BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN...

53
BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN MENTAL A. Anak Jalanan 1. Pengertian dan klasifikasi anak jalanan Istilah anak jalanan bukanlah istilah yang baru di kalangan masyarakat. Asumsi umum dari istilah anak jalanan adalah seluruh anak yang berada dan berkehidupan di jalanan. 1 Terbentuknya asumsi ini dipengaruhi oleh rutinitas dan aktifitas dari anak-anak yang masuk dalam kategori tersebut (anak jalanan). Pengertian umum tentang anak jalanan yang terbangun dalam pandangan masyarakat itu memang ada benarnya namun masih bersifat kabur. Hal ini dikarenakan belum adanya batasan usia bagi seseorang yang dikatakan sebagai “anak jalanan”. Batasan usia untuk “kategori” anak hingga saat ini memang masih menjadi “perdebatan” klasik di kalangan para pakar maupun pekerja sosial. Perbedaan dalam perumusan usia bagi anak jalanan dapat terlihat dengan adanya ragam pendapat berikut : 2 a. Departemen Sosial memberikan batasan seseorang dikatakan sebagai anak antara dalam rentang usia 6 – 15 tahun. b. UNICEF (salah satu organisasi PBB untuk permasalahan anak) memberikan rentang waktu di bawah 16 tahun bagi seseorang yang masuk dalam kategori “anak”. 1 Pengertian ini penulis dapatkan dari wawancara dengan masyarakat secara acak yang penulis temui di sela-sela kegiatan penelitian di lapangan. 2 Dua batasan pertama dapat dilihat pada Supartono, Bacaan Dasar Pendamping Anak Jalanan, Semarang, Yayasan Setara, 2004, hlm. 10. Sedangkan satu batasan mengenai anak yang terakhir (ketiga) dapat dilacak pada Odi Shalahuddin, Di Bawah Bayang-Bayang Ancaman, Semarang, Yayasan Setara, 2004, hlm. 15.

Transcript of BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN...

Page 1: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

BAB II

ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN MENTAL

A. Anak Jalanan

1. Pengertian dan klasifikasi anak jalanan

Istilah anak jalanan bukanlah istilah yang baru di kalangan

masyarakat. Asumsi umum dari istilah anak jalanan adalah seluruh anak

yang berada dan berkehidupan di jalanan. 1 Terbentuknya asumsi ini

dipengaruhi oleh rutinitas dan aktifitas dari anak-anak yang masuk dalam

kategori tersebut (anak jalanan). Pengertian umum tentang anak jalanan

yang terbangun dalam pandangan masyarakat itu memang ada benarnya

namun masih bersifat kabur. Hal ini dikarenakan belum adanya batasan usia

bagi seseorang yang dikatakan sebagai “anak jalanan”.

Batasan usia untuk “kategori” anak hingga saat ini memang masih

menjadi “perdebatan” klasik di kalangan para pakar maupun pekerja sosial.

Perbedaan dalam perumusan usia bagi anak jalanan dapat terlihat dengan

adanya ragam pendapat berikut :2

a. Departemen Sosial memberikan batasan seseorang dikatakan sebagai

anak antara dalam rentang usia 6 – 15 tahun.

b. UNICEF (salah satu organisasi PBB untuk permasalahan anak)

memberikan rentang waktu di bawah 16 tahun bagi seseorang yang

masuk dalam kategori “anak”.

1Pengertian ini penulis dapatkan dari wawancara dengan masyarakat secara acak yang

penulis temui di sela-sela kegiatan penelitian di lapangan. 2 Dua batasan pertama dapat dilihat pada Supartono, Bacaan Dasar Pendamping Anak

Jalanan, Semarang, Yayasan Setara, 2004, hlm. 10. Sedangkan satu batasan mengenai anak yang terakhir (ketiga) dapat dilacak pada Odi Shalahuddin, Di Bawah Bayang-Bayang Ancaman, Semarang, Yayasan Setara, 2004, hlm. 15.

Page 2: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

20

c. Konvensi Hak Anak yang dilaksanakan oleh lembaga maupun yayasan

sosial di bidang permasalahan anak di Jenewa menetapkan limit

maksimal (maximum limit) 18 tahun bagi seseorang untuk disebut

sebagai anak.

Perbedaan pendapat terkait dengan batasan usia anak di atas

sebenarnya dapat dirumuskan ke dalam satu kesimpulan umum bahwasanya

batas usia anak dalam ruang lingkup pekerja sosial anak tidak lebih dari usia

18 tahun. Terlepas dari adanya beda pendapat tentang batasan usia, para

pekerja sosial anak juga mengelompokkan anak jalanan ke dalam beberapa

klasifikasi yang berbeda.

Konsorsium Anak Jalanan Indonesia sebagaimana dikutip oleh

Supartono3 mengelompokkan anak jalanan ke dalam tiga kelompok yakni :

a. Anak perantauan (mandiri). Anak jalanan pada kategori ini bukan

merupakan penduduk asli daerah dan biasanya suka berpindah dari satu

tempat ke tempat lainnya. Anak perantauan menjadikan jalanan sebagai

tempat hidup dan bekerja.

b. Anak bekerja di jalanan. Kategori ini meliputi anak yang masih

memiliki hubungan dengan orang tuanya dan hanya menjadikan jalanan

sebagai lahan bekerja. Terkadang anak jalanan yang bertipe ini masih

duduk di bangku sekolah.

c. Anak jalanan asli. Kualifikasi anak jalanan asli antara lain adalah

berasal dari keluarga gelandangan (yang hidup di jalanan dan terkadang

tidak menetap) serta anak yang sengaja lepas dari ikatan orang tua dan

bekerja apa saja di jalanan untuk mempertahankan dan memenuhi

kebutuhan hidup.

3 Lih. Supartono, op. cit., hlm. 10-11.

Page 3: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

21

Klasifikasi yang hampir sama dengan di atas juga diberikan oleh

Odi Solahuddin, salah seorang aktifis sosial anak dan penulis buku tentang

kehidupan anak jalanan, yang membedakan anak jalanan ke dalam tiga

kelompok yakni :4

a. Anak jalanan yang memiliki kegiatan ekonomi di jalanan dan masih

memiliki hubungan dengan keluarga yang juga disebut dengan istilah

Children on The Street.

b. Children of the Street yaitu anak jalanan yang memutuskan hubungan

dengan orang tua dan menghabiskan seluruh waktunya di jalanan.

c. Anak jalanan yang berasal dari keluarga jalanan asli (gelandangan) atau

disebut juga Children in The Street.

Sedangkan Departemen Sosial RI hanya menetapkan dua kelompok

anak jalanan yakni :

a. Anak jalanan yang hidup di jalanan yang menghabiskan seluruh

waktunya di jalanan dan menjadikan jalanan sebagai tempat tinggalnya.

Kelompok ini identik dengan hidup mandiri yang memutuskan dan atau

lama tidak bertemu dengan orang tua serta tidak mengenyam

pendidikan formal (sekolah).

b. Anak jalanan yang bekerja di jalanan. Anak jalanan tipe ini hanya

menghabiskan sebagian waktunya di jalanan untuk bekerja dan setelah

selesai mereka akan pulang kembali ke rumah masing-masing dan tidak

memiliki hubungan yang teratur dengan orang tuanya.5

4 Odi Shalahuddin, op. cit., hlm. 14-15. 5 Supartono, op. cit., hlm. 11-12.

Page 4: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

22

Dari tiga pendapat di atas, anak jalanan dapat dikelompokkan lagi ke

dalam klasifikasi yang didasarkan pada ragam tinjauan sebagai berikut:6

a. Asal keluarga

Berdasarkan asal keluarga, anak jalanan dapat dibedakan menjadi

dua kelompok yaitu :

1) Anak jalanan dari keluarga asli jalanan. Tipe ini memang sejak kecil

sudah biasa dan secara tidak langsung juga diperkenalkan dengan

kehidupan jalanan sehingga dalam berkehidupan dan

berpenghidupan mereka juga tidak jauh dari jalanan sebagai pusat

kehidupan.

2) Anak jalanan bukan dari keluarga asli jalanan. Kelompok ini bukan

berasal dari keluarga asli jalanan dan biasanya terjun (bekerja) di

jalanan karena faktor ekonomi dan faktor lingkungan (ajakan teman

maupun pengaruh lingkungan).

b. Asal wilayah tempat tinggal

Ditinjau dari asal tempat tinggal, maka anak jalanan dapat

dikelompokkan menjadi dua kelompok.

1) Anak jalanan yang asli berasal dari wilayah jalanan tempat bekerja

maupun hidup.

2) Anak jalanan yang berasal dari luar wilayah jalanan tempat hidup

dan bekerja (perantauan).

6 Klasifikasi ini merupakan hasil usaha penulis setelah membaca berbagai klasifikasi anak

jalanan dari beberapa yang telah melakukan studi mengenai keberadaan anak jalanan. Klasifikasi ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan pada wawancara dengan pendamping anak jalanan serta pengamatan penulis sendiri di lapangan.

Page 5: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

23

c. Hubungan dengan orang tua

Ada tiga kelompok anak jalanan ditinjau dari pola hubungan dengan

orang tua, yaitu :

1) Anak jalanan yang masih melakukan hubungan rutin dengan orang

tua. Kelompok anak jalanan ini biasanya masih memiliki keluarga

dan hanya menjadikan jalanan sebagai tempat bekerja untuk

membantu mengurangi beban keluarga.

2) Anak jalanan yang jarang melakukan hubungan dengan orang tua.

Kelompok ini meskipun bekerja dan atau hidup di jalanan masih

melakukan hubungan dengan orang tua (keluarga) meski dengan

frekuensi yang tidak teratur.

3) Anak jalanan yang telah putus hubungan dengan orang tua. Anak

jalanan ini telah benar-benar putus hubungan dengan orang tua dan

tidak sama sekali melakukan kunjungan atau pulang ke rumah orang

tua (keluarga).

d. Fungsi Jalanan

1) Anak jalanan yang bekerja di jalanan. Anak jalanan tipe ini hanya

menjadikan jalanan sebagai tempat bekerja dan memiliki rumah,

baik rumah asli maupun rumah kontrakan, sebagai tempat tinggal.

2) Anak jalanan yang hidup dan bekerja di jalanan. Kelompok ini telah

menjadikan jalanan sebagai tempat hidup dan bekerja. Tipikal anak

jalanan pada kelompok ini identik dengan hidup tidak menetap di

jalanan.

Page 6: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

24

e. Pola hidup

Pola hidup ini dipengaruhi oleh pandangan ataupun anggapan anak

jalanan terhadap fungsi jalanan. Pengelompokkan anak jalanan menurut

pola hidup dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni :

1) Anak jalanan yang menetap. Kehidupan menetap biasanya di jalani

oleh anak jalanan yang bertujuan untuk bekerja di jalanan, baik yang

berasal dari wilayah asli tempat bekerja maupun dari luar wilayah

(perantauan).7 Anak jalanan jenis ini biasanya menetap di suatu

wilayah dan menjalin hubungan persekawanan dengan sesama anak

jalanan secara semi permanen.8

2) Anak jalanan yang berpindah-pindah (nomaden). Pola hidup

berpindah-pindah seringkali dilakukan oleh anak jalanan yang

mandiri (memutuskan hubungan dengan orang tua) dan anak jalanan

yang masih menjaga hubungan dengan orang tua dalam frekuensi

yang tidak tetap. Biasanya anak jalanan tipe ini hanya menjadikan

suatu wilayah kerja sebagai tempat hidup dan bekerja secara

temporer.9

2. Sebab-sebab timbulnya anak jalanan

Keberadaan anak jalanan tidaklah muncul begitu saja tanpa sebab.

Menurut Yuti Sri Ismudiyati dan Thomas Dicky Hastjarjo, 10 pada

7 Para anak jalanan perantauan menetap dengan cara menyewa tempat (kos) sebagai tempat

tinggal sementara. Para anak jalanan yang telah menetap biasanya juga telah memiliki tempat yang tetap dalam mencari nafkah di jalanan. Wawancara dengan Yuli BDN, salah satu pendamping anak jalanan Yayasan Setara Semarang, tanggal 12 Juni 2006.

8 Maksud dari semi permanen di sini adalah para anak jalanan hanya menjalin persekawanan berdasarkan pada azas saling membutuhkan dan perasaan senasib. Dalam persekawanan jenis ini, rasa saling percaya antar sesama anak jalanan sangat kurang , terlebih dalam aspek yang menyangkut masalah ekonomi seperti permasalahan pinjam meminjam uang.

9 Kelompok anak jalanan ini juga dikenal dengan sebutan “anak jalanan lintas wilayah/kota”. Wawancara dengan Hana Maria Ulfa, staff Yayasan Setara Semarang, tanggal 24 Juni 2006.

10 Lih. Yuti Sri Ismudiyati dan Thomas Dicky Hastjarjo, “Perilaku Coping dan Depresi Anak Jalanan di Kota Bandung Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Lamanya Mendapatkan Pelayanan di Rumah Singgah”, Journal Sosiohumanika, 2003, hlm. 272.

Page 7: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

25

umumnya kemunculan anak jalanan disebabkan oleh dua faktor, mikro dan

makro. Faktor yang bersifat mikro timbulnya anak jalanan yaitu bersumber

dari lingkungan sosial anak, terutama pengaruh problem keluarga (konflik

dengan anggota keluarga), lingkungan dan pengaruh teman sebaya.

Sedangkan faktor yang bersifat makro terkait erat dengan kondisi

sosio-ekonomi secara struktural yang berhubungan erat dengan pemenuhan

dan pola bertahan hidup.

Secara lebih detail Odi Solahudin menjelaskan adanya tiga faktor

yang menyebabkan timbulnya anak jalanan. Ketiga faktor tersebut adalah:11

a. Faktor keluarga

1) Keluarga miskin

Hampir seluruh anak jalanan di Semarang berasal dari keluarga

miskin. Sebagian besar dari mereka saat ini berasal dari

perkampungan-perkampungan urban yang tidak jarang menduduki

lahan-lahan milik negara dengan membangun rumah-rumah petak

yang sempit yang sewaktu-waktu dapat digusur. Status keluarga

miskin tersebut mengakibatkan anak dari keluarga miskin harus ikut

berjuang membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan

hidup. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah

dengan mencari penghidupan di jalanan.

2) Perceraian dan kehilangan orangtua

Perceraian atau berpisahnya orang tua yang kemudian menikah lagi

atau memiliki teman hidup baru tanpa ikatan pernikahan seringkali

membuat anak menjadi frustasi. Rasa frustasi ini akan semakin

bertambah ketika anak dititipkan ke salah satu anggota keluarga

orangtua mereka atau ketika anak yang biasanya lebih memilih

11 Disarikan dari Odi Shalahuddin, op. cit., hlm. 72-83.

Page 8: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

26

tinggal bersama ibunya merasa tidak mendapatkan perhatian, justru

mendapatkan perlakuan buruk dari ayah tiri atau pacar baru ibunya.

Situasi semacam ini akan membuat anak merasa tidak betah hidup di

lingkungan keluarga dan berusaha mencari ketenangan dan

kebahagiaan di tempat lain di mana salah satunya adalah hidup di

jalanan.

3) Kekerasan keluarga

Kekerasan keluarga merupakan merupakan faktor resiko yang

paling banyak dihadapi oleh anak-anak sehingga mereka

memutuskan keluar dari rumah dan hidup di jalanan. Kekerasan

dalam keluarga tidak hanya bersifat fisik saja, melainkan juga

bersifat mental dan seksual.

4) Keterbatasan ruang dalam rumah

Adanya rumah-rumah petak yang didirikan secara tidak permanen

dan seringkali menggunakan bahan-bahan bekas seadanya dengan

ruang yang sangat sempit, kadang hanya berukuran 3 X 4 meter saja.

Bentuk dan ukuran bangunan yang tidak layak disebut rumah itu

kenyataannya dihuni oleh banyak orang. Situasi semacam ini yang

membuat anak-anak, biasanya yang sudah berumur diatas lima

tahun memilih atau dibiarkan oleh orangtuanya untuk tidur diluar

rumah, seperti di tempat ibadah (mushola atau masjid) yang ada di

kampung tersebut, pos ronda, atau ruang-ruang publik yang

berdekatan dengan kampung mereka.

5) Eksploitasi ekonomi

Anak-anak yang turun ke jalanan karena didorong oleh orangtua

atau keluarganya sendiri biasanya bersifat eksploitatif. Anak

Page 9: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

27

ditempatkan sebagai sosok yang terlibat di dalam pemenuhan

kebutuhan keluarga.

6) Keluarga homeless

Seorang anak menjadi anak jalanan bisa pula disebabkan karena

terlahirkan dari sebuah keluarga yang hidup di jalanan tanpa

memiliki tempat tinggal tetap. Kecenderungan yang tampak

biasanya mereka bukan merupakan keluarga yang utuh, melainkan

seorang ibu bersama anak-anaknya.

b. Faktor lingkungan

1) Ikut-ikutan teman

Teman di sini bisa berarti teman-teman di lingkungan sekitar tempat

tinggal anak atau teman-teman di sekolahnya yang telah lebih

dahulu melakukan kegiatan di jalanan. Keterpengaruhan akan

sangat cepat apabila sebagian besar teman-temannya sudah berada

di jalanan.

2) Bermasalah dengan tetangga atau komunitas

Anak yang turun ke jalanan karena memiliki masalah dengan

tetangga atau komunitasnya, biasanya berawal dari tindakan anak

yang melakukan tindakan kriminal seperti pencurian.

3) Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan

anak di jalanan

Ketidakpedulian komunitas di sekitar tempat tinggal anak atau

adanya toleransi dari mereka terhadap keberadaan anak-anak di

jalanan menjadi situasi yang turut mendukung bertambahnya

anak-anak untuk turut ke jalanan. Biasanya ini terjadi pada

Page 10: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

28

komunitas-komunitas masyarakat miskin yang sebagian besar

warganya bekerja di jalanan terutama sebagai pengemis.

c. Faktor lain

1) Korban penculikan

Korban penculikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

anak-anak berada di jalanan. Kasus penculikan yang menimpa

anak-anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan hampir terjadi

setiap tahun. Tampaknya kasus ini luput dari perhatian mengingat

jumlah kasusnya memang tidak besar.

2) Dampak program

Niat baik tidaklah selalu menghasilkan hal baik. Program-program

anak jalanan yang dilakukan oleh berbagai pihak tentunya tidak

dimaksudkan untuk mempertahankan anak-anak di jalanan

melainkan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan

perlindungan, kesempatan mendapatkan hak-haknya dan yang

terpenting adalah untuk mengeluarkan anak dari dunia jalanan yang

dinilai sangat tidak layak untuk diarungi oleh mereka. Berbagai

program bantuan kepada kelompok masyarakat miskin, termasuk

kepada anak jalanan dan keluarganya, di beberapa perkampungan

miskin yang menjadi basis tempat tinggal anak jalanan Semarang

justru mempengaruhi keluarga-keluarga lainnya untuk mendorong

anak turun ke jalanan dengan harapan bisa mendapatkan bantuan

serupa. Hal ini bisa dikatakan sebagai respon yang besar

kemungkinan dapat terjadi di manapun sehingga pihak-pihak yang

terlibat untuk memberikan bantuan seharusnya berhati-hati dan

mengembangkan mekanisme pelaksanaan program yang bisa

mengantisipasi dampak buruk yang bisa bertolak belakang dari

tujuan program.

Page 11: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

29

3) Korban bencana

Bencana alam seperti banjir, gunung meletus dan sebagainya

ataupun bencana yang terjadi karena disebabkan oleh suatu akibat

dari kebijakan pembangunan seperti penggusuran perkampungan

miskin ataupun bencana yang ditimbulkan karena adanya konflik,

yang kesemuanya itu dapat menyebabkan komunitas tersebut harus

pindah dari tempat tinggal asalnya dan menjadi pengungsi. Situasi

di dalam pengungsian dengan fasilitas dan persediaan bahan pangan

yang terbatas menyebabkan anak-anak melakukan kegiatan di

jalanan seperti menjadi pengemis.

B. Konsep Diri

1. Pengertian konsep diri

Sebagai makhluk yang mempunyai dua sisi “status diri”, status

sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, secara otomatis manusia pun

memiliki dua “jalan” dalam hidupnya. Sebagai makhluk individu, manusia

mempunyai hak dan kewajiban terhadap eksistensi diri pribadinya. Pada

satu sisi, manusia mempunyai hak untuk mempergunakan organ-organ

tubuh dan di sisi lain mereka dituntut kewajiban untuk memenuhi

kebutuhan pokoknya sebagai sarana menjaga keutuhan dan eksistensi

organ-organ penyusun dirinya. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia

akan tunduk pada keharusan menjalin hubungan dengan orang lain dalam

rangka mempertahankan eksistensi diri pribadinya. Hubungan dengan

lingkungan sekitarnya, akan dapat mempermudah manusia dalam

pemenuhan kebutuhan hidupnya. Terkadang sesuatu hal yang tidak

mungkin dikerjakan secara sendiri dapat teratasi manakala dilakukan secara

bersama dengan orang atau individu lain.

Hubungan antara status makhluk individu dan makhluk sosial dalam

diri manusia tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut sangat bergantung

Page 12: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

30

pada status makhluk individu dari manusia. Melalui pengenalan diri sendiri

dengan berbagai hal yang terdapat dalam dirinya, baik kelebihan maupun

kelemahan, manusia akan mampu melihat, merasakan, dan menilai segala

apa yang dilihat, diraba, dirasakan, maupun didengar oleh mereka.

Konsepsi orang terhadap dirinya juga merupakan faktor pokok

dalam penyesuaian pribadi dan sosial. Pribadi seseorang terbentuk dari

pengalaman kognitif dan afektif yang bersumber kepada diri, yang

merupakan sumber pengalaman, kelakuan dan fungsi-fungsi. Artinya,

pribadi akan terbentuk dari sekumpulan pengenalan orang- orang terhadap

dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya itu.12

Dengan kata lain jika seseorang memandang dirinya serta didukung

oleh anggapan orang lain terhadap dirinya bahwa dirinya tidak mampu,

tidak berdaya dan hal-hal negatif lainnya, maka akan berpengaruh juga

dalam usaha mereka. Misalnya, seseorang akan jadi malas mengerjakan PR

karena merasa pasti gagal, malas belajar menjelang ujian karena merasa

yakin akan dapat nilai jelek. Hal itu juga berlaku sebaliknya jika kita merasa

diri kita baik, bersahabat, maka perilaku yang kita tunjukkan juga akan

menunjukkan sifat itu, misalnya dengan rajin menyapa teman atau

menolong orang lain.13

12 Musthafa Fahmi, Penyesuaian Diri, terj. Zakiyah Drajat, Jakarta, Bulan Bintang,

1982, hlm. 111. 13 http://kompas.com/kompas-cetak/0311/07/muda/673004 tanggal 11 Mei 2006;

Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain. Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. (Konsep Diri Oleh Jacinta F. Rini Team e-psikologi Jakarta, 16 Mei 2002). Pembahasan mengenai konsep diri positif dan negatif secara lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian lain bab ini.

Page 13: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

31

Dasar bagi penyesuaian diri individu adalah kesadaran akan diri dan

penilaian, kesadaran akan diri mengacu pada gambaran tentang diri dan

penilaian pada diri sendiri yang meliputi kemampuan, karakter diri, sikap,

tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. Sedangkan kesadaran

terhadap lingkungan mengacu pada persepsi individu terhadap lingkungan

sosial, non fisik, fisik maupun psikologis.

Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan,

pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Secara lebih luas

konsep diri merupakan pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri

secara keseluruhan sebagai hasil observasi terhadap dirinya di masa lalu dan

di masa sekarang yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang.

Disamping itu juga merupakan kekuatan pendorong dalam perilaku

seseorang. Individu akan berusaha untuk memelihara atau mempertahankan

konsep diri yang digunakan dalam bertingkah laku, sesuai tujuan,

kemampuan, nilai-nilai dan kepercayaan, bahkan untuk mencapai prestasi

yang diinginkan dalam karier yang menjadi tujuannya. Individu juga

berusaha untuk meningkatkan atau mempertinggi konsep dirinya dengan

belajar dan mengembangkan diri menuju diri yang ideal.14

Secara khusus, dalam pengertian konsep diri, ada beberapa ahli yang

memberikan penjelasan mengenai hal tersebut yang menyampaikan definisi

yang antara lain sebagai berikut:

a. William D. Brooks yang dikutip Jalaluddin Rahmad. Menyebut konsep

diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of

ourselves that we have drived from experiences and our interaction

with others”. Pengertian tersebut memiliki makna bahwa konsep diri

merupakan persepsi manusia yang meliputi fisik, sosial, dan psikis

yang berasal dari pengalaman dan interaksi manusia dengan dirinya

14 http://Top/Organization/Statistika/S1/jiptits -gdl-s1-2005-kundiarto-1925, tanggal 12

Mei 2006

Page 14: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

32

sendiri dan masyarakat (orang lain).15

b. Musthofa Fahmi menyatakan; konsep diri adalah sekumpulan

pengenalan orang terhadap dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya

itu.16

c. Carles Haston Cooley memberikan definisi konsep diri sebagai

pengenalan terhadap diri yang merupakan suatu proses yang berasal

dari interaksi sosial individu dengan orang lain. 17

d. Pudjijogyanti menyatakan konsep diri merupakan sikap, pandangan,

atau keyakinan seseorang terhadap keseluruhan dirinya.18

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep

diri merupakan sikap, pandangan, gambaran dan penilaian yang dimiliki

oleh seseorang tentang dirinya sendiri yang meliputi karakter fisik, psikis

dan sosial yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan interaksi dari

seseorang dengan orang lain.

2. Perspektif konsep diri

Gambaran mental yang dibentuk orang tentang dirinya mempunyai

tiga sisi : sisi pertama, khusus tentang ide yang diambilnya dari kemampuan

dan kemungkinannya, boleh jadi gambaran tentang dirinya sebagai orang

yang mempunyai tempat, yang memiliki kemampuan untuk belajar, dan

mempunyai kekuatan jasmani. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa ia

mampu untuk mencapai keberhasilan. Dan sebaliknya boleh jadi ada orang

yang mempunyai gambaran tentang dirinya, bahwa ia lemah, gagal, atau

kurang penting, kurang kemampuan dan bahwa kesempatan untuk berhasil

15 Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991, hlm.

99. 16 Musthafa Fahmi, loc. cit. 17 R.B. Burns, Konsep Diri, Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku, terj. Eddy,

Jakarta, Arcan, 1993, hlm. 16. 18 Pudjijogyanti, Konsep Diri dalam Belajar Mengajar, Jakarta, Arcan, 1985, hlm.3

Page 15: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

33

padanya adalah kecil.

Adapun sisi kedua dari pengertian pribadi, berhubungan dengan

pikiran orang tentang dirinya dalam hubungannya dengan orang lain. Boleh

jadi ia memandang dirinya sebagai orang yang disayangi atau dibenci oleh

orang lain. Boleh jadi ia berpendapat bahwa nilai-nilai, sikap, kedudukan,

pandangannya, keturunan atau agama yang dianutnya, merupakan sebab

dari rendahnya pandangan orang kepadanya, atau tidak percaya kepada hak

tersebut dan ia berhati-hati sekali, atau memandangnya dengan penuh

penghargaan. Karena yang sangat mempengaruhi pandangan individu

terhadap dirinya, adalah cara orang lain memandangnya, karena gambaran

tiap orang tentang dirinya terbentuk dalam pandangan orang lain

terhadapnya.

Sisi ketiga adalah pandangan orang yang seharusnya terhadap

dirinya. Pandangan ini berbeda dari gambarannya yang sebenarnya

terhadap dirinya. Semakin bertambah kematangannya dan semakin dekat

tercapainya gambaran tersebut, ketika itu dapat dikatakan bahwa ia

menerima dirinya sebagai manusia, dan ia mempunyai kepercayaan

terhadap dirinya dan kekuatannya, serta percaya kepada orang yang

memberikan bantuan kepadanya sepanjang perjalanannya. disamping ia

mempunyai keberanian untuk menghadapi batasan- batasannya, serta ia

hidup dalam ruang lingkupnya dan memandang ke hari depan dan

tujuan-tujuannya dengan pandangan obyektif.19

Dalam konsep diri terdapat beberapa unsur antara lain:

a. Penilaian diri merupakan pandangan diri terhadap:

1) Pengendalian keinginan dan dorongan-dorongan dalam diri.

Bagaimana seseorang mengetahui dan mengendalikan dorongan,

kebutuhan dan perasaan-perasaan dalam dirinya.

19 Musthafa Fahmi, op. cit., hlm. 112.

Page 16: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

34

2) Suasana hati yang sedang dihayati seperti bahagia, sedih atau cemas.

Keadaan ini akan mempengaruhi konsep diri kita positif atau

negatif.

3) Bayangan subyektif terhadap kondisi tubuh. Konsep diri yang

positif akan dimiliki kalau seseorang merasa puas (menerima)

keadaan fisiknya. Sebaliknya, kalau seseorang merasa tidak puas

dan menilai buruk keadaan fisiknya, maka konsep diri seseorang

tersebut akan negatif atau jadi memiliki perasaan rendah diri.

b. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana seseorang

menerima penilaian lingkungan sosial pada dirinya. Penilaian sosial

terhadap diri seseorang yang cerdas, supel akan mampu meningkatkan

konsep diri dan kepercayaan dirinya. Adapun pandangan lingkungan

pada seseorang seperti si gendut, si bodoh atau si nakal akan

menyebabkan memiliki konsep diri yang buruk terhadap dirinya.

c. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self

image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran:

1) Siapa saya, yaitu bagaimana seseorang menilai keadaan pribadi

seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi keluarga atau

peran lingkungan sosialnya.

2) Saya ingin jadi apa, seseorang memiliki harapan-harapan dan

cita-cita ideal yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis.

Bayang-bayang mengenai ingin jadi apa nantinya, tanpa disadari

sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ideal yang menjadi idola, baik

itu ada di lingkungannya atau tokoh fantasinya.

Ketiga hal ini akan membentuk bagaimana seseorang memandang

dan menerima dirinya serta memposisikan dirinya dalam lingkungan

Page 17: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

35

masyarakat sekitarnya.20

Menurut Rogers, diri atau konsep diri adalah bentuk konseptual

yang tetap, teratur,dan koheren yang dibentuk oleh persepsi-persepsi

tentang kekhasan dari “aku” dan persepsi-persepsi tentang hubungan “aku”

dengan yang lain, dengan beberapa aspek hidup bersama dengan nilai-nilai

yang dimiliki persepsi-persepsi ini. Rogers juga memandang konsep diri

sebagai gambaran mental diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang

diri, pengharapan bagi diri dan penilaian terhadap diri sendiri. Pengertian

ini menunjukkan bahwa konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu

pengetahuan, harapan dan penilaian.

Dimensi pengetahuan ,yaitu segala pengetahuan atau informasi

yang individu ketahui tentang dirinya, seperti umur, jenis kelamin,

penampilan, dan sebagainya. Dimensi harapan, yaitu suatu pandangan

tentang kemungkinan menjadi apa individu dimasa mendatang, atau dengan

kata lain dimensi harapan ini merupakan gambaran tentang diri ideal.

Dimensi penilaian, yaitu penilaian individu tentang gambaran siapa dia, dan

gambaran tentang seharusnya menjadi atau menjadi apa dia. Bila kenyataan

diri individu (apa yang memang benar tentang dirinya), dan diri ideal

individu (apa yang ia rasakan sebagai seharusnya) berbeda sekali, sangat

mungkin individu tersebut akan merasa tidak bahagia dengan dirinya

sendiri. Semakin besar perbedaan tersebut, semakin besar pula

ketidakpuasan itu.

Berdasarkan dimensi tersebut, Rogers membedakan dua macam

konsep diri, yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Konsep diri real,

yaitu pandangan tentang diri yang sebenarnya yang kemudian disebut

sebagai “ diri yang organismik” yang merupakan dasar realitas psikis dan

memiliki “prioritas mutlak”. Konsep diri yang ideal, yaitu suatu pandangan

20 (http://kompas.com/kompascetak/0311/07/muda/673004. htm seperti yang diterima

pada 11 Mei 2006)

Page 18: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

36

tentang diri sendiri sebagaimana diidam-idamkan atau seperti yang

seharusnya.

Setiap individu seharusnya tidak sekedar mempunyai gambaran

tentang diri nyata dan diri idealnya, namun juga mempunyai kesesuaian

diantara keduanya. Penyesuaian antara diri nyata dan diri ideal itulah yang

akan menciptakan kondisi kongruen pada individu. Dalam keadaan

kongruen, individu benar-benar membuka diri atas semua pengalaman yang

dialaminya, baik yang terjadi di dalam maupun diluar dirinya. Keterbukaan

terhadap pengalaman membuat individu mampu memandang diri dan dunia

luar sebagai realitas yang obyektif, sehingga mampu memanfaatkan seluruh

potensinya sekaligus potensi di luar dirinya secara maksimal. Dalam

kondisi seperti ini, individu lebih mampu mengarahkan dan

mengorganisasikan kehidupannya dengan sebaik-baiknya.21

Menurut banyak penelitian, tiap individu memiliki lebih dari pada

satu konsep diri. Atwater membedakannya menjadi empat,yaitu sebagai

berikut:

a. Subjective self (diri subyektif), yaitu cara sesorang memandang dirinya

sendiri. Konsep diri ini terdiri atas persepsi diri yang diperoleh selama

hidup, terutama saat tumbuh menjadi dewasa yang banyak dipengaruhi

oleh bagaimana seseorang dilihat dan diperlakukan oleh significant

others, dalam hal ini orang tua

b. Body image (citra tubuh),yaitu cara seseorang memandang tubuhnya.

Selain meliputi pantulan dari cermin, konsep ini juga merupakan cara

seseorang menyelami tubuhnya. Penerimaan seseorang terhadap

keadaan tubuhnya yang dipengaruhi faktor sosial dan budaya. Semakin

dekat bentuk tubuh seseorang dengan bentuk tubuh yang diidealkan,

21 Juriana, Keseuaian antara Konsep Diri Nyata dan Ideal dengan Kemampuan

Manajemen Diri Pada Mahasiswa Pelaku Organisasi, Jurnal Psikologi, No. 9 tahun V, 2000, hlm. 69.

Page 19: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

37

semakin siap ia menerima bentuk tubuhnya. Pemahaman citra tubuh

berbeda pada pria dan wanita.Wanita umumnya lebih mempedulikan

daya tarik fisik atau sosial dari penampilan mereka; sementara pria

lebih memusatkan perhatian pada kompetensi fisik atau apa yang dapat

dilakukan oleh tubuh mereka dalam mempengaruhi lingkungan.

c. Ideal self (diri ideal), yaitu diri yang diinginkan seseorang, termasuk

aspirasi, moral ideal, dan nilai. Biasanya seorang akan berfikir untuk

mengubah citra diri dan prilaku agar bisa sesuai dengan diri idealnya.

Bukti penelitian menyatakan bahwa diri ideal seseorang relatif lebih

konsisten seiring berjalannya waktu dibandingkan diri subyektif.

d. Social self (diri sosial), yaitu persepsi diri berkaitan dengan pengaruh

sosial yang ada. Tidak konsistennya konsep diri seseorang banyak

disebabkan oleh adanya pengalaman manusia sebagai makhluk sosial.

Sikap dan perilaku orang lain berpengaruh terhadap diri seseorang

yang mengakibatkan orang tersebut mengubah perilaku agar dapat

diterima, dan dalam proses tersebut,orang tersebut mengubah pula

persepsi dirinya .dengan demikian yang diubah bukan diri keseluruhan,

melainkan hanya social self-nya.22

Menurut Carl Rogers, konsep diri seseorang dalam kehidupan

secara bertahap berkembang. Seseorang berusaha menjadi dirinya sendiri

(diri aktual / real self) dengan patokan yang disebut ideal self, yaitu diri

ideal yang ingin dicapai seseorang. Keseimbangan atau ketidakseimbangan

antara diri aktual dan diri ideal inilah yang menentukan kedewasaan

(maturity), penyesuaian (adjustment), dan kesehatan mental seseorang.23

Rustell membedakan konsep diri menjadi:

22 B.S. Devina Alfarani, “Sikap Wanita terhadap Kosmetik dan Kaitannya dengan

Diskrepansi Konsep Diri dan Citra Produk”, dalam Pengembangan Kualitas SDM dari Perspektif PIO, ed. Bertina S. dkk, Jakarta, Bag. PIO Fak. Psikologi UI, 2001, hlm. 537.

23 Ibid., hlm. 538.

Page 20: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

38

a. The real self (diri aktual) yaitu persepsi seseorang tentang keadaan

dirinya yang sebenarnya

b. The ideal self (diri ideal), yaitu persepsi seseorang tentang bagaimana

keadaan ideal dirinya yang diinginkan.

c. The real other self / social self (diri sosial), yaitu persepsi seseorang

tentang bagaimana orang lain memandang / mempersepsi dirinya, yang

tidak ada hubungannya dengan bagaimana sebenarnya orang lain

memandang diri orang tersebut. Ia hanya menerjemahkan persepsi

orang lain terhadap dirinya dengan melihat perilaku orang itu pada

dirinya.

d. The ideal other/social ideal self (diri sosial ideal), yaitu persepsi

seseorang tentang bagaimana ia menginginkan orang lain memandang

dirinya.24

3. Aspek-aspek

Hardy dan Heyes mengatakan bahwa konsep diri terdiri dari dua

aspek, yaitu:25

a. Aspek citra diri (self image). misalnya “saya seorang pelajar”, “saya

seorang pemain bulu tangkis”.

b. Aspek harga diri (self esteem). meliputi suatu penilaian, perkiraan

mengenai pengetahuan atas diri “self worth”, misalnya : “saya

pemarah”, “saya pemalu”.

Sedangkan menurut Berzonsky, konsep diri itu terbagi dari beberapa

aspek yaitu:

24 Ibid., hlm. 543-544. 25 M. Hardy dan Heyes, Beginning Psychology, terj. Soenardji, Jakarta, Erlangga, 1988,

hlm. 137.

Page 21: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

39

a. Aspek fisik, yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang

dimilikinya tentang penampilannya, arti penting tubuh dalam

hubungannya dengan perilaku dan gengsi yang diberikan yg

berhubungan dengan penilaian di mata orang lain.

b. Aspek psikis, yaitu meliputi pikiran, perasaan dan sikap individu

terhadap dirinya tentang kemampuan dan ketidak mempunyai harga

dirinya dan hubungan dengan orang lain.

c. Aspek sosial, yaitu bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh

individu dan penilaian individu terhadap peran tersebut.

d. Aspek moral, yaitu meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti dan

arah yang positif bagi kehidupan, misalnya menegakkan kebenaran

adalah kewajiban manusia

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri tidak terlepas

dari masalah gambaran diri mengenai citra diri, harga diri, fisik, psikis,

sosial dan moral, selanjutnya jika ia mempunyai penilaian bahwa ia puas

dengan keadaannya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut menilai

dirinya baik dalam menerima dirinya dan mempunyai konsep diri yang

positif.

4. Faktor pembentuk

Konsep diri tidak langsung ada pada diri manusia tanpa melalui

proses. Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk membentuk konsep

dirinya sangat lama dan sudah dimulai sejak ia dilahirkan di dunia.

Berdasarkan pengertian tentang konsep diri, secara garis besar faktor yang

mempengaruhi pembentukan konsep diri dapat dikelompokkan menjadi

dua. Faktor pertama berasal dari dalam diri seseorang tersebut atau disebut

juga faktor internal. Pandangan seseorang terhadap kondisi diri sendiri

(pribadi) baik yang menyangkut struktur tubuh maupun kemampuan yang

dimilikinya akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap diri dan

Page 22: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

40

lingkungan sekitar.

Sedangkan faktor kedua adalah faktor yang berasal dari luar diri

pribadi seseorang (eksternal). Konsep diri juga terbentuk karena adanya

interaksi individu dengan orang-orang disekitarnya, segala sesuatu yang

menjadi persepsi orang lain mengenai diri individu tersebut tidak terlepas

dari struktur, peran dan status sosial. Konsep diri juga terbentuk

berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap-sikap orang lain terhadap

dirinya. Lebih lanjut diuraikan bahwa terbentuknya konsep diri merupakan

gejala yang dihasilkan dari adanya interaksi antara individu dengan

kelompok atau kelompok dengan kelompok.

Secara detail R.B. Burns menyatakan ada lima hal yang menjadi

sumber pokok pembentuk konsep diri yakni :26

a. Citra tubuh; evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang

jelas-jelas berbeda.

b. Bahasa; kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan

memverbalisasikan diri dan orang-orang lainnya.

c. Umpan balik yang ditafsirkan dari lingkungannya tentang bagaimana

orang-orang lain yang dihormatinya memandang pribadi tersebut dan

tentang bagaimana pribadi tadi secara relatif ada keselarasan dengan

norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam.

d. Identifikasi dengan model peranan seks yang stereotip yang sesuai.

e. Praktek-praktek membesarkan anak.

Ada beberapa ciri yang dapat terlihat manakala seseorang telah

menemukan bentuk konsep diri. Menurut G.W Allport dalam Sarlito

26 R.B. Burns, op.cit, hlm. 189.

Page 23: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

41

Wirawan Sarwono27 ciri-ciri telah terbentuknya konsep diri adalah:

a. Penerimaan diri sendiri (extension of the self), pemekaran diri sendiri

ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau

hal lain sebagai bagian dari dirinya.

b. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif (self

objectification) ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai

wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk

menangkap humor (sense of humor) termasuk yang menjadikan dirinya

sendiri sebagai sasaran.

c. Memiliki filsafat hidup tertentu (unifying philosophy of life). Orang

tersebut tidak mudah terpengaruh dan pendapat-pendapatnya serta sikap

jelas dan tegar.

5. Faktor yang mempengaruhi

Berbagai permasalahan mengenai diri selama masa remaja ini, tidak

dapat disangkal, dipengaruhi juga oleh lingkungan sosial, sejauh

kemampuan aktifitas nyata seseorang. Menurut M. Argyle, sebagaimana

dikutip oleh M. Hardy dan Heyes, 28 terdapat empat hal yang sangat

berkaitan yang berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri yang

meliputi: reaksi terhadap aksi dari orang lain, 29 pembandingan dengan

orang lain,30 peranan seseorang,31 dan identifikasi terhadap orang lain.32

27 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

2004, hlm. 71-72. 28 Malcolm Hardy and Heyes, op. cit., hlm. 138 dst 29 Dalam hal ini (respon orang lain) seseorang dapat mempelajari diri sendiri, segala

sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri remaja. Selain itu ejekan dan cemoohan dan hardikan akan menyebabkan penilaian negatif terhadap diri seseorang.

30 Konsep diri sangat tergantung kepada cara bagaimana seseorang membandingkan dirinya dengan orang-orang yang hampir memliki kesamaan dengan dirinya.

31 Peranan seseorang dalam konsep diri sangat penting karena melalui kedekatan-kedekatan seseorang akan dapat merasakan bagaimana besarnya peranan orang lain terhadap keberadaan dirinya.

32 Efek dari penilaian orang lain terhadap diri seseorang adalah adanya penilaian balik kepada orang lain.

Page 24: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

42

Menurut George Herbert Mead, seperti yang dikutip dalam

Jalaluddin Rahmat, tidak semua orang di sekitar dapat memberikan

pengaruh dalam konsep diri kita. Hanya orang-orang tertentu saja yang

dapat memberikan pengaruh. George Herbert Mead menyebut orang-orang

itu sebagai significant other- orang lain yang sangat penting. Ketika kita

masih kecil, mereka adalah orangtua kita, saudara- saudara kita dan orang

yang tinggal satu rumah dengan kita. Sedangkan Richard Dewey dan W.J.

Humber, sebagaimana dikutip dalam buku yang sama, menamainya

affective others- orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan

emosional. Dari merekalah , secara perlahan-lahan kita membentuk konsep

diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan, pelukan mereka, menyebabkan

kita menilai diri kita secara positif. Ejekan, cemoohan, dan hardikan,

membuat kita memandang diri kita secara negatif.

Dalam perkembangannya, significant others atau affective others

meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan

seseorang. Mereka mengarahkan tindakan, membentuk pikiran dan

menyentuh seseorang secara emosional.

Pengaruh yang diberikan oleh individu lain tidak hanya dilakukan

secara personal, melainkan dapat terjadi dalam dan dengan adanya

kelompok rujukan (reference group). Dalam pergaulan bermasyarakat, kita

pasti menjadi anggota berbagai kelompok : RT, Persatuan Bulutangkis,

ikatan warga Bojongkaso atau Ikatan Sarjana Komunikasi. Setiap kelompok

mempunyai norma-norma tertentu. ada kelompok yang secara emosional

mengikat seseorang, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri

nya. ini disebut kelompok rujukan, kalau seseorang memilih kelompok

rujukannya Ikatan Dokter Indonesia, dia menjadikan norma-norma dalam

ikatan ini sebagai ukuran perilakunya, dia juga merasa diri sebagai bagian

dari kelompok ini, lengkap dengan seluruh sifat-sifat dokter menurut

Page 25: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

43

persepsinya.33

Elizabeth B. Hurlock menyebutkan faktor-faktor lain yang

berkaitan erat dan memberi pengaruh terhadap konsep diri yang antara lain

adalah:

a. Usia kematangan. Remaja yang matang lebih awal biasanya

mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga akan dapat

menyesuaikan diri yang baik.

b. Penampilan diri. Daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang

menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan

sosial.

c. Kepatuhan seks. Meliputi dari penampilan diri, minat dan perilaku.

d. Nama julukan. Peka dan malu bicara nama remaja dicemooh atau

dikatakan buruk. Nama-nama atau panggilan tertentu yang akhirnya

menjadi bahan tertawaan akan membawa seorang remaja kepada

pembentukan yang lebih negatif. Sebaliknya, nama dan julukan yang

bernada lebih positif dapat merubah konsep diri seseorang ke arah yang

lebih positif, dapat mempunyai pengaruh yang positif terhadap

perkembangan konsep diri seorang remaja.

e. Hubungan keluarga. Hubungan yang erat dengan seorang anggota

keluarga akan menyebabkan remaja mengidentifikasikan dirinya dan

mengembangkan pola kepribadian yang sama.

f. Teman sebaya. Konsep diri remaja merupakan cerminan konsepsi

teman-teman tentang dirinya. Remaja biasanya dalam tekanan untuk

membedakan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok.

g. Kreativitas. Dalam hal ini remaja mengembangkan perasaan

33 Jalaluddin Rahmat, op. cit., hlm. 114-117.

Page 26: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

44

individualitas dan identitas

h. Cita-cita yang realistis, akan menyebabkan remaja percaya diri dan puas

terhadap dirinya sendiri. 34

Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa faktor lain yang

berpengaruh terhadap konsep diri seseorang yang meliputi :35

a. Kegagalan. Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali

menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan

kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri.

Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.

b. Depresi. Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai

pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon

segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri.

c. Kritik internal. Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan

untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan.

Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau

rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita

diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.

d. Pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua turut menjadi faktor signifikan

dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang

tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran

yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua

akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi

bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan

dihargai, dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga

orang tua tidak sayang.

34 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Tentang

Kehidupan, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Jakarta, Erlangga, 1999, hlm. 235 35 http://konseling.atmajaya.ac.id/p=47, tanggal 16 Mei 2006

Page 27: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

45

Dari beberapa faktor di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah citra diri, jenis

kelamin, peran perilaku orang tua, lingkungan keluarga serta peran faktor

sosial.

6. Konsep diri positif dan negatif

Cara pandang terhadap diri dari segala sisi (real, sosial, dan ideal)

sebagaimana tersebut di atas akan menimbulkan dua kemungkinan yang

melekat pada diri seseorang. Keberhasilan dalam mengolah dan mengelola

kematangan jiwa dan fisik dalam perkembangan hidupnya akan membuat

manusia lebih mengerti akan dirinya baik secara diri real, sosial maupun

ideal. Begitu pula sebaliknya manakala seseorang tidak dapat mengolah dan

mengelola kematangan jiwa dan fisiknya akan menimbulkan hal-hal yang

memiliki nilai negatif terhadap keberadaan dirinya sendiri baik dalam skala

diri real, sosial, maupun ideal. Kedua hal inilah kemudian yang dikenal

dengan konsep diri positif dan negatif.

Individu dengan konsep diri positif cenderung lebih mudah

menerima dan menghargai individu lain. Sedangkan individu dengan

konsep diri negatif akan berpandangan dan berperilaku sebaliknya.

Pembentukan konsep diri (positif maupun negatif) sangat bergantung pada

pengalaman yang melekat dan diterima oleh seseorang. Semakin banyak

pengalaman positif yang diterima dan dimiliki maka akan semakin besar

peluang terbentuknya konsep diri positif dan sebaliknya.

Adapun ciri-ciri konsep diri yang positif menurut William D. Broke

yang dikutip Jalaluddin Rakhmad adalah sebagai berikut:36

a. Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah

b. Ia merasa setara dengan orang lain

36 Jalaluddin Rahmat, op. cit., hlm. 131

Page 28: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

46

c. Ia menerima pujian tanpa merasa malu

d. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan

perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat

e. Mampu memperbaiki dirinya, karena sanggup mengungkapkan

aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha

merubahnya.

Sedangkan Burns mengemukakan bahwa seseorang yang merasa

dirinya termasuk orang yang memiliki konsep diri positif berarti dia

memiliki konsep diri yang sehat, mempunyai harga diri, orang yang

berkompetensi, dirinya cukup memadai dan dirinya cukup mempunyai rasa

percaya diri.

Secara lebih spesifik, D.E Hamachek menyebutkan sebelas

karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif:

a. Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta

bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat

kelompok yang kuat. Tetapi ia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk

mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti- bukti baru

menunjukkan ia salah

b. Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa

bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang

lain tidak menyetujui tindakannya

c. Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa

yang akan terjadi esok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa

yang sedang terjadi waktu sekarang

d. Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan,

bahkan ketika ia mengalami kegagalan atau kemunduran

Page 29: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

47

e. Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau

rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar

belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya

f. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai

bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai

sahabatnya

g. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima

penghargaan tanpa merasa bersalah

h. Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya

i. Ia sanggup mengakui pada orang lain bahwa ia mampu merasakan

berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta,

sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai

kepuasan yang mendalam pula

j. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang

meliputi pekerjaan, perrmainan, ungkapan diri yang kreatif,

persahabatan, atau sekedar mengisi waktu

k. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah

diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa

bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.37

Dengan kata lain bahwa orang yang memiliki konsep diri positif

akan menunjukkan karakteristik bersikap konsisten, berperilaku di dalam

cara-cara konsisten dan mengesampingkan pengalaman yang merugikan.

Sebaliknya, ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri yang negatif

menurut William D. Brooke yang dikutip Jalaluddin Rakhmat adalah:

Pertama. peka terhadap kritik, orang tersebut sangat tidak tahan terhadap

37 Ibid., hlm. 119-120.

Page 30: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

48

kritik yang diterimanya, mudah marah dan naik pitam. Bagi individu ini

koreksi cenderung dipersepsikan sebagai ancaman untuk menjatuhkan

harga dirinya. Kedua. responsif terhadap pujian, segala macam yang

menunjang harga dirinya akan menjadi perhatian utamanya.

Ketiga. hiperkritik terhadap orang lain. Seseorang selalu mengeluh,

mencela atau meremehkan apapun dan siapapun, mereka tidak pandai dan

tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau kelebihan pada orang

lain. Keempat. cenderung tidak disenangi orang lain. Dalam hal ini

seseorang merasa tidak diperhatikan oleh orang lain. Hal tersebut

disebabkan karena aksi orang lain dianggap sebagai musuh, sehingga tidak

dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Kelima.

bersikap pesimis terhadap kompetisi. Menganggap tidak berdaya melawan

persaingan yang merugikan dirinya 38

7. Konsep diri remaja awal (usia 12-15 tahun)

Masa remaja merupakan suatu masa di mana seseorang berada

dalam masa peralihan. Peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa.

Pada masa remaja, seseorang mulai berkembang dan mengalami perubahan.

Perubahan tersebut tidak hanya pada bentuk fisik semata (bertambah tinggi

dan atau besar) namun juga meliputi perubahan pada kondisi psikis.

Pada prinsipnya masa remaja dimulai dan ditandai dengan pubertas

seseorang. Masa ini biasanya terjadi pada saat seseorang berada pada

jenjang usia 11/12 tahun dan berakhir pada saat seseorang berusia 21/22

tahun. 39 Rentang waktu sepuluh tahun dalam masa remaja memiliki

klasifikasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada diri seseorang.

38 Ibid., hlm. 131 39 Selain rentang usia 11/12 – 21/22 tahun ada beberapa sumber yang menyatakan

pendapat berbeda mengenai batas usia remaja. Sarlito Wirawan Sarwono menyebutkan batas usia remaja berada antara usia 11-24 tahun. Lih, Sarlito Wirawan Sarwono, “Masalah Psikologis dan Kesehatan Reproduksi Remaja” dalam Abdul Mukti dkk, Ibid.; Dalam buku yang sama (hlm. 32), Soemardi memaparkan rentang usia remaja berdasar pada pernyataan Departemen Kesehatan RI yang menyebut usia 10-19 tahun sebagai usia remaja dan juga WHO yang membatasi usia remaja pada rentang waktu antara 10-24 tahun.

Page 31: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

49

Mengenai klasifikasi masa remaja tersebut, paling tidak ada dua pendapat

yang berbeda.

Satu sisi Andi Mappiare membagi masa remaja ke dalam dua

klasifikasi yakni masa remaja awal dan akhir. Menurut Mappiare masa

remaja awal dimulai sejak seseorang berada pada usia 12/13 tahun dan

berakhir pada usia 17/18 tahun. Sedangkan masa remaja akhir berada dalam

rentang usia 17/18 tahun hingga 21/22 tahun.40

Sedangkan pada sisi yang berbeda, F.J. Monks dkk membagi masa

remaja menjadi tiga masa, yakni masa remaja awal, masa remaja

pertengahan, dan masa remaja akhir. Masa remaja awal menurut F.J. Monks

dkk berkisar pada usia 12 hingga 15 tahun, masa remaja pertengahan berada

pada rentang usia 15-18 tahun dan masa remaja akhir berada pada batas usia

18-21 tahun.41

Meski terdapat perbedaan mengenai klasifikasi masa remaja, dua

pendapat tersebut secara garis besar (dan tidak langsung) sepakat bahwa

batas usia remaja akhir dimulai sejak seseorang memasuki usia 17/18-21/22

tahun. Sedangkan penilaian dan klasifikasi yang berbeda dalam rentang usia

11/12 – 17/18 tahun lebih dikarenakan perbedaan pandangan mengenai

kematangan jiwa manusia.42

Masa remaja juga merupakan suatu masa di mana manusia mulai

berkenalan dengan permasalahan hidup. Peralihan dari dunia imajinasi

(anak-anak) menuju dunia realitas secara tidak langsung akan membuat

seseorang merasakan adanya tekanan emosi, sosial, dan seksualitas. 43

40 Lih. Andi Mappiare, Psikologi Remaja, Surabaya, Usaha Nasional, 1982, hlm. 31 dan

36. 41 Lih. F.J. Monks dkk, Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai

Bagiannya, Yogyakarta, Gajahmada University Press, 2002, hlm. 262. 42 Perbedaan pendapat tersebut tidak akan penulis perpanjang masalahnya, karena :

pertama, akan melenceng dari pembahasan pokok permasalahan dan malah mengerucut pada perbedaan semata; kedua, obyek kajian penelitian yang penulis lakukan dalam kacamata dua pendapat di atas berada dalam “wilayah” yang sama yakni masa remaja awal.

43 Abdul Mukti dkk, Perlu Kita Ketahui: Kesehatan Reproduksi Remaja, Telaah Kritis Realitas, Kudus, Program Studi Psikologi Universitas Muria, 2005, hlm. 32.

Page 32: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

50

Selain persoalan tersebut, pertumbuhan fisik yang pesat tanpa diimbangi

kematangan jiwa juga menjadi persoalan rumit dalam kehidupan masa

remaja.44

Masalah seputar masa remaja awal juga disinggung oleh Elizabeth

B. Hurlock45 yang menyatakan bahwa ada dua kelompok masalah yang

timbul pada masa remaja. Masalah pertama timbul akibat dari perubahan

keadaan fisik. Kondisi perubahan tubuh yang cenderung disertai kelelahan,

kelesuan, dan gejala-gejala buruk lainnya akan berlawanan dan tidak

mendukung dari tanggung jawab dan beban yang semakin bertambah pada

masa remaja. Kondisi tersebut membuat seseorang yang berada pada masa

puber (remaja awal) tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tugasnya

dengan baik sehingga akan mempengaruhi kehidupannya.46

Masalah kedua yang muncul pada periode remaja awal tercermin

pada sikap dan perilaku. Lebih lanjut Hurlock menyebutkan tujuh sikap dan

perilaku yang menjadi ciri masa remaja awal, yaitu :

a. Ingin menyendiri; Pada masa remaja awal, individu seringkali menarik

diri dari keramaian dan merenungkan tentang ketidakmengertian dan

perlakuan yang kurang baik dari orang lain terhadap dirinya. Selain itu,

pada masa ini, seseorang juga menyendiri karena adanya dorongan

seksualitas yang menyebabkan dia ingin melakukan fantasi seks sendiri

(masturbasi).

b. Bosan; Peralihan dari masa anak-anak membuat seorang yang berada

44 Ibid., hlm. 24. 45 Lih. Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 190-192. 46 Masalah fisik sebagai pangkal dari masalah yang timbul pada masa remaja awal juga

diakui oleh Erikson, seperti dikutip oleh Pudjijogyanti, yang menyatakan bahwa keadaan fisik merupakan sumber pembentukan identitas diri dan konsep diri. perkembangan kepribadian dan pembentukan identitas diri merupakan perpaduan komponen psikologik dan sosiologik dalam diri manusia. adanya perubahan fisik dan mental yang maksimal mengakibatkan adanya peningkatan tuntutan lingkungan terhadap remaja. remaja dituntut untuk menunjukkan keremajaannya karena dianggap bukan anak kecil lagi. Tuntutan lingkungan ini menimbulkan kegelisahan dan ketegangan dalam remaja berperilaku. Salah satu usaha remaja untuk mengatasi masalah status atau identitas yang tidak jelas adalah mencoba berbagai peran. Percobaan ini menimbulkan harapan pada remaja untuk mempunyai kesempatan mengembangkan seluruh ideologi dan minatnya. Perbedaan ideologi dan minat merupakan arah pengembangan konsep diri. Pudjijogyanti, op. cit., hlm. 231.

Page 33: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

51

pada fase remaja awal akan mulai bosan untuk bermain lagi layaknya

ketika masih anak-anak. Akibat dari timbulnya rasa bosan ini seseorang

cenderung akan mengalami penurunan prestasi dalam hidupnya.

c. Inkoordinasi; Pertumbuhan dan perkembangan fisik yang berbeda

daripada masa anak-anak akan membuat seseorang pada masa remaja

awal terlihat serta merasa kikuk, kaku, dan janggal dalam bergerak dan

bertingkah laku.

d. Antagonisme sosial; Pada masa puber, seseorang lebih sering tidak mau

bekerjasama dengan orang lain dan cenderung menganggap remeh

orang lain.

e. Emosi yang meninggi; Pada masa ini seseorang akan lebih mudah untuk

merasa gelisah dan marah. Hal ini tidak terlepas dari suasana hati yang

negatif (akibat perlakuan orang lain terhadapnya).

f. Hilangnya kepercayaan diri; Akibat dari turunnya daya tahan tubuh dan

pandangan (yang lebih sering berupa kritik) akan mengakibatkan pada

turunnya kepercayaan diri seseorang pada masa ini.

g. Terlalu sederhana; Akibat perubahan fisik, seringkali anak-anak

berpenampilan sederhana karena ketakutan perubahan fisiknya akan

diketahui oleh orang lain. 47

Selain ciri yang diungkapkan oleh Elizabeth B. Hurlock di atas, ada

beberapa ciri lain yang melekat pada masa remaja awal yang antara lain:48

a. Ketidakstabilan keadaan perasaan atau emosi. Tidak aneh lagi bagi

orang yang mengerti kalau sikap remaja yang sesekali bergairah dalam

bekerja tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa

sedih yang sangat, rasa yakin diri berganti rasa ragu diri yang

47 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., hlm. 192 48 Disarikan dari Andi Mappiare, op. cit., hlm. 32-35

Page 34: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

52

berlebihan.

b. Hal sikap dan moral, terutama menonjol menjelang akhir masa remaja

awal (15-17 tahun). Organ-organ seks yang telah mulai matang

mendorong untuk mendekati remaja lawan jenis. Ada

dorongan-dorongan seks dan kesenjangan untuk itu, sehingga

kadang-kadang dinilai oleh masyarakat tidak sopan.

c. Hal kecerdasan atau kemampuan mental. Kemampuan mental dan

kemampuan berpikir remaja awal mulai sempurna. Keadaan ini terjadi

dalam usia antara 12-16 tahun.

d. Hal status remaja awal sangat sulit ditentukan. Status remaja awal tidak

saja sangat sulit ditentukan, bahkan membingungkan. Perlakuan yang

diberikan oleh orang dewasa terhadap remaja awal sering

berganti-ganti. Ada keraguan orang dewasa untuk memberi tanggung

jawab kepada remaja dengan dalih mereka masih kanak-kanak.

e. Remaja awal banyak masalah yang dihadapi, antara lain disebabkan

ciri-ciri tersebut diatas, menjadikan remaja awal sebagai individu yang

banyak masalah yang dihadapinya. Sebab-sebab lain adalah sifat

emosional remaja awal. Kemampuan berpikir lebih dikuasai oleh

emosionalitasnya sehingga kurang mampu mengadakan konsensus

dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapatnya.

Akibatnya masalah yang menonjol adalah pertentangan sosial.

f. Masa remaja awal adalah masa yang sangat kritis. Dikatakan kritis

sebab pada masa ini remaja dihadapkan pada pertanyaan apakah ia akan

dapat menghadapi atau memecahkan masalahnya atau tidak. Kadang

mereka bisa menghadapi masalahnya dengan baik, menjadi modal dasar

dalam menghadapi masalah-masalah selanjutnya, sampai ia dewasa.

Melihat ciri-ciri yang melekat pada masa remaja awal terlihat jelas

Page 35: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

53

bahwa masa ini memang penuh dengan permasalahan. Baik yang timbul

dari dirinya sendiri maupun permasalahan yang muncul dari luar dirinya

sebagai akibat dari pandangan pihak luar terhadap dirinya.

Suryabrata mengemukakan bahwa konflik dan ketegangan yang

terjadi pada masa transisi bukanlah suatu hal yang buruk, sebab dengan

adanya konflik dan ketegangan tersebut, remaja akan meneliti sikap hidup

lama dan mencoba-coba yang baru dalam rangka menemukan dirinya

sendiri untuk menjadi pribadi yang dewasa. Lebih lanjut dikatakan bahwa

masalah yang muncul pada masa transisi akan membuat remaja mampu

berfikir konkrit sehingga dapat membantu dirinya dalam mengembangkan

kepribadian dan pembentukan identitas diri.49

Konflik dan ketegangan yang dialami remaja merupakan situasi

yang memungkinkan remaja menunjukkan kemampuannya. 50 Hal ini

mengandung arti bahwa kegagalan dan keberhasilan dalam mengatasi

konflik tersebut merupakan situasi yang mempengaruhi seluruh aspek

kepribadian termasuk konsep diri.

Konsep diri pada remaja berbeda dengan konsep diri pada masa

kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak konsep diri yang dimiliki seseorang

biasanya belum bersifat realistis, tetapi hanya berdasarkan atas

imajinasi-imajinasi tertentu dalam dirinya dan - yang diambil sebagai

identifikasi hanya ada dalam cerita-cerita. Sejalan dengan perkembangan

kepribadian secara normal pada seseorang maka konsep diri juga

mengalami perubahan. Hal tersebut diatas disebabkan pengalaman yang

diperoleh pada usia sebelumnya. Konsep diri pada seseorang akan berubah

menjadi lebih realistis pada masa remaja. Dalam memasuki tahap masa

remaja, seseorang mengalami banyak perubahan dalam diri dan sangat

berpengaruh terhadap sikap serta tingkah laku yang tertampil.Akibat

49 Suryabrata, Pembimbing ke Psikodiagnostik, Yogyakarta, Rake Press, 1984, hlm. 57. 50 Pudjijogyanti, op. cit., hlm. 24.

Page 36: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

54

perubahan dan sikap dan tingkah laku remaja maka sikap orang lain

terhadap diri remaja juga mengalami perubahan. Oleh sebab itu konsep diri

pada remaja cenderung tidak konsisten. Hal tersebut disebabkan oleh sikap

orang lain yang dipersepsikan oleh remaja berubah. Akan tetapi melalui

cara ini konsep diri pada remaja berkembang menjadi konsep diri yang

konsisten.51

Pendapat di atas mengindikasikan bahwa jika individu diterima

orang lain, disenangi orang lain, karena keadaannya maka individu akan

bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya bila orang lain

selalu menyalahkan dan menolaknya maka individu tidak akan menyenangi

dirinya sendiri.

Pengaruh buruk yang diberikan orang lain kepada remaja awal akan

berdampak pada pembentukan perilaku dan pandangan yang buruk remaja

awal terhadap dirinya sendiri. Apabila remaja gagal dalam mencapai harga

diri, maka remaja akan merasa kecewa terhadap keadaan dirinya dan

lingkungannya. Akibatnya remaja memandang dirinya dengan negatif.

Sebaliknya bila remaja berhasil mencapai harga diri, maka remaja akan

puas terhadap dirinya dan lingkungannya.

Konsep diri yang negatif dapat menghancurkan kehidupan remaja,

karena setiap remaja cenderung untuk memilih apa yang dirasa pantas. Hal

ini berlaku dalam memilih teman, pasangan hidup, karir, dan lain-lain.

Selain hal tersebut diatas, konsep diri yang negatif dapat menimbulkan

sikap “masa bodoh” yang akan tercermin dalam hasil belajarnya yang buruk

dan dapat menimbulkan lingkaran setan. Dalam hal ini anak terus

mengalami kegagalan, dan oleh karena itu terus menerus mendapat kritik

yang merusak konsep dirinya. Hal ini menyebabkan lebih banyak kegagalan

dan kritik, sampai akhirnya remaja menyerah sama sekali.

51 Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta, Gunung Mulia, 1983,

hlm. 238-239.

Page 37: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

55

Argumen-argumen di atas bila disimpulkan akan memberikan

gambaran dan penjelasan bahwasanya masa remaja awal sangat identik

dengan masalah-masalah yang timbul akibat perubahan fisik dan psikis.

Perubahan-perubahan tersebut jika dikaji dalam ruang lingkup konsep diri

sangat rentan terhadap terbentuknya konsep diri negatif pada sosok remaja

awal. Hal itu bisa terjadi manakala remaja awal tidak mampu menguasai

dan mengendalikan diri akibat perubahan yang ia alami. Akan tetapi

pembentukan konsep diri negatif tersebut dapat dicegah manakala seorang

yang berada pada fase remaja awal mampu mengolah dan mengendalikan

diri serta didorong oleh lingkungan yang positif yang selalu mendukung dan

memberikan motivasi kepada remaja awal dalam menjalani masa pubertas.

Memang ada perbedaan pendapat diantara para ahli di atas dalam

memaparkan konsep diri yang sekilas dapat saja membentuk opini berbeda

di kalangan orang awam mengenai konsep diri. Namun jika diperhatikan

secara mendalam pendapat para ahli di atas merupakan satu kesatuan teori

konsep diri yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Menurut penulis, dengan berdasar pada pendapat ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwasanya konsep diri adalah sebuah cara pandang seseorang

terhadap kehidupannya yang meliputi dirinya dalam konteks diri real, ideal,

dan sosial sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ukuran

penilaian terhadap konsep diri seseorang tidak dapat diukur berdasarkan

ruang lingkupnya (diri real, ideal, dan sosial) secara terpisah akan tetapi

dinilai secara keseluruhan di mana ruang lingkup tersebut hanya menjadi

indikasi-indikasi dan ruang lingkup esensi pertanyaan yang bermuara pada

kondisi kesehatan mental sebagai hasil penilaian konsep diri seseorang :

positif atau negatif. Pendapat ini didasarkan pada pendapat R. B. Burns

yang menyatakan bahwa konsep diri seseorang dengan ruang lingkupnya

akan membentuk sebuah tatanan mental seseorang. Sedangkan penilaian

yang diukur dari konsep diri positif atau negative juga didasarkan dari

pendapat para ahli, yang telah disebutkan di atas, berkaitan dengan

Page 38: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

56

teori-teori konsep diri positif dan negatif. Rangkaian argument yang

berkaitan dengan ruang lingkup dan penilaian konsep diri di atas dapat

digambarkan sebagai berikut :

C. Pembinaan Mental

1. Pengertian dan tujuan pembinaan mental

Pembicaraan yang berkaitan dengan mental selalu identik dengan

istilah-istilah seperti “pembinaan mental”, “bimbingan”, “penyuluhan”, dan

“psikoterapi” yang terkadang membuat orang awam sulit untuk

memberikan definisi. Bahkan tidak jarang pula menganggap sama

istilah-istilah tersebut. Sebelum melangkah pada pembahasan selanjutnya,

alangkah baiknya dijelaskan terlebih dahulu keempat istilah tersebut agar

diketahui letak perbedaannya.

Bimbingan secara terminology sama dengan istilah guidance

(bahasa Inggris) yang memiliki arti bantuan atau tuntunan. Secara umum

bimbingan dapat dimaknai sebagai suatu proses pemberian bantuan yang

terus menerus dan dilakukan secara sistematis kepada individu dalam

memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan dari proses tersebut adalah

tercapainya kemampuan seseorang (klien) untuk menerima dirinya (self

acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan merealisasikan

Konsep diri

Diri real

Diri ideal

Diri sosial

Konsep diri positif

Kesehatan mental

Konsep diri negatif

Page 39: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

57

dirinya (self realization) sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam

mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan.52

Aspek terminology pengertian istilah “penyuluhan” diambil dari

terjemahan kata counseling (bahasa Inggris). Definisi umum penyuluhan

dapat diartikan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu dalam

memecahkan masalah kehidupannya dengan cara wawancara atau cara-cara

yang disesuaikan dengan keadaan individu untuk mencapai kesejahteraan

hidup. 53 Konseling atau penyuluhan lebih bersifat sebagai proses

pemecahan masalah.54

Selanjutnya pengertian psikoterapi dalam term kebahasaan berasal

dari dua kata psyche yang secara umum memiliki arti jiwa dan therapy yang

diartikan sebagai penyembuhan. 55 Pengertian secara struktur bahasa

tersebut dapat memberikan gambaran pengertian secara umum psikoterapi

sebagai proses formal antara dua pihak atau lebih yang terdiri dari

profesional (penolong) dan petolong (orang yang ditolong) yang cenderung

bersifat sebagai proses koreksi.56

Sedangkan pembinaan mental sebagaimana diungkapkan oleh M.

Solihin memiliki pengertian sebagai suatu proses perbaikan, pemeliharaan,

pembangunan, pengembangan guna mengembalikan kondisi seseorang

pada mental yang sehat.57

Dari pengertian keempat istilah tersebut di atas dapat diketahui

bahwa ketiga pengertian pertama (bimbingan, penyuluhan, dan psikoterapi)

52 M. Solihin, Terapi Sufistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf,

Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm. 14-15. 53 Ibid., hlm. 15-16. 54 Psikoterapi, Pendekatan Konvensional dan Kontemporer, M.A. Subandi (ed),

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 2. 55 Dalam metodologi Yunani psyche dilambangkan dan diartikan sebagai gadis cantik

yang bersayap kupu-kupu. Gadis cantik merupakan perlambang dari jiwa dan kupu-kupu adalah lambang dari keabadian. Lih. M. Solihin, op. cit., hlm. 32.

56 Psikoterapi, Pendekatan Konvensional dan Kontemporer, loc. cit. 57 M. Solihin, op. cit., hlm. 70-71.

Page 40: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

58

adalah metode atau teknik yang digunakan dan berkaitan dengan

permasalahan kejiwaan seseorang. Sedangkan pembinaan mental

merupakan satu kesatuan proses usaha untuk mengembalikan seseorang

pada kondisi mental yang sehat. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan

pada pengertian bahwasanya pembinaan mental merupakan proses

pengembalian seseorang pada kondisi mental yang sehat yang dapat

ditempuh dengan menggunakan metode-metode seperti tersebut di atas

(bimbingan, penyuluhan, dan psikoterapi).

Ditinjau dari pengertian tentang pembinaan mental dapat diketahui

bahwa tujuan utama pembinaan mental adalah mengembalikan mental

seseorang pada kondisi mental yang sehat.

Pribadi normal dengan diiringi mental yang sehat akan memiliki

integritas jasmaniah-rohaniah yang ideal. Keadaan pada kehidupan

psikisnya stabil dan tidak ada konflik internal, suasana hatinya tenang,

seimbang dan jasmaninya selalu sehat dan segar.

Berkenaan dengan mental yang sehat, Maslow and Mittleman dalam

karangannya yang berjudul Principles of Abnormal Psychology,

sebagaimana dikutip oleh Yusak Burhanuddin, memberikan ciri mental

yang sehat sebagai berikut:

a. Memiliki rasa aman (sense of security) yang tepat, mampu berhubungan

dengan orang lain dalam bidang kerja, pergaulan dan dalam lingkungan

keluarga

b. Memiliki penilaian (self evaluation) dan wawasan diri yang rasional

dengan harga diri tidak berlebihan, memiliki kesehatan secara moral,

tidak dihinggapi rasa bersalah. Selain itu, juga dapat menilai perilaku

orang lain yang asosial dan tidak manusiawi sebagai gejala perilaku

yang menyimpang

Page 41: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

59

c. Mempunyai spontanitas dan emosional yang tepat. Dia mampu menjalin

relasi yang erat, kuat, dan lama, seperti persahabatan, komunikasi

sosial, dan menguasai diri sendiri. Penuh tenggang rasa terhadap orang

lain. Dia bisa tertawa dan bergembira secara bebas dan mampu

menghayati penderitaan tanpa lupa diri.

d. Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien, tanpa ada fantasi dan

angan-angan berlebihan. Pandangan hidupnya realitas dan cukup luas.

Dia sanggup menerima segala cobaan hidup, kejutan-kejutan mental,

serta nasib buruk lainnya dengan besar hati. Dia memiliki kontak yang

riil dan efisien dengan diri sendiri, dan mudah melakukan adaptasi, atau

mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial atau dunia luar memang

tidak bisa diubah oleh dirinya.

e. Memiliki dorongan dan nafsu- nafsu jasmaniah yang sehat dan mampu

memuaskannya dengan cara yang sehat, namun tidak diperbudak oleh

nafsunya sendiri, dia mampu menikmati kesenangan hidup ( makan,

minum, dan rekreasi ), dan bisa cepat pulih dari kelelahan. Nafsu

seksnya cukup sehat, bisa memenuhi kebutuhan seks secara wajar, tanpa

dibebani rasa takut dan berdosa, dia bergairah untuk bekerja, dan

dengan tabah menghadapi segala kegagalan.

f. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup dengan memiliki motif hidup

yang sehat dan kesadaran tinggi. Dia dapat membatasi ambisi-ambisi

dalam batas kenormalan. Juga patuh terhadap pantangan-pantangan

pribadi dan yang bersifat sosial, dan bisa melakukan kompensasi yang

positif, mampu menghindari mekanisme pembelaan diri yang negatif

sejauh mungkin, dan bisa menyalurkan rasa interiornya.

g. Memiliki tujuan hidup yang tepat, wajar, dan realistis sehingga bisa

dicapai dengan kemampuan sendiri serta memiliki keuletan dalam

mengejar tujuan hidupnya agar bermanfaat bagi diri sendiri maupun

bagi masyarakat pada umumnya.

Page 42: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

60

h. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidup dalam mengolah

dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes, dia bisa

menilai batas kekuatan sendiri dalam situasi yang dihadapi, untuk

meraih sukses.

i. Memiliki kesanggupan untuk mengekang tuntutan-tintutan dan

kebutuhan kebutuhan dari kelompoknya, sebab dia memiliki kesamaan

kebutuhan dengan yang lain ( tidak terlalu berbeda, dan tidak

menyimpang ). Dia tetap teguh memperlihatkan rasa persahabatan,

tanggung jawab, loyalitas, dan melakukan aktifitas rekreasi yang sehat

dengan anggota lainnya.

j. Memiliki sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompok dan

kebudayaan. Namun, dia tetap memiliki originalitas dan individualitas

yang khas, sebab dia mampu membedakan sikap yang baik dan yang

buruk. Dia menyadari adanya kebebasan yang terbatas dalam

kelompoknya, tanpa didasari oleh kesombongan, kemunafikan dan

usaha mencari muka, dan tanpa hasrat untuk menonjolkan diri

dihadapan orang lain. Selain itu, dia memiliki derajat apresiasi dan

toleransi yang cukup tinggi terhadap kebudayaan bangsanya dan

terhadap perubahan-perubahan sosial.

k. Memiliki integritas dalam kepribadiannya, yaitu kebulatan jasmaniah

dan rohaniahnya. Dia mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi

terhadap perubahan yang cepat, dan memiliki minat pada berbagai

aktifitas, moralitas dan kesadaran yang tidak kaku, namun dia tetap

memiliki konsentrasi terhadap usaha yang diminatinya. Juga tidak ada

konflik- konflik yang serius dalam dalam dirinya, dan dissosiasi

terhadap lingkungan sosialnya.58

Sedangkan Kartini Kartono memberikan kriteria mental yang sehat

58 Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hlm. 13-15.

Page 43: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

61

(hygiene mental) yang meliputi :59

a. Mental hygiene dan adjustment itu bergantung pada harmoni

hubungan dan integritas dari organisme manusia dengan sesama

manusia, dengan dunia lingkungan, dan dengan Tuhan Yang Maha

Kuasa. Juga keserasian harmoni antara jasmani dengan rohaninya

sendiri

b. Untuk mencapai taraf kesehatan mental, orang harus bisa conform

dengan tuntutan-tuntutan moral, intelektual, sosial dan religius

c. Mental yang sehat itu ditandai dengan adanya integrasi diri,

regulasi-diri dan pengontrolan-diri ; yaitu control terhadap pikiran,

angan-angan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan,

emosi-emosi, sentimen, dan segenap tingkah laku

d. Pribadi perlu memiliki pemawasan diri (pengetahuan diri, mandiri

pribadi, self insight). Dia harus bisa mengenali segala kemampuan

sendiri beserta batas-batasnya. Jadi bisa menghayati segi kekuatan

dan kelemahannya, sehingga dia dapat mengadakan perbaikan, serta

eliminasi/ menyingkirkan kekurangan sendiri. Juga mengenali

kelebihannya, memanfaatkan, serta mengeksploitirnya sejauh

mungkin demi kebaikan orang banyak.

e. Mental yang sehat itu memiliki konsep diri yang sehat. Yaitu ada

pengakuan diri (mengakui segala kelebihan dan kekurangan

sendiri), dan menerima ketentuan hidup atau nasib dengan sikap

yang rasional. Juga ada taksasi realitas terhadap status dan nilai diri

(dalam bahasa jawanya “nerima ing pandum”). Ini bukan berarti

mengabaikan atau tidak mau melihat kelemahan diri dan

kekurangan diri, akan tetapi penaksiran diri secara riil selalu

mencakup usaha untuk memperbaiki diri.

59 Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam

Islam, Bandung, Mandar Maju, 1989, hlm. 284-288.

Page 44: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

62

f. Mental yang stabil dan adjustment yang baik itu meliputi

pengembangan diri, dengan berpedomankan kebajikan, kejujuran,

keadilan, kebijaksanaan, kemurnian, keberanian, pengingkaran-diri

dalam arti mengemilinir egoisme, integrasi pribadi, kejujuran moral,

rendah hati, kemurnian, dan lain-lain. Semua elemen ini menjadi

sumbangan yang berharga bagi kesehatan mental manusia.

g. Perlu adanya penanaman dan pengembangan kebiasaan-kebiasaan

yang baik. Yaitu kebiasaan yang efisien, tepat dalam menanggapi

setiap situasi, cepat mengambil keputusan, dan bisa berpikir kritis.

Juga bersikap objektif dalam menilai orang lain dan dunia luar, di

samping hidup secara teratur dan disiplin tinggi.

h. Mental yang stabil dan adjustment yang baik menuntut adanya

kemampuan mengadakan adaptasi yang supel terhadap setiap

perubahan sosial dan perubahan diri sendiri. Untuk ini diperlukan

fleksibelitas dan daya-lenting, agar bisa menanggapi setiap

perubahan dalam hidup manusia. Dan tidak terjadi rotasi yang

“fixed” (kaku).

i. Kesehatan mental dan adjustment memerlukan daya upaya yang

kontinu guna pematangan diri. Dalam pengertian: matang

fikirannya, matang emosi, dan matang setiap tingkah lakunya. Tidak

berperangai kekanak-kanakan atau infantile, tetapi bisa menghayati

cita-cita luhur, tujuan yang cukup bernilai, dan ideologi yang sehat.

j. Kesehatan mental dan adjustment terutama sekali bergantung pada

relasi interpersonal yang sehat, khususnya relasi di tengah keluarga.

k. Adjustment dan ketenangan batin itu bergantung pula pada

pemilihan pekerjaan yang tepat dan memuaskan. Sebab lapangan

kerja merupakan aspek realitas hidup yang penting pula. Kepuasan

kerja bagi seorang dewasa sama nilainya dengan rekreasi dan

Page 45: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

63

permainan bagi anak-anak, di mana kedua-duanya (baik anak

maupun orang dewasa) bisa menikmati kepuasan sejati.

l. Kesehatan mental dan adjustment dalam pengertian: memiliki

kemampuan untuk bersikap sehat, objektif, efektif, tepat, dan

realistis terhadap realita hidup; tanpa disertai pandangan yang keliru

atau “ verwrongen inzicht” mengenai diri sendiri dan dunia sekitar.

Tanpa memilki rasa superieur atau merasa serba lengkap. Sebab

superieuriteits-complex ini menjadi persemaian yang subur bagi

tumbuhnya penyakit jiwa paranoia.

m. Stabilitas mental dapat dicapai dengan hadirnya kesadaran manusia

akan ketergantungan dirinya pada satu kekuasaan yang maha besar,

yang ada di atas dirinya. Yaitu ia meyakini adanya tuhan, dan

menghayati hubungannya dengan tuhan-nya. Tanpa kesadaran ini,

manuisa akan selalu merasakan ketakutan atau insecurity yang

kronis, dan kegoncangan jiwa.

Marie Johanda seperti dikutip oleh M. Solihin, memberikan batasan

yang luas tentang kesehatan mental. Menurutnya, pengertian kesehatan

mental tidak hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari gangguan dan

penyakit kejiwaan, akan tetapi orang yang bersangkutan juga memiliki

karakter utama sebagai berikut:

a. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri, dalam arti ia dapat

mengenal dirinya dengan baik.

b. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik

c. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan,

dan sabar terhadap tekanan- tekanan yang terjadi

d. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan diri atau

kelakuan-kelakuan bebas

Page 46: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

64

e. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta

memiliki empati dan kepekaan sosial

f. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya

secara baik. 60

Mentalitas yang sehat memiliki gejala: posisi pribadinya harmonis

atau seimbang, baik kedalam, terhadap diri sendiri, maupun keluar,

terhadap lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, ciri-ciri khas pribadi yang

bermental sehat, antara lain sebagai berikut ini:

a. Ada koordinasi dari segenap usaha dan potensinya sehingga mudah

mengadakan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan, standar dan norma

sosial, serta perubahan-perubahan sosial yang serba cepat

b. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian sendiri

sehingga mampu memberikan partisipasi aktif kepada masyarakat

c. Senantiasa giat melaksanakan proses realisasi diri (yaitu

mengembangkan secara riil segenap bakat dan potensi), memiliki

tujuan hidup, dan selalu mengarah pada transendensi diri, berusaha

untuk melebihi kondisinya yang sekarang.

d. Bergairah, sehat lahir dan batin, tenang dan harmonis kepribadiannya,

efisien dalam setiap tindakannya, serta mampu menghayati kenikmatan

dan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya.61

Di pihak lain, Organisasi kesehatan sedunia (WHO) memberikan

kriteria jiwa atau mental yang sehat, yaitu sebagai berikut:

a. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyatan meskipun

kenyatan itu buruk baginya.

60 M. Solihin, op. cit., hlm. 54 61 Ibid., hlm. 55.

Page 47: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

65

b. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya

c. Merasa lebih puas memberi daripada menerima

d. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas

e. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling

memuaskan

f. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian

hari

g. Menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan

konstruktif

h. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.62

2. Aspek-aspek pembinaan mental

Aspek-aspek dalam pembinaan mental memiliki hubungan dan

kaitan yang erat dengan ciri-ciri mental yang sehat. Jika mengacu pada ciri

mental yang sehat di atas maka seseorang dikatakan bermental sehat

manakala ia mampu membawa dirinya dengan segala kondisi yang ada pada

dirinya untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya. Hal

ini berawal dan dimulai dari terbentuknya penerimaan seseorang terhadap

dirinya sendiri. Kemudian berlanjut pada realisasi diri manusia pada realitas

hidup di mana dia harus memposisikan dan bergaul dengan orang lain.

M. Solihin menyebutkan bahwa aspek dalam pembinaan mental

meliputi empat aspek dalam diri manusia yaitu :

a. Mental; Aspek ini meliputi pikiran, akal, ingatan atau proses yang

berasosiasi dengan pikiran, akal, dan ingatan.

62 Ibid., hlm. 56-57.

Page 48: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

66

b. Spiritual; Aspek manusia yang berhubungan dengan semangat dan jiwa

religius.

c. Moral; Aspek ini berhubungan dengan akhlak yang merupakan sumber

dari perbuatan-perbuatan manusia yang tanpa melalui proses pemikiran,

pertimbangan, atau penelitian.

d. Fisik; Aspek ini dimasukkan dengan alasan bahwa tidak semua penyakit

fisik dapat disembuhkan dengan terapi medis atau kedokteran akan

tetapi melalui terapi mental juga akan dapat menyembuhkan penyakit

itu. Hal ini akan berkaitan dengan bagaimana kekuatan mental juga akan

mendorong lahirnya kekuatan fisik manusia.

Sedangkan jika mengacu pada jenis pendekatan terapi, maka aspek

dari terapi (pembinaan mental) dapat dikelompokkan ke dalam kriteria :

a. Aspek kognitif yang berhubungan dengan emosi seseorang dan

keyakinan yang menjadi dasar interpretasi terhadap suatu peristiwa.

b. Aspek perilaku yang berkaitan dengan perilaku-perilaku individu dalam

kehidupannya sehari-hari baik secara individu (memandang,

memahami, dan merealisasikan diri) maupun sebagai makhluk sosial

yang harus menciptakan dan melakukan interaksi positif kepada orang

lain.

c. Aspek humanistik yang berhubungan dengan unsur kepribadian

seseorang yang membantu manusia untuk memahami dan menyadari

fenomenologi kepribadiannya sehingga mampu menyelesaikan masalah

secara mandiri.

Jika disimpulkan maka aspek pembinaan mental meliputi

pembinaan terhadap segi kejiwaan (rohani) dan segi perilaku.

3. Tahapan pembinaan mental

Proses terapi pembinaan mental tidak dilakukan begitu saja tanpa

Page 49: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

67

adanya pedoman maupun langkah-langkah yang tersistematis. Dalam

proses pembinaan mental diperlukan tahapan-tahapan sebagai acuan

sekaligus pengukuran seberapa perlu dan seberapa jauh seseorang dibina

mentalnya. Johana E. Prawitasari menyebutkan bahwasanya dalam sebuah

proses terapi ada empat tahap yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Keempat tahap tersebut meliputi :63

a. Wawancara awal

Wawancara awal merupakan suatu proses masuk (perkenalan)

antara seorang petolong dengan seorang klien. Melalui proses

wawancara awal ini, seorang petolong dapat mengetahui

permasalahan-permasalahan yang dialami oleh klien.

Dalam proses wawancara harus ada keterbukaan antara klien –

terkait dengan apa yang menjadi masalahnya dan apa yang akan

diharapkan – dan terapis (petolong) yang terkait dengan apa yang akan

dilakukan untuk klien. Selain itu, wawancara memiliki nilai penting

karena melalui proses tersebut terjadi persekutuan antara klien dengan

petolong dalam jalinan hubungan yang baik (rapport).

b. Proses terapi

Proses ini ditandai dengan intervensi dari terapis yang dominan.

Hal ini dilakukan untuk mewujudkan komunikasi yang baik dalam

mengkaji pengalaman klien. Intervensi yang dilakukan terapis juga

bertujuan untuk mengadakan pengenalan, penjelasan, dan pengartian

perasaan dan arti-arti pribadi pengalaman klien.

c. Pengertian ke tindakan

Pada tahap ini terapis bersama klien mengkaji tentang apa yang

telah dipelajari selama masa terapi. Dalam penerapan ini, harus sering

63 Psikoterapi, Pendekatan Konvensional dan Kontemporer, op. cit., hlm. 10-13.

Page 50: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

68

ada diskusi antara terapis dan klien untuk menjaga dan mengawal

tercapainya tujuan dari terapi itu sendiri.

d. Mengakhiri terapi

Ada beberapa sebab berakhirnya sebuah terapi. Pertama, terapi

dapat berakhir manakala klien tidak lagi melanjutkan terapinya. Kedua,

terapi akan berakhir ketika terapis merasa sudah tidak mampu lagi

menangani masalah klien. Ketiga, terapi berakhir jika sudah tercapai

tujuan dari terapi tersebut.

Di lain pihak apabila pembinaan mental disetarakan dengan proses

pendampingan, Supartono memberikan lima tahapan dalam rangka

melakukan pembinaan terhadap anak jalanan yang meliputi :64

a. Mendatangi orang yang menderita (klien)

Langkah pro aktif ini mengindikasikan bahwa melakukan

pembinaan mental tanpa harus menunggu adanya dana, fasilitas maupun

program atau proyek. Tahap awal ini lebih bersifat sosial dan tidak

didasarkan pada sebuah program atau rencana. Akan tetapi dalam tahap

ini, bukan berarti seorang pendamping (terapis) dapat berbuat

seenaknya saja. Tahap ini merupakan tahap vital dari proses pembinaan

di mana melalui tahap ini seorang pembina dapat mengetahui obyek

binaan.

b. Hiduplah di antara mereka

Tahap kedua ini erat hubungannya dengan menjalin harmonisasi

hubungan atau perkenalan antara terapis dan klien. Manfaat dari

tahapan ini adalah akan semakin menyatunya terapis dengan klien dan

akan memudahkan terapis memperoleh informasi secara langsung dan

64 Supartono, Bacaan Dasar Pendamping Anak Jalanan, Semarang, Yayasan Setara,

2004, hlm. 79-81.

Page 51: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

69

beragam dari obyek.

c. Belajarlah dari mereka

Tahapan ketiga ini memiliki makna seorang terapis harus mampu

mengolah data dan mempelajarinya secara seksama. Selain itu,

pembelajaran tersebut juga dapat dilakukan secara langsung dengan

melakukan studi terhadap budaya-budaya yang berkembang, pola-pola

perilaku dan hubungan (kelompok) hingga ke sistem yang berlaku

dalam kelompok mereka.

d. Kasihanilah mereka

Tahap ini didasari pada nilai kasih sayang. Kasih yang diberikan

bukan berupa rasa simpati yang cenderung melahirkan dan

menimbulkan bantuan yang bersifat material semata. Apabila hal ini

dilakukan maka secara tidak langsung akan “membunuh” kreatifitas

dari klien itu sendiri dan mereka akan cenderung manja. Kasih yang

diberikan dalam tahap ini merupakan bentuk dari rasa empati terapis

kepada klien sehingga akan memunculkan keinginan untuk menggali

dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri klien sebagai modal

menyelesaikan masalah mereka.

e. Layanilah mereka

Melayani klien memiliki makna bahwasanya seorang terapis harus

siap untuk selalu dimintai bantuan oleh klien kapanpun dan dimanapun.

Pada tahap ini seorang terapis berperan sebagai fasilitator, mediator, dan

motivator.

Kedua tahapan yang terpapar di atas secara tekstual dan langkah

yang disebutkan memang berbeda. Akan tetapi dalam kaitannya dengan

tahapan pembinaan mental, kedua gambaran tahapan tersebut di atas secara

esensial memiliki kesamaan yakni dalam melakukan pembinaan mental

Page 52: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

70

perlu adanya langkah pendekatan dan penggalian masalah yang

berhubungan dengan klien serta langkah pengolahan masalah (terapis) yang

diperuntukkan bagi klien untuk dapat mengatasi masalah dan kembali pada

kondisi jiwa yang sehat.

Berdasarkan pemaparan teori-teori tentang konsep diri dan pembinaan

mental di atas, khususnya yang berkaitan dengan unsur-unsur yang ada di

dalamnya, maka dapat ditarik kesimpulan awal bahwasanya ada kemiripan

unsur yang terdapat dalam konsep diri dan pembinaan mental. Unsur-unsur

tersebut secara garis besar meliputi segi fisik (kondisi fisik, kemampuan dan

ketrampilan) dan segi batin (mentalitas) yang mana keduanya saling berkaitan

dan memberikan pengaruh. Menurut penulis, hubungan konsep diri dan

pembinaan mental dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :

Konsep Diri

Konsep Diri Positif Konsep Diri Negatif

Mentalitas Positif Mentalitas Negatif

Pembinaan Mental

Psikis Fisik Sosial

Psikis Fisik Sosial

Page 53: BAB II ANAK JALANAN, KONSEP DIRI, DAN PEMBINAAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1... · ini tidak hanya berdasar pada buku semata namun juga berdasarkan

71

Skema tersebut di atas memberikan gambaran bahwasanya konsep diri

positif dibentuk dari tiga komponen yang dimiliki oleh manusia. Apabila ketiga

komponen tersebut baik dan saling mendukung, maka akan tercipta sebuah

konsep diri positif yang tentunya juga akan membentuk mentalitas yang positif

pula. Begitu juga sebaliknya, apabila tiga komponen tersebut tidak dalam

keadaan baik maka konsep diri yang muncul adalah konsep diri negatif yang

mana juga akan berdampak pada pembentukan mentalitas yang negatif pada

diri manusia.

Jika telah terjadi hal semacam itu (terbentuknya konsep diri negatif),

maka pembinaan mental berfungsi untuk memperbaiki mentalitas manusia

yang meliputi segala aspek yang membentuknya, baik aspek dari dalam diri

manusia itu sendiri (fisik, psikis, dan kemampuan) maupun aspek di luar diri

manusia (lingkungan sosial). Sehingga dengan perbaikan mentalitas yang

negatif dan dengan hasil yang baik, maka bukan tidak mungkin akan terbentuk

sebuah konsep diri yang positif pula.

Oleh karenanya, dalam melaksanakan penelitian ini, penulis

beranggapan bahwasanya ada hubungan yang signifikan antara pembinaan

mental dengan konsep diri anak jalanan usia 12-15 tahun di Yayasan Setara

Semarang.

Sedangkan batasan ruang lingkup ukuran konsep diri pada penelitian ini

adalah konsep diri secara utuh yang memiliki nilai (konsep diri) positif atau

negatif dan tidak diukur secara terpisah sebagai diri real, ideal, dan sosial. Hal

ini berdasarkan pada asumsi penulis dengan memperhatikan beberapa pendapat

para pakar psikologi, sebagaimana tersebut di atas, yang menyatakan bahwa

ukuran nilai konsep diri seseorang tidaklah didasarkan pada ukuran ruang

lingkup konsep diri secara terpisah (diri real, ideal, dan sosial) melainkan

sebagai satu kesatuan yang bermuara pada penilaian konsep diri positif maupun

negatif secara utuh.