BAB II Apendiks

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Konsep Teoritis Apendisitis A. Definisi Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Arif Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Amin Huda (2013) apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2002). Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermoformis (kantung buntu diujung sekum). (Donna L Wong, 2004). Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut, fatogenesis utamnya diduga karena adanya obstruksi lumen (feces keras yang terutama oleh serat). Penyumbatan pengeluaran secret mucus menyebabkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi (Sylvia A. Price, 2005). B. Anatomi Fisiologi 1. Anatomi Usus Besar

description

kedokteran

Transcript of BAB II Apendiks

Page 1: BAB II Apendiks

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Konsep Teoritis Apendisitis

A. Definisi

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering (Arif Mansjoer, 2000).

Sedangkan menurut Amin Huda (2013) apendisitis adalah peradangan akibat

infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Usus buntu sebenarnya adalah sekum

(cecum).

Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah

kanan dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen

darurat (Smeltzer, 2002).

Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermoformis (kantung buntu

diujung sekum). (Donna L Wong, 2004).

Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding

organ tersebut, fatogenesis utamnya diduga karena adanya obstruksi lumen (feces keras

yang terutama oleh serat). Penyumbatan pengeluaran secret mucus menyebabkan

terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi (Sylvia A. Price, 2005).

B. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Usus Besar

Gambar 1.1 anatomi usus besar

Page 2: BAB II Apendiks

Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah

sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu tempat

sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka untuk

merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus

besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut

longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa

berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari yang ada

pada usus halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa

kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder.

Usus besar terdiri dari :

a. Sekum

Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup

ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit,

berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.

b. Kolon

Kolon adalah bagian usus besar, mulai dari sekum sampai rektum. Kolon

memiliki tiga bagian, yaitu :

1. Kolon asenden

Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan

membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.

2. Kolon transversum

Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi

lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik.

3. Kolon desenden

Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid

berbentuk S yang bermuara di rektum.

c. Rektum

Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12

sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di

anus (Sjamsuhidayat, 2005).

2. Anatomi Apendiks

Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya adalah suatu saluran

(tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9m). yang berjalan melalui bagian tengah

tubuh dari mulut sampai ke anus (sembilan meter adalah panjang saluran

pencernaan pada mayat; panjangnya pada manusia hidup sekitar separuhnya karena

Page 3: BAB II Apendiks

kontraksi terus menerus dinding otot saluran). Saluran pencernaan mencakup organ-

organ berikut: mulut; faring; esophagus; lambung; usus halus; (terdiri dari

duodenum, jejunum, dan ileum); usus besar (terdiri dari sekum, apendiks, kolon dan

rectum); dan anus (Lauralee Sherwood, 2001).

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian

proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks

berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit pada ujungnya. Keadaan

ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65%

kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks

bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di

belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.

Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti

a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal

dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di

sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang

merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena

trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren(Wim De Jong,2004).

Gambar 2.2. Posisi anatomi apendiks

Page 4: BAB II Apendiks

3. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan

ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di

muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis (Wim De

Jong,2004).

Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated

lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,

ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.

Namun demikian, pengangkatan apendik tidak memengaruhi system imun tubuh

karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan

jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Wim De Jong,2004).

C. Klasifikasi

Menurut Amin Huda (2013) apendisitis terbagi 3 yaitu :

1. Apendisitis akut adalah radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda

setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan peritonium local.

2. Apendisitis rekrens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang

mendorong dilakukannya apendiktomi, kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis

akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendisitis tidak pernah kembali

kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.

3. Apendisitis Kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih

dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makrokospik dan mikrokospik

(fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks,

adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik),

dan keluhan menghilang setelah apendiktomi.

D. Etiologi

Menurut Amin Huda (2013) menyebutkan bahwa apendisitis akut umunya

disebabkan oleh :

1. Infeksi Bakteri.

2. hambatan aliran lender kemuara apendiks.

3. Hiperplasia limfe, tumor apendiks.

4. tumor apendiks.

5. Cacing akasari.

Page 5: BAB II Apendiks

Sedangkan menurut Arif Mansjoer (2000), menyebutkan bahwa penyebab dari

apendisitis adalah akibat Penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid,

fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,atau

neoplasma.

E. Manifestasi Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah sebagai

berikut:

1. Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau

periumbilikus.

2. Disertai rasa mual, muntah, nafsu makan menurun.

3. Beberapa jam kemudian nyeri beralih ke titik Mc Burney dan terjadi nyeri somatik

setempat.

4. Demam derajat rendah sekitar 37,5-38,5oC

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika

meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung

oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda

rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada

saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan.

Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari

dorsal.

b. Bila apendiks terletak dirongga pelvis, yaitu bila apendiks terletak didekat atau

menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum,

sehingga peristaltik menigkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang (diare).

c. Bila apendiks terletak didekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi

peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya (Amin Huda, 2013).

Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-

tanda tersebut dapat sangat meragukan, menujukkan obstruksi usus atau proses

penyakit lainnya. Paien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami

ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena

banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat

pasien-pasien yang lebih muda (C. Smeltzer, 2002).

Page 6: BAB II Apendiks

F. Patofisiologi/Pathway

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah

terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

menembus dinding, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum

setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

dengan apendisitis supraktif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.

Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan

akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut

infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau

menghilang.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,

dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh

yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua

perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah. (Price, 2005).

Page 7: BAB II Apendiks

PATHWAYHiperplasia Folikel Limfoid, Fekalit, Benda Asing, Striktur Karena Fibrosis Akibat Peradangan Sebelumnya, Atau Neoplasma

Obstruksi lumen apendiks

Menyebabkan bendungan mukus

Sedangkan elastisitas dinding apendiks terbatas

Tekanan Intralumen

Menghambat aliran limfe

Edema, Diopedesis bakteri dan ulserasi mukosa

Nyeri pada epigastrium Apendisitis Akut Fokal

Sekresi Mukus terus berlanjut

Nyeri Kanan bawah

Tekanan Intralumen semakin

Obstruksi vena, edema bertambah, bakteri menembus dinding apendiks

Peradangan Meluas

Mengenai Peritonium

Apendisitis supraktif akutAliran Arteri terganggu

Infark Dinding apendiks

GanggrenDinding apendiks Rapuh

Pecah (Perforasi)

Apendisitis perforasi

Apendisitis Ganggrenosa

Proses lambat Omentum dan usus yang dekat bergerak ke apendiks Timbul massa lokal

Infiltrat Apendikulariss

APENDIKTOMI

Page 8: BAB II Apendiks

Tidak bisa beraktivitas

Intoleransi Aktivitas

Peristaltik usus

Distensi abdomen

APENDIKTOMI

Luka Insisi Anastesi

Kerusakan Jaringan

Ujung saraf terputus

Pelepasan bradikinin, prostaglandin, histamin

Stimulasi dihantarkan

Spinal Cord

Korteks Serebri

Nyeri dipersepsikan

Nyeri Akut Kerusakan Integritas Kulit

Pintu Masuk kuman

Perawatan luka tidak aseptik dan steril

Resiko Infeksi

Gangguan Rasa Nyaman

Mual dan Muntah

Input cairan tidak adekuat

Risiko Kekurangan Volume Cairan

Anorexia

Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan

Tubuh

BB

Depresi Sistem Respirasi

Reflek batuk

Akumulasi sekret

Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas

Page 9: BAB II Apendiks

G. Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%

sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara

umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang

kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis

intrabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan (Arif

Mansjoer, 2000).

H. Penatalaksanaan

1. Sebelum Operasi

a. Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis

seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu

dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif

tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun peritonitis

lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit

dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks tegak

dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.

b. Intubasi bila perlu

c. Antibiotik

2. Operasi Apendiktomi

3. Pasca Operasi

Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan, baringkan

pasien dengan posisi semi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak

terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar,

misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi

usus kembali normal.

Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jamlalu naikkan

menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari

berikutnya diberikan makanan lunak.

Page 10: BAB II Apendiks

4. Penatalaksanaan gawat darurat non operasi

Bila tidak ada fasilitas bedah , berian penatalaksanaan seperti dalam peritonitis

akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan

terjadinya komplikasi akan berkurang (Arif Mansjoer, 2000).

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan fisik lengkap.

2. Tes laboratorium.

3. Sinar X

Hitung darah lengkap dilakukan dan akan menunjukkan peningkatan leukosit

mungkin lebih besar dari 10.000/mm3 dan pemeriksaan ultrasound dapat

menunjukkan densitas kuadran kanan bawah atau kadar aliran-udara terlokalisasi.

II. Konsep Teoritis Asuhan Keperawatan Apendisitis

A. Pengkajian

Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama

dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit

maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.

1. Biodata

Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.

2. Lingkungan

Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita

akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.

3. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.

c. Riwayat kesehatan sekarang

Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana

sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang

memperberat dan memperingan.

Page 11: BAB II Apendiks

4. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.

b. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah

akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing

(Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan

terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).

c. Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak

apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini

terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis.

Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.

d. Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang

meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat

hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila

apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan

gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila

apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan

dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar Yayan, 2008).

Sedangkan Menurut doenges, 2000 pengkajian fokus dari pasien

apendiktomi adalah sebagai berikut :

1. Aktifitas/istirahat : malaise

2. Sirkulasi : takikardi

3. Eliminasi : konstipasi, diare(kadang-kadang), distensi abdomen,

nyeri tekan\Lepas, penurunan/tidak ada bising usus.

Page 12: BAB II Apendiks

4. Makanan/cairan : anoreksia, mual muntah

5. Nyeri/keamanan : nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang

meningkat berat dan terlokalisir pada titik mc burney.

6. Keamanan : demam

7. Pernafasan : takipneu, pernafasan dangkal

B. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan

utama, perforasi/ ruptur pada apendiks, pembentukan abses ; prosedur invasif

insisi bedah

2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan

pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pascaoperasi, status hipermetaabolik,

inflamasi peritonium dengan cairan asing.

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri (akut) berhubungan dengan distensi jaringan

usus oleh inflamasi ; adanya insisi bedah

C. Rencana Asuhan Keperawatan

1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan

utama, perforasi/ ruptur pada apendiks, pembentukan abses ; prosedur invasif

insisi bedah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan infeksi berkurang.

KH : Meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/

inflamasi, drainase purulen, eritema dan demam.

Intervensi :

a. Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan

mental, meningkatnya nyeri abdomen.

Rasional : Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonitis.

b. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein (bila

dimasukkan), adanya eritema.

Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/atau

pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada

sebelumnya.

c. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik.

Rasional : Menurunkan resiko penyebaran infeksi.

Page 13: BAB II Apendiks

d. Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada pasien/orang terdekat.

Rasional : Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan

dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas.

e. Ambil contoh drainase bila diindikasikan.

Rasional :Kultur pewarnaan Gram dan sensitivitas berguna untuk

mengidentifikasikan organisme penyebab dan pilihan terapi.

f. Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah

mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk

menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga

abdomen.

g. Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.

Rasional : Dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.

2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan

pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pascaoperasi, status hipermetaabolik,

inflamasi peritonium dengan cairan asing.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan

cairan dan elektrolit menjadi kuat.

KH : kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil dan

secara individual haluaran urine adekuat.

Intervensi :

a. Awasi TD dan nadi.

Rasional : Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume

intravaskuler.

b. Lihat membran mukosa : kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.

Rasional : Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.

c. Awasi masukan dan haluaran : catat catat warna urine/konsentrasi, berat

jenis.

Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis

diduga dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.

d. Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus.

Rasional : Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukkan oral.

Page 14: BAB II Apendiks

e. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukkan peroral dimulai, dan

lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.

Rasional : Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan

kehilangan cairan.

f. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindung

bibir.

Rasional : Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-pecah.

g. Pertahankan penghisapan gaster/ usus.

Rasional : Selang NGT biasanya dimasukkan pada praoperasi dan

dipertahankan pada fase segera pascaoperasi untuk dekompresi

usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah muntah.

h. Berikan cairan IV dan elektrolit.

Rasional : Peritonium bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan

menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan

volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia.

Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.

3. Gangguan rasa nyaman : nyeri (akut) berhubungan dengan distensi jaringan

usus oleh inflamasi ; adanya insisi bedah.

Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.

KH : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang, klien rileks, mampu

istirahat/tidur dengan tepat.

Intervensi :

a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan

laporkan perubahan nyeri dengan tepat.

Rasional : Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan

penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan

terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik

dan intervensi.

b. Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.

Rasional : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah

atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah

dengan posisi telentang.

Page 15: BAB II Apendiks

c. Dorong dan ajarkan ambulasi dini.

Rasional : Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh : merangsang

peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan

abdomen.

d. Berikan aktivitas hiburan.

Rasional : Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat

meningkatkan kemampuan koping.

e. Pertahankan puasa/ penghisapan NGT pada awal.

Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi

gaster/muntah.

f. Berikan analgesik sesuai indikasi.

Rasional : Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi

terapi lain seperti ambulasi, batuk.

g. Berikan kantong es pada abdomen.

Rasional : Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa

ujung saraf. Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat

menyebabkan kompresi jaringan. (Doenges, 2000).