BAB II A. yang artinya ada di - eprints.umm.ac.id
Transcript of BAB II A. yang artinya ada di - eprints.umm.ac.id
27
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Makna Tradisi
A. Konsep Makna Tradisi
Makna berasal dari bahasa Jerman ‘Meinen’ yang artinya ada di
pikiran atau benar menurut Ariftanto dan Maimunah (1988: 58). Makna
adalah arti atau pengertian yang erat hubungannnya antara tanda atau
bentuk yang berupa lambang, bunyi, ujaran dengan hal atau barang
yang dimaksudkan. Pada dasarnya makna sebenarnya ada pada kepala
kita, bukan terletak pada suatu lambang. Kalaupun ada orang yang
mengatakan bahwa kata-kata itu mempunyai makna, yang dimaksudkan
sebenarnya kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang
telah disetujui bersama) terhadap kata-kata itu. Makna itu sendiri timbul
juga dikarenakan pengalaman hidup yang berbeda.
Menurut Edward (1981: 35) dalam Sri Alem Br Sembiring, dkk
(2012: 5) tradisi merupakan sebuah tatanan hidup yang dibentuk
berdasarksan kesepakatan bersama dari komunitas tersebut dan
memiliki fungsi tersendiri. Edward menyebutkan ada 4 fungsi tradisi,
yaitu : 1) menyediakan fragmen warisan historis yang dipandang
bermanfaat, 2) memberi legistimasi terhadap pandangan hidup dan
keyakinan, 3) menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,
memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas, dan
28
kelompok, 4) membantu menyediakan keterpuasan dan kekecewaan
terhadap kehidupan modern.
Gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam
waktu lama dan dilakukan secara turun temurun merupakan bagian dari
sebuah tradisi. Tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan. Tradisi dan budaya
merupakan beberapa hal yang menjadi sumber dari akhlak dan budi
pekerti. Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia
yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-
temurun dimulai dari nenek moyang. Secara formal, budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai sikap, makna, hirarki agama, waktu, peranan, hubungan ruang,
konsep alam semesta, obyek-obyek materi dan milik yang diperoleh
sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha
individu dan kelompok.
Tradisi dapat di artikan sebagai warisan yang benar atau warisan
masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang
bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja (Sztompka, 2007:
69). Dari pemaham tersebut maka apapun yang dilakukan oleh manusia
secara turun temurun dari setiap aspek kehidupannya yang merupakan
upaya untuk meringankan hidup manusia dapat dikatakan sebagai
“tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi bagian dari
kebudayaan. Secara khusus tradisi oleh Peursen diterjemahkan sebagai
29
proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-
kaidah, harta-harta (Pursen, 1988: 11).
Tradisi dapat dirubah, diangkat, ditolak dan dipadukan dengan
aneka ragam perbuatan manusia. Lebih khusus tradisi yang dapat
melahirkan kebudayaan masyarakat dapat diketahui dari wujud tradisi
itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai
paling sedikit tiga wujud, yaitu:
1) Wujud Kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
(Mattulada, 1997: 1).
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki
kesamaan budaya, wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu
hubungan sosial yang terstruktur. Masyarakat mewariskan masa lalunya
melalui:
1) Tradisi dan adat istiadat (nilai, norma yang mengatur perilaku dan
hubungan antar individu dalam kelompok). Adat istiadat yang
berkembang di suatu masyarakat harus dipatuhi oleh anggota
masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat sebagai sarana
mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan tidak sama
persis dengan yang terjadi di masa lalu tetapi mengalami berbagai
30
perubahan sesuai perkembangan zaman. Masa lalu sebagai dasar
untuk terus dikembangkan dan diperbaharui.
2) Nasehat dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga
nasehat tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan
kemudian disampaikan secara lisan turun temurun dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.
3) Peranan orang yang dituakan (pemimpin kelompok yang memiliki
kemampuan lebih dalam menaklukkan alam) dalam masyarakat.
4) Membuat suatu peringgatan kepada semua anggota kelompok
masyarakat berupa lukisan serta perkakas sebagai alat bantu hidup
serta bangunan tugu atau makam. Semuanya itu dapat diwariskan
kepada generasi selanjutnya hanya dengan melihatnya.
5) Kepercayaan terhadap roh-roh serta arwah nenek moyang dapat
termasuk sejarah lisan sebab meninggalkan bukti sejarah berupa
benda-benda dan bangunan yang mereka buat. Menurut arti yang
lebih lengkap bahwa tradisi mencakup kelangsungan masa lalu
dimasa kini ketimbang sekedar menunjukan fakta bahwa masa kini
berasal dari merupakan dibuang atau dilupakan.
Maka di sini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar
tersisa dari masa lalu. Hal ini sama dengan apa yang dikatakan Shils.
keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu
namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak,
“Tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari
masa lalu ke masa kini” (Sztompka, 2007: 70).
31
Tradisi sebagai suatu sistem menyediakan seperangkat model
untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan
utama. Tradisi juga merupakan suatu sistem yang menyeluruh, yang
terdiri dari cara aspek yang pemberian arti perilaku ajaran, perilaku
ritual dan beberapa jenis perilaku lainnya dari manusia atau sejumlah
manusia yang melakukan tindakan satu dengan yang lain. Unsur
terkecil dari sistem tersebut adalah simbol. Simbol meliputi simbol
konstitutif (yang berbentuk kepercayaan), simbol penilaian norma, dan
sistem ekspresif (simbol yang menyangkut pengungkapan perasaan).
Jadi yang menjadi hal penting dalam memahami tradisi adalah
sikap atau orientasi pikiran atau benda material atau gagasan yang
berasal dari masa lalu yang dipungut orang dimasa kini. Sikap dan
orientasi ini menempati bagian khusus dari keseluruhan warisan historis
dan mengangkatnya menjadi tradisi. Arti penting penghormatan atau
penerimaan Sesuatu yang secara sosial ditetapkan sebagai tradisi
menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi itu.
B. Fungsi Tradisi
Menurut Shils “Manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski
mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka” (Sztompka,
2007:74). Maka Shils Menegaskan, suatu tradisi itu memiliki fungsi
bagi masyarakat antara lain:
1) Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-
temurun. Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma dan
nilai yang kita anut kini serta di dalam benda yang diciptakan di
32
masa lalu. Tradisi pun menyediakan fragmen warisan historis yang
kita pandang bermanfaat. Tradisi seperti onggokan gagasan dan
material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan
untuk membangun masa depan.
2) Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,
pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan
pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Salah satu sumber
legitimasi terdapat dalam tradisi. Biasa dikatakan: “selalu seperti
itu” atau orang selalu mempunyai keyakinan demikian” meski
dengan resiko yang paradoksal yakni bahwa tindakan tertentu
hanya akan dilakukan karena orang lain melakukan hal yang sama
di masa lalu atau keyakinan tertentu diterima semata-mata karena
mereka telah menerima sebelumnya.
3) Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,
memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan
kelompok. Tradisi daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya
yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu.
4) Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, kekecewaan
dan ketidakpuasan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan
masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti
kebanggaan bila masyarakat berada dalam krisis (Sztompka, 2007:
75-76).
33
C. Unsur-unsur Tradisi (Kebudayaan)
Menurut Clyde Kluckhohn dalam bukunya yang berjudul
Universal Categories of Culture (1953: 507-523) ada tujuh unsur
kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia.
Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari setiap
kebudayaan di dunia yaitu:
1) Bahasa
Bahasa menduduki porsi paling penting dalam analisa
Kebudayaan manusia. Kemampuan manusia dalam membangun
tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial
yang diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada
generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa.
Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem
perlambangan manusia secara lisan maupun tertulis untuk
berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari
bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan
beserta variasi-variasi dari bahasa.
2) Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan memiliki batasan yang sangat luas
karena mencakup oengetahuan masyarakat tentang berbagai unsur
yang digunakan dalam kehidupan. Sistem pengetahuan dalam
kultural universal berkaitan dengan sistem peralatanhidup dan
teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrakdan berwujud
dalam ide manusia.
34
Menurut Koentjaraningrat, setiap suku bangsa didunia
memiliki pengetahuan mengenai alam sekitar, tumbuhan yang
tumbuh di daerah sekitar tempat tinggal, binatan yang hidup
disekitar, zat-zat bahan mentah, tubuh manusia, sifat dan tingkah
laku manusia, dan ruang dan waktu.
3) Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan
Menurut Koentjaraningrat, setiap kelompok masyarakat
kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai
berbagai macam kesatuan didalam lingkungan di mana dia
hidupdan bergaul setiap hari. Kesatuan sosial yang paling dekat
dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan
kerabat lainnya. Selanjutnya manusia digolongkan ke dalam
tingkatan-tingkatan geografis yang membentuk organisasi sosial
dalam kehidupan.
4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha mempertahankan hidupnya sehingga
mereka akan selalu membuat peralatan atau benda-benda untuk
memenuhi kebutuhan peralatan. Dalam memahami kebudayaan
manusia berdasar pada unsur teknologi yang dipakai suatu
masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan
hidupdengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Ulasan
ini merupakan bahasan kebudayaan yang bersifat fisik.
35
5) Sistem Mata Pencaharian Hidup
Aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian
yang sangat penting. Sistem mata pencaharian mengkaji tentang
bagaiman cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau
sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Sistem ekonomi pada masyarakat tradisional ialah:
Berburu dan Meramu
Beternak
Bercocok tanam
Menangkap ikan
Bercocok tanam menetap dengan sistem irigasi
Sistem mata pencaharian atau ekonomi masyarakat saat ini
sangat sedikit yang mengarah di sektor pertanian. Pada saat ini
pekerjaan menjadi karyawan kantor menjadi sumber penghasilan
utama dalam memenuhi kebutuhan hidup. Setelah
berkembangnnya modernisasi dan industri telah mengubah pola
hidup manusiauntuk tidak mengandalkan mata pencaharian
hidupnya dari subsistensi hasil produksi pertanian.
6) Sistem Religi
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan
fungsi religi dalam masyarakat ialah adanya pertanyaan mengapa
manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan supranatural yang
dianggap lebih tinggi dari pada manusia dan mengapa manusia itu
36
melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural.
7) Kesenian
Unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada
teknik-teknik dan proses pembuatan benda seni.
Ketujuh unsur ini akan bisa kita temukan dalam setiap keadaan
masyarakat di dunia. Unsur-unsur ini merupakan perwujudan usaha
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara eksistensi diri
dan kelompoknya (Koentjaraningrat, 1990: 202-204).
2.1.2. Perubahan Sosial Kebudayaan
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan sosial yang
terjadi di dalam struktur dan fungsi masyarakat. Wilbert Moore
memandang perubahan sosial sebagai perubahan struktur sosial, pola
perilaku dan interakasi sosial. Sedangkan Menurut Mac Iver, perubahan
sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial atau
sebagai perubahan terhadap keseimbangan (Laurer, 1993: 289).
Perubahan menurut di mensi interaksional mengacu kepada
perubahan sosial di dalam masyarakat. Perubahan yang menyangkut
kehidupan manusia di sebut perubahan sosial mengenai nilai-nilai sosial,
nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Perubahan sosial merupakan suatu proses sosial yang di alami oleh
anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem
37
sosial, di mana semua tingkat kehidupan masyarakat secara suka rela atau
di pengaruhi oleh unsurmenyesuaikan diri dan menggunakan pola-pola
kehidupan, budaya, dan sistem sosial yang baru (Bungin, 1994: 123).
Dalam kehidupan manusia terdapat sebuah pandangan tentang segolongan
atau sekelompok yang mempunyai rasa membangun di mana selalu
menginginkan adanya kemajuan-kemajuan dan perombakan-perombakan
sesuai tuntutan zaman.
Menurut Soekanto (dalam Jacobus Ranjabar 2008: 15) menegaskan
bahwa perubahan sosial masih dalam terikat pada uraian sejarah pemikiran
sosiologi tentang perubahan sosial untuk semua gejala dengan merujuk
kepada pendapat William F. Ogburn, dengan mengemukakan ruang
lingkup perubahan sosial meliputi unsure-unsur baik yang material, yang
di tekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material
terhadap unsureunsur immaterial. Sedangkan menurut Koentjaranigrat
adalah “segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku
diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”.
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada
masyarakat yang mencakup perubahan dalam aspek-aspek struktur dari
suatu masyarakat, atau karena terjadinya perubahan dari faktor
lingkungan, dikarenakan berubahnya sistem komposisi penduduk, keadaan
geografis, serta berubahnya sistem hubungan sosial, maupun perubahan
pada lembaga kemasyarakatannya. Perubahan ini menyangkut pada
38
seluruh segmen yang terjadi di masyarakat pada waktu tertentu. Perubahan
sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi
merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan
bersama yang diambil oleh anggota masyarakat.
Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik
untuk memahami perubahan sosial. Hal ini menunjukan bahwa betapa
luasnya bidangbidang yang mungkin mengalami perubahan. Oleh karena
perubahan pada masyarakat berarti juga perubahan pada kebudayaan,
maka tidak mudah untuk mengemukakan batasanya secara ringkas dan
terperinci karena bidang kajianya cukup luas.
Kendala yang cukup serius dalam hubunganya dengan proses
perubahan masyarakat yang semakin cepat adalah ketertinggalan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi baru, sehingga upaya dalam
mengimbangi tuntutan kecepatan perubahan itu mengalami keterlambatan.
Keterlambatan perubahan ini terjadi karena dalam proses perubahan
masyarakat yang semakin cepat terdapat kumulasi benturan budaya dan
kepentingan hidup, di satu pihak masyarakat berjuang sekuat tenaga untuk
mempertahankan dan mengembangkan kuantitas kepentingan ekonomi
yang semakin terbatas di pihak lain harga barang dan jasa meningkat,
menurunnya kepercayaan terhadap penguasa dan eksistensi hukum.
Untuk mengatasi kendala tersebut maka sedikitnya perlu ada 4
upaya tersebut, yaitu pertama, peningkatan lapangan kerja dan potensi
perekonomian masyarakat. kedua, peningkatan keterampilan dan
pengetahuan teknis terhadap pelaku atau aparat pembangunan. ketiga,
39
peningkatan terhadap kualitas nilai-nilai moral agama dan kesadaran
hukum masyarakat dan pelaku pembangunan. keempat, mempertahankan
dan meningkatkan wibawa dan kesadaran hukum pemerintah dengan
memberikan teladan perilaku yang baik dan benar sesuai dengan cita-cita
pembangunan nasional. Jika keempat upaya ini dapat diterapkan secara
konsekuen, maka di harapkan usaha penyesuaian dan pengusahaan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi relatif lebih mudah, sehingga
perubahan dapat di lakukan secara terencana dan terarah sesuai dengan
cita-cita dan pembangunan yaitu kesejahteraan masyarakat secara luas dan
umum. Unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan budaya dan
sistem sosial lama kemusian.
Menurut Munandar (Ridwan, 1998: 58-59) Perubahan menurut di
mensi interaksional mengacu kepada perubahan sosial di dalam
masyarakat, yang diidentifikasikan dalam frekuensi, seperti; yaitu;
pertama, perubahan dalam frekuensi, frekuensinya, jumlah kontinuitas
sampai pada hal-hal yang bertentangan. Kedua, perubahan dan jarak
sosial, seperti; hubungan intim, hubungan formal dan informal, dan
perubahan dalam arah yang berlawanan. Ketiga adalah perubahan
perantaraan (saluran) seperti; perlakuan partisipan di dalam suatu
hubungan mempribadi sebagai tujuan akhir, berubah maknanya menjadi
impersonal atau perubahan yang arahnya pertentangan. Keempat,
perubahan dari aturan atau pola-pola seperti; hubungan antara status yang
tidak sama dengan arah yang horizontal menjadi pergaulan status yang
tidak sama dan arah hubungannya vertical atau berubah dalam arah
40
berlawanan. kelima perubahan dalam bentuk seperti dalam pola hubungan
solidaritas atau sama-sama, meskipun perangkat struktur lengkap, maka
akan terpecah melalui sikap pengalaman yang bermusuhan, persaingan dan
konflik, atau berubah arah lawanan.
Ciri-Ciri Perubahan Sosial Menurut Jacobus Ranjabar (2008: 58-
63) ciri perubahan sosial yaitu:
Diferential social organization.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong
perubahan pemikiran ideologi, politik dan ekonomi.
Mobilitas
Culture conflict
Perubahan yang direncanakan dan perubahan yang tidak
direncanakan
Kontroversi (Pertentangan).
2.1.3. Solidaritas Sosial
Secara terminologis kata "solidaritas" berasal dari bahasa Latin
solidus "solis". Kata ini dipakai dalam sistem sosial yang berhubungan
dengan integritas kemasyarakatan melalui kerjasama dan keterlibatan yang
satu dengan yang lainnya. Bentuk dari solidaritas dalam kehidupan
masyarakat berimplikasi pada kekompakan dan keterikatan dari
bagianbagian yang ada. Bangsa Perancis mengaplikasikan terminologi
solidaritas pada keharmonisan sosial, persatuan nasional dan kelas dalam
masyarakat (Daula, 2001: 35).
41
Konsep solidaritas sosial merupakan konsep sentral Emile Durkheim
(1858-1917) dalam mengembangkan teori sosiologi. Durkheim (dalam
Lawang, 1994: 181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu
keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan
pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat
oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada
keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan
bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan
kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan
bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat
hubungan antar mereka.
Solidaritas sosial juga dapat diartikan sebagai wujud kepedulian
antar sesama kelompok ataupun individu secara bersama yang
menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara indvidu dan atau
kelompok yang di dasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama,
dan kepercayaan yang dianut serta di perkuat oleh pengalaman emosional
bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang
dibuat atas persetujuan rasional (Jhonson, 1994: 181).
Solidaritas sosial dapat terjadi karena adanya berbagai macam
kesamaan ras, suku dan adanya perasaan yang sama sehingga mereka
mempunyai keinginan kuat dalam memperbaiki keadaanya dan daerah
ataupun lingkungan sekitarnya agar mereka bisa sedikit memperbaiki
keadaan di sekitarnya dengan cara saling membantu satu sama lain
terutama dalam hal pembangunan. Solidaritas sosial juga dipengaruhi
42
adanya interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan cultural, yang pada
dasarnya disebabakan munculnya sentiment komunitas (community
sentiment).
Dilihat dari struktur masyarakatnya, Durkheim mengklasi-fikasikan
solidaritas sosial masyarakat dalam dua kategori, yaitu Solidaritas
Mekanik dan Solidaritas Organik.
a. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif
bersama (collective consciousness), yang menunjuk pada totalitas
kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-
rata ada pada setiap anggota masyarakat. Suatu solidaritas yang
tergantung pada individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan
menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula (Jhonson,
1994: 183).
Solidaritas mekanik memperlihatkan berbagai komponen atau
indikator penting bahwa terdapat kesadaran kolektif yang didasarkan
pada sifat ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan pola
normatif yang sama. Dalam bermasyarakat, manusia hidup bersama dan
berinteraksi satu sama lain sehingga timbul rasa kebersamaan di antara
mereka. Rasa kebersamaan tersebut milik masyarakat yang secara sadar
menimbulkan perasaan kolektif. Perasaan tersebut merupakan akibat
(resultan) dari kebersamaan dan merupakan hasil aksi dan reaksi antara
kesadaran individual. Jika setiap kesadaran individual menggemakan
perasaan kolektif, hal tersebut bersumber dari dorongan khusus yang
43
berasal dari perasaan kolektif yang muncul. Pada saat solidaritas
mekanik memainkan perannya, kepribadian tiap individu hilang karena
ia bukanlah diri individu lagi, melainkan hanya sekedar makhluk
kolektif.
Individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan oleh tekanan
aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung
mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas
penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok
sosialnya. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif
(collective consciousness) yang dipraktekkan masyarakat dalam bentuk
kepercayaan dan sentimen total diantara warga masyarakat. Individu
dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal.
Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek
kehidupan baik sosial, budaya, politik, bahkan kepercayaan atau agama.
b. Solidaritas Organik
Solidaritas organik adalah tipe solidaritas yang didasarkan pada
tingkat saling ketergantunga yang tinggi akibat adanya spesialisasi
dalam hal pembagian kerja. Kuatnya solidaritas organik ditandai
dengan pentingnya hukum yang bersifat restitutif atau memulihkan.
Hukum restitutive ini berfungsi untuk mempertahankan dan melindungi
pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu
yang terspesialisasi (Jhonson, 1994: 184).
Solidaritas organik terjadi dalam masyarakat yang relatif kompleks
kehidupan sosialnya namun terdapat kepentingan bersama atas dasar
44
tertentu. Dalam kelompok sosial terdapat pola antar-relasi yang parsial
dan fungsional, terdapat pembagian kerja yang spesifik, yang pada
gilirannya memunculkan perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan
sebagainya. Perbedaan pola relasi-relasi, dapat membentuk ikatan sosial
dan persatuan melalui pemikiran perlunya kebutuhan kebersamaan yang
diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat
nilai yang bersifat universal. Oleh karena itu ikatan solider tidak lagi
menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang
bersifat parsial.
Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah
besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi. Ketergantungan ini diakibatakan karena spesialisasi yang
tinggi diantara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus
merombak kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis.
Akibatnya kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser.
Karena keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah
ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang
memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut
Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang
semula disandang oleh kesadaran kolektif.
45
Tabel Solidaritas Sosial
Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik
Pembagian kerja rendah Pembagian kerja tinggi
Kesadaran kolektif kuat Kesadaran kolektif lemah
Hukum represif dominan Hukum restitutif dominan
Individualitas rendah Individualitas tinggi
Konsesus terhadap pola-pola
normatif itu penting
Konsesus pada nilai-nilai abstrak
dan umum itu penting
Keterlibatan komunitas dalam
menghukum orang yang
menyimpang
Badan-badan kontrol sosial yang
menghukum orang yang
menyimpang
Secara relatif saling
ketergantungan itu rendah
Saling ketergantungan yang
tinggi
Bersifat primitif atau pedesaan Bersifat industrial - perkotaan
Tabel 2.1.3 : Perbandingan sifat-sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada
solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Suatu kelompok masyarakat dapat menjadi kuat ikatan
solidaritasnya bila memiliki kesamaan agama, suku, adat, budaya, dan
kepentingan. Solidaritas juga bisa terjadi bila semua anggota kelompok
masyarakat dilibatkan dalam kegiatan yang mengharuskan mereka
berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai satu tujuan yang sama.
Solidaritas mekanik masyarakat Desa Sumberkerto dibuktikan dengan
adanya rasa saling memiliki, sukarela, dan gotong royong yang
ditunjukkan masyarakat dalam tradisi Sogukan. Dengan kesadaran
kolektif dalam menjalankan tradisi, masyarakat Desa Sumberkerto
mampu mengembangkan potensi tradisi yang di dalamnya mengandung
makna kebersamaan dan saling tolong menolong sehingga tingkat
solidaritas masyarakat kuat.
46
2.1.4. Pergeseran Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat dengan masyarakat. Herskovits dan
Malinowski (dalam Sartono Kartodirdjo, 1987) mengemukakan bahwa
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri (Cultural-
Determinism). Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang
turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian
disebut sebagai Superorganic. Menurut Eppink, kebudayaan mengandung
keseluruan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta
keseluruan struktur sosial, religius, dan lain-lain.
Semua wujud kebudayaan di dunia (culture universal) diisi oleh
unsur-unsur universal yaitu, bahasa, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan,
religi, dan kesenian. Dalam sistem budaya inti (core culture) yang terdiri
dari sistem nilai yang melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan
yang ideologis.
Semua konsep yang kita perlukan untuk menganalisa proses-proses
pergeseran masyarakat dan kebudayaan, temasuk lapangan penelitian
sosiologi yang disebut dinamika sosial. Konsep yang terpenting ada yang
mengenai proses belajar kebudayaan itu sendiri, yakni internalisasi,
sosialisasi, dan enkulturasi. Selain itu ada proses perkembangan
kebudayaan umat manusia (evolusi kebudayaan) dari bentuk-bentuk
kebudayaan yang sederhana hingga yang makin kompleks. Proses lainnya
adalah proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing yang disebut
47
proses akulturasidan asimilasi. Ada proses pembaharuan (inovasi) yang
berkaitan erat dengan penemuan baru (discovery) dan invention.
2.2. Penelitian Terdahulu
No. Judul Penelitian Hasil Penelitian Relevansi Penelitian 1. Juliati (2016):
Pergeseran Makna Nilai Sosial Tradisi Tolak Bala (Studi Pada Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya)
Hasil Penelitian Skripsi: Adanya pergeseran makna nilai sosial tradisi tolak bala pada masyarakat di Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti terjadinya modernisasi pada masyarakat , kurangnya partisipasi anak muda, dan banyak masuknya para pendatang di Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Barat.
Adanya persamaan yang membahas tentang pergeseran makna tradisi. Perbedaanya adalah lokasi dan obyek penelitian. Penelitian yang akan menjadi obyek dalam penelitian ini adalah masyarakat Suku Madura. Tradisi yang dilakukan penelitian sebelumnya juga berbeda yaitu tradisi yang menyangkutkan budaya dan agama. Sedang penelitian yang akan diteliti adalah tradisi yang menyangkut pada budaya dan perilaku.
2. Adelagustin Ratna Indriyani (2015): Pergeseran Tradisi Megengan (Studi Tentang Pergeseran Tradisi Megengan di Ndalem Mangkubumen)
Hasil Penelitian Skripsi: Pergeseran terbentuk karena ada penyesuaian tradisi dengan perkembangan jaman. Bentuk pergeseran yang tampak antara lain arti filosofi, tata cara pelaksanaan, waktu pelaksanaan, nilai yang terkandung serta rangkaian dalam sesaji tradisi Megengan. Pergeseran tersebut memunculkan pola tindakan baru pada masyarakat Ndalem Mangkubumen saat melaksanakan tradisi Megengan.
Adanya persamaan dalam hal pergeseran makna tradisi dalam suatu masyarakat. Perbedaannya pada analilis teori yang digunakan. Penelitian terdahulu menggunakan teori Rasionalitas dan teori komodifikasi. Metode yang yang digunakan penelitian terdahulu memiliki kesamaan deng penelitian yang akan diteliti.
48
2. Basid Ridhowan (2014): Resiprositas Dalam Tradisi Buwuh (Studi Kasus di Desa kaliaman, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara)
Hasil Penelitian Skripsi: Perbedaan intensitas dalam menyelenggarakan hajatan, disikapi oleh para pelaku tradisi Buwuh dengan memperkirakan kesempatan menyelenggarakan hajatan yang dimiliki oleh masing- masing individu. Tradisi Buwuh berperan dalam meringankan beban seseorang yang sedang menyelenggarakan hajatan. Dalam proses perkembangannya, terdapat beberapa perubahan dalam tradisi Buwuh yaitu pergeseran makna memberikan Buwuh yang sekarang ini telah berisikan pamrih, perubahan bentuk barang yang diberikan sebagai Buwuh, serta semakin sempitnya lingkup seseorang dalam memberikan Buwuh.
Adanya persamaan dalam hal perubahan tradisi hanya saja berbeda dalam konteks tradisi. Selain itu persamaan akan penyelenggaraan buwuhan dan Sogukan memiliki tujuan yang sama yaitu awalnya bentuk solidaritas menjadi sebuah timbal balik dan menunjukkan status sosial seseorang. Teori dalam penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan dalam hal analisis.
3. Inglehart, R., & Baker, W. (2000). Modernization, Cultural Change, and the Persistence of Traditional Values
Hasil penelitian Jurnal: menunjukkan bahwa Perubahan keadaan suatu kebudayaan di dasarkan pada suatu Pembangunan ekonomi.pembangunan ekonomi inilah yang akan membawa pergeseran jauh dari norma-norma dan nilai-nilai yang absolut terhadap nilai-nilai yang semakin rasional, toleran, percaya, dan partisipatif. Perubahan atau bergesernya suatu kebudayaan ini tergantung dari pikiran masyarakatnya.
Penelitian terdahulu menunjukkan adanya suatu perubahan dalam kebudayaan yang sama dengan yang akan peneliti teliti yaitu adanya perubahan dalam suatu kebudayaan. Perbedaannya terletak pada pengunaan teori. Teori yang digunakan oleh penelitian terdahulu menggunakan teori modernisasi. Sedangkan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori Interaksionalisme simbolik.
49
2.3. Landasan Teori Interaksionisme Simbolik (Herbert Blumer)
Menurut Blumer (1987: 264) dalam Soetomo (2008: 124), memandang
bahwa manusia sebagai actor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan objek-
objek melalui apa yang diketahuinya. Seperti yang disebut oleh Blumer sebagai
Self Indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu
mengetahui sesuatu, menilainya, membernya makna dan memikirkan untuk
bertindak sesuai makna. Blumer mengemukakan istilah interaksionisme simbolik
pada tahun 1937 dan menulis esai penting dalam perkembangannya.
Interaksionisme simbolik Blumer merujuk pada suatu karakter interaksi khusus
yang berlangsung antar-manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap
tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan
orang lain. Respon aktor selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh
karenanya interaksi pada manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol
penafsiran atau menemukan makna tindakan orang lain.
Interaksionis simbolik telah dijadikan salah satu pendekatan sosiologis oleh
Herbert Blumer dan George Herbert Mead, yang berpandangan bahwa manusia
adalah individu yang berpikir, berperasaan, memberikan pengertian pada setiap
keadaan, yang melahirkan reaksi dan interpretasi kepada setiap rangsangan yang
dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan melalui interpretasi simbol-simbol atau
komunikasi bermakna yang dilakukan melalui gerak, bahasa, rasa simpati, empati,
dan melahirkan tingkah laku lainnya yang menunjukan reaksi atau respon
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang kepada dirinya (Salim, 2008: 11).
Dalam melakukan suatu interaksi, maka gerak, bahasa, dan rasa simpati sangat
menentukan, apalagi berinteraksi dalam masyarakat yang berbeda suku dan
50
kebudayaan. Modal utama dalam melakukan interaksi dalam masyarakat multi
etnik adalah saling memahami kebiasaan ataupun kebudayaan dari orang lain,
sehingga kesalah-pahaman yang nantinya akan menimbulkan konflik dapat
dinetralisir.
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya
dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang
merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi
makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan
bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks
ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah
suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan
perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial
dan kekuatan sosial (Mulyana, 2002: 68-70).
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik,
yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought).
Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep “diri” seseorang dan
sosialisasinya kepada “komunitas” yang lebih besar yaitu masyarakat. Herbert
Blumer mengemukakan interaksionisme simbolik sebagai suatu perspektif
bertumpu pada 3 premis yang masing-masing membentuk anatomi teori tersendiri
dan terintgral dalam satu kajian. Premis tersebut, antara lain:
51
1) Manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya
pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan
kepada pihak lain.
2) Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan
orang lain. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang
dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat
pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna berasal dari
hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)
dalam perspektif interaksionisme simbolik.
3) Makna-makna yang muncul dari simbol-simbol yang dimodifikasi
dan ditangani melalui proses penafsiran tersebut yang digunakan
oleh setiap individu disempurnakan disaat interaksi sosial
berlangsung. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses
berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir
ini sendiri bersifat refleksif. Cara bagaimana manusia berpikir
banyak ditentukan oleh praktek bahasa.
Interaksionisme Simbolik yang diketengahkan oleh Blumer yang
mengandung pokok pandangan yang mengkerucut pada proses interpretasi
yang utama untuk pembentukan suatu makna. Sesuatu ini tidak
mempunyai makna yang intrinsik karena makna yang dikenakan pada
sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. Bagi Blumer,
“sesuatu” itu bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan
seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut
“dimaknakan”. Menurut Blumer, sebelum memberikan makna atas
52
sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah
mental, seperti memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan,
memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi,
posisi, dan arah tindakannya. Pemberian makna tidak didasarkan pada
makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses
olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi
instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan
sikap aktor atas sesuatu tersebut.
Tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar”, tidak pula
disebabkan oleh “kekuatan dalam”, tetapi didasarkan pada pemaknaan atas
sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut sebagai
self-indication. Proses self-indication terjadi dalam konteks sosial di mana
individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan
tindakannya sesuai dengan pemaknaan atas tindakan itu.
Blumer mengatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh
penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna
dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana
model stimulus-respons (Kamanto, 2000: 185). Makna dari simbol-simbol
merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat. Individu dan
masyarakat merupakan aktor dalam interaksi simbolik yang tidak dapat
dipisahkan. Tindakan individu tidak ditentukan oleh individu itu sendiri,
juga tidak ditentukan oleh masyarakat, namun oleh pengaruh keduanya.
Dengan kata lain, tindakan seseorang adalah hasil dari “internal dan
eksternal stimulasi” (Sarmini, 2002: 53).
53
Dari teori interaksionalisme simbolik diatas kaitanya dengan
Pergeseran Makna Tradisi Sogukan Pada Masyarakat Suku Madura di
Desa Sumberkerto Kecamatan Pagak Kabupaten Malang adalah pada teori
Interaksionalisme Simbolik terdapat simbol, makna, interaksi dan tindakan
yang juga terdapat pada tradisi Sogukan sehingga Pergeseran Makna
Tradisi Sogukan Pada Masyarakat Suku Madura ini dapat dijelaskan
memakai teori dari Blumer.
Pada saat ini makna tradisi Sogukan telah bergeser, apabila dahulu
makna tradisi Sogukan menjunjung tinggi nilai solidaritas sosial sesama
masyarakat entis Madura kini makna tradisi Sogukan hanya sekedar acara
timbal balik pada acara selebrasi Sogukan.