BAB I, TB milier
-
Upload
yasmin-abdullah -
Category
Documents
-
view
157 -
download
14
Transcript of BAB I, TB milier
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasa merupakan lokasi infeksi primer
(PDT, 2008).
TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa.
Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit
TB harus lebih ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut
mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin
akan menjadi positif. Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit
TB (Nastiti, 2005).
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan
merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan kematian yang tinggi. TB milier
merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat penyebaran kuman
M.tuberkulosis dari kompleks primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan
pertama setelah infeksi awal. TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak
kecil, terutama usia dibawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi
makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna
1
sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB
milier dapat terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru
primer yang tidak adekuat atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang
dorman (Nastiti, 2005).
Terjadinya TB milier dipengaruhi 3 faktor yaitu kuman M.TB (jumlah
dan virulensi), status imunologis penderita (non spesifik dan spesifik) dan faktor
lingkungan. Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
menyebabkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi
campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, penggunaan
kortikosteroid jangka lama (Nastiti, 2005).
Tujuan adanya laporan kasus ini adalah untuk membahas diagnosis TB
milier dan penatalaksaannya.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Pada tanggal 27 Februari 2012 datang pasien anak ke Rumah Sakit
Muhammadiyah Lamongan bernama An.Kholifah, usia 4 bulan, jenis kelamin
perempuan, nomor registrasi 02-74-71 beralamat Losari RT.23 RW. 03
Puncanganum-Bojonegoro. Pasien datang karena ibunya mengeluhkan anaknya
panas badan.
Panas badan yang terjadi pada anak tersebut sudah memasuki hari ke-8
dan panas badan naik turun. Panas badan tersebut disertai dengan batuk terus-
menerus yang sudah terjadi lima hari ini. Ibunya juga mengeluhkan kalau anaknya
mencret sejak pagi hari sampai masuk ke rumah sakit Muhammadiyah Lamongan
sebanyak 4 kali dan BAB berbentuk cair, ada ampasnya, berwarna coklat dan
kuning. Nafsu makan juga menurun dan muntah susu disertai lendir sebanyak 1
kali. Keluhan kejang dan pilek tidak dikeluhkan oleh ibunya. Menurut bidan yang
mengantarkan ke IGD RSML pasien anak tersebut terlihat sesak.
Pada bulan Januari anak tersebut pernah dirawat di Rumah Sakit Swasta
di Surabaya selama kurang lebih 24 hari dengan keluhan utama muntah, panas,
mencret dan batuk. Dan menurut dokter yang merawat pada urine anak tersebut
terdapat bakteri/kuman. Anak tersebut juga pernah dirawat di bidan selama 1
minggu karena sesak napas.
3
Riwayat penyakit keluarga ternyata didapatkan neneknya menderita
batuk lama (± 1 tahun) dan didapatkan adanya flek pada parunya serta sudah
melakukan pengobatan selama 6 bulan yang menyebabkan BAK berwarna
kemerahan.
Pemeriksaan fisik pasien anak tersebut didapatkan keadaan umum pasien
cukup dan kesadaran komposmentis. Pada pemeriksaan vital sign; nadi
162x/menit, suhu 38,2°C, laju pernafasan 48x/menit. Pada inspeksi kepala dan
leher tidak didapatkan anemia, ikterus, sianosis tetapi didapatkan dispsneu/sesak
napas dan juga terlihat adanya sariawan (stomatitis) pada mukosa mulutnya.
Inspeksi thorax didapkan bentuk dada simetris dan didapatkan retraksi. Inspeksi
paru didapatkan pergerakan napas simetris, ekspansi normal, seluruh lapang paru
didapatkan suara sonor, pada auskultasi didapatkan suara napas vesikuler pada
kedua lapang paru, tidak ada ronkhi maupun wheezing pada kedua lapang paru.
Pada inspeksi jantung tidak didapatkan kelainan, pada palpasi tidak didapatkan
fremisment/thrill, pada perkusi didapatkan batas jantung dalam batas normal, pada
auskultasi didapatkan S1S2 tunggal, tidak didapatkan murmur maupun gallop.
Pada pemeriksaan fisik abdomen, inspeksi abdomen datar; palpasi supel, tidak ada
nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba; perkusi didapatkan suara timpani, tidak
terdapat shifting dullness; dan pada auskultasi didapatkan bising usus dalam batas
normal. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan ekstremitas hangat, kering,
merah, tidak ada edema, dan tidak dijumpai pteki.
4
Gambar 2.1Anak Kholifah saat di Ruangan
Hasil tes Mantoux yang telah dialakukan didapatkan undurasi dengan
diameter 13x10 mm.
Pada pasien ini juga dilakukan foto thorax dengan hasil soft tissue tidak
didapatkan kelainan, tulang tidak didapatkan kelainan, kedua sinus
phrenicocostalis tajam. Cor besar dan bentuk normal. Pulmo terdapat gambaran
infiltrat milier di kedua lapang paru.
5
Gambar 2.2Foto Polos Thorax pada Tanggal 27-02-2012
Status Gizi pasien ini adalah gizi normal.
TB aktual: 60 cm, BB aktual: 5,5 kg, BB ideal: 5,8 kg.
% status gizi: BB aktual/ BB ideal x 100% = 5,5/5,8 x 100% = 94,8%
6
Gambar 2.3Status Gizi
Pada hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 27 Februari 2012
didapatkan hasil hematokrit adalah 38,7%, hemoglobin adalah 11,8 mg/dl, lekosit
adalah 11.300, dan trombosit adalah 304.000.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, pasien ini didiagnosis TB milier sehingga penatalaksanaan
yang diberikan adalah OAT.
7
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien ini, anak Kholifah, 4 bulan, datang ke rumah sakit
Muhammadiyah Lamongan dengan keluhan panas badan. Dari anamnesis
didapatkan keluhan panas badan, batuk terus-menerus, nafsu makan menurun,
sesak. Nenek pasien menderita batuk lama (± 1 tahun) dan didapatkan adanya flek
pada parunya. Pada pemeriksaan penunjang, yaitu tes mantoux didapatkan hasil
pemeriksaan dengan diameter ≥ 10 mm, dan dari foto thorax didapatkan gambaran
infiltrat milier pada kedua lapangan paru. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa anak
Kholifah menderita TB milier.
Pasien ini mempunyai resiko terinfeksi TB karena nenek pasien
menderita TB yang sudah melakukan pengobatan selama 6 bulan yang
menyebabkan BAK berwarna kemerahan, dimana faktor resiko terjadinya infeksi
TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif
(kontak TB positif). Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius terutama dengan BTA positif. Berarti, bayi
atau anak yang tinggal satu rumah atau kontak dengan penderita TB aktif sputum
positif memiliki resiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi atau anak tersebut
kontak dengan penderita TB aktif semakin berat pula kemungkinan bayi atau anak
tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius. Faktor yang
8
membuat infeksi TB pasien ini menjadi sakit TB adalah umur pasien kurang dari 5
tahun (IDAI, 2010).
Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama
dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji
tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto toraks. Meskipun demikian, sumber
penularan/kontak tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang
seksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan.
Diagnosis pasti TB anak dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB pada pemeriksaan hapusan langsung (direct smear), dan/atau biakan yang
merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), atau gambaran PA TB.
Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang
sedikit pada TB anak dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari
bronkus, sehingga hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
mikrobiologiknya positif atau ditemukan kuman TB. Diagnosis TB tidak dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, atau pemeriksaan
penunjang tunggal, misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu,
analisis kritis perlu dilakukan terhadap sebanyak mungkin fakta untuk
menegakkan diagnosis (IDAI,2010).
Pada pasien anak kholifah tersebut tidak dilakukan pemeriksaan hapusan
langsung (direct smear) dan atau biakan yang merupakan gold standard
dikarenakan sulit dilakukan.
9
Kesulitan menegakkan diagnosis TB anak menyebabkan banyak usaha
membuat pedoman diagnosis dengan sistem scoring dan alur diagnostik, misalnya
pedoman yang dibuat oleh WHO, Stegen dan Jones, dan UKK Respirologi PP
IDAI. Unit alur diagnosis TB anak yang dimuat dalam buku Pedoman Nasional
Penanggulangan TB yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI. Dalam alur
diagnosis tersebut terdapat 10 butir kriteria diagnosis TB anak. Diagnosis kerja
TB anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 14) (IDAI, 2010).
Tabel 3.1
Sistem Skoring Diagnosis TB Anak
Pada pasien ini didapatkan skor 9, yang berasal dari riwayat keluarga,
yaitu nenek dengan BTA positif (3 poin), uji tuberkulin 13x10 mm (3 poin), 10
gambaran foto thorax berupa infiltrat milier di kedua lapang paru (1 poin), batuk ≥
3 minggu (1 poin), dan demam tanpa sebab yang jelas ≥ 2 minggu (1 poin).
Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit
TB, klasifikasi TB yang dibuat oleh American Thoracic Society (ATS) dan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika dapat membantu.
Table 3.2
Klasifikasi Individu Berdasarkan Status Tuberkulosisnya
Kelas Pajanan (kontak dengan pasien TB aktif)
Infeksi (uji tuberculin positif)
Sakit (uji tuberculin, klinis, dan penunjang
positif)0 - - -1 + - -2 + + -3 + + +
(IDAI, 2010)
Dalam klasifikasi ini, pasien ini, termasuk kelas 3 karena kontak dengan
pasien TB aktif positif, pasien terbukti terinfeksi dan sakit TB. Pada kelas 3 perlu
dilakukan pengobatan TB.
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3
macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua
macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps (IDAI,
2007).11
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari,
bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan
setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada
anak adalah panduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase intensif
diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lajutan
hanya diberikan rifampisin dan isoniazid (IDAI, 2007).
Pada TB berat (TB milier, meningitis, dan TB tulang) maka juga
diberikan streptomisin atau ethambutol pada permulaan pengobatan. Jadi pada TB
berat biasanya pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5 obat selama 2 bulan,
kemudian dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 10 bulan lagi atau
lebih, sesuai dengan perkembangan klinisnya. Kalau ada kegagalan karena
resistensi obat, maka obat diganti sesuai dengan hasil uji resistensi, atau tambah
dan ubah kombinasi OAT.
Pasien ini mendapatkan injeksi streptomisin 1x150 mg IM selama 1-2
bulan pertama, prednison 2x1 dengan dosis 10 mg/hari selama 1-2 bulan, hal ini
sesuai dengan dosis OAT pada anak dengan BB 5,5 kg. Dosis anak dengan berat
5,5 kg berkisar 82-220 mg/hari untuk streptomisin, 5,5-11 mg/hari untuk
prednison.
12
Table 3.3
OAT yang Biasa Dipakai dan Dosisnya
Nama Dosis Dosis Harian(mg/kgBB/hari)
Dosis Maksimal
(mg per hari)
Efek Samping
Isoniazid 5-15 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitasRifampisin 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopeni, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinalEtambutol 15-20 1250 Neuritis optic, ketajaman mata berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas,
gastrointestinalStreptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan
obat. Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobaan. Keteraturan menelan
obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan
melaukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed
treatment). Directly Observed Treatment Shortcourse adalah strategi yang telah
direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan
TB,dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan TB
dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi (IDAI,
2007).
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi hasil pengobatan penting karena
diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis/ evaluasi
pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi 13
radiologis, dan evaluasi LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis,
yaitu membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan.
Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan (IDAI, 2007).
Selain evaluasi terhadap hail pengobatan pasien juga perlu kontrol untuk
mengevaluasi efek samping obat. Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitass, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang
perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas (IDAI, 2007).
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kg/hari dan rifampisin yang tidak melebihi 15mg/kg/hari dalam
kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT dan SGPT hingga ≥
5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai dengan gejala,
peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatah SGOT/SGPT
dengan nilai berapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan
muntah (IDAI,2007).
Pada pasien ini sudah dilakukan pemerikasaan faal hepar untuk
mengevaluasi apakah terjadi hepatotoksisitas atau belum. Dari hasil SGOT yang
didapatkan adalah 154 U/L dan SGPT adalah 49 U/L. Keluhan gangguan
gastrointestinal, ruam dan gatal tidak dialami oleh pasien dikarenakan gejala yang
sering dijumpai adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti anoreksia dan
berat badan turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa demam),
demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak napas.
14
TB milier biasanya diawali dengan serangan akut berupa demam tinggi
yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa
hari, tetapi tanda dan gejala penyakit saluran napas belum ada. Demam kemudian
bertambah tinggi suhunya dan berlangsung terus menerus/kontinyu, tanpa disertai
gejala saluran napas atau disertai gejala minimal, dan rontgen paru biasanya masih
normal. Beberapa minggu kemudian, pada hampir di semua organ, terbentuk
tuberkel difus multipel, terutama di paru, limpa, hati, dan sumsum tulang. Gejala
klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti
batuk dan sesak napas disertai ronkhi atau mengi. Dapat juga terjadi gangguan
fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok. Gejala lain yang dapat ditemukan
adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura.
Tuberkel koroid jika ditemukan lebih dini dapat merupakan tanda yang sangat
spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier (Nastiti, 2005).
Sedangkan edukasi yang dapat diberikan kepada keluarga adalah untuk
melakukan pengawangasan selama anak minum obat. Karena ketidakteraturan
dalam menelan obat dapat mengakibatkan terjadinya multidrug resistance TB.
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat
tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi (IDAI,
2007). Selain itu edukasi yang dapat kita samapaikan kepada keluarga adalah
tentang sakit, penyebab, penatalaksanaan, dan prognosis penyakit pasien;
pengobatan TB mempunyai jangka waktu yang cukup lama (6 bulan); keteraturan
minum OAT dan harus diawasi saat anak minum obat; OAT yang diberikan
diminum tiap hari; bila tidak minum OAT lebih dari 2 minggu, maka harus
15
mengulang dari pengobatan dari awal dan resiko resistensi meningkat, pasien
harus rajin kontrol untuk mengevaluasi keberhasilan terapi dan efek samping obat;
cairan tubuh anak akan berwarna oranye kemerahan.
Gambar 3.1Foto Polos Thorax pada Tanggal 07 Maret 2012
16
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien anak Kholifah 4 bulan dengan diagnosis TB milier. Diagnosis ini
ditegakkan dengan sistem skoring TB, yaitu dari anamnesis didapatkan keluhan
panas badan, batuk terus-menerus, dahak tidak keluar, sesak, dan demam lama
tanpa sebab yang jelas. Nenek pasien menderita TB paru ± 1 tahun dan sudah
melakukan pengobatan selama 6 bulan yang menyebabkan BAK berwarna
kemerahan. Pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan penunjang, yaitu tes mantoux didapatkan hasil pemeriksaan dengan
diameter 13x10 mm, dan dari foto thorax didapatkan hasil adanya gambaran
infiltrat milier di kedua lapang paru.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.
IDAI.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010. Respirologi Anak. IDAI.
3. Pedoman Diagnostik dan Terapi, 2008
4. Nastiti, Rahajoe, 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta
18