2000) melakukan penelitian mengenai kaitan antara intervensi
ekonomi, modal sosial, lembaga keuangan mikro dan pengurangan kemiskinan.
Hasil penelitiannya menginformasikan bahwa intervensi pemerintah dalam
berbagai program khususnya intervensi pada pasar keuangan dapat memperkuat
modal sosial masyarakat, melalui fasilitas terbentuknya kelompok dan
meningkatnya interaksi sosial masyarakat. Hasil penelitian ini juga membuktikan
bahwa LKM sebagai salah satu pendekatan untuk menanggulangi kemiskinan di
perdesaan karena dapat memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat
miskin selama ini yang tidak dapat mengakses pasar kredit formal.
Grootaert (1999) melakukan penelitian mengenai kaitan antara modal
sosial, kesejehteraan keluarga dan kemiskinan di Indonesia. Dengan
menggunakan data dari 3 provinsi di Indonesia yaitu provinsi Jambi, Jawa Tengah
dan Nusa tenggara Timur serat dengan metode pengukuran modal sosial yang
lengkap dan baku melaporkan bahwa modal sosial dapat memfasilitasi dalam
meningkatkan akses kredit dan pendapatan atau kesejahteraan bagi penduduk
miskin. Grootaert (1999) melaporkan bahwa keterlibatan dan keaktifan
masyarakat di dalam dan di luar organisasi lokal mampu meningkatkan akses
kredit.
Temuan Grootaert ini sejalan dengan temuan Sharma dan Zeller (1997)
yang melaporkan bahwa meningkatnya modal sosial masyarakat di masyarakat
Bangladesh mempunyai spilover yang positif terhadap kinerja kelompok
kreditnya. Meskipun penelitian Grootaert di Indonesia ini tergelong pioneer dalam
kaitannya dengan modal sosial namun hasilnya dirasakan kurang memuaskan.
87
Lawang (2004) menyangsikan hasilnya khususnya dalam konteks di Nusa
Tenggara Timur mengingat data BPS dan potensi desa menunjukkan bahwa
kondisi sosial ekonomi masyarakat Nusa tenggara Timur termasuk dalam tiga
provinsi termiskin di Indonesia. Menurut Lawang, ini berarti kemiskinan di NTT
tidak berkurang. Terlepas dari kesangsian ini, hasil penelitian Grootaert ini
memberikan entry point bagi penelitian yang mendalam tentang modal sosial di
Indonesia.
Malucio, Haddad dan May (1999) meneliti pengaruh modal sosial
terhadap pengeluaran rumah tangga di Afrika Selatan. Mereka menggunakan
panel data dari tahun 1993 dan 1998 serta menggunakan indicator kepadatan
kelompok, heterogenitas gender dan kinerja group sebagai komposisi penyusun
indeks modal sosial. Untuk instrument modal sosial mereka menggunakan
beberap variabel lag modal sosial tahun 1993, rata-rata pendidikan, umur kepala
rumah tangga, umur kepala rumah tangga dikuadrat dengan jumlah total
kelompok dalam masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan metode OLS
(Ordinary least Square) dari data tahun terpisah (1993 dan 1998) mereka
menemukan bahwa untuk data tahun 1993 modal sosial rumah tangga dan
masyarakat tidak berpengaruh positif terhadap pengeluaran rumah tangga.
Sebaliknya untuk data tahun 1998 mereka menemukan bahwa meningkatnya 10
persen modal sosial rumah tangga atau modal sosial masyarakat mampu
meningkatkan 1,2 persen tingkat penegeluaran rumah tangga. Hasil menarik
lainnya dari temuan mereka adalah setelah melakukan kontrol terhadap variabel
lain dalam keluarga, tingkat modal sosial rumah tangga dan modal sosial
88
masyarakat tetap tidak berpengaruh signifikan pada tingkat pengeluaran rumah
tangga untuk data tahun 1993. Sementara untuk data tahun 1998 hasilnya masih
konsisten dengan tahun sebelumnya yaitu peningkatan 10 persen modal sosial
rumah tangga atau modal sosial masyarakat mampu meningkatkan 0,9 persen
tingkat pengeluaran rumah tangga.
Knack and Keefer (1997) melalui penelitian lintas negara menemukan
bahwa meningkatnya 12 persen trust masyarakat mampu meningkatkan
pertumbuhan pendapatan per kapita 1 persen. Sementara itu meningkatnya 7
persen tingkat trust mampu meningkatkan 1 persen share investasi dari GDP.
Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Zack and Knack (2001) yang
melaporkan bahwa trust berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi dalam periode yang lama. Menurut mereka trust lebih tinggi di negara
yang kelembagaan formalnya mampu menegakkan kontrak dan mengurangi
kemiskinan. Sejumlah studi lain secara singkat melaporkan kaitan antara trust
(bagian dari komponen modal sosial) dengan pertumbuhan. La Porta et al dalam
Knack (2002) melaporkan bahwa trust dari individu berhubungan positif dengan
pertumbuhan ekonomi. Granato et al (1996) menguji variabel trust dan lima
variabel budaya lainnya dengan regresi pertumbuhan untuk periode tahun 1980-
1990 dengan mengontrol variabel tingkat pendapatan per kapita dan kehadiran
sekolah menemukan bahwa trust berpengaruh positif terhadap pertumbuhan.
Sementara itu Putnam (1993) menganggap bahwa keanggotaan individu dalam
dalam organisasi sebagai sumber trust dan ikatan sosial kondusif bagi performa
ekonomi. Sementara Knack and Keefer (1997) dengan menggunakan regresi tipe
89
Barro menemukan bahwa keanggotaan dalam organisasi tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan tingkat investasi.
Grootaert (1999), Narayan dan Princhett (1999) melalui penelitian dengan
menggunakan data dari tingkat individu dan tingkat desa menemukan bahwa
modal sosial dalam bentuk trust atau ikatan sosial dapat memainkan peranan yang
penting dalam mengurangi kemiskinan. Ikatan sosial yang mereka miliki mampu
meningkatkan akumulasi akses kredit, collective action dan pada akhirnya mampu
meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat. Sementara Chuzu
(2002) melakukan penelitian di Afrika Selatan dengan menggunakan indeks
modal sosial Grootaert (1999), Krishna dan Uphoff (1999) serta modifikasi dari
kedua model tersebut menemukan bahwa modal sosial berpengaruh terhadap
pendapatan. Diantara indikator modal sosial Chuzu (2002) menyebutkan bahwa
network rumah tangga paling berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga
dan berpengaruh terhadap efisiensi teknik usaha tani rumah tangga.
2.2.3 Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan Kinerja Usaha
Sesuai dengan pencitraan perdesaan pada umumnya, masyarakat
perdesaan identik dengan para petani dan kehidupan para petani. Kehidupan
perdesaan tidak lepas dari perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani yaitu
pola ekonomi yang berorientasi subsistem (Scott, 1981), dengan pelaku utama
para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah
hasil pertanian, serta industri rumah tangga. Para pelaku usaha ini pada umumnya
masih dihadapkan pada permasalahan klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal.
Sebagai unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup
90
masyarakat perdesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak aktivitas
sektor pertanian dan perdesaan. Kehadiran LKM dibutuhkan paling tidak karena
dua hal (Pantoro, 2008). Pertama, sebagai salah satu instrumen dalam rangka
mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha
skala mikro. Terminologi World Bank, mereka disebut sebagai economically
active poor atau pengusaha mikro.
Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90 persen unit
usaha merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro
merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development
atau development through equity. Mereka membutuhkan permodalan guna
mengembangkan kapasitas usahanya. melalui peningkatan usaha secara efektif
akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri dan diharapkan
dapat membantu masyarakat dalam kategori fakir miskin. Pada sisi lain, skim
keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan
rendah. Kedua, LKM dibutuhkan karena menjadi salah satu instrumen
pengembangan pasar keuangan mikro.
Secara pragmatis, pasar keuangan mikro merupakan aspek keuangan dari
semua proses ekonomi di segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang
menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata
tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di
segmen mikro pelaku usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa
mereka mempunyai potensi menabung, dan dapat diberdayakan mempunyai
kemampuan menabung. Pendek kata, pada pasar keuangan mikro terdapat potensi
91
besar dalam hal penawaran (tabungan) dan permintaan (kredit). Berdirinya LKM
merupakan jawaban dari kurang pekanya lembaga keuangan formal dalam
merangkul UKM, sehingga peranannya bisa dibilang sebagai katup penyelamat
dalam proses pembangunan ekonomi perdesaan.
Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan
yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Segi
kualitas dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari
prosentase keberhasilan program. Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam menerima hasil pembangunan tergantung pada
distribusi maksimal suatu hasil pembangunan yang dinikmati atau dirasakan
masyarakat, baik pembangunan fisik maupun pembangunan non fisik. Ndraha
(1983) mengatakan bahwa partisipasi dalam menerima hasil pembangunan berarti:
menerima setiap hasil pembangunan seolah-olah milik sendiri; menggunakan atau
memanfaatkan setiap hasil pembangunan; mengusahakan; merawat, memelihara
secara rutin dan sistematis, tidak dibiarkan rusak dengan anggapan bahwa kelak
tidak ada bantuan pemerintah untuk pembangunan yang baru.
Penelitian yang dilakukan didapatkan ternyata partisipasi masyarakat
dalam pemanfaatan kinerja LKM belum maksimal. Kenyataan masyarakat sangat
antusias dalam menerima program LKM, karena mengetahui akan ada bantuan
yang akan diberikan. Begitu pula dengan pinjaman dana bergulir, masyarakat
terus merawat kepercayaan yang telah diberikan LKM sehingga tingkat
pengembaliannya 100 persen. Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa
pengaruh positif partisipasi masyarakat terhadap kinerja LKM dapat
92
dipertahankan apabila LKM tersebut memiliki kinerja keuangan dan jangkauan
(outreach) yang baik.
Beberapa studi tentang LKM telah difokuskan pada penilaian kinerja dan
sustanabilitas (sustainability) LKM dengan mengevaluasi indikator-indikator
keuangannya (seperti profitabilitas dan tingkat pengembalian pinjaman atau
repayment rate) yang secara langsung mempengaruhi tingkat kemandirian (self-
sufficiency), jangkauan, dan mekanisme pemberian kredit (Chaves& Gonsales-
Vega,1996, Christen, Rhyne,& Vogel,1995. Christen, 1998, Riedinger, 1994,
Woolcock, 1999, Yaron, Benjamin, & Charitonenko, 1998,Yaron, Benjamin, &
Piprek, 1997). Studi lain yang dilakukan oleh Chaves dan Gonzales-Vega (1996)
mengungkapkan bahwa keberhasilan LKM di Indonesia adalah sebagai akibat dari
rancangan organisasi tersebut dalam melibatkan partisipasi masyarakat. Mereka
berpendapat bahwa rancangan dari suatu organisasi dalam meningkatkan
partsipasi masyarakat sangatlah penting karena hal itu akan menentukan kinerja
LKM tersebut.
Kinerja keuangan LPD secara keseluruhan merupakan gambaran prestasi
yang dicapai LPD dalam operasionalnya, baik menyangkut aspek keuangan,
pemasaran, penghimpunan dan penyaluran dana, teknologi maupun sumber daya
manusia. Kinerja keuangan Bank/LPD merupakan gambaran kondisi keuangan
Bank/LPD pada suatu periode waktu tertentu baik menyangkut aspek
penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang biasanya diukur dengan
indikator kecukupan modal, likuiditas dan profitabilitas Bank/LPD (Jumingan,
2006). Bagi Lembaga Keuangan/Bank dan Lembaga perkreditan Desa/LPD,
93
kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang sangat penting, dalam rangka
pengembangan usaha yang sehat dan dapat menampung risiko kemungkinan
kerugian. Apabila kinerja keuangan LPD baik, diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan LPD untuk jangka panjang, sebaliknya apabila kinerja keuangan
LPD buruk akan dapat menurunkan pertumbuhan LPD.
Study dari Chaves & Gonsales-Vega juga mengungkapkan bahwa LPD
Bali telah melibatkan agen-agen desa dalam sistem pemberian kredit mereka,
yang biasa disebut dengan tehnik pemberian pinjaman berdasarkan karakter
(character-based lending technique). Chaves & Gonsales-Vega lebih lanjut
menyatakan bahwa pemberian pinjaman berdasarkan karakter (masyarakat) dan
pengawasan lokal sudah cukup efisien untuk menghindari kesalahan fatal dalam
menilai kemungkinan pengembalian pinjaman (Arsyad, 2008).
2.2.4 Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan Pembangunan
Partisipasi masyarakat adalah suatu hal yang sangat penting dalam
pemerintahan demokratis, terutama dalam praktek pemerintahan daerah. Yusran
(2006) mengartikan partisipasi masyarakat sebagai keterlibatan terus-menerus dan
aktif dalam pembuatan keputusan yang dapat memengaruhi kepentingan umum.
Partisipasi masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar
masyarakat senantiasa merasas memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap
pembangunan kehidupan bersama warga desa. Partisipasi pada intinya adalah agar
masyarakat ikut serta dengan pemerintah memberikan bantuan guna
meningkatkan, memperlancar, mempercepat, dan menjamin berhasilnya usaha
94
pembangunan. Secara umum partisipasi dapat diartikan sebagai pengikutsertaan
atau pengambilan bagian dalam kegiatan bersama.
Partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam segala
proses pembangunan baik dari sisi perencanaan, pengambilan keputusan,
pelaksanaan dan evaluasi kegiatan dan merupakan urutan tertinggi dari suatu
keterlibatan publik (Steffek, J (2008), Fung (2008)). Pemberdayaan masyarakat
adalah salah satu tujuan partisipasi masyarakat, selain itu dari sisi kapasitas
penerima manfaat, meningkatkan efektifitas proyek, meningkatkan efisiensi
proyek, dan berbagi biaya proyek juga merupakan tujuan yang ingin dicapai
dengan adanya partisipasi masyarakat (Paul, 1987 dalam Mircea 2011).
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan keterlibatan
anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan
dan pelaksanaan (implementasi) program atau proyek pembangunan yang
dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Partisipasi atau peran serta masyarakat
dalam pembangunan pedesaan dapat diartikan sebagai aktualisasi dari kesediaan
dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam
implementasi program atau proyek di masyarakat (Adisasmita, 2006).
Mubyarto (1984), “Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan
diartikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai
kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorban kepentingan diri sendiri”.
Dalam keadaan yang paling ideal keikutsertaan masyarakat merupakan ukuran
tingkat partisipasi rakyat. Semakin besar kemampuan mereka untuk menentukan
nasibnya sendiri, semakin besar pula kemampuan mereka dalam pembangunan.
95
Pembangunan di perkotaan maupun perdesaan dapat dikatakan sukses
dilihat dari sejauh mana perencanaan pembangunan tersebut mampu mengundang
partisipasi masyarakat ditempat tersebut (Fadli, 2012). Keterlibatan masyarakat
penerima program mengakibatkan keberhasilan pembangunan tersebut akan
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri (Mediawati, 2011).
Pada proses perencanaan dimana partisipasi masyarakat merupakan level tertinggi
jika dilihat dari sisi keterlibatan masyarakat (Salahuddin, 2012).
Keberhasilan dalam pembangunan dapat dicapai jika pemerintah memberi
tanggung jawab kepada masyarakat untuk menentukan sendiri kebutuhan, proses
pelaksanaan dan pemeliharaan suatu kegiatan, selain adanya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan (Mardiansyah, 2008). Pembangunan yang
menempatkan posisi masyarakat selaku subjek dan terlibat secara aktif dalam
sebuah program pembangunan untuk kepentingan masyarakat sendiri merupakan
definisi dari pembangunan partisipatif (Amado et. al, 2010). Partisipasi
masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai kesuksesan dan
keberlanjutan suatu program pembangunan disegala aspek (Fung, 2009).
Penelitian partisipasi masyarakat terhadap tingkat keberhasilan proyek
pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi pernah dilakukan oleh
Listya (2010). Variabel yang digunakan adalah partisipasi masyarakat dan tingkat
keberhasilan proyek. Hasil Penelitian tersebut antara lain variabel Partisipasi
masyarakat yang paling berpengaruh di Kabupaten Banyuwangi adalah tahapan
partisipasi. Sedangkan untuk tingkat keberhasilan proyek, variabel yang paling
berpengaruh adalah kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. Fadli (2010)
96
melakukan penelitian kepemimpinan dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan di desa kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Hasil
penelitiannya bahwa tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan lebih
dominan bersumber dari peran-peran kepemimpinan serta partisipasi masyarakat
dalam pembangunan lebih terpusat pada aspek perencanaan.
2.2.5 Hubungan Kinerja Usaha dengan Pembangunan
Adanya hubungan antara kontribusi kinerja LPD dengan pembangunan
perdesaan didasarkan atas beberapa hasil penelitian terdahulu. Komite
Pemberantasan Kemiskinan (Sutopo, 2005) untuk mencapai sasaran penurunan
angka kemiskinan diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat melalui dua cara,
yaitu pertama, mengurangi kemiskinan dan kedua, meningkatkan produktivitas
masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Sumodiningrat (2003)
menyatakan bahwa peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan
dan pemberdayaan usaha masyarakat, terutama Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan dan pendampingan.
Usaha mikro merupakan mayoritas dari total usaha yang ada di Indonesia sebab
berjumlah 98 persen dari total unit usaha atau 39 juta usaha.
Suartana dan Ariyanto (2012) melakukan penelitian yang mengkaji
hubungan antara rasio kinerja internal LPD dengan penanggulangan kemiskinan
di Provinsi Bali. Adapun hasil penelitannya adalah analisis kinerja internal lewat
analisis informasi keuangan terbukti bisa memprediksi penurunan angka
kemiskinan. Rasio ROA berpengaruh secara negatif dan signifikan, artinya
peningkatan persentase ROA dapat mengakibatkan penurunan angka kemiskinan.
97
Tetapi ada beberapa variabel, seperti rasio akses dan rasio nasabah tidak memiliki
pengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan. Ini artina jumlah LPD yang ada
belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Rasio kredit juga tidak
berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan. Sama seperti rasio akses,
jumlah kredit yang disalurkan belum secara optimal dimanfaatkan oleh
masyarakat atau kemungkinan kredit disalurkan belum menyentuh masyarakat
yang ada di bawah garis kemiskinan.