BAB I.docx

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awalnya munculnya HIV, sudah hampir 75 juta orang terinfeksi HIV dan 36 juta diantaranya meninggal akibat HIV. Secara global 35,3 juta orang hidup dengan infeksi HIV pada akhir 2012. Diperkirakan 0,8% dewasa yang berusia 15-49 tahun menderita HIV. Daerah sub-Sahara Afrika merupakan daerah dengan pengidap HIV terbanyak, dimana 1 dari 20 orang dewasa hidup dengan infeksi HIV (British HIV Association, 2011; Osmond, 2003). Komplikasi neurologis terjadi pada 40% pasien HIV. Beberapa tipe komplikasi pada CNS (central nervous system) disebabkan oleh autoimun, infeksi, maupun proses neoplasia akibat adanya imunodefisiensi. Beberapa kondisi disebabkan oleh efek obat antriretroviral (Federal Ministry of Health Ethiopia, 2008; McGuire, 2003). Penyakit CNS sering terjadi pada infeksi HIV sebagai konsekuensi infeksi HIV secara langsung maunpun penurunan CD4. Penyakit CNS dapat bermanifestasi sebagai SOL (space occupaying lession), ensefalitis, meningitis, toksoplasmosis, mielitis, maupun neuropati. Infeksi opurtunistik pada CNS mempunyai mortalitas dan morbiditas yang tinggi. 1

Transcript of BAB I.docx

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejak awalnya munculnya HIV, sudah hampir 75 juta orang terinfeksi HIV dan 36 juta diantaranya meninggal akibat HIV. Secara global 35,3 juta orang hidup dengan infeksi HIV pada akhir 2012. Diperkirakan 0,8% dewasa yang berusia 15-49 tahun menderita HIV. Daerah sub-Sahara Afrika merupakan daerah dengan pengidap HIV terbanyak, dimana 1 dari 20 orang dewasa hidup dengan infeksi HIV (British HIV Association, 2011; Osmond, 2003).Komplikasi neurologis terjadi pada 40% pasien HIV. Beberapa tipe komplikasi pada CNS (central nervous system) disebabkan oleh autoimun, infeksi, maupun proses neoplasia akibat adanya imunodefisiensi. Beberapa kondisi disebabkan oleh efek obat antriretroviral (Federal Ministry of Health Ethiopia, 2008; McGuire, 2003).Penyakit CNS sering terjadi pada infeksi HIV sebagai konsekuensi infeksi HIV secara langsung maunpun penurunan CD4. Penyakit CNS dapat bermanifestasi sebagai SOL (space occupaying lession), ensefalitis, meningitis, toksoplasmosis, mielitis, maupun neuropati. Infeksi opurtunistik pada CNS mempunyai mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi antara lain etiologi spesifik, jumlah CD4, usia, riwayat profilaksis, dan lokasi geografis. Evaluasi klinis dan pencitraan, cairan serebrospinal adalah hal penting untuk mengetahui etiologi sebagai dasar penatalaksanaan (British HIV Association, 2011; Portogies, et al, 2004). B. Tujuan PenulisanTujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penyakit serta tatalaksana infeksi CNS yang sering terjadi pada pasien HIV.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Kriptokokosis1. DefinisiKriptokokosis adalah infeksi jamur sistemik yang berhubungan dengan imunodefisiensi sekunder akibat infeksi HIV. Sebelum adanya HAART, infeksi kriptokokosis terjadi pada 5-10% individu yang terinfeksi HIV. Kriptokokosis menempati peringkat keempat infeksi oportunisti pada penderita HIV setelah pneumocytis jiroveci, CMV, dan micobacteria. Namun sejak penggunaan Highly Active Anti Retroviral Theraphy (HAART), insidensi infeksi kriptokokus turun drastis (Aberg, 2006; .

2. EtiologiKriptokokosis disebabkan oleh Cryptococcus neoformans, suatu yeast berbentuk oval dengan diameter 4-6 mm yang dikelilingi suatu kapsul yang tebal. Berdasarkan serologi dinding polisakarida dan sekuensi DNA Cryptococcus neoformans terbagi menjadi beberapa subtipe. C neoformans grubii (serotipe A) adalah organisme yang sering berhubungan dengan kriptokokosis yang berkaitan dengan HIV. C neoformans var neoformans (serotipe D) adalah tiper tersering kedua pada pasien dengan HIV seropositif (British HIV Association, 2011).

3. EpidemiologiInsidensi tahunan kriptokokosis di Amerika mencapai 2-7 kasus per 1000 penderita HIV, 89% bermanifestasi sebagai penyakit CNS. Secara global diperkirakan 1 juta kasus kriptokokosis yang berkaitan dengan HIV terjadi setiap tahun. Insidensinya lebih tinggi pada daerah yang ketersediaan HAART yang rendah. Di Perancis, 80% kasus terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV, kriptokokosis adalah mikosis yang paling sering terjadi di sistem saraf pasien dengan AIDS (British HIV Association, 2011).

4. PatogenesisInfeksi cryptococcus terjadi melalui inhalasi organisme tersebut dan lokalisasi penyakit di paru. Apabila tidak mendapat terapi, yeast akan menyebar ke CNS. Cryptococcus neoformans menyebar secara hematogen hingga mencapai CNS dari fokal infeksi di paru. Meskipun kadang fokal infeksi paru tidak menunjukkan manifestasi klinis. Selain menginvasi paru dan CNS, Cryptococcus neoformans juga menginvasi kulit, saluran kemih, tulang, dan meningens (Chretien, 2002).Kriptokokus dapat ditemukan di darah perifer, baik secara bebas maupun di dalam sel mononuklear dan endotel pada berbagai stadium infeksi. Pasien dengan HIV mempunyai gangguan fungsi aktivitas monosit antikriptokokus menjelaskan mengapa pada pasien tersebut sering terjadi penyebaran infeksi hingga ke meningens dan menimbulkan reaksi inflamasi. Mikroglia yang berada di sekitar meningens akan memfagositosis kriptokokus yang bebas, kemudian menembus sawar darah otak. Pada percobaan in vitro menunjukan kriptokokus menempel dan difagosit monosit kemudian merusak endotel sehingga menembus sawar darah otak. Lesi yang terbentuk di otak tersusun atas makrofag yang mengandung yeast dengan atau tanpa kapsul polisakarida yang dikelilingi reaksi mikroglia dan astrosit (Chretien, 2002).

5. ManifestasiGejala yang muncul dipengaruhi oleh lokasi infeksi. Meningitis kriptokokal adalah presentasi penyakit yang paling sering. Gejala klinis yang umum adalah nyeri kepala dan demam. Tanda klasik meningitis seperti kaku kuduk dan fotofobia juga dapat ditemukan. Peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan mula, muntah, dan penurunan kesadaran. Meningitis kriptokokal berhubungan dengan penyakit paru yang bermanifestasi sebagai demam tidak spesifik, batuk dengan atau tanpa sputum dan nafas memendek atau kelainan kulit seperti lesi seperti moluskum pada kulit. Manifestasi penyakit kriptokokus yang jarang antara lain papiledema, korioretinitis, palsi okular (Aberg, 2006; British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).6. Diagnosis Prinsip tes diagnostik kriptokokosis adalah antigen kriptokokus serum dengan menggunakan metode aglutinasi. Hasil tes yang negaitif secara umum mengekslusi penyakit ini meskipun ada laporan yang menunjukan isolasi positif pada hasil pemeriksaan antigen yang negatif, namun jumlahnya sedikit. Pasien dengan hasil antigen kritokokus positif harus menjalani pemeriksaan lanjutan dengan lumbal pungsi setelah CT scan atau MRI serebral. Manometri dilakukan untuk mengeksklusikan peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksan lain yang dilakukan adalah pewarnaan LCS dengan tinta india atau kultur LCS untuk memastikan adanya jamur, kultur darah juga perlu dilakukan. Hasil kultur positif pada LCS maupun darah kemudian dilanjukan uji sensitivitas (British HIV Association, 2011). Tabel 1. Perbedaan Pemeriksaan LCS pada Berbagai Infeksi

7. Penatalaksanaan Standar terapi untuk meningitis kriptokokal adalah amphoterisin B yang biasanya dikombinasikan dengan flucytosine 100 mg/kgBB/hari. Liposomal amphoterisin B 4 mg/kgBB/hari secara intravena lebih dipilih karena efek samping nefritoksik yang lebih rendah. Flukonazole dan flucytosine atau voriconazole atau posacnazole dapat dipertimbangkan jika regimen standar tidak dapat ditoleransi (Armstrong, 2010; British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).Terapi standar meningitis kriptokokal pada pasien dengan HIV seronegatif adalah amphoterisin B deoksikolat 0,7-1 mg/kgBB/hari dikombinasikan dengan flucytosine 100 mg/kgBB/hari. Namun, penambahan flucotosyne pada pasien HIV hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Penambahan flucytosine mempercepat sterilisasi pada LCS dan menurukan kekambuhan pada pasien yang tidak menerima HAART, studi menunjukkan manfaat pemberian flucytosine banyak ditemukan pada pasien yang tidak mendapat HAART. Namun, pemberian flucytosine menujukkan peningkatan toksisitas hematologi sehingga pemeriksaan darah harian diperlukan untuk memantau level flucytosine(Armstrong, 2010; British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).Amphoterisin(amphoterisin B deoksikolat) standar berhubungan dengan toksisitas renal dan apabila memungkinkan digantikan dengan liposomal amphoterisin B sebagai lini pertama. 30% pasien yang mendapat amphoterisin standar menderita gagal ginjal akut yang berkaitan dengan mortalitas secara signifikan. Penelitian lanjutan menunjukkan pemberian liposomal amphoterisin B dengan dosis 4mg/kgBB/hari tanpa kombinasi dengan flucytosine menstrerilisasi LCS lebih cepat dibanding ampotherisin standar dan menujukkan komplikasi ginjal yang lebih rendah meskipun tidak ada perbedaan dalam mortalitas. Sehingga beberapa departemen sudah menghentikan pemberian amphoterisin standar dan lebih memilih liposomal amphoterisin jika memungkinkan (Armstrong, 2010; British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).Jika terapi amphoterisin tidak dapat ditoleransi, alternative terapi dengan fluconazole 400mg/hari dengan atau tanpa flucytosine 100-150 mg/kgBB/hari. Pemberian fluconazole tunggal berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi dibanding pemberian amphoterisin. Itraconazole dengan dosis 400mg/hari kurang efektif dibandingkan fluconazole dan hanya diberikan bila regimen lain tidak dapat diberikan karena merupakan kontraindikasi (Armstrong, 2010; British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).Manometri LCS harus dilakukan pada seluruh pasien atau jika terdapat tanda perburukan neurologis. Lumbal pungsi serial atau operasi bedah saraf diindikasikan apabila opening pressure mencapai > 250 mmH2O. Manometri adalah pemeriksaan yang penting karena terdapat peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan meningitis kriptokokal secara signifikan. Jika opening pressure > 250 mmH2O harus diturunkan hingga < 200 mmH2O atau hingga 50% dari tekanan awal. Lumbal pungsi harus dilakukan berulang setiap hari pada pasien dengan meningitis kriptokokal yang menunjukan perburukan gejala neurologis. Apalah tekanan intrakranial tetap tinggi maka perlu dilakukan operasi berdah saraf berupa VP shunt (Armstrong, 2010; British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).Dosis maintenance fluconazole 400mg per hari secara oral diberikan setelah terapi induksi 2 minggu. Dosis fluconazole diturunkan hingga 200 mg perhari setelah 10 minggu. Pungsi lumbal pada 2 minggu dan perpanjangan terapi induksi hingga kultur LCS negatif. Waktu penggantian terapi induksi ke terapi maintemance masi belum jelas. Beberapa dokter menggunakan patokan LCS yang sudah steril, sedangkan yang lainnya setelah mendapat terapi induksi 2 minggu kemudian dilanjutkan dengan terapi maintenance. Pada pasien dengan prognosis yang buruk perlu dipertimbangkan pemanjangan terapi induksi karena dengan jangka waktu terapi 2 minggu jarang sudah terobati. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila terapi HAART dimulai kembali, pasien beresiko mengalami kekambuhan. Seluruh pasien yang didiagnosis dengan penyakit kritokokal harus mendapat HAART yang sebaiknya dimulai setelah terapi induksi selesai diberikan. Perlu dipertimbangkan manfaat pemberian HAART untuk progresi HIV dibanding resiko toksisitas, interaksi obat, dan efek sampingnya. Kemungkinan timbulnya immune reconstitution inflamatory syndrom (IRIS) harus diwaspadai. Manifesratsi iris yang sering muncul adalah meningitis aseptik, peningkatan tekanan intrakranial, SOL di otak, infiltrat atau kavitas parum limfadenopayi dan hiperkalsemi. Jika terdapat IRIS terapi HAART tetap dilanjutkan, dan jika infeksi aktif dapat dieksklusikan pertimbangkan pemberian steroid atau pengobatan antiinflamasi lainnya. Studi menunjukkan profilaksis sekunder pada meningitis kriptokokal dapat dihentikan apabila CD4 > 100 sel/uL dan tidak ada virus yang terdeteksi selama 3 bulan (British HIV Association, 2011).

8. Prognosis Prognosis buruk apabila kultur darah positif, leukosit < 20 sel/ml pada LCS, antigen kriptokokal yang tinggi di LCS (>1: 1024), penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan intrakranial (British HIV Association, 2011).

B. Serebral Toksoplasmosis1. DefinisiSerebral toksoplasmosis adalah salah satu penyebab tersering infeksi fokal otak pada pasien HIV yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Respon imun setelah infeksi akut hanya mengontrol, namun tidak dapat mengeradikasi infeksi sehingga terjadi infeksi kronik atau fase laten dari infeksi yang ditandai adanya Toxoplasma gondii di jaringan tubuh seperti di otak, otot skeletal, dan jantung. Toxoplasma gondii adalah penyebab tersering infeksi kronik organisme intraseluler manusia. Individu yang terinfeksi kronik yang mempunyai defek imunitas mempunyai resiko besar terjadinya reaktivasi infeksi. Toksoplasmosis pada infeksi primer dapat bermanifestasi sebagai ensefalitis (McGuire, 2003; Portogies, 2004).

2. EtiologiToksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu protozoa obligat intraseluler. Toksoplasmik ensefalitis sering terjadi akibat reaktivasi kista Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii mempunyai 3 bentuk yaitu takizoit, kista yang mengandung bradizoit dan ookista yang mengandung sporozoit. Ookista terbentuk setelah parasit menyelesaikan siklus seksualnya di dalam usus kucing yang merupakan host definitif. Ookista akan dikeluarkan bersama tinja kucing dan akan infeksius di lingkungan dengan mengkontaminasi tanah, air, tanaman selama bertahun-tahun.Siklus aseksual terjadi di host perantara termasuk manusia. Apabila kista atau ookista tertelan, akan terjadi infeksi di epitel usus manusia oleh bradizoit dan sporozoit kemudian terbentulah takizoid yang akan menyebar ke seluruh tubuh secara hematogen maupun limfogen. Parasit akan membentuk kista di jaringan setelah mencapai jaringan tepi dan akan bertahan seumur hidup host (Subauste, 2006).

3. EpidemiologiPrevalensi bukti serologis infeksi Toxoplasma gondii bervariasi, tergantung lokasi dan kelompok populasi. 3-67% dewasa di Amerika mempunyai seropositif antibodi Toxoplasma gondii. Rasio seropositif dapat mencapai 90% di Eropa barat dan negara tropis. 25 % pasien HIV yang dengan seropostif toxoplasma mengalami ensefalitis akibat Toxoplasma gondii. Penularan pada manusia terjadi melalui ingesti daging yang kurang matang yang mengandung kista, paparan ookista melalui ingesti tanaman yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Penularan lainnya terjadi secara transplasenta, transfusi produk darah, dan transplan organ. Infeksi akut pada indivu imunokompeten biasanya asimptomatik. Toksoplasmosis ensefalitis biasanya terjadi pada pasien HIV dengan CD4 94% (British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).

7. PenatalaksanaanTerapi antimikroba efektif pada toksoplasmosis, 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologi dalam 2 minggu. Respon terapi merupakan petunjuk diagnosis toksoplasmosis tanpa pemeriksaan yang invasif. Regimen terapi meliputi sulfadiazin atau klindamisin dikombinasikan dengan pirimetamin dan asam folat. Studi menunjukkan kelompok yang mendapat klindamisin pada fase akut mempunyai respon klinis yang lebih rendah dan efek samping yang lebih tinggi dibanding kelompok sulfadiazin, sedangkan pada fase maintenance kelompok dengan klindamisin beresiko 2 kali lipat terjadi progresi. Oleh karena itu regimen yang mengandung sulfadiazin lebih dipilih dibanding klindamisin (British HIV Association, 2011; Portogies, 2004).Pada terapi fase akut diberikan loading 200mg pirimetamin diikuti 50 mg per hari (berat badan 60 kg). Pemeberian ini harus disertai asam folat 15 mg/hari untuk mengatasi efek miolosupresif pirimetamin. Sulfadiazin peroral dapat diberikan 1-2 gram 4 kali/hari atau 15 mg/kgBB 4 kali/hari. Alternatif sulfadiazin adalah dengan memberikan klindamisin peroral 600 mg 4 kali/hari (British HIV Association, 2011). Setelah terapi inisial fase akut selama 6 minggu, pasien mendapat terapi maintenance atau profilaksis sekunder. Terapi ini menggunakan obat yang sama namun dosisnya diturunkan, pirimetamin 25 mg/hari ditambah sulfadiazin 500 mg 4 kali/hari atau 1-2 gram 2 kali/hari, atau klindamisin 300 mg 4 kali/hari atau 600 mg 2 kali/hari serta suplementasi asam folat 15 mg/hari (British HIV Association, 2011). Kombinasi obat lain belum menunjukkan hasil yang lebih baik, yaitu TMP-SMX intravena 2,3-5mg/kgbb 4 kali/hari, pirimetamin sesuai dosis diatas dikombinasikan dengan klaritrosisin 1 gram 2kali/hari atau azitromisin 600-1800 mg/hari atau dapsone 100mg/hari, atau atovaquone 750 mg 4kali/hari (Portogies, 2004).Kortikosteroid tidak rutin diberikan, indikasi pemberian kortikosteroid adalah peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya muntah, nyeri kepala, mengantuk, dan papil edema. Apabila terdapat indikasi diberikan dexamethason 4mg 4 kali/hari. Respon terapi biasanya akibat penurunan tekanan intrakranial, bukan akibat terapi antitoksoplasma(Sabauste, 2006). Biopsi otak harus dipertimbangkan apabila terapi antitoksoplasma tidak berepson dalam 2 minggu, perburukan klinis selama terapi, lesi tunggal paraventrikular, lesi masa bila CD4 > 200sel/uL (British HIV Association, 2011). Terapi profilaksis diberikan pada pasien dengan CD4 200 sel/uL selama 3 bulan. HAART harus diberikan setelah klinis pasien stabil, biasanya setelah 2 minggu pengobatan fase akut dimulai. Setelah HAART, terapi maintenance dihentikan setelah 6 bulan berhasil menekan replikasi virus HIV dan CD4 >200 sel/uL (British HIV Association, 2011).

8. PrognosisTingkat kekambuhan ensefaltis akibat toksoplasma yang mendapat terapi kombinasi sulfadiazin dan pirimetamnin sebesar 5% (Subauste, 2006).

C. Meningitis TB1. DefinisiTB pada CNS dapat berupa meningitis, tuberkuloma, dan abses otak. Meningitis TB adalah peradangan pada selaput otak akibat infeksi TB (Vinnard, 2009).

2. EtiologiBakteri penyebab meningitis TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri aerob, berbentuk batang yang tidak berspora. Walaupun tidak mudah terwarnai, apabila telah terwarnai bakteri ini tahan terhadap penghilangan warna (decolorizer) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan Basil Tahan Asam (Leutkemeyer, 2013; Marx, 2011)

3. EpidemiologiInfeksi Mycobacterium tuberculosis adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia diantara pasien HIV. Tuberkulosis meningitis dan tuberkuloma CNS adalah komplikasi yang sering terjadi. Tuberkulosis pada CNS terjadi pada 10-20% pasien HIV. Infeksi HIV berhubungan dengan peningkatan resiko aktivasi infeksi laten dan mempercepat perburukan infeksi primer. Pasien HIV dengan infeksi TB aktif meningkatkan resiko ekstrapulmonal TB, resiko juga meningkat jika CD4 turun. Peningkatan resiko TB ekstrapulmonal meningkatkan resiko meningiits TB. Meningitis adalah manifestasi TB ekstrapulmonal yang sering terjadi pada pasien HIV. Peneltian di Spanyol meunjukkan kultur LCS menunjukan 2% kasus meningitis TB pada pasien nonHIV, sedangkan pada pasien dengan HIV terdapat 10% (Federal Ministry of Health Ethiopia, 2008).

4. PatogenesisInfeksi TB diperoleh dari inhalasi basil yang terdapat dalam droplet nukeli timbul kolonisasi di paru, kemudian terjadi penyebaran hematogen hingga mencapai ruang subaraknoid atau ventrikel. Jika respon imun host adekuat akan terbentuk granuloma kaseosa maupun non kaseosa di lokasi penyebaran. Rupturnya fokus infeksi (fokus Rich) di tersebut akan menyebabkan masuknya kuman ke LCS sehingga menginduksi respon imun. Respon imun menyebabkan terbentuknya eksudat di sekitar batang otak dan serebelum. Eksudat tersusun atas neutrofil, sel mononuklear, eritrosit dan basil. Hidrosefalus komunikans dapat terjadi akibat gangguan absorpsi LCS akibat eksudat . akumulasi eksudat juga dapat menyebabkan sumbatan LCS sehingga terjadi hidrosefalus obstruktif. Respon imun memicu terjadinya vaskulitis di sirkulus wilisi, sistem vertebrobasilar, cabang arteri serebri media sehingga terjadi infark di daerah yang diperdarahi aretri tersebut. Parese nervus kranialis dapat terjadi akibat infark atau kompresi langsung eksudat (Leutkemeyer, 2013).

5. ManifestasiOnset gejala meningitis TB bervariasi dari 1 hari hingga 6 bulan, sehingga dapat tampak sebagai meningitis akut maupun kronik. Gejala prodormal non spesifik meliputi malaise, anoreksia, muntah, demam, nyeri kepala. Gejala prodormal sering berfluktuasi. Presentasi akut yang sering muncul adalah progresif demensia dan perubahan kepribadian. TB paru aktif terdapat pada 30-60% kasus TB meningitis. Pasien meningitis TB dengan HIV sering disertai adanya limfadenopati dan hepatosplenomegali (Marx, 2011). Parese nervus kranialis yang paling sering adalah N. VI, N. II, N. III, N. IV, dan N. VIII. Kejang dapat terjadi pada awal penyakit maupun saat pengobatan. Edema serebri atau infark batang otak menyebabkan penurunan kesadaran yang dapat beakhir dengan koma dalam dengan spastisitas (Portegies, 2004; Vinnard, 2009).

6. DiagnosisAnalisis LCS memegang peran penting dalam diagnosis meningitis TB. Biasanya terdapat pleiositosis limfositik (total leukosit 100-500 sel/uL, pada stadium awal jumlahnya bisa lebih rendah dengan domisnasi neutrofil), kenaikan protein(100-500 mg/dl) dan penurunan glukosa (< 45mg/dl atau rasio LCS:plasma 50%, pasien yang bertahan biasanya mempunyai defisit neurologis (Leutkemeyer, 2013).

D. CMV1. Definisi Infeksi CMV bersifat endemik, sebagian pasien yang terinfeksi HIV mempunyai bukti serologis riwayat infeksi CMV sebelumnya. Sindrom klinis pada pasien imunosupresan akibat CMV antara lain retinitis, ulkus gastrointestinal, ensfalitis, dan poliradikulitis (Drew, 2006).

2. EtiologiCytomegalovirus (CMV) adalah bagian dari herpes virus B. Seperti virus herpes lainnya, CMV mempunyai kemampuan untuk bertahan bertahan lama dan menimbulkan infeksi laten setelah paparan primer. Pada kasus imunodefisiensi, hal ini menyebabkan timbulnya gejala klinis akibat reaktivasi maupun penyakit yang berat pada infeksi primer (British HIV Association, 2011; Drew, 2006).

3. EpidemiologiHampir seluruh male sex male menunjukkan seropositif, sedangkan pada heteroseksual dan pengguna obat hanya berkisar 50-75%. Seiring dengan progresifitas HIV, terjadi reaktivasi pada periode laten yang menyebabkan terjadinya viremia dan kerusakan organ. Penelitian observasional menunjukkan 20-40% pasien AIDS mengalami penyakit CMV. Kerusakan organ terutama terjadi apabila CD4 < 50 sel/uL. Lokasi tersering CMV adalah retina kira-kira pada sepertiga keseluruhan, saluran pencernaan, paru, liver dan traktus biliaris, jantung, kelenjar adrenal dan sistem saraf yang berupa ensefalitis. Manifestasi infeksi CMV pada sistem saraf terjadi pada < 1% kasus (British HIV Association, 2011).

4. PatogenesisPasien HIV mengalami gangguan fungsi imun yang progresif, termasuk gangguan imunitas seluler yang menyebabkan reaktivasi dan replikasi CMV. Transmisi CMV dari sel ke sel menyebabkan nekrosis jaringan dan berhubungan dengan inflamasi non spesifik. Viremia transien juga terjadi. Meskipun manifestasi viremia juga masih belum jelas, diduga pada saat viremia terjadi penyebaran virus ke berbagai organ misalnya retina sehingga terjadi end-organ disease (Drew, 2006).

5. ManifestasiTanda dan gejala klinis tidak spesifik sehingga sulit untuk menegakan diagnosis. Ensefalitis CMV lebih agresif dibandingkan penyakit otak lainnya pada HIV. Ensefalitis pada CMV bersifat subakut dengan manifestasi klinis yang mirip sama dengan enfefalitis subakut akibat patogen lain. Perubahan kepribadian, kesulitan berkonsentrasi, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran berupa somnolen sering ditemukan. Bukti klinis keterlibatan batang otak atau serebelum ada pada 30% kasus, poliradikulitis dan retinitis juga menyertainya hingga 75%. Adanya poliradikulitis lumbosakral bisanya bersifat progresif, sangat nyeri, bilateral asending flaksid paralisis dengan saddle anetesia, arefleksia, disfungsi sfingter dan retensi urin. Sindrom tersebut disebut sidrom medula spinalis (British HIV Association, 2011; McGuire, 2003; Portegies, 2004).

6. DiagnosisPerkembangan gejala neurologis pada pasien HIV dengan CD4 yang rendah memerlukan pemeriksaan yang segera, diawali dengan neuroimaging dan apabila tidak terdapat kontraindikasi perlu dilakukan lumbal pungsi. Pada CT scan, hipodensitas difus di substasia grisea dengan peningkatan pada daerah ependim, pembesaran ventrikel, peningkatan meningeal, dan peningkatan lesi cincin fokal atau nodular akan tampak. MRI lebih sensitif jika dibandingkan dengan CT scan. Namun, pencitraan sering kurang sensitif dan banyak pasien menunjukan hasil yang normal atau tanpa perubahan yang spesifik. Pemeriksaan LCS jarang menunjukkan hasil abnormal meskinpun dapat ditemukan peningkatan protein dan limfositosis ringan. Pada pasien dengan poliradikulitis, peningkatan difus parenkim medula spinalis, radik , dan meningkens akan terlihan pada MRI dengan kontras. Diagnosis kondisi ini berdasarkan amplifikasi asam nukleat DNA CMV. PCR yang positif pada sampel LCS mempunyai sensitifitas >80% dan spesifisitas > 90% dengan nilai predisksi negatif 86-92% dan prediksi positif 95-98%. Namun PCR jarang negatif pasa pasien yang mempunyai infeksi CMV aktif di otak sehingga biopsi otak jarang diperlukan (British HIV Association, 2011).

7. TatalaksanaGansiklovir dengan atau tanpa foscarnet adalah piliha utama. Kombinasi gansiklovir dan foscarnet mempercepat stabilisasi ensefalitis atau poliradikulitis pada 74% pasien HIV seroposoititf. Namun survival secara umumnya hanya 3 bulan. Kedua obat menunjukkan kemampuan mengurangi SMV DNA load di LCS. HAART harus diberikan setelah terapi inisial anti CMV. Durasi optimal terapi masih belum jelas (Drew, 2006). Tatalaksanan infeksi CMV pada pasien HIV menurut European Journal of Neurology adalah terapi induksi selama 3 minggu dengan gansiklovir 5mg/khBB intravena 2 kali/hari atau foscarnet 90mg/kgBB intravena 2 kali/hari atau cidofovir 5 mg/kgBB setiap minggu atau kombinasi gansiklovir dan foscarnet dengan dosis yang sama dengan pemberian tunggal. Setelah 3 minggu diberikan dosis maintenance dengan gansiklovir 5 mg/kgBB/hari secara intravena (Portegies, 2004).Profilaksis infeksi CMV baik ensefalitis maupun poliradikulitis tidak diperlukan karena HAART sudah menurunkan insidensi penyakit tersebut (British HIV Association, 2011).

8. PrognosisRerata harapan hidup pasien yang mendapat terapi adalah 3 bulan (Drew, 2006).

E. Primary Central Nervous System Lymphoma (PCNSL)1. DefinisiPrimary central nervous system lymphoma (PCNSL) adalah suatu non hodgkin limfoma (NHL) yang terjadi di aksis kranio-spinal tanpa ketelibatan sistemik. Biasa terjadi pada pasien imunodefisiensi dan kelainan kongenital (British HIV Association, 2014).

2. EtiologiPCNSL berkaitan dengan infesksi Epstein Barr virus (British HIV Association, 2014).

3. Epidemiologi PCNSL sering terjadi pada terjadi pada pasien imunodefisiensi dan kelainan kongenital. Pada penderita HIV akan tampak gejala imunosupresan yang berat dan berlangsung lama. Proses ini akan mempengaruhi bagian otak, leptomeningen, saraf kranialis, mata tau pun medula spinalis. PCNSL terkait AIDS terjadi pada seluruh kelompok usia dengan karakteristik sel B high grade difuse atau imunoblastik NHL. Setelah penggunaan HAART insidensi PCNSL menurun. Studi menunjukkan pada periode penggunaan HAART insidensinya 1,2 kasus per 1000 pasien per tahun sedangkan pada periode sebelum penggunaan HAART insidensinya mencapai 3 kasus per 1000 pasien per tahun (British HIV Association, 2014; Federal Ministry of Health Etiophia, 2008).4. PatogesisInfeksi EBV mempunyai dampak potensial perubahan limfosit B setelah infeksi. Perubahan ini menyebabkan berkembangnya PCNSL maupun tumor lainnya (Portogies, 2004).

5. ManifestasiGejala yang sering muncul tidak spesifik seperti demam, penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari yang sesaui dengan gejala NHL pada umumnya. PCNSL muncul sebagai lesi masa focal pada > 50% kasus. Pada 248 pasien imunokompeten, 43% mempunyai gejala neuropsikiatrik, 33% mempunyai gejala peningkatan tekanan intrakranial, 14% mengalami kejang, 4% mempunyai gejala mata. Tampilan pasien PCNSL yang berkaitan dengan HIV biasanya bersifat subakut dengan tanda neurologis fokal (British HIV Association, 2014).

6. DiagnosisPemeriksaan meliputi pemeriksaan medis lengkap, pemeriksaan neurologis dan neuropsikologi, pemeriksaan penunjang meliputi LDH, analisis LCS, pemeriksaan radiologi (MRI dan CT scan) akan membantu penegakan diagnosis PCNSL. Biopsi hanya merupakan tes konfirmasi yang dipandu dengan hasil MRI. Adanya epstein barr virus (EBV) pada tumor adalah tanda PCNSL yang berhubungan dengan HIV yang tidak ditemukan pada PCNSL lain. PCNSL muncul sebagai lesi difuse dan masa multifokal supratentorial, terkadang melibatkan vitreus, retina dan nervus optikus ditemukan pada 15% kasus. Infiltrasi limfomatosus di leptomeningen atau ependim dan invasi pada radix atau plexus juga dapat terjadi. Limfoma sistemik yang tersembunyi terdeteksi pada 8% kasus sehingga direkomendasikan dilakukan biopsi sumsum tulang, CT scan dada dan perut, USG testikular, dan pemeriksaan fisik yang mendalam untuk mendeteksi limfoma sistemik yang tersembunyi (British HIV Association, 2014).

7. PenatalaksanaanPenatalaksanaan PCNSL yang berhubungan dengan HIV masih memberikan prognosis yang buruk, rerata survival jarang yang mencapai 9 bulan. Alasan utamanya adalah penyakit sudah ada pada stadium lanjut saat menunjukkan manifestasi dengan jumlah CD4 yang rendah. Dibandingkan dengan pasien imunokompeten usia penderita PCNSL cenderung masih muda dengan klinis yang lebih buruk dan nilai LDH yang tinggi serta sering disetai penyakit multifokal (British HIV Association, 2014; Portogies, 2004).Pada pasien imunokompeten, pilihan terapinya adalah dengan kemoterapi. Metotreksat dan cytarabin adalah regimen yang sering digunakan pada pasien PCNSL imunokompeten. Namun, pada pasien dengan HIV jarang dapat diberikan karena kondisi fisik yang buruk dan toksisitasnya yang besar pada penggunaan kombinasi kemoterapi. Sehingga penggunaan kemoterapi tunggal metotreksat adalah pengobatan yang paling sering digunakan yang menghasilkan survival 8-9 bulan (British HIV Association, 2014; Portogies, 2004).Kombinasi kemoradiasi pada pasien imunokompeten dengan MTX dan atau cytarabin, procarbazine, vinkristin, dan thiotepa meyebabkan toksisitas hematologi yang tinggi. MTX sistemik tunggal dengan dosis 3-8 gram/m2 dan penunudaan radioterapi adalah terapi yang paling sering digunakan pada pasien dengan HIV negatif. Penelitian pada pasien HIV positif, dengan pemberian MTX dosis 3 gram/ m2 tanpa pemberian HAART menunjukan respon setelah 6 siklus (Marretta, 2011). Penggunaan HART pada 3 penelitian menunjukan adanya efek pengembalian respon imun terhadap EBV, sehingga direkomendasikan pemberian HAART segera setelah pasien HIV terdiagnosis PCNSL. Penelitian yang mengkombinasikan HAART dengan terapi antiviral dan imune-based terapi. Pasien mendapatkan terapi foscarnet 90mg/kgBB 2 kali/hari, Azidotimidin (AZT) 1,6 gram 2 kali/hari intravena selama 2 minggu diikuti AZT peroral 250 mg 2kali/hari dan IL-2 subcutan 2 juta unit 2 kali/hari. Kombinasi obat tresbut aman tetapi tidak menunjukan keefetifitasan pada PCNSL yang berkaitan dengan HIV. Secara umum pasien HIV dengan PCNSL menujukkan prognosis yang sangat bruruk dibandingkan PCNSL tanpa HIV dan belum ada terapi untuk memperbaiki prognosis (Marretta, 2011).

8. PrognosisPada pasien imunokompeten, kombinasi kemoradiasi dapat meningkatkan survival rates hingga 55 bulan. Kontras dengan kesuksesan tersebut, rerata survival rates pasien PCNSL yang berkaitan dengan HIV adalah 4-6 minggu (Marretta, 2011).Secara umum survival pasien pun meningkat yaitu median survival 48 hari dengan range 15-1136 hari setelah penggunaan HAART dibandingkan median survival 15 hari dengan range 5-315hari sebelum penggunaan HAART (British HIV Association, 2014).

BAB IIIKESIMPULAN

1. Penyakit CNS sering terjadi pada infeksi HIV sebagai konsekuensi infeksi HIV secara langsung maunpun penurunan CD4.2. Penyakit CNS yang berhubungan dengan HIV antaran lain: kriptokokosis, serebral toksoplasmosis, meningitis TB, CMV, PCNSL3. Penatalaksanaan definitif masing-masing penyakit harus memperhatikan kombinasi dengan terapi HAART.

DAFTAR PUSTAKA

Aberg, Judith., William Powderly. 2006. Cryptococcosis and HIV. Diunduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-02-05 pada Sabtu, 2 Agustus 2014. Armstrong, Carrie. 2010. IDSA Release Guidelines on Management of Cryptococcal Disease. American Family Physician. Vol. 82. Hal. 714-716.British HIV Associacion, 2011. British HIV Association and British Infection Association Gudielines for the Treartment of Opportunistic Infection in HIV-seropositive Individuals 2011. HIV Medicine. Vol. 12. Hal. 8-24.British HIV Associacion, 2014. British HIV Association Guidelines for HIV-associated Malignancy 2014. HIV Medicine. Vol. 5. Hal. 41-43.Chretien, Fabrice., Olivier Lortholary., Imad Kansau., Segolene Neuville., Francoise Gray, et all. 2002. Pathogenesis of Cerebral Crytococcus neoformans Infection after Fugemia. Journal of Infection Disease. Vol. 186. Hal. 522-530.Drew, Lawrence., Jacob Lalezart. 2006. Cytomegalovirus and HIV. Diunduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-03-03 pada Sabtu, 2 Agustus 2014.Federal Ministry of Health Ethiopia. 2008. Guidelines for Management of Opportunistic Infection and Anti Retroviral Treatment in Adolescents and Adult in Ethiopia.Lawn, Stephen., Robin Wood. 2011. Poor Prognosis of HIV-Associated Tuberculous Meningitis Regardless of the Timing of Antiretroviral Therapy. Clinical Infectious Disease. Vol. 52. Hal 1384-1387 .Leutkemeyer, Annie., Lisa Gooze., Charles Daley. 2013. Tuberculosis and HIV. Diunduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-01-06 pada Sabtu, 2 Agustus 2014.Marretta, L., H Stocker., D Drauz., M Muller., A Masuhr, et al. 2011. Treatment of HIV Related Primary Central Nervous System Lymphoma with AZT High Dose, HAART, IL-2, and Foscarnet in 3 Patient. Eur J Med Res. Vol 16. Hal 197-205.Marx, Grace., Edward Chan. 2011. Tuberculous Meningitis: Diagnosis dan Treatment Overview. Tuberculosis Research and Treatment. Vol. 10. Hal. 1-9.McGuire, Dwan. 2003. Neurologic Manifestation of HIV. Diunduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-00&doc=kb-04-01-02 pada Sabtu, 2 Agustus 2014. Osmond, Denis. 2003. Epidemiology of HIV/AIDS in the United States. Diunduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-00&doc=kb-01-03 pada Sabtu, 2 Agustus 2014. Portegies, P., L. Solod., P Cinque., A. Chaudhuri., J. Begovac., et al. 2004. Guidelines for the Diagnosis and Management of Neurological Complications of HIV Infection. European Journal of Neurology. Vol. 11. Hal. 297-304.Subauste, Carlos. 2006. Toxoplasmosis and HIV. Diunduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-00&doc=kb-05-04-03 pada Sabtu, 2 Agustus 2014. Vinnard, Christopher., Rob Roy. 2009. Tuberculous Meningitis in HIV-infected Individuals. Curr HIV/AIDS Rep. Vol. 6. Hal. 139-145.

26