BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web...

53
B A B I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Masalah Upaya seseorang memenuhi kebutuhannya dilakukan dengan cara menagadakan hubungan hukum dengan seseorang yang lain. Dalam mengadakan hubungan hukum ini timbul hak dan kewajiban masing-masing. Hubungan hukum ini timbul karena peristiwa hukum sebagai perbuatan manusia atau karena kejadian alamiah. Sebagai akibat kejadian alamiah missal kelahiran, kematian dan kedaluwarsa, yang masing-masing kejadian menimbulkan akibat hukum. Kelahiran menimbulkan akibat hukum berupa kewajiban orang tua untuk memelihara dan menafkahi anak secara layak. Sebaliknya anak mempunyai hak untuk dipelihara dan dicukupi kebutuhan hidupnya yang layak. Demikian juga kematian menimbulkan keadaan si-mati menjadi meluang (boedel). Timbul hak dan kewajiban bagi ahli waris si-mati dan harta peninggalan (boedel) si-mati atau pewaris. Kadaluwarsa mempunyai akibat hukum bagi seseorang atas perolehan hak milik ataupun kewajiban baginya. Kematian, 1

Transcript of BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web...

Page 1: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

B A B I

P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang Masalah

Upaya seseorang memenuhi kebutuhannya dilakukan dengan cara

menagadakan hubungan hukum dengan seseorang yang lain. Dalam

mengadakan hubungan hukum ini timbul hak dan kewajiban masing-masing.

Hubungan hukum ini timbul karena peristiwa hukum sebagai perbuatan

manusia atau karena kejadian alamiah. Sebagai akibat kejadian alamiah

missal kelahiran, kematian dan kedaluwarsa, yang masing-masing kejadian

menimbulkan akibat hukum. Kelahiran menimbulkan akibat hukum berupa

kewajiban orang tua untuk memelihara dan menafkahi anak secara layak.

Sebaliknya anak mempunyai hak untuk dipelihara dan dicukupi kebutuhan

hidupnya yang layak. Demikian juga kematian menimbulkan keadaan si-mati

menjadi meluang (boedel). Timbul hak dan kewajiban bagi ahli waris si-mati

dan harta peninggalan (boedel) si-mati atau pewaris. Kadaluwarsa

mempunyai akibat hukum bagi seseorang atas perolehan hak milik ataupun

kewajiban baginya. Kematian, kelahiran dan kadaluwarsa menimbulkan

akibat hukum tanpa diperjanjikan. Sedangkan peristiwa hukum yang

menimbulkan hubungan hukum karena perbuatan manusia, baik perbuatan

manusia menurut hukum ataupun perbuatan manusia yang melawan hukum.

Berkaitan dengan hubungan hukum atau perikatan (verbintenies)

Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat BW

dari kata Burgerlijk Wetboek) menyebutkan tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karena perjanjian atau karena undang-undang dan oleh masyarakat diakui

1

Page 2: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

dan diberi akibat hukum, sehingga perikatan yang terjadi antara orang yang

satu dengan orang yang lain itu disebut hubungan hukum (legal relation).

Dengan demikian perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara

orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa dan

keadaan serta dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang

hukum harta kekayaan (law of property), bidang hukum waris (law of

succession) dan bidang pribadi (personal law).

Menurut ketentuan dalam pasal 1233 BW, bahwa perikatan dapat

timbul balik karena perjanjian maupun karena Undang-Undang. Dari

ketentuan pasal ini, maka dapat diketahui bahwa sumber dari suatu perikatan

itu adalah perjanjian dan Undang-Undang. Dalam perikatan yang timbul

karena perjanjian, pihak-pihak dengan sengaja dan bersepakat saling

mengikatkan diri, dalam perikatan maka timbul hak dan kewajiban pihak-

pihak yang perlu diwujudkan. Hak dan kewajiban ini berupa prestasi, pihak

debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas

prestasi. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian ini, kedua belah

pihak yaitu kreditur dan debitur selalu bertindak aktif untuk mewujudkan

prestasi itu. jika salah satu tidak aktif, maka sulitlah prestasi tersebut untuk

diwujudkan. Prestasi merupakan tujuan pihak-pihak yang mengadakan

perikatan. Karena itu dalam perikatan yang timbul karena perjanjian tidak

mungkin ada persetujuan yang datang dari satu pihak saja atau yang disebut

dengan perjanjian sepihak.

Adapun perikatan yang timbul karena Undang-Undang ini diatur

dalam pasal 1352 BW dan dalam pasal 1353 BW ditentukan bahwa perikatan

yang timbul karena Undang-Undang sebagai akibat dari perbuatan orang

2

Page 3: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

yang diperinci menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum

dan perbuatan melawan hukum. Dan dalam perikatan dalam undang-undang,

hak dan kewajiban pihak-pihak itu ada karena ditetapkan oleh undan-undang.

selanjutnya Pasal 1234 BW mengatur tujuan perikatan adalah untuk

memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu. Perbedaan berbuat sesuatu dengan tidak berbuat sesuatu, tidak

memerlukan banyak penjelasan. Berbuat sesuatu adalah bersifat positif,

sedangkan tidak berbuat sesuatu bersifat negative.

Perjanjian untuk berbuat (melakukan suatu perbuatan) juga secara

mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang (kreditur)

tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan, misalnya membuat

sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang lain. Kalau

yang harus dibuat itu sebuah lukisan sudah barang tentu perbuatan itu tidak

dapat dilakukan oleh orang lain selainnya pelukis yang menjajikan membuat

lukisan itu. Karena itu perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan yang

bersifat sangat pribadi, tidak dapat dilakasanakan secara riil-apabila pihak

yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menetapi janjinya.

Pada umumnya tidak berbuat sesuatu berarti membiarkan sesuatu

atau mempertahankan sesuatu yang sebenarnya seperti tidak ada perikatan

yang harus diciptakan. Demikian pula ada suatu perikatan untuk tidak

berbuat sesuatu apabila kita berkewajiban untuk membiarkan sesuatu yang

apabila perikatan itu tidak ada akan dapat ditentang, misal dalam hal A telah

mengikatkan diri untuk mengizinkan/membiarkan B memasang reklame pada

dinding rumah A.

3

Page 4: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Perbedaan antara memberikan sesuatu dan berbuat sesuatu sangat

kecil. Menurut kebiasaan sehari-hari, memberikan sesuatu itu merupakan

suatu cara khusus dari suatu perbuatan. Pembentuk undang-undang melihat

Pasal 1234 BW ini, justru berlainan dengan yang tersebut di atas.

Pembentuk undang-undang bermaksud untuk memberikan arti pada

perikatan untuk berbuat sesuatu sebagai perikatan yang tidak bertujuan

untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Pengertian “memberi” dalam Pasal 1234 BW adalah “memindahkan

benda yang bertubuh atau tidak bertubuh dalam kekuasaan atau kenikmatan

kreditur”. Jadi tidak hanya suatu perikatan memindahkan hak milik tetapi

juga memberikan benda-benda yang dimaksudkan untuk disewakan atau

dipinjamkan.

Disamping pembagian perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk

berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, masih ada pembagian lain dari

perikatan menurut tujuannya, yaitu perikatan-perikatan yang mewajibkan

pihak debitur untuk menciptakan resultan/hasil tertentu dan perikatan-

perikatan yang mewajibkan pihak debitur untuk melakukan usaha tertentu

(inspanning verplichting), dalam pasal 1237 BW, bahwa adanya perikatan

untuk memberikan sesuatu benda tertentu, maka benda itu sejak perikatan

dilahirkan adalah menjadi tanggung jawab kreditur.

Perikatan yang bertujuan untuk memberikan sesuatu, apabila pihak

yang mempunyai kewajiban untuk memberikan sesuatu (prestasi) tersebut

ingkar janji atau lalai atau wanprestasi yang berakibat pihak yang lain

dirugikan, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukan tuntutan

4

Page 5: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

ganti rugi kepada pihak yang wanprestasi tersebut berdasarkan ketentuan

Pasal 1243 BW jo Pasal 1244 BW.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai isu hukum tuntutan ganti

rugi terhadap debitur karena wanprestasi, maka sebagai rumusan masalah

adalah:

a. Kapan debitur dinyatakan melakukan wanprestasi atau lalai?

b. Upaya apa yang dilakukan oleh kreditur dalam hal debitur melakukan

wanprestasi?

3. Penjelasan Judul

Setiap perikatan mengandung kewajiban (prestasi) bagi para pihak

atau salah satu pihak yang mengikatkan diri dalam perikatan, baik berupa

kewajiban (prestasi) untuk memberikan sesuatu, atau untuk melakukan

sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.

Setiap perikatan memberikan sesuatu tercantum kewajiban di debitur

untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya

sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik sampai pada saat

penyerahan. Si debitur adalah wajib memberikan ganti rugi, biaya dan bunga

kepada kreditur jika ia telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu

untuk mnyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya dengan

sepatutnya untuk menyelamatkannya. Debitur adalah lalai (wanprestasi) bila

ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, telah

5

Page 6: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

dinyatakan lalai (wanprestasi) atau demi perikatannya sendiri menetapkan

bahwa debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Setiap perikatan untuk berbuat suatu atau untuk tidak berbuat

sesuatu, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya, kreditur berhak

menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan

dengan perikatan, dan dapat minta dikuarkan oleh hakim untuk menyuruh

menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuatnya dengan tidak

mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan

untuk itu.

Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya

kewajibannya, debitur setelah dinyatakan wanprestasi tetap melalaikan

kewajibannya untuk memenuhi perikatannya, debitur harus dihukum

mengganti biaya, rugi dan bunga jika debitur tidak dapat membuktikan bahwa

tidak dapat memenuhi kewajibannya karena hal-hal yang tak terduga

(overmacht), dalam hukum Anglo Saxon (Inggris) keadaan memaksa ini

dilukiskan dengan istilah “frustration” yaitu suatu keadaan atau peristiwa

yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak, yang membuat perikatan

(perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali.

Dalam pasal 1243 BW disebutkan dalam bahwa ganti kerugian

karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila

debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap malalaikannya,

atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan

atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampuikannya, dan debitur

tidak dapat membuktikan itikad baiknya.

6

Page 7: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Menurut pasal 1338 ayat (3) BW , semua perjanjian itu harus

dilaksanakan dengan itikad baik dan norma yang dituliskan diatas ini

merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian, dan dari

pasal ini hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu

perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau

keadilan, ayat ketiga ini harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan.

Karena Hukum itu selalu mengejar dua tujuan yaitu: menjamin kepastian

(ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan.

Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus

dipenuhi (ditepati). Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu janganlah

orang meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan, berlakulah adil

dalam menuntut pemenuhan janji dan kewajiban-kewajiban yang termaktub

dalam suatu perjanjian..

Syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan yang diatur dalam

pasal 1320 BW, yaitu, ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang

membuat perjanjian (consensus) dimana kesepakatan seia sekata antara

pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat, ada kecakapan pihak-

pihak untuk membuat perjanjian (capacity), yang umumnya dikatakan cakap

melakukan perbuatan hukum, apabila yang bersangkutan sudah dewasa,

artinya mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun umurnya belum

mencapai umur 21 tahun, ada suatu hal tertentu (a certain subject matter),

hal tertentu merupakan pokok perjanjian, dan merupakan prestasi yang perlu

dipenuhi dalam suatu perjanjian serta merupakan obyek perjanjian dan ada

suatu sebab yang halal.

7

Page 8: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang

dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa

kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau

sia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang

lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik Si penjual

mengiginkan sejumlah uang sedang si pembeli mengiginkan sesuatu barang

dari si penjual, oleh karena itu syarat subyektif dan syarat obyektif

merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian.

4. Alasan Pemilihan Judul

Pemilihan judul “ Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Somasi

Terhadap Wanprestasi Oleh Debitur” adalah didasarkan pertimbangan

bahwa pemahaman dan pentingnya somasi dalam menyatakan bahwa

debitur telah lalai memenuhi kewajibannya (wanprestasi), masih belum

banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat, khususnya sebagai pihak

yang terkait dalam suatu pengikatan perikatan. Bagi kreditur yang

mempunyai hak untuk mendapatkan pemenuhan perikatan oleh debitur

sesuai yang telah diperjanjikan, seringkali dikecewakan oleh debitur yaitu

tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang telah disepakati bersama.

Oleh karena itu, dalam penulisan ini akan dipaparkan kapan dan dalam

8

Page 9: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

perikatan yang bagaimana somasi diperlukan, serta upaya kreditur atas

wanprestasi debitur.

5. Tujuan Penelitian

Tujuan akademik, sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.

Sedangkan tujuan praktis untuk menjelaskan pemahaman tentang somasi

merupakan syarat bagi debitur untuk dinyatakan wanprestasi serta upaya

kreditur terhadap wanprestasi debitur.

6. Manfaat Penelitian

Dengan pemahaman yang benar dan baik tentang somasi bagi

debitur wanprestasi, maka diharapkan akan sangat bermanfaat bagi para

pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan, sehingga dapat

melakukan tindakan-tindakan yang benar menurut hukum. Upaya-upaya

yang dapat dilakukan oleh kreditur terhadap debitur wanprestasi.

7. Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian

Dalam upaya menjelaskan dan menggambarkan permasalahan

somasi dalam wanprestasi debitur, penelitian ini merupakan penelitian

yang bersifat yuridis normatif dengan tipe kajian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif dimaksudkan bahwa dalam penelitian ini

dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder yang

berkaitan dengan permasalahan somasi dalam wanprestasi debitur.

9

Page 10: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

b. Pendekatan Masalah

Kajian hukum normatif menggunakan pendekatan masalah berupa

pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan

konsep (conceptual aaproach). Pendekatan perundang-undangan

dengan cara mempelajari ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pokok

bahasan, khususnya yang menyangkut somasi dalam wanprestasi

debitur.

Untuk pemahaman atas ketentuan-ketentuan tersebut digunakan

pendekatan konseptual, yaitu dengan mempelajari pendapat pada ahli

hukum dalam karya ilmiah dan tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan

pokok masalah yang dibahas yaitu tentang somasi dalam wanprestasi

debitur.

c. Bahan Hukum

Sebagai bahan hukum kajian terdiri dari bahan hukum primer dan

bahan hukum skunder. Bahan hukum primer berupa undang-undang dan

peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan somasi

dalam wanprestasi debitur. Sedangkan bahan hukum skunder berupa

buku-buku litratur, jurnal ilmiah, internet, makalah-malakah dan referensi

lainnya yang membahas tentang somasi dalam wanpretasi debitur.

d. Langkah-langkah Kajian

10

Page 11: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Langkah kajian yang dilakukan ialah, pertama melakukan

pengumpulan bahan-bahan hukum dengan menginventarisasi bahan

hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan. Kemudian

bahan hukum diklasifikasi dengan cara memilah-milah bahan hukum, dan

disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami.

Untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan metode

deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan

pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, kemudian

diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang bersifat khusus.

Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran

sistematis yaitu penafsiran yang mendasarkan pada hubungan antara

peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, antara

pasal yang satu dengan pasal lainnya dalam peraturan perundang-

undangan, yaitu yang berkaitan dengan somasi dalam wanprestasi

debitur.

8. Pertanggungjawaban Sistematika

Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penelitian ini maka penulisan

dibagi dalam 4 (empat) Bab, sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakang masalah

yang menjadi alasan penting kajian hukum ini dilakukan. Kemudian

dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian

hukum ini, tujuan dan manfaat penelitian ini, mengapa dilakukan. Uraian

tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah-langkah

kajian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

11

Page 12: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Bab II Debitur Melakukan Wanprestasi atau lalai, Pembahasan

meliputi somasi merupakan syarat adanya wanprestasi debitur, dan somasi

bukan merupakan syarat adanya wanprestasi debitur. Macam perikatan

untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu

serta prestasi yang sempura dan prestasi yang tidak sempurna.

Bab III Upaya Kreditur Dalam Hal Wanprestasi Yang dilakukan

Oleh Debitur. Pembahasan meliputi upaya kreditur terhadap debitur yang

telah dinyatakan wanprestasi baik berupa pemenuhan perikatan, ganti rugi,

biaya, dan bunga sesuai dengan macam dan isi perikatannya.

Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri

dari bagian kesimpulan dan bagian saran. Bagian kesimpulan merupakan

jawaban singkat terhadap permasalahan yang dirumuskan, sedangkan

bagian saran merupakan sumbangan pemikiran masukan dalam khazanah

hukum.

12

Page 13: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

B A B II

DEBITUR MELAKUKAN WANPRESTASI ATAU LALAI

1. Somasi Merupakan Syarat Adanya Wanprestasi

Pasal-pasal 1235 s/d 1252 BW memuat ketentuan-ketentuan tentang

akibat-akibat dari tidak adanya pemenuhan kewajiban, pemenuhan kewajiban

tidak tepat pada waktunya, atau pemenuhan kewajiban yang tidak pantas

dari suatu perikatan.

Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu

penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan

wanprestasi atau lalai dan kalau hal itu disangkal olehnya harus dibuktikan

dimuka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa

seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat

kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.

Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan

dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun

perikatan yang timbul karena undang-undang, debitur dikatakan sengaja atau

lalai tidak memenuhi prestasi dalam keadaan yaitu;

a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak

memenuhi kewajiban yang telah disanggupi untuk dipenuhi dalam suatu

perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-

undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.

b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru, debitur

melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan oleh undang-

13

Page 14: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

undang tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang

ditentukan dalam perjanjian atau kualitas yang ditetapkan undang-undang.

c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya yang berarti

bahwa debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat sesuai waktu yang telah

ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.

Pasal 1235 BW memuat ketentuan-ketentuan bahwa dalam perikatan

untuk memberikan sesuatu benda, terkandung pula suatu kewajiban untuk

mempertahankan/membiarkannya sampai saat penyerahan yang berarti ia

harus memeliharanya sebagai seorang ayah yang baik. Tentang istilah

“memelihara” terdapat bermacam-macam pendapat. Ada yang berpendapat

harus diadakan perbedaan antara:

a. memelihara sebagai penyimpan (bewaarnemer) yaitu pemeliharaan yang

cukup baik untuk kepentingan orang yang menyimpan (bewaargever)

atas barangnya.

b. memelihara sebagai peminjam (bruiklener) yaitu pemeliharaan yang

cukup baik untuk menjamin kepentingan yang meminjamkan (bruikgever)

sendiri atas barang pinjaman itu.

Sebegitu jauh tidak ditentukan lain, setelah terjadinya perikatan, pihak debitur

segera melaksanakan pemenuhannya. Ini tidak berarti bahwa ia selalu

menderita kerugian bilamana prestasi yang diwajibkan itu tidak segera

dilaksanakan atas kehendaknya sendiri, artinya tanpa didahului dengan

somasi atau tanpa diperintahkan hakim untuk memenuhinya, apabila ada

tuntutan untuk itu, maka perhutangan yang demikian itu sudah dapat dituntut.

14

Page 15: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk

melakukan suatu perbuatan, jika dalam suatu perjanjian tidak ditetapkan

batas waktunya tetapi debitur akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu

yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada

debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan

perjanjian. Kalau prestasi dapat seketika dilakukan tentunya juga dapat

dituntut seketika.

Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur, agar

jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk

oleh pasal 1238 BW yaitu: Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat

perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau

demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus

dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas

ditagih janjinya, seperti yang diterangkan diatas maka jika ia tetap tidak

melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan

terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana disebutkan di

atas yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.

Apabila debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi, maka

keadaannya lebih tidak baik. Apabila pemenuhan perikatan itu masih

dimungkinkan maka ia tidak akan dapat meloloskan diri dari pembayaran

biaya-biaya atau ongkos-ongkos untuk terciptanya tujuan dari perikatan

tersebut. Disamping itu, karena wanprestasi debitur masih terkena akibat-

akibat yang merugikan, seperti kewajiban untuk mengganti kerugian.

Pertanyaannya ialah kapan debitur dinyatakan wanprestasi?

15

Page 16: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Pasal 1243 BW menyatakan bahwa pada umumnya wanprestasi itu

terjadi setelah debitur dinyatakan lalai (ingebreke). Menurut Hoge Raad di

dalam arrestnya tanggal 29 Januari 1915 bahwa ingebreke-stelling bukanlah

suatu pernyataan adanya wanprestasi, akan tetapi suatu pemberitahuan

kreditur bahwa ia mengharapkan segera dipenuhinya perikatan, baik segera

mau pun pada saat yang ditetapkan dalam pemberitahuan itu.

Untuk suatu gugatan pemenuhan hanya disyaratkan, bahwa tuntutan

yang bersangkutan telah dapat ditagih. Akan tetapi gugat ganti rugi baru

dapat dikabulkan jika debitur wanprestasi. Misal : A menjual 1000 kaleng

mentega kepada B. Penyerahan belum dilakukan kerana jangka waktu

penyerahan tidak diperjanjikan, maka B segera dapat meminta pemenuhan.

Apabila B menggugat pemenuhan dimuka sidang pengadilan, maka gugatan

tersebut akan dikabulkan sedangkan gugat ganti rugi tidak akan berhasil

karena A tidak wanprestasi.

Oleh karena wanprestasi debitur merupakan syarat dikabulkannya

gugatan ganti rugi, maka penting menyelidiki timbulnya wanprestasi tersebut.

Untuk hal tersebut, kadang-kadang disyaratkan somasi dan dalam hal-hal

lain debitur wanprestasi karena hukum. Apakah gugatan ganti rugi harus

didahului dengan somasi? Apabila di dalam perjanjian tidak ditentukan

kapan prestasi harus dilakukan, tidaklah berarti bahwa debitur yang tidak

segera memenuhi kewajibannya telah wanprestasi. Seyogyanya kepada

debitur diberikan kesempatan untuk memenuhi kewajibannya. Somasi

kreditur terhadap debitur bertujuan untuk menetapkan jangka waktu bagi

debitur untuk melakukan prestasinya dengan sanksi tanggunggugat atas

16

Page 17: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

kerugian. Wanprestasi timbul apabila jangka waktu yang wajar yang

dicantumkan dalam somasi lampau jangka waktu tanpa adanya pemenuhan.

Alasan-alasan mengapa somasi diperlukan untuk terjadinya

wanprestasi, ialah bahwa pada kebanyakan perikatan yang tidak menunjuk

suatu jangka waktu tertentu, tanpa somasi debitur dianggap memenuhi

prestasi tidak tepat pada waktunya. Bahkan bila tidak ditetapkan waktu

terakhir untuk memenuhi prestasinya, maka haruslah diterima bahwa kreditur

dapat menerima prestasinya setiap waktu dan waktu tersebut dapat diukur

sampai kapan saja tanpa adanya wanprestasi.

Untuk menghentikan agar debitur dalam menunda-nunda pemenuhan

kewajiban prestasinya tidak bertentangan dengan kehendak kreditur,

undang-undang memberikan satu upaya untuk mengingatkan debitur akan

waktu terakhir untuk pemenuhan itu dengan cara fixatie dan sebagai

pemberitahuan akan ganti rugi, apabila ia tidak memperhatikan jangka waktu

tersebut.

Untuk menetapkan jangka waktu tersebut haruslah diperhatikan

kepantasan (redelijkheid). Pada umumnya debitur harus diberi kesempatan

yang pantas/layak untuk memenuhi perikatan tersebut. Menurut Arrest Hoge

Raad tanggal 12 Maret 1925 apabila pemenuhan segera de facto

memungkinkan misalnya pada hutang yang umumnya haruslah diterima,

dengan tidak dijanjikan suatu ketetapan waktu pihak kreditur dengan

somasinya dapat menuntut supaya hutang itu segera dilunasinya.

Apabila untuk adanya prestasi itu diperlukan waktu, maka haruslah

diberikan kesempatan untuk memenuhinya. Tentang waktu ini tidaklah perlu

terlalu lama, apabila pihak kreditur tanpa melalaikan atau membiarkan

17

Page 18: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

kepentingannya sendiri dapat mengizinkannya, cukuplah apabila untuk

tecapainya prestasi, waktu tersebut telah dipandang cukup.

Apabila dalam melaksanakan perikatan itu dibutuhkan waktu yang

cukup lama maka ini berarti bahwa pihak kreditur harus memberikan waktu

yang layak pula untuk itu. Bahkan pada umumnya pihak debitur bebas untuk

melaksanakan prestasi itu sampai pada saat ia disommer, yaitu atas dasar

bahwa ia telah memperoleh kesempatan yang cukup untuk menunaikan

kewajibannya itu. Jika jangka waktu yang diberikan itu telah singkat, maka

somasi itu kehilangkan kemanfaatannya. Akan tetapi debitur harus sedapat

mungkin berusaha untuk memenuhi prestasi itu tepat pada waktunya, setelah

ia menerima somasi.

Apakah perlu jangka waktu dalam somasi untuk memenuhi kewajiban

tersebut juga harus ditetapkan secara seksama? Hoge Raad dalam

arrestnya tanggal 7 Pebruari 1924 menyatakan, tidak perlu. Seorang penjual

yang menjual barang-barangnya tertentu secara tunai teah melever sebagian

dari barang-barangnya, sedang si pembeli masih berhutang 500 gulden yang

belum pernah dilunasinya. Pihak penjual mendesak pemenuhan

pembayaran kekurangannya dan menolak penyerahan selanjutnya sampai

kekuranganya dilunasi. Ketika pembayaran itu tidak kunjung tiba, maka

pihak pembeli digugat. Hoge Raad dalam arrest tersebut memutuskan

bahwa pihak debitur dinyatakan wanprestasi.

Akan tetapi satu tahun kemudian di dalam arrestnya tanggal 12 Maret

1924 Hoge Raad memutuskan bahwa dengan somasi yang tidak

menentukan jangka waktu tertentu untuk prestasi, debitur tidak dapat

dinyatakan wanprestasi, bahkan bilamana somasi yang demikian itu diulangi.

18

Page 19: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Pada ketentuan yang terakhir ini pada umumnya kita anggap bahwa somasi

itu berguna untuk memperingatkan pihak debitur agar mengetahui bahwa

pihak kreditur menghendaki prestasi itu pada suatu waktu tertentu.

Mengenai jangka waktu somasi haruslah diperhatikan, bahwa bilaman

suatu perikatan dengan ketentuan waktu, artinya bilamana untuk itu

ditentukan, bahwa ia tidak dapat ditagih untuk waktu tertentu, maka pihak

kreditur dapat memberikan peringatan untuk memenuhinya pada waktunya

tiba. Untuk debitur dapat dinyatakan wanprestasi, bilamana ia tidak dapat

memenuhi pada waktunya.

Kecuali waktu penuntutan prestasi, pihak kreditpun di dalam

somasinya harus menerangkan secara jelas apa yang dikehendakinya, dan

alasan apakah yang dijadikan dasar tuntutannya. Menurut ajaran yang

berlaku sekarang suatu gugatan yang diajukan di muka pengadilan sudah

merupakan somasi.

Bila seorang kreditur tanpa memberikan somasi, terlebih dahulu minta

kepada hakim untuk memutuskan debitur melakukan prestasi, maka

keputusan itu dapat diberikannya tanpa memberi akibat yang merugikan

debitur. Dalam prinsip, sesaat sesudah berkewajiban memberikan

persetujuan terjadi, debitur sudah berkewajiban memberikan prestasi dan

oleh karenanya belumlah terjadi wanprestasi.

Dengan mengemukakan, bahwa tanpa berperkara di depan

pengadilan, ia juga akan memenuhi kewajibannya. Debitur dalam hal yang

demikian dapat mengingkari biaya-biaya pengadilan. Debitur dapat

mengemukakan alasan ini sebab biasanya dalam perikatan-perikatan itu

tidak terdapat ketentuan waktu, yang bila dilampaui debitur dapat

19

Page 20: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

memperpanjang waktu penyelesaian kewajibannya dengan sekehendaknya.

Dengan demikian somasi itu mempunyai arti sebagai pemberian “fixatie

termijn” yang terakhir bagi debitur untuk memenuhi prestasinya. Disamping

itu diberitahukan sekali, bahwa apabila waktu tersebut dilampaui debitur wajib

membayar ganti rugi.

Walaupun debitur yang telah melakukan wanprestasi (lalai)

diharuskan membayar ganti kerugian kepada kreditur, akan tetapi undang-

undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu dalam hal ganti

kerugian yang bagaimana yang seharusnya dibayar oleh debitur atas

tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai perlindungan

undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak

kreditur sebagaimana dalam ketentuan yang diatur pada pasal 1247 dan

1248 BW.

Dalam memberikan jangka waktu harus diperhatikan syarat

“redelijkheid” dan “billijkheid” artinya debitur harus diberikan waktu yang

cukup panjang untuk dapat memenuhi kewajibannya. Apabila waktu yang

diberikan itu kurang cukup, maka somasi itu tidak mempunyai kekuatan

hukum, bilamana debitur memberikan bukti bahwa ia telah berusaha untuk

memenuhi prestasinya. Jangka waktu itu, harus pula ditetapkan dengan

tepat dan seksama. Jangka waktu itu harus ditetapkan dengan seksama dan

tepat untuk diberitahukan, bahwa debitur harus memberikan prestasi pada

waktu yang tepat. Bila somasi tidak memuat jangka waktu tertentu berarti

tidak “memsommer” debitur. Lain sifatnya dengan prestasi yang memang

sukar atau tidak mungkin untuk menetapkan waktu tertentu, misalnya harus

20

Page 21: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

mengapur rumah di musim hujan dan harus selesai dalam waktu tiga hari,

dan sebagainya.

Pada perikatan dengan ketentuan waktu debitur dapat memberikan

somasi sebelum jatuhnya prestasi, dan jika pada waktunya tersebut debitur

tidak memenuhi kewajibannya, maka debitur sudah dalam wanprestasi.

Dalam somasi harus dicantumkan pula:

a. apa yang dituntut;

b. dasar tuntutan;

c. tanggal paling lambat untuk pemenuhan prestasi.

Lagipula harus jelas bahwa yang disampaikan itu adalah somasi untuk

pemenuhan dan bukan permintaan pemenuhan.

Ada pula sifat khas dari somasi, yaitu:

a. somasi itu selalu mengandung somasi untuk pemenuhan. Ini berarti

bahwa somasi tidak disyaratkan jika pemenuhan tidak mungkin lagi

dilakukan atau tidak ada gunanya sama sekali. Dalam hal-hal yang

demikian debitur karena hukum melakukan wanprestasi, disebabkan

prestasinya tidak mungkin lagi atau tidak berarti lagi.

b. somasi adalah suatu syarat untuk timbulnya wanprestasi dan tidak

merupakan “constatering” adanya wanprestasi. Oleh karena itu, somasi

dapat diungkapkan sebelum tuntutan dapat diajukan, asalkan

pemenuhan dituntut menjelang tanggal jatuh waktunya tagihan.

2. Somasi Tidak Merupakan Syarat Adanya Wanprestasi

Dalam beberapa hal somasi tidak lagi merupakan syarat adanya

wanprestasi debitur, antara lain:

21

Page 22: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

a. Apabila dalam perikatan itu sendiri telah ditentukan bahwa pada saat

tertentu debitur dalam keadaan wanprestasi.

Dengan tidak perlu adanya somasi apriori para pihak sendiri dapat

menentukan sebelumnya bahwa dengan dilampauinya jangka waktu itu,

sudah ada wanprestasi.

b. Apabila tidak secara tegas ditentukan, maka dapatlah debitur karena

lampaunya suatu jangka waktu tertentu wanprestasi yaitu apabila

terkandung dalam sifat perikatan. Misalnya, dengan suatu “boete”

(dwangsom) yang diperjanjikan untuk tiap hari keterlambatan dalam

pemenuhan perikatan, debitur mengetahui bahwa kreditur menginginkan

dari padanya prestasi yang tepat pada waktunya, maka ia dalam

wanprestasi tanpa somasi. Juga tidak secara tegas ditentukan dalam

perjanjian. Pada perikatan yang telah tertentu waktunya untuk melakukan

prestasi, masih dibutuhkan somasi tertentu untuk wanprestasi debitur.

c. Apabila prestasi itu hanya mempunyai arti, apabila dilaksanakan dalam

jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1243BW).

Disini berarti bahwa prestasi yang terlambat identik dengan tanpa

mengadakan prestasi. Misalnya, seorang nona yang memesan baju

pengantin, maka prestasinya tidak mempunyai arti lagi jika dilaksanakan

sesudah perkawinan dilangsungkan.

Tiga hal tersebut diatas (butir a, b, c) dinamakan juga wanprestasi

karena hukum (more ex re). Perbedaan antara butir a dan b disatu pihak,

dengan butir c di lain pihak, adalah pada butir a dan b pemenuhan masih

dimungkinkan. Apabila kreditur masih menghendakinya, pemenuhannya

masih dapat dituntut. Beda butir c, pemenuhan tidak lagi dimungkinkan.

22

Page 23: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Tuntutan pemenuhan tidak mempunyai arti lagi. Dalam hal ini dapat

dikatakan debitur tidak memberikan prestasi.

d. Apabila debitur melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

kewajiban

Jika debitur telah mengikatkan diri untuk tidak berbuat sesuatu tetapi ia

tetap melakukannya, maka tanpa somasipun ia berkewajiban mengganti

rugi (Pasal 1242 BW) dan kreditur dapat menuntut penghapusan sesuatu

yang telah diperbuat berlawanan dengan perikatan, dan dapatlah dengan

ini kuasa hakim atas biaya debitur untuk meniadakan tindakan debitur

(Pasal 1240 BW).

Dengan kewajiban yang bertentangan termasuk pula melakukan

perbuatan yang menyebabkan ketidak mungkinan lagi mengadakan

prestasi. Apabila hal ini terjadi, maka suatu somasi tidak perlu lagi

berdasarkan butir c tersebut di atas. Dengan demikian, seseorang yang

berkewajiban untuk menyerahkan suatu benda tertentu dinyatakan

wanprestasi, apabila ia telah memusnahkannya atau telah tidak merawat

sepantasnya sehingga benda itu hilang.

e. Apabila debitur menolak untuk melakukan prestasi dengan alasan tidak

ada perikatan, dan kreditur dapat menerima, bahwa suatu somasi tidak

akan membawa perubahan.

f. Apabila debitur mengaku sendiri bahwa ia wanprestasi dan pengakuan

demikian ini dapat dilakukan dengan suatu pernyataan yang tegas di

dalam suatu akta atau di dalam suatu surat atau bahkan dengan diam-

diam, apabila misalnya debitur sebelum dituntut menawarkan suatu

jumlah sebagai ganti rugi.

23

Page 24: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

g. Apabila debitur tidak memprestir sebagaimana mestinya, maka tanpa

somasi ganti rugi dapat dituntut.

Prestasi yang tidak semestinya atau tidak sempurna, berlaku sebagai

somasi. Mengenai prestasi yang tidak semestinya ada, somasi tidak

perlu karena sudah ada wanprestasi dan untuk itu orang dapat minta

pemutusan/pembubaran dan menuntut ganti rugi. Demikian pula

pendapat Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 19 Nopember 1915,

seseorang membeli satu “partij bondvellen”, yang akan diterimanya pada

suatu hari tertentu di gudang penjual. Ketika ia datang kepadanya

diserahkan “bondvellen” yang macam dan keadaannya berlainan dengan

yang telah diperjanjikan pada saat diadakan pembelian, sehingga tidak

dapat ia gunakan. Tanpa menyatakan penjual wanprestasi, ia/pembeli

menuntut pecahnya perjanjian (ontbinding der evereenkomst) dan ganti

rugi. Penjual menolak untuk memberikan ganti rugi, karena untuk

memberikan ganti rugi karena tidak ada somasi lebih dahulu, akan tetapi

hoge Raad mengabulkan tuntutan ganti rugi tersebut.

Menurut Meyers harus diadakan perbedaan antara kerugian yang diderita

oleh kreditur karena tidak memperoleh apa yang seharusnya ia peroleh

(negatieve contract breuk), dan kerugian yang diderita kreditur pada harta

benda kekayaan yang lain karena prestasi yang tidak pantas itu (positive

contract breuk). Misalnya, dalam hal ini dimana ia seharusnya menerima

sapi yang sehat, maka negatieve contract breuk disini adalah fakta bahwa

kreditur tidak menerima sapi sehat.

Sedangkan positieve contract breuk terjadi apabila sapi sakit yang dilever

menulari sapi-sapi yang lain milik kreditur. Ganti rugi yang disebabkan

24

Page 25: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

karena positieve contract breuk, menurut Meyers hanya dapat diganti

apabila debitur dengan suatu somasi telah diberi kesempatan untuk

memperbaiki kesalahannya dan ia tidak menggunakan kesempatan tersebut.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan

ketentuan-ketentuan tentang apa yang dapat dimasukkan dalam ganti rugi

tersebut. Boleh dikatakan, ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan

dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian sorang

debitur yang lalai atau alpa masih juga dilindungi oleh undang-undang

terhadap kesewenang-wenangan kreditur.

Apabila terjadinya wanprestasi, maka pada umumnya kreditur dapat

meminta:

a. Pembubaran saja atau pembubaran ganti rugi.

Pembubaran dengan atau tanpa ganti rugi, terjadi pada perikatan-

perikatan yang tercipta karena perjanjian timbal balik.

b. Pemenuhan saja atau pemenuhan ditambah dengan ganti rugi.

Pemenuhan dengan atau penambahan ganti rugi yang terjadi bilamana

masih dimungkinkan. Pemenuhan yang tidak dimungkinkan lagi, apabila:

1) barang yang harus dierahkan telah punah.

Dalam hal ini kreditur dapat meminta ganti rugi sebagai ganti

pemenuhan yang terpaksa tidak dapat diperolehnya.

2) telah diadakannya pemenuhan akan tetapi terlambat.

Dalam hal ini kreditur dapat meminta ganti rugi atas keterlambatan

tersebut.

c. Pemenuhan prestasi (herstelprestatie) ditambah dengan ganti rugi

tambahan.

25

Page 26: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Dalam hal ini terjadi dalam perikatan yang prestasinya tidak sempurna.

d. Ganti rugi saja

Tentang dapat tidaknya diterima tuntutan akan pemenuhan tidaklah

diperlukan somasi terlebih dahulu. Lain halnya bila mengenai dapat

tidaknya diterima suatu tuntutan ganti rugi karena wanprestasi.

Keputusan hakim untuk pemenuhan dapat diberikan dengan tidak

mempersoalkan apakah keputusan itu dapat atau tidak dapat dilaksanakan.

26

Page 27: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

B A B III

UPAYA KREDITUR DALAM HAL WANPRESTASI YANG DILAKUKAN

OLEH DEBITUR

1. Bentuk Paksaan Kreditur

Wanprestasi yang dilakukan oleh debitur akan membawa akibat bagi

kreditur. Wanprestasi dapat terjadi karena:

a. tidak ada prestasi sama sekali;

b. ada prestasi, akan tetapi tidak tepat pada waktunya, atau terlambat;

c. ada prestasi akan tetapi tidak tepat waktunya.

Dalam bab II telah dijelaskan kapan suatu debitur dinyatakan

wanprestasi. Dengan demikian debitur memiliki prestasi yang belum atau

tidak dilaksanakan bagi kreditur. Oleh karena itu harus ada pelaksanaan

atau pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur. Dalam mendapatkan

pemenuhan prestasi oleh debitur, maka kreditur dapat melakukan beberapa

upaya hukum agar prestasi tersebut dapat dipenuhi. Untuk itu kreditur dapat

meminta pada debitur untuk:

a. pembubaran saja atau pembubaran dengan ganti rugi;

b. pemenuhan saja atau pemenuhan ditambah dengan ganti rugi.

c. Pemenuhan prestasi dengan ganti rugi tambahan; atau

d. Ganti rugi saja.

Kreditur dapat memaksa debitur untuk pemenuhan prestasi dengan

bantuan Polisi atau Juru Sita. Bentuk lain dari paksaan ini adalah paksaan

badan (lijfsdwang) dan uang paksa, yaitu alat untuk memberikan dorongan

kepada debitur untuk melaksanakan perikatan, jadi bukan merupakan ganti

27

Page 28: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

rugi. Bentuk paksaan badan yang dimaksud disini adalah dengan

menggunakan bantuan aparat penegak hukum, bukan dilakukan oleh kreditur

sendiri. Sedangkan uang paksa dilakukan pula dengan bantuan aparat

penegak hukum. Hal ini untuk menghindari tindakan melanggar hukum yang

mungkin akan dilakukan oleh kreditur jika tanpa mendapat bantuan dari Polisi

dan Juru Sita.

Pembayaran ganti rugi jumlahnya harus sama dengan kerugian yang

telah diderita meskipun tidak mungkin ditetapkan jumlahnya yang tepat dan

hanya merupakan perkiraan saja. Uang paksa itu sendiri tidak

mempersoalkan kerugian. Dengan demikian uang paksa itu dan ganti rugi

dapat dimintakan bersama-sama karena tujuannya berbeda.

2. Ganti Rugi

Selain upaya paksaan badan dan uang paksa, terhadap pemenuhan

berupa ganti rugi dapat pula pemenuhan prestasi dengan ganti rugi

tambahan (helstelprestatie) pada perikatan yang tidak sempurna prestasinya,

maka kreditur dapat:

a. Menerima baik apa yang telah diprestasikan, dan disamping itu dapat

meminta ganti rugi tambahan;

b. Mengembalikan apa yang telah diprestasikan dan minta sekali lagi

prestasi yang baik;

c. Mengembalikan sama sekali apa yang telah diprestasikan dan minta ganti

rugi untuk seluruhnya.

28

Page 29: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Tentang ada atau tidaknya prestasi yang sempurna haruslah dilihat

dari sifat perikatan itu sendiri. Misalnya, mengenai Pasal 91 Wetboek van

Koopghandel (W.v.K) dan Pasal 1602 BW.

Pasal 91 W.V.K menyatakan bahwa mualim bertanggungjawab atas

barang-barang yang diangkutnya kecuali bila terdapat overmacht, yang

berarti jika barang-barang yang diwajibkan untuk diserahkan itu tidak baik,

maka terdapat prestasi yang tidak sempurna. Pasal 1602 BW mewajibkan

majikan untuk menyediakan tempat kerja yang aman bagi buruh. Bila buruh

mendapat luka-luka, belumlah tentu bahwa majikan tidak sempurna dalam

prestasinya. Demikian pula dengan seorang advokat yang kalah dalam

proses, karena tidak ada perjanjian untuk memenangkan proses tersebut,

tujuannya adalah untuk membela kliennya dengan sebaik-baiknya.

Dalam prestasi yang tidak sempurna ada yang dinamakan pelepasan

hak, yaitu bila kreditur menyatakan persetujuan secara diam-diam dianggap

ada, bilamana kreditur setelah menerima prestasi dalam waktu yang layak

lalai untuk memperingatkan. Bila kreditur meminta ganti rugi pemenuhan

perikatan, maka ia tidak berhak lagi atas prestasi primairnya.

Hal ini menimbulkan persoalan, apakah debitur dapat secara sepihak

menghindari hak kreditur untuk meminta ganti rugi sebagai pemenuhan

perikatan dengan mengadakan “zuivering van verzuim”, yaitu setelah

wanprestasi debitur secara sepihak mengadakan wanprestasi, dengan atau

tanpa ganti rugi sebagai pemenuhan perikatan.

Dalam hal ini pendapat sarjana ada yang pro dan ada yang kontra

atas pendapat ini. Pendapat yang pro mengemukakan sebagai berikut:

29

Page 30: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

a. Dengan adanya wanprestasi, perikatan belum lenyap, perikatan belum

berakhir, kreditur masih dapat minta pemenuhan;

b. Perjanjian timbal balik bukan berakhir karena adanya wanprestasi,

melainkan karena adanya vonnis van ontbinding.

c. Karena adanya Pasal 1266 ayat (4) BW yang menyatakan bahwa Jika

syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, Hakim adalah leluasa

untuk menuntut keadaan atas permintaan si tergugat, memberikan suatu

jangka waktu mana namun ia tidak boleh lebih dari satu bulan.

Dari rumusan ini dapat disimpulkan bahwa penjernihan (zuivering) masih

diizinkan.

d. Selama kreditur diam saja dan belum mengadakan gugatan, maka belum

mengadakan tuntutan ganti rugi sebagai pemenuhan, atau pada

perjanjian timbal balik belum minta pemutusan perjanjian selama debitur

dalam keadaan bimbang (dubium). Ia tidak dapat menentukan apakah ia

nanti harus mengadakan pemenuhan atau memberikan ganti rugi. Oleh

karena itu pada debitur harus diberi kesempatan untuk melepaskan diri

dari tekanan keragu-raguan dengan mengadakan sekali lagi suatu

prestasi dengan memberikan ganti rugi tambahan.

Dari alasan-alasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat

tersebut terutama hanya memikirkan kepentingan debitur. Yang kontra

penjernihan (zuivering) mengatakan bahwa suatu penjernihan (zuivering)

tidak mungkin dengan alasan sebagai berikut:

a. Undang-undang memang memberikan ketentuan bahwa apabila timbul

“verzuim” dan apa hak-hak yang diperoleh kreditur. Akan tetapi undang-

30

Page 31: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

undang tidak menentukan jika “verzuim” itu lenyap, dan jika hak yang

diperoleh kreditur itu lenyap pula karenanya..

b. Berdasarkan Pasal 1266 BW, maka wanprestasi itu merupakan syarat

batal dari perikatan yang timbul dari perjanjian timbal balik.

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada

keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima

sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka itu harus

dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan, jadi dengan adanya

wanprestasi, perikatan sudah tidak ada lagi, sehingga pemenuhan prestasi

dalam hal ini tidak mungkin lagi. Debitur hanya wajib membayar ganti rugi

jika ada hubungan kausal antara wanprestasi dan kerugian.

Menurut Yurisprudensi, hubungan kausal ada bila bukan hanya

wanprestasi yang merupakan “condition sine quanon” untuk timbulnya

kerugian, akan tetapi juga kerugian itu akibat yang secara wajar diduga dari

adanya wanprestasi tersebut.

Menurut Pasal 1248 BW, ganti rugi hanya dapat diberikan sebagai

“akibat langsung dan seketika dari tidak dipenuhinya perikatan”. Akan tetapi

saat mana yang dijadikan patokan (tolok ukur) untuk menilai apakah kerugian

tersebut dapat diduga? Bagaimanapun juga debitur yang wanprestasi tidak

pernah mengganti lebih dari pada kerugian yang dapat diduganya secara

wajar pada saat wanprestasi. Pasl 1247 BW membatasi lebih sempit

tanggunggugat debitur yang tidak bersifat tipu daya dengan tidak hanya

melihat saat wanprestasi, akan tetapi tanggunggugatnya juga dikaitkan

dengan pertanyaan apakah kerugian itu dapat diduga pada saat diadakannya

perikatan.

31

Page 32: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

Pada wanprestasi yang bersifat menipu, dapat diduganya kerugian

hanya dinilai menurut satu saat timbulnya wanprestasi. Hal ini menimbulkan

pertanyaan:

a. Apakah pengertian “dapat diduga” dalam Pasal 1247 BW hanya

berkaitan dengan pertanyaan tentang dapat atau tidak dapat diduga

bahwa kerugian akan timbul, atau juga tentang luasnya kerugian

tersebut?

Peradilan menjawab atas pertanyaan dapat tidaknya diduga timbulnya

kerugian termasuk luasnya kerugian, bahwa debitur yang wanprestasi

tanpa tipu daya, dalam hal dapat diduga akan timbulnya kerugian bila

tidak ada pemenuhan, akan tetapi kerugian itu tidak sedemikian luasnya,

hanya wajib mengganti bagian kerugian yang dapat diduga pada waktu

dibuatnya perjanjian.

b. Kapankah kita dapat berbicara tentang “tipu daya”?. Untuk adanya tipu

daya tidak disyaratkan bahwa debitur mempunyai tujuan untuk

merugikan krediturnya, akan tetapi sudah cukup jika ia secara sadar

melanggar kewajiban kontraknya.

32

Page 33: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

B A B IV

P E N U T U P

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada Bab II dan

Bab III, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Debitur dinyatakan wanprestasi atau lalai apabila telah ada peringatan

(somasi) dari kreditur. Namun somasi tidak lagi merupakan syarat

adanya wanprestasi debitur, apabila:

1) dalam perikatan itu sendiri telah ditentukan bahwa pada saat

tertentu debitur dalam keadaan wanprestasi dan ini merupakan

akibat dari aanvullendrecht.

2) Tidak secara tegas ditentukan waktu tertentu.

3) Prestasi hanya mempunyai arti apabila dilaksanakan dalam jangka

waktu yang telah ditentukan.

4) Debitur menolak untuk melakukan prestasi dengan alasan tidak ada

perikatan.

5) Debitur mengaku sendiri bahwa ia wanprestasi.

6) Debitur tidak memprestir sebagaimana mestinya.

b. Bahwa perjanjian harus memuat syarat-syarat sahnya perjanjian

sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 BW yaitu:

1) Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian (consensus).

2) Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).

3) Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter).

33

Page 34: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

4) Ada suatu sebab yang halal (legal cuasa).

c. Kreditur dapat melakukan upaya paksa baik berupa paksa badan dan

uang paksa termasuk tuntutan ganti rugi dengan wanprestasinya debitur.

d. Ganti kerugian dalam hal debitur wanprestasi harus memuat 3 (tiga)

unsur sesuai dengan pasal 1246 BW yaitu :

1). Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan

2). Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan

kreditur akibat kelalaian debitur

3). Bunga atau keuntungan yang diharapkan karena debitur lalai,

kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya

2. Saran

a. Dalam setiap perikatan baik prestasi berupa memberikan sesuatu

atau mengerjakan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,

seyogyanya harus ditentukan dengan tegas waktu pemenuhan

kewajiban dengan ancaman sanksi denda atas setiap hari

keterlambatan pemenuhan prestasi.

b. Dalam suatu perikatan atau perjanjian janganlah mencantumkan

klausula baku yang bersifat berat sebelah dan jika dicantumkan

dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut adalah batal demi

hukum (undang-undang nomor 8 tahun 1999).

c. Perlu kiranya diperingatkan supaya jangan menganggap

pemenuhan perjanjian sebagai suatu sanksi atas kelalaian, sebab

hal itu memang sudah dari semula menjadi kesanggupan para

pihak.

34

Page 35: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

d. Dalam membuat perikataan seyogyanya para pihak saling

mempunyai itikad baik untuk melakukan hak-hak dan kewajiban

sesuai dengan isi perjanjian.

35

Page 36: BAB I - Wijaya Putra Universityeprints.uwp.ac.id/id/eprint/1123/2/Skripsi Pandeli barul.doc · Web viewMengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu

DAFTAR BACAAN

Pitlo, A, Hukum Perdata, alih bahasa M. Moerasad, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1979.

Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1984.

Subekti, Hukum Pembuktian, Penerbit CV. Perkasa, Jakarta, 1964.

Prof. Subekti, S.H. Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987.

--------, Aneka Perjanjian, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta, 1962.

---------------------------, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta, 1966.

36