Bab ii

65
BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Hassan Al-Haj Ibrahim (2010), Model dari fired heaters secara umum didasarkan pada dua bagian pemanas. Dalam tiap bagian terdapat tiga elemen pemindah panas yang benar-benar dibutuhkan. Mereka adalah flue gas, fluida kerja dan perubahan panas permukaan termasuk pada pipa-pipa dan dinding refractory dari pemanas. Tambahan lain untuk menghitung area perubahan panas dan laju perpindahan panas dari fluida kerja, variabel- variabel utama lainnya yang mendukung sebagai dasar ketetapan dari kinerja pemanas (heater). Yang termasuk diantaranya ialah : 1. Fluida kerja dan temperatur flue gas 2. Nyala api dan temperatur permukaan luar (tube skin) atau temperatur dinding pipa. 3. Laju aliran fluida kerja 4. Laju aliran bahan bakar dan komposisi 6

description

 

Transcript of Bab ii

Page 1: Bab ii

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Hassan Al-Haj Ibrahim (2010), Model dari fired heaters secara umum

didasarkan pada dua bagian pemanas. Dalam tiap bagian terdapat tiga elemen

pemindah panas yang benar-benar dibutuhkan. Mereka adalah flue gas, fluida

kerja dan perubahan panas permukaan termasuk pada pipa-pipa dan dinding

refractory dari pemanas. Tambahan lain untuk menghitung area perubahan panas

dan laju perpindahan panas dari fluida kerja, variabel-variabel utama lainnya yang

mendukung sebagai dasar ketetapan dari kinerja pemanas (heater). Yang termasuk

diantaranya ialah :

1. Fluida kerja dan temperatur flue gas

2. Nyala api dan temperatur permukaan luar (tube skin) atau temperatur

dinding pipa.

3. Laju aliran fluida kerja

4. Laju aliran bahan bakar dan komposisi

5. Perbedaan tekanan fluida kerja dan tekanan dalam pemanas dan cerobong

(stack)

Garg, Ashutosh., (2010), berpendapat bahwa meningkatkan efisiensi dari

fire heater dapat dilakukan tanpa memodifikasi secara besar-besaran. Dengan

mengontrol draft dan excess O2 di dalam fire heater akan mengurangi konsumsi

bahan bakar dan emisi gas NOx. Saya sangat merekomendasikan adanya

pemasangan “The Automatic Control of Draft” dan menggunakan “Heater

6

Page 2: Bab ii

7

performance Index (HPI)”. Pada dasarnya dengan mengontrol kedua perangkat

tersebut, akan menambah efisiensi dari pemanas anda, memperpanjang umur

peralatan dan mengoptimalkan kinerjanya.

Wardana (2008), berpendapat pembakaran sendiri adalah suatu proses

reaksi antara bahan bakar dan oksidator (segala substansi yang mengandung

oksigen) yang berlangsung sangat cepat dan menghasilkan energi panas

(eksoterm) disertai cahaya (nyala api). Proses pembakaran bisa berlangsung jika

terdapat bahan bakar (bahan yang dapat terbakar), pengoksidasi (oksigen atau

udara), dan panas atau energi aktivasi.

Julie Buffam dan Kevin Cox (2008), dalam penelitiannya didapatkan

bahwa pada campuran bahan bakar dan udara atau Air Fuel Ratio (AFR)

stoikiometri menghasilkan kecepatan pembakaran dengan nilai tertinggi.

Takahashi, Fumiaki & Schmoll, W. John. (1990), Kecepatan

pembakaran adalah merupakan salah satu karakteristik api yang nantinya juga

akan mempengaruhi stabilitas api. Stabilitas api berkaitan erat dengan kondisi

nyala api tersebut dimana salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas api

adalah bentuk ruang bakar (geometri burner).

Adi Surjosatyo (2010), Penggunaan conical flame stabilizer pada gas

burner akan menyebabkan panjang api lebih pendek, suhu api lebih tinggi, api

lebih stabil dan kandungan CO yang lebih rendah. Validasi pada gas burner

menggunakan conical flame stabilizer menunjukkan hasil eksperimen dan

simulasi hampir mendekati hal terlihat pada distribusi temperatur, komposisi CO

dan bentuk api dalam ruang bakar.

Page 3: Bab ii

8

Surjosatyo, Adi., Nasir, Farid (2003), melakukan penelitian simulasi 3D

mengunakan CFD pada swirl gas burner dengan variasi sudut vane 20, dan 40,

fluida kerja yang digunakan adalah udara. Hasil penelitian menunjukkan semakin

besar sudut swirl semakin meningkat kecepatan udara tangensial yang selanjutnya

akan menyebabkan peningkatan stabilitas api jika terjadi proses pembakaran.

Bode, Florin, Hodor, Victor, (2007), melakukan simulasi 2D

menggunakan CFD dan model aliran turbulen RNG K-ε pada swirl gas burner

dengan kondisi tanpa reaksi campuran gas CH4 dan udara untuk melihat

fenomena pola percampuran pada aliran. Hasil penelitian menunjukkan model

turbulen RNG K-ε memberikan hasil yang memuaskan dalam memprediksi pola

percampuran aliran.

Hodor, Victor., Bode, Florin., (2007), melakukan simulasi 2D

Gasodynamyk burner dengan dua geometri berbeda untuk mendapatkan metode

percampuran CH4 dan udara. Hasil penelitianya menunjukkan desain burner yang

baik memiliki kontur tekanan keluar yang lebih besar dari kerugian tekanan pada

flue gas melewati chamber.

Chimno, G., Di Nardo, A., (2006), melakukan penelitian simulasi 2D

menggunakan CFD pada Duct Gas burner menggunakan bluff body berbahan

bakar CH4. Hasil penelitian menunjukkan burner dengan sudut bluff body 600

menunjukkan peningkatan kecepatan lebih baik dan stabilitas flame lebih baik.

Mohammad Hadi Bordbar and Timo Hyppänen, (2007), Metode

daerah (zone method) adalah salah satu metode paling akurat dalam simulasi

perpindahan panas secara radiasi dalam furnace pada industri, tetapi ini tidak

dapat diaplikasikan pada semua furnace. Geometri komplek pada furnace yang

Page 4: Bab ii

9

sebenarnya sebaiknya diganti dengan bentuk-bentuk sederhana yang lebih cocok

dengan metode daerah (zone method). Metode ini membutuhkan kekuatan yang

tinggi dalam perhitungan numerik, dan mampu menemukan ukuran terbaik pada

zona yang merupakan salah satu dari kriteria umum dalam metode ini. Memilih

ukuran meshing yang amat kecil akan memudahkan untuk perhitungan numerik

yang amat komplek, dapat meningkatkan jumlah potongan dan meminimalisir

kesalahan selama perhitungan, sedangkan struktur mesh yang amat kasar tidak

akan cukup untuk menjelaskan detail dari fenomena perpindahan panas di dalam

furnace.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Hot oil System

Dalam proses pengolahan minyak dasar (lube base), setiap unit

menggunakan dapur sebagai sumber panas. Hot oil system dirancang untuk

mensuplai panas secara kontinyu dalam proses Propane Deasphalting Unit

(PDU), Fulfural Extraction Unit (FEU), Methyl Dewaxing Unit (MDU), fuel

oil system dan sejumlah tangki bitumen. Hot oil adalah minyak dari fraksi

lumas yang dipanaskan pada suatu dapur hingga mencapai temperatur

tertentu.

Dalam operasinya hot oil yang digunakan minyak sejenis SPO yang

dihasilkan dari High Vacuum Unit (HVU) yang disirkulasikan secara optimal

ke seksi recovery.

Pada proses Hot oil system ini hanya terjadi perpindahan panas

pembakaran ke minyak tanpa adanya perubahan fase dan memanfaatkan

panas yang dibawa oleh minyak untuk memanaskan unit-unit lainnya. Prinsip

Page 5: Bab ii

10

operasinya adalah dengan mensirkulasikan minyak dari Vessel, dimana

minyak yang digunakan adalah Spindle oil. Untuk mengatasi terjadinya

degradasi pada minyak yang digunakan akibat pemanasan yang tinggi secara

terus menerus, maka dilakukan penggantian dengan laju aliran 0,2 T/H atau

4,8T/H. Selain itu, untuk mencegah perengkahan, maka pada Hot oil Surge

vessel selalu diselimuti dengan fuel gas yang bertekanan kurang lebih 2

kg/cm2.

Jenis minyak yang digunakan sebagai media sirkulasi adalah fraksi

distilat yang mempunyai spesifikasi sama dengan minyak lumas jenis Spindel

Oil, yaitu:

S.g 700C : 0,9138

Viskositas : 5,166 mm2/s

Flash point : 2200C

Sulfur (%berat) max : 2,29

TBP (0C)

- 10 % recovery : 408

- 30 % recovery : 417

- 50 % recovery : 422

- 70 % recovery : 426

- 90 % recovery : 433

Page 6: Bab ii

11

2.2.2 Furnace Tipe Box (Horizontal)

Furnace Tipe Box (Horizontal) merupakan salah satu furnace yang

terdapat pada kilang Lube Oil Complex II PT. Pertamina RU IV Cilacap yang

bekerja untuk memanaskan fluida yang digunakan pada hot oil system.

a. Prinsip kerja Furnace

Pada dasarnya proses perpindahan panas yang terjadi pada

furnace lebih banyak menggunakan panas radiasi, kemudian konveksi

dan terjadi perpindahan panas konduksi pada tube menuju fluida yang

mengalir di dalam tube. Fluida tersebut dialirkan melalui bagian dalam

tube yang tersusun horizontal atau vertikal di dinding samping, atau atas

dari ruang pembakaran.

Fluida yang dipanaskan umumnya dialirkan terlebih dahulu

melalui seksi konveksi (convection section) yang terletak di ruang bakar

dan cerobong, agar memanfaatkan panas yang terdapat di dalam gas hasil

pembakaran. Selanjutnya dialirkan ke dalam seksi radiasi (Radiant

section). Besarnya beban panas yang harus diberikan oleh furnace

kepada fluida yang dipanaskan tergantung dari jumlah umpan / fluida

yang mengalir dan perbedaan temperatur masuk dan keluar umpan yang

ingin dicapai. Semakin besar perbedaan temperatur dan semakin banyak

jumlah umpan, maka beban furnace akan semakin tinggi.

Suatu furnace dapat bekerja secara optimal apabila :

1. Terjadi reaksi pembakaran secara sempurna.

2. Panas hasil pembakaran dalam furnace merata.

Page 7: Bab ii

12

3. Permukaan tube bagian luar dan dalam harus bersih dan tidak

terdapat coke pada bagian dalam tube.

4. Minimalnya kebocoran atau kehilangan panas.

5. Pemanasan stabil dan baik dalam interval waktu yang dikehendaki

(burner harus dibersihkan secara parsial dan rutin agar tidak

tersumbat)

b. Bagian-bagian utama pada furnace

Furnace terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :

1. Heating coil

Adalah rangkaian susunan tube menjadi coil dan di tempatkan pada

radiant section dan convection section. Radiant section adalah

ruangan tempat tube di dalam furnace, dimana tube tersebut

langsung mendapat panas dari nyala api burner secara radiasi.

Sedangkan Convection section adalah ruangan tempat tube di dalam

furnace yang dilalui oleh flue gas sebagai pemanasnya dan

menerima perpindahan panas secara konveksi.

Pada furnace ini terdapat dua jenis pipa yang digunakan yaitu :

Convection Tube

Pada pipa ini berada pada convection section, dimana proses

perpindahan panas yang terjadi secara konveksi. Pipa ini

memeiliki fin atau sirip yang berfungsi memperbesar luas

permukaan agar laju perpindahan panas yang ditangkap lebih

besar.

Page 8: Bab ii

13

Ada 2 tipe sirip yang sering digunakan, yaitu :

- Serrated Fin : memiliki ketebalan sekitar 1-5 mm dan

ketinggian 0,25 dan kerapatan 2-7 sirip per inch.

- Stud fin : sirip berbentuk paku yang melekat tegak lurus

pada permukaan pipa. Ukuran paku dengan diameter

berkisar 10-13 mm, tinggi 0,5”-0,2” dan kerapatan

maksimum 3 sirip per inch.

Gambar 2.1 Pipa Jenis Stud fin tube (Studded tube)

(Sumber : www. lpspa.it)

Gambar 2.2 Serrated fin tube

(Sumber : http://202.67.224.132/pdimage/)

Page 9: Bab ii

14

Radiant Tube (Bare Tube)

Pipa yang menerima panas langsung dari nyala api di radiant

section maupun pantulan panas dari batu tahan api. Pada pipa ini

dipasang thermocouple untuk mengendalikan tube skin

temperature. Tube ini menempel di pada dinding furnace

dengan penyangga.

Gambar 2.3 Radiant Tube

(Sumber : http://www.new-ti.com)

Material yang digunakan untuk membuat tube merupakan jenis

austentik stainless steel yang memiliki kelebihan tahan temperatur

yang tinggi dan korosi .

2. Setting

Adalah peralatan yang dipasang dan ditempatkan pada furnace.

Adapun bagian – bagian dari Setting terdiri dari :

Enclosure (Housing) terdiri dari ;

- Dinding refractory, dipasang pada bagian dalam furnace dan

boiler. Berfungsi untuk menahan panas agar tidak keluar dari

Page 10: Bab ii

15

furnace sehingga heat loss dapat diminimalisir, selain itu juga

berfungsi sebagai pelindung material penahan bagian luar.

Dalam aplikasinya batu tahan api direkatkan dengan semen

tahan api (fire mortar).

- Header box, merupakan komponen penyangga tube pada

convection secion.

Supporting members yaitu macam-macam peralatan pendukung

yang dipakai pada furnace, yang diantaranya sebagai berikut :

- Tube hanger, berfungsi sebagai penyangga tube atau pipa pada

dinding furnace.

-

-

-

-

-

-

-

-

Gambar 2.4 Desain Tube Hanger

- Kerangka baja.

- Roof support.

Auxiliary equipment yaitu peralatan tersebut diantaranya adalah :

- Burner, merupakan peralatan untuk memasukkan bahan bakar

dan udara pembakaran ke dalam ruang pembakaran dengan

laju aliran tertentu, pengadukan (turbulence) serta pengaturan

Page 11: Bab ii

16

rasio bahan bakar / udara yang sesuai untuk menjaga stabilitas

pembakaran.

Gambar 2.5 Burner

(Sumber : http://www.nao.com)

- Air preheater, berfungsi untuk memanfaatkan sisa panas dari

flue gas setelah melewati pipa-pipa di dalam convection

section, untuk memanaskan udara pembakaran yang akan

masuk ke masing-masing burner.

- Soot blower, digunakan untuk membersihkan endapan kotoran

hasil pembakaran yang menempel pada dinding tube di

convection section. Alat ini dilengkapi dengan nozzle dan

spray dari steam/air yang di tembakkan ke tube.

Page 12: Bab ii

17

Gambar 2.6 Soot Blower

(Sumber:http://www.derekricks.com)

- Instrument control.

- Thermo wells.

- Thermo couple.

- Pressure gauge.

3. Stack

Pada Stack redapat dua komponen utama yaitu stack itu sendiri dan

stack damper.

Stack atau cerobong biasanya dilengkapi dengan stack damper

sebagai penyekat antara stack dengan heating coil. Umumnya

terbuat dari carbon steel plate dan dilapisi dengan dinding semen

dan fire brick yang berfungsi mencegah terjadinya korosi dinding

plate akibat temperatur tinggi dari flue gas dan ikatan yang

sifatnya korosif (SO2 apabila fuel mengandung belerang). Tinggi

rendahnya stack tergantung dari lokasi stack, temperatur flue gas,

Page 13: Bab ii

18

temperatur luar stack dan beda tekanan. Stack ini memiliki

beberapa fungsi yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Menciptakan natural draft yang besar.

b) Mencegah polusi udara ke lingkungan dari gas hasil

pembakaran yang berbahaya.

Stack Damper adalah plat logam untuk yang bekerja dengan cara

membuka dan menutup aliran flue gas yang keluar. Stack Damper

memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :

a) Mengatur aliran flue gas dari hasil pembakaran yang melalui

stack.

b) Mengatur tekanan (draft) excess air

Gambar 2.7 Stack Damper

(Sumber : http://upload.wikimedia.org )

Keuntungan menggunakan furnace tipe box adalah :

1. Dapat dikembangkan sehingga dapat bersel tiga atau empat.

2. Distribusi panas (fluks kalor) merata di sekeliling pipa.

3. Ekonomis untuk digunakan beban kalor diatas 20 MMKcal/jam.

Page 14: Bab ii

19

Kerugian menggunakan furnace tipe box adalah :

1. Apabila salah satu aliran fluida dihentikan, maka seluruh operasi

furnace harus dihentikan untuk menghindari pecahnya pipa.

2. Tidak dapat digunakan untuk memanaskan fluida pada temperatur

relatif tinggi dan aliran fluida singkat.

3. Pemeliharaan lebih sulit karena tube tersusun mendatar.

Gambar 2.8 Bagian – bagian furnace tipe box

(Sumber : Hutapea, E., 2004, hal; 14)

Page 15: Bab ii

20

Gambar 2.9 Skema Tata letak furnace 025F-101

(Sumber : 025F101 Hot Oil Heater Final “As Built” Spesification Sheet,

Sheet ; 13, 1981, Pertamina)

2.2.3 Perpindahan Kalor

Perpindahan kalor atau alih bahang (heat transfer) ialah ilmu untuk

meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu

antara benda atau material. Kebanyakan pembaca tentu sudah mengenal

istilah yang dgunakan untuk menyatakan tiga modus perpindahan kalor, yaitu

Burner Burner

Cell “A” Cell “B”

Radiant Section

Radiant Section

Convection Section

Stack

Pass “1” “2” Pass “7” “8”

“3” “6”

“2”

“4” “5”

“7”

“4” “5”

“6”

“8”

“3”

“1”

Page 16: Bab ii

21

konduksi atau hantaran, konveksi atau ilian, dan radiasi atau sinaran.

(Holman, 1988)

Terdapat beberapa mekanisme untuk mentransfer panas dari furnace

ke pipa yang selanjutnya panas tersebut akan ditransfer ke fluida yang

terdapat di dalam pipa. Mekanisme terbesar yang terlihat secara signifikan

apabila dilihat dari banyaknya panas yang di transfer ialah melalui radiasi

(Reed, Robert D, (1976). Seperti telah kita ketahui hukum yang mengatur

perpindahan panas secara radiasi, adalah Hukum Stefan-Boltzmann.

Mekanisme yang paling signifikan berikutnya adalah secara konveksi.

Panas akan ditransfer oleh aliran fluida melalui permukaan pipa, dan

selanjutnya panas akan di transfer sesuai dengan hubungan temperatur cairan

yang ada di dalam pipa. Perlu di ingat bahwa fluida yang mengalir adalah gas

panas yang memiliki temperatur gas lebih tinggi daripada temperatur pipa.

Perpindahan panas secara konduksi yang terjadi sangatlah kecil dari

keseluruhan peprindahan panas dalam pelayanan proses, hingga adanya

penggunaan pipa bersirip atau pipa dengan permukaan yang diperluas kini

mulai umum digunakan untuk kepentingan konservasi panas.

Untuk lebih memahami proses perpindahan panas yang terjadi, maka

kita uraikan beberapa proses perpindahan panas yang terjadi diantaranya :

a. Radiasi

Suatu energi dapat dihantarkan dari suatu tempat ke tempat lain

dengan gelombang elektromagnetik dimana energi ini akan diubah

menjadi panas jika energinya diserap oleh benda lain. Perpindahan panas

dari benda panas ke benda dingin seperti hal tersebut diatas dikenal

Page 17: Bab ii

22

dengan perpindahan panas secara radiasi dan ini tidak memerlukan

medium atau penghantar. Untuk melakanakan proses perpindahan panas

ini diperlukan alat-alat perpindahan panas yang berbagai macam jenisnya

termasuk diantaranya Furnace atau dapur. Menurut Hukum Stefan

Boltzman:

1. Untuk benda hitam sempurna

q=σ . A . T4

2. Untuk benda lain

q=σ . ε . A . T4

dimana :

q= Laju Perpindahan Panas (Btu/jam)

σ = Konst. Boltzmann (1,72 x 10-9 Btu / (0F4)(ft2)(jam))

A= Luas Penampang Permukaan (ft2)

T = Temperatur Absolut (0F)

Di dalam dapur perpindahan panas secara radiasi terjadi pada

radiant section, yakni radiasi panas dari sumber api ke tube-tube dapur.

b. Konduksi

Panas adalah salah satu jenis energi dan seperti energi lainnya

panas dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Konduksi

adalah proses dimana panas mengalir dari daerah yang bersuhu tinggi ke

daerah bersuhu lebih rendah di dalam satu medium atau antara medium-

medium berlainan yang bersinggungan secara langsung. (Frank Kreith,

1997:4)

........................................................... (2.1)

........................................................... (2.2)

Page 18: Bab ii

23

Laju perpindahan panas konduksi tergantung dari jenis material

konduktornya, beberapa material mempunyai sifat konduktor yang baik

dibandingkan material lainnya. Standar pegukuran laju perpindahan

panas konduksi disebut konduktivitas termal, yang tergantung pada jenis

material konduktor, panjang dari konduktor dan perbedaan temperatur.

Energi berpindah secara konduksi dan laju perpindahan panas

berbanding dengan gradient suhu normal atau dapat dirumuskan

Persamaan dasar konduksi :

qA

≈ δTδx

Konstanta proporsionalitas atau tetapan kesebandingan, didapat

dari :

q=−k∂T∂ x

dimana:

q= Laju Perpindahan Panas (Btu/jam)

∂T = Temperatur Fluida (0F)

∂ x = Jarak (ft)

A= Luas Penampang Permukaan (ft2)

Konstanta positif (+) k disebut konduktivitas, sedangkan tanda

minus (-) diselipkan untuk memenuhi hukum kedua termodinamika yaitu

kalor mengalir ke tempat yang lebih rendah dalam skala suhu. (J.P.

Holman, 1995:12)

........................................................... (2.3)

........................................................... (2.4)

Page 19: Bab ii

24

Perpindahan panas konduksi terjadi pada dinding luar tube ke dinding

bagian dalam tube.

c. Konveksi

Ada proses perpindahan panas yang dipindahkan dari suatu

tempat ke tempat lainnya dengan gerakan partikel secara fisika. Cara

perpindahan panas semacam ini disebut perpindahan panas secara

konveksi. Perpindahan panas secara konveksi ada dua macam yaitu

perpindahan panas secara konveksi bebas (natural convection) dan

dipaksa (forced convection).

Untuk menyatakan pengaruh konveksi secara keseluruhan

digunakan persamaan dasar konveksi yaitu :

q = h . A . (Tw - T ∞ )

dimana:

q= Laju Perpindahan Panas (Btu/jam)

h= Koefisien Konveksi

(Tw -T ∞ )

= Perbedaan Temperatur (0F)

A= Luas Penampang Permukaan (ft2)

1. Konveksi bebas

Terjadi karena fluida yang mengalami pemanasan dan perubahan

densitas (kerapatan) yang bergeak naik (J. P. Holman, 1995: 295).

Persamaan empiris pada konveksi bebas dikorelasikan dengan (β ):

........................................................... (2.5)

Page 20: Bab ii

25

β =

ρ∞−ρρ (T−T ∞ )

dan untuk gas ideal

β= 1T

dimana:

ρ = Massa Jenis

T= Temperatur absolut (K)

Bilangan tak berdimensi untuk menghitung konveksi bebas adalah

bilangan Grashof (Gr) dan ditunjukkan pada persamaan :

Gr=g . β . (T w−T ∞) .x3

γ 2

Untuk pipa atau silinder menggunakan persamaan:

Gr=g . β . (T w−T ∞) .d3

γ2

dimana :

γ = Viskositas Kinematik

d = Diameter Pipa

2. Konveksi paksa

Konveksi paksa diakibatkan karena adanya sistem atau sirkulasi

lain dalam mekanisme konveksi. Untuk aliran turbulen yaitu Red >

4000 (J. P. Holman, 1995 :195) yang sudah jadi berkembang penuh

....................................................... (2.6)

................................................. (2.7)

................................................. (2.8)

Page 21: Bab ii

26

dalam tabung licin, oleh Dittus dan Boelter disarankan

menggunakan persamaan:

Nud = 0,023.Re.0,8.Prn

Untuk aliran laminar yaitu Red < 2000 (J. P. Holman, 1995:255)

yang berkembang penuh dalam tabung, pada suhu tetap disarankan

oleh Husen :

Nud

=3 ,66+0 , 0668 .( di

L ). Red . Prn

1+0 , 04 .[( diL ). Red . Prn ]

23

Untuk 2000 < Red < 4000 (J. P. Holman, 1995:265) termasuk aliran

transisi dan untuk mencari nilai Nuzzle digunakan.

Nud =

0 ,036 Red . 0,8 Pr . di .0 , 055

3 L

dimana :

Nud = Bilangan Nuzzle

di = Diameter Inside

L = Panjang Benda

Di dalam furnace, konveksi terjadi pada convection section dari

flue gas ke tube-tube furnace.

2.2.4 Pembakaran

Proses pembakaran adalah proses atau reaksi oksidasi antara bahan

bakar (fuel) dengan oksigen sebagai oxidator sehingga menimbulkan energi

................................................. (2.9)

.................................... (2.10)

.................................... (2.11)

Page 22: Bab ii

27

berupa panas dari terbentuknya nyala api serta gas hasil pembakaran.

Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada pasokan oksigen

yang cukup.

a. Pembakaran Tiga T

Tujuan dari pembakaran yang baik adalah melepaskan seluruh

panas yang terdapat dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan dengan

pengontrolan “ tiga T” pembakaran yaitu :

1. Temperature (Suhu) yang cukup tinggi untuk menyalakan dan

menjaga penyalaan bahan bakar,

2. Turbulence (Turbulensi) yakni pencampuran oksigen dan bahan

bakar yang baik,

3. Time (Waktu) yang cukup untuk pembakaran yang sempurna.

Terlalu banyak, atau terlalu sedikitnya bahan bakar pada jumlah

udara pembakaran tertentu, dapat mengakibatkan tidak terbakarnya

bahan bakar dan terbentuknya karbon monoksida. Jumlah O2 tertentu

diperlukan untuk pembakaran yang sempurna dengan tambahan sejumlah

udara (udara berlebih) diperlukan untuk menjamin pembakaran yang

sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan

mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi.

b. Macam-macam pembakaran

Proses pembakaran dapat di klasifikasikan menjadi :

1. Pembakaran Lengkap (Perfect And Complete Combustion)

Adalah proses pembakaran dimana semua atom karbon (C) bereaksi

dengan oksigen membentuk karbondioksida (CO2) dan atom

Page 23: Bab ii

28

hidrogren bereaksi dengan oksigen membentuk air (H2O), sedangkan

oksigen (O2) yang di pakai tidak tersisa. Contoh :

CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O + energi

2. Pembakaran Lengkap Tidak Sempurna (Complete Combustion)

Adalah proses pembakaran dimana semua atom karbon (C) bereaksi

dengan oksigen membentuk karbondioksida (CO2) dan atom

hidrogren bereaksi dengan oksigen membentuk air (H2O), namun

oksigen (O2) yang di pakai masih tersisa. Contoh :

CH4 + 2,5O2 CO2 + H2O +

12 O2 + energi

Pembakaran ini sering terjadi di dalam furnace, karena reaksi yang

berlangsung sangat cepat dan membutuhkan oksigen dalam jumlah

besar untuk melakukan pembakaran bahan bakar.

3. Pembakaran Tidak Sempurna (Incomplete Combustion)

Adalah proses pembakaran dimana oksigen yang dipakai untuk

reaksi pembakaran jumlahnya tidak mencukupi, sehingga

menghasilkan karbon monoksida. Contoh :

C2H6 + 3O2 CO2 + CO + 3H2O + energi

Pembakaran tak sempurna menghasilkan lebih sedikit kalor. Jadi,

pembakaran tak sempurna mengurangi efisiensi bahan bakar.

Kerugian lain dari pembakaran tak sempurna adalah dihasilkannya

gas karbon monoksida (CO), yang bersifat racun. Oleh karena itu,

pembakaran tak sempurna akan mencemari udara.

4. Pembakaran lain

Page 24: Bab ii

29

Reaksi pembakaran dengan unsur selain karbon dan hidrogen yang

mungkin akan terjadi pada furnace.

Contoh :

2H2 + O2 2H2O

2H2S + 3O2 2SO2 +2H2O

2CO + O2 2CO2

Terbentuknya oksida belerang tidak diinginkan di dalam furnace,

karena dengan adanya uap air dari flue gas akan menyebabkan

terjadinya asam belerang.

2.2.5 Bahan Bakar

Yang dimaksud bahan bakar adalah substansi yang melepaskan panas

saat di oksidasi yang biasanya mengandung unsur kabon (C) dan hidrogen

(H).

Bahan bakar yang digunakan dalam proses pembakaran furnace

025F-101 menggunakan 2 jenis bahan bakar, yaitu :

a. Bahan Bakar Cair

Bahan bakar cair seperti minyak tungku (furnace oil) dan LSHS

(low sulphur heavy stock) terutama digunakan dalam penggunaan

industri. Berbagai sifat bahan bakar cair diberikan dibawah ini.

1. Densitas

Densitas didefinisikan sebagai perbandingan massa bahan bakar

terhadap volum bahan bakar pada suhu acuan 15oC. Densitas diukur

Page 25: Bab ii

30

dengan suatu alat yang disebut hydrometer. Pengetahuan mengenai

densitas ini berguna untuk penghitungan kuantitatif dan pengkajian

kualitas penyalaan. Satuan densitas adalah kg/m3.

2. Specific gravity

Didefinisikan sebagai perbandingan berat dari sejumlah volume

minyak bakar terhadap berat air untuk volume yang sama pada suhu

tertentu. Specific gravity untuk berbagai bahan bakar minyak

diberikan dalam tabel dibawah:

Tabel 2.1 Specific Gravity Bahan Bakar Minyak

(diambil dari Thermax India Ltd.)

No Jenis Bahan Bakar Minyak Specific Gravity

1 Minyak Diesel Ringan (LDO) 0,85 – 0,87

2 Furnace oil 0,89 – 0,95

3 Low Sulphur Heavy Stock (LSHS) 0,88 – 0,98

3. Viskositas

Viskositas suatu fluida merupakan ukuran resistansi bahan terhadap

aliran. Viskositas tergantung pada suhu dan berkurang dengan

naiknya suhu. Viskositas diukur dengan Stokes/Centistokes.

Kadang-kadang viskositas juga diukur dalam Engler, Saybolt atau

Redwood.

4. Titik Nyala

Page 26: Bab ii

31

Titik nyala suatu bahan bakar adalah suhu terendah dimana bahan

bakar dapat dipanaskan sehingga uap mengeluarkan nyala sebentar

bila dilewatkan suatu nyala api. Titik nyala untuk minyak tungku/

furnace oil adalah 66 0C.

5. Panas Jenis

Panas jenis adalah jumlah kkal yang diperlukan untuk menaikan

suhu 1 kg minyak sebesar 10C. Satuan panas jenis adalah kkal/kg0C.

6. Nilai Kalor

Nilai kalor merupakan ukuran panas atau energi yang dihasilkan, dan

diukur sebagai nilai kalor kotor/gross calorific value atau nilai kalor

netto/nett calorific value. Perbedaannya ditentukan oleh panas laten

kondensasi dari uap air yang dihasilkan selama proses pembakaran.

Nilai kalor kotor/Gross calorific value (GCV) mengasumsikan

seluruh uap yang dihasilkan selama proses pembakaran sepenuhnya

terembunkan/terkondensasikan.

Nilai kalor netto (NCV) justru mengasumsikan air yang keluar

dengan produk pengembunan tidak seluruhnya terembunkan. Bahan

bakar harus dibandingkan berdasarkan nilai kalor netto.

GCV untuk beberapa jenis bahan bakar cair yang umum digunakan

terlihat dibawah ini:

Tabel 2.2 Nilai Kalor Kotor (GCV) Bahan Bakar Minyak

(diambil dari Thermax India Ltd.)

No Jenis Bahan Bakar Minyak Nilai Kalor Kotor (Kkal/kg)

Page 27: Bab ii

32

1 Minyak Tanah 11.100

2 Minyak Diesel 10.800

3 LDO 10.700

4 Furnace oil 10.600

5 LSHS 10.500

7. Sulfur

Jumlah sulfur dalam bahan bakar minyak sangat tergantung pada

sumber minyak mentah dan pada proses penyulingannya.

Kandungan normal sulfur untuk residu bahan bakar minyak (minyak

furnace) berada pada 2 - 4 %. Kandungan sulfur untuk berbagai

bahan bakar minyak ditunjukkan pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Persentase Sulphur Bahan Bakar Minyak

(diambil dari Thermax India Ltd.)

No Jenis Bahan Bakar Minyak Persentase (%)

1 Minyak Tanah 0,05 – 0,2

2 Minyak Diesel 0,05 – 0,25

3 LDO 0,5 – 1,8

4 Furnace oil 2,0 – 4,0

5 LSHS < 0,5

8. Residu Karbon

Residu karbon memberikan kecenderungan pengendapan residu

padat karbon pada permukaan panas, seperti burner atau injeksi

nosel, bila kandungan yang mudah menguapnya menguap. Residu

minyak mengandung residu karbon 1 persen atau lebih.

Page 28: Bab ii

33

9. Kadar Air

Kadar air minyak tungku/furnace pada saat pemasokan umumnya

sangat rendah sebab produk disuling dalam kondisi panas. Batas

maksimum 1% ditentukan sebagai standar. Air dapat menyebabkan

percikan nyala api di ujung burner, yang dapat mematikan nyala api,

menurunkan suhu nyala api atau memperlama penyalaan.

Adapun bahan bakar yang digunakan pada furnace 025F-101

adalah minyak fraksi berat dari residu.

Keuntungan menggunakan bahan bakar cair :

1. Memanfaatkan residu yang merupakan salah satu

permasalahan dalam penggunaannya.

2. Mempunyai panas pembakaran yang cukup tinggi.

3. Aman dalam penanganan karena memiliki flash point yang

cukup tinggi.

4. “Losses” bahan bakar kecil.

Kerugian menggunakan bahan bakar gas :

1. Menghasilkan jelaga pada proses pembakaran.

2. Memerlukan pengkabutan agar mudah terbakar.

3. Nilai panas pembakaran per satuan berat lebih rendah.

b. Bahan Bakar Gas

Diperoleh dari proses pengolahan minyak dan gas bumi, yang

berasal dari sumur pengeboran dan gas kilang (refinery gas).

Keuntungan menggunakan bahan bakar gas :

1. Mudah bercampur dengan udara dan mudah terbakar.

Page 29: Bab ii

34

2. Pembakaran lebih sempurna, dan tidak menimbulkan sisa

pembakaran.

3. Nyala api bersih, tidak menimbulkan asap / polusi.

4. Nilai panas pembakaran per satuan berat lebih tinggi.

Kerugian menggunakan bahan bakar gas :

1. Nyala api kurang panjang

2. Panas radiasinya kurang

3. Membutuhkan tempat penampungan yang kuat dan tahan pada

tekanan tinggi.

2.2.6 Campuran Udara - Bahan Bakar

Dalam proses pembakaran ada beberapa hal penting yang harus

diperhatikan antara lain, bahan bakar, udara (oksigen), kalor dan reaksi kimia.

Selain itu, perbandingan campuran bahan bakar dan udara memegang peranan

penting pula dalam menentukan hasil pembakaran yang secara langsung

mempengaruhi reaksi pembakaran yang terjadi serta hasil/prodk dari proses

pembakaran.

Beberapa metode yang digunakan untuk menghitung rasio campuran

bahan bakar dan udara antara lain AFR (Air Fuel Ratio), FAR (Fuel Air

Ratio), dan Rasio Ekuivalen (Φ ).

a. Air Fuel Ratio (AFR)

Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan dalm

mendefinisikan campuran dan merupakan perbandingan massa dari udara

dengan bahan bakar pada suatu titik tinjau. Secara simbolis, AFR

dihitung sebagai berikut :

Page 30: Bab ii

35

AFR=ma

mf

=M a Na

M f N f

Jika nilai aktual lebih besar dari nilai AFR, maka terdapat udara

yang jumlahnya lebih banyak dari pada yang dibutuhkan sistem dalam

proses pembakaran dan dikatakan miskin bahan bakar, begitu pula

sebaliknya.

b. Fuel Air Ratio (FAR)

Meode ini merupakan metode yang memiliki prinsip kebalikan

dari metode air fule ratio yang dirumuskan sebagai berikut :

FAR=m f

ma

=M f N f

M a Na

c. Rasio Ekuivalen (Φ )

Didefinisikan sebagai perbandingan antara rasio AFR stokiometri

dengan rasio AFR aktual atau juga sebagai perbandingan antara dengan

rasio FAR aktual rasio FAR stokiometri.

Φ =

AFRs

AFRa

=FARa

FARs

1. Φ > 1 terdapat kelebihan bahan bakar dan campurannya disebut

sebagai campuran kaya bahan bakar (fuel-rich mixture)

2. Φ < 1 terdapat kekurangan bakar dan campurannya disebut sebagai

campuran miskin bahan bakar (fuel-lean mixture)

3. Φ = 1 merupakan campuran stokiometri (pembakaran sempurna)

d. Udara berlebih (Excess Air)

......................

.......................... (2.12)

......................

.......................... (2.13)

Page 31: Bab ii

36

Udara diperlukan dalam jumlah berlebih untuk memastikan bahan

bakar terbakar semua dan terjadi pembakaran yang sempurna

Untuk mencegah pembakaran yang tidak sempurna dalam proses

pembakaran di dalam furnace, maka diinjeksikan udara berlebih dari

kebutuhan udara teoritis. Udara excess yang rendah akan mengakibatkan

pembakaran yang tidak sempurna sehingga akan menurunkan efisiensi

furnace. Namun excess udara yang besar juga akan menghasilkan volume

flue gas yang besar, serta pembakaran akan diserap untuk menaikkan

temperatur udara.

Secara matematis excess air ratio (perbandingan udara berlebih)

API Recommended Practise 532 merumuskan sebagai berikut :

% Excess = x 100%

dimana :

O2% = Excess O2 sebenarnya

(dari analisa orsat atau O2 analyzer)

N2, CO2, H2O = Massa flue gas yang dihasilkan secara teoritis,

per lb fuel gas

Udara = Kebutuhan udara teoritis, per lb flue gas

Besarnya excess air untuk Furnace 025F-101 dengan natural

draft sebesar 20% untuk flue gas dan 25% untuk fuel oil. Sedangkan

untuk forced draft dibutuhkan excess air sebesar 10% untuk flue gas dan

10% untuk fuel oil.

..................... (2.14)Excess

Kebutuhan udara teoritis

Page 32: Bab ii

37

2.2.7 Panas Pembakaran

Panas pembakaran adalah panas yang dihasilkan dari pembakaran fuel

yang dinyatakan sebagai nilai kalori (heating value). Heating value dari

bahan bakar adalah jumlah panas yang dihasilkan dari setiap kg atau m3 atau

lb (pound) bahan bakar dan diukur dalam keadaan standart dan dinyatakan

dalam satuan kcal/kg, kcal/m3, atau Btu/lb.

Nilai kalori dibedakan menjadi dua yaitu Gross Heating Value (GHV)

atau Higher Heating Value (HHV) dan Net Heating Value (NHL) atau Low

Heating Value (LHV). GHV adalah nilai kalori dari bahan bakar yang

diperhitungkan apabila uap air yang terbentuk pada proses pembakaran keluar

sebagai cairan. NHV adalah nilai kalori dari bahan bakar yang diperhitungkan

apabila uap air yang terbentuk pada proses pembakaran keluar tetapa dalam

bentuk uap air.

Untuk menghitung jumlah jumlah kalori pada proses pembakaran di

dalam furnace, maka perlu dihitung berdasarkan :

a. Panas Pembakaran Fuel Gas atau Fuel Oil

Q = m x NHV

dimana :

m = Massa bahan bakar yang digunakan (lb/jam)

NHV = Nilai kalori bahan bakar (Btu/lb)

b. Panas Sensibel Fuel Gas atau Fuel Oil

Qs = m x Cp x ΔT

dimana :

.............................................. (2.15)

.............................................. (2.16)

Page 33: Bab ii

38

m = Massa bahan bakar yang digunakan (lb/jam)

Cp

ΔT

= Nilai kalori bahan bakar (Btu/lb)

= Beda temperatur bahan bakar dengan tempertaur

basis (0F)

c. Panas Sensibel Udara Pembakaran

Qa = ma x Cp x ΔT

dimana :

ma = Massa bahan bakar yang digunakan (lb/jam)

Cp

ΔT

= Nilai kalori bahan bakar (Btu/lb)

= Beda temperatur bahan bakar dengan tempertaur

basis (0F) Panas jenis bahan udara pembakaran

pada temperatur pengukuran (Btu/lb 0F)

d. Panas Steam Atomizing

Q = m.ΔH

dimana :

m = Massa steam yang digunakan (lb/jam)

ΔH = Enthalpy steam atomizing (Btu/lb mol)

e. Panas Sensibel Uap air dalam Udara Pembakaran

Qw = Mw x Cp xΔT

dimana:

Mw = Massa uap air dalam udara pembakaran (lb/jam)

.............................................. (2.17)

.............................................. (2.18)

.............................................. (2.19)

Page 34: Bab ii

39

Cp = Panas jenis uapa air pada temperatur yang sama dengan

temperatur udara pembakaran (Btu/lb0F)

ΔT = Beda temperatur udara pembakaran dengan tempertaur basis (0F)

2.2.8 Pembakaran Premix

Pembakaran dapat dilakukan secara premix maupun difusi.

Pembakaran premix merupakan salah satu proses pembakaran dimana bahan

bakar bercampur secara sempurna di dalam burner sebelum dialirkan ke

mulut burner dan mulai dibakar. Sedangkan pembakaran difusi merupakan

salah satu proses pembakaran dimana bahan bakar yang dialirkan melalui

burner belum bercampur dengan udara, namun pencampuran terjadi pada

ujung burner dan menyala ditempat yang sama.

Pada pembakaran premix terdapat dua zona gelombang, dimana kedua

zona gelombang ini dibedakan dari cepat rambat gelombang terhadap reaksi

campuran dalam gas premix, keduanya adalah :

Zona pra pemanasan (preheat zone)

Daerah dimana sedikit panas yang dilepaskan dan msih banyak bahan

bakar yang belum terbakar (unburn fuel)

Zona pemanasan (reaction zone)

Daerah dimana sebagian besar energi kimia dilepaskan.

Seperti yang terlihat dari gambar dibawah ini

Page 35: Bab ii

40

Gambar 2.10 Profil Nyala Api

(Sumber : Dougal Drysdale, An Introduction to Fire Dynamics, England)

a. Nyala Api Premix

Pada gambar dibawah ini terlihat bentuk nyala api premix. Pda

daerah yang berbentuk kerucut atau biasa disebut luminous flame terjadi

reaksi dan pelepasan energi panas sebagai entalpi reaksi gas yang

terbakar, sedangkan di bawahnya terdapr daerah gelap (dark zone), yaitu

tempat dimana molekul gas yang belum terbakar berubah alirannnya dari

arah sejajar sumbu tabung pembakaran ke arah luar tegak lurus

permukaan batas daerah gelap. Selanjutnya gas yang belum terbakar

mendapatkan energi panas sepanjang tebal daerah preheating zone (η0 )

sampai temperatur nyala (ignition temperatur :Ti) tercapai dan kemudian

bereaksi secara berulang dengan cepat sepanjang tebal daerah reaction

zone (ηR ), diiringi dengan pelepasan energi panas yang lebih besar lagi

hingga mencapai temperatur nyala api (flame temperatur : Tf).

Warna dari daerah luminous biasanya berubah menurut rasio

udara-bahan bakar (AFR) yaitu jika rasio campuran miskin bahan bakar

(lean mixture), maka permukaan kerucut nyala luminous berwarna ungu,

Page 36: Bab ii

41

yang menandakan banyaknya dihasilkan CH radikal. Dan jika rasio

campuran bahan bakar kaya kana bahan bakar (rich mixture) berwarna

hijau mendekati kebiruan, yang menandakan banyaknya konsentrasi

molekul C2.

Nyala api premix terdiri daerah terang, yang menunjukkan tempat

terjadinya reaksi dan energi panas dilepaskan daaerah reaksi (reaction

zone) yang memiliki ketebalan ±1 mm. Warna terang dapat berubah

tergantung rasio udara dan bahan bakar. Daerah schlieren (schlieren

zone) dan daerah gelap (dark zone), merupakan daaerah transisi

terjadinya perubahan molekul gas menjadi gas yang siap bereaksi pada

jarak daerah pemanasan awal (preheating zone).

Gambar 2.11 Struktur Nyala Api

(Sumber : Kenneth K, Kuo, Principle of Combustion, Canada)

Bentuk nyala api sangat ditentukan oleh kombinasi pengaruh

profil kecepatan perambatan nyala api (flame prpagation) dan pengaruh

hilangnya panas ke dinding tabung (flame quenching).

Page 37: Bab ii

42

Gambar 2.12 Vektor Diagram Kecepatan Nyala Laminar

(Sumber : Stephen R, Turns, An Introduction to Combustion Concepts

and Applications, Pennsylvania)

Supaya kontur struktur nyala api tidak berubah, maka kecepatan

nyala api harus sama dengan kecepatan normal komponen dari campuran

udara dan bahan bakar yang belum terbakar pada setiap lokasinya, dan

khususnya pada kondisi aliran gas laminar dengan bilangan Re < 2300

maka kecepatan nyala api termasuk kecepatan nyala api laminar (SI)

tidak dipengaruhi oleh bilangan reynold. Hal tersebut dapat dirumuskan

dengan persamaan sebagai berikut :

SI = Va sin α

b. Laju nyala api Laminar

Prose reaksi pembakaran dalam suatu nyala api adalah gabungan

dari reaksi kimia, perpindahan panas, perpindahan massa dan momentum

dengan difusi dan pola aliran sehingga bentuk dan ukuran nyala sangat

dipengaruhi oleh tahapan proses yang terjadi. Bentuk nyala api dibagi

dalam empat tahapan proses yaitu:

1. Daerah gas yang belum terbakar (Unburned Gas Zone)

.............................................. (2.20)

Page 38: Bab ii

43

2. Daerah pemanasan awal (Preheating Zone)

3. Daera reaksi (Reaction Zone)

4. Daerah gas terbakar (Burned Gas)

Gas premix yang akan berubah menjadi nyala premix memiliki

kesamaan pada kecepatan, temperatur, dan konsentrasi dengan bentuk

fisik yang tetap dalam daerah gas yang belum terbakar. Dalam daerah

preheating temperatur akan naik akibat konduksi energi panas dan pada

daerah ini gas premix menerima energi panas lebih besar dibandingkan

daerah lain. Daerah reaksi yang dimaksud yaitu :

1. Daerah reaksi primer, dimana sebagian besar hidrokarbon bereaksi,

akibatnya laju reaksi dan temperatur naik secara cepat.

2. Daerah setelah pembakaran (after burnig region), dimana terjadi

perubahan bentuk produk pertengahan seperti CO dan H2 menjadi

CO2 dan H2O dengan laju reaksi lebih lambat dan kenaikan

temperatur yang rendah.

2.2.9 Karakteristik nyala api

a. Batas mampu nyala (Limits of Flammability)

Pada prinsipnya terbentuknya nyala api apabila terdapat campuran

yang sesuai antara oksidator dan bahan bakar. Terdapat kisaran campuran

bahan bakar dan osidator diantaranya, kisaran batas bawah nyala api

(lower Flammability limits) dan batas atas nyala api (upper Flammability

limits). Pada saat campuran awal akan terjadi spark/percikan api disebut

sebagai batas bawah, dn apabila aliran gas ditambah hingga nyala api

Page 39: Bab ii

44

akan meredup yang kemudian disebut dengan batas atas mampu nyala

api.

b. Kestabilan Nyala Api

Kestabilan nyala api dipengaruhi oleh kesetimbangan laju massa

dinamik gas yang melibatkan perhitungan kekekalan massa, kekekalan

momentum dan kekekalan energi. Namun ada beberapa hal penting yang

berkaitan erat dalam proses pembakaran gas, yakni mencegah agar tidak

terjadinya flah back, lift off, dan bow off.

1. Fenomena Flash back

Hal ini dapat terjadi apabila kecepatan pembakaran lebih cepat dari

kecepatan campuran udara dan bahan bakar, sehingga nyala api

masuk kembali dalam ruang bakar. Fenomena ini disebut juga

dengan light back atau back fire.

Gambar dibawah ini menunjukkan daerah dari stabilitas nyala api

untuk bahan bakar gas industri berupa hidrogen.

Gambar 2.13 Diagram stabilitas Nyala Api

(Sumber : Stephen R, Turns, An Introduction to Combustion Concepts

and Applications, Pennsylvania)

Page 40: Bab ii

45

2. Fenomena Lift off

Fenomena ini terjadi karena nyala api tidak sampai ujung burner,

namun stabil pada daerah tertentu di dalam burner.

3. Fenomena Blow off

Merupakan fenomena dimana nyala api akan padam dikarenakan

kecepatan campuran udara dan bahan bakar lebih cepat bila

dibandingkan dengan kecepatan pembakaran.

2.2.10 CAD (Computer-Aided Drafting) dan CAE (Computer-Aided

Engineering)

a. CAD (Computer-Aided Drafting)

Najib (2011), menyatakan bahwa CAD (Computer-Aided Drafting)

adalah software untuk membuat design gambar teknik. Sistem CAD

merupakan kombinasi dari hardware dan software yang memungkinkan

untuk merancang sesuatu produk atau benda, mulai dari yang sederhana

sampai yang rumit. Produk atau benda yang ingin digambarkan bisa

diwakili oleh garis-garis maupun simbol-simbol yang memiliki makna

tertentu. CAD bisa berupa gambar dua dimensi dan gambar tiga dimensi.

Contoh program berbasis CAD adalah AutoCAD. AutoCAD sangat

universal, dipergunakan hampir seluruh bidang rekayasa yang

memanfaatkan keunggulan CAD untuk menunjang pekerjaan mereka.

Kemampuan AutoCAD beradaptasi untuk disesuaikan dengan

kebutuhan spesifik dari suatu bidang tertentu merupakan salah satu

keunggulan yang belum dimiliki oleh program CAD.

Page 41: Bab ii

46

b. CAE (Computer-Aided Engineering)

Najib (2011), menyatakan bahwa CAE (Computer-Aided

Engineering) adalah sistem komputer yang menganalisis rancangan

rekayasa/teknik. Sebagian besar sistem CAD mempunyai komponen CAE,

tetapi terdapat juga sistem CAE terpisah yang dapat digunakan untuk

menganalisis rancangan yang dihasilkan oleh berbagai sistem CAD.

Sistem CAE dapat mensimulasikan rancangan dalam berbagai kondisi

untuk melihat bagaimana cara kerja sebenarnya. Contoh dari program yang

berbasis CAE adalah CATIA, Autodesk Inventor, atau ANSYS yang di

dalamnya juga berbasis metode elemen hingga. Dalam melakukan

perhitungan tegangan dan regangan, aliran fluida, perpindahan panas dan

lain sebagainya software ANSYS menggunakan metode elemen hingga.

Metode elemen hingga adalah suatu metode numerik yang tentunya cocok

digunakan dengan komputer digital. Dengan metode ini, suatu problem di

bagi-bagi (meshing) menjadi beberapa substruktur. (elemen). Kemudian

dengan menggunakan matriks, problem dari tiap titik (node) akan

dihubungkan dengan jenis fluida, model aliran, dan lain sebagainya.

Tuakia (2008), menyatakan bahwa, untuk memahami CFD,

pertama-tama membagi dua kata Computional Fluid Dynamic, menjadi

sebagai berikut:

1. Computional: segala sesuatu yang berhubungan dengan matematika

dan metode numerik atau komputasi.

2. Fluid Dynamic: dinamika dari segala sesuatu yang mengalir

Page 42: Bab ii

47

Ditinjau dari istilah diatas, CFD bisa berarti suatu teknologi

komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dimanika dari benda-

benda atau zat-zat mengalir.

Secara definisi, CFD adalah ilmu yang mempelajari cara

memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena

lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika.

Pada dasarnya, persamaan-persamaan pada fluida dibangun dan

dianalisa berdasarkan persamaan-persamaan diferensial parsil (PDE=

Partial Differential Equation) yang mempresentasikan hukum-hukum

konservasi massa, momentum, dan energi.

Sebuah perangkat lunak (software) CFD memberikan kekuatan

untuk mengsimulasikan aliran fluida, perpindahan panas, perpindahan

massa, benda-benda yang bergerak, aliran multifasa, raksi kimia dan lain-

lain. Dengan menggunakan software ini, dapat membuat virtual prototype

dari sebuah sistem atau alat yang ingin anda analisis dengan menerapkan

kondisi nyata di lapangan. Software CFD akan dapat memberikan gambar-

gambar, data-data, atau kurva-kurva yang menunjukkan prediksi dari

performansi sistem.

c. Tampilan ANSYS

Geometry

Dengan menggunakan design modeller, geometry dari sebuah

proyek rancangan akan dibuat dalam bentuk gambar sketsa 2D dan

modelling 3D. Selain itu dapat juga digunakan import new geometry untuk

membaca file yang berformat CATIA, Solidwork, iges, STEP dan lainnya.

Page 43: Bab ii

48

Hal tersebut memudahkan kita untuk menggunakan software lain dalam

membuat bentuk rancangan gambar 2D maupun 3D.

Klik Geometry dua kali pada menu ANSYS FLUENT atau klik

kanan kemudian pilih edit geometry, sehingga di dapat tampilan sebagai

berikut:

Gambar 2.14 Geometry pada design modeler

Mesh

Pada tahap model ini proyek medelling berupa 3D dari design

Modeller ada di-meshing untuk membagi node-node yang mempermudah

dalam analisisi menggunakan ANSYS Fluent. Untuk meshing kembali

pada jendela awal tampilan ANSYS Fluid Flow Fluent kemudian klik dua

kali icon mesh. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Page 44: Bab ii

49

Gambar 2.15 Tampilan ANSYS Fluid Flow Fluent mesh

Setup

Setelah meshing selesai, pada tampilan awal jendela ANSYS klik

dua kali icon setup, pada kndisi ini nantinya akan dimasukkan parameter-

parameter yang digunakan untuk proses simulasi.

Gambar 2.16 Tampilan ANSYS Fluid Flow Fluent setup

- Solution

Pada tahap ini akan ditentukan besarnya iterasi yang menjadikan

simulasi konvergen agar kesalahan didapat sekecil mungkin. Pada

kondisi ini sudah tersedia pada lembar kerja Setup.

- Result

Page 45: Bab ii

50

Setelah semua parameter dimasukkan, maka hasil akan dapat

diperoleh dari suatu analisa geometri atau proyek yang dilakukan.

Untuk memproses semua parameter yang telah dimasukkan.

Garg, Ashutosh., 2010, New Approach to Optimizing Fired Heaters, Thirty-

second Industrial Energy Technology Conference, New Orleans, LA, 19-22 May.