BAB I · Web viewBerbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peranan...
Transcript of BAB I · Web viewBerbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peranan...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang
peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. (Umaedi
(1999 : 1) mengatakan bahwa “Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu
proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan sumber daya manusia itu
sendiri”. Salah satu strategi kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia adalah melalui peningkatan mutu pendidikan. Sejalan
dengan perkembangan abad 21, yang dikenal dengan era globalisasi maka diperlukan
profesionalisme di segala bidang termasuk dunia pendidikan.
Permasalahan yang selalu mengemuka dalam dunia pendidikan adalah
bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang dan diturunkan dalam praktek. Baik
dan buruknya kualitas pendidikan sangat berhubungan dengan kinerja guru dalam
menjalankan profesinya sebagai pembelajar. Dalam ruang ini, seorang guru selalu
ditantang untuk dapat menemukan format yang tepat dan memformulasikan dalam
strategi yang taktis suatu rancangan pembelajaran yang mencerahkan (Parman, 2005 :
9).
Berangkat dari latar belakang tersebut, secara mikro (praksis pembelajaran)
perlu ditemukan cara terbaik untuk menyampaikan konsep yang diajarkan di dalam
mata pelajaran tertentu, sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih
lama konsep-konsep tersebut sebagai suatu kompetensi yang berguna. Di samping itu,
1
guru dituntut kemampuannya untuk berkomunikasi secara efektif dengan siswanya.
Konsekuensi logis dari tuntutan profesionalitas ini adalah kemampuan menemukan
pendekatan dan strategi pembelajaran yang tepat sesuai dengan kekhasan mata
pelajaran tertentu.
Dalam kedudukannya sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang sudah relatif
lama berkembang di lingkungan akademis, secara teoritik idealnya Sosiologi
memiliki posisi strategis dalam membahas dan mempelajari masalah-masalah sosial-
politik yang berkembang di masyarakat. Karenanya, pengajaran Sosiologi perlu
semakin tanggap dan sensitif terhadap perkembangan di masyarakat dan selalu siap
dengan pemikiran kritis dan alternatif menjawab tantangan yang ada. Melihat masa
depan masyarakat kita, sosiologi semakin dituntut untuk tanggap terhadap isu
globalisasi yang didalamnya mencakup demokratisasi, meliputi desentralisasi dan
otonomi, penegakkan HAM, good governance (kepemerintahan yang baik),
emansipasi, dan masyarakat yang demokratis.
Pengajaran Sosiologi di Sekolah Menengah Umum berfungsi untuk
meningkatkan kemampuan berfikir, berperilaku, dan berinteraksi dalam keragaman
realitas sosial dan budaya berdasarkan etika. Tujuan pengajaran sosiologi Sekolah
Menengah Umum pada dasarnya mencakup dua sasaran yang bersifat kognitif dan
bersifat praktis. Secara kognitif pengajaran sosiologi dimaksudkan untuk memberikan
pengetahuan dasar sosiologi agar siswa mampu memahami dan menelaah secara
rasional komponen-komponen dari individu, kebudayaan dan masyarakat sebagai
suatu sistem. Sementara itu sasaran yang bersifat praktis dimaksudkan untuk
mengembangkan keterampilan sikap dan perilaku siswa yang rasional dan kritis
2
dalam menghadapi kemajemukan masyarakat, kebudayaan, situasi sosial serta
berbagai masalah sosial yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam tataran realitas, pengajaran sosiologi di sekolah, sering kali guru
terjebak dengan cara-cara konvensional yang hanya berorientasi pada pencapaian
aspek-aspek kognitif yang mengandalkan metode ceramah dalam pembelajarannya.
Jika hal ini terjadi, yang terjadi kemudian sebuah verbalisme pengetahuan belaka.
Siswa mampu menghafal sejumlah konsep-konsep sosiologi tertentu dalam dimensi
akademis, tetapi tidak memiliki kemampuan memecahkan masalah.
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning)
adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan
memecahkan masalah. Dengan asumsi dasar pada batasan masalah tersebut, Problem-
Based Learning (PBL) menjadi relevan untuk diterapkan sebagai strategi
pembelajaran Sosiologi. Dengan pendekatan PBL diasumsikan belajar Sosiologi akan
menjadi menarik karena objek yang dipelajari situasi dunia nyata yang dekat dengan
kehidupan siswa. Di samping itu, konsep pengetahuan esensial yang dipelajari akan
menggerakkan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, dan dengan sendirinya akan
mendorong siswa untuk belajar pada situasi bagaimana belajar.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka
secara spesifik masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
3
1. Apakah dengan pendekatan Problem-Based Learning dapat meningkatkan
pembelajaran Sosiologi pada kelas XII IPS Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga
tahun pelajaran 2006 – 2007?
2. Bagaimana perubahan tingkah laku yang menyertai peningkatan pembelajaran
Sosiologi melalui pendekatan Problem-Based Learning?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Sosiologi melalui pendekatan
Problem-Based Learning pada kelas XII IPS Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga.
2. Untuk mengetahui tingkah laku yang menyertai peningkatan pembelajaran
Sosiologi melalui pendekatan Problem-Based Learning pada kelas XII IPS
Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga.
D. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan penelitian ini adalah:
1. Melalui pendekatan Problem-Based Learning kualitas pembelajaran Sosiologi
pada kelas XII IPS Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga akan meningkat.
2. Melalui pendekatan Problem-Based Learning akan terjadi peningkatan tingkah
laku yang menyertai pembelajaran Sosiologi kelas XII IPS Madrasah Aliyah
Negeri 2 Salatiga.
4
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Dapat meningkatkan kompetensi dan aktivitas pembelajaran para siswa kelas XII
IPS Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga.
2. Dapat menganalisis perubahan tingkah laku yang menyertai peningkatan
pembelajaran Sosiologi melalui perlakuan khusus pendekatan Problem-Based
Learning.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Problem-Based Learning
Menurut Ibrahim dan Nur (2000: 2), “Pengajaran berbasis masalah
(Problem-Based Learning) dikenal dengan nama lain seperti Project-Based Learning
(Pembelajaran Proyek), Experience-Based Education (Pendidikan berdasarkan
pengalaman), Authentic Learning (Pembelajaran autentik), dan Anchored instruction
(Pembelajaran berakar pada kehidupan nyata)”.
Mayo, Donnely, Nash & Schwartz, 1993 dalam Whatis PBL.html
mendefinisikan Problem-Based Learning sebagai strategi untuk pemecahan masalah
yang signifikan, yang disandarkan pada situasi keadaan yang nyata dan memberikan
sumber-sumber, menunjukkan atau memandu dan memberikan petunjuk pada
pembelajar untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan pemecahan
masalah.
Menurut Finkle dan Torp (1995 dalam http://www.corf.html) dijelaskan
bahwa Problem-Based Learning adalah sebuah kurikulum sistem pengajaran yang
simultan untuk mengembangkan antara strategi pengembangan pemecahan masalah
dari dasar pengembangan disiplin pengetahuan dan keterampilan siswa dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan menyesuaikan pada
permasalahan yang nyata. Di dalam problem-based learning, siswa bekerja dalam
suatu kelompok kecil untuk membahas sesuatu masalah yang tidak dimengerti dan
6
penting, apa yang mereka tidak tahu dan berusaha untuk belajar memecahkan
permasalahan tersebut . (White H.B &Richlin, 1996: http://udel/pbl/dancase).
Hamzah (2004: http://www.udel.edu/pbl/) menjelaskan bahwa Problem-
Based Learning (PBL) merupakan salah satu metode pembelajaran dimana Authentic
Assesment (penilaian nyata) dapat diterapkan secara komprehensif. Keuntungan dari
pembelajaran Problem-Based Learning yakni, memberikan fokus yang menarik bagi
siswa dalam menyusun pemecahan masalah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari
sesuai dengan permasalahan yang kontekstual melalui penerapan ceramah dan
penggabungan penelitian sehingga siswa akan senantiasa aktif menyusun konsep
yang akhirnya dimemorikan dalam kognitifnya di dalam pembelajaran yang
bermakna.
Terkait dengan penilaian tersebut, bahwa salah satu persoalan yang dijumpai
guru dalam penerapan KBK adalah menyangkut hal penillaian kompetensi dasar. Bila
kurikulum 1994 yang lalu penilaian banyak menekankan pada kemampuan kognitif
(pengetahuan) saja, maka dalam kurikulum 2004 (KBK), penilaian mencakup tiga
aspek, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan)
secara serempak. Untuk mencapai kompetensi dasar yang benar-benar maksimal baik
dalam bentuk kognitif, afektif, dan psikomotor secara simultan, kegiatan
pembelajaran tidak lagi sekedar menyampaikan dan menerima informasi, tetapi
mengolah sebagai masukan pada usaha peningkatan kemampuan. Permasalahan
berikutnya adalah bagaimana mengoptimalkan kegiatan pembelajaran yang terarah
pada tujuan yang bermakna?.
7
Strategi pembelajaran Problem-Based Learning, merupakan bagian dari
metode pembelajaran inquiri yang di dalamnya terdapat juga unsur kooperatif. Agar
belajar dapat bermakna secara signifikan diperlukan adanya inisiatif yang datang dari
pihak siswa itu sendiri, dan ia harus sepenuhnya terlibat. Hal ini akan dapat terjadi
dengan apa yang disebut belajar eksperimental (experimential learning). (Soekamto
dan Winataputra, 1996 : 35).
Teori belajarar Experimental Learning dikembangkan oleh C. Rogers (1969
dalam Asmawi, 2001 : 6). Teori ini membedakan dua jenis belajar yaitu Cognitive
Learning yang berhubungan dengan pengetahuan akademik, dan Experimential
Learning yang berhubungan dengan pengetahuan terapan. Dalam teori ini
dikembangkan dan diperkenalkan adanya keterlibatan pribadi, inisiatif diri, evaluasi
diri, dan dampak langsung yang terjadi pada diri siswa.
Berdasarkan teori tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar harus
dilakukan oleh siswa atau pembelajar, sedangkan pendidik (guru) hanya sebagai
fasilitator. Tugas pokok pengajar atau pendidik adalah menciptakan lingkungan
belajar yang baik, membantu pembelajar merumuskan tujuan belajar,
menyeimbangkan pertumbuhan intelektual dengan pertumbuhan emosional,
menyediakan sumber belajar, berbagi rasa serta pemikiran dengan pembelajar tetapi
tidak mendominasi (Asmawi, 2006: 6 – 7).
Tidak seperti lingkungan belajar yang terstuktur secara ketat yang
dibutuhkan dalam pembelajaran langsung atau penggunaan yang hati-hati kelompok
kecil dalam pembelajaran kooperatif, lingkungan belajar dan sistem manajemen
dalam pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh sifatnya yang terbuka, ada proses
8
demokrasi, dan peranan siswa yang aktif. Meskipun guru dan siswa melakukan
tahapan pembelajaran yang terstruktur dan dapat diprediksi dalam pembelajaran
berbasis masalah, norma di sekitar pelajaran adalah norma inkuiri terbuka dan bebas
mengemukakan pendapat. Lingkungan belajar menekankan peranan sentral siswa,
bukan guru yang ditekankan. (Nurhadi dan Agus Gerrad, 2003: 59).
Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa dalam pembelajaran ini lebih
mementingkan pengembangan multi aspek, yang tidak hanya mengembangkan aspek
kognitif saja. Aspek tersebut didasarkan pada teori kecerdasan majemuk (Multiple
Intelligences) Howard Gardner. Ada delapan kecerdasan, yakni: (1) Visual-Spatial,
(2) Bodily – Kinesthetic, (3) Musical – Rhytmical, (4) Interpersona, (5) Logical –
Mathematical, (6) Verbal – Linguistic, (7) Intrapersona, dan (8) Natural.
Dalam belajar eksperimental tersebut, terdapat banyak kendala-kendala
dalam rangka untuk mendapat kebermaknaan belajar. Untuk mengatasi hambatan atau
kendala dalam pembelajaran tersebut ada tiga tahap yang harus dilakukan yaitu:
analisis, penyelesaian, dan penilaian. Setiap tahap ada tujuan dan langkahnya yang
dapat disusun sendiri.
Menurut Hamzah (2004: http://www.udel.edu/pbl/) Problem-Based
Learning (PBL) terbagi dua, yaitu:
a. Problem Posing
Merupakan suatu proses memunculkan masalah, dan juga suatu langkah untuk
memecahkan masalah yang lebih rumit dari sebelumnya. Proses ini dapat
dimunculkan dari situasi, siswa atau juga oleh guru.
b. Problem Solving
9
Merupakan pemecahan masalah. Dalam problem solving ini meliputi dua aspek
yaitu masalah untuk menemukan (problem to find) dan masalah membuktikan
(problem to prove).
B. Karakteristik Pendekatan Problem-Based Learning (PBL)
Karakteristik dalam metode Problem Based Leaning ini antara lain:
1. Pemunculan masalah dari siswa atau situasi masalah dari guru.
2. Pengajuan pertanyaan masalah atau soal yang berfokus pada keterkaitan antar
disiplin. Penyelidikan authentic atau penyelidikan dalam rangka melakukan
reinvention (pengulangan pernyataan masalah).
3. Menghasilkan produk, karya atau penyelesaian masalah. Kerja sama
(berpasangan, kelompok kecil atau kelompok besar sesuai dengan pilihan guru
dan siswa).
Uraian tersebut di atas merupakan proses yang harus dilakukan guru dalam
rangka membentuk suatu metode PBL dalam kelas. Penjelasan langkah berikut akan
dapat membantu memahami uraian di atas.
Langkah dalam pembelajaran PBL dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Tahap Persiapan
Dalam tahap ini, guru melakukan studi pendahuluan baik terhadap materi yang
akan disampaikan maupun studi untuk penerapan metode yang akan diterapkan.
Apakah materi sesuai dengan metode atau tidak. Tindakan berikutnya adalah
menentukan tujuan instruksional dari penyampaian materi tersebut, sehingga jelas
10
acuan atau indikatornya yang akan diraih. Dan tahap berikutnya adalah
membentuk kelompok, dalam teknik pengelompokan ini siswa yang
berkemampuan dan jenis kelaminnya berbeda disatukan dalam satu tim kecil yang
terdiri dari lima hingga enam anggota. Sesuai dengan pendapat Slavin (1995: 9)
bahwa jumlah sampai lima orang, menurut Manning (1992 : 69) terdiri dari empat
sampai lima orang, sedangkan Maltby (1995: 410) anggota setiap kelompok bisa
berkisar tiga sampai delapan orang. Menurut Percivall dan Ellington (1988: 79),
bahwa jumlah yang ideal untuk satu kelompok sebaiknya berkisar antara empat
hingga enam orang. Kemudian setelah guru menyajikan teori utama atau topik
kompetensi dasar, siswa diharapkan memunculkan permasalahan.
2. Tahap Pemunculan Masalah
Permasalahan dapat dimunculkan dari diri siswa maupun dari guru atau dapat
juga dari kenyataan hidup. Dalam penelitian ini sangat mungkin bahwa
permasalahan sehari-hari khususnya topik interaksi sosial banyak menimbulkan
permasalahan yang dapat diambil.
3. Tahap Investigasi dan Inquiri Masalah
Siswa diharapkan dapat berinvestigasi atau inquiri dalam kehidupan nyata terkait
dengan topik yang dibahas yaitu interaksi sosial. Setelah siswa menemukan
masalah dalam kehidupannya, dalam kelompok mereka akan beradu argumentasi
untuk dapat merencanakan strategi dan sekaligus pelaksanaan untuk
memecahkan masalah tersebut.
4. Presentasi Hasil
11
Presentasi hasil merupakan tahap terakhir untuk mengecek hasil karya atau
produk dari investigasi dan inquiri dalam rangka memecahkan masalah yang
timbul dalam kelompok masing-masing. Presentasi dilakukan di depan kelas
sehingga kelompok siswa yang lain dapat ikut mengevaluasi produk yang
dihasilkan. Di sisi lain presentasi ini bagi guru adalah merupakan sarana untuk
penilaian afektif dan psikomotorik dengan memantau keterurutan dan kelancaran
kelompok siswa dalam berkomunikasi antar kelompok maupun dalam kelompok
baik lisan maupun tulisan.
C. Implementasi Pendekatan Problem-Based Learning
Paradigma baru pembelajaran yang dewasa ini menjadi diskursus dalam
dunia pendidikan, menekankan pada praksis belajad dengan memberikan ruang bagi
siswa untuk mengambil peranan secara aktif dalam belajar. Paradigma baru ini
menekankan pada pilihan metode mengajar yang menekankan students-active
approach atau student-centered instruction.
Salah satu bentuk pembelajaran yang menerapkan students-active approach
atau student-centered instruction adalah model pembelajaran berbasis masalah atau
Problem-Based Learning (PBL). Problem-Based Learning merupakan model
pembelajaran yang memusatkan pada peserta didik. Di samping itu, model Problem-
Based Learning merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berlandaskan pada
paradigma konstruktivisme yang sangat mementingkan peserta didik dan berorientasi
pada proses belajar siswa (Palina Pannen, Dina Mustafa, dan Mestika Sekarwinahyu,
12
2001 : 89). Dengan kata lain, melalui PBL siswa ikut secara intensif dalam proses
pembelajaran yang sedang berlangsung.
Model PBL merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa dengan
masalah nyata, sehingga motivasi dan rasa ingin tahu menjadi meningkat. Dengan
demikian siswa diharapkan dapat mengembangkan cara berfikir dan keterampilan
yang lebih tinggi. Anies (2003 : 1) mengemukakan bahwa model PBL merupakan
suatu metode instruksional yang mempunyai ciri-ciri penggunaan masalah nyata
sebagai sebagai konteks siswa yang mempelajari cara berpikir kritis serta
keterampilan dalam memecahkan masalah.
Lebih lanjut, Gallow (2003 : 1) menjelaskan bahwa PBL meletakkan asumsi
dasar pada permasalahan yang berbentuk narasi, kasus, atau dunia nyata yang
membutuhkan keahlian. Masalah tersebut tidak dapat didekati dengan solusi final
sebagai suatu yang salah atau benar, tetapi menekankan pada solusi bijak yang
didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan tertentu.
Masalah yang menjadi pijakan proses belajar dalam pendekatan ini diambil
pada masalah nyata yang siswa dapat melihat, merasakan dan secara geografis dekat
dengan mereka. Dalam hal ini, masalah tidak serta merta ditentukan oleh guru.
Masalah – meskipun guru sebagai manager utama pembelajaran memiliki
kewenangan menentukan topik masalah – tetapi secara otoriter menentukan sendiri
secara paksa.
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian
Penelitian ini berbasis kelas dengan lokasi kelas XII IPS Madrasah Aliyah
Negeri 2 Salatiga Propinsi Jawa Tengah. Akan dilaksanakan tahun 2005 – 2006 yang
melibatkan siswa berjumlah 40 siswa.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah siswa kelas XII Madrasah Aliyah Negeri 2
Salatiga tahun pelajaran 2005 – 2006 yang berjumlah 40 siswa, sebagaimana
digambarkan dalam tabel (lampiran).
C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data dalam PTK ini ada dua, yaitu instrumen tes
dan nontes:
1. Tes
Tes digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan pembelajaran konsep
modernisasi sesaat setelah proses pembelajaran Sosiologi dilaksanakan pada kelas
XII IPS Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga tahun pelajaran 2005 – 2006. Pada
setiap siklus guru memberikan tes untuk mengukur kemampuan siswa dalam
penguasaan konsep modernisasi dalam pembelajaran Sosiologi. Pada saat
melaksanakan tes tertulis kelas XII IPS Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga tahun
14
pelajaran 2005 – 2006 yang berjumlah 40 siswa dibagi menjadi dua gelombang,
masing-masing terdiri dari 20 siswa dan 20 siswa. Pembagian kelompok ini
dimaksudkan agar peneliti lebih mudah melaksanakan tes tertulis secara objektif
untuk mengukur kemampuan siswa secara individual.
2. Non Tes
Teknik non tes yang dipilih pada penelitian ini ada 3 yaitu observasi, wawancara,
dan jurnal. Observasi digunakan untuk mengetahui tentang respon dan sikap
siswa terhadap pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran Sosiologi,
respon dan sikap siswa terhadap pendekatan PBL, dan siswa yang menunjukkan
gejala khusus dalam penerapan pendekatan PBL.
Wawancara digunakan untuk mengetahui tanggapan dan sikap siswa dalam
pelaksanaan pendekatan PBL, penyebab siswa kurang dapat berpartisipasi dalam
proses pembelajaran, dan motivasi yang menjadikan siswa bersemangat
mengikuti proses pendekatan PBL.
Jurnal digunakan untuk mengetahui berbagai gejala yang muncul dan tercatat atau
terekam pada saat penerapan pendekatan PBL baik yang bersifat maju maupun
mundur untuk mengadakan perbaikan pada siklus berikutnya.
D. Validitas Data
Hasil belajar (nilai tes) yang divalidasi instrumen tes menentukan validasi
teoritik maupun validasi empirik (analisis kualitatif dan kuantitatif). Proses
pembelajaran (observasi dan wawancara) yang divalidasi datanya melalui
trianggulasi, baik sumber maupun metoda.
15
Untuk kepentingan keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik
trianggulasi, yaitu pengujian validitas data dengan cara membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat berbeda, dengan metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan: (1)
membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, (2)
membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang
situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu, (4)
membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang di berbagai tingkatan, (5) membandingkan hasil wawancara dengan
isi suatu dikumen yang berkaitan (Lexy J. Moleong, 2002 : 178).
E. Analisis Data
Teknik yang digunakan untuk analisis data pada penelitian ini adalah teknik
deskriptif analitik dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes diolah dengan menggunakan
deskripsi persentase. Nilai yang diperoleh siswa dirata-rata untuk menemukan
tingkat pemahaman konsep modernisasi para siswa dalam pembelajaran
Sosiologi. Nilai persentase dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
NKNP = ------ x 100% R
Keterangan:NP = Nilai persentaseNK = Nilai komulatifR = Jumlah responden
16
2. Data kualitatif yang diperoleh dari observasi, wawancara dan jurnal
diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek yang dijadikan fokus analisis. Data
kuantitatif dan kualitatif ini kemudian dikaitkan sebagai dasar untuk
mendeskripsikan keberhasilan penerapan pendekatan PBL, yang ditandai dengan
meningkatnya pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran Sosiologi
secara klasikal, dan perubahan tingkah laku yang menyertainya.
F. Indikator Kinerja
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) artinya penelitian
dengan berbasis pada kelas. Dengan penelitian ini diperoleh manfaat berupa
perbaikan praksis yang meliputi penanggulangan berbagai masalah belajar siswa dan
kesulitan mengajar oleh guru.
Untuk mengevaluasi ada tidaknya dampak positif terhadap tindakan,
diperlukan kriteria keberhasilan, yang ditetapkan sebelum tindakan dilakukan. Dari
kegiatan refleksi ini, diperoleh ketetapan tentang hal-hal yang telah tercapai menjadi
bahan dalam merencanakan kegiatan siklus berikutnya.
Indikator kinerja dari data kuantitatif ditetapkan kriteria bahwa semakin
meningkat perolehan hasil tes pada kategori diatasnya menunjukkan kriteria
peningkatan pembelajaran dalam penelitian tindakan kelas ini. Jadi seumpama pada
siklus ke-2 kategori sangat paham lebih besar daripada siklus ke-1 berarti terjadi
peningkatan yang positif sebagaimana terlihat pada tabel 1 berikut ini:
17
Tabel 1. Tabel nilai hasil postes untuk tiga siklus
KATEGORI INTERVAL NILAI
FREKUENSI NILAISiklus 1 Siklus 2 Siklus 3
Istimewa 91 – 100Sangat Paham 81 – 90 Paham 71 – 80Sedang 61 – 70Kurang 51 – 50Tidak Paham 0 – 40
JUMLAH
Indikator kinerja dari data kualitatif ditetapkan bahwa peningkatan
partisipasi responden (siswa) dan peningkatan sikap positif baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya sebagai indikator peningkatan pembelajaran yang positif, dari
siklus ke siklus. Jika terjadi sebaliknya maka sebagai indikasi kurang berhasil dalam
perlakuan Penelitian Tindakan Kelas ini.
G. Prosedur Penelitian
PTK dilaksanakan dalam bentuk proses pengkajian berdaur 4 tahap, yaitu
(1) merencanakan, (2) melakukan tindakan, (3) mengamati (observasi), dan (4)
merefleksi.
Tindakan penelitian ini dilakukan dalam dua siklus sebab setelah dilakukan
refleksi yang meliputi analisis dan penilaian terhadap proses tindakan, akan muncul
permasalahan atau pemikiran baru sehingga perlu dilakukan perencanaan ulang,
pengamatan ulang, tindakan ulang serta dilakukan refleksi ulang.
Siklus ke-1 bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep
modernisasi dalam pembelajaran Sosiologi, yang kemudian digunakan sebagai bahan
refleksi untuk melakukan tindakan pada siklus ke-2. Sedangkan siklus ke-2 dilakukan
18
untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran
Sosiologi setelah dilakukan perbaikan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang
didasarkan pada refleksi siklus ke-2, yang dilanjutkan dengan siklus ke-3.
Kesimpulan diambil atas dasar perubahan hasil tes dan non tes antara siklus
ke-1 ke siklus berikutnya. Dari perubahan hasil tes, jika menunjukkan kenaikan
positif secara signifikan berarti terjadi peningkatan hasil pembelajaran. Tetapi jika
sebaliknya, maka perlu refleksi dan perbaikan pelaksanaan model pembelajaran yang
diterapkan antara siklus selanjutnya. Sedangkan perubahan hasil non tes baik dari
wawancara, angket maupun jurnal, diungkap apa adanya sesuai hasil yang telah
terkumpul sebagai perbandingan antara siklus ke-1 dengan siklus berikutnya.
19
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Kondisi Awal
Sebelum penelitian tindakan kelas ini penulis laksanakan, penulis sebagai
guru menerapkan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, yakni menggunakan
metode ceramah, mencatat, lalu memberikan kesempatan siswa untuk belajar dan
ulangan.
Pembelajaran dengan menggunakan cara-cara konvensional seperti ini
terlihat tidak ada peran aktif siswa. Kurang lebih 30 siswa dari 40 siswa atau kurang
lebih 75%. Rendahnya persentasi yang berperan aktif dalam pembelajaran ini
berdampak pada rendahnya hasil belajar sosiologi. Hasil belajar sosiologi dari nilai
ulangan harian I nilai tertinggi 76, nilai rata-rata sebesar 51 dan nilai terendah 25.
Sedangkan jumlah siswa yang hasil belajarnya memenuhi standar ketuntasan belajar
minimal sebanyak 15 siswa atau 37,5%. Pembelajaran dengan menggunakan cara
konvensional, dimana siswa tidak banyak terlibat aktif, berimplikasi pada hasil
belajar relatif rendah.
B. Deskripsi Hasil Siklus I
1. Perencanaan Tindakan Siklus I
Perencanaan tindakan yang penulis lakukan sesuai dengan langkah
dalam pembelajaran PBL (Problem-Based Learning), yakni sebagai berikut:
20
Pertama: Penulis (peneliti/guru) melakukan studi pendahuluan baik terhadap
materi yang akan disampaikan maupun studi untuk penerapan metode yang akan
diterapkan. Apakah materi sesuai dengan metode atau tidak. Dalam hal ini, materi
yang akan dijadikan sebagai bahan pembelajaran adalah tentang modernisasi.
Menurut penulis, materi ini sangat tepat bila digunakan pendekatan PBL, sebab
materi ini adalah cukup kontekstual. Banyak sekali masalah yang berhubungan
dengan modernisasi yang dapat dimunculkan oleh siswa / guru dan menarik untuk
dipelajari dan didiskusikan. Tindakan berikutnya adalah menentukan tujuan / hasil
pembelajaran yang diharapkan dengan menampilkan sekian indikator. Langkah
berikutnya, membentuk kelompok. Penulis menggunakan pendapat Percivall dan
Ellington (1988: 79), yakni membentuk kelompok dimana setiap kelompok
berkisar tiga sampai enam siswa. 40 siswa penulis bagi menjadi 8 kelompok,
dimana setiap kelompok terdiri dari 5 siswa. Langkah berikutnya, penulis (guru)
memberikan apersepsi singkat untuk memberikan motivasi kepada siswa untuk
mempelajari materi-materi modernisasi karena meteri ini sangat penting untuk
dikaji dan dipahami oleh siswa. Penulis juga menggunakan berbagai visualisasi
dengan gambar-gambar yang berkaitan dengan isu-isu sekitar modernisasi juga
menggunakan berbagai berita yang penulis peroleh dari majalah dan surat kabar.
Tindakan ini penulis lakukan sebagai stimulasi kepada siswa agar muncul
berbagai permasalahan sekitar modernisasi.
Kedua: Memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk berdiskusi, yakni
memunculkan masalah-masalah sekitar modernisasi. Beri stimulus kepada mereka
agar mencari masalah-masalah yang dekat dengan kehidupan mereka (tentu yang
21
berhubungan dengan isu-isu modernisasi) agar masalah tersebut kontekstual dan
bermakna bagi kehidupan praktis mereka. Masalah yang kontekstual dan
bermakna bagi siswa akan berdampak pada daya tarik yang lebih kuat, sehingga
siswa akan belajar bukan berangkat dari keterpaksaan, tetapi berangkat dari
sebuah kesadaran. Hal ini akan mempengaruhi keefektifan dalam proses
pembelajaran. Kalau ada 8 kelompok, tentu akan muncul 8 permasalahan yang
menarik yang dapat didiskusikan oleh siswa.
Ketiga: Memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk melakukan
investigasi dan inquiri masalah. Mereka boleh melakukan kajian terhadap
berbagai buku-buku rujukan atau melihat realitas sosial yang dekat dengan
kehidupan mereka. Lalu penulis memberi kesempatan kepada mereka untuk
beradu argumentasi untuk merencanakan strategi dan sekaligus pelaksanaan untuk
memecahkan masalah tersebut.
Keempat: Setelah setiap kelompok mampu menyelesaikan tugas melakukan
investigasi dan inquiri, lalu menemukan pemecahan masalah yang tepat, mereka
diberi kesempatan untuk melakukan presentasi hasil. Presentasi hasil merupakan
tahap akhir untuk mengecek hasil karya atau produk dari investigasi dan inquiri
dalam rangka memecahkan masalah yang timbul dalam kelompok masing-
masing. Presentasi dilakukan di depan kelas sehingga kelompok siswa yang lain
dapat ikut mengevaluasi produk yang dihasilkan. Di sisi lain, presentasi ini bagi
guru adalah merupakan sarana untuk penilaian afektif dan psikhomotorik dengan
memantau keteraturan dan kelancaran kelompok siswa dalam berkomunikasi
antar kelompok maupun dalam kelompok baik lisan maupun tulisan.
22
2. Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Tindakan yang dilaksanakan pada siklus I ini merupakan realisasi dari
perencanaan tindakan yang telah disusun meliputi kegiatan pertama, kedua,
ketiga, dan keempat. Setiap pelaksanaan tindakan dalam kegiatan tatap muka
dilakukan observasi. Observasi dilakukan oleh peneliti (penulis) dan teman
sejawat. Sedang yang diobservasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa
maupun guru selama proses pembelajaran berlangsung.
3. Hasil Penelitian dan Refleksi Siklus I
a. Hasil tes Siklus I
Setelah diadakan tes tertulis pemahaman konsep modernisasi pada
siswa dalam pembelajaran Sosiologi diperoleh hasil seperti pada tabel 2, yakni
sebagai berikut:
Tabel 2: Skor persentase aspek pemahaman konsep modernisasi para siswa
dalam pembelajaran Sosiologi dengan pendekatan PBL pada siklus I
No Kategori Skor/nilai Responden Persentase Hasil Klasikal1234567
IstimewaSangat PahamPahamSedangKurangTidak PahamBuruk
91 – 10081 – 9071 – 8061 – 7051 – 6041 – 500 – 40
08248000
0206020000
- Skor rata-rata: 3018/40 = 75,45- Persentase: 75,45- Kategori : Paham- SKBM : 66
Jumlah 40 100Catatan: Skor maksimal aspek pemahaman konsep modernisasi para siswa
100
23
Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat diketahui pada pembelajaran
sosiologi tingkat pemahaman konsep modernisasi para siswa dalam penerapan
model pembelajaran pendekatan PBL, pada siklus I sebagai berikut: Dari 40
siswa yang diteliti, ada 8 siswa yang telah mencapai kategori sangat paham
yang berarti ada sebesar 20%, sedangkan kategori paham sebanyak 24 siswa
atau sebesar 60%. Untuk kategori sedang sebanyak 8 siswa atau sebesar 20%
dan untuk kategori kurang, tidak paham dan buruk tidak ada atau 0%.
Secara klasikal sebagian besar siswa yakni sebanyak 24 siswa atau
60% menempati kategori paham. Dengan menerapkan cara perhitungan yang
telah diuraikan pada bagian teknik analisis data, diperoleh data skor rata-rata
tingkat pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran sosiologi sebesar
75,45. Jika skor maksimal 100, skor rata-rata siswa sebesar 75,45 itu berarti
berada pada kategori paham yang jika dipersentase mencapai 75,45%.
b. Hasil Non tes Siklus I
Hasil non tes mencakup hasil yang diperoleh dari observasi,
wawancara, dan jurnal. Hasil observasi menunjukkan bahwa pembelajaran
sosiologi dengan penerapan pendekatan PBL menunjukkan antusias yang
cukup tinggi bagi siswa, suasana proses pembelajaran tampak hidup dan
kondusif. Siswa lebih aktif dalam mengikuti kegiatan penerapan pendekatan
PBL karena merasa menjadi bagian suatu kesibukan kolektif. Memang ada 5
siswa atau 12,5% yang terekam tampak kurang bersemangat saat proses
diskusi berlangsung sehingga kurang ikut andil dalam kelompok diskusinya.
24
Di samping itu ada 4 siswa atau 10% yang bersikap pasif bahkan acuh tak
acuh atau asal ikut masuk kelas. Namun demikian, sebagian besar siswa yaitu
31 atau 77,5% sangat aktif dan serius dalam mengikuti kegiatan pembelajaran
pendekatan PBL.
Dari wawancara yang ditujukan pada 40 siswa dan diperjelas dengan
hasil pengumpulan angket sederhana bahwa 40 siswa atau 100% menganggap
bahwa pembelajaran sosiologi sangat menarik, ada 31 atau 77,5 % yang
berkesan bahwa guru sosiologi menyenangkan, ada 30 siswa atau 75% yang
menganggap bahwa model pembelajaran dengan pendekatan PBL ini tepat
untuk pembelajaran sosiologi, terutama konsep modernisasi, ada 31 siswa atau
77,5% menganggap bahwa model pembelajaran pendekatan PBL
mempermudah penguasaan konsep modernisasi dalam pembelajaran sosiologi
bagi para siswa, ada 31 siswa atau 77,5% menganggap penerapan pendekatan
PBL dapat meningkatkan semangat belajar. Ada 28 siswa atau 70% yang
menyatakan setuju jika pendekatan PBL ini juga diterapkan pada mata
pelajaran lain. Sedang selebihnya memilih tidak berkomentar.
Dalam jurnal menunjukkan bahwa model pembelajaran pendekatan
PBL disambut baik oleh sebagian besar siswa yaitu 21 siswa atau 52,5% aktif
tanya jawab dalam mendiskusikan permasalahan yang dibahas. Dari sejumlah
siswa yang aktif menanggapi pembahasan dalam diskusi tercatat ada 5 siswa
atau 12,5% yang tergolong istimewa dalam adu argumentasi penerapan
pendekatan PBL bagi pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran
sosiologi untuk siklus I.
25
c. Refleksi Siklus I
Secara umum, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PBL
dapat berlangsung lebih efektif yang ditunjukkan dari hasil tes dan non tes
yang telah dikemukakan di atas. Tetapi kenyataannya masih ada siswa-siswa
walaupun prosentasenya kecil yang tidak ikut terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan yang dilakukan. Kelihatan acuh tak acuh, pasif dalam berdiskusi
adalah beberapa contoh sikap yang ditampilkan oleh beberapa siswa.
Mengapa terjadi demikian? Padahal kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan PBL ini cukup menarik untuk dilakukan? Apakah ada langkah-
langkah yang perlu diperbaiki?. Penulis menemukan dua jawaban sementara,
yaitu pertama: penerapan pendekatan PBL ini baru dilakukan pertama kali
sehingga kemungkinan siswa-siswa belum terbiasa dengan kegiatan yang
membutuhkan keaktifan (menggali masalah, menemukan solusi, dan
sebagainya) sebab mereka sudah biasa menerima materi pelajaran dengan
metode monoton (ceramah, mencatat, dan latihan soal). Kedua, kalau penulis
merujuk pada teori Howard Gardner, yaitu teori kecerdasan Mejemuk
(Multiple Intelligences), yang menyatakan bahwa ada anak-anak yang
memiliki kecerdasan interpersonal yang lemah, sementara kecerdasan
itrapersonalnya kuat. Anak yang kecerdasan interpersonalnya lemah
memiliki kecenderungan tidak bisa bekerja sama dengan lainnya, sementara ia
lebih mampu untuk bekerja sendiri (kecerdasan intrapersonal). Maka anak-
anak seperti ini lebih baik diberi tugas-tugas yang bersifat individual, yakni
26
menyelesaikan sendiri tugas-tugasnya. Dari dua jawaban sementara ini,
penulis akan sedikit merubah tindakan yang akan dilakukan.
C. Deskripsi Hasil Siklus II
1. Perencanaan Tindakan siklus II
Rencana tindakan pada siklus II ini sama dengan rencana tindakan pada
siklus I, namun ada beberapa tambahan tindakan pada siklus II ini, yakni
bagaimana memberikan solusi terhadap beberapa siswa yang tidak aktif dan
‘cuek’ terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Tambahan itu bisa dua
kemungkinan tindakan, yakni: pertama, siswa-siswa yang terekam tidak aktif atau
hanya ‘cuek’ dalam kegiatan pembelajaran dengan pendekatan PBL ini
dikelompokkan tersendiri dengan maksud agar mereka termotivasi untuk
menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada mereka. Perilaku saling
menggantungkan kepada teman lain yang lebih aktif terpaksa harus ditanggalkan,
sebab tidak ada seorang siswa atau lebih yang aktif yang menjadi menjadi tempat
bergantung dalam penyelesaian tugas. Semuanya harus bekerja karena beban
kerja yang harus mereka selesaikan bersama. Kedua, mendasarkan diri pada teori
Multiple Intelligences, dimana kemungkinan siswa-siswa yang tidak terlibat aktif
tersebut adalah siswa-siswa yang memiliki kecenderungan cerdas intrapersonal
(senang bekerja individual) dan lemah dalam interpersonal (kerja sama dengan
teman), maka memberikan tugas kepada siswa-siswa tersebut secara individual
perlu dicoba. Berikan kepada mereka kesempatan untuk bekerja di tempat
27
menyendiri untuk menemukan masalah, melakukan investigasi dan inquari, dan
menemukan solusi atas masalah yang ditemukan.
2. Pelaksanaan Tindakan siklus II
Pelaksanaan tindakan siklus II ini sesuai dengan yang direncanakan pada
perencanaan tindakan di atas. Dua tindakan tambahan tersebut perlu dicoba.
Yakni, tindakan tambahan pertama dilakukan pada pelaksanaan tindakan siklus ke
II ini, sedangkan tindakan tambahan kedua dilakukan pada pelaksanaan tindakan
siklus ke III, dengan catatan kalau pada siklus ke II belum menunjukkan hasil
yang lebih baik dibanding hasil pada siklus I atau kalaupun ada kenaikan belum
maksimal (masih mungkin dapat ditingkatkan lagi).
3. Hasil Penelitian dan Refleksi siklus II
a. Hasil Tes Siklus II
Setelah diadakan tes tertulis pemahaman konsep modernisasi yang
terfokus pada aspek penguasaan konsep modernisasi para siswa dalam
pembelajaran sosiologi, diperoleh hasil sebagai berikut (tabel 3):
Tabel 3: Skor persentase aspek pemahaman konsep modernisasi para siswa dalam pembelajaran Sosiologi dengan pendekatan PBL pada siklus II
No Kategori Skor/nilai Responden Persentase Hasil Klasikal1234567
IstimewaSangat PahamPahamSedangKurangTidak PahamBuruk
91 – 10081 – 9071 – 8061 – 7051 – 6041 – 500 – 40
010255000
025
62,512,5
000
- Skor rata-rata: 3140/40 = 78,5- Persentase: 78,5- Kategori : Paham- SKBM : 66
Jumlah 40 100Catatan: Skor maksimal aspek pemahaman konsep modernisasi para siswa 100
28
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui pada pembelajaran Sosiologi
tingkat pemahaman konsep modernisasi para siswa dalam penerapan model
pembelajaran pendekatan PBL pada siklus II sebagai berikut: Dari 40 siswa
yang diteliti, ada 10 siswa yang telah mencapai kategori sangat paham yang
berarti ada sebesar 25%, sedangkan kategori paham sebanyak 25 siswa atau
sebesar 62,5%. Untuk kategori sedang sebanyak 5 siswa atau sebesar 12,5%
dan untuk kategori kurang, tidak paham dan buruk tidak ada atau 0%.
Secara klasikal sebagian besar siswa yakni sebanyak 25 siswa atau
62,5% menempati kategori paham. Dengan menerapkan cara perhitungan
yang telah diuraikan pada bagian teknik analisis data, diperoleh data skor rata-
rata tingkat pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran sosiologi
sebesar 78,5. Jika skor maksimal 100, skor rata-rata siswa sebesar 78,5 itu
berarti berada pada kategori paham yang jika dipersentase mencapai 78,5%.
b. Hasil Non Tes siklus II
Hasil non tes mencakup hasil yang diperoleh dari observasi,
wawancara, dan jurnal. Hasil observasi menunjukkan bahwa pembelajaran
sosiologi dengan penerapan pendekatan PBL menunjukkan antusias yang
cukup tinggi bagi siswa, suasana proses pembelajaran tampak hidup dan
kondusif. Siswa lebih aktif dalam mengikuti kegiatan penerapan pendekatan
PBL karena merasa menjadi bagian suatu kesibukan kolektif. Masih ada 4
siswa atau 10% yang terekam tampak kurang bersemangat saat proses diskusi
berlangsung sehingga kurang ikut andil dalam kelompok diskusinya. Namun
29
demikian, sebagian besar siswa yaitu 36 atau 90% sangat aktif dan serius
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran pendekatan PBL.
Dari wawancara yang ditujukan pada 40 siswa dan diperjelas dengan
hasil pengumpulan angket sederhana bahwa 40 siswa atau 100% menganggap
bahwa pembelajaran sosiologi sangat menarik, ada 35 atau 87,5 % yang
berkesan bahwa guru sosiologi menyenangkan, ada 35 siswa atau 87,5% yang
menganggap bahwa model pembelajaran dengan pendekatan PBL ini tepat
untuk pembelajaran sosiologi, terutama konsep modernisasi, ada 36 siswa atau
90% menganggap bahwa model pembelajaran pendekatan PBL
mempermudah penguasaan konsep modernisasi dalam pembelajaran sosiologi
bagi para siswa, ada 36 siswa atau 90% menganggap penerapan pendekatan
PBL dapat meningkatkan semangat belajar. Ada 35 siswa atau 87,5% yang
menyatakan setuju jika pendekatan PBL ini juga diterapkan pada mata
pelajaran lain. Sedang selebihnya memilih tidak berkomentar.
Dalam jurnal menunjukkan bahwa model pembelajaran pendekatan
PBL disambut baik oleh sebagian besar siswa yaitu 23 siswa atau 57,5% aktif
tanya jawab dalam mendiskusikan permasalahan yang dibahas. Dari sejumlah
siswa yang aktif menanggapi pembahasan dalam diskusi tercatat ada 7 siswa
atau 17,5% yang tergolong istimewa dalam adu argumentasi penerapan
pendekatan PBL bagi pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran
sosiologi untuk siklus I.
c. Refleksi siklus II
30
Prestasi akademik yang ditunjukkan dari nilai tes mengalami
kenaikan yang cukup signifikan. Demikian juga keaktifan siswa-siswa juga
mengalami kenaikan. Tampaknya, siswa-siswa sudah mulai terbiasa dengan
bekerja sama dalam belajar (kooperatif learning). Walaupun masih ada 4
siswa yang cuek dan tanpak ogah-ogahan dalam melakukan kegiatan diskusi.
Boleh jadi, memang 4 siswa tersebut tidak suka bekerja sama. Secara teoritis,
ada anak-anak yang tidak suka kerja sama, yakni anak-anak yang lemah
kecerdasan interpesonalnya, sementara ia cukup tinggi kecerdasan
intrapersonalnya. Anak seperti ini cenderung lebih mampu belajar mandiri
dibanding dengan kerja sama. Maka ketika ada kegiatan diskusi, anak-anak ini
cenderung diam seperti malas, tetapi kalau ia diberi tugas untuk
menyelesaikan sendiri tugas-tugas, anak-anak ini mampu menyelesaikannya
dengan baik. Penulis akan memberikan tugas secara mandiri kepada 4 siswa
tersebut secara mandiri pada pelaksanaan tindakan siklus ke-3.
D. Deskripsi Hasil Siklus III
1. Perencanaan Tindakan siklus III
Rencana tindakan pada siklus III ini sama dengan rencana tindakan pada
siklus II, namun ada beberapa tambahan tindakan pada siklus III ini, yakni
bagaimana memberikan solusi terhadap 4 siswa yang tidak aktif dan ‘cuek’
terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Empat siswa tersebut akan diberi
perlakuan khusus yaitu memberikan tugas-tugas secara mandiri, mulai dari
mencari masalah, investigasi dan inquiri, memberikan solusi atas masasalah
31
tersebut dan akhirnya mempresentasikan sendiri atau setidaknya menyusun tugas
mandiri (bukan kelompok).
2. Pelaksanaan Tindakan siklus III
Pelaksanaan tindakan siklus III ini sesuai dengan yang direncanakan
pada perencanaan tindakan III di atas.
3. Hasil Penelitian dan Refleksi siklus III
a. Hasil Tes Siklus III
Setelah diadakan tes tertulis pemahaman konsep modernisasi yang
terfokus pada aspek penguasaan konsep modernisasi para siswa dalam
pembelajaran sosiologi, diperoleh hasil sebagai berikut (tabel 3):
Tabel 4: Skor persentase aspek pemahaman konsep modernisasi para siswa dalam pembelajaran Sosiologi dengan pendekatan PBL pada siklus III
No Kategori Skor/nilai Responden Persentase Hasil Klasikal1234567
IstimewaSangat PahamPahamSedangKurangTidak PahamBuruk
91 – 10081 – 9071 – 8061 – 7051 – 6041 – 500 – 40
014242000
035605000
- Skor rata-rata: 3196/40 = 79,9- Persentase: 79,9- Kategori : Paham- SKBM : 66
Jumlah 40 100Catatan: Skor maksimal aspek pemahaman konsep modernisasi para siswa 100
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui pada pembelajaran Sosiologi
tingkat pemahaman konsep modernisasi para siswa dalam penerapan model
pembelajaran pendekatan PBL pada siklus III sebagai berikut: Dari 40 siswa
yang diteliti, ada 14 siswa yang telah mencapai kategori sangat paham yang
berarti ada sebesar 35%, sedangkan kategori paham sebanyak 24 siswa atau
32
sebesar 60%. Untuk kategori sedang sebanyak 2 siswa atau sebesar 5% dan
untuk kategori kurang, tidak paham dan buruk tidak ada atau 0%.
Secara klasikal sebagian besar siswa yakni sebanyak 24 siswa atau
60% menempati kategori paham. Dengan menerapkan cara perhitungan yang
telah diuraikan pada bagian teknik analisis data, diperoleh data skor rata-rata
tingkat pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran sosiologi sebesar
79,9. Jika skor maksimal 100, skor rata-rata siswa sebesar 79,9 itu berarti
berada pada kategori paham yang jika dipersentase mencapai 79,9%.
b. Hasil Non Tes siklus III
Hasil non tes mencakup hasil yang diperoleh dari observasi,
wawancara, dan jurnal. Hasil observasi menunjukkan bahwa pembelajaran
sosiologi dengan penerapan pendekatan PBL menunjukkan antusias yang
cukup tinggi bagi siswa, suasana proses pembelajaran tampak hidup dan
kondusif. Siswa lebih aktif dalam mengikuti kegiatan penerapan pendekatan
PBL karena merasa menjadi bagian suatu kesibukan kolektif. 4 Siswa yang
pada siklus II tidak aktif dalam diskusi, pada siklus ini ternyata dapat
mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik, yakni setelah diberi tugas untuk
melakukan kerja sendiri (individual).
Dari wawancara yang ditujukan pada 40 siswa dan diperjelas dengan
hasil pengumpulan angket sederhana bahwa 40 siswa atau 100% menganggap
bahwa pembelajaran sosiologi sangat menarik, ada 37 atau 92,5 % yang
berkesan bahwa guru sosiologi menyenangkan, ada 36 siswa atau 90% yang
33
menganggap bahwa model pembelajaran dengan pendekatan PBL ini tepat
untuk pembelajaran sosiologi, terutama konsep modernisasi, ada 36 siswa atau
90% menganggap bahwa model pembelajaran pendekatan PBL
mempermudah penguasaan konsep modernisasi dalam pembelajaran sosiologi
bagi para siswa, ada 36 siswa atau 90% menganggap penerapan pendekatan
PBL dapat meningkatkan semangat belajar. Ada 37 siswa atau 92,5% yang
menyatakan setuju jika pendekatan PBL ini juga diterapkan pada mata
pelajaran lain. Sedang selebihnya memilih tidak berkomentar.
Dalam jurnal menunjukkan bahwa model pembelajaran pendekatan
PBL disambut baik oleh sebagian besar siswa yaitu 23 siswa atau 57,5% aktif
tanya jawab dalam mendiskusikan permasalahan yang dibahas. Dari sejumlah
siswa yang aktif menanggapi pembahasan dalam diskusi tercatat ada 7 siswa
atau 17,5% yang tergolong istimewa dalam adu argumentasi penerapan
pendekatan PBL bagi pemahaman konsep modernisasi dalam pembelajaran
sosiologi untuk siklus I.
c. Refleksi siklus III
Prestasi akademik yang ditunjukkan dari nilai tes mengalami
kenaikan yang cukup signifikan. Demikian juga keaktifan siswa-siswa juga
mengalami kenaikan. Tampaknya, siswa-siswa sudah mulai terbiasa dengan
bekerja sama dalam belajar (kooperatif learning). 4 siswa yang masih cuek
dan tampak ogah-ogahan dalam melakukan kegiatan di siklus II, setelah pada
siklus III ini diberikan tugas individual, ternyata mereka bisa menyelesaikan
34
tugasnya itu dengan baik. Benar dugaan penulis bahwa anak-anak tersebut
adalah intrapersonal (cerdas diri) dan lemah dalam interpersonal (kerja sama).
Memang ada anak-anak seperti ini. Mereka tidak boleh dibiarkan begitu saja,
tetapi harus tetap dilayani sesuai dengan jenis kecerdasan yang dimilikinya.
Pendekatan, metode, model apapun tidak ada yang sempurna. Pasti ada anak-
anak yang tidak cocok dengan model atau pendekatan pembelajaran yang
diterapkan. Maka seharusnya guru tidak terlalu mengandalkan satu
pendekatan, metode ataupun model pembelajaran.
E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang diperoleh dari kegiatan tes dan non tes (observasi,
wawancara, dan jurnal) dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Secara umum tampak perbedaan antara penerapan model pembelajaran
konvensional dengan PBL (Problem-Based Learning). Walaupun belum tampak
perubahan yang mencolok, pada siklus 1 sudah menunjukkan peningkatan prestasi
akademik yang dapat dilihat dari hasil tes siswa. Dari sisi lain, ada perubahan
tingkah laku dimana siswa-siswa begitu antusias, aktif, dan mampu baradu
argumentasi. Sehingga secara umum, penerapan PBL di kelas membuat suasana
kelas tambah hidup. Mulai tampak siswa sebagai pusat pembelajaran (siswa
sebagai subyek). Tetapi pada siklus 1 hal ini belum optimal. Dimaklumi, siswa-
siswa belum terbiasa dengan kegiatan yang menuntut keaktifan mereka, karena
sudah dibiasakan hanya mendengarkan, mencatat, diam, dan selesai.
35
2. Pada siklus ke-2 tampak ada perubahan-perubahan yang signifikan baik dari
aspek nilai akademis maupun perubahan-perubahan tingkah laku. Hasil tes
mengalami kenaikan dan terjadi perubahan tingkah laku; keaktifan, antusiasme,
kemampuan berdiskusi. Suasana kelas semakin bertambah semarak dan hidup.
Siswa semakin terbiasa dalam melakukan kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan PBL ini. Sekat-sekat kebiasaan lama yang hanya duduk diam,
mendengarkan, mencatat, tidak berani bertanya sudah mulai runtuh.
3. Walaupun secara umum perubahan-perubahan yang terjadi cukup signifikan,
namun dalam kenyataan masih ada siswa-siswa yang belum tampak aktif, bahkan
terkesan acuh tak acuh, diam, dan seolah tidak berani untuk bersuara. Padahal
pendekatan PBL seharusnya merangsang mereka untuk terlibat aktif. Mengapa
terjadi demikian? Penulis menemukan,yang penulis dasarkan dari teori Howard
Gardner, yakni teori Multiple Intelligences, bahwa ada anak-anak yang lemah
dalam kecerdasan interpersonal tetapi lebih dalam kecerdasan intrapersonal.
Siswa-siswa seperti ini tidak suka atau tidak bisa bekerja sama dalam belajar.
Mereka cenderung menyukai bekerja sendiri. Mereka akan mampu melaksanakan
tugas dengan baik ketika mereka diberi tugas secara mandiri. Maka
bagaimanapun baiknya sebuah pendekatan pembelajaran, tidak akan cocok untuk
semua anak. Guru seharunya menggunakan pendekatan pembelajaran yang
variatif. Namun secara umum, pendekatan PBL merupakan pendekatan alternatif
yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.
36
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berjudul “Aplikasi Pendekatan
Problem-Based Learning (PBL) Dapat Meningkatkan Pembelajaran Sosiologi
pada Kelas XII Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga Tahun Pelajaran 2005 –
2006” dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendekatan Problem-Based Learning (PBL) dapat meningkatkan pembelajaran
Sosiologi kelas XII Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga tahun pelajaran 2005 –
2006 baik dari aspek kognitig, aspek psikomotor, dan aspek afektif.
2. Pendekatan Problem-Based Learning (PBL) yang diterapkan pada kelas XII
Madrasah Aliyah Negeri 2 Salatiga tahun pelajaran 2005 – 2006 juga dapat
menyebabkan perubahan-perubahan tingkah laku yang menyertai peningkatan
pembelajaran, yakni semakin meningkatkan daya kritis siswa dalam menyikapi
problem modernisasi, kepekaan terhadap problem-problem yang terjadi di
masyarakat, kemampuan dalam berargumentasi dan berdiskusi, kemampuan
dalam memberikan solusi atas problem yang terjadi di masyarakat, dan
kemampuan bekerja sama dalam menyelesaikan sebuah masalah.
B. Saran
Berdasarkan temuan dari hasil penelitian tindakan kelas ini dapat
disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
37
1. Guru hendaknya mulai mempelajari berbagai pendekatan pembelajaran yang
efektif yang berbasis teori-teori pembelajaran kontemporer dan berusaha
menerapkannya di dalam kelas dan meninggalkan pendekatan, metode yang tidak
afektif yang hanya mengandalkan ceramah dan mencatat.
2. Problem-Based Learning (PBL) merupakan salah satu contoh pendekatan
pembelajaran yang memberdayakan siswa. Oleh karena itu sangat baik untuk
diaplikasikan di kelas, dengan catatan agar penerapan PBL itu benar-benar
berlangsung efektif diperlukan kreativitas guru, rancangan yang matang, dan
kesungguan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur. 2004. Pedoman Umum Pengembangan Penilaian Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta: Depdiknas Dikdasmen Dikmenum.
Ahmad Munib. 2004. KBK Sebuah Inovasi Kurikulum dalam Pembelajaran. Edukasi
(Jurnal Ilmiah Pendidikan). FIP-UNNES. Edisi Mei – Agustus 2004.
Agus Purwito. 2006. Penerapan Metode Pembelajaran Problem-Based Learning dan
Minat Belajar dalam Pencapaian Kompetensi Dasar Sosiologi. Salatiga:
Tesis S-2 Prodi Teknologi Pendidikan – UNS.
Arnie Fajar. 2002. Portopolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Anies. 2003. Problem-Based Learning. http://www.suara merdeka.com/harian/
0304/28/kha2.html.(28 April 2003).
Anderson. C.W 1992. Strategic Teaching in Science. (Marchia K Pearshall Relevant
Reasearch). Washington: TNSTA.
Asmawi Zainul 2001. Alternative Assesment Applied Approach Mengajar di
Perguruan Tinggi. Buku 2.09, Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Bloom, Menjamin S. 1982. Human Characteristic and School Learning. New York:
McGraw-Hill Book Company.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004. Jakarta: Depdiknas.
Finkle & Torp. 1995. http://www.cotf.edu/ete/teacherout.html
Fred Percival and Herry Ellington alih bahasa Sudjarwo. S. 1988. Teknologi
Pendidikan. Jakarta: Erlangga
39
Hamzah, Upu. 2004. Makalah Workshop Metode-Metode Pembelajaran Problem
Based-Learning. Sulawesi Selatan: Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.
http://www.eudel.edu/pbl
Moleong. J. Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mulyasa. E. 2005. Implementasi Kurikulum 2004, panduan pembelajaran KBfC\
Jakarta: Rosda Karya
Safari. 2004. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Dirken Dikdasmen Rirektorat Tenaga
Kependidikan.
Sutarno. 2002. Pembelajaran Efektif: Upaya Peningkatan Kualitas Lulusan Menuju
Penyediaan Sumber Daya Insani yang Unggul. Pidato Pengukuhan Guru
Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Salatiga: Sebelas Maret University Press.
40