BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... ·...

11
1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Manusia secara individu seringkali melihat dirinya secara takjub dengan apa yang telah, sedang atau apa yang akan dilakukannya. Kagum dengan bakat yang dimiliki, jejaring yang dibangun, hasil karya dan pemikiranpemikiran yang diciptanya, ideologi yang diperjuangkan, adat dan kepercayaan yang diimani, serta nilai dan komunitas yang dihidupi. Kadangkala kekaguman atas kehidupannya membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk sosial, yang mana keberadaan dirinya merupakan bagian dari bentukan komunitas tertentu, juga dipengaruhi oleh komunitas lain yang terhubung secara langsung atau tidak dengan kehidupannya. Kita pun tak luput dari hal tersebut. Keberadaan kita sebagai makhluk sosial menunjukkan bahwa tanpa orang lain kita bukanlah apaapa. Kita memerlukan bantuan orang lain untuk menuntaskan apa yang sedang kita perjuangkan dalam kehidupan ini. Bahkan kita sadari atau tidak, kadang perjuangan hidup orang lain kita jadikan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup kita, supaya kita dapat tetap berdiri teguh sebagai manusia yang beradab. Itulah hakikat manusia untuk terus berjuang menunjukkan eksistensi diri dan mendapatkan pengakuan. Sayangnya hal tersebut sering membuat kita tidak peka terhadap sekitar kita, bahkan acuh dan tak peduli atas eksistensi kehidupan orang lain. Lebih dalam lagi, ketidakpedulian pada lingkungan sekitar dan eksistensi hidup orang lain dilakukan disertai dengan membangun tembok yang tinggi, guna membatasi ruang gerak orang lain supaya tidak mengganggu kehidupan kita, baik personal maupun komunal. Apalagi bila kita memiliki perbedaan latar belakang suku, adat, kebudayaan, agama ataupun iman dan kepercayaan dengan mereka. Perbedaan latar belakang tersebut kadangkala semakin memperkokoh temboktembok yang kita bangun mengelilingi komunitas atau kelompok kita, untuk melindungi kita dari pengaruh luar. Padahal temboktembok tersebut justru semakin membuat kita tidak mengenal sesama kita yang berada di luar komunitas kita. Lebih lanjut, kita menjadi semakin tertutup dan sulit membangun kepercayaan dengan lingkungan sekitar kita. Tidak hanya sulit membangun kepercayaan, bahkan bisa jadi kita menjalani hidup tanpa didasari dengan kepercayaan pada lingkungan dan masyarakat di mana kita hidup dan tinggal di dalamnya. Hal ini menjadi makin parah, ketika makin banyak orang TIDAK ADA BAB 5

Transcript of BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... ·...

Page 1: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Permasalahan

A.1. Latar Belakang

Manusia secara individu seringkali melihat dirinya secara takjub dengan apa yang telah, sedang

atau apa yang akan dilakukannya. Kagum dengan bakat yang dimiliki, jejaring yang dibangun,

hasil karya dan pemikiran–pemikiran yang diciptanya, ideologi yang diperjuangkan, adat dan

kepercayaan yang diimani, serta nilai dan komunitas yang dihidupi. Kadangkala kekaguman atas

kehidupannya membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk sosial, yang mana

keberadaan dirinya merupakan bagian dari bentukan komunitas tertentu, juga dipengaruhi oleh

komunitas lain yang terhubung secara langsung atau tidak dengan kehidupannya. Kita pun tak

luput dari hal tersebut. Keberadaan kita sebagai makhluk sosial menunjukkan bahwa tanpa orang

lain kita bukanlah apa–apa. Kita memerlukan bantuan orang lain untuk menuntaskan apa yang

sedang kita perjuangkan dalam kehidupan ini. Bahkan kita sadari atau tidak, kadang perjuangan

hidup orang lain kita jadikan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup kita, supaya kita dapat

tetap berdiri teguh sebagai manusia yang beradab.

Itulah hakikat manusia untuk terus berjuang menunjukkan eksistensi diri dan mendapatkan

pengakuan. Sayangnya hal tersebut sering membuat kita tidak peka terhadap sekitar kita, bahkan

acuh dan tak peduli atas eksistensi kehidupan orang lain. Lebih dalam lagi, ketidakpedulian pada

lingkungan sekitar dan eksistensi hidup orang lain dilakukan disertai dengan membangun

tembok yang tinggi, guna membatasi ruang gerak orang lain supaya tidak mengganggu

kehidupan kita, baik personal maupun komunal. Apalagi bila kita memiliki perbedaan latar

belakang suku, adat, kebudayaan, agama ataupun iman dan kepercayaan dengan mereka.

Perbedaan latar belakang tersebut kadangkala semakin memperkokoh tembok–tembok yang kita

bangun mengelilingi komunitas atau kelompok kita, untuk melindungi kita dari pengaruh luar.

Padahal tembok–tembok tersebut justru semakin membuat kita tidak mengenal sesama kita yang

berada di luar komunitas kita.

Lebih lanjut, kita menjadi semakin tertutup dan sulit membangun kepercayaan dengan

lingkungan sekitar kita. Tidak hanya sulit membangun kepercayaan, bahkan bisa jadi kita

menjalani hidup tanpa didasari dengan kepercayaan pada lingkungan dan masyarakat di mana

kita hidup dan tinggal di dalamnya. Hal ini menjadi makin parah, ketika makin banyak orang

TIDAK ADA BAB 5

Page 2: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

2

yang merasa perlu membangun kelompok–kelompok yang berlatar belakang sama. Kemudian

memperkuat ideologi masing–masing dan semakin anti terhadap orang–orang yang berada di

luar komunitasnya. Padahal hal–hal tersebut dapat membutakan mata kita terhadap nilai–nilai

kehidupan berdasarkan kebijaksanaan lokal yang memperhitungkan aspek–aspek kosmik dan

kosmos. Hal tersebut juga dapat menulikan telinga kita terhadap suara–suara kenabian atas nilai–

nilai kemanusiaan dan kebaikan yang berasal dari luar komunitas kita. Dengan demikian, kita

menjadi tidak pernah mengenal, melihat dan mendengar orang–orang di luar komunitas kita

dengan jernih. Terlebih pada orang–orang yang tidak memiliki komunitas, yang tidak pernah

diperhitungkan keberadaannya di komunitas manapun. Sehingga, eksistensi hidup mereka pun

juga akan semakin menghilang.

Begitu pula dengan umat Kristiani di negara Indonesia yang sangat plural ini. Tidak dapat

diingkari bahwa ada umat Kristiani yang membangun tembok–tembok tinggi dan kokoh dalam

komunitas Gerejanya masing–masing. Sehingga muncul komunitas dari Gereja–Gereja yang

berusaha membangun diri lebih baik dari orang–orang di luar Gereja. Gereja yang demikian

menjadi semakin tertutup, menjadi antipati terhadap orang–orang di luar Gereja bahkan bisa jadi

anti untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Sayangnya, makin tinggi

dan kokoh tembok yang dibangun, justru semakin dipenuhi dengan ketakutan, ketidakpercayaan

dan kecurigaan terhadap orang–orang di luar Gereja. Padahal sebagai makhluk sosial, kehidupan

kita tidak dapat dibatasi oleh tembok–tembok agama, suku, budaya, adat dan ideologi–ideologi

tertentu. Kehidupan manusia lebih luas dari itu semua. Perjuangan atas nilai–nilai kemanusiaan

dan kebaikan memiliki nilai lebih berharga dan bermakna dari pada tembok–tembok perbedaan

yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

perbedaan itulah yang menunjukkan bagaimana manusia beradab, manusia yang tidak

kehilangan eksistensi dirinya sebagai manusia yang merdeka.

Penulis menyadari bahwa fenomena tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita di Indonesia.

Fenomena tersebut secara langsung atau tidak langsung juga akan mempengaruhi spiritualitas

kehidupan kita sebagai umat Kristiani dan mempengaruhi kita dalam membaca serta memahami

teks Kitab Suci. Oleh karena itu, kita perlu untuk menggumuli iman kita kepada Tuhan secara

kontekstual, yakni dengan melibatkan pengalaman dan konteks hidup kita di samping melakukan

pembacaan Kitab Suci dan penghayatan terhadap tradisi–tradisi Kekristenan.

Berangkat dari hal tersebut, penulis melihat bahwa konsep yang diusung oleh teologi

pembebasan dapat membantu kita untuk menghayati iman kita di tengah–tengah kehidupan ini.

TIDAK ADA BAB 5

Page 3: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

3

Mengapa penulis menggunakan teologi pembebasan dalam melakukan penelitian ini? Penelitian

ini dilakukan karena teologi pembebasan memiliki fokus pada perjuangan pembebasan bagi

orang–orang yang tertindas dan tereksploitasi. Mereka biasanya adalah orang–orang yang ada di

luar komunitas–komunitas eksklusif yakni orang–orang yang tidak memiliki komunitas apapun,

bahkan orang–orang yang tidak diperhitungkan sama sekali dalam komunitas manapun. Dengan

demikian, penulis berharap melalui teologi pembebasan dapat membantu untuk melihat hal–hal

yang berada di luar tembok–tembok perbedaan yang ada. Di mana orang–orang yang tertindas

dan tereksploitasi inilah biasanya yang ada di luar tembok–tembok tersebut, sebab keberadaan

mereka yang miskin, sekarat, menderita entah karena masa lalu mereka atau karena lingkungan

sekitar yang menjaga mereka tetap berada di luar tembok, menjadikan mereka tetap miskin, tak

terlindung dan lemah.

Hal ini penting dan menarik bagi penulis sendiri. Penulis menyadari jika selama ini penulis juga

hidup berbatasan dengan tembok–tembok agama, suku, budaya bahkan juga tembok–tembok

yang membatasi manusia dalam kelas–kelas ekonomi, sosial dan politik, meski batasan itu tidak

terlalu kaku namun masih terlihat cukup jelas batasan yang memisahkan satu dengan lainnya.

Oleh sebab itu, penulis akan membaca teks Kitab Suci melalui teologi pembebasan, hal tersebut

penulis lakukan dalam upaya untuk dapat menggali teks Kitab Suci tanpa terlepas dari teologi

yang kontekstual. Sebagaimana yang diperkenalkan oleh Stephen B. Bevans dengan keenam

model teologi kontekstual, yaitu model terjemahan, model antropologis, model praksis, model

sintesis, model transendental dan model budaya tandingan. Model–model teologi kontekstual

yang diusung Bevans tersebut didasarkan pada pengalaman, kebudayaan, perubahan budaya,

konteks sosial dan juga amanat Injil serta tradisi1.

Dari keenam model tersebut, model praksis adalah model yang paling mendekati dengan konsep

teologi pembebasan. Model praksis mengawali langkah dengan melakukan tindakan yang penuh

komitmen, dilanjutkan dengan refleksi yang berdasarkan pada analisis terhadap konteks sosial

disertai dengan peninjauan terhadap Kitab Suci dan tradisi, lalu terus bergerak hingga pada tahap

aksi. Tidak berhenti sampai di sini melainkan kembali melakukan refleksi menuju pada aksi dan

begitu seterusnya.2 Model praksis dengan pergerakkannya yang dinamis dan terus berkelanjutan

antara aksi dan refleksi mencakup serta di dalamnya teologi pembebasan, yang juga bergerak

berlandaskan aksi–refleksi. Model praksis beserta di dalamnya teologi pembebasan sama–sama

bertujuan untuk terjadinya perubahan sosial.

1 Stephen B. Bevans, Model – Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), h.59.

2 Stephen B. Bevans, Model – Model Teologi Kontekstual, h.139.

TIDAK ADA BAB 5

Page 4: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

4

Ada tokoh–tokoh yang mewarnai tiap model dalam model–model teologi kontekstual. Pada

model praksis, khususnya pada tema teologi pembebasan. Penulis akan menggunakan gagasan

yang diusung oleh tokoh Gustavo Gutiérrez, seorang teolog pembebasan berlatar belakang

konteks Amerika Latin dan Aloysius Pieris, seorang teolog pembebasan yang berlatar belakang

konteks Asia. Gagasan–gagasan yang diusung oleh kedua teolog pembebasan tersebut akan

dipakai penulis sebagai rekan dialog dalam membaca teks 1 Raja–Raja17:7–24. Teori kedua

tokoh teolog pembebasan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab dua.

Selain dua tokoh di atas, penulis juga akan berdialog dengan gagasan yang dikemukakan oleh

Marcella Althaus-Reid dan Mercy Amba Oduyoye. Kedua tokoh tersebut mengkaji konteks

sosial dan budaya atas orang–orang yang menderita dan tak diperhitungkan, dengan

berintisarikan pada teologi pembebasan.

Altheus-Reid mengemukakan gagasannya melalui tulisannya berjudul The Bible of the

Fracasados: Readings from the Excluded. Altheus-Reid berangkat dari konteks sosial Amerika

Latin, di mana banyak sekali orang–orang yang mengalami kemiskinan yang dahsyat, hingga

mengakibatkan berbagai krisis multidimensi yang harus ditanggung oleh orang–orang miskin

tersebut. Orang–orang miskin tersebut sering mengalami penolakan bahkan dianggap tidak dapat

diterima di dalam masyarakat. Mereka ini disebut dengan fracasados.3 Altheus-Reid berangkat

dari konteks sosial tersebut yaitu dengan membaca orang–orang dalam konteks yang nyata

terjadi saat ini di Amerika Latin untuk memahami Kitab Suci4. Melalui fracasados, Altheus-Reid

melihat secara mendalam bagaimana mereka melakukan pembacaan Kitab Suci dalam

penghayatan iman mereka kepada Yesus Kristus.

Altheus-Reid menunjukkan beberapa hal yang dilakukan oleh fracasados dalam membaca Kitab

Suci, di antaranya ialah dengan memotong–motong sebagian teks Kitab Suci kemudian

mencampurkannya pada secangkir teh dan meminumnya. Mereka memilih teks yang dianggap

menyentuh kehidupannya secara nyata, serta mereka meyakini bahwa hal tersebut dianggap

mampu berdampak pada kehidupan mereka dengan memberikan kekuatan dan perlindungan atas

diri mereka dari kekuatan jahat yang hendak menghancurkan kehidupan mereka. Misalnya,

3 Marcella Althaus-Reid, 2003, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, Ed. by Mercy Amba Oduyoye& Hendrik M. Vroom, (Amsterdam: Rodopi B.V, 2003), h.204.

4 Marcella Althaus-Reid, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.199.

TIDAK ADA BAB 5

Page 5: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

5

menjauhkan dari para polisi yang akan menggusur tempat tinggal mereka.5 Selain itu mereka

juga menggunakan simbol–simbol populer untuk membantu memahami teks Kitab Suci,

misalnya dengan mengganti tokoh Samson dengan Lord San Son. Tokoh yang mereka gunakan

adalah tokoh yang dianggap dapat menguatkan mereka dan yang memiliki kemiripan dengan

konteks kehidupan mereka, meski demikian mereka tetap berdoa kepada Yesus Kristus.6

Altheus-Reid memulai dengan melihat konteks nyata, lalu melakukan identifikasi elemen–

elemen kunci atas pokok–pokok kebudayaan dan spiritualitas mereka. Mereka menghidupi iman

mereka kepada Tuhan dengan cara melakukan tindakan yang mencerminkan kehidupan nyata

mereka dalam membaca teks Kitab Suci. Bisa jadi apa yang dilakukan itu merupakan suatu

tindakan yang sangat sederhana, mengandung makna dan harapan begitu dalam kepada Kristus

untuk mengayomi kehidupan mereka yang sangat dekat dengan penderitaan dan kematian. Justru

melalui cara membaca teks Kitab Suci yang berbeda tersebut mereka mengalami pembebasan,

dalam arti bahwa mereka tidak memahami Kitab Suci dari bentukan atau cara pihak lain

memahaminya. Fracasados berani berdiri sendiri dalam upayanya menghayati Kristus melalui

pembacaan dan pengalaman kehidupan mereka sehari–hari meski sedikit kesempatan untuk

mendapat pengakuan dan tempat dalam masyarakat.

Sedangkan tokoh yang seorang lagi, yaitu Mercy Amba Oduyoye melalui tulisannya berjudul

African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective

mengangkat konteks kehidupan keafrikaannya terkait dengan Kekristenan yang dibawa masuk

oleh misionaris Eropa. Oduyoye mengungkapkan bahwa Kekristenan yang dibawa oleh para

misionaris tidaklah murni mengabarkan Berita Sukacita bagi orang–orang pribumi Afrika,

melainkan Kekristenan yang diboncengi dengan upaya–upaya memasukkan budaya Barat.

Sehingga nilai–nilai yang dimasukkan oleh misionaris Eropa lebih banyak nilai–nilai

kebudayaan Barat dari pada Berita Sukacita yang menjadi inti dari Kekristenan itu sendiri.

Misalnya, penghapusan dan pelarangan poligami yang dilakukan oleh para misionaris melalui

Gereja–Gereja. Padahal dalam kebudayaan Afrika, orang Afrika sangat menghargai kesakralan

dan keutuhan keluarga dengan banyak istri dan banyak anak. Adanya penghapusan dan larangan

poligami, membuat banyak keluarga di Afrika terpecah. Banyak perempuan menjadi janda dan

menjadi orang tua tunggal. Padahal posisi perempuan yang telah menjadi janda secara sosial dan

5 Marcella Althaus-Reid, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.210.

6 Marcella Althaus-Reid, “The Bible of the Fracasados: Readings from the Excluded”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.216.

TIDAK ADA BAB 5

Page 6: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

6

politik semakin lemah, sehingga kaum perempuan makin termarginalkan tanpa bisa

mengungkapkan protes dan argumen mereka. Hal ini diperparah dengan paham feminisme yang

dimasukkan oleh para perempuan dari Eropa. Di mana perempuan–perempuan ini mengajarkan

dan menunjukkan apa yang seharusnya para perempuan Afrika lakukan, misalnya dengan tidak

melakukan poligami. Hal tersebut diajarkan kepada para perempuan Afrika tanpa terlebih dahulu

membuka dialog dan mendengar pendapat dari para perempuan Afrika dalam konteks keafrikaan

mereka.7

Apa yang dilakukan oleh para misionaris tersebut menimbulkan konflik dengan kebudayaan

setempat. Konflik tersebut justru tidak terjadi antara nilai–nilai Kristiani yang diperkenalkan

dengan masyarakat Afrika, melainkan konflik terjadi antara budaya setempat dengan budaya

barat yang dibawa masuk oleh para misionaris.8 Oduyoye menilai bahwa inkulturasi yang

dilakukan oleh misionaris Eropa seharusnya dapat membawa Berita Sukacita dalam Kitab Suci

menjadi berita yang benar–benar membawa sukacita bagi orang–orang Afrika bila inkulturasi

dilakukan dengan penuh penghormatan terhadap hak asasi manusia, menyatakan keadilan dan

menghargai emansipasi wanita serta mengakui eksistensi orang–orang yang tertindas, bukan

justru menindas dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, inkulturasi dilakukan tanpa

dilepaskan dari konteks budaya setempat, supaya pengabaran Berita Sukacita tetap menjadi

berita yang membawa sukacita yang membebaskan bagi orang–orang Afrika.

Oduyoye menyatakan bahwa dialog dan komunikasi dengan budaya setempat tidak dapat

dielakkan dalam suatu proses inkulturasi, di samping itu juga perlu melihat konteks masyarakat

setempat secara holistik termasuk juga dengan keberadaan kaum perempuan. Sebab perempuan

memiliki nilai dan peranan penting dalam masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh

perempuan Afrika dalam menghadapi situasi yang tidak menguntungkan seperti di atas. Para

perempuan Afrika dengan kreatif dan berani menggunakan simbol–simbol, ritual, drama dan

perayaan untuk menghayati dan mengekspresikan Injil, sehingga Injil dapat dihayati dalam

berbagai bentuk ekspresi dengan media–media yang ada. Hal tersebut menunjukkan bahwa

perempuan memiliki cara hermeneutik sendiri yang berbeda namun mampu mentransformasi

7 Mercy Amba Oduyoye, “African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h. 55 -56.

8 Mercy Amba Oduyoye, “African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.42.

TIDAK ADA BAB 5

Page 7: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

7

nilai–nilai Kekristenan pada budaya Afrika, sehingga mereka mengalami inkulturasi yang benar–

benar membebaskan.9

Sebagaimana Altheus-Reid dan Oduyoye, penulis akan melakukan penelitian dengan nilai–nilai

yang terkandung dalam teologi pembebasan. Penulis tidak meninjau secara langsung konteks

sosial dan budaya pada masyarakat tertentu sebagaimana kedua tokoh tersebut, melainkan lebih

berfokus langsung kepada teks meskipun juga akan bersinggungan dengan konteks sosial di

Indonesia. Teks yang akan penulis teliti adalah salah satu teks yang ada dalam Perjanjian Lama.

Pada teks Perjanjian Lama banyak diwarnai oleh kisah–kisah “pembuangan”. Pembuangan

dalam sejarah bangsa Israel oleh bangsa Asyur pada 722 SM dan oleh bangsa Babel pada 586

SM. Jauh sebelum itu, telah ada kisah “pembuangan” yang dialami oleh orang–orang pilihan

Allah, yaitu “pembuangan” dalam arti harus keluar dari wilayah atau tempat tinggalnya menuju

ke wilayah yang sama sekali asing baginya, dengan penuh kesadaran untuk diutus Allah.

Misalnya, “pembuangan” Abraham yaitu Abraham mematuhi perintah Allah untuk pergi dari

negerinya menuju negeri yang sama sekali belum diketahuinya. Dari seluruh kisah

“pembuangan” yang tertulis dalam Perjanjian Lama, penulis tertarik dengan kisah

“pembuangan” nabi Elia dalam teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 untuk kemudian dibahas dalam

penelitian ini.

1 Raja–Raja 17: 7–24 berisi tentang kisah nabi Elia yang mengalami “pembuangan” yakni nabi

Elia diutus oleh Allah untuk pergi dari sungai Kerit ke Sarfat, wilayah Sidon yang berada di luar

wilayah tempat tinggalnya. Kepatuhan nabi Elia kepada Allah, membawa nabi Elia pergi dari

tempat tinggalnya, tercabut dari kebiasaan dan kehidupannya untuk ditempatkan pada konteks

kehidupan yang berbeda sama sekali. Dari sini, nabi Elia kemudian bertemu dengan seorang

perempuan yaitu seorang janda yang miskin di Sarfat. Kedua tokoh dalam teks tersebut, yaitu

nabi Elia dan janda miskin di Sarfat, memiliki latar belakang konteks sosio-budaya yang

berbeda, juga iman dan kepercayaan yang berbeda pula. Akan tetapi ada kesamaan di antara

keduanya yaitu keduanya menderita kelaparan. Nabi Elia dalam pelariannya tanpa bekal apapun

mengalami kelaparan. Demikian juga dengan janda tersebut, yang dalam kemiskinannya hanya

memiliki sedikit tepung terakhir dan sedikit minyak bagi dirinya dan anaknya. Kemudian setelah

tepung dan minyak terakhir itu habis, maka janda tersebut dan anaknya akan mati.

9 Mercy Amba Oduyoye, “African Culture and the Gospel: Inculturation from an African Woman’s Perspective”, dalam One Gospel – Many Cultures: Case studies and Reflections on Cross-Cultural Theology, h.60.

TIDAK ADA BAB 5

Page 8: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

8

Pertemuan kedua tokoh yang sama–sama mengalami kelaparan tersebut menarik bagi penulis.

Justru dalam berbagai keterbatasan yang ada sekaligus perbedaan yang melatarbelakangi

keduanya, menjadikan kedua tokoh tersebut saling menolong seorang akan yang lain hingga

keduanya mampu untuk melanjutkan hidup. Kisah ini terasa dekat dengan konteks kehidupan di

Indonesia yang kental dengan penderitaan dan kemiskinan sekaligus memiliki masyarakat yang

plural dengan berbagai macam adat, budaya dan iman kepercayaan. Tampaknya kisah pada teks

1 Raja–Raja 17: 7–24 akan menarik dan semakin memperkaya makna bila dibaca melalui

perspektif teologi pembebasan yang banyak mengajarkan akan perjuangan bagi orang–orang

yang menderita demi kebebasan dan kelanjutan hidup.

A.2 Rumusan Pertanyaan Skripsi

Melihat latar belakang yang telah penulis utarakan di atas, maka rumusan pertanyaan dalam

skripsi ini ialah:

- Nilai–nilai dan praksis liberatif seperti apakah yang digaungkan oleh teks 1 Raja–Raja

17:7–24?

- Pemerkayaan seperti apa yang muncul apabila teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 dibaca

melalui perspektif teologi pembebasan?

B. Judul Skripsi

Orang Lapar yang Saling Membebaskan :

Tinjauan Teologis atas 1 Raja–Raja 17: 7–24 dari Perspektif Teologi Pembebasan

C. Tujuan Penulisan Skripsi

Penulis menggunakan teologi pembebasan sebagai lensa dalam membaca teks, sebab teologi

pembebasan memiliki fokus terhadap suara–suara dari ‘pinggir’, yakni suara–suara yang hampir

tidak terdengar bahkan mungkin sengaja tidak didengar karena suara mayor yang mendominasi.

Mengapa suara dari ‘pinggir’ tersebut menjadi penting? Sebab orang–orang pinggir melakukan

perjuangan yang hebat untuk hidup. Orang–orang pinggir adalah orang–orang dengan jumlah

mayoritas, keberadaan mereka jauh lebih banyak dari pada kaum elitis dan orang–orang kaya.

TIDAK ADA BAB 5

Page 9: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

9

Mereka adalah orang–orang yang berada dalam berbagai keterbatasan terutama keterbatasan

sistem yang membuat suara mereka semakin tidak terdengar. Orang–orang pinggir berjuang

untuk melawan mental miskin, sebab miskin adalah dosa, baik itu pemiskinan ataupun tanpa

upaya membiarkan dirinya dimiskinkan. Dalam kehidupan nyata, suara–suara dari ‘pinggir’ itu

tampak dari orang–orang miskin yang keberadaannya tidak diperhitungkan dalam masyarakat

secara umum, mereka adalah orang–orang yang tertindas dan tereksploitasi, sehingga seringkali

suara yang terdengar adalah suara–suara dari kaum elitis. Demikian juga dalam teks Kitab Suci,

seringkali suara yang muncul dan diulas mendalam adalah suara kaum elitis, misalnya tentang

raja Daud, raja Salomo dan sebagainya.

Maka, tujuan dari penulisan skripsi ini ialah bahwa penelitian yang dilakukan penulis dapat

menjadi salah satu alternatif dalam memunculkan suara–suara dari ‘pinggir’ pada pembacaan

teks Kitab Suci, khususnya teks 1 Raja–Raja 17: 7–24. Selain itu, alternatif tersebut bisa

digunakan dalam melihat konteks di Indonesia, di mana banyak sekali orang–orang ‘pinggir’

yang tidak mampu menyuarakan suaranya. Sehingga, alternatif tersebut dapat dijadikan model

dalam pembacaan Kitab Suci sekaligus dalam melihat konteks kehidupan di Indonesia.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam melakukan pembacaan teks 1 Raja–Raja17:7–24

ialah membaca teks dengan menggunakan perspektif dari teologi pembebasan. Tentu metode

yang penulis pilih ini tidak terlepas dari kekurangan–kekurangan di samping kelebihan yang

membuat metode ini layak dipakai dalam menafsir sebuah teks. Metode ini tidak dapat berdiri

sendiri, ia tidak dapat digunakan hanya dengan menggunakan teori yang dipilih itu saja. Menurut

penulis, hal ini menjadi kekurangan sekaligus juga menjadi kelebihan dari metode ini. Menjadi

kekurangan sebab dalam menggunakan teologi pembebasan sebagai teori yang dipilih dalam

metode tersebut, perlu bantuan dari disiplin ilmu lainnya dan juga dari metode–metode tafsir

lainnya. Misalnya dalam proses pembacaan teks dengan menggunakan perspektif dari teologi

pembebasan, pada saat itu juga diperlukan pandangan–pandangan dari disiplin ilmu lain seperti

ilmu sosial dan politik, serta dibutuhkan juga metode historis kritis, narasi dan lainnya untuk

membantu menafsirkan teks. Dengan banyaknya bantuan dari disiplin ilmu lain dan metode tafsir

lain, penulis lihat dapat memunculkan berbagai kemungkinan–kemungkinan lain atas teks yang

diteliti. Di sinilah letak kelebihan dari metode tersebut, yaitu dapat memperkaya nilai dan makna

TIDAK ADA BAB 5

Page 10: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

10

dari teks terkait meskipun tidak menutup kemungkinan terhadap munculnya sanggahan–

sanggahan yang dapat merevisi dan memperdalam kajian atas teks yang diteliti.

Dalam proses penafsiran yang menggunakan perspektif teologi pembebasan, diperlukan pula

wawasan yang luas terkait dengan konteks teks dan konteks hidup masa kini, supaya penafsiran

yang dihasilkan bukanlah penafsiran yang naif serta tujuan semula dari penelitian ini tercapai,

yakni menjadi salah satu alternatif dalam memunculkan suara–suara dari ‘pinggir’ pada

pembacaan Kitab Suci. Itulah mengapa pembacaan teks Kitab Suci dengan menggunakan lensa

tertentu menurut penulis adalah sesuatu yang menarik. Membaca teks menjadi lebih bergairah

karena tidak hanya menggunakan satu sudut pandang dari satu disiplin ilmu saja atau satu

metode tafsir saja.

Penulis juga menyadari ketika melakukan pembacaan teks Kitab Suci dengan menggunakan

metode ini perlu waspada supaya lensa yang digunakan untuk membaca teks tidak mendominasi

dan memaksakan kehendak pada teks yang dibaca. Lensa yang digunakan dalam metode ini

merupakan alat untuk membantu membaca teks guna memperkaya makna yang dimunculkan

oleh teks dari sudut pandang yang lain, sehingga bukan lensanya yang menjadi fokus utama

melainkan teks Kitab Sucinya. Selain mengupayakan supaya lensa yang dipakai tidak

mendominasi dan memaksakan kehendak atas teks Kitab Suci yang dibaca. Penulis menyadari

bahwa pembaca teks yang menggunakan metode pembacaan teks Kitab Suci dari lensa tertentu

perlu juga untuk menjaga agar disiplin ilmu lain yang dipakai untuk menunjang metode tersebut

tidak membuat pembacaan teks Kitab Suci terlalu melebar ke arah disiplin ilmu tertentu, karena

tanpa disadari dapat memaksakan kehendak atas teks Kitab Suci dalam memunculkan nilai dan

makna yang terkandung di dalamnya.

E. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan. Pada bagian ini berisi mengenai latar belakang permasalahan, rumusan

permasalahan serta tujuan dilakukannya penelitian ini.

Bab II : Pada bab dua ini berisikan teori dari perspektif yang akan digunakan dalam

penelitian yaitu teologi pembebasan, selanjutnya digunakan sebagai perspektif dalam

melakukan pembacaan atas teks 1 Raja–Raja 17: 7–24.

TIDAK ADA BAB 5

Page 11: BAB I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092224/58c6fa... · yang membatasi kehidupan manusia. Justru perjuangan di luar batasan–batasan tembok–tembok

11

Bab III : Menafsirkan teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 dari perspektif teologi pembebasan. Pada

bab ini, penulis akan melihat teks 1 Raja–Raja 17: 7–24 dengan menggunakan

perspektif teologi pembebasan dalam proses penafsiran teks tersebut.

Bab IV : Kesimpulan dan Penutup. Bab terakhir ini berisikan kesimpulan, evaluasi serta

rekomendasi–rekomendasi bagi kehidupan masa kini.

TIDAK ADA BAB 5