Bab ii
-
Upload
obor-2 -
Category
Data & Analytics
-
view
937 -
download
12
description
Transcript of Bab ii
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Hassan Al-Haj Ibrahim (2010), Model dari fired heaters secara umum
didasarkan pada dua bagian pemanas. Dalam tiap bagian terdapat tiga elemen
pemindah panas yang benar-benar dibutuhkan. Mereka adalah flue gas, fluida
kerja dan perubahan panas permukaan termasuk pada pipa-pipa dan dinding
refractory dari pemanas. Tambahan lain untuk menghitung area perubahan panas
dan laju perpindahan panas dari fluida kerja, variabel-variabel utama lainnya yang
mendukung sebagai dasar ketetapan dari kinerja pemanas (heater). Yang termasuk
diantaranya ialah :
1. Fluida kerja dan temperatur flue gas
2. Nyala api dan temperatur permukaan luar (tube skin) atau temperatur
dinding pipa.
3. Laju aliran fluida kerja
4. Laju aliran bahan bakar dan komposisi
5. Perbedaan tekanan fluida kerja dan tekanan dalam pemanas dan cerobong
(stack)
Garg, Ashutosh., (2010), berpendapat bahwa meningkatkan efisiensi dari
fire heater dapat dilakukan tanpa memodifikasi secara besar-besaran. Dengan
mengontrol draft dan excess O2 di dalam fire heater akan mengurangi konsumsi
bahan bakar dan emisi gas NOx. Saya sangat merekomendasikan adanya
pemasangan “The Automatic Control of Draft” dan menggunakan “Heater
6
7
performance Index (HPI)”. Pada dasarnya dengan mengontrol kedua perangkat
tersebut, akan menambah efisiensi dari pemanas anda, memperpanjang umur
peralatan dan mengoptimalkan kinerjanya.
Wardana (2008), berpendapat pembakaran sendiri adalah suatu proses
reaksi antara bahan bakar dan oksidator (segala substansi yang mengandung
oksigen) yang berlangsung sangat cepat dan menghasilkan energi panas
(eksoterm) disertai cahaya (nyala api). Proses pembakaran bisa berlangsung jika
terdapat bahan bakar (bahan yang dapat terbakar), pengoksidasi (oksigen atau
udara), dan panas atau energi aktivasi.
Julie Buffam dan Kevin Cox (2008), dalam penelitiannya didapatkan
bahwa pada campuran bahan bakar dan udara atau Air Fuel Ratio (AFR)
stoikiometri menghasilkan kecepatan pembakaran dengan nilai tertinggi.
Takahashi, Fumiaki & Schmoll, W. John. (1990), Kecepatan
pembakaran adalah merupakan salah satu karakteristik api yang nantinya juga
akan mempengaruhi stabilitas api. Stabilitas api berkaitan erat dengan kondisi
nyala api tersebut dimana salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas api
adalah bentuk ruang bakar (geometri burner).
Adi Surjosatyo (2010), Penggunaan conical flame stabilizer pada gas
burner akan menyebabkan panjang api lebih pendek, suhu api lebih tinggi, api
lebih stabil dan kandungan CO yang lebih rendah. Validasi pada gas burner
menggunakan conical flame stabilizer menunjukkan hasil eksperimen dan
simulasi hampir mendekati hal terlihat pada distribusi temperatur, komposisi CO
dan bentuk api dalam ruang bakar.
8
Surjosatyo, Adi., Nasir, Farid (2003), melakukan penelitian simulasi 3D
mengunakan CFD pada swirl gas burner dengan variasi sudut vane 20, dan 40,
fluida kerja yang digunakan adalah udara. Hasil penelitian menunjukkan semakin
besar sudut swirl semakin meningkat kecepatan udara tangensial yang selanjutnya
akan menyebabkan peningkatan stabilitas api jika terjadi proses pembakaran.
Bode, Florin, Hodor, Victor, (2007), melakukan simulasi 2D
menggunakan CFD dan model aliran turbulen RNG K-ε pada swirl gas burner
dengan kondisi tanpa reaksi campuran gas CH4 dan udara untuk melihat
fenomena pola percampuran pada aliran. Hasil penelitian menunjukkan model
turbulen RNG K-ε memberikan hasil yang memuaskan dalam memprediksi pola
percampuran aliran.
Hodor, Victor., Bode, Florin., (2007), melakukan simulasi 2D
Gasodynamyk burner dengan dua geometri berbeda untuk mendapatkan metode
percampuran CH4 dan udara. Hasil penelitianya menunjukkan desain burner yang
baik memiliki kontur tekanan keluar yang lebih besar dari kerugian tekanan pada
flue gas melewati chamber.
Chimno, G., Di Nardo, A., (2006), melakukan penelitian simulasi 2D
menggunakan CFD pada Duct Gas burner menggunakan bluff body berbahan
bakar CH4. Hasil penelitian menunjukkan burner dengan sudut bluff body 600
menunjukkan peningkatan kecepatan lebih baik dan stabilitas flame lebih baik.
Mohammad Hadi Bordbar and Timo Hyppänen, (2007), Metode
daerah (zone method) adalah salah satu metode paling akurat dalam simulasi
perpindahan panas secara radiasi dalam furnace pada industri, tetapi ini tidak
dapat diaplikasikan pada semua furnace. Geometri komplek pada furnace yang
9
sebenarnya sebaiknya diganti dengan bentuk-bentuk sederhana yang lebih cocok
dengan metode daerah (zone method). Metode ini membutuhkan kekuatan yang
tinggi dalam perhitungan numerik, dan mampu menemukan ukuran terbaik pada
zona yang merupakan salah satu dari kriteria umum dalam metode ini. Memilih
ukuran meshing yang amat kecil akan memudahkan untuk perhitungan numerik
yang amat komplek, dapat meningkatkan jumlah potongan dan meminimalisir
kesalahan selama perhitungan, sedangkan struktur mesh yang amat kasar tidak
akan cukup untuk menjelaskan detail dari fenomena perpindahan panas di dalam
furnace.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Hot oil System
Dalam proses pengolahan minyak dasar (lube base), setiap unit
menggunakan dapur sebagai sumber panas. Hot oil system dirancang untuk
mensuplai panas secara kontinyu dalam proses Propane Deasphalting Unit
(PDU), Fulfural Extraction Unit (FEU), Methyl Dewaxing Unit (MDU), fuel
oil system dan sejumlah tangki bitumen. Hot oil adalah minyak dari fraksi
lumas yang dipanaskan pada suatu dapur hingga mencapai temperatur
tertentu.
Dalam operasinya hot oil yang digunakan minyak sejenis SPO yang
dihasilkan dari High Vacuum Unit (HVU) yang disirkulasikan secara optimal
ke seksi recovery.
Pada proses Hot oil system ini hanya terjadi perpindahan panas
pembakaran ke minyak tanpa adanya perubahan fase dan memanfaatkan
panas yang dibawa oleh minyak untuk memanaskan unit-unit lainnya. Prinsip
10
operasinya adalah dengan mensirkulasikan minyak dari Vessel, dimana
minyak yang digunakan adalah Spindle oil. Untuk mengatasi terjadinya
degradasi pada minyak yang digunakan akibat pemanasan yang tinggi secara
terus menerus, maka dilakukan penggantian dengan laju aliran 0,2 T/H atau
4,8T/H. Selain itu, untuk mencegah perengkahan, maka pada Hot oil Surge
vessel selalu diselimuti dengan fuel gas yang bertekanan kurang lebih 2
kg/cm2.
Jenis minyak yang digunakan sebagai media sirkulasi adalah fraksi
distilat yang mempunyai spesifikasi sama dengan minyak lumas jenis Spindel
Oil, yaitu:
S.g 700C : 0,9138
Viskositas : 5,166 mm2/s
Flash point : 2200C
Sulfur (%berat) max : 2,29
TBP (0C)
- 10 % recovery : 408
- 30 % recovery : 417
- 50 % recovery : 422
- 70 % recovery : 426
- 90 % recovery : 433
11
2.2.2 Furnace Tipe Box (Horizontal)
Furnace Tipe Box (Horizontal) merupakan salah satu furnace yang
terdapat pada kilang Lube Oil Complex II PT. Pertamina RU IV Cilacap yang
bekerja untuk memanaskan fluida yang digunakan pada hot oil system.
a. Prinsip kerja Furnace
Pada dasarnya proses perpindahan panas yang terjadi pada
furnace lebih banyak menggunakan panas radiasi, kemudian konveksi
dan terjadi perpindahan panas konduksi pada tube menuju fluida yang
mengalir di dalam tube. Fluida tersebut dialirkan melalui bagian dalam
tube yang tersusun horizontal atau vertikal di dinding samping, atau atas
dari ruang pembakaran.
Fluida yang dipanaskan umumnya dialirkan terlebih dahulu
melalui seksi konveksi (convection section) yang terletak di ruang bakar
dan cerobong, agar memanfaatkan panas yang terdapat di dalam gas hasil
pembakaran. Selanjutnya dialirkan ke dalam seksi radiasi (Radiant
section). Besarnya beban panas yang harus diberikan oleh furnace
kepada fluida yang dipanaskan tergantung dari jumlah umpan / fluida
yang mengalir dan perbedaan temperatur masuk dan keluar umpan yang
ingin dicapai. Semakin besar perbedaan temperatur dan semakin banyak
jumlah umpan, maka beban furnace akan semakin tinggi.
Suatu furnace dapat bekerja secara optimal apabila :
1. Terjadi reaksi pembakaran secara sempurna.
2. Panas hasil pembakaran dalam furnace merata.
12
3. Permukaan tube bagian luar dan dalam harus bersih dan tidak
terdapat coke pada bagian dalam tube.
4. Minimalnya kebocoran atau kehilangan panas.
5. Pemanasan stabil dan baik dalam interval waktu yang dikehendaki
(burner harus dibersihkan secara parsial dan rutin agar tidak
tersumbat)
b. Bagian-bagian utama pada furnace
Furnace terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :
1. Heating coil
Adalah rangkaian susunan tube menjadi coil dan di tempatkan pada
radiant section dan convection section. Radiant section adalah
ruangan tempat tube di dalam furnace, dimana tube tersebut
langsung mendapat panas dari nyala api burner secara radiasi.
Sedangkan Convection section adalah ruangan tempat tube di dalam
furnace yang dilalui oleh flue gas sebagai pemanasnya dan
menerima perpindahan panas secara konveksi.
Pada furnace ini terdapat dua jenis pipa yang digunakan yaitu :
Convection Tube
Pada pipa ini berada pada convection section, dimana proses
perpindahan panas yang terjadi secara konveksi. Pipa ini
memeiliki fin atau sirip yang berfungsi memperbesar luas
permukaan agar laju perpindahan panas yang ditangkap lebih
besar.
13
Ada 2 tipe sirip yang sering digunakan, yaitu :
- Serrated Fin : memiliki ketebalan sekitar 1-5 mm dan
ketinggian 0,25 dan kerapatan 2-7 sirip per inch.
- Stud fin : sirip berbentuk paku yang melekat tegak lurus
pada permukaan pipa. Ukuran paku dengan diameter
berkisar 10-13 mm, tinggi 0,5”-0,2” dan kerapatan
maksimum 3 sirip per inch.
Gambar 2.1 Pipa Jenis Stud fin tube (Studded tube)
(Sumber : www. lpspa.it)
Gambar 2.2 Serrated fin tube
(Sumber : http://202.67.224.132/pdimage/)
14
Radiant Tube (Bare Tube)
Pipa yang menerima panas langsung dari nyala api di radiant
section maupun pantulan panas dari batu tahan api. Pada pipa ini
dipasang thermocouple untuk mengendalikan tube skin
temperature. Tube ini menempel di pada dinding furnace
dengan penyangga.
Gambar 2.3 Radiant Tube
(Sumber : http://www.new-ti.com)
Material yang digunakan untuk membuat tube merupakan jenis
austentik stainless steel yang memiliki kelebihan tahan temperatur
yang tinggi dan korosi .
2. Setting
Adalah peralatan yang dipasang dan ditempatkan pada furnace.
Adapun bagian – bagian dari Setting terdiri dari :
Enclosure (Housing) terdiri dari ;
- Dinding refractory, dipasang pada bagian dalam furnace dan
boiler. Berfungsi untuk menahan panas agar tidak keluar dari
15
furnace sehingga heat loss dapat diminimalisir, selain itu juga
berfungsi sebagai pelindung material penahan bagian luar.
Dalam aplikasinya batu tahan api direkatkan dengan semen
tahan api (fire mortar).
- Header box, merupakan komponen penyangga tube pada
convection secion.
Supporting members yaitu macam-macam peralatan pendukung
yang dipakai pada furnace, yang diantaranya sebagai berikut :
- Tube hanger, berfungsi sebagai penyangga tube atau pipa pada
dinding furnace.
-
-
-
-
-
-
-
-
Gambar 2.4 Desain Tube Hanger
- Kerangka baja.
- Roof support.
Auxiliary equipment yaitu peralatan tersebut diantaranya adalah :
- Burner, merupakan peralatan untuk memasukkan bahan bakar
dan udara pembakaran ke dalam ruang pembakaran dengan
laju aliran tertentu, pengadukan (turbulence) serta pengaturan
16
rasio bahan bakar / udara yang sesuai untuk menjaga stabilitas
pembakaran.
Gambar 2.5 Burner
(Sumber : http://www.nao.com)
- Air preheater, berfungsi untuk memanfaatkan sisa panas dari
flue gas setelah melewati pipa-pipa di dalam convection
section, untuk memanaskan udara pembakaran yang akan
masuk ke masing-masing burner.
- Soot blower, digunakan untuk membersihkan endapan kotoran
hasil pembakaran yang menempel pada dinding tube di
convection section. Alat ini dilengkapi dengan nozzle dan
spray dari steam/air yang di tembakkan ke tube.
17
Gambar 2.6 Soot Blower
(Sumber:http://www.derekricks.com)
- Instrument control.
- Thermo wells.
- Thermo couple.
- Pressure gauge.
3. Stack
Pada Stack redapat dua komponen utama yaitu stack itu sendiri dan
stack damper.
Stack atau cerobong biasanya dilengkapi dengan stack damper
sebagai penyekat antara stack dengan heating coil. Umumnya
terbuat dari carbon steel plate dan dilapisi dengan dinding semen
dan fire brick yang berfungsi mencegah terjadinya korosi dinding
plate akibat temperatur tinggi dari flue gas dan ikatan yang
sifatnya korosif (SO2 apabila fuel mengandung belerang). Tinggi
rendahnya stack tergantung dari lokasi stack, temperatur flue gas,
18
temperatur luar stack dan beda tekanan. Stack ini memiliki
beberapa fungsi yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Menciptakan natural draft yang besar.
b) Mencegah polusi udara ke lingkungan dari gas hasil
pembakaran yang berbahaya.
Stack Damper adalah plat logam untuk yang bekerja dengan cara
membuka dan menutup aliran flue gas yang keluar. Stack Damper
memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :
a) Mengatur aliran flue gas dari hasil pembakaran yang melalui
stack.
b) Mengatur tekanan (draft) excess air
Gambar 2.7 Stack Damper
(Sumber : http://upload.wikimedia.org )
Keuntungan menggunakan furnace tipe box adalah :
1. Dapat dikembangkan sehingga dapat bersel tiga atau empat.
2. Distribusi panas (fluks kalor) merata di sekeliling pipa.
3. Ekonomis untuk digunakan beban kalor diatas 20 MMKcal/jam.
19
Kerugian menggunakan furnace tipe box adalah :
1. Apabila salah satu aliran fluida dihentikan, maka seluruh operasi
furnace harus dihentikan untuk menghindari pecahnya pipa.
2. Tidak dapat digunakan untuk memanaskan fluida pada temperatur
relatif tinggi dan aliran fluida singkat.
3. Pemeliharaan lebih sulit karena tube tersusun mendatar.
Gambar 2.8 Bagian – bagian furnace tipe box
(Sumber : Hutapea, E., 2004, hal; 14)
20
Gambar 2.9 Skema Tata letak furnace 025F-101
(Sumber : 025F101 Hot Oil Heater Final “As Built” Spesification Sheet,
Sheet ; 13, 1981, Pertamina)
2.2.3 Perpindahan Kalor
Perpindahan kalor atau alih bahang (heat transfer) ialah ilmu untuk
meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu
antara benda atau material. Kebanyakan pembaca tentu sudah mengenal
istilah yang dgunakan untuk menyatakan tiga modus perpindahan kalor, yaitu
Burner Burner
Cell “A” Cell “B”
Radiant Section
Radiant Section
Convection Section
Stack
Pass “1” “2” Pass “7” “8”
“3” “6”
“2”
“4” “5”
“7”
“4” “5”
“6”
“8”
“3”
“1”
21
konduksi atau hantaran, konveksi atau ilian, dan radiasi atau sinaran.
(Holman, 1988)
Terdapat beberapa mekanisme untuk mentransfer panas dari furnace
ke pipa yang selanjutnya panas tersebut akan ditransfer ke fluida yang
terdapat di dalam pipa. Mekanisme terbesar yang terlihat secara signifikan
apabila dilihat dari banyaknya panas yang di transfer ialah melalui radiasi
(Reed, Robert D, (1976). Seperti telah kita ketahui hukum yang mengatur
perpindahan panas secara radiasi, adalah Hukum Stefan-Boltzmann.
Mekanisme yang paling signifikan berikutnya adalah secara konveksi.
Panas akan ditransfer oleh aliran fluida melalui permukaan pipa, dan
selanjutnya panas akan di transfer sesuai dengan hubungan temperatur cairan
yang ada di dalam pipa. Perlu di ingat bahwa fluida yang mengalir adalah gas
panas yang memiliki temperatur gas lebih tinggi daripada temperatur pipa.
Perpindahan panas secara konduksi yang terjadi sangatlah kecil dari
keseluruhan peprindahan panas dalam pelayanan proses, hingga adanya
penggunaan pipa bersirip atau pipa dengan permukaan yang diperluas kini
mulai umum digunakan untuk kepentingan konservasi panas.
Untuk lebih memahami proses perpindahan panas yang terjadi, maka
kita uraikan beberapa proses perpindahan panas yang terjadi diantaranya :
a. Radiasi
Suatu energi dapat dihantarkan dari suatu tempat ke tempat lain
dengan gelombang elektromagnetik dimana energi ini akan diubah
menjadi panas jika energinya diserap oleh benda lain. Perpindahan panas
dari benda panas ke benda dingin seperti hal tersebut diatas dikenal
22
dengan perpindahan panas secara radiasi dan ini tidak memerlukan
medium atau penghantar. Untuk melakanakan proses perpindahan panas
ini diperlukan alat-alat perpindahan panas yang berbagai macam jenisnya
termasuk diantaranya Furnace atau dapur. Menurut Hukum Stefan
Boltzman:
1. Untuk benda hitam sempurna
q=σ . A . T4
2. Untuk benda lain
q=σ . ε . A . T4
dimana :
q= Laju Perpindahan Panas (Btu/jam)
σ = Konst. Boltzmann (1,72 x 10-9 Btu / (0F4)(ft2)(jam))
A= Luas Penampang Permukaan (ft2)
T = Temperatur Absolut (0F)
Di dalam dapur perpindahan panas secara radiasi terjadi pada
radiant section, yakni radiasi panas dari sumber api ke tube-tube dapur.
b. Konduksi
Panas adalah salah satu jenis energi dan seperti energi lainnya
panas dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Konduksi
adalah proses dimana panas mengalir dari daerah yang bersuhu tinggi ke
daerah bersuhu lebih rendah di dalam satu medium atau antara medium-
medium berlainan yang bersinggungan secara langsung. (Frank Kreith,
1997:4)
........................................................... (2.1)
........................................................... (2.2)
23
Laju perpindahan panas konduksi tergantung dari jenis material
konduktornya, beberapa material mempunyai sifat konduktor yang baik
dibandingkan material lainnya. Standar pegukuran laju perpindahan
panas konduksi disebut konduktivitas termal, yang tergantung pada jenis
material konduktor, panjang dari konduktor dan perbedaan temperatur.
Energi berpindah secara konduksi dan laju perpindahan panas
berbanding dengan gradient suhu normal atau dapat dirumuskan
Persamaan dasar konduksi :
qA
≈ δTδx
Konstanta proporsionalitas atau tetapan kesebandingan, didapat
dari :
q=−k∂T∂ x
dimana:
q= Laju Perpindahan Panas (Btu/jam)
∂T = Temperatur Fluida (0F)
∂ x = Jarak (ft)
A= Luas Penampang Permukaan (ft2)
Konstanta positif (+) k disebut konduktivitas, sedangkan tanda
minus (-) diselipkan untuk memenuhi hukum kedua termodinamika yaitu
kalor mengalir ke tempat yang lebih rendah dalam skala suhu. (J.P.
Holman, 1995:12)
........................................................... (2.3)
........................................................... (2.4)
24
Perpindahan panas konduksi terjadi pada dinding luar tube ke dinding
bagian dalam tube.
c. Konveksi
Ada proses perpindahan panas yang dipindahkan dari suatu
tempat ke tempat lainnya dengan gerakan partikel secara fisika. Cara
perpindahan panas semacam ini disebut perpindahan panas secara
konveksi. Perpindahan panas secara konveksi ada dua macam yaitu
perpindahan panas secara konveksi bebas (natural convection) dan
dipaksa (forced convection).
Untuk menyatakan pengaruh konveksi secara keseluruhan
digunakan persamaan dasar konveksi yaitu :
q = h . A . (Tw - T ∞ )
dimana:
q= Laju Perpindahan Panas (Btu/jam)
h= Koefisien Konveksi
(Tw -T ∞ )
= Perbedaan Temperatur (0F)
A= Luas Penampang Permukaan (ft2)
1. Konveksi bebas
Terjadi karena fluida yang mengalami pemanasan dan perubahan
densitas (kerapatan) yang bergeak naik (J. P. Holman, 1995: 295).
Persamaan empiris pada konveksi bebas dikorelasikan dengan (β ):
........................................................... (2.5)
25
β =
ρ∞−ρρ (T−T ∞ )
dan untuk gas ideal
β= 1T
dimana:
ρ = Massa Jenis
T= Temperatur absolut (K)
Bilangan tak berdimensi untuk menghitung konveksi bebas adalah
bilangan Grashof (Gr) dan ditunjukkan pada persamaan :
Gr=g . β . (T w−T ∞) .x3
γ 2
Untuk pipa atau silinder menggunakan persamaan:
Gr=g . β . (T w−T ∞) .d3
γ2
dimana :
γ = Viskositas Kinematik
d = Diameter Pipa
2. Konveksi paksa
Konveksi paksa diakibatkan karena adanya sistem atau sirkulasi
lain dalam mekanisme konveksi. Untuk aliran turbulen yaitu Red >
4000 (J. P. Holman, 1995 :195) yang sudah jadi berkembang penuh
....................................................... (2.6)
................................................. (2.7)
................................................. (2.8)
26
dalam tabung licin, oleh Dittus dan Boelter disarankan
menggunakan persamaan:
Nud = 0,023.Re.0,8.Prn
Untuk aliran laminar yaitu Red < 2000 (J. P. Holman, 1995:255)
yang berkembang penuh dalam tabung, pada suhu tetap disarankan
oleh Husen :
Nud
=3 ,66+0 , 0668 .( di
L ). Red . Prn
1+0 , 04 .[( diL ). Red . Prn ]
23
Untuk 2000 < Red < 4000 (J. P. Holman, 1995:265) termasuk aliran
transisi dan untuk mencari nilai Nuzzle digunakan.
Nud =
0 ,036 Red . 0,8 Pr . di .0 , 055
3 L
dimana :
Nud = Bilangan Nuzzle
di = Diameter Inside
L = Panjang Benda
Di dalam furnace, konveksi terjadi pada convection section dari
flue gas ke tube-tube furnace.
2.2.4 Pembakaran
Proses pembakaran adalah proses atau reaksi oksidasi antara bahan
bakar (fuel) dengan oksigen sebagai oxidator sehingga menimbulkan energi
................................................. (2.9)
.................................... (2.10)
.................................... (2.11)
27
berupa panas dari terbentuknya nyala api serta gas hasil pembakaran.
Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada pasokan oksigen
yang cukup.
a. Pembakaran Tiga T
Tujuan dari pembakaran yang baik adalah melepaskan seluruh
panas yang terdapat dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan dengan
pengontrolan “ tiga T” pembakaran yaitu :
1. Temperature (Suhu) yang cukup tinggi untuk menyalakan dan
menjaga penyalaan bahan bakar,
2. Turbulence (Turbulensi) yakni pencampuran oksigen dan bahan
bakar yang baik,
3. Time (Waktu) yang cukup untuk pembakaran yang sempurna.
Terlalu banyak, atau terlalu sedikitnya bahan bakar pada jumlah
udara pembakaran tertentu, dapat mengakibatkan tidak terbakarnya
bahan bakar dan terbentuknya karbon monoksida. Jumlah O2 tertentu
diperlukan untuk pembakaran yang sempurna dengan tambahan sejumlah
udara (udara berlebih) diperlukan untuk menjamin pembakaran yang
sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan
mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi.
b. Macam-macam pembakaran
Proses pembakaran dapat di klasifikasikan menjadi :
1. Pembakaran Lengkap (Perfect And Complete Combustion)
Adalah proses pembakaran dimana semua atom karbon (C) bereaksi
dengan oksigen membentuk karbondioksida (CO2) dan atom
28
hidrogren bereaksi dengan oksigen membentuk air (H2O), sedangkan
oksigen (O2) yang di pakai tidak tersisa. Contoh :
CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O + energi
2. Pembakaran Lengkap Tidak Sempurna (Complete Combustion)
Adalah proses pembakaran dimana semua atom karbon (C) bereaksi
dengan oksigen membentuk karbondioksida (CO2) dan atom
hidrogren bereaksi dengan oksigen membentuk air (H2O), namun
oksigen (O2) yang di pakai masih tersisa. Contoh :
CH4 + 2,5O2 CO2 + H2O +
12 O2 + energi
Pembakaran ini sering terjadi di dalam furnace, karena reaksi yang
berlangsung sangat cepat dan membutuhkan oksigen dalam jumlah
besar untuk melakukan pembakaran bahan bakar.
3. Pembakaran Tidak Sempurna (Incomplete Combustion)
Adalah proses pembakaran dimana oksigen yang dipakai untuk
reaksi pembakaran jumlahnya tidak mencukupi, sehingga
menghasilkan karbon monoksida. Contoh :
C2H6 + 3O2 CO2 + CO + 3H2O + energi
Pembakaran tak sempurna menghasilkan lebih sedikit kalor. Jadi,
pembakaran tak sempurna mengurangi efisiensi bahan bakar.
Kerugian lain dari pembakaran tak sempurna adalah dihasilkannya
gas karbon monoksida (CO), yang bersifat racun. Oleh karena itu,
pembakaran tak sempurna akan mencemari udara.
4. Pembakaran lain
29
Reaksi pembakaran dengan unsur selain karbon dan hidrogen yang
mungkin akan terjadi pada furnace.
Contoh :
2H2 + O2 2H2O
2H2S + 3O2 2SO2 +2H2O
2CO + O2 2CO2
Terbentuknya oksida belerang tidak diinginkan di dalam furnace,
karena dengan adanya uap air dari flue gas akan menyebabkan
terjadinya asam belerang.
2.2.5 Bahan Bakar
Yang dimaksud bahan bakar adalah substansi yang melepaskan panas
saat di oksidasi yang biasanya mengandung unsur kabon (C) dan hidrogen
(H).
Bahan bakar yang digunakan dalam proses pembakaran furnace
025F-101 menggunakan 2 jenis bahan bakar, yaitu :
a. Bahan Bakar Cair
Bahan bakar cair seperti minyak tungku (furnace oil) dan LSHS
(low sulphur heavy stock) terutama digunakan dalam penggunaan
industri. Berbagai sifat bahan bakar cair diberikan dibawah ini.
1. Densitas
Densitas didefinisikan sebagai perbandingan massa bahan bakar
terhadap volum bahan bakar pada suhu acuan 15oC. Densitas diukur
30
dengan suatu alat yang disebut hydrometer. Pengetahuan mengenai
densitas ini berguna untuk penghitungan kuantitatif dan pengkajian
kualitas penyalaan. Satuan densitas adalah kg/m3.
2. Specific gravity
Didefinisikan sebagai perbandingan berat dari sejumlah volume
minyak bakar terhadap berat air untuk volume yang sama pada suhu
tertentu. Specific gravity untuk berbagai bahan bakar minyak
diberikan dalam tabel dibawah:
Tabel 2.1 Specific Gravity Bahan Bakar Minyak
(diambil dari Thermax India Ltd.)
No Jenis Bahan Bakar Minyak Specific Gravity
1 Minyak Diesel Ringan (LDO) 0,85 – 0,87
2 Furnace oil 0,89 – 0,95
3 Low Sulphur Heavy Stock (LSHS) 0,88 – 0,98
3. Viskositas
Viskositas suatu fluida merupakan ukuran resistansi bahan terhadap
aliran. Viskositas tergantung pada suhu dan berkurang dengan
naiknya suhu. Viskositas diukur dengan Stokes/Centistokes.
Kadang-kadang viskositas juga diukur dalam Engler, Saybolt atau
Redwood.
4. Titik Nyala
31
Titik nyala suatu bahan bakar adalah suhu terendah dimana bahan
bakar dapat dipanaskan sehingga uap mengeluarkan nyala sebentar
bila dilewatkan suatu nyala api. Titik nyala untuk minyak tungku/
furnace oil adalah 66 0C.
5. Panas Jenis
Panas jenis adalah jumlah kkal yang diperlukan untuk menaikan
suhu 1 kg minyak sebesar 10C. Satuan panas jenis adalah kkal/kg0C.
6. Nilai Kalor
Nilai kalor merupakan ukuran panas atau energi yang dihasilkan, dan
diukur sebagai nilai kalor kotor/gross calorific value atau nilai kalor
netto/nett calorific value. Perbedaannya ditentukan oleh panas laten
kondensasi dari uap air yang dihasilkan selama proses pembakaran.
Nilai kalor kotor/Gross calorific value (GCV) mengasumsikan
seluruh uap yang dihasilkan selama proses pembakaran sepenuhnya
terembunkan/terkondensasikan.
Nilai kalor netto (NCV) justru mengasumsikan air yang keluar
dengan produk pengembunan tidak seluruhnya terembunkan. Bahan
bakar harus dibandingkan berdasarkan nilai kalor netto.
GCV untuk beberapa jenis bahan bakar cair yang umum digunakan
terlihat dibawah ini:
Tabel 2.2 Nilai Kalor Kotor (GCV) Bahan Bakar Minyak
(diambil dari Thermax India Ltd.)
No Jenis Bahan Bakar Minyak Nilai Kalor Kotor (Kkal/kg)
32
1 Minyak Tanah 11.100
2 Minyak Diesel 10.800
3 LDO 10.700
4 Furnace oil 10.600
5 LSHS 10.500
7. Sulfur
Jumlah sulfur dalam bahan bakar minyak sangat tergantung pada
sumber minyak mentah dan pada proses penyulingannya.
Kandungan normal sulfur untuk residu bahan bakar minyak (minyak
furnace) berada pada 2 - 4 %. Kandungan sulfur untuk berbagai
bahan bakar minyak ditunjukkan pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Persentase Sulphur Bahan Bakar Minyak
(diambil dari Thermax India Ltd.)
No Jenis Bahan Bakar Minyak Persentase (%)
1 Minyak Tanah 0,05 – 0,2
2 Minyak Diesel 0,05 – 0,25
3 LDO 0,5 – 1,8
4 Furnace oil 2,0 – 4,0
5 LSHS < 0,5
8. Residu Karbon
Residu karbon memberikan kecenderungan pengendapan residu
padat karbon pada permukaan panas, seperti burner atau injeksi
nosel, bila kandungan yang mudah menguapnya menguap. Residu
minyak mengandung residu karbon 1 persen atau lebih.
33
9. Kadar Air
Kadar air minyak tungku/furnace pada saat pemasokan umumnya
sangat rendah sebab produk disuling dalam kondisi panas. Batas
maksimum 1% ditentukan sebagai standar. Air dapat menyebabkan
percikan nyala api di ujung burner, yang dapat mematikan nyala api,
menurunkan suhu nyala api atau memperlama penyalaan.
Adapun bahan bakar yang digunakan pada furnace 025F-101
adalah minyak fraksi berat dari residu.
Keuntungan menggunakan bahan bakar cair :
1. Memanfaatkan residu yang merupakan salah satu
permasalahan dalam penggunaannya.
2. Mempunyai panas pembakaran yang cukup tinggi.
3. Aman dalam penanganan karena memiliki flash point yang
cukup tinggi.
4. “Losses” bahan bakar kecil.
Kerugian menggunakan bahan bakar gas :
1. Menghasilkan jelaga pada proses pembakaran.
2. Memerlukan pengkabutan agar mudah terbakar.
3. Nilai panas pembakaran per satuan berat lebih rendah.
b. Bahan Bakar Gas
Diperoleh dari proses pengolahan minyak dan gas bumi, yang
berasal dari sumur pengeboran dan gas kilang (refinery gas).
Keuntungan menggunakan bahan bakar gas :
1. Mudah bercampur dengan udara dan mudah terbakar.
34
2. Pembakaran lebih sempurna, dan tidak menimbulkan sisa
pembakaran.
3. Nyala api bersih, tidak menimbulkan asap / polusi.
4. Nilai panas pembakaran per satuan berat lebih tinggi.
Kerugian menggunakan bahan bakar gas :
1. Nyala api kurang panjang
2. Panas radiasinya kurang
3. Membutuhkan tempat penampungan yang kuat dan tahan pada
tekanan tinggi.
2.2.6 Campuran Udara - Bahan Bakar
Dalam proses pembakaran ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan antara lain, bahan bakar, udara (oksigen), kalor dan reaksi kimia.
Selain itu, perbandingan campuran bahan bakar dan udara memegang peranan
penting pula dalam menentukan hasil pembakaran yang secara langsung
mempengaruhi reaksi pembakaran yang terjadi serta hasil/prodk dari proses
pembakaran.
Beberapa metode yang digunakan untuk menghitung rasio campuran
bahan bakar dan udara antara lain AFR (Air Fuel Ratio), FAR (Fuel Air
Ratio), dan Rasio Ekuivalen (Φ ).
a. Air Fuel Ratio (AFR)
Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan dalm
mendefinisikan campuran dan merupakan perbandingan massa dari udara
dengan bahan bakar pada suatu titik tinjau. Secara simbolis, AFR
dihitung sebagai berikut :
35
AFR=ma
mf
=M a Na
M f N f
Jika nilai aktual lebih besar dari nilai AFR, maka terdapat udara
yang jumlahnya lebih banyak dari pada yang dibutuhkan sistem dalam
proses pembakaran dan dikatakan miskin bahan bakar, begitu pula
sebaliknya.
b. Fuel Air Ratio (FAR)
Meode ini merupakan metode yang memiliki prinsip kebalikan
dari metode air fule ratio yang dirumuskan sebagai berikut :
FAR=m f
ma
=M f N f
M a Na
c. Rasio Ekuivalen (Φ )
Didefinisikan sebagai perbandingan antara rasio AFR stokiometri
dengan rasio AFR aktual atau juga sebagai perbandingan antara dengan
rasio FAR aktual rasio FAR stokiometri.
Φ =
AFRs
AFRa
=FARa
FARs
1. Φ > 1 terdapat kelebihan bahan bakar dan campurannya disebut
sebagai campuran kaya bahan bakar (fuel-rich mixture)
2. Φ < 1 terdapat kekurangan bakar dan campurannya disebut sebagai
campuran miskin bahan bakar (fuel-lean mixture)
3. Φ = 1 merupakan campuran stokiometri (pembakaran sempurna)
d. Udara berlebih (Excess Air)
......................
.......................... (2.12)
......................
.......................... (2.13)
36
Udara diperlukan dalam jumlah berlebih untuk memastikan bahan
bakar terbakar semua dan terjadi pembakaran yang sempurna
Untuk mencegah pembakaran yang tidak sempurna dalam proses
pembakaran di dalam furnace, maka diinjeksikan udara berlebih dari
kebutuhan udara teoritis. Udara excess yang rendah akan mengakibatkan
pembakaran yang tidak sempurna sehingga akan menurunkan efisiensi
furnace. Namun excess udara yang besar juga akan menghasilkan volume
flue gas yang besar, serta pembakaran akan diserap untuk menaikkan
temperatur udara.
Secara matematis excess air ratio (perbandingan udara berlebih)
API Recommended Practise 532 merumuskan sebagai berikut :
% Excess = x 100%
dimana :
O2% = Excess O2 sebenarnya
(dari analisa orsat atau O2 analyzer)
N2, CO2, H2O = Massa flue gas yang dihasilkan secara teoritis,
per lb fuel gas
Udara = Kebutuhan udara teoritis, per lb flue gas
Besarnya excess air untuk Furnace 025F-101 dengan natural
draft sebesar 20% untuk flue gas dan 25% untuk fuel oil. Sedangkan
untuk forced draft dibutuhkan excess air sebesar 10% untuk flue gas dan
10% untuk fuel oil.
..................... (2.14)Excess
Kebutuhan udara teoritis
37
2.2.7 Panas Pembakaran
Panas pembakaran adalah panas yang dihasilkan dari pembakaran fuel
yang dinyatakan sebagai nilai kalori (heating value). Heating value dari
bahan bakar adalah jumlah panas yang dihasilkan dari setiap kg atau m3 atau
lb (pound) bahan bakar dan diukur dalam keadaan standart dan dinyatakan
dalam satuan kcal/kg, kcal/m3, atau Btu/lb.
Nilai kalori dibedakan menjadi dua yaitu Gross Heating Value (GHV)
atau Higher Heating Value (HHV) dan Net Heating Value (NHL) atau Low
Heating Value (LHV). GHV adalah nilai kalori dari bahan bakar yang
diperhitungkan apabila uap air yang terbentuk pada proses pembakaran keluar
sebagai cairan. NHV adalah nilai kalori dari bahan bakar yang diperhitungkan
apabila uap air yang terbentuk pada proses pembakaran keluar tetapa dalam
bentuk uap air.
Untuk menghitung jumlah jumlah kalori pada proses pembakaran di
dalam furnace, maka perlu dihitung berdasarkan :
a. Panas Pembakaran Fuel Gas atau Fuel Oil
Q = m x NHV
dimana :
m = Massa bahan bakar yang digunakan (lb/jam)
NHV = Nilai kalori bahan bakar (Btu/lb)
b. Panas Sensibel Fuel Gas atau Fuel Oil
Qs = m x Cp x ΔT
dimana :
.............................................. (2.15)
.............................................. (2.16)
38
m = Massa bahan bakar yang digunakan (lb/jam)
Cp
ΔT
= Nilai kalori bahan bakar (Btu/lb)
= Beda temperatur bahan bakar dengan tempertaur
basis (0F)
c. Panas Sensibel Udara Pembakaran
Qa = ma x Cp x ΔT
dimana :
ma = Massa bahan bakar yang digunakan (lb/jam)
Cp
ΔT
= Nilai kalori bahan bakar (Btu/lb)
= Beda temperatur bahan bakar dengan tempertaur
basis (0F) Panas jenis bahan udara pembakaran
pada temperatur pengukuran (Btu/lb 0F)
d. Panas Steam Atomizing
Q = m.ΔH
dimana :
m = Massa steam yang digunakan (lb/jam)
ΔH = Enthalpy steam atomizing (Btu/lb mol)
e. Panas Sensibel Uap air dalam Udara Pembakaran
Qw = Mw x Cp xΔT
dimana:
Mw = Massa uap air dalam udara pembakaran (lb/jam)
.............................................. (2.17)
.............................................. (2.18)
.............................................. (2.19)
39
Cp = Panas jenis uapa air pada temperatur yang sama dengan
temperatur udara pembakaran (Btu/lb0F)
ΔT = Beda temperatur udara pembakaran dengan tempertaur basis (0F)
2.2.8 Pembakaran Premix
Pembakaran dapat dilakukan secara premix maupun difusi.
Pembakaran premix merupakan salah satu proses pembakaran dimana bahan
bakar bercampur secara sempurna di dalam burner sebelum dialirkan ke
mulut burner dan mulai dibakar. Sedangkan pembakaran difusi merupakan
salah satu proses pembakaran dimana bahan bakar yang dialirkan melalui
burner belum bercampur dengan udara, namun pencampuran terjadi pada
ujung burner dan menyala ditempat yang sama.
Pada pembakaran premix terdapat dua zona gelombang, dimana kedua
zona gelombang ini dibedakan dari cepat rambat gelombang terhadap reaksi
campuran dalam gas premix, keduanya adalah :
Zona pra pemanasan (preheat zone)
Daerah dimana sedikit panas yang dilepaskan dan msih banyak bahan
bakar yang belum terbakar (unburn fuel)
Zona pemanasan (reaction zone)
Daerah dimana sebagian besar energi kimia dilepaskan.
Seperti yang terlihat dari gambar dibawah ini
40
Gambar 2.10 Profil Nyala Api
(Sumber : Dougal Drysdale, An Introduction to Fire Dynamics, England)
a. Nyala Api Premix
Pada gambar dibawah ini terlihat bentuk nyala api premix. Pda
daerah yang berbentuk kerucut atau biasa disebut luminous flame terjadi
reaksi dan pelepasan energi panas sebagai entalpi reaksi gas yang
terbakar, sedangkan di bawahnya terdapr daerah gelap (dark zone), yaitu
tempat dimana molekul gas yang belum terbakar berubah alirannnya dari
arah sejajar sumbu tabung pembakaran ke arah luar tegak lurus
permukaan batas daerah gelap. Selanjutnya gas yang belum terbakar
mendapatkan energi panas sepanjang tebal daerah preheating zone (η0 )
sampai temperatur nyala (ignition temperatur :Ti) tercapai dan kemudian
bereaksi secara berulang dengan cepat sepanjang tebal daerah reaction
zone (ηR ), diiringi dengan pelepasan energi panas yang lebih besar lagi
hingga mencapai temperatur nyala api (flame temperatur : Tf).
Warna dari daerah luminous biasanya berubah menurut rasio
udara-bahan bakar (AFR) yaitu jika rasio campuran miskin bahan bakar
(lean mixture), maka permukaan kerucut nyala luminous berwarna ungu,
41
yang menandakan banyaknya dihasilkan CH radikal. Dan jika rasio
campuran bahan bakar kaya kana bahan bakar (rich mixture) berwarna
hijau mendekati kebiruan, yang menandakan banyaknya konsentrasi
molekul C2.
Nyala api premix terdiri daerah terang, yang menunjukkan tempat
terjadinya reaksi dan energi panas dilepaskan daaerah reaksi (reaction
zone) yang memiliki ketebalan ±1 mm. Warna terang dapat berubah
tergantung rasio udara dan bahan bakar. Daerah schlieren (schlieren
zone) dan daerah gelap (dark zone), merupakan daaerah transisi
terjadinya perubahan molekul gas menjadi gas yang siap bereaksi pada
jarak daerah pemanasan awal (preheating zone).
Gambar 2.11 Struktur Nyala Api
(Sumber : Kenneth K, Kuo, Principle of Combustion, Canada)
Bentuk nyala api sangat ditentukan oleh kombinasi pengaruh
profil kecepatan perambatan nyala api (flame prpagation) dan pengaruh
hilangnya panas ke dinding tabung (flame quenching).
42
Gambar 2.12 Vektor Diagram Kecepatan Nyala Laminar
(Sumber : Stephen R, Turns, An Introduction to Combustion Concepts
and Applications, Pennsylvania)
Supaya kontur struktur nyala api tidak berubah, maka kecepatan
nyala api harus sama dengan kecepatan normal komponen dari campuran
udara dan bahan bakar yang belum terbakar pada setiap lokasinya, dan
khususnya pada kondisi aliran gas laminar dengan bilangan Re < 2300
maka kecepatan nyala api termasuk kecepatan nyala api laminar (SI)
tidak dipengaruhi oleh bilangan reynold. Hal tersebut dapat dirumuskan
dengan persamaan sebagai berikut :
SI = Va sin α
b. Laju nyala api Laminar
Prose reaksi pembakaran dalam suatu nyala api adalah gabungan
dari reaksi kimia, perpindahan panas, perpindahan massa dan momentum
dengan difusi dan pola aliran sehingga bentuk dan ukuran nyala sangat
dipengaruhi oleh tahapan proses yang terjadi. Bentuk nyala api dibagi
dalam empat tahapan proses yaitu:
1. Daerah gas yang belum terbakar (Unburned Gas Zone)
.............................................. (2.20)
43
2. Daerah pemanasan awal (Preheating Zone)
3. Daera reaksi (Reaction Zone)
4. Daerah gas terbakar (Burned Gas)
Gas premix yang akan berubah menjadi nyala premix memiliki
kesamaan pada kecepatan, temperatur, dan konsentrasi dengan bentuk
fisik yang tetap dalam daerah gas yang belum terbakar. Dalam daerah
preheating temperatur akan naik akibat konduksi energi panas dan pada
daerah ini gas premix menerima energi panas lebih besar dibandingkan
daerah lain. Daerah reaksi yang dimaksud yaitu :
1. Daerah reaksi primer, dimana sebagian besar hidrokarbon bereaksi,
akibatnya laju reaksi dan temperatur naik secara cepat.
2. Daerah setelah pembakaran (after burnig region), dimana terjadi
perubahan bentuk produk pertengahan seperti CO dan H2 menjadi
CO2 dan H2O dengan laju reaksi lebih lambat dan kenaikan
temperatur yang rendah.
2.2.9 Karakteristik nyala api
a. Batas mampu nyala (Limits of Flammability)
Pada prinsipnya terbentuknya nyala api apabila terdapat campuran
yang sesuai antara oksidator dan bahan bakar. Terdapat kisaran campuran
bahan bakar dan osidator diantaranya, kisaran batas bawah nyala api
(lower Flammability limits) dan batas atas nyala api (upper Flammability
limits). Pada saat campuran awal akan terjadi spark/percikan api disebut
sebagai batas bawah, dn apabila aliran gas ditambah hingga nyala api
44
akan meredup yang kemudian disebut dengan batas atas mampu nyala
api.
b. Kestabilan Nyala Api
Kestabilan nyala api dipengaruhi oleh kesetimbangan laju massa
dinamik gas yang melibatkan perhitungan kekekalan massa, kekekalan
momentum dan kekekalan energi. Namun ada beberapa hal penting yang
berkaitan erat dalam proses pembakaran gas, yakni mencegah agar tidak
terjadinya flah back, lift off, dan bow off.
1. Fenomena Flash back
Hal ini dapat terjadi apabila kecepatan pembakaran lebih cepat dari
kecepatan campuran udara dan bahan bakar, sehingga nyala api
masuk kembali dalam ruang bakar. Fenomena ini disebut juga
dengan light back atau back fire.
Gambar dibawah ini menunjukkan daerah dari stabilitas nyala api
untuk bahan bakar gas industri berupa hidrogen.
Gambar 2.13 Diagram stabilitas Nyala Api
(Sumber : Stephen R, Turns, An Introduction to Combustion Concepts
and Applications, Pennsylvania)
45
2. Fenomena Lift off
Fenomena ini terjadi karena nyala api tidak sampai ujung burner,
namun stabil pada daerah tertentu di dalam burner.
3. Fenomena Blow off
Merupakan fenomena dimana nyala api akan padam dikarenakan
kecepatan campuran udara dan bahan bakar lebih cepat bila
dibandingkan dengan kecepatan pembakaran.
2.2.10 CAD (Computer-Aided Drafting) dan CAE (Computer-Aided
Engineering)
a. CAD (Computer-Aided Drafting)
Najib (2011), menyatakan bahwa CAD (Computer-Aided Drafting)
adalah software untuk membuat design gambar teknik. Sistem CAD
merupakan kombinasi dari hardware dan software yang memungkinkan
untuk merancang sesuatu produk atau benda, mulai dari yang sederhana
sampai yang rumit. Produk atau benda yang ingin digambarkan bisa
diwakili oleh garis-garis maupun simbol-simbol yang memiliki makna
tertentu. CAD bisa berupa gambar dua dimensi dan gambar tiga dimensi.
Contoh program berbasis CAD adalah AutoCAD. AutoCAD sangat
universal, dipergunakan hampir seluruh bidang rekayasa yang
memanfaatkan keunggulan CAD untuk menunjang pekerjaan mereka.
Kemampuan AutoCAD beradaptasi untuk disesuaikan dengan
kebutuhan spesifik dari suatu bidang tertentu merupakan salah satu
keunggulan yang belum dimiliki oleh program CAD.
46
b. CAE (Computer-Aided Engineering)
Najib (2011), menyatakan bahwa CAE (Computer-Aided
Engineering) adalah sistem komputer yang menganalisis rancangan
rekayasa/teknik. Sebagian besar sistem CAD mempunyai komponen CAE,
tetapi terdapat juga sistem CAE terpisah yang dapat digunakan untuk
menganalisis rancangan yang dihasilkan oleh berbagai sistem CAD.
Sistem CAE dapat mensimulasikan rancangan dalam berbagai kondisi
untuk melihat bagaimana cara kerja sebenarnya. Contoh dari program yang
berbasis CAE adalah CATIA, Autodesk Inventor, atau ANSYS yang di
dalamnya juga berbasis metode elemen hingga. Dalam melakukan
perhitungan tegangan dan regangan, aliran fluida, perpindahan panas dan
lain sebagainya software ANSYS menggunakan metode elemen hingga.
Metode elemen hingga adalah suatu metode numerik yang tentunya cocok
digunakan dengan komputer digital. Dengan metode ini, suatu problem di
bagi-bagi (meshing) menjadi beberapa substruktur. (elemen). Kemudian
dengan menggunakan matriks, problem dari tiap titik (node) akan
dihubungkan dengan jenis fluida, model aliran, dan lain sebagainya.
Tuakia (2008), menyatakan bahwa, untuk memahami CFD,
pertama-tama membagi dua kata Computional Fluid Dynamic, menjadi
sebagai berikut:
1. Computional: segala sesuatu yang berhubungan dengan matematika
dan metode numerik atau komputasi.
2. Fluid Dynamic: dinamika dari segala sesuatu yang mengalir
47
Ditinjau dari istilah diatas, CFD bisa berarti suatu teknologi
komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dimanika dari benda-
benda atau zat-zat mengalir.
Secara definisi, CFD adalah ilmu yang mempelajari cara
memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena
lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika.
Pada dasarnya, persamaan-persamaan pada fluida dibangun dan
dianalisa berdasarkan persamaan-persamaan diferensial parsil (PDE=
Partial Differential Equation) yang mempresentasikan hukum-hukum
konservasi massa, momentum, dan energi.
Sebuah perangkat lunak (software) CFD memberikan kekuatan
untuk mengsimulasikan aliran fluida, perpindahan panas, perpindahan
massa, benda-benda yang bergerak, aliran multifasa, raksi kimia dan lain-
lain. Dengan menggunakan software ini, dapat membuat virtual prototype
dari sebuah sistem atau alat yang ingin anda analisis dengan menerapkan
kondisi nyata di lapangan. Software CFD akan dapat memberikan gambar-
gambar, data-data, atau kurva-kurva yang menunjukkan prediksi dari
performansi sistem.
c. Tampilan ANSYS
Geometry
Dengan menggunakan design modeller, geometry dari sebuah
proyek rancangan akan dibuat dalam bentuk gambar sketsa 2D dan
modelling 3D. Selain itu dapat juga digunakan import new geometry untuk
membaca file yang berformat CATIA, Solidwork, iges, STEP dan lainnya.
48
Hal tersebut memudahkan kita untuk menggunakan software lain dalam
membuat bentuk rancangan gambar 2D maupun 3D.
Klik Geometry dua kali pada menu ANSYS FLUENT atau klik
kanan kemudian pilih edit geometry, sehingga di dapat tampilan sebagai
berikut:
Gambar 2.14 Geometry pada design modeler
Mesh
Pada tahap model ini proyek medelling berupa 3D dari design
Modeller ada di-meshing untuk membagi node-node yang mempermudah
dalam analisisi menggunakan ANSYS Fluent. Untuk meshing kembali
pada jendela awal tampilan ANSYS Fluid Flow Fluent kemudian klik dua
kali icon mesh. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
49
Gambar 2.15 Tampilan ANSYS Fluid Flow Fluent mesh
Setup
Setelah meshing selesai, pada tampilan awal jendela ANSYS klik
dua kali icon setup, pada kndisi ini nantinya akan dimasukkan parameter-
parameter yang digunakan untuk proses simulasi.
Gambar 2.16 Tampilan ANSYS Fluid Flow Fluent setup
- Solution
Pada tahap ini akan ditentukan besarnya iterasi yang menjadikan
simulasi konvergen agar kesalahan didapat sekecil mungkin. Pada
kondisi ini sudah tersedia pada lembar kerja Setup.
- Result
50
Setelah semua parameter dimasukkan, maka hasil akan dapat
diperoleh dari suatu analisa geometri atau proyek yang dilakukan.
Untuk memproses semua parameter yang telah dimasukkan.
Garg, Ashutosh., 2010, New Approach to Optimizing Fired Heaters, Thirty-
second Industrial Energy Technology Conference, New Orleans, LA, 19-22 May.
51
http://www.brighthubengineering.com/hydraulics-civil-engineering/55543-pipe-
flow-calculations-1-the-entrance-length-for-fully-developed-flow/
http://www.brighthubengineering.com/hvac/91056-calculation-of-forced-
convection-heat-transfer-coefficients/
15 jan 2014 jm 14.11 wib