BAB I.docx

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai saat ini kematian disebabkan oleh serangan asma yang seharusnya tidak perlu terjadi masih saja tetap ditemukan, meskipun perkembangan di dalam hal pengobatan sudah demikian majunya. Kematian pada penderita asma pada dasarnya terjadi karena pengobatan yang tidak adekuat (undertreatment) yang dapat disebabkan oleh keterlambatan penderita datang berobat ke rumah sakit, atau kesalahan klinikus sendiri seperti kegagalan mengenal serangan asma akut terutama yang berat, membuat program penatalakasanaan yang tidak tepat, atau pengobatan yang tidak memadai. Kegagalan pengobatan juga terjadi karena serangan asma yang timbul sangat berat dan mendadak. Gejala serangan asma sangat bervariasi dari waktu ke waktu baik dalam hal sifat, berat dan lamanya. Serangan dapat terjadi sangat ringan, singkat, dan sembuh spontan. Namun sebaliknya dapat pula terjadi sangat berat, berlangsung lama, sehingga sulit ditanggulangi, Kemampuan untuk mengenal suatu serangan asma akut yang berat menjadi sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan yang memadai sehingga penderita 1

Transcript of BAB I.docx

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangSampai saat ini kematian disebabkan oleh serangan asma yang seharusnya tidak perlu terjadi masih saja tetap ditemukan, meskipun perkembangan di dalam hal pengobatan sudah demikian majunya. Kematian pada penderita asma pada dasarnya terjadi karena pengobatan yang tidak adekuat (undertreatment) yang dapat disebabkan oleh keterlambatan penderita datang berobat ke rumah sakit, atau kesalahan klinikus sendiri seperti kegagalan mengenal serangan asma akut terutama yang berat, membuat program penatalakasanaan yang tidak tepat, atau pengobatan yang tidak memadai. Kegagalan pengobatan juga terjadi karena serangan asma yang timbul sangat berat dan mendadak. Gejala serangan asma sangat bervariasi dari waktu ke waktu baik dalam hal sifat, berat dan lamanya. Serangan dapat terjadi sangat ringan, singkat, dan sembuh spontan. Namun sebaliknya dapat pula terjadi sangat berat, berlangsung lama, sehingga sulit ditanggulangi, Kemampuan untuk mengenal suatu serangan asma akut yang berat menjadi sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan yang memadai sehingga penderita tidak jatuh ke dalam status asmatikus, suatu keadaan yang memerlukan penatalaksanaan yang lebih kompleks.

1.2. Tujuan1.2.1. Tujuan UmumAdapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk menyelesaikan tugas akhir skill lab semester lima.1.2.2. Tujuan Khususa. Untuk mengetahui apa itu status asmatikus dan etiologi status asmatikus.b. Untuk mengetahui proses timbulnya penyakit status asmatikus.c. Untuk mengetahui cara penanganan secara darurat pada pasien dengan status asmatikus.1.3. Manfaat 1.3.1. Bagi PenulisAdapun manfaat yang diperoleh dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk menambah pengetahuan bagi penulis tentang status asmatikus.1.3.2. Bagi pembaca1. Dapat dipergunakan sebagai bahan bacaan dan sebagai acuan dalam pembuatan karya tulis ilmiah untuk masa yang akan datang.2. Penyalur informasi tentang penanganan yang tepat pada pasien status asmatikus kegawat daruratan.

BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN2.1. Definisi Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernapasan.Istilah status asmatikus belakangan ini terutama di Eropa mulai ditinggalkan, cukup menggunakan istilah asma akut berat karena antara keduanya sebenarnya tidak berbeda. Status asmatikus sendiri juga suatu serangan asma berat, namun demikian istilah ini masih tetap relevan dipergunakan untuk membedakan serangan asma akut berat yang memerlukan perawatan rawat inap di rumah sakit dan yang tidak.Per definisi, status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medik berupa serangan asma berat kemudian bertambah berat yang refrakter bila setelah 1 sampai dengan 2 jam pemberian obat untuk serangan asma akut seperti adrenalin subkutan, aminofilin intravena atau agonis -2 tidak ada perbaikan atau malah memburuk. 2.2. EpidemiologiAsma merupakan masalah kesehatan dunia, dimana diperkirakan 300 juta orang diduga mengidap asma. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia menderita asma. Asma merupakan salah satu penyakit utama yang mnyebabkan pasien memerlukan perawatan, baik di rumah sakit maupun di rumah. Separuh dari semua kasus asma berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan sepertiganya pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun dapat dimulai pada segala usia, segala etnis dan tidak dipengaruhi gender.

Di Amerika kunjungan pasien asma pada pasien berjenis kelamin perempuan di bagian gawat darurat dan akhirnya memerlukan perawatan di rumah sakit dua kali lebih banyak dari pada pasien pria. Data penelitian menunjukkan bahwa 40% dari pasien yang dirawat tadi terjadi selama fase premenstruasi. Di Australia, Kanada, dan Spanyol dilaporkan bahwa kunjungan pasien dengan asma akut di bagian gawat darurat berkisar antara 1-12%.2.3. Etiologi Status asmatikus disebabkan oleh penyempitan saluran napas akibat bronkospasme yang sedang berlangsung, edema, dan penyumbatan lendir. Umumnya penyebab asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan (alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen yang didapat melalui kontak dengan kulit.Siklus berulang dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi, ansietas, penggunaan tranquilizer berlebihan, menyalahgunakan nebulizer, dehidrasi, peningkatan sekat adrenergic, dan iritan non-spesifik. Suatu episode akut dapat dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap aspirin.

Gambar 2.1. Etiologi Asma2.4. Faktor Pencetus Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik. Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:1. AlergenDimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi. b. Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah- buahan dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga pemaparan terhadap faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast seperti histamin dan protease sehingga berakibat respon alergen berupa asma. 2. OlahragaSebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi beberapa saat setelah latihan, misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.3. Infeksi bakteri pada saluran napasInfeksi bakteri pada saluran naas kecuali sinusitis mengakibatkan eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi pada sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem bronchial.4. StresStres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.2.5. Manifestasi KlinisGejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang ditimbulkan berupa batuk-batuk, sesak napas, wheezing, rasa tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas. Gejala ini terjadi secara reversible dan episodik berulang. Gejala asma dapat menjadi lebih buruk dengan terjadinya komplikasi terhadap asma tersebut sehingga bertambahnya gejala terhadap distress pernapasan yang biasa dikenal dengan Status Asmatikus.Status asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa pernapasan wheezing, ronki ketika bernapas, kemudian bisa berlanjut menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea, dan kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus maka suara wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan. 2.6. Patogenesis dan PatofisiologisTrigger (pemicu) yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserabasi asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronkhospasme akut atau keduanya. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya bronkhokontriksi akibat dari pelepasan IgE dependent dari mast sel saluran pernapasan dari mediator, termasuk diantaranya histamine, prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiper responsive tehadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkhokontriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau reflex saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernapasan. Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkhioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasa, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas. Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asama akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan FEV1 (Forced expiration volume). Ketika terjadi obtruksi aliran udara saat ekspirasi yang relative cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar. Terdapat dua mekanisme yang berbeda dalam hal perkembangan laju serangan asma. Ketika yang dominan adalah proses inflamasi saluran pernapasannya, pasien memperlihatkan perburukan gejala klinis dan fungsional tipe 1 atau serangan asma akut tipe lambat. Kemungkinan pasien ini juga mempunyai reaksi inflamasi akibat reaksi alergi dengan diketemukannya eosinofil pada saluran pernapasannya.Pada serangan tipe 2, yang dominan adalah terjadinya bronkospasme dan pasien memperlihatkan serangan asma yang muncul tiba-tiba atau mendadak (aspiksia atau asma hiper akut) yang ditandai dengan obstruksi saluran napas yang berkembang sangat cepat (sesak muncul 30X/menit, takikardi >120X/menit atau pulsus parodoxus >12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan akut berat. Lebih dari 50% pasien dengan asma akut berat frekuensi jantungnya berkisar antara 90-120X/menit.Pulse OximetryPengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) perlu dilakukan pada seluruh pasien dengan asma akut untuk mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran SpO2 diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagl napas dan kemudian memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukan agar SpO2 >92% tetap terjaga.Analisa Gas Darah (AGD)Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal penatalaksanaan. Karena ketepatan dan kegunaan pulse oximetry, hanya pasien dengan terapi oksigenasi yang SpO2 AGD. Meskipun sudah diberikan terapi oksigen tetapi oksigenasi tetap tidak adekuat perlu dipikirkan kondisi lain yang memperberat seperti adanya pneumoni.Foto toraks Foto toraks dilakukan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala adanya pneumothoraks (nyeri dada pleuritik, emfisema sub kutis, instabilitas kardiovaskuler atau suara napas yang asimetris). Pada pasien yang secara klinis dicurigai adanya pneumonia tau pasien asma yang setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara intensif tetapi tidak respon terhadap terapi. Monitor Irama jantung Elektro kardiografi tidak diperlukan secara rutin, tetapi monitor secara terus-menerus sangat tepat dilakukan pada pasien lansia dan pada pasien yang selain menderita asma juga menderita penyakit jantung. Irama jantung yang biasanya ditemukan adalah sinus takikardi dan supra ventrikuler takikardi. Jika gangguan irama jantung ini hanya disebabkan oleh penyakit asmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi akan segera kembali ke irama normal dalam hitungan jam setelah ada respons terapi terhadap penyakit asmanya.Respon Terhadap TerapiPengukuran terhadap perubahan PEFR atau FEV, yang dilakukan setiap saat mungkin merupakan salah satu cara terbaik untuk menilai pasien asma akut dan untuk meperkirakan apakah pasien perlu dirawat atau tidak. Respon terhadap terapi awal di IGD merupakan prediktor terbaik tentang perlu tidaknya pasien dirawat, bila dibandingkan dengan tampilan beratnya eksaserbasi. Respon awal terhadap pengobatan (PEFR atau FEV1 pada30 pertama), merupakan predictor terpenting terhadap hasil terapi. Variasi nilai PEFR di atas 50 L/menit dan PEF >40% normal yang diukur 30 menit setelah dimulainya pengobatan, merupakan prediktor yang baik bagi hasil akhir pengobatan yang baik pula. 2.11. PenatalaksanaanTarget pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan pemberian bronchodilator inhalasi kerja cepat (2-agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik lebih awal. 2.11.1. Penatalaksanaan di IGDFEV1 atau PEFR > 50%FEV1 atau PEFR < 50%

Oksegenasi 1-3 l/ menit melalui nasal kateter atau pemakaian masker oksigen dengan konsentrasi rendah sampai SpO2 mencapai 92%.2-agonis inhalasi: albuterol 4X semprot (400 microgram) setiap 10 menit dengan MDI atau 2,5 mg albuterol dalam 4 ml larutan salin dengan nebulizer O2 (6-8 L/menit) setiap 20 menit.Oksigenasi 1-3 l/menit melalui nasal catheter atau pemkaian masker oksigen dengan konsentrasi rendah sampai SpO2 mencapai 92%.2-agonis inhalasi + antikolinergik; albuterol + Ipratropium bromide 4X semprot (400 g dan 80 g) setiap 10 menit dengan MDI

Antikolinergik untuk pasien dengan respon awal minimal kortikosteroid sistemik jika tidak segera memberikan respon terhadap bronkodilator.Inhalasi kortikosteroid dosis tinggi kortikosteroid sistemik :hidrokortikortison 200 mg IV atau metilpred niesolon 40 mg tiap 6 jam.

Tabel 2.1. Rekomendasi Penatalaksanaan Asma Akut di IGD2.11.2. Keputusan untuk Memulangkan atau Merawat PasienSpirometri dan gejala klinis dipakai untuk mengambil keputusan ini. Pasien harus dirawat jika meskipun sudah diberikan penatalaksanaan intensif selama 2-3 jam di IGD, tetapi masih didapatkan adanya mengi yang nyata, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, masih memerlukan pemberian oksigen untuk menjaga SpO2 lebih atau sama dengan 92% dan fungsi paru yang masih belum membaik (FEV1 ATAU PEF kurang atau sama dengan 40% prediksi). Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan untuk merawat pasien adalah bila pada pasien tersebut didapatkan adanya faktor resiko yang tinggi dan untuk terjadinya kematian oleh karena asma (tidak tersedianya akses untuk mendapatkan pengobatan/ke rumah sakit, kondisi rumah yang menyulitkan, sulitnya transportasi ke rumah sakit bila sewaktu-waktu terjadi perburukan gejala).Jika pasien bebas dari gejala dan fungsi parunya 60% prediksi, pasien dapat dipulangkan. Pasien dengan fungsi paru 40-60% prediksi setelah mendapatkan pengobatan dapat melanjutkan pengobatan lagi. Pasien ini kemungkinan dapat dipulangkan dengan anggapan bahwa tersedianya tempat untuk pengawasan lanjutan yang adekuat.Umumnya 3-4 jam di IGD sudah cukup waktu untuk menentukan jika pasien asma akut dapat membaik gejalanya dan aman untuk dipulangkan. Berdasarkan penelitian terakhir relap dalam jangka waktu dekat jarang terjadi pada pasien asma akut.2.11.3. Keputusan untuk Memasukkan Pasien ke ICU (Intensive Care Unit)Pasien dengan obstruksi aliran udara derajat berat yang memburuk atau hanya mengalami perbaikan minimal meskipun sudah diberikan terapi harus masuk ICU. Pertanda klinis untuk memasukkan ke ICU adalah distress pernapasan, tingginya pulsus paradoksus aytau hilangnya denyut nadi pada pasien dengan fatigue atau pasien yang secara subjektif merasakan adanya ancaman gagl napas. Indikasi lain untuk memasukkan pasien ke ICU adalah bila didapatkan adanya gagal napas, status mentalnya berubah, SpO2 < 90% meskipun sudah mendapatkan oksigenasi dan kenaikan PaCO2 disertai dengan keadaan klinis yang tak mengalami perbaikan.2.11.4. Penatalaksanaan Terapi Intensif AwalPenderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim dari IGD dilakukan penatalaksanaan sebagai berikut : 1. Pemberian oksigen diteruskan2. Agonis 2Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis setiap jam, kemudian daoat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan yang jelas. Sebagai alternative lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dengan nebuhaler/volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan drip salbutamol atau terbutalin.3. Aminofilin Diberikan melalui infus/drip dengan dosis 0,5-0,9 mg/kgBB/jam. Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila belum diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada penderita dengan penyakit hati, gagal jantung atau bila penderita menggunakan simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian aminofilin perlu diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis harus diturunkan. Bila terjadi konvulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan karena terjadi gejala toksisk yang berbahaya.4. KortikosteroidKortikosteroid dosis tinggi intravena diberikan setiap 2-8 jam tergantung beratnya keadaan serta kecepatan respons. Preparat pilihan adalah hidrotoksin 200-400 mg dengan dosis keseluruhan 1-4 gram/24jam. Sediaan lain yang juga dapat diberikan sebagai alternatif adalah triamsinolon 40-80 mg, deksametason/betametason 5-10 mg. dalam hal tidak tersedianya kortikosteroid intravena, dapat diberikan kortikosteroid peroral yaitu prednison atau prednisolon 30-60 mg/hari. 5. Antikolinergik Iptropium bromide dapat diberikan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan agonis 2 secara inhalasi nebulisasi, penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian agonis 2 sudah memberikan hasil yang baik.6. Pengobatan lainnyaa. Hidrasi dan Keseimbangan ElektrolitDehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan elektrolit serum, dan penilaian adanya aisdosis metabolik. Ringer laktat dapat diberikan sebagai terapi awal untuk rehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolic diberikan natrium bikarbonat.b. Mukolitik dan EkspektoransWalaupun manfaanya diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan napas berat, ekspektoran seperti obat batuk hitam dan gliseril guaikolat dapat diberikan, demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.

c. Fisioterapi dadaDrainase postural, vibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi lainnya hanya dilakukan pada penderita dengan hipersekresi mucus sebagai penyebab utama eksaserbasi akut yang terjadi.d. AntibiotikDiberikan kalau jelas ada tanda-tanda infeksi seperti demam, sputum purulen dengan neutrofil leukositosis.e. Sedasi dan antihistaminObat-obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat, malahan dapat menyebabkan pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.2.11.5.Penatalaksanaan Lanjutan Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor yang ketat terhadap respons pengobatan dengan menilai parameter klinis: sesak napas, bising mengi, frekuensi napas, frekuensi nadi, retraksi otot bantu napas. APE, foto toraks, analisis gas arteri, kadar serum aminofilin, kadar kalium dan gula darah diperiksa sebagai dasar tindakan selanjutnya.2.11.6.Indikasi Perawatan Intensif Penderita yang tidak menunjukkan respons terhadap terapi intensif yang diberikan perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke Unit Perawatan Intensif. Penderita dengan keadaan berikut biasanya memerlukan perawatan intensif :a. Terdapat tanda-tanda kelelahanb. Gelisah, bingung, kesadran menurunHenti napas membakat (PaO245 mmHg) sesudah pemberian oksigen.2.11.7.Penatalaksanaan Lanjutan di RuanganPada penderita yang telah memberikan respons yang baik terhadap pengobatan, terapi intensif dilanjukan paling sedikit 2 hari. Pada 2-5 hari pertama semua pengobatan intravena diganti, diberikan steroid oral dan aminofilin oral serta agonis 2 dengan inhaler dosis terukur 6-8 kali per hari atau preparat oral 3-4 kali perhari.Pada hari 5-10, steroid oral (prednison, prednisolon) diturunkan, obat 2 dan aminofilin diteruskan.2.11.8.Penatalaksanaan Lepas RawatKapan penderita dapat dipulangkan, belum ada kriteria pasti yang dapat dipergunakan. Sebagai patokan, penderita dapat dipulangkan apabila:a. Tidak ada sesak waktu istirahatb. Bising tidak ada atau minimalc. Retraksi otot bantu napas minimal d. Tidur sudah normale. APE>70% dari nilai normal atau nilai terbaik.Selama minggu pertama penderita dipulangkan, diberikan pengobatan yang sama dengan hari-hari terakhir perawatan di rumah sakit. Yang terpenting adalah mengenai penggunaann steroid. Penurunan dosis steroid 5mg/hari baru dilakukan pada minggu kedua pasca perawatan. Pada penderita asma kronik yang tergantung steroid penurunan steroid dilakukan sampai dosis rendah yang masih ditoleransi penderita, sebaiknya diberikan dosis tunggal pagi hari setiap hari atau selang sehari. Kalau kemungkinan, lebih baik diberikan steroid aerosol. Pendidikan terhadap penderita juga penting, diberikan pengetahuan tentanng obat-obat yang harus dipergunakan, cara menggunakan inhaler, mengenal tanda-tanda perburukan asmanya dan kapan harus segera mencari pertolongan medik ke unit pelayanan kesehatan.

2.12. Pencegahan 1. EdukasiMemberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang keadaan penyakitnya dan mekanisme pengobatan yang akan dijalaninya. Edukasi penderita dan keluarga untuk menjadi mitra dalam penatalaksanaanya.2. Hindari Faktor PencetusMenghindari faktor pencetus merupakan hal utama dalam pencegahan terjadinya asma yang berulang.3. Pemeriksaan TeraturMemonitor asma secara teratur kepada tim medis yang menangani penyakit asma. Memonitor perkembangan gejala dan memonitor perkembangan fungsi paru.4. Pola Hidup SehatDalam penatalaksanaan asma,pola hidup sehat sangat dianjurkan. Pola hidup sehat sangat membantu proses penatalaksanaan asma. Dengan pemenuhan nutrisi yang memadai,menghindari stress, dan olahraga atau yang biasa disebut latihan fisik teratur sesuai toleransi tubuh. 2.13. PrognosisPada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik. Pengobatan diantara waktu serangan sering mencegah serangan akut. Asma karena faktor imunologi (faktor intrinsik) yang muncul semasa kecilprognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Status Asmatikus tetap merupakan sindrom yang mengancam jiwa pasien. Dimana angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.

BAB IIIPENUTUP3.1. Kesimpulan Dari penjelasan karya tulis ilmiah di atas, dapat disimpulkan bahwa Status Asmatikus adalah suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam beberapa jam sampai beberapa hari, yang tidak memberikan perbaikan pada pengobatan yang lazim. Penatalaksanaan status asmatikus harus dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat karena keadaan ini selalu dapat mengancam jiwa penderita. Untuk dapat melakukan penangan yang baik diperlukan pengetahuan dan kemampuan yang cukup dalam mengenal gejala dan tanda serangan penyakit, memeberikan pengobatan awal, merawat penderita di ruangan, serta pengobatan lepas rawat yang semuanya itu bertujuan untuk dapat mencegah kematian, mengembalikan keadaan klinis dan fungsi paru ketingkat yang lebih baik dan mencegah kekambuhan dini penderita.Pengelolaan penderita status asmatikus, apalagi yang menunjukkan tanda yang sudah mengancam jiwa penderita, hendaknya dilaksanaakan di unit pelayanan kesehatan yang memiliki tenaga medik yang sudah berpengalaman dan fasilitas yang memadai.3.2. Saran Dari pembuatan karya tulis ilmiah ini diharapkan kepada pembaca agar dapat memaklumi bila ada kesalahan dalam pembuatannya. Tidak semua dapat penulis deskripsikan dengan sempurna dalam karya tulis ilmiah ini. Penulis melakukan semaksimal mungkin dengan kemampuan yang penulis miliki. Penulis akan menerima semua kritik dan saran sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki karya tulis ilmiah penulis dimasa yang akan datang, sehingga karya tulis ilmiah berikutnya dapat diselesaikan dengan hasil yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKABakta, I Made dkk. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

Baughman, Diane C dkk. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.

Bickley L.S dkk. 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta: EGC.

Lorraine, Willson dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.

McPhee, Stephen J dkk. 2012. Patofisiologi Penyakit. Jakarta: EGC.

Rubenstein, David dkk. 2007. Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Stein, JH. 1998. Internal medicine, Diagnosis dan Terapi. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid III. Jakarta : InternaPublishing.

Swart,Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC.

Ward, Jane dkk. 2007. At a Glance Sistem Respirasi Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Ward, Jane dkk. 2009. At a Glance Fisiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

11