BAB I.docx
-
Upload
nena-ikhwanudin -
Category
Documents
-
view
229 -
download
13
Transcript of BAB I.docx
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan berlandaskan pada asas Pancasila
dan memiliki landasan hukum yang luhur berupa Undang-Undang Dasar
1945. Dengan demikian maka sudah seharusnya dan sepatutnya jika seluruh
peraturan perundang-undang yang ada haruslah mencerminkan semangat dan
cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jika kemudian terdapat
satu atau beberapa peraturan perundang-undang yang tidak mencerminkan
asas dan dasar hukum bangsa Indonesia maka pemerintah berkewajiban untuk
mengubahnya atau bahkan mencabut peraturan perundang-undangan tersebut.
Terkait dengan asas dan dasar hukum bangsa Idonesia.
Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat
menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah
dasar hukum yang mengatur mengenai hal itu, mulai dari level Undang-Undang
yakni Undang- Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Undang-Undang
darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang mengubah
"ordonnantietijdelijke bijzondere strafbepalingen" (stbl. 1948 Nomor 17) dan
Undang-Undang Republik Indonesia dahulu Nomor 8 Tahun 1948, yaitu tentang
pendaftaran dan pemberian izin pemakaian senjata api: setiap orang yang bukan
anggota tentara atau polisi yang memakai dan memberlakui senjata api harus
mempunyai izin pemakaian senjata api.
Penggunaan senjata api untuk tujuan sosial harus dituntun oleh prinsip-prinsip
moral. Prinsip moral yang melandasi sistem hukuni di Indonesia khususnya,
menekankan bahwa setiap orang memiliki hak mutlak atas hidupnya. Termasuk di
dalamnya tiap manusia memiliki hak dalam upaya perlindungan diri dan jaminan
keamanan mereka. Pemerintah bertugas memastikan bagi rakyatnya adanya
kerangka hukum yang dapat melindungi hak hidup pada setiap tahap
perkembangan teknologi manusia. Tidak heran jika peredaran senjata api diatur
oleh pihak kepolisian, karena dapat dibayangkan jika setiap orang dapat memiliki
senjata api, angka kriminalitas dan kematian dapat melonjak. Apabila tiap
individu bebas menggunakan senjata api tanpa terkendali dan disalahgunakan.
Pengaturan peredaran tersebut membawa konsekuensi bahwa setiap kepemilikan
senjata harus memilki izin.
Perundang - Undangan tentang senjata api perorangan menurut Peraturan Menteri
Pertahanan No.7 tahun 2010, yaitu setiap olahragawan menembak dan/atau
berburu yang telah mendapat pengesahan dari KONI. Dan yang dimaksud dengan
perorangan disini adalah orang perseorangan warga Negara Indonesia ataupun
Pejabat tertentu serta perseorangan yang berkepentingan, dapat memiliki senjata
api dengan ketentuan serta persyaratan yang berlaku didalamnya.
Selanjutnya izin kepemilikan menurut Perpu No.20 Tahun 1960 Pasal 1 Tentang "
Kewenangan Perijinan yang diberikan Menurut Perundang Undangan Mengenai
Senjata Api " , Keppres RI Nomor 125 Tahun 1999 tentang bahan peledak,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 15 ayat. 2 tentang Kewenangan Kepolisisan Negara Republik
Indonesia dalam pemberian izin, termasuk izin dan pengawasan terhadap senjata
api dan bahan peledak.
Selanjutnya Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2008 Pasa14 tentang Pengawasan
dan Pengendalian dan Pengamanan bahan peledak komersial (Bahan peledak
Komersial adalah bahan peledak yang dipakai untuk kepentingan pembangunan
dan proses produksi pada industri pertambangan yang bersifat komersial).
Selanjutnya Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2010 Pasal 6 bagian kesatu dan
Pasa17 bagian kedua tentang ketentuan penyelnggaraan perizinan.
Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, seperti SK Kapolri
(No. Skep/2441IU1999 ) dan tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian
Senjata Api Non Organik (SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 ).
Kebijakan mengenai senjata api yang dikeluarkan oleh POLRI memikirkan tujuan
yang hendak dicapai dari dibuatnya kebijakan tersebut, yaitu keamanan. Karena
melihat tujuan, maka suatu kebijakan memiliki kaitan untuk mencapai tujuan dari
kaidah hukum dalam produk kebijakan. Hal ini termasuk juga bagaimana agar
kebijakan pemilikan senjata api oleh masyarakat sipil mendapat pengaruh positif
dalam masyarakat, yang artinya melakukan pertimbangan efektivitas hukum. Dan
yang menjadi dasar adanya kebijakan kepemilikan senjata api oleh masyarakat
sipil ialah mengenai apakah dengan dimilikinya senjata api oleh masyarakat sipil,
angka kejahatan akan berkurang dan keamanan dalam masyarakat akan
membaik..Hal inilah yang mendasari tujuan adanya kebijakan pemilikan senjata
api oleh masyarakat sipil yang izinnya dikeluarkan oleh institusi POLRI.
Dan diharapkan dapat efektif apabila ada sikap tindak atau perilaku yang menjadi
sasaran menuju pada tujuan yang dikehendaki kebijakan.
(www.sinarharapan.co.id/berita , diakses pada 17 November 2011 )
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang pendaftaran
dan pemberian izin pemakain senjata api, POLRI merupakan satu-satunya instansi
yang berwenang menegluarkan izin pemakaian seniata api.
Berkaitan dengan Undang-Undang tersebut, maka POLRI mengeluarkan
kebijakan-kebijalCan yang berkaitan dengan penggunaan senjata api, salah
satunya ialah memperbolehkan masyarakat sipil untuk menguasai senjata api,
yang tentunya harus memiliki izin kepemilikan terlebih dahulu.
Kepolisian Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian, memiliki tugas pokok yang diatur dalam pasal 13 yaitu,
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas tersebut, maka Kepolisisan Negara
Repubik Indonesia juga diberi kewenangan-kewenangan yang salah satunya ialah
untuk memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam.
Berdasarkan aturan yang berlaku tentang ketentuan izin kepemiikan senjata api di
Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
yang sama. Kebijakan Polri ini bertujan untuk mengurangi kepemilikan senjata
api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan ataupun kepemilikan senjata api
yang secara illegal atau tidak memiiki surat izin kepemilikan secara resmi yang
didaftarkan ke Kepolisian negara Repubik Indonesia.
Beranjak dari jumlah ketersediaan personil yang masih terbatas, peralatan
anggaran operasional yang juga masih terbatas dan dalam rangka melindungi
masyarakat dari berbagai tindak kejahatan dengan kekerasan, tindak kriminal,
penodongan dan perampokan yang seringkali muncul akhir-akhir ini, maka
terhadap masyarakat yang "memenur~i persyaratan tertentu" dapat diberikan hak
untuk melakukan perlindungan diri secara swadaya, misalnya : dengan
mempunyai hak kepemilikan dan penggunaan senjata api dalam situasi dan
kondisi yang "tertentu".
Namun fakta-fakta akhir-akhir ini, memperlihatkan seringkali terjadi kepemilikan
senjata api di kalangan masyarakat sipil, seperti; penyalahgunaan senjata api oleh
oknum yang merupakan anak dari salah satu Bupati di Lampung terhadap seorang
petugas keamanan, oknum tersebut meletuskan senjata api berpeluru karet ke arah
atas sebanyak empat kali letusan. Penyalahgunaan senjata api, terkesan dalam
masyarakat lebih banyak dilakukan justru oleh kalangan terpandang bahkan
sampai aparat keamanan sendiri. Walaupun menurut angka idari Mabes Polri, ada
sekitar 17.000 buah senjata api legal yang beredar dalam masyarakat, namun
demikian tampaknya jarang terdengar di kalangan masyarakat sipil terjadi
penyalahgunaan senjata api. Bahkan dari 10 (sepuluh) kasus penyalahgunaan
senjata api, 9 sembilan) diantaranya adalah senjata api yang menjadi hak milik
dari aparat negara.
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Lampung, yaitu wilayah Bandar
Lampung telah melakukan pengendalian dan pengawasan senjata api non organik
bagi masyarakat sipil untuk wilayah Bandar Lampung, serta berkenaan dengan
perizinan senjata api non organik bagi masyarakat sipil di Bandar Lampung.
Tetapi, tindakan yang telah dilakukan oleh Pihak Kepolisian tersebut dalam Hal
Perizinan Kepemilikkan Senjata Api Non Organik Bagi Mayarakat Sipil di
Bandar Lampung di lapangan, masih belum dapat diterima sepenuhnya oleh
masyarakat sipil di Bandar lampung. Masih banyak atau ada beberapa oknum -
oknum yang tidak mematuhi aturan kepemilikkan senjata api bagi masyarakat
sipil. Memiiki senjata api non orgamk tanpa surat - surat yang resmi dan surat izin
yang lengkap.
Diantara masyarakat sipil di Bandar Lampung yang tidak memiliki surat izin atau
surat resmi lainnya, terdapat juga diantaranya oknum - oknum yang terpandang
atau pun meiliki jabatan, dan sanksi atau hukum yang telah ada harus tetap
dipatuhi dan ditaati. Dan tidak sedikit masyarakat sipil yang memiliki senjata api
namun tidak memiliki surat resmi dan surat izin, dengan alasan untuk menjaga
diri, bahkan senjata api yang dimiliki adalah illegal.
Melihat dari pentingnya bagi masyarakat sipil yang, ingin memiliki atau
memperoleh izin kepemilikan senjata api, haruslah melewati beberapa
persayaratan serta ketentuan yang telah ditentukan oleh instansi yang terkait yaitu
POLRI.
Berdasarkan uraian diatas, maka menjadikan sebagai penelitian dengan judul "
Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Izin Kepemilikan
Senjata Api Non Organik bagi Masyarakat Sipil di Kota Bandar Lampung "
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
perizinan kepemilikan senjata api non organik bagi masyarakat sipil di
Bandar Lampung ?
2. Bagaimanakah sanksi hukum bagi masyarakat sipil yang memiliki senjata
api tanpa surat izin kepemilikan secara resmi dari Kepolisian Daerah
Lampung di daerah Bandar Lampung ?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
1. Ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada bidang Hukum Administrasi
Negara, yakni mengenai perizinan mengenai surat kepemilikan dalam hal ini
adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni Kepolisian Daerah
Lampung.
2. Ruang lingkup penelitian, yakni berkenaan pada faktor-faktor penghambat
yang sering terjadi dalam prosedur perizinan kepemilikan senjata api
sehingga terjadinya asumsi masyarakat yang terlebih dahulu menilai bahwa,
mengikuti prosedur perizinan kepemilikan senjata api tersebut cukuplah sulit
dan berbelitbelit, atau masyarakat yang sudah terlebih dahulu memiliki
senjata api,namun dengan cara yang salah. Akhirnya menimbulkan rasa malas
atau menganggap kurang pentingnya memiliki surat kepemilikan izin senjata
api yang secara resmi.
1.4 Tujuan Penelitian
Setiap penulisan mempunyai tujuan dengan maksud agar memberi arah bagi
pembahasan skripsi ini. Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
perizinan kepemilikan senjata api non organik bagi masyarakat sipil di
Bandar Lampung.
2. Untuk mengetahui Sanksi hukum terhadap masyarakat sipil yang memiliki
senjata api tanpa surat izin resmi kepemilikan senjata api dari Kepolisian.
1.5. Kegunaan Penelitian
Secara garis besar kegunaan dari suatu penelitian mencakup dua hal, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai su_mbangsih pemikiran dan
pengetahuan dalam upaya perkembangan disiplin ilmu hukum pada umumnya
dan hukum administrasi negara di bidang hukum perizinan, serta dapat
mengembangkan teori, landasan, konsep, dan masalah-masalah yang timbul
dalam prosedur perizinan kepemilikan senjata api serta sanksi apa yang akan
diterima apabila memiliki dan menggunakan senjata api tanpa disertai dengan
surat izin kepemilikan yang dikeluarkan secara resmi, bagi yang berminat
mengetahui lebih dalam tentang Perizinan Kepemilikan Senjata Api.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai rekomendasi strategis kepada instansi yang berwenang dalam
kebijakan pemberian izin kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil.
b. Memberikan masukan-masukan kepada instansi terkait terhadap
pelaksanaan perizinan dalam rangka meminimalisir dan mencegah
terjadinya pelanggaran perizinan senjata api oleh masyarakat sipil.
c. Sebagai rekomendasi strategis yang dapat dijadikan acuan bagi para
peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian tentang izin
kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil.
PROSEDUR PERIZINAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI MASYARAKAT SIPIL YANG DIKELUARKAN POLISI NEGARA
REPUBLIK INDONESIA(Studi diPolresta Pesawaran)
(PROPOSAL SKRIPSI)
Oleh :KAISAR S MALE
NMP 13742010167.P
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SABURAI
BANDAR LAMPUNG2015
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran
Kata "peran" atau "role" dalam kamus oxford dictionary diartikan sebagai: Actor's
part; one's task or function yang berarti aktor; tugas seseorang atau suatu fungsi
(oxford University Press,2008: 383). Sedangkan istilah peran dalam "Kamus
Besar Bahasa Indonesia" mempunyai arti sebagai seperangkat tingkah yang
diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat, kedudukan
dalam hal ini diartikan sebagai posisi tertentu di dalam masyarakat yang mungkin
tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.
Kedudukan tersebut sebenarnya adalah suatu wadah yang isinya adalah hak dan
kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut dapat dikatakan
sebagai peran. Oleh karena itu maka ada seseorang yang mempunyai kedudukan
tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang Peran (role accupant). Suatu hak
sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
kewajiban adalah beban atau tugas.
Suatu peran dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai'berikut :
a. Peran yang ideal (deal role)
b. Peran yang seharusnya (Expexted)
c. Peran yang dianggap oleh diri sendiri (Percieved role)
d. Pern sebenarnya dilakukan (actual role)
Sedangkan menurut Soejono Soekanto (1982;268), Peran yang ideal yang
seharusnya datang dari luar (external).
Sedangkan peran yang dianggap oleh diri sendiri serta peran yang sebenarnya
dilakukan berasal dari diri sendiri pribadi (Internal). Soejono Soekamto
(1990;268-269) menyatakan peran adalah aspek dinamis kedudukan (status).
Apabila seseorang menjalankan hak dan kewajiban sesuai kedudukannya maka ia
menjalankan suatu peran.
Peran menurut Soejono Soekamto (1990;269) menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Peran meliputi hal-hal yang berhubungan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat;
b. Peran merupakan serangkaian peraturan-peraturan yang nantinya akan
membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat;
c. Peran dapat juga dikatakan sebagai suatu perilaku yang ada di dalam
masyarakat dimana seseorang itu berada.
Peran adalah suatu konsep prihal apa yang dapat dilakukan individu maupun
kelompok yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peran meliputi
normanorma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat, peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-praturan yang
membimbing suatu individu atau pun kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan
(Soejono Soekamto,1982:238).
Lembaga merupakan terjemahan dari dua istilah atau kata yaitu Institut dan
Institusi keduanya mempunyai arti yang berbeda, institut merupakan w•ajud
kongkrit/nyata dari sebuah lembaga, misalnya Institut Teknologi Bandung (ITB),
atau Institut Pertanian Bogor (IPB). Sementara Institusi merupakan wujud Abshat
dari suatu Lembaga, sebab merupakan sekumpulan norma-norma pengatur
perilaku.
dalam aktivitas hidup tertentu (Sugianto, 2002;19). Batasan Lembaga Menurut
Jhon R Commons adalah "ollec tiveae tionen control of individual action", inti
Lembaga adalah action atau tindakan positif berbuat sesuatu yang dibenarkan atau
tidak berbuat sesuatu, yaitu menahan diri, mengekang diri untuk tidak berbuat
sesuatu yang dilarang. Artinya sebagai pengawasan, Lembaga dapat pula diartikan
peraturan yang mengendalikan atau mengawasi tindakan yang dilakukan secara
bersama-sama pula (Sugianto,2002;20).
Jadi yang dimaksud Peran Lembaga adalah seperangkat tingkah laku positif yang
dilakukan oleh Institusi yang meliputi pengawasan, pengendalian, serta
pembatasan perbuatan seseorang atau pun kelompok yang didasarkan pada tugas
pokok dan fungsi Institusi tersebut. Dalam hal ini peran Kepolisian Daerah
Provinsi Lampung dalam pelaksanaan program Bagian Pelayanan Administrasi di
Kepolisian Daerah Lampung yaitu bertugas memberikan pelayanan dan
pengawasan administrasi dalam bentuk surat izin atau keterangan yang
menyangkut orang asing , senpi ( senjata api ) atau bahan peledak, kegiatan sosial
atau polisi masyarakat, dan SKCK( Surat Keterangan Catatan Kelakuan Baik )
bagi masyarakat yang memerlukan.
2.2 Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional di Indonesia,
yang bertanggung jawab langs,ang di bawah Presiden. Polri mengemban
tugastugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke
kewilayahan. Organisasi Polri Tingkat Pusat disebut Markas Besar Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); sedang organisasi Polri Tingkat
Kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda).
(Wikipedia : Kepolisian Negara Republik Indonesia )
Tentang Polri Kemar_dirian Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1
April 1999, sebagai bagian dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi
secara arif sebagai tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang
profesional dan dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan
nasional kearah masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan
sejahtera.
Kemandirian Polri dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi yang tertutup
dan berjaian serta bekerja sendiri, namun tetap dalam kerangkan ketata negaraan
dan pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia yang utuh termasuk dalam
mengantisipasi otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999
tentang Otonomi Daerah dan. Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang
Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.Pengembangan kemampuan dan
kekuatan serta penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat
mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Polri sebagai pengemban
fungsi keamanan dalam negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah
memberikan rasa aman kepada negara, masyarakat, harta benda dari tindakan
kriminalitas dan bencana alam. ( website:polri )
Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan perubahanperubahan
melalui tiga aspek yaitu:
1. Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam
Ketata negaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
2. Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin,
kewenangan,kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
3. Aspek kultural: Adalah muara dari perubahan aspek struktural dan
instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan
Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem
rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, system
anggaran, sistem operasional.
Berkenaan dengan uraian tugas tersebut, maka Polri akan terus melakukan
perubahan dan penataan baik di bidang pembinaan mau pun operasional serta
pembangunan kekuatan sejalan dengan upaya reformasi.
2.2.1 Fungsi Kepolisian
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerititahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. ( Undang -
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Fungsi Kepolisian dari uraian diatas mmiliki tujuan dalam penegakkan hukum,
perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbing msyarakat demi
terjaminnya tertib, dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman mayarakat,
guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Fungsi kepolisian juga
terdiri atas pekerjaan - pekerjaan tertentu yang dalam praktek kehidupan
masyarakat dirasakan perlunya dan dirasakan manfaatnya guna mewujudnkan
keamanan dan ketertiban lingkungannya, sehingga dari waktu ke waktu
dilaksanakan atas dasar kesadaran dan kemauan masyarakat sendiri serta
kemudian melembaga dalam tata kehidupan masyarakat. Yang mencakup
keseuruhan bahwa harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan
keadilan.
2.2.2 Tugas dan Wewenang
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakan hokum dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.( Pasal 13 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia )
Dari uraian tugas dan wewenang yang disebutkan diatas, maka tugas pokok
kepolisian yaitu memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umu.•n, serta
menegakkan hukum dari ketentuan perundang - undangan yang memuat tugas
pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan merupakan bagian dari fungsi
pemerintahan Negara yang pada hakikatnya bersifat pelayanan publik dan
termasuk dalam kewajiban umum kepolisian.
Di samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum,
mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
2.2.3 Kepolisoan Daerah (Polda)
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) merupakan satuan
pelaksana utama Kewilayahan yang berada di bawah Kapolri. Polda bertugas
menyelenggarakan tugas Polri pada tingkat kewilayahan. Polda dipimpin oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang
bertanggung jawab kepada Kapolri. Kapolda dibantu oleh Wakil Kapolda
(Wakapolda). ( Wikipedia : Kepolisian Negara Republik Indonesia)
1. Polda membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor (Polres).
Ada tiga tipe Polda, yakni Tipe A dan Tipe B. Tipe A dipimpin seorang
perwira tinggi berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen), sedangkan Tipe B
dipimpin perwira tinggi berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen).
- Setiap Polda menjaga keamanan sebuah Provinsi.
2. Polres, membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor. Untuk
kota - kota besar. Polres dinunai Kepolisian Resor Kota Besar. Polres
memiliki satuan tugas kepolisian yang lengkap, layaknya Polda, dan dipimpin
oleh seorang Komisaris Besar Polisi (untuk Polrestabcs) atau Ajun Komisaris
Besar Polisi (untuk Polrcs).
- Setiap Polres menjaga kcaman:un sebuah Kotamadya atau Kabupaten.
3. Polsek maupun Polsekta dipimpin oleh seorang Ajun Komisaris Besar Polisi
(AKBP) (khusus untuk Polda Metro Jaya) atau Komisaris Polisi (Kompol)
(untuk tipe urban), sedangkan di Polda lainnya, Polsek atau Polsekta dipimpin
oleh penvira bcrpangkat Ajun Komisaris Polisi (tipe rural). Di sejumlah
daerah di Papua scbuah Polsek dapat dipimpin oleh Inspektur Dua Polish
- Setiap Polsek menjaga keamanan sebuah Kecamatan.
Setiap Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) memiliki sejumlah
Direktorat dalam menangani tugas melayani dan melindungi ( Wikipedia :
Kepolisian Negara Republik Indonesia), yaitu:
a. Direktorat Reserse Kriminal
1. Subdit Kriminal Umum
2. Subdit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras)
3. Subdit Remaja Anak dan Wanita
4. Unit Inafis (Indonesia Automatic Finger Print Identification System)
/Identifikasi TKP (Tempat Kejadian Perkara)
b. Direktorat Reserse Kriminal Khusus
1. Subdit Tindak Pidana Korupsi
2. Subdit Harta Benda Bangunan Tanah (Hardabangtah)
3. Subdit Cyber Crime
c. Direktorat Reserse Narkoba
1. Subdit Narkotika
2. Subdit Psikotropika
d. Direktorat Intelijen dan Keamanan
e. Direktorat Lalu Lintas
1. Subdit Pendidikan dan Rekayasa (Dikyasa)
2. Subdit Registrasi dan Identifikasi (Regident)
3. Subdit Penegakan Hukum (Gakkum)
4. Subdit Keamanan dan Keselamatan (Kamsel)
5. Subdit Patroli Pengawalan (Patwal)
6. Subdit Patroli Jalan Raya (PJR)
f. Direktorat Bimbingan Mas;,arakat (Bimmas, dulu Bina Mitra)
g. Direktorat Sabhara
h. Direktorat Pengamanan Objek Vital (Pamobvit)
i. Direktorat Polisi Air (Polair)
j. Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Tahti)
k. Biro Operasi
1. Biro SDM
m. Biro Sarana Prasarana (Sarpras, dulu Logistik)
n. Bidang Keuangan
o. Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam)
p. Bidang Hukum
q. Bidang Hubungan Masyarakat
r. Bidang Kedokteran Kesehatan
Kepolisian Negara Republik Indonesia mencakup wilayah antar propinsi yaitu
Polda, yang di dalamnya di pimpin oleh seorang Kepala yakni Kepala Kepolisian
Daerah. Dan memiliki wakil, yaitu seorang Wakapolda yang berperan
mendampingi Kapolda dalam menjalankan tugasnya di wilayah yang telah dijabat
dalam kurun waktu yang tidak diketahui. Karna, dalam Kepolisian mengenal
istilah Mutasi yang tidak pandang masa kerja dari tiap Polri yang sedang
menjalankan tugas di wilayah atau jabatan yang telah di jalankan.
2.3 Perizinan
2.3.1 Pengertian Izin
Istilah "Izin" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001:447)
adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang dsb)/persetujuan membolelLCan.
Izin merupakan satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
membatasi tingkah laku masyarakat (Spelt dan Ten Berge, 1993 : 3). Izin ialah
suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarmita (1987:
390) izin adalah perkenaan, pernyataan mengabulkan atau tidak melarang. Izin
adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi.
Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yurudis untuk mengemudikan
tingkah laku para warga. Dapat dikatakan bahwa izin itu apabila pembuat
peraturan secara umum tidak melarang suatu perbuatan, asal saja dilakukan sesuai
ketentuan yang ada. Dengan memberikan izin, penguasa memperkenankan orang
yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya
dilarang. Ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan
umum mengharuskan pengawasan khusus.
Izin adalah suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar
dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan
teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus.(Spelt dan Ten Berge, 1993 : 3)
Sedangkan menurut Mr. Prins, izin adalah pernyataan yang biasanya dikeluarkan
schubungan dengan suatu perbuatan yang pada hakekatnya harus dilarang tetapi
hal yang menjadi objek dari perbuatan tersebut menurut sifatnya tidak merugikan
dan perbuatan itu dapat dilaksanakan asal saja dibawah pengawasan alat-alat
perlengkapan Administrasi Negara (Soehino, 1984 : 79). Menurut Utrecht,
pengertian izin (Vergunning) ialah bilamana pembuat peraturan tidak umumnya
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja secara
yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi
negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (Adrian
Sutedi, 2010: 167).
Selanjutnya menurut Van Der Pot yang dimaksud izin adalah :" Apabila sikap
batin si pembuat undang-undang terhadap perbuatan atau tingkah laku yang diatur
dalam undang-undang itu sendiri adalah pada prinsipnya tidak melarang, tidak
memperdulikan, acuh tak acuh hanya saja dalam hal-hal yang konkret dimana
perbuatan itu dilakukan terhadap campur tangan dari penguasa yang berwenang
oleh aturan hukum dari undang-undang tadi untuk membuat aturan hukum ini
konkreto dalam hal yang konkret" (Soehino, 1984 : 83): Izin menurut
pengertiannya dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Izin dalam arti sempit izin saja
Pengertian izin dalam arti sempit merupakan pengikatan aktivitas-aktivitas pada
suatu peratura izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat
undangundang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi
keadaan yang buruk (Spelt dan Ten Berge, 1993 : 3). Tujuannya adalah untuk
mengattur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya
dianggap tercela, namun perlu dilakukan pengawasan.
b. Dalam arti luas yaitu :
a. Izin merupakan Persetujuan
b. Dispensasi yaitu pembebasan
c. Lisensi digunakan dalam bidang perdagangan
d. Konsensi perjanjian antara pemerintah dan swasta dalam bidang
pertambangan untuk menyerahkan tugas-tugas pemerintah kepada pihak
swasta yang menyangkut kepentingan umum.
Melalui diberikannya izin, penguasa memperkenanka:i orang yang memohon
untuk meiakukan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan perturan
Perundangundangan yang mengatur. Pemberian izin menyangkut bagi suatu
tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus.
Izin merupakan instrumen bagi penguasa yang berupa pernyataan mengabulkan,
menyetujui atau mengesahkan terhadap suatu perbuatan yang sebenarnya dilarang.
Tetapi hal yang menjadi objek dari perbuatan yang akan dilakukan oleh seseorang
tersebut, menurut sifatnya tidak merugikan atau pernyataan mengabulkan itu
adalah berasal dari alat-alat perlengkapan administrasi yang dilaksanakan oleh
dasar wewenang khusus yang diberikan kepadanya oleh suatu aturan hukum in
concreto yang dibuatnya sendiri dan hal ini merupakan tugas daripada alat-alat
perlengkapan administrasi. Pihak- lain baik perorangan maupun badan hukum
swasta sifatnya menerima dengan sukarela atas izin tersebut.
Dari beberapa pendapat di atas, izin dapat diartikan perbuatan hukum atau
persetujuan yang ditetapkan oleh penguasa negara berdasarkan
perundangundar_gan dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-
ketentuan larangan perundangan.
2.3.2 Fungsi Izin
Izin merupakan instrumen yuridis preventif. Dengan sifat yuridis yang demikian
itu, izin berfungsi :
a. Mengarahkan/mengendalikan aktifitas tertentu
b. Mencegah bahaya.
c. Melindungi objek tertentu
d. Mengatur distribusi benda langka
e. Seleksi orang atau aktifitas tertentu
Dengan tujuan yang demikian itu, setiap izin pada dasarnya membatasi kebebasan
individu. Dengan demikian wewenang membatasi hendaknya tidak melanggar
prinsip dasar negara hukum, yaitu asas legalitas (Philipus M. Hadjon, 1995 : 2).
2.3.3 Kewenangan Menerbitkan Izin
Setiap wewenang menerbitkan izin bersifat publik. Wewenang itu bisa merupakan
wewenang ketatanagaraaan (statsrechtelijk bevoegdheid) dan bisa merupakan
wewenang administrasi (administratiefrechtelijk bevoegdheid). Antara wewenang
ketatanegaraan dengan wewenang administrasi dapat dibedakan namun sulit
dipisahkan. Wewenang menerbitl:an izin bisa merupakan wewenang terikat
(gobonden bevoegdheid) dan bisa merupakan suatu wewenang bebas
(discretionary power). Pembedaan atas wewenang terikat dan wewenang bebas
dalam penerbitan izin membawa ko.nsekuensi yuridis, baik pada penerbitan izin
maupun pada pencabutan izin (Philipus M. Hadjon, 1995 : 3).
Pada penerbitan izin , wewenang menerbitkan atau wewenang menolak
tergantung dari s-;fat wewenang. Pada wewenang terikat pejabat TUN terikat pada
syarat-syarat yang dirumuskan dan tidak memiliki kebebasan untuk menilai
maupun kebebasan kebijaksanaan dasar wewenang terikat bagi perizinan beranjak
dari ketentuan hukum yang berlaku.
Atas dasar demikian itu, wewenang memberikan izin adalah wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Wewenang ini diberikan untuk
tujuan konkret seperti' yang telah diuraikan di atas. Aspek yuridis perizinan
meliputi :
1) Larangan untuk melakukan suatu aktifitas (tanpa izin)
2) Wewenang untuk memberikan izin
Untuk menyimpang dari suatu larangan harus ditegaskan dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Larangan dirumuskan dalam norma larangan (norma
prohabitur) dan norma perintah (norma mandatur). Dengan demikian pelanggaran
atas laranagan itu lazimnya dikaitkan dengan sanksi, baik sanksi administrasi
maupun sanksi pidana (Philipus M. Hadjon, 1995 : 5).
Lingkup larangan tergantung pada uraian tingkah laku yang dilarang. Formulasi
larangandapt berupa larangan umum ataupun larangan yang memuat
ketentuanketentuan khusus. Misalnya : dilarang mendirikan bangunan tanpa izin
Walikota (larangan umum), sedangkan dilarang mendirikan rumah/bangunan
lainnya di sepanjang bantaran ledeng/irigasi (larangan yang berupa ketentuan
khusus).
Wewenang untuk memberikan izin merupakan wewenang publik. Suatu
wewenang publik adalah wewenag yang berdasarkan hukum tata negara atau
hukum administrasi negara. Pada penerbitan izin wewenang menerbitkan atau
wewenana menola.k tergantung pada sifat wewenang. Pada wewenar.g terikat,
pejabat tata usaha negara (TLTN) terikat pada syarat-syarat yang dirimuskan dan
tidak memiliki kebebasan untuk mmenilai maupun kebebasan kebijaksanaan atau
terikat oleh peraturan perundang-undangan, sebaliknya pada wewenang bebas,
organ pemerintah memiliki kadar kebebasan yang besar dalam memutuskan
pemberian izin (Philipus M. Hadjon, 1995 : 3).
Pada pencabutan izin , sifat wewenang mempunyai arti penting bagi kemungkinan
untuk menggunakan wewenang pencabutan. Pada wewenang terikat, pencabutan
dilakul:an dengan keterikatan mutlak pada ketentuan peraturan yang menjadi
dasarnya. Pada wewenang bebas, pajabat tata usaha negara dapat menggunakan
atau tidak menggunakan wewenang untuk mencabut izin (Philipus M. Hadjon,
1995 :5).
Dalam pendapat Philipus M. Hadjon (1994 : 8) yang mengemukakan bahwa,
suatu tekhnik pemeliharaan ketertiban adalah terkaitnya beberapa kegiatan atau
keadaan pada suatu perizinan, pengesahan, persetujuan atau suatu bentuk
pemberian kuasa yang lain oleh karena kegiatan-kegiatan itu pada dasamya adalah
terlarang terkecuali jika telah dilaporkan dan memperoleh izin.
2.3.4 Unsur - Unsur Perizinan
Ada beberapa unsur dalam perizinan (Ridwan HR, 2008:210-217), yaitu sebagai
berikut:
a. Instrumen Yuridis
Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk konstitutif dan yang
digunakan oleh p2merintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa
konkret. Sebagai ketetapan, izin dibuat dengan ketentuan dan persyaratan
yang berlaku pada ketetapan pada umumnya.
b. Peraturan Perundang-undangan
Dalam hal membuat dan menerbitkan izin haruslah didasarkan pada
wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut ketetapan izin tersebut menjadi
tidak sah.
c. Organ Pemerintah
Organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintahan baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Beragamnya organ pemerintahan
yang berwenang memberikan izin dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan
yang membutuhkan izin tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai
sasaran yang hendak dicapai.
d. Peristiwa Konkret
Peristiwa konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang
tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret
ini beragam, sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, izin pun
memiliki berbagai keragaman.
e. Prosedur dan Persyaratan
Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu yang
ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping harus
menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah atau pemberi izin. Prosedur dan persyaratan perizinan itu
berbeda-beda tergantung jenis izin tujuan izin, dan instansi pemberi izin.
2.3.5 Subjek dan Ob;ek Perizinan
Berbicara masalah subjek dan objek perizinan tentu saja tida_k akan pemah bisa
dilepaskan antara pemerintah yang berwenang baik itu Pemerintah Pusat,
pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten atau Kota yang merupakan
subjek dari perizinan mempuriyai kadar tugas dan peranan yang besar dalam
setiap penentuan setiap kebijakan-kebijakan dan keputusan dalam hal perizinan,
sedangkan objek dari perizinan adalah pemohon izin usaha dan atau kegiatan.
Antara subjek dan objek dari perizinan ini menmpunyai peranan yang sama-sama
besar dalam menentukan diterbitkannya atau ditolaknya suatu izin.
Dan fungsi dari izin,yaitu : untuk memberikan kepastian hukum bagi pemohon
dan masyarakat, sebagai tindakan preventif untuk menghadapi pihak-pihak yang
mengganggu, dan sebagai pengamanan secara hukum.
2.3.6 Tujuan Pemberian Izin
Secara umum, tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian
daripada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu di mana ketentuannya berisi
pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan
ataupun oleh pejabat yang berwenang.
Tujuan Perizinan dalam arti luas yaitu : untuk mempengaruhi masyarakat untuk
mengikuti keinginan pemerintah.
1. Mengarahkan aktifitas tertentu
2. Mencega.h bahaya bagi lingkungan
3. Keinginan melindungi objek tertentu
4. Hendak membagi benda-benda yang sedikit
5. Mengarahkan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas
Selain itu, tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
a. Dari Sisi Pemerintah
1) Untuk melaksanakan peraturan
Apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut
sesuai dengan kenyataan dalam praktiknya atau tidak dan sekaligus
untuk mengatur ketertiban.
2) Sebagai sumber pendapatan daerah
Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung
pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang
dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu.
Semakin banyak pula pendapatan di bidang retribusi tujuan akhirnya,
yaitu untuk membiayai pembangunan.
b. Dari Sisi Masyarakat
1) Untuk adanya kepastian hokum
2) Untuk adanya kepastian hak
3) Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas. Apabila bangunan yang
didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas
(Adrian Sutedi, 2010:200).
2.4 Kepemilikan
Pengertian Kepemilikan
Secara bahasa, milik atau kepemilikan adalah penguasaan dan kewenangan
seseorang pada suatu harta, sehingga ia dapat mentasaruflcan hartanya dalam
bentuk apapun selama dalam batasan agama. Kepemilikan adalah kekuasaaan
yang didukung secara sosial untuk memegang control terhadap sesuatu yang
dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi. Definisi ini
mirip dengan definisi kekayaan, baik pribadi atau publik. ( Wikipedia :
kepemilikan )
Menurut pengertian diatas, kepemilikan berasal dari kata milik yang berarti
penguasaan atau kekuasaaan seseorang terhadap hal yang dimiliki atau dikuasai.
2.5 Senjata Api
2.5.1 Pengertian Senjata Api
Senjata api adalah senjata yang melepaskan satu atau lebih proyektil yang
didorong dengan kecepatan tinggi oleh gas yang dihasilkan oleh pembakaran
suatu propelan.
Propelan adalah bahan peledak yang digunakan untuk mendorong suatu objek.
Propelan tidak hanya digunakan pada senjata api saja, tetapi bisa dipakaikan pada
roket sebagai pendorong.
Senjata api adalah senjata yang mampu melepaskan keluar satu atau sejumlah
proyektil dengan bantuan bahan peledak. ( Wikipedia : senjata api )
Yang termasuk dalam pengertian Senjata Api adalah :
1. Bagian-bagian senjata api
2. Meriam dan senjata penyembur api serta baian-bagiannya
3. Senjata tekanan udara dan senjata tekanan pegas caliber 5,5 mm keatas, pistol
sembelih, pistol pemberi isyarat, pistol atau revolver mati suri dan senjata api
tiruan seperti pistol atau revolver tanda bahaya dan atau pistol atau revolver
lomba.
Senjata Api Organik TNI/POLRI ialah, senjata api milik TNI/POLRI yang
merupakan organik tetap dalam suatu kesatuan.
Senjata Api Non Organik TNUPOLRI ialah, senjata api milik pribadi/instansi
Pemerintah/Provit yang bukan organik TNI/POLRI.
Instansi Pemerintah ialah, instansi pemerintah /departemen non TNUPOLRI dan
lembaga pemerintah non departemen. (Surat Keputusan Kapolri Nomor Polisi :
Skep/1198/IX/2000 )
2.5.2 Dasar Hukum Senjata Api
a. W Senjata Api 1963 Lembaran Negara 1937 No. 170 dirubah dengan Lembaran Negara 1939 No. 278 (LTU tentang milik, perdagangan dan pengangkutan senjata gas, mesiu dan munisi di Indonesia).
b. Peraturan Pemerintah 30 Mei 1939 (Lembaran Negara 1939 No. 279) tentang Peraturan pelaksanaan UU Senjata Api tahun 1939.
c. W No. 8 th 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Senjata Api.d. W No. 12 th 1951 (LN.No. 78/51 yo ps 1 ayat d UU no.8 th 1948) tentang
Peraturan Hukum Istirinewa.e. W No. 20 th 1960 tentang Kewenangan Perizinan yang diberikan menurut
per-W an Mengenai Senjata Api, Amunisi dan Mesiu.f. Inpres RI No. 9 th 1976 tentang Wasdal senjata Api dan Amunisi.g. Keputusan Menhamkam /Pangab No. Kep/27/XIU1977 tanggal 28 desember
1977 tentang Tuntutan Kebijaksanaan untuk Meningkatkan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api sebagai pelaksananan inpres No.9 th 1976.
h. Skep Pangab No. Skep/49/U1990 tanggal 23 Januari 1990 tentang Kewenangan Perizinan Senjata Api dan bahan peledak.
i. Skep Kapolri No.Pol.: Skep/244/IU1999 tangga128 Februari 1999 tentang Ketentuan Perijinan Senjata Api Non Organik TNUPoIri untukbela diri.
j. Ordonasi bahan Peledak (LN 1893 No. 243 dirubah menjadi LN 1931 No. 168 tentang Pemasukan, Pemilikan Pembuatan, Pengangkutan dan Pemakaian bahan peledak.
k. Kepres RI No. 86 th 1994 tanggal 23 Desember 1994 tentang Perubahan atas kepres RI No. 5 th 1988 tentang Pengadaan bahan peledak.
l. Kep menhamkam No. : Kep/O10/VU1988 tanggal 28 Juni 1988 tentang Pengawasan dan pengendalian bahan peledak sebagai Pelaksanaan kepres RI No. 5 th 1988.
m. Skep Menhankam No. : Skep/1808/XIU1992 tanggal 08 Desember 1922 tentang Perincian Bahan Peledak.
n. Skep pangab no. : Skep/49/I/1990 tanggal 23 Januari 1990 tentang Kewenangan Perijinan Senjata Api dan Bahan Peledak.
o. SkepKapolri No. Pol.: Skep/243/VU1989 tanggal 14 Juni 1989 tentang Pelimpahan Wewenang Menandatangani Surat izin khusu untuk pemasukan dan Pengeluaran bahan peledak.
b. Perorangan / Pejabat.
1) Pejabat TNU Polri yang mempunyai tugas penting
2) Purn.TNUPoIri yang terkenal atau mempunyai kedudukan penting.
c. Pejabat non TNI/Polri yang mempunyai fungsi / tugas untuk kepentingan
Negara.
d. Pejabat yang karena jabatannya dilingkungan cukup rawan
.2.5.4 Istilah dan Pengertian dalam Perizinan Kepemilikan Senjata Api Non Organik
Dalam Surat Keputusan Kapolri Nomor Polisi : Skep/1198/IX/2000, yang
dimaksud dengan Masyarakat ( Pemilik/Pengguna Senjata Api ) terdiri dari :
1. Warga Negara Indonesia
a) Perorangan, dimaksudkan Pemilik dan Pemegang senjata api yang
mempunyai tujuan untuk bela diri clan atau koleksi.
b) Anggota Perbakin, dimaksudkan Pemilik dan Pemegang senjata api
yang mempunyai tujuan untuk olahraga menembak sasaran, rekreasi,
dan atau berburu.
c) Anggota satpam/ Polsus pada Instansi Pemerintah/ Proyek Vital,
dimaksudkan untuk kelengkapan tugas dalam rangka pengawasan di
kawasan kinerj anya.
2. Warga Negara Asing
a) Sesuai Surat Edaran Menteri Luar Negeri Republik Indoensia Nomor
D184/83-97 tanggal 5 September 1983 yang ditujukan kepada Kepala
Perwakilan Diplomatik, Konsuler, Perserikatan Bangsa-bangsa dan
Organisasi organisasi Internasional bahwa Warga Negara Asing yang
tinggal di Indonesia tidak diizinkan memiliki dan memegang senjata
api
b) Warga Negara Asing yang diizinkan memiliki dan memegang senjata
api di Indonesia adalah pengunjung jangka pendek, terdiri dari :
(1) Wisatawan yang memperoleh izin berburu
(2) Tenaga ahli yang memperoleh izin riset dengan menggunakan
senjata api
(3) Peserta pertandingan olahraga menembak sasaran
(4) Petugas security tamu Negara
(5) Awak kapal laut/pesawat udara
(6) Orang asing yang emperoleh izin transit berdasarkan ketentuan
pemerintah
3. Kapal Laut Indonesia, ialah kapal-kapal milik pemerintah bukan kapal
perang dan kapal-kapal swasta. yang masih dalam keadaan berlayar.
4. Satuan Pengamanan, ialah satuan (kelompok) petugas yang dibentuk oleh
Instansi/Proyek/Badan Usaha untuk melaksanakn pengamanan fisik
menyelnggarakan keamanan swkarsa di lingkungan kerjanya.
5. Alat-alat Kepolisian Khusus, ialah pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang oleh atau atas knasa undang-undang diberi wewenang Kepolisian
terbatas untuk melaksanakan dan menegakkan suatu perundang-undangan
khusus.
6. Pengawasan, ialah segala usaha pekerjaan dan kegiatan dalarr. Rangka
memberikan pelayanan, pengendalian, pengamanan dan penindakan
terhadap segala kegiatan yang menyangkut senjata api dan amunisi yang
bukan organic TNI/POLRI.
7. Pengendalian, ialah proses yang didasarkan pada lapora.n pencatatan dan
perkiraan kebutuhan, untuk memberikan izin senjata api dan amunisi yang
maksimum dan seimbang berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi
keamanan setempat.
8. Pengamanan, ialah segala usaha pekerjaan dan kegiatan, yang ditujukan
untuk menyelamatkan dan mengamankan senjata api dan arnunisi baik
dalam pengadaaan, pemilikan, penggunaan, penyimpanan, dan pemakaian
maupun peredarannya.
9. Izin, ialah surat yang menyatakan atas terkabulnya permohonan senjata
api/amunsi sebagaimana diatur dalam ( undang-undang Nomor. 20 tahun
1960 ).
10. Rekomendasi, ialah surat yang menyatakan persetujuan atau bekeberatan
dikaitkan dengan adanya permohonan perizinan senjata api/amunisi.
11. Surat Saran, ialah surat keterangan yang berisikan saran tentang adanya
permohonan perizinan senjata api an amunisi.
12. Pemasukan, ialah membawa senjata api/amunisi berasal dari luar
Indonesia, dari suatu kapal laut ke darat atau dari kapal udara ke darat.
13. Pengeluaran, ialah membawa senjata api/amunisi baik melaui darat
maupun dengan kapal laut atau kapal udara untuk diangkut ke luar wilayah
Indonesia.
14. Pembelian, ialah proses pemindahan hak dan tanggung jawab atas senjata
api dari seseorang kepada orang lain dimana transaksi berjalan di dalam
negeri dengan disertai pemabayaran.
15. Pemilikan, ialah hak atas senjata api yang diberikan oleh Kapolri atau
pejabat yang diberi wewenang olehnya yang memuat tentang kekuasaan
dan kewajiban atas senjata api tersebut.
16. Penguasaan, ialah hak atas senjata api/amunisi yang diberikan oleh
Kapolri atau pejabat yang diberi wewenang olehnya yang memuat tentang
hak penggunaan dan kewajiban atas senjata api tersebut, tetapi tidak
mempunyai hak untuk memiliki dan memindahtangankan kepada pihak
lain.
17. Penyimpanan, ialah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyelamatkan
senjata api, amunisi agar terhindar dari pencurian, kerusakan dan
sebagainya, di dalam suatu tempat berdasarkan ketentuan perundang
undangan yang berlaku.
(a) Penggunaan, ialah hak atas senjata api/amunisi dengan tujuan untuk
keperluan Satpam/Polsus, anggota Perbakin (olahraga menembak sasaran
dan berburu), bela diri, koleksi dan penelitian ilmiah.
(b) Pengawalan, ialah suatu tindakan/kegiatan pengamanan dalam
penagangkutan senjata api, amunisi dari suatu tempat ke tenpat lain.
(c) Pembuatan, ialah suatu kegiatan untuk membuat/memproduksi senjata
api, amunisi ayng telah mendapatkan izin usaha dari Departemen
Perindustrian dan Kapolri atau Pejabat yang diberi wewenang olehnya itu.
(d) Pemindah tanganan (Hibah), ialah suatu tindakan pemindahan hak dan
kewajiban serta tanggung jawab sesuai dengan izin yang melekat pada
senjata api/amunisi tersebut kepada pihak lain dengan tidak disertai
pembayaran.
(e) Pemusnahan, ialah tindakan/kegiatan penghancuran senjata api/amunisi
ayng dianggap telah rusak/tidak layak pakai, atau karena adanya ketentuan
perUndangundangan yang mengatur hal tersebuf
(f) Pengusaha Senjata Api, Amunisi, dan Senapar, Angin Kaliber 4,5 mm,
ialah Pengusaha nasional yang memenuhi persyaratan sebagai
importer/eksportir yang telah mendapatkan pengakuan Departemen
Perdagangan dan atau izin usaha untuk pembuatan/produksi dan
memperdagangkan senjata api dan amunisi serta senapan angin kaliber 4,5
mm, yang telah mendapatkan pengakuan dari Departemen Perindustrian
dan Perdagangan serta izin usahaa dari Kapolri atau pejabat yang diberi
wewenang olehnya untuk itu.
(g) Cindera Mata( Souvenir ), ialah pemberian hadiah senjata api/amunisi/
senapan angin sebagai kenang-kenangan dari sesecrang pejabat kepada
pejabat lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri tanpa
disertai pembayaran.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.
Pada dasarnya ada dua metode pendekatan masalah dalam penelitian. Pendekatan
masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan
pendekatan empiris.
Pendekatan normatif adalah salah satu pendekatan yang dilakukan dengan
mempelajari aturan-aturan hukum atau nilai dan noma-norma, dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan perizinan di
bidang kepemilikkan senjata api non organik.
Pendekatan empiris adalah salah satu pendekatan yang dilakukan dengan cara
melihat, mengumpulkan, dan mempelajari semua informasi terhadap pihak-pihak
yang dianggap mengetahui masalah yang berkaitan dengan reformasi pelayanan
perizinan sebagai upaya mempermudah bagi masyarakat di Kota Bandar Lampung
yang ingin memiliki surat izin kepemilikkan senjata api non organik. Pendekatan
masalah yang dilakukan dalam membahas dan memecahkan masalah masalah
yang diidentifikasikan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode pendekatan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis empiris adalah tidak hanya melihat peraturan
perundangundangan yang berlaku saja tapi juga melihat kenyataan yang berlaku
terhadap peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Non
Organik Bagi Masyarakat Sipil di Kota Bandar Lampung.
3.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui
wawancara dengan para inform an dan pihak-pihak yang mempunyai kompetensi
mengenai perizinan kepemilikan senjata api di Kepolisian daerah Bandar
Lampung.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara mempelajari, mengkaji,
mencatat bahan-bahan kepustakaan yang bersumber dari literatur hukum, hasil
penelitian, dan buku-buku ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pokok
bahasan.
Data sek-ander dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan Hukum.Primer, yaitu Peraturan perundang-undangan yang terdiri
dari Ordonansi Bahan Peledak (Ln.1893 No. 234) Diubah Terakhir
Menjadi Ln.1931 No. 168 Tentang Pemasukan, Pengeluaran, Pemilikan,
Pembuatan, Pengangkutan Dan Pemakaian Bahan Peledak (Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 Tentang
Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (Ln.No. 78/51 Jo Pasal 1 Ayat D Uu No.
8 tahun 1948) Tentang Peraturan hukuman istimews sementara
Undang-Undang Nomor 20 PRP. Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perizinan
Yang Diberikan Menurut Perundang-Undangan Mengenai Senjata Api, Amunisi
Dan Mesiu.
Keppres Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 1999 Tanggal 11 Oktober 1999
Tentang Bahan Peledak. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor :
Per122/MlXii/2006 Tanggal 19 Desember 2006 Tentang Pedoman Pengaturan,
Pembinaan Dan Pengembangan Badan Usaha Bahan Peledak Komersial.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Skep Kapolri No. Pol. : Skep / 82 / Ii / 2004 Tgl 16 Pebruari 2004
Perihal Bulctz Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api
Non Organik Tni / Polri.
Peraturan Kapolri No. Pol. : 13 / X / 2006 Tgl 3 Oktober 2006 Perihal
Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api Non Organik Tni Polri Untuk
Kepentingan Olehraga. Peraturan Kapolri No. 2 Thn 2008 Tgl 29 April 2008
Tentang Pengawasan, Pengendalian Dan Pengamanan Bahan Peledak Komersial.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan yaitu berupa literatur-literetur dan hasil penelitian yang ada
relevansinya dengan masalah yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama
acuan bidang hukum, misalnya kamus bahasa dan pencarian data melalui internet.
3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan
Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,
mempelajari, mengutip ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ,
dan merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang berasal dari
bahan-bahan pustaka.
b. Studi Lapangan
Studi Lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan
cara mengadakan pengamatan langsung di tempat yang dijadikan objek penelitian
melalui wawancara yang dilakukan pada instansi pemerintah dalam hal ini adalah
Kepolisian Daerah Propinsi Lampung ( POLDA )
Informan yang diwawancarai adalah sebagai berikut:
1. Nama : Kompol Sigit Maryanto, S.Sos.
NRP : 69050543
Jabatan : Kepala Seksi Pelayanan Administrasi ( KASI
YANMIN)
Intelkam Polda Lampung
2. Nama : Hi. Muhajirin
Pekerjaan : Wiraswasta ,
Usia : 50 Tahun
3.3.2 , Prosedur Pengolahan Data
Apabila data terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah
apabila prosedur sebagai berikut :
a. Data yang telah diperoleh diperiksa apakah data tersebut telah benar untuk data
yang benar, sedangkan data yang kurang lengkap dapat dilengkapi.
b. Data yang telah diperiksa selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan sub-sub
bahasan. Pengelolaan data dilakukan untuk mempermudah menginterprestasikan
data dan memberi arti terhadap data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan
studi lapangan .
3.4 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis secara kualitatif, yaitu
menguraikan data secaraa bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,
logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data
dan pemahaman hasil analisis
.