bab II-2

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Gejala Somatik II.1.1. Definisi Gejala somatik (Somatik Symptomps Disorder) adalah stress fisik atau gejala yang terdapat pada tubuh termasuk nyeri di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat.. Pada SSD respon gejala somatik sangat berlebihan dan menyebabkan ketakutan, masalah dan gangguan pada fungsi optimal. 5 II.1.2. Klasifikasi Gejala-gejala somatik yang dapat timbul diantaranya: 1. Gejala nyeri: nyeri difus, nyeri sendi, nyeri pada ekstremitas, sakit kepala. 2. Gejala pseudoneurologik: amnesia, kehilangan suara, kejang, sulit berjalan, sulit menelan. 3. Gejala organ reproduksi: nyeri pada organ genital, siklus menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi yang berlebihan, nyeri saat berhubungan. 4. Gejala jantung-paru: palpitasi, nyeri dada, dizziness, nafas pendek saat beristirahat. 4

description

bab2

Transcript of bab II-2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Gejala Somatik

II.1.1. Definisi

Gejala somatik (Somatik Symptomps Disorder) adalah stress fisik atau

gejala yang terdapat pada tubuh termasuk nyeri di mana tidak dapat ditemukan

penjelasan medis yang adekuat.. Pada SSD respon gejala somatik sangat

berlebihan dan menyebabkan ketakutan, masalah dan gangguan pada fungsi

optimal. 5

II.1.2. Klasifikasi

Gejala-gejala somatik yang dapat timbul diantaranya:

1. Gejala nyeri: nyeri difus, nyeri sendi, nyeri pada ekstremitas, sakit kepala.

2. Gejala pseudoneurologik: amnesia, kehilangan suara, kejang, sulit

berjalan, sulit menelan.

3. Gejala organ reproduksi: nyeri pada organ genital, siklus menstruasi tidak

teratur, perdarahan menstruasi yang berlebihan, nyeri saat berhubungan.

4. Gejala jantung-paru: palpitasi, nyeri dada, dizziness, nafas pendek saat

beristirahat.

5. Gejala gastrointestinal: mual, muntah, nyeri perut.

6. Gejala lain: alergi makanan yang tidak jelas, kelelahan kronis, sensitif

pada beberapa bahan kimia.6

II.1.3. Epidemiologi

SSD lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria, ada komorbiditas

dengan gangguan psikologi lainnya, gangguan mood khususnya atau gangguan

4

kecemasan. Penelitian juga menunjukkan komorbiditas antara gejala gangguan

somatik dan gangguan kepribadian terutama antisosial, ambang, narsistik,

histrionik, penghindar dan kepribadian dependen. Sekitar 10-20% kerabat wanita

tingkat pertama memiliki gejala-gejala gangguan somatik dan kerabat laki-laki

memiliki angka alkoholisme dan sosiopati yang lebih tinggi. 8

II.1.4. Patofisiologi

Salah satu penjelasan klasik untuk gangguan gejala somatik berdasarkan

kemajuan teori bahwa SSD adalah hasil dari upaya tubuh untuk mengatasi stres

emosional dan stres psikologi. Teori menyatakan bahwa tubuh memiliki

kemampuan afinitas untuk mengatasi tekanan psikologis, emosional, dan sosial

dan di luar titik gejala tertentu seperti mempengaruhi sistem cerna, saraf dan

reproduksi. Terdapat banyak sistem umpan balik yang berbeda, dimana pikiran

mempengarui tubuh. Terdapat banyak perbedaan sistem umpan balik yang dimana

pikiran dapat mempengaruhi tubuh; misalnya, sakit kepala yang diketahui terkait

dengan faktor psikologis dan stres, dan hormon kortisol yang dikenal memiliki

dampak negatif pada fungsi kekebalan tubuh. Hal ini mungkin menjelaskan

mengapa gejala gangguan somatik lebih mungkin untuk memiliki gangguan mood

atau kecemasan. Ada juga banyak peningkatan kejadian SSD pada wanita dengan

riwayat kekerasan fisik, emosional atau seksual. 7

Hipotesis lainnya yang menyebabkan gejala gangguan somatik adalah

lebih sensitifnya pada sensasi fisik internal dan nyeri. Sensitifitas biologi pada

gejala somatik dapat menjadi faktor predisposisi untuk berkembang menjadi SSD.

Hal ini mungkin saja terjadi bahwa tubuh dapat mengalami peningkatan

sensitifitas pada saraf yang berhubungan dengan nyeri, sehungga akan

menyebabkan persepsi nyeri, seperti contohnya pada terpajan stress kronik.

Teori kognitif menjelaskan bahwa SSD timbul dari pikiran negatif, terdistorsi dan

katastropik dan penguatan dari kognisi tersebut. Pikiran katastropik dapat

menyebabkan seseorang untuk percaya bahwa penyakit ringan, seperti nyeri otot

ringan atau sesak napas, adalah bukti dari penyakit serius seperti kanker atau

tumor. Pikiran-pikiran ini kemudian dapat diperkuat oleh hubungan sosial yang

5

mendukung. Seorang pasangan yang bereaksi lebih terhadap isyarat nyeri

pasangannya membuat lebih mungkin bahwa ia akan mengungkapkan rasa sakit

yang lebih besar. Anak-anak dari orang tua yang sibuk atau terlalu memperhatikan

keluhan somatik dari anak-anak mereka lebih mungkin untuk mengembangkan

gejala somatik. Distorsi kognitif yang parah bisa membuat orang dengan SSD

membatasi perilaku yang sedang ia lakukan, dan menyebabkan peningkatan

disabilitas dan gangguan fungsional.

II.1.5. Kriteria Diagnostik DSM V

Gangguan gejala somatic berdasarkan kriteria diagnostik DSM V diantaranya:

A. Satu atau lebih gejala somatik yang distress atau menimbulkan gangguan

signifikan dari kehidupan sehari-hari.

B. Pikiran yang berlebihan, perasaan atau perilaku terkait dengan gejala somatik

atau masalah kesehatan yang berhubungan seperti yang dituturkan oleh

setidaknya salah satu dari berikut:

1. Pikiran yang tidak proporsional dan terus-menerus tentang keseriusan

gejala seseorang.

2. Masih tingginya kecemasan tentang kesehatan atau gejala.

3. Waktu yang sangat lama dan energi yang ditujukan untuk gejala-gejala

tersebut atau fokus kesehatan .

Meskipun salah satu gejala somatik mungkin tidak terus menerus hadir, keadaan

menjadi gejala persisten (biasanya lebih dari 6 bulan)

300.82 (F45.1): Gangguan Gejala Somatik

Tentukan apakah: dengan nyeri dominan; persisten; keparahan saat ini: ringan,

sedang, atau berat

6

II.1.6. Pengobatan

Terapi perilaku kognitif (CBT) merupakan pengobatan terbaik untuk

berbagai gangguan somatoform termasuk gangguan somatisasi. CBT bertujuan

untuk membantu pasien menyadari penyakit mereka tidak katastropik (penyakit

yang berbiaya tinggi dan secara komplikasi dapat terjadi ancaman jiwa yang

membahayakan jiwanya) dan untuk memungkinkan mereka untuk secara

bertahap kembali ke aktivitas sebelumnya, tanpa takut gejala yang memburuk.

Konsultasi dan kolaborasi dengan dokter perawatan primer juga menunjukkan

beberapa efektivitas. Penggunaan antidepresan juga merupakan

Shock therapy electroconvulsive (ECT) telah digunakan dalam mengobati

gangguan somatisasi kalangan orang tua namun hasilnya masih diperdebatkan

dengan beberapa kekhawatiran efek samping penggunaan ECT.

Secara keseluruhan, psikolog menyatakan bahwa kesulitan umum

menangani pasien dengan gangguan somatisasi adalah dalam pembacaan emosi

mereka sendiri. Ini mungkin fitur utama dari pengobatan; serta mengembangkan

kolaborasi yang dekat antara dokter umum, pasien dan praktisi kesehatan mental.9

II.2 Psikiatri

II.2.1. Definisi

Psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari segala hal yang

berhubungan dengan gangguan jiwa, yaitu dalam hal pengenalan, pengobatan,

rehabilitas dan pencegahan seta juga dalam hal pembinaan dan peningkatan

kesehatan jiwa.

II.2.2. Fondasi Ilmu psikiatri

Ilmu psikiatri dibangun atas 4 fondasi yaitu :

1. Dimensi organo-biologis yaitu aspek pengetahuan tentang organ-organ

tubuh serta fungsi fisiologis tubuh manusia khususnya yang berkaitan

langsung dengan aspek kesehatan jiwa (Sistem saraf pusat).

7

2. Dimensi psiko-edukatif yaitu aspek pengetahuan tentang perkembangan

psikologis manusia serta pengaruh pendidikan-pengajaran terhadap

seorang manusia sejak lahir hingga lanjut usia.

3. Dimensi social-lingkungan yaitu aspek pengetahuan tentang pengaruh

kondisi social budaya serta kondisi lingkungan kehidupan terhadao derajat

kesehatan jiwa manusia.

4. Dimensi spiritual-religius yaitu aspekpengetahuan tentang pengaruh taraf

penghayatan dan pengalaman nilai-niali spiritual-religius terhadap derajat

kesehatan jiwa manusia.

II.2.3. Variabel Stressor

Variabel stressor pada psikiatri meliputi:

1. Stress umum

Stress ini dapat berupa suatu peristiwa atau situasi kehidupan dimana

individu tidak dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas Holmes

dan Richard Rahe, didalam skala urutan penyesuaian kembali sosial

( social read justment rating scale) menuliskan 43 peristiwa kehidupan

yang disertai oleh jumlah gangguan dan stress pada kehidupan orang rata-

rata, sebagai contohnya kematian pasangan 100 unit perubahan kehidupan,

perceraian 73 unit, perpisahan perkawinan 65 unit, dan kematian anggota

keuarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada ratusan

orang dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relative

penyesuaian yang diperlukan oleh perubahan lingkungan kehidupan.

Penelitian terakhir telah menemukan bahwa orang yang mengahdapi stress

umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung

mengalami gangguan psikosomatis, jika mereka mengalaminya mereka

mudah pulih dari gangguan

2. Stress spesifik lawan non spesifik

Stress psikis spesifik dan nonspesifik dapat didefinisikan sebagai

kepribadian spesifik atau konflik bawah sadar yang menyebabkan

ketidakseimbangan homeostasis yang berperan dalam perkembangan

gangguan psikosomatis. Tipe kepribadian tertentu yang pertamakali

8

diidentifikasi berhubungan dengan kepribadian coroner (orang yang

memiliki kemauan keras dan agresif yang cenderung mengalami oklusi

miokardium).

3. Variabel fisiologis

Faktor hormonal dapat menjadi mediator antara stress dan penyakit dan

variable lainnya adalah kerja monosit system kekebalan. Mediator antara

stress yang didasari secara kognitif dan penyakit mungkin hormonal,

seperti pada sindroma adaptasi umum Hans Selye, dimana hidrokortison

adalah mediatornya, mediator mungkin mengubah fungsi sumbu hipotesis

anterior hipotalamus adrenal dan penciutan limfosit. Dalam rantai

hormonal, hormone dilepaskan dari hipotalamus dan menuju hipotesis

anterior, dimana hormone tropic berinteraksi secara langsung atau

melepaskan hormone dari kelenjar endokrin lain. Variable penyebab

lainnya mungkin adalah kerja monosit system kekebalan. Monosit

berinteraksi dengan neuroprptida otak, yang berperan sebagai pembawa

pesan (messager) antara sel-sel otak. Jadi, imunitas dapat mempengaruhi

keadaan psikis dan mood.10

II.3 Hubungan Gejala Somatik dengan Psikiatri

II.3.1. Definisi

Psiko artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi psikosomatis artinya

penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang.

Penyakit ini juga disebut dengan penyakit akibat stress. Gangguan psikosomatis

ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang menyerupai penyakit fisik

dan diyakini adanya suatu hubungan yang erat antara suatu peristiwa psikososial

tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut. Gangguan psikosomatik ini

banyak ditemukan pada praktek dokter sehari-hari; namun gangguan ini sering

kali diabaikan dan bahkan dilupakan. Biasanya penderita datang dengan beraneka

macam keluhan somatik mulai dari keluhan jantung, sakit perut seperti nyeri ulu

hati, kembung, mual, diare (keluhan gastrointestinal), keluhan sakit kepala dan

9

lain-lain. Ditempat praktek dokter sehari-hari banyak pasien yang menonjolkan

keluhan-keluhan somatik saja tanpa menyertakan keluhan psikisnya. Jarang sekali

faktor psikis(emosi) seperti frustasi, konflik, ketegangan dan lain-lain

dikemukakan sebagai keluhan utama oleh penderita, padahal faktor psikis tersebut

yang memicu timbulnya keluhan fisik penderita. 5

II.3.2. Epidemiologi

Prevalensi gangguan psikosomatik cukup tinggi yaitu 16,1-21,9%, bahkan

Fin et al menemukan sampai 30,3%

II.3.3. Gangguan Spesifik pada Psikosomatis

Ada beberapa gangguan spesifik yang dapat disebabkan oleh gangguan psikis :

1. System kardiovaskuler

Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau

kecemasan yang akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya

pompa jantung dan tekanan darah, mempercepat denyut jantung,

meninggikan daya pompa jantung dan tekanan darah, menimbulkan

kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan putus asa

mengurangi frekuensi, daya pompa jantung dan tekanandarah. Gejala-

gejala yang sering didapati antara lain : takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri

pericardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur.

Gejala-gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan

kecemasan.

2. Sistem pernapasan

a. Asma bronkialis

Faktor genetic, alergik, infeksi, stress akut dan kronis semuanya

berperan dalam menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan

alergi penderita menimbulkan konstriksi bronkioli bila system saraf

vegetative juga tidak stabil dan mudah terangsang. Walaupun pasien

asma karakteristiknya memiliki kebutuhan akan ketergantungan yang

berlebihan, tidak ada tipe kepribadian spesifik yang telah

diindentifikasi. Pasien asmatik harus diterapi dengan melibatkan

10

berbagai disiplin ilmu antara lain menghilangkan stress, penyesuaian

diri, menghilangkan alergi serta mengatur kerja system saraf vegetative

dengan obat-obatan.

b. Sindroma hiperventilasi

Sindroma hiperventilasi disebut juga dispeneu nerveous(freud), pseudo

asma, distorsia pulmonal(hochrein). Gambaran klinis berupa :

- Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki

- Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata

kabur yang dikenal sebagai blury eyes. Penderita juga mengeluh

bingung, sakit kepala dan pusing.

- Keluhan pernapasan seperti dispneu, takipnu, batuk kering, sesak

dan perasaan tidak dapat bernapas bebas

- Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai

angina pectoris dan juga ditemukan pada kelainan fungsional

jantung dan sirkulasi

- Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat

menggagu, cepat lelah, lemas, mengatuk dan sensitive terhadap

cuaca

c. Tuberculosis

Onset dan perburukan tuberculosis sering kali berhubungan dengan

stress akut dan kronis. Faktor psikologis mempengaruhi system

kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan pasien terhadap

penyakit. Psikoterapi suportif adalah beguna karena peranan stress dan

situasi psikososial yang rumit

3. System endokrin

a. Hipertiroidisme

Hipertiroidisme (tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai

oleh perubahan biokimiawi dan psikologis yang terjadi sebagai akibat

dari kelebihan hormone tiroid endogen atau eksogen yang kronis.

Gejala mediasi yang sering muncul berupa intoleransi panas,keringat

berlebih, diare, penurunan berat badan, takikardi, palpitasi dan muntah.

Gejala dan keluhan psikiatrik yang muncul antara lain ketegangan,

11

eksitabilitas, iritabilitas, bicara tertekan, insomnia, mengekspresikan

rasa takut yang berlebihan terhadap ancaman kematian.

b. Diabetes meilitus

Diabetes meilitus adalah suatu gangguan metabolism dan system

vaskuler yang dimanifestasikan oleh gangguan penanganan glukosa,

lemak, dan protein tubuh. Riwayat herediter dan keluarga sangat

penting dalam onset diabetes. Onset yang mendadak sering kali

berhubungan dengan stress emosional yang menggangu keseimbangan

homeostatic pasien yang terpredisposisi. Meninger berpendapat bahwa

ada hubungan antara psikoneurotik dengan diabetes, dengan alasan :

Jelas adanya gangguan mental sebelum timbulnya penyakit

diabetes.

Gangguan mental yang lain dari gejala mental yang timbul

pada penyakit hati atau hipoglikemi

Penyembuhan gangguan mental pararel dengan keadaan kadar

gula darah

Gangguan metabolismekarbohidrat dan glukosuria membaik

dengan diet

Dengan sembuhnya gangguan metal, diabetes juga membaik

Menurut Meninger ada 3 gangguan mental yang dijumpai pada

diabetes : depresi, anxietas, fatigue (lelah)

c. Gangguan endokrin wanita

Premenstrual sindrom (PMS) ditandai oleh perubahan subjektif mood,

rasa kesehatanfisik dan psikologis umum yang berhubungan dengan

siklus menstruasi. Secara khusus, perubahan kadar esterogen,

progesterone dan prolactin dihipotesiskan berperan penting sebagai

penyebab. Gejala biasanya dimulai segara setelah ovulasi, meningkat

secara bertahap dan mencapai intensitas maksimum kira-kira lima hari

sebelum periode menstruasi dimulai. Faktor psikososial, dan biologis

telah terlibat didalam pathogenesis gangguan.

Penderitaan menopause (menopause distress), adalah suatu keadaan

yang terjadi setelah tidak adanya periode menstruasi selama satu tahun.

12

Banyak gejala psikologis yang dihubungkan dengan menopause,

termasuk kecemasan, kelelahan, ketegangan, labilitas emosional,

mudah marah (iritabilitas), depresi, sakit kepala, dan insomnia. Tanda

dan gejala fisik adalah keringat malam, muka kemerahan dan kilatan

panas (hot flash). Keadaan ini kemungkinan berhubungan dengan

sekresi luteinizing hormone (LH). Fungsi yang tergantung pada

esterogen hilang secara berurutan, dan wanita mungkin mengalami

perubahan atrofik pada permukaan mukosa, disertai oleh vaginitis,

pruritus, dyspareunia dan stenosi.

Wanita mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolism

kalsium dan lemak, kemungkinan sebagai efek sekunder dari

penurunan kadar esterogen dan perubahan tersebut mungkin disertai

oleh sejumlah masalah medis yang terjadi pada tahun-tahun pasca

menopause, seperti osteoporosis dan aterosklerosis coroner.

Keparahan gejala menopause tampaknya berhubungan dengan

kecepatan pemutusan hormone, jumlah deplesi hormone, kemampuan

konstitusional wanita untuk menahan proses ketuaan, kesehatan dan

tingkat aktifitas mereka, serta arti psikologis ketuaan bagi mereka.

kesulitan psikatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang

selama siklus kehidupan fase involusional. Wanita yang sebelumnya

mengalamai kesulitan psikologis, seperti harga diri yang rendah dan

kepuasan hidup yang rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan

selama menopause.

4. Gangguan kekebalan

a. Penyakit infeksi

Penelitian klinis menyatakan bahwa variable psikologis mempengaruhi

kecepatan pemulihan dari mononucleosis infeksius dan influenza.

Stress dan keadaan psikologis yang buruk menurunkan daya tahan

terhadap tuberculosis dan mempengaruhi perjalanan penyakit. Dengan

demikian perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan

psikologis orang

.

13

b. Gangguan alergi

Bukti klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan

pencetus alergi. Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis

yang melibatkan hipersensitifitas segera yang berhubungan dengan

proses psikososial

c. Transplantasi organ

Pengaruh psikososial seperti kehidupan yang penuh dengan stress,

kecemasan dan depresi mempengaruhi system kekebalan yang

berperan dalam mekanisme penolakan transplantasi organ

5. Kanker

a. Masalah pasien

Reaksi psikologis mereka adalah rasa takut akan kematian, cacat,

ketidakmampuan, rasa takut ditelantarkan dan kehilangan kemandirian,

rasa takut diputuskan dari hubungan, fungsi peran dan finansial,

kecemasam, kemarahan dan rasa bersalah. Setengah dari pasien kanker

menderita gangguan mental berupa gangguan penyesuaian 68%,

gangguan depresi berat 13% dan delirium 8%. Pada pasien kanker

sering ditemukan pikiran dan keinginan bunuh diri.

b. Masalah yang berkaitan dengan pengobatan

- Terapi radiasi.

Efek samping terapi radiasi adalah ensefalopati yang berhubungan

dengan peningkatan intracranial

- Kemoterapi

Efek samping kemoterapi berupa mual dan muntah

- Rasa sakit

Pasien kanker dengan rasa sakit memiliki insidensi depresi dan

kecemasan yang lebih tinggi disbanding mereka yang tanpa rasa

sakit.

c. Masalah keluarga

Kecemasan dan depresi dalam anggota keluarga memerlukan

intervensi yang aktif. Keluarga harus memberikan pelayanan untuk

pasien.

14

6. Gangguan kulit

a. Pruritus menyeluruh

Pruritus psikogenik menyeluruh adalah tidak ada penyebab organic.

Kemarahan yang terekspresi dan kecemasan yang terkspresi

merupakan penyebab paling sering, karena secara disadari atau tidak

mereka menggaruk dirinya secara kasar

b. Pruritus setempat : pruritus ani, vulva

c. Hyperhidrosis

Hyperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang

diperantarai oleh system saraf otonom. Ketakutan, kemarahan dan

ketegangan dapat menyebabkan meningkatnya sekresi keringat, karena

manusia memiliki 2 mekanisme berkeringat yaitu termal dan

emosional. Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak

tangan, telapak kaki dan aksila. Berkeringat termal paling jelas pada

dahi, leher,punggung tangan dan lengan bawah

7. Nyeri kepala

a. Migren

Migren adalah gangguan paroksismal yang ditandai oleh nyeri kepala

rekuren, dengan atau tanpa gangguan visual dan gastrointestinal. 2/3

pasien memiliki riwayat gangguan yang sama. Kepribadian

obsessional yang jelas terkendali dan perfeksionistik, yang menekan

marah, dan yang secara genetic berpredisposisi pada migren mungkin

menderita nyeri kepala tersebut. Mekanisme terjadinya migren

psikosomati berupa :

- Vasospasme arteri serebri

- Distensi arteri karotis eksterna

- Edema dinding arteri

Periode prodromal migren paling baik diobati oleh ergotamine, tartrate

(cafergot) dan analgetik. Psikoterapi bermanfaat untuk menghilangkan

efek konflik dan stress.

15

b. Tension (kontraksi otot)

Terjadi pasa 80% populasi selama periode stress emosional.

Kepribadian tipe A yang tegang, berjuang keras dan kompetitif peka

terhadap gangguan ini. Stress emosional sering kali disertai kontraksi

otot kepala dan leher yang lama melebihi beberapa jam dapat

menyempitkan pembuluh darah yang menyebabkan iskemia.

Gejalanya berupa nyeri tumpul dan berdenyut dimulai pada sub

ocipitalis yang menyebar ke seluruh kepala. Kulit kepala nyeri

terhadap sentuhan, biasanya bilateral dan tidak disertai gejala

prodromal seperti mual muntah. Onset cenderung pada sore dan malam

hari. Pada stadium awal dapat diberikan anti ansietas, pelemas otot dan

pemijatan atau aplikasi panas pada kepala dan leher. Jika terdapat

depresi yang mendasari anti depresan perlu diberikan. Jika kronis

psikoterapi merupakan terapi pilihan.

Biasanya banyak penderita datang pada dokter dengan keluhan-

keluhan, tetapi tidak didapatkan penyakit atau diagnosis tertentu,

namun selalu disertai dengan keluhan dan masalah. Pada 239 penderita

dengan gangguan psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang

paling sering didapati yaitu 89%terlalu memperhatikan gejala –gejala

pada badannya dan 45% merasa kecemasan, oleh karena itu pada

pasien psikosomatis perlu ditanyakan beberpa faktor yaitu :

1. Faktor sosial dan ekonomi, kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran

ekonomi, pekerjaan yang tidak tentu, hubungan dengan keluarga

dan orang lain, minatnya, pekerjaan yang terburu-buru, kurang

istirahat.

2. Faktor perkawinan, perselisihan, perceraian, kekecawaan dalam

hubungan seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan.

3. Faktor kesehatan, penyaikt-penyakit menahun, pernah masuk

rumah sakit, pernah dioperasi, adiksi terhadap obat, tembakau.

4. Faktor psikologik, stress pskiologik,, keadaan jiwa waktu

dioperasi, waktu penyakit berat, status didalam keluarga dan stress

yang timbul.6

16

II.3.4. Pemeriksaan Gangguan Psikosomatis

Quirido membagi cara pemeriksaan dalam 3 lapangan : lapangan psikis,

lapangan sosial, lapangan somatik.

Yang ditujukan pada lapangan kejiwaan dinamakan psikoterapi indentik.

Yang ditujukan pada lapangan sosial somatik disebut psikoterapi non identic,

yang terdiri dari pemeriksaan fisik, mengobati kelainan fisik dengan obat,

memperbaiki kondisi sosial ekonomi, lingkungan, kebiasaan hidup sehat.

Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum

tidak mempunyai gangguan organic, 1/3 yang lain memiliki gangguan organic

tapi keluhannya berlebihan. Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita

dengan gangguan psikosomatik dapat ditolong. Kita dapat menerangkan kepada

penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak

terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk

menerangkan bagaimana emosi dapat menggangu tubuh dapat diambil contoh

sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang

takut menajdi bergemetar dan pucat. Dapat dipakai perumpamaan meurut

pendidikan dan pengetahuan penderita.

II.3.5. Cara pengobatan psikosomatis

Pengobatan gangguan psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan

dengan beberapa cara dengan mempertimbangakan pengobatan somatik

(berorientasi pada organ tubuh yang mengalami gangguan), pengobatan secara

psikologis (psikoterapi) serta psikofarmakaterapi (penggunaan obat-obatan yang

berhubungan dengan psikologi). Metode mana yang kemudian dipilih oleh dokter

sangat tergantung pada jenis kasus dan faktor-faktor yang terkait dengannya.

Seringkali pengobatan psikosomatis hanya bersifat simptomatis

(berdasarkan gejala yang timbul), sehingga penyakit ini berulang dan dapat

berlangsung bertahun-yahun. Hal ini dapat terjadi karena sebenarnya etiologi

utama dari penyakit ini belum diketahui atau tidak dicari dan terlebih karena

memang terdiri dari banyak faktor yang saling terkait (khususnya faktor

17

psikologis). Memang pada kasus-kasus yang berat, gejala penyakit akan hilang

dengan pemberian obat-obat simptomatis karena gangguan psikologis sudah

berkembang sehingga penyakit somatik (penyakit yang didasari oleh adanya

gangguan pada organ tubuh) yang lebih mendominasi.

Pada kasus tahap awal, biasanya pengobatan hanya ditujukan kepada

faktor somatik (fisik). Hal ini dapat menyebabkan penyakit timbul kembali dan

yang lebih parah akan menurunkan kepercayaan pasien akan kemungkinan

penyakitnya sembuh yang sebenarnya akan memperparah kelainan

psikosomatiknya sendiri. Akan tetapi memangagak sulituntuk membedakannya

dengan gangguan psikosomatis dehingga baru dapat dibedakan bila kejadiannya

telah berulang. Disinilah perlunya psikoterapi sebagai pendamping terpai somatik.

Sebagaimana telah diuraikan, hubungan antara penyakit somatik dan

kondisi psikologis seseorang sangatlah erat sehingga dapat memungkinkan

terjadinya interaksi antara keduanya.masalah yang menyebabkan seseorang

datang kedokter yang berhubungan dengan kondisi psikologisnya dapat

berhubungan dengan dua hal, yaitu masalah yang tampaknya berhubungan dengan

masalah pasien di masa lalu atau masalah yang tampaknya berasal dari stress dan

tekanan masa sekarang yang melebihi pengendalian sabar pasien. Atau dapat pula

terjadi kombinasi dari kedua masalah tersebut. Psikoterapi bertujuan untuk

menggali masalah-masalah psikologis yang tersembunyi pada pasien, dengan

harapan setelah masalah-masalah tersebut disingkirkan, keluhan fisik pasien dapat

turut hilang.

Pada keadaan tertentu dimana terapi somatik dan psikoterapi telah

dilakukan terapi penyakit masih menetap atau terus berulang perlu

dipertimbangkan penggunaan psikofarmaka karena mungkin gangguan psikologis

yang diderita berhubungan dengan kondisi kimiawi diotak yang mengalami

ketidak seimbangan. Psikofarmaka bekerja pada gangguan psikosomatik dengan

mempengaruhi afek dan emosi serta fungsi vegetative yang berkaitan. Terapi jenis

ini dapat di definisikan sebgaia suatu usaha untuk mengoreksi atau mengobati

perilaku, pikiran atau mood (keinginan) yang mengalami gangguan akibat

perubahan zat kimia atau cara fisik lainnya. Hubungan antara seadaan fisik tubuh

18

dengan otak pada suatu sisi dan pengaruhnya pada sisi lain sangatlah kompleks

dan belum dimengerti seluruhnya. Tetapi, berbagai para meter normal dan

abnormal mseperti persepsi, perasaan dan kognitif mungkin dipengaruhi oleh

adanya perubahan fisik dalam system saraf pusat walaupun dalam jumlah yang

sangat minimal. Karena tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan gangguan

yang mempengaruhinya, terapi obat gangguan mental adalah bersifat empiris

namun demikian, banyak terapi organic yangh langsung memperbaiki kelainan

pada otak telah terbukti sangat efektif dan merupakan terapi pilihan untuk kondisi

tertentu. Pada dasarnya psikofarmaka bekerja lebih intensif pada penyakit

psikosomatik daripada obat local simptomatis tetapi kurang spesifik disbanding

obat tersebut karena pada umumnya tidak mempengaruhi faktor etiologisnya.

Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat tidur, obat

penenang, dan anti depresan. Penggunaan jenis obat ini perlu pengawasan yang

ketat karena seringkali menimbulkan efek samping sperti ketergantungan

psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat,depresi dan sifat

menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan psikomotoris dan iritatabilitas. 10

19

BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Gangguan psikosomatis ialah gangguan atau penyakit dengan gejala-gejala yang menyerupai penyakit fisik dan diyakini adanya suatu hubungan yang erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala tersebut. Untuk mengobati gejala gangguan somatic dapat dilakukan psikoterapi seperti terapi perilaku kognitif (CBT), shock therapy electroconvulsive (ECT), dan juga pemberian psikofarmaka

III.2. Saran

Pembaca diharapkan dapat memahami mengenai gejala somatik yang berhubungan dengan psikiatri sehingga dalam penerapan keilmuan dapat membedakaan antara gejala somatik dari penyakit yang sesungguhnya dan gejala somatik yang berhubungan dengan psikiatri, dan agar dapat mengobati pasien secara holistik dan maksimal.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Margot W. M. De Waal. 2013. Somatoform disorders in general practice.

Available from: http://m.bjp.rcpsych.org/content/184/6/470.long#ref-3

2. Yates, William. 2013. Somatic Symptomps Disorder. Available from:

http ://emedicine.medscape.com/article/294908-overview

3. Kaplan H.I, Saddock B.J, Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri.Binarupa

Aksara, Jakarta

4. Selvera. 2013. Teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan

keyakinan irasional pada remaja dengan gangguan somatisasi. Available

from: http:// ejournal.umm.ac.id/index.php/jspp/article/viewFile/1349/1444

5. Burton,C.,McGorn,K Waller,D., & Sharpe M.(2010). “Depressioon and

anxiety in patients repeatedly referred to secondary care with medically

unexplained symptoms: A case-control study”. Psychological Medicine 41

(3) : 555-563

6. Association, American Psychiatric.Associati. (5th ed. Ed.) Arlington:

AMERICAN PSYCHIATRIC PUBLISHING.

7. So,J.K. (2008) “Somatization as a cultural idiom of distress: Rethinking

mind and body in a multi-cultural society”. Counseling Psychology

Quarterly(21): 167-174.

8. Kato, K., Sullivan, P. F., Evengard, B., & Pedersen, N. L (2009). “

Apopulatin based twin study of functional somatic syndromes.” .

Psychological Medicine (39): 497-505.

9. Farrugia, D., & Fetter, H. (2009). “Chronic pain: Biological understanding

and treatment suggestions for mental health counselors” Journalof Mental

Health Counselling.

10. Kenny M & Egan J (February 2011). “Somatizatio disorder: “What

clinicians need to know”. The Irish Psychologist 37(4): 93-96.

21