BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat...

34
1 BAB I ‘Masalah Cina’ di Indonesia A. Latar Belakang Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak meninggalkan dan menyisakan polemik kehidupan sosial, politik, dan budaya bagi identitas etnis Tionghoa di Indonesia. Sejak masa pemerintahan kolonial Hindia- Belanda, kebijakan-kebijakan terhadap etnis Tionghoa mulai diberlakukan. Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa seringkali disikapi acuh tak acuh oleh masyarakat Pribumi dan Pemerintah, atau bahkan diekspresikan secara ekstrem, dengan sangat membenci atau justru menyenangi orang-orang etnis ini, namun tetap dalam kondisi-kondisi tertentu saja orang-orang etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan tersebut. Pendeknya, terdapat suatu sikap yang tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan Pemerintah, seperti tercermin pada kebijakan-kebijakan serta peraturan yang diberlakukan sejak zaman kolonial hingga kini. Kenyataan kedua adalah bahwa suatu golongan tidak perlu merupakan kelompok yang besar untuk mempunyai kedudukan yang berarti. Proporsi orang etnis Tionghoa terhadap seluruh penduduk Indonesia adalah sangat kecil dan boleh dikatakan hampir tidak banyak berubah sejak tahun 1930 sampai sekarang. Hanya sekitar 2% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1930 dan 2,6% pada tahun 1965. Kenyataan ketiga, bahwa Indonesia, seperti kebanyakan Negara di Asia Tenggara lainnya, mempunyai apa yang dinamakan “Masalah Tionghoa”

Transcript of BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat...

Page 1: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

1

BAB I

‘Masalah Cina’ di Indonesia

A. Latar Belakang

Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak

meninggalkan dan menyisakan polemik kehidupan sosial, politik, dan budaya bagi

identitas etnis Tionghoa di Indonesia. Sejak masa pemerintahan kolonial Hindia-

Belanda, kebijakan-kebijakan terhadap etnis Tionghoa mulai diberlakukan.

Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa seringkali disikapi acuh

tak acuh oleh masyarakat Pribumi dan Pemerintah, atau bahkan diekspresikan

secara ekstrem, dengan sangat membenci atau justru menyenangi orang-orang

etnis ini, namun tetap dalam kondisi-kondisi tertentu saja orang-orang etnis

Tionghoa mendapatkan perlakuan tersebut. Pendeknya, terdapat suatu sikap yang

tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan

Pemerintah, seperti tercermin pada kebijakan-kebijakan serta peraturan yang

diberlakukan sejak zaman kolonial hingga kini.

Kenyataan kedua adalah bahwa suatu golongan tidak perlu merupakan

kelompok yang besar untuk mempunyai kedudukan yang berarti. Proporsi orang

etnis Tionghoa terhadap seluruh penduduk Indonesia adalah sangat kecil dan

boleh dikatakan hampir tidak banyak berubah sejak tahun 1930 sampai sekarang.

Hanya sekitar 2% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1930 dan 2,6%

pada tahun 1965. Kenyataan ketiga, bahwa Indonesia, seperti kebanyakan Negara

di Asia Tenggara lainnya, mempunyai apa yang dinamakan “Masalah Tionghoa”

Page 2: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

2

atau “Masalah Cina”. Adanya masalah ini dapat diukur terutama dari frekuensi

terjadinya tindakan kekerasan terhadap mereka sebagai sasaran langsung maupun

tidak langsung.

Melihat masalah Tionghoa sebagai bagian dari kenyataan kebhinekaan

masyarakat Indonesia ini, mengharuskan suatu pengetahuan dan pengertian yang

lebih mendalam mengenai sejarah dan peranan golongan minoritas dalam

masyarakat luas. Untuk itu kemudian muncul kesimpulan bahwa walaupun jumlah

orang etnis Tionghoa di Indonesia relativ sedikit, mereka merupakan kelompok

minoritas yang berarti. Dengan kata lain, meskipun dari segi ekonomi etnis

Tionghoa lebih menonjol dari Pribumi, kemungkinan terjadinya benturan-

benturan diperbesar dengan adanya segi-segi sosial, budaya, dan politik, dan

dasar-dasarnya terbentuk sejak pemerintahan kolonial Belanda dengan kebijakan

‘devide et impera’nya, yang secara sangat sistematis memisahkan berbagai

golongan penduduk dengan golongan lainnya, termasuk golongan etnis

Tionghoa.1

Siapakah orang Tionghoa di Indonesia? Skinner mengemukakan

bahwasannya penggolongan etnis Tionghoa di Indonesia tidak dapat didasarkan

hanya dari kriteria ras, hukum ataupun budaya yang melatarbelakangi hadirnya

etnis Tionghoa di Indonesia, tetapi pada identifikasi sosial. “Di Indonesia seorang

keturunan Tionghoa disebut orang Tionghoa, jika ia bertindak sebagai anggota

dari dan mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakat Tionghoa”. Disebutnya

1 G. Tan, Mely. 1979. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia : Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta. Gramedia

Page 3: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

3

bahwa satu-satunya ciri budaya yang dapat diandalkan adalah penggunaan nama

keluarga Tionghoa. Namun, sejak tahun 1966 ada anjuran penggantian nama bagi

orang-orang keturunan asing yang kemudian mengakibatkan perubahan nama

secara massal oleh orang-orang Tionghoa. Mereka yang sudah menjadi warga

Negara Indonesia dalam sensus-sensus sejak berdirinya Republik Indonesia tidak

dibedakan dari warga Negara Indonesia lainnya. Sedangkan dalam kehidupan

sehari-hari acap kali mereka sukar dibedakan dari mereka yang dinamakan

‘Pribumi’. Tidak jarang terjadi bahwa seorang yang disangka keturunan

Tionghoa, ternyata merupakan orang Manado, Bengkulu atau orang Jawa. Dengan

demikian sukar pula untuk diketahui dengan pasti berapa dan siapa sebenarnya

warga Negara keturunan Tionghoa di Indonesia.

Kalaupun dapat diadakan pembedaan antara orang-orang etnis Tionghoa

menurut kewarganegaraannya, masih ada suatu perbedaan pokok lainnya, ialah

menurut orientasi kebudayaannya. Kita dapat membedakan antara mereka yang

orientasi kebudayaannya berintikan kebudayaan yang berasal dari Tiongkok

(berbahasa Tionghoa dirumah, pernah bersekolah di sekolah Tionghoa,

mempunyai hubungan kerabat atau dagang dengan orang Tionghoa lain diluar

Indonesia), yang biasanya dinamakan orang Tionghoa ‘Totok’; dan mereka yang

orientasi kebudayaannya berintikan kebudayaan setempat, seperti Jawa, Sunda,

Ambon Manado, yang dirumahnya menggunakan bahasa setempat; pendeknya,

mereka yang telah mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan

kebudayaan dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang ini biasanya

dinamakan ‘peranakan’.

Page 4: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

4

Dalam kenyataannya terlihat bahwa orientasi kebudayaan ini melintasi

status kewarganegaraan: seorang Totok biasanya, tapi tidak selalu, warga Negara

asing dan ia bisa dilahirkan di luar Indonesia tapi juga di Indonesia; seorang

peranakan biasanya, tapi tidak selalu, warga Negara Indonesia dan ia selalu

kelahiran Indonesia. Seorang peranakan biasanya, tetapi tidak selalu, dilahirkan

dari perkawinan campuran (kebanyakan adalah keturunan dari ayah Tionghoa dan

ibu Indonesia), karena itu berdasarkan ras mereka bukan orang tionghoa lagi.

Namun pada umumnya masyarakat luas tidak dapat, dan pada waktu dan

keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, tidak mau

membedakan antara mereka yang warga Negara Indonesia dan yang warga

Negara asing, sehingga terdapat kekaburan dan ketidaktepatan mengenai status

hukum maupun status sosial dalam masyarakat luas. Dan jikalau tindakan ini

dibenarkan dan diteruskan, maka seorang keturunan Tionghoa secara turun

temurun tetap diperlakukan seakan-akan ‘sekali Tionghoa tetap Tionghoa’.

Dengan kata lain, seorang keturunan Tionghoa selalu diingatkan bahwa ia adalah

keturunan Tionghoa dan harus selalu mempunyai dokumen khusus untuk

membuktikan kewarganegaraannya.2

Dari hasil observasi M.G Tan (1976), terdapat kesan bahwa hubungan

golongan etnis Tionghoa dengan golongan etnis lainnya cenderung tegang dan

saling curiga. Sejalan dengan kesimpulan yang diutarakan oleh Edward M. Bruner

pada tahun 1957-1958 dan dilanjutkan pada tahun 1969-1971 dengan judul The

2 Ibid

Page 5: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

5

Expression of Ethnicity In Indonesia (1972), bahwasannya keturunan perkawinan

campur antara orang Tionghoa dan orang Indonesia tidak membentuk suku bangsa

baru. Mereka memilih identitas salah satu orang tuanya yang didasarkan pada

status siapa di masyarakat yang lebih tinggi. Pada umumnya mereka lebih

memilih identitas Tionghoa karena sebagian besar dari perkawinan campuran itu

terdiri dari ayah Tionghoa dan ibu Indonesia. “Ke-Tionghoa-an” mereka, menurut

Tan, diwujudkan dalam ciri-ciri kebudayaan mereka, seperti pemujaan terhadap

nenek moyang, nilai dan norma tertentu, bahkan kadang-kadang juga nama

mereka, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.3

Hal ini sangat serupa dengan apa yang terjadi dengan etnis Tionghoa di

Indonesia. Disebutkan sebelumnya, bahwa sudah sejak zaman pemerintahan

Hindia-Belanda politik ‘pemisahan’ golongan antar etnis telah diberlakukan,

termasuk etnis Tionghoa. Keterbatasan akses dan keterbatasan berdemokrasi

untuk menempatkan sikap kebangsaan etnis Tionghoa di Indonesia semakin

dikebiri oleh Negara, bahkan oleh masyarakatnya. Etnis Tionghoa sangat dibatasi

untuk menunjukkan sikap mereka dalam memaknai ke-Indonesia-an nya.

Kebudayaan serta kebiasaan yang mereka miliki seperti ‘terpangkas’ dengan

adanya aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan secara tidak langsung yang

dilakukan oleh Negara maupun Pribumi. Stereotip yang tumbuh dan berkembang

terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa

yang kemudian berlabelkan ‘minoritas’, bahkan di Tanah Airnya sendiri ketika

mereka telah berasimilasi dan berakulturasi menjadi warga Negara Indonesia.

3 Ibid

Page 6: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

6

Pembatasan-pembatasan tersebut menjadi awal mula terbentuknya

‘benteng’ antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi. Insecurity terhadap

Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut sebagai penyebab eksklusif nya etnis

Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan etnis lainnya. Eksklusifitas ini yang

kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup dan kebiasaan, bahkan budaya

bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu sendiri. Seperti misalnya ketika

kita melihat banyak dari golongan etnis Tionghoa menengah keatas yang menjadi

sangat eksklusif dibanding dengan orang-orang etnis Tionghoa lainnya. Misal,

jika kita melihat orang-orang etnis Tionghoa yang tersebar di Ibukota Jakarta.

Etnis Tionghoa tersebut kemudian menyebar, dan beraglomerasi pada daerah-

daerah tertentu yang menunjukkan identitas mereka masing-masing. Etnis

Tionghoa peranakan, yang berasimilasi dengan orang Indonesia, dan kebanyakan

dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang, bertempat tinggal di sekitaran

Glodok dan jalan Gajah Mada, yang kemudian orang bilang sebagai ‘Cina

Benteng’. Sebutan Cina Benteng muncul karena ada pembedaan latar belakang

financial dengan orang Tionghoa ‘Totok’ lainnya, yang beraglomerasi di sekitaran

daerah Kelapa Gading dan Pluit, Jakarta Utara. Orang-orang Tionghoa ini dikenal

sebagai pengusaha, golongan menengah keatas, yang cukup menguasai pusat

perekonomian dan bisnis, baik di Ibukota maupun di daerah-daerah. Padahal sejak

zaman dahulu, orang Tionghoa sudah dikenal sebagai pedagang. Namun seiring

berjalannya waktu, orang-orang Tionghoa di Indonesia mulai bertransformasi

menjadi konglomerat yang kapitalis. Tinggal di daerah-daerah pemukiman

tertentu yang memisahkan diri dengan pemukiman etnis atau golongan lain. Etnis

Page 7: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

7

Tionghoa membangun in-group yang tanpa mereka sadari semakin menjauhkan

etnis mereka dengan budaya demokrasi dengan masyarakat Indonesia yang

pluralis.

Insecurity juga disebut-sebut sebagai faktor yang dijadikan alasan pilihan

anak-anak Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta, terlebih berbasis

Yayasan. Perlu diingat bahwasannya pilihan tersebut merupakan hasil dari luka

lama yang dirasakan pada pemerintahan masa Orde Baru, dimana kebijakan

Soeharto yang mengimbau anak-anak berkebangsaan asing yang tinggal di

Indonesia untuk masuk sekolah Negeri dan swasta yang mengajarkan kurikulum

nasional. Salah satu bagian kebijakan ini tentang pendirian organisasi mengatur

pemberian izin Pemerintah hanya kepada organisasi yang bergerak di bidang

kesehatan, keagamaan, dan jasa pemakaman serta olah raga dan hiburan, dengan

jumlah tertentu warga asing (Tionghoa). Pembatasan ini dapat dilihat sebagai

upaya Pemerintah untuk menekan segala macam kegiatan politik dan atau gerakan

yang melibatkan unsur komunisme (Aimee, 2010). Selain itu, maraknya bullying

oleh golongan pribumi kepada etnis Tionghoa di sekolah-sekolah juga menjadi

factor insecurity yang dirasakan orang-orang Tionghoa di sekolah Negeri dan

swasta pribumi tersebut.

Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut, budaya dan bahasa

Tionghoa yang sebelumnya, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masih

diperbolehkan sekolah nya, pada masa pemerintahan Orde Baru justru dipangkas.

Hal tersebut kemudian berdampak pada mind-set dan rational-choice etnis

Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat ‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan

Page 8: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

8

kebiasaan lama sekolah mereka. Dimana mereka dapat merasakan keamanan dan

kelestarian budaya Tionghoa hanya dengan lingkungan yang berisikan orang-

orang Tionghoa juga.

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat dipahami bahwasannya

pemikiran tentang identitas Indonesia Tionghoa merupakan konsep yang sukar

ditangkap dan melibatkan banyak penyebab yang saling berkaitan, terutama

sejarah masa lampau etnis Tionghoa di Indonesia. Penyebab yang saling terkait ini

dan dapat meliputi teritorialitas, afiliasi agama, pengaruh keluarga, sikap

hubungan antara Pribumi dengan Tionghoa, kelas, patriarki, dan pencarian jodoh,

semuanya memberi andil kepada corak sistem representasi yang mendasari pola

interaksi dan identifikasi diantara orang Indonesia Tionghoa.4

4 Dawis, Aimee Ph.D. 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta. Gramedia

Dan seiring

berjalannya waktu, sejarah etnis Tionghoa dari zaman kolonial Belanda, Orde

Baru, Reformasi sampai pada saat ini kemudian semakin mengalami proses

pergeseran. Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas yang superior dan

bahkan eksklusif. Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini memegang kekuatan

pada beberapa sektor vital Negara, seperti perekonomian. Pribumi tidak lagi

memandang mereka sebagai orang-orang minoritas yang tidak memiliki hak dan

akses terhadap Negara dan lingkungan seperti perspektif terdahulu. Namun, justru

keadaan berbalik. Kini kebanyakan etnis Tionghoa yang lebih memegang kendali

daripada orang-orang Pribumi dan bahkan oleh Negara. Mereka seakan terpisah

dari Negara dan masyarakat lainnya, membentuk suatu ‘komunitas’ atau in-group

atas dasar kultur subjektifnya, dengan kekuatan finansial, terlebih di dukung

Page 9: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

9

dengan perkembangan stereotip masyarakat akan kehidupan sosial etnis Tionghoa

di Indonesia, mereka bertransformasi menjadi etnis yang superior dan eksklusif.

Namun tanpa disadari, dengan kebudayaan dan life style etnis mereka sendiri lah

yang memperkuat label dan disain ‘minoritas’ tersebut, sehingga “Tionghoa akan

tetap Tionghoa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di bagian latar belakang,

maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses self-minoritisasi terjadi di Jakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menyingkap bahwasannya proses inklusi

maupun eksklusi, dalam hal ini terkait label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa,

tidak dapat dilihat hanya melalui perspektif Negara dan masyarakat Pribumi saja.

Namun, dapat kita lihat bahwa adanya label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa

merupakan sesuatu yang ‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa itu sendiri melalui

kultural subjektif nya yang berupa kebudayaan dan kebiasaan etnis Tionghoa.

D. Kerangka Teori

Penelitian ini dilakukan untuk menyingkap bahwasannya proses inklusi

maupun eksklusi, dalam hal ini terkait label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa,

Page 10: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

10

tidak dapat dilihat hanya melalui perspektif Negara dan masyarakat Pribumi saja.

Namun, dapat kita lihat bahwa adanya label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa

merupakan sesuatu yang ‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa itu sendiri melalui

kultural subjektif nya yang berupa kebudayaan dan kebiasaan etnis Tionghoa.

Skema dibawah menjelaskan proses praduga adanya self-minoritisasi oleh

etnis Tionghoa di Indonesia. Self-minoritisasi sendiri merupakan istilah yang

penulis buat untuk menjelaskan fenomena yang menjadi kecurigaan penulis

terhadap kemungkinan label ‘minoritas’, yang baik sengaja maupun tidak sengaja,

‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa melalui kebudayaan, kebiasaan, serta kehidupan

sosial etnis Tionghoa di Indonesia. Negara, masyarakat, dan etnis (Tionghoa

maupun etnis lainnya), yang terdapat pada skema dibawah merupakan aktor-aktor

yang memiliki perspektif masing-masing terhadap aktor lainnya. Perspektif-

perspektif tersebut ditunjukkan dengan lingkaran yang masing-masing

menunjukan komunitas Negara, Pribumi dan Tionghoa itu sendiri yang saling

terkait satu sama lain. Dari perspektif-perspektif yang ada, kemudian berkembang

menjadi stereotip yang melekat di masyarakat hingga saat ini. Namun ditengah-

tengah stereotip yang ada di masyarakat, bahwasannya etnis Tionghoa adalah

golongan ‘minoritas’ di Indonesia, patut dipertanyakan apakah jangan-jangan ada

praktik self-minoritisasi yang secara sengaja maupun tidak sengaja ‘dibentuk’ dan

‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa melalui budaya, kebiasaan, dan kehidupan

sosialnya sendiri. Sehingga sampai saat ini ‘Masalah Cina’ atau keminoritasan

etnis Tionghoa masih menjadi problematika yang belum terselesaikan di

Indonesia.

Page 11: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

11

Konsep yang penulis coba tawarkan dalam membangun kerangka teori

adalah terkait identitas sosial serta turunannya, yakni stereotip. Dalam khazanah

psikologi sosial kajian terhadap proses interaksi antarkelompok sosial tersebut

kemudian melahirkan sebuah tradisi teoretis yang kuat dan berpengaruh hingga

sekarang, yang disebut sebagai teori identitas sosial. Area kajian teori identitas

sosial adalah pembahasan tentang perilaku-perilaku individu dalam konteks

hubungan antarkelompok yang mencerminkan keberadaan unit-unit sosial lebih

besar dimana individu bernaung didalamnya, seperti organisasi-organisasi sosial,

sistem-sistem kebudayaan, dan sistem-sistem sosial lainnya yang mana individu

cenderung akan menempatkan hal-hal tersebut sebagai rujukan bagi perilaku-

perilaku sosialnya (Tajfel, 1974). Dengan demikian terdapat pula pola yang relatif

stabil mengenai proses terbentuknya perilaku-perilaku individu di level interaksi

antarkelompok, yaitu bahwa setiap hal yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan

individu pada dasarnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai, kebiasaan-

kebiasaan, aturan-aturan, dan norma-norma tertentu yang berkembang di level

kelompok (Padilla dan Perez, 2003). Dengan kata lain, perilaku individu

merupakan fungsi langsung dari sistem-sistem nilai yang berkembang di

kelompoknya.

Page 12: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

12

Identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga

individu sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya (Hogg dan

Abram, 1990: 2-3). Ia merupakan bagian dari konsep diri individu yang

bersumber dari pengetahuan tentang keanggotaannya dalam suatu kelompok

sosial yang menganut nilai, norma, dan ikatan emosional tertentu yang mampu

menyatukan anggota-anggotanya (Tajfel, 1982: 2). Dengan demikian, identitas

sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya

selama berada dalam sebuah kelompok sosial tertentu melalui mana individu

tersebut dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut berpartisipasi, serta

mengembangkan rasa peduli dan kebanggaan terhadap kelompoknya.

Teori identitas sosial memiliki tiga asumsi utama. Yang pertama, setiap

individu akan berusaha mempertahankan konsep dirinya yang positif. Kedua,

konsep diri tersebut lahir dari identifikasi terhadap kelompok sosial yang lebih

Self-Minoritisasi

Page 13: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

13

besar. Dan yang ketiga, upaya individu dalam mempertahankan konsep dirinya

yang positif itu cenderung dilakukan dengan membanding-bandingkan

kelompoknya dengan kelompok lain (Operario dan Fiske, 1999: 26-54). Proses

perbandingan sosial ini umumnya didorong oleh motif persaingan antarkelompok,

yang tidak jarang akan berujung pada konflik sosial ketika variabel-variabel

struktural seperti distribusi kekuasaan yang tidak adil, hierarki sosial yang terlalu

timpang, persaingan memperebutkan sumber daya dan pengaruh, serta upaya

mempertahankan harga diri kelompok itu tereskalasi dalam hubungan

antarkelompok. Kondisi ini memungkinkan masing-masing kelompok sosial akan

mempersepsi kelompok lain (outgroup) sebagai pesaing, ancaman jahat, buruk,

sementara dalam waktu yang bersamaan akan muncul kecenderungan yang

sebaliknya, yaitu melihat kelompok (ingroup) sendiri sebagai yang lebih baik dan

unggul (Padilla dan Perez, 2003).

Pembahasan mengenai teori identitas sosial tentu tidak dapat dipisahkan

dengan teori kategorisasi diri (self-categorization theory). Menurut Turner dkk

(1987: 8-10), realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang

menjadi acuan bagi identitas kelompok, dan dalam perkembangannya kemudian

melahirkan batas-batas antarkelompok. Identitas yang mewujud dalam interaksi

sosial dengan demikian merupakan penjelmaan dari kegiatan memilih, menyerap,

sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dalam konteks ini bisa

dibaca bahwa pada dasarnya setiap kelompok akan membawa dan

memperjuangkan kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini

juga dipahami bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap

Page 14: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

14

nilai-nilai tertentu ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok tersebut

dalam membuat batas pembeda antara dirinya dengan kelompok-kelompok lain.

Proses yang mewakilinya disebut dengan kategorisasi diri. Bagi individu yang

menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut selanjutnya akan menempatkan

nilai-nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu (ingroup) sebagai rujukan

dalam berperilaku dan menjadi bagian dari identitas sosialnya, sementara disaat

yang bersamaan dia akan bersikap sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu

cenderung merendahkan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh kelompok

lain (outgroup) (Krizan dan Baron, 2007).

Kategorisasi diri sebagai bagian tak terpisahkan dari kelompok pada

akhirnya akan melahirkan apa yang disebut depersonalisasi (depersonalization)

atau kondisi dimana identitas personal semakin melemah dan identitas sosial

semakin menguat. Menurut Hogg dan Mullin, depersonalisasi muncul dari motif-

motif untuk mereduksi ketidakpastian yang dialami individu. Ketidakpastian itu

dapat diredusir bilamana individu bersedia meleburkan dirinya kedalam identitas

kelompok yang dapat menjamin rasa aman dan keutuhan. Ketika depersonalisasi

terjadi, anggota-anggota kelompok melihat diri mereka sebagai satu kesatuan dan

akan melihat individu-individu dari kelompok lain sebagai pihak yang berbeda

dengan diri mereka (Hogg dan Mullin, 1999: 254-257).

“Identitas sosial merupakan seperangkat ciri-ciri, kepercaayaan, hasrat,

atau prinsip-prinsip tindakan yang membuat seseorang berpikir bahwa

dirinya secara sosial itu berbeda dari orang lain dalam sejumlah cara,

yakni (a) dia bisa memperoleh kebanggan dari dirinya; (b) kalaupun dia

Page 15: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

15

tidak mendapat kebanggan itu, dia akan tetap menggunakan identitas

tersebut untuk mengarahkan tindakan-tindakannya. Sebab tanpa hal itu,

dia tidak akan tahu tentang bagaimana cara bertindak dan apa yang mesti

dilakukan; atau (c) dia merasa tidak dapat mengubahnya sekalipun dia

mengkehendakinya.” (Fearon, 1999: 25)

Syarat (b) dan (c) secara langsung berhubungan dengan counterexample.

Syarat (b) menjelaskan kondisi dimana kita terkadang melihat identitas personal

sebagai seperangkat prinsip atau norma yang secara fundamental mengarahkan

dan membentuk perilaku sehari-hari kita tanpa kita menyadari mengapa kita

mempercayainya begitu saja. Sementara (c) menjelaskan kondisi dimana kita acap

kali harus menerima atau melakukan hal-hal tersebut diluar kendali kita,

meskipun kita sebenarnya telah mencoba untuk tidak mengakui atau

melakukannya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dalam kehidupan kita

memiliki aspek-aspek atau atribut-atribut tertentu yang menuntut kita untuk

menerimanya begitu saja.5

5 Afif, Afthonul. 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri. Depok. Kepik

Meskipun orang-orang Tionghoa tidak mengakui

bahwa mereka adalah bagian entitas yang minoritas, namun karena secara objektif

Negara dan masyarakat (pribumi) selama berpuluh-puluh tahun bahwa mereka

adalah minoritas, akhirnya mereka harus mengakui identitas mereka di Indonesia

sebagai entitas minoritas dan menjalani kehidupan sehari-hari layaknya kaum

minor dengan segala keterbatasan.

Page 16: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

16

Sebagaimana telah disinggung diatas, kategorisasi diri ini kemudian

berdampak pada munculnya fenomena depersonalisasi. Depersonalisasi terjadi

ketika dalam diri individu muncul kebutuhan untuk mereduksi ketidakpastian-

ketidakpastian dalam lingkungan sosialnya, yaitu dengan jalan meleburkan diri

kedalam kelompok sehingga muncul perasaan aman dan utuh (Hogg dan Mullin,

1999: 261-162). Ketika depersonalisasi ini terjadi, anggota-anggota kelompok

akan melihat satu sama lain sebagai entitas homogen (outgroup homogenity) yang

berbeda dengan diri mereka (Schaller, 1992). Dengan demikian, kategorisasi

sosial pada dasarnya adalah proses pengelompokan sosial yang lebih bersifat

emosional daripada rasional.

Selain faktor pengkategorisasian diri, kemudian ada juga faktor

perbandingan sosial yang memperkuat dalam pembentukan identitas minoritas

etnis Tionghoa di Indonesia. Tajfel menyebutkan bahwa manfaat perbandingan

sosial antar kelompok bagi anggota-anggota kelompok bukan hanya kemudian

mereka lebih mampu menjelaskan siapa diri mereka yang sebenarnya, tetapi juga

mampu mengevaluasi secara positif signifikansi dan relevansi perbandingan sosial

itu guna mencapai keunikan identitas kelompok mereka (Tajfel, 1972: 296).

Faktor lain mengapa perbandingan sosial itu penting bagi individu juga karena

adanya motif untuk mengurangi ketidakpastian-ketidakpastian kondisi sosial

individu. Ketika individu merasa kurang mampu mengatasi ketidakpastian-

ketidakpastian situasi di lingkungan sosialnya, maka secara naluriah akan muncul

kebutuhan untuk menggabungkan diri kedalam kelompok yang dianggap mampu

memberikan jaminan rasa aman. Sementara dalam konteks relasi antara kelompok

Page 17: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

17

yang tidak aman, kreativitas sosial ditampilkan dalam bentuk-bentuk perlakuan

yang lebih merepresentasikan antagonisme kelompok, bentuknya yang paling

nyata adalah dengan memperkuat dan menegaskan supremasi ideologi kelompok

dihadapan kelompok lain. Konsekuensinya, diskriminasi sosial tidak lagi bersifat

laten, melainkan sudah menjadi manifestasi dalam hubungan antar kelompok.

Kompetisi sosial dilakukan, superioritas kelompok secara sengaja akan

ditunjukkan melalui tindakan-tindakan diskriminasi yang bersifat langsung

dengan maksud untuk membuat kelompok lain tidak berdaya dan tetap mengakui

superioritas kelompok yang berstatus tinggi atau berbeda.6

Hal-hal tersebut kemudin bisa dipahami sebagai bentuk eksklusi sosial.

Eksklusi sosial dipahami sebagai dinamika proses atas multidimensi progresif

yang memecahkan ‘ikatan sosial’ pada level individu dan kelompok. Dengan

demikian, ikatan sosial, yakni relasi sosial, institusi-institusi serta identitas-

identitas diimajinasikan atas dasar ‘rasa memiliki’. Eksklusi sosial kemudian

‘menghalangi’ partisipasi penuh yang telah ditentukan secara normatif atas

kegiatan-kegiatan yang diberikan masyarakat dan menghiraukan akses informasi,

sumber-sumber, kemampuan bersosial, pengetahuan serta identitas, kemudian

mengikis harga diri dan mengurangi kemampuan untuk mencapai tujuan

personal.

7

Perlu ditekankan juga bahwa eksklusi dan inklusi sosial merupakan

antonim yang tidak sempurna sehingga bisa dipahami tergantung pada konteks

6 Ibid. 7 Disarikan dari: Silver, Hilary. 2007. The process of social exclusion: the dynamics of an evolving concept. Department of Sociology Brown University Providence, Rhode Island, USA

Page 18: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

18

permasalahan yang terjadi. Dalam konteks Tionghoa, adanya diskriminasi yang

mereka terima dan dipahami sebagai bentuk eksklusi Pribumi terhadap kelompok

etnis Tionghoa bisa jadi merupakan bentuk inklusi yang sebaliknya juga

dilakukan etnis Tionghoa sebagai upaya menjaga eksistensi mereka dalam

kehidupan sosialnya. Seperti halnya seseorang yang hidup sendiri dan menutup

diri, kemudian diartikan bahwa hal tersebut merupakan hal yang merugikan

karena idealnya ada keluarga yang secara ekonomi, sosial, dan kultural dapat

membantu seseorang tersebut dalam melanjutkan hidup. Namun, ia memilih untuk

hidup sendiri, terlepas dari orang lain dan memilih untuk hidup tidak bergantung

pada orang lain. Sehingga kemudian hal ini dipandang sebagai sebuah

‘keuntungan’ yang dipilih karena dengan demikian ia dapat mengekspresikan

dirinya tanpa harus menimbulkan konflik sosial.8

8 Ibid.

Sama halnya dengan apa yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia.

Proses inklusi dan eksklusi kemudian menimbulkan ambivalensi terhadap

identitas Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa yang dieksklusikan Pribumi pada

kenyataannya memang termarjinalkan, namun tidak sepenuhnya terisolasi secara

sosial. Hal ini dapat dilihat ketika etnis Tionghoa pada satu sisi tereksklusikan

oleh Pribumi, namun disatu sisi mereka menginklusikan diri dalam kelompok

etnis Tionghoa untuk mendapatkan kepastian-kepastian dalam kehidupan

sosialnya sehingga dipandang sebagai kelompok yang eksklusif dan superior oleh

Pribumi.

Page 19: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

19

Indonesia Pasca Orde Baru memberikan gambaran yang lebih beragam

mengenai kondisi orang Tionghoa di Indonesia. Tekanan Negara yang semakin

melonggar memberikan kesempatan kepada mereka untuk menampilkan

identitasnya secara lebih terbuka. Namun, tidak bisa dilupakan begitu saja bahwa

orang Tionghoa Indonesia saat ini merupakan subjek sejarah yang telah mewarisi

pengalaman hidup spesifik dengan kelompok etnis lainnya, sehingga mereka

sudah sepantasnya dipandang secara berbeda. Identitas mereka saat ini dapat

dianggap sebagai konsekuensi dari ikhtiar mendefinisikan diri yang digerakkan

oleh momen-momen psikologis yang kompleks, semacam koeksistensi antara

tindakan mengingat, melupakan, dan berharap sekaligus.

H.C Triandis (1972), seorang ahli psikologi sosial terkemuka dewasa ini

menunjukkan gagasan yang disebutnya kultur subjektif, yang berarti cara khas

suatu golongan kebudayaan dalam memandang lingkungan sosialnya. Sebagian

besar konflik antargolongan yang telah terjadi, menurut Triandis, diakibatkan oleh

kultur subjektif yang berbeda-beda. Kemanapun kita memandang, kita akan

melihat konflik. Dari berbagai konflik yang terjadi ada yang berlatar belakang

kepentingan golongan, agama, ataupun ideologi. Walaupun latar belakangnya

berbeda-beda, semua konflik itu bisa meningkat jadi agresi, menghancurkan umat

manusia, dan merusak proses ekologi makhluk hidup.

Seperti juga dirumuskan oleh Herskovits (1955: 305), kultur bagi Triandis

berarti bagian dari lingkungan manusia yang merupakan hasil cipta manusia.

Kultur subjektif adalah cara khas suatu komunitas kultur dalam memandang, atau

dalam istilah teknisnya mempersepsi lingkungan yang merupakan hasil ciptaan

Page 20: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

20

manusia. Triandis berpendapat bahwa dalam analisis kultur subjektif, stereotip

adalah konsep sentral, sedangkan kategori merupakan unsur dasar yang paling

penting. Semua golongan melakukan kategorisasi (Kluckhohn, 1954), namun

kategorisasi masing-masing kultur berbeda-beda. Menurut Turner dkk (1987: 8-

10), realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang menjadi

acuan bagi identitas kelompok, dan dalam perkembangannya kemudian

melahirkan batas-batas antar kelompok. Identitas yang mewujud dalam interaksi

sosial dengan demikian merupakan penjelmaan dari kegiatan memilih, menyerap,

sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dalam konteks ini bisa

dibaca bahwa pada dasarnya setiap kelompok akan membawa dan

memperjuangkan kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini

juga dipahami bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap

nilai-nilai tertentu ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok tersebut

dalam membuat batas pembeda antara dirinya dengan kelompok-kelompok lain.

Proses yang mewakilinya disebut dengan kategorisasi diri. Bagi individu yang

menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut selanjutnya akan menepatkan nilai-

nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu (ingroup) sebagai rujukan dalam

berperilaku dan menjadi bagian dari identitas sosialnya, sementara disaat yang

bersamaan dia akan bersikap sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu cenderung

merendahkan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh kelompok lain

(outgroup) (Krizan dan Baron, 2007).

Stereotip sendiri adalah kategori khusus tentang keyakinan yang

mengaitkan golongan-golongan etnis dengan atribut-atribut pribadi. Stereotip

Page 21: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

21

dianggap sebagai unsur sentral dalam analisis kultur subjektif. D.T. Campbell

(1967: 821) memberikan petunjuk bahwa semakin besar perbedaan yang nyata

tentang kebiasaan-kebiasaan tertentu, segi-segi penampilan fisik, atau benda-

benda kebudayaan, semakin besar kemungkinan hal-hal itu akan tampil pada

gambaran stereotip dari kelompok tertentu tentang kelompok lain. Menurut

Lippman (1922: 1), stereotip adalah gambar dikepala yang merupakan

rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Selanjutnya, ia

berpendapat bahwa stereotip merupakan salah satu mekanisme penyederhana

untuk mengendalikan lingkungan, karena keadaan lingkungan yang sebenarnya

terlalu luas, terlalu majemuk, dan bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali segera

(1922: 16). Gambaran kita tentang keadaan lingkungan itulah yang menentukan

apa yang kita lakukan. Dengan demikian, tindakan-tindakan seseorang tidaklah

didasarkan pada pengenalan langsung terhadap keadaan lingkungan sebenarnya,

namun berdasarkan gambaran yang dibuatnya sendiri atau yang diberikan

kepadanya oleh orang lain (1922: 25).

Seperti yang kita tahu bahwasannya label ‘minoritas’ telah melekat bagi

etnis Tionghoa di Indonesia sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda. Selama

itu pula sejarah Cina di Indonesia telah banyak membentuk stereotip yang

kemudian berkembang di masyarakat menjadi ‘keajegan’ atau kultur sosial.

Stereotip itu sendiri lahir dari perspektif-perspektif yang ditimbulkan dari Negara

dan masyarakat, baik dari regulasi-regulasi bentukan Negara maupun kehidupan

sosial di masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Sehingga kemudian dari perspektif,

berkembang menjadi stereotip, dan sampai pada akhirnya lahirlah label

Page 22: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

22

‘minoritas’ tersebut untuk etnis Tionghoa sebagai identitas yang melekat sampai

sekarang. Adanya kontinuitas terhadap proses pelabelan tersebut, kemudian

seperti membuat ‘zona nyaman’ bagi orang-orang etnis Tionghoa terhadap

kehidupan ‘minoritas’ sosial nya di Indonesia, baik kehidupan bernegara maupun

bermasyarakat. Indikasi adanya ‘zona-nyaman’ tersebut kemudian menjadi

keingintahuan penulis terhadap adanya praktik self-minoritisasi oleh etnis

Tionghoa tersebut. Proses self-minoritisasi ini boleh dibilang masih ‘kasat mata’,

diluar pemikiran mainstream yang ada di masyarakat bahwasannya label

‘minoritas’ tersebut lahir karena adanya sejarah kelam etnis Tionghoa di

Indonesia. Oleh karena itu, penulis menempatkan proses self-minoritisasi tersebut

didalam proses terbentuknya identitas, baik melalui stereotip yang dibentuk oleh

Negara maupun masyarakat.

Penting untuk diketahui, bahwasannya tulisan ini merupakan salah satu

studi psikologi sosial yang mengupas ‘masalah Cina’ terkait label minoritas yang

telah melekat dalam kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Psikologi sosial

adalah disiplin ilmu yang memahami, menjelaskan dan memprediksi bagaimana

pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan individu yang dipengaruhi oleh pikiran,

perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya

dibayangkannya (Gordon Alport, 1968). Hal tersebut dapat dijelaskan melalui

adanya respon yang diberikan etnis Tionghoa melalui budaya dan kehidupan

sehari-harinya terhadap proses stereotyping yang diberikan oleh pihak Negara dan

pribumi, yang kemudian melahirkan proses self-minoritisasi oleh orang-orang

Tionghoa tersebut.

Page 23: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

23

E. Definisi Konseptual

E.1. Identitas dan Kultur Subjektif

Merupakan suatu hal yang melekat dalam diri individu yang merupakan

hasil konstruksi sosial. Dalam konteks etnis, identitas sendiri dimaknai sebagai

suatu ke’khas’an yang dijunjung tinggi oleh suatu kelompok etnis, yang berbeda

dengan etnis lainnya, baik dari segi bahasa, adat istiadat, nilai dan norma, maupun

kebiasaannya. Dalam praktiknya, konsep kultur subjektif, yakni cara khas suatu

golongan kebudayaan dalam memandang lingkungan sosialnya, membantu dalam

melihat bagaimana identitas tersebut terbentuk dalam suatu kelompok etnis.

E.2. Stereotyping dan Labeling ‘Minoritas’ Terhadap Etnis Tionghoa

Dalam pembentukan identitas, stereotip yang lahir dari konsep kultur

subjektif berperan sebagai ‘penyumbang’ lahirnya identitas yang melekat dalam

diri individu, kelompok, maupun kelompok etnis. Stereotip sendiri adalah kategori

khusus tentang keyakinan yang mengaitkan golongan-golongan etnis dengan

atribut-atribut pribadi. Kontinuitas Negara dan masyarakat diluar etnis Tionghoa

selama berpuluh-puluh tahun dalam stereotyping kemudian memberikan identitas

yang sampai sekarang terlestarikan dalam kelompok etnis Tionghoa sebagai

kelompok minoritas. Dibalik itu, yang harus kita akui bahwasannya etnis

Tionghoa tidak lantas menjadi benar-benar minoritas ketika mereka kemudian

justru ‘mengeksklusifkan’ diri ditengah label minoritas yang dilekatkan kepada

mereka.

Page 24: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

24

E.3. Self-Minoritisasi

Self-minoritisasi adalah istilah yang dibuat penulis sebagai suatu proses

individu maupun kelompok dalam upaya meminoritaskan diri sendiri. Dalam

hubungannya dengan identitas etnis, self-minoritasasi dapat dilakukan dengan

berbagai cara internal melalui kebudayaan maupun adat istiadat, kebiasaan

individu atau kelompok, yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja. Self-

minoritasasi dalam kasus Tionghoa disebut-sebut terjadi karena kuatnya stereotip

yang ada di masyarakat mengenai etnis Tionghoa sehingga mereka merasa

insecure untuk kemudian menutup diri dari berbagai hal yang ada di masyarakat.

Oleh karena itu, kemudian masyarakat semakin memandang mereka sebagai

kelompok minoritas.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah terkait

dengan cara pandang antara Negara, Pribumi dan etnis Tionghoa tentang

bagaimana mereka menilai dan saling melekatkan stereotip satu sama lain. Lebih

jauh dikhususkan tentang bagaimana Pribumi dan Tionghoa yang saling

melekatkan stereotip yang kemudian membangun sekat dalam kehidupan sosial

diantara keduanya. Adanya sekat-sekat pembeda dalam kehidupan sosial Pribumi

dan Tionghoa kemudian membentuk sebuah zona nyaman, yang secara sengaja

maupun tidak sengaja diciptakan oleh etnis Tionghoa, dimana etnis Tionghoa

‘merasa’ dapat hidup terlepas dari ketidakpastian dan ketidakamanan yang mereka

Page 25: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

25

terima ditengah-tengah Pribumi. Kehidupan dalam ‘zona nyaman’ etnis Tionghoa

ini meliputi kategorisasi diri dalam hal nilai, norma, kebudayaan serta ‘life style’

yang lebih jauh dipergunakan kelompok etnis Tionghoa sebagai rujukan dalam

berkehidupan sosial, hingga akhirnya semakin menguatkan sekat pembeda antara

Pribumi dengan Tionghoa melalui stereotip yang semakin dilekatkan oleh Pribumi

dan Negara.

G. Metode Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini akan mencoba melihat bagaimana

pembentukan label minoritas terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dilakukan oleh

internal kelompok etnis Tionghoa itu sendiri melalui kultur subjektifnya.

Disamping dari catatan sejarah yang ada bahwa lahirnya identitas minoritas bagi

etnis Tionghoa merupakan hasil konstruksi identitas yang dilakukan oleh Negara

dan Pribumi melalui proses stereotyping.

Kepentingan utama penelitian ini bukan untuk menghasilkan data yang

dapat di perlakukan umum (generalisasi), tetapi lebih merupakan “penggambaran

kental” atau “thick description” (cf. Geertz, 1974, h. 45) sehingga pendekatan

yang lebih sesuai digunakan adalah pendekatan kualitatif. Digunakannya metode

ini dilandasi akan kebutuhan pemahaman terhadap pembentukan identitas kultur

subjektif etnis Tionghoa dalam kaitannya dengan proses stereotyping oleh Negara

dan Pribumi yang menghasilkan label minoritas bagi etnis Tionghoa.

Page 26: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

26

Lebih jauh lagi, bahwa pada konteks penelitian ini realitas yang terbentuk

tidaklah bersifat tunggal. Hal ini sejalan dengan anggapan jika penelitian kualitatif

menganggap sebuah realitas sosial merupakan hasil konstruksi pemikiran dan

bersifat holistis, tidak seperti penelitian kuantitatif yang mengandaikan bahwa

realitas sosial bersifat tunggal, konkret dan teramati.9

Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah

etnometodologi. Etnometodologi pada dasarnya adalah ‘anak’ dari fenomenologi

Schutzian. Ia mengangkat reflective glance yang dianggap penting oleh Schutz

dalam memberikan makna bagi perilaku dalam investigasi sosiologis. Garfinkel,

penemu etnometodologi berpendapat bahwa ciri utama etnometodologi adalah

‘reflektif’-nya. Ini berarti bahwa cara orang bertindak dan mengatur struktur

sosialnya sama dengan prosedur pemberian nilai terhadap struktur tersebut. Dalam

hal ini, penulis mencoba untuk mewawancarai narasumber yang dirasa

berkompeten dan memiliki pengetahuan maupun pengalaman yang cukup

mengenai proses stereotyping maupun proses pembentukan identitas apapun

terhadap etnis Tionghoa. Target utama penulis adalah narasumber dari etnis

Fleksibilitas juga menjadi

faktor lain mengapa penulis menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode

penelitian, mengingat kemungkinan ketidaksesuaian data yang diperoleh dari

informan atau data lapangan terhadap hipotesis sebelumnya. Dan yang terakhir,

penulis memahami bahwa penelitian ini tidak akan bebas nilai dari nilai-nilai yang

ada disekitar penulis nantinya.

9 Hendarso, Emy Susanti. Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar. Dalam Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Kencana: Jakarta. 2007. Halaman 168

Page 27: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

27

Tionghoa yang mengalami ‘pembatasan’ dalam kehidupan sehari-harinya dan

dikenai stereotip oleh lingkungan sekitarnya.

Penggunaan etnometodologi dalam penelitian ini juga dibantu dengan

metode ilustrative case study yang membantu dalam menggambarkan keadaan

psiko-sosial narasumber ketika diwawancarai tentang pengalaman hidupnya

sebagai etnis Tionghoa yang termarjinalkan. Wawancara dalam metode

etnometodologi diarahkan pada respon etnis Tionghoa terhadap stereotip-stereotip

yang berkembang mengenai etnisnya, sehingga penulis kemudian dapat

mengetahui bagaimana kemudian mereka bertindak dan menilai struktur sosialnya

sama halnya dengan bagaimana prosedur pemberian nilai tersebut dilakukan

terhadap etnis mereka. Hal ini yang penulis kira dapat membantu untuk

mengetahui dan menggambarkan bagaimana reflective glance itu bekerja melalui

peristiwa-peristiwa yang dinilai sebagai bentuk self-minoritisasi etnis Tionghoa di

Jakarta. Dengan demikian diharapkan penulis dapat menemukan makna dari

reflektif yang dialami oleh narasumber yang menjadi ciri utama dari

etnometodologi. Sementara, studi literatur digunakan untuk mendapatkan data

sekunder yang sekiranya menyokong dan memperkuat argumen penulis dalam

penelitian ini.

Fenomenologi sendiri menurut Bogdan dan Biklen (1982) adalah dimana

peneliti dengan pendekatan fenomenologis berusaha memahami makna dari suatu

peristiwa dan saling pengaruhnya dengan manusia dalam situasi tertentu.10

10 Alsa, Asmadi. 2003. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta. PUSTAKA PELAJAR

Page 28: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

28

Dengan demikian, manusia dianggap melakukan hal ini secara terus-menerus serta

secara praktis manusia menciptakan dan membuat ulang dunia sosial. Dalam

memberikan penilaian dan mencipta dunia, manusia dianggap sangat kompeten

dan terampil dalam menjelaskan setting pengalaman sosial setiap hari.

Etnometodologi berusaha menggunakan kompetensi ini untuk mengemukakan

pemahaman yang semestinya tentang bagaimana dunia sosial bekerja yang tidak

diinterpretasikan oleh sosiolog lain. 11

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui individu yang

mempunyai pengalaman pada suatu fenomena melalui teknik observasi dan

wawancara sistematik, kemudian membangun deskripsi gabungan mengenai

esensi sebuah pengalaman untuk seluruh individu. Deskripsi tersebut terdiri dari

kejadian sosial yang dapat diamati lewat indera (what) untuk kemudian

memberikan penafsiran terhadap kejadian sosial yang terjadi (how). Kekuatan dari

Dalam implementasi observasinya, penulis

mencoba melihat bagaimana reflective glance, yang merupakan respon terhadap

stereotyping oleh Pribumi dan Negara terhadap etnis Tionghoa kemudian dapat

mempengaruhi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, terutama di daerah Pluit

dan Kelapa Gading, Jakarta Utara, serta beberapa daerah di Bekasi. Untuk

kemudian, penulis dapat melihat dan menemukan makna atas kebudayaan dan

kehidupan sehari-hari etnis Tionghoa yang mereka jalani sebagai kelompok

minoritas sehingga diharapkan penulis akan melihat tahap pengkategorisasian diri

yang nantinya akan berujung pada proses self-minoritasasi pada etnis Tionghoa

tersebut.

11 Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Page 29: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

29

metode ini adalah pendekatan yang holistik, sehingga diperoleh pemahaman yang

utuh dari objek yang diamati. Namun disamping itu juga terdapat kelemahan

seperti rawan penginterpretasian dan objektivitas, juga penggeneralisasian yang

dianggap tidak bisa berlaku secara umum karena membatasi diri pada suatu

setting tertentu.

G.1. Teknik Pengumpulan Data

G.1.1. Objek Penelitian

Dalam tulisan ini, penulis akan memfokuskan objek penelitian terhadap

kelompok etnis Tionghoa golongan menengah keatas di daerah Jakarta. Jakarta

sebagai lokasi penelitian ini tidaklah penulis pilih secara acak. Dalam banyak hal,

Jakarta sebagai ibukota Negara sekaligus kota metropolitan menarik para

pelajar/mahasiswa, kaum professional muda, pebisnis dan aktivis dari berbagai

Provinsi untuk datang dan mengadu nasib disana. Dengan demikian Jakarta

merupakan percampuran identitas yang majemuk. Kerusuhan anti-China pada Mei

1998 bermula juga di Jakarta, dan inilah kerusuhan yang berlangsung lebih parah

dari kota-kota lain. Jakarta merupakan pusat bisnis dan pemerintahan Indonesia:

disinilah kelompok-kelompok lobi Tionghoa dan berbagai organisasi non-

pemerintah dapat menyampaikan agenda-agenda mereka kepada pengambil

kebijakan. Di Jakarta jugalah dampak berbagai kebijakan resmi pasca-1998 paling

cepat kelihatan. Jakarta merupakan tempat yang paling semarak bagi warga

Indonesia-Tionghoa untuk mengartikulasikan kembali identitas mereka: dalam

beberapa tahun terakhir ini, lembaga-lembaga kursus bahasa Mandarin

Page 30: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

30

bermunculan di berbagai tempat, begitu pula pers dan media massa berbahasa

Mandarin serta organisasi-orgnanisasi politik, sosial dan keagamaan dikalangan

komunitas Tionghoa.

Jakarta juga menjadi tempat berbagai identitas ketionghoaan yang berbeda

saling berinteraksi. Tidaklah selalu mudah untuk mendefinisikan siapa yang

dimaksud dengan warga ‘Jakarta keturunan Tionghoa’. dalam penelitian ini,

istilah ‘Tionghoa Jakarta’ mengacu pada komunitas Tionghoa yang bersifat lintas-

daerah yang berasal dari berbagai Provinsi yang berbeda, yang belajar, bekerja,

atau bermukim di Jakarta. Istilah ini juga merujuk pada warga Tionghoa ‘asli’

Jakarta, baik encek maupun encim (istilah yang mengandung pengertian lelaki dan

perempuan totok dari generasi tua) di kawasan Glodok, Jakarta Pusat, dan para

‘Hitachi’ (Hitam tapi China) atau yang lazim disebut China Betawi di Kota

Tangerang. Meskipun penulis tidak melakukan survei di berbagai Provinsi di

Indonesia dan mengamati beragam perbedaan identitas ketionghoaan di berbagai

daerah, penelitian yang ditulis didalam skripsi ini tidak bisa diabaikan begitu saja

hanya karena semata-mata terbatas pada ketionghoaan di Jakarta. Dengan meneliti

keragaman komunitas Tionghoa di ibukota ini berarti penulis telah mengkaji

berbagai pandangan yang berbeda di dalam satu tempat, yakni Jakarta.12

Penelitian ini memfokuskan pada proses self-minoritisasi yang mungkin

dilakukan etnis Tionghoa atas dasar kultur subjektifnya, baik kebudayaannya

G.1.2. Jenis Data

12 Disarikan dari Prawacana dalam buku Yau Hoon, Chang. 2012. Identitas Tionghoa Pasca-Suharto: Budaya, Politik dan Media. Jakarta. Yayasan Nabil dan LP3ES.

Page 31: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

31

maupun kebiasaan mereka. Kita menempatkan etnis Tionghoa sebagai obyek

material untuk menjelaskan dan membaca bagaimana sebenarnya identitas yang

mereka sandang sampai saat ini sebagai golongan ‘minoritas’ merupakan hasil

konstruksi kehidupan mereka sendiri sepanjang sejarah Tionghoa di Indonesia.

Untuk itu, penulis dalam penelitian ini membutuhkan data sebagai berikut:

1. Konstruksi historis stereotip terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

2. Proses stereotyping dan interaksi antara Negara, masyarakat

(Pribumi) dan etnis Tionghoa dalam pembentukan identitas

‘minoritas’ untuk etnis Tionghoa di Indonesia

3. Data-data terkait kebudayaan dan kebiasaan etnis Tionghoa di

tengah-tengah masyarakat yang bersifat ‘eksklusif’, yang semakin

memperkuat batasan dan perbedaan identitas dengan masyarakat

etnis lainnya

4. Respon golongan etnis Tionghoa terhadap kehidupan

bermasyarakat tersebut yang kemudian dipahami sebagai proses

self-minoritisasi.

G.1.3. Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu pengumpulan data

primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa

cara, antara lain wawancara, observasi, dan analisis riwayat hidup yang

merupakan bagian dari teknik wawancara. Wawancara dalam suatu penelitian

adalah semua yang berhubungan dengan aktivitas mencari keterangan dengan

Page 32: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

32

perbincangan secara langsung (face to face).13 Lowongan dalam data yang tidak

dapat dicatat dari observasi harus diisi dengan data yang didapat dari wawancara

(Paul 1953: 441-442); Koentjaraningrat 1986; 129). 14

1. Monica Suryanata dan keluarga (Etnis Tionghoa golongan

menengah kebawah)

Wawancara ini dilakukan

dengan etnis Tionghoa dari beberapa golongan yang tesebar dalam beberapa

kawasan di Jakarta Utara dan Bekasi, juga dengan masyarakat sekitar yang

berinteraksi dengan kelompok etnis Tionghoa tersebut. Beberapa orang yang

menjadi narasumber utama dalam penelitian ini antara lain adalah:

2. Jason Iskandar (Etnis Tionghoa, Mahasiswa UGM asal Jakarta)

3. Beberapa pengusaha (Etnis Tionghoa golongan menengah keatas)

4. Masyarakat pribumi (diluar etnis Tionghoa)

Kemudian lebih dari itu, wawancara dapat dikembangkan dengan metode

analisis life history untuk memperoleh pandangan dari dalam: melalui reaksi,

tanggapan, interpretasi, dan penglihatan para warga terhadap dan mengenai

masyarakat atau etnis yang bersangkutan, sehingga diperoleh pengertian yang

mendalam dan detail. Selain itu, penulis juga melakukan observasi terkait data-

data yang ada dilapangan dengan lokus seperti yang sudah disampaikan

sebelumnya serta obyek dan lingkungan terkait data-data yang diperlukan. Lebih

jauh penulis juga melakukan obrolan non-formal dengan beberapa actor yang

13 Musta’in Mashud. Teknik Wawancara. Dalam Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Kencana: Jakarta. 2007. halaman 69-70 14 Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. halaman 100

Page 33: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

33

terkait maupun memiliki peranan dalam proses self-minoritasasi oleh etnis

Tionghoa.

Dan untuk data-data sekunder, dibantu lewat referensi-referensi dari buku,

jurnal, maupun dokumen-dokumen, baik digital maupun tidak, yang memuat

pembahasan-pembahasan terkait dengan etnis Tionghoa maupun fenomena-

fenomena terkait lainnya.

G.1.4. Teknik Analisis Data

Pada kenyataannya, analisis data dalam penelitian berlangsung bersamaan

dengan proses pengumpulan data. Diantaranya adalah melalui tiga tahap model

air, yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi.15

Reduksi data dapat

dimaknai sebagai sebuah aktivitas untuk menggolongkan data, mengarahkan,

membuang data-data yang tidak relevan, dan melakukan pengorganisasian atas

data dengan sedemikian rupa. Dilanjutkan dengan penyajian data yang dapat

dilakukan dengan berbagai cara, misalkan menunjukkan data-data yang relevan

tersebut dalam format teks maupun dengan format yang lain, seperti tabel, grafik,

dan lain sebagainya. Dan sentuhan terakhirnya adalah verifikasi data atau

kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini dilakukan dengan pemikiran yang

mendalam serta kritis atas temuan-temuan yang ada, baik data sekunder maupun

primer, juga relevansinya terhadap konsepsi-konsepsi yang menjadi guide dalam

penelitian ini.

15 Dikutip dari Miles and Huberman (1994:429) dalam Data Management and Analysis Methods

Page 34: BAB Ietd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69619/potongan/S1-2014... · Pembatasan ini dapat dilihat sebagai ... pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ... pengaruh keluarga, sikap

34

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini nantinya akan terbagi kedalam lima bab. Bab pertama

merupakan bab yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kerangka teori, dan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bab kedua

sebelumnya akan me-refresh sedikit tentang siapakah etnis Tionghoa di Indonesia.

Kemudian lebih jauh, pada bab dua ini akan dipaparkan perihal konteks

penelitian, yakni bagaimana stereotip terhadap etnis Tionghoa pertama kali

dikonstruksikan, baik oleh Negara maupun masyarakat pribumi, sampai pada

akhirnya ‘terlembagakan’ dalam diri etnis Tionghoa di Indonesia. Bab ketiga akan

menjelaskan proses stereotyping dan interaksi antara Negara, masyarakat

(Pribumi) dan etnis Tionghoa dalam pembentukan identitas ‘minoritas’ etnis

Tionghoa di Indonesia. Kemudian pada bab empat akan dipaparkan hasil

observasi dan wawancara penelitian terhadap kebudayaan dan kebiasaan hidup

sehari-hari etnis Tionghoa, bagaimana hal tersebut kemudian dimengerti sebagai

proses pembentukan identitas etnis Tionghoa, untuk kemudian lebih jauh

dipahami sebagai proses self-minoritisasi itu sendiri. Dan yang terakhir, yaitu bab

lima, penulis akan mengungkapkan intisari dan kesimpulan dari penelitian ini

serta sumbangan apa yang sekiranya mampu diberikan oleh penelitian ini bagi

studi mengenai ‘Masalah Cina’ yang masih belum terselesaikan di Indonesia.