BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... ·...

60
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota kerajaan terakhir yang menjadi salah satu pusat budaya di pulau Jawa. Saat ini, Yogyakarta menjadi ibukota dari salah satu provinsi di Indonesia yang berstatus daerah istimewa dan memiliki Keraton Yogyakarta sebagai peninggalan bersejarah. Keraton Yogyakarta berdiri setelah perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 (Jw) atau 13 Februari 1755 antara Sri Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi. Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan cipta karya estetik Pangeran Mangkubumi, yang setelah menjadi raja bergelar Sultan Hamengku Buwana I Sénapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Pangeran Mangkubumi dikenal sebagai ahli bangunan yang unggul sejak masih muda. Ia memimpin pembangunan Keraton Yogyakarta, menentukan bentuk dan ukurannya, serta menyelesaikannya kurang lebih satu tahun. 1 1 Kota Jogjakarta, 200 tahun, 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956 (Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 th, 1956), 13, 15- 16. Pangeran Mangkubumi pada waktu di Kartasura, ditunjuk Sunan Paku Buwana II untuk memimpin pembangunan Keraton Surakarta (1743-1744). R.M. Soemardjo Nitinegoro, Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaaan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Foundation of Higher Education PUTRAJAYA, 1980), 30, 68.

Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... ·...

Page 1: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

1

 

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Yogyakarta merupakan kota kerajaan terakhir yang menjadi

salah satu pusat budaya di pulau Jawa. Saat ini, Yogyakarta

menjadi ibukota dari salah satu provinsi di Indonesia yang

berstatus daerah istimewa dan memiliki Keraton Yogyakarta

sebagai peninggalan bersejarah. Keraton Yogyakarta berdiri

setelah perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari pada tanggal 29

Rabiulakir 1680 (Jw) atau 13 Februari 1755 antara Sri Sunan

Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi. Keraton

Yogyakarta merupakan perwujudan cipta karya estetik Pangeran

Mangkubumi, yang setelah menjadi raja bergelar Sultan

Hamengku Buwana I Sénapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin

Panatagama Kalifatullah. Pangeran Mangkubumi dikenal sebagai

ahli bangunan yang unggul sejak masih muda. Ia memimpin

pembangunan Keraton Yogyakarta, menentukan bentuk dan

ukurannya, serta menyelesaikannya kurang lebih satu tahun.1

                                                            1Kota Jogjakarta, 200 tahun, 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956

(Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 th, 1956), 13, 15-16. Pangeran Mangkubumi pada waktu di Kartasura, ditunjuk Sunan Paku Buwana II untuk memimpin pembangunan Keraton Surakarta (1743-1744). R.M. Soemardjo Nitinegoro, Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaaan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Foundation of Higher Education PUTRAJAYA, 1980), 30, 68.

Page 2: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

2

 

Keraton sering disebut kêdhaton, terbentuk dari kata ka-

ratu-an atau ka-dhatu-an yang berarti tempat tinggal raja.2

Pengertian ini menjelaskan bahwa Keraton Yogyakarta berfungsi

sebagai tempat hunian Sultan Hamengku Buwana I dan

penerusnya. Selain itu, Keraton Yogyakarta juga berfungsi sebagai

pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan.

Secara fisik, Keraton Yogyakarta merupakan bangunan

monumental yang memiliki nilai estetika tinggi, mengandung

makna dan simbol sebagai perwujudan sifat-sifat agung

kehidupan sebuah kerajaan. Bentuknya didasari oleh pandangan

hidup yang berakar pada kepercayaan masyarakat penghuninya,

yang ketika itu memiliki keyakinan agama Islam-Jawa, yang

berkaitan dengan agama Hindu. Alam pikir Hindu-Jawa

memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dengan

kosmos alam raya. Terdapat kepercayaan bahwa kerajaan (Keraton

Yogyakarta) merupakan replika dari susunan jagat raya.

Secara umum, Keraton Yogyakarta adalah bagian dari mata

rantai kesinambungan tipologi keraton-keraton di Jawa.

Kesamaan tipologi ini terjadi karena latar belakang persepsi

kosmologi yang sama, yakni kosmologi Hindu tentang Jagad

Purana yang berpusat pada suatu benua bundar Jambudwipa

                                                            2K.P.H. Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Terj. R. Murdani

Hadiatmaja (Yogyakarta: Museum Keraton, 1978), 7.

Page 3: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

3

 

dikelilingi tujuh lapisan daratan dan samudera. Pada benua

tersebut terdapat gunung (mèru) tempat para dewa bersemayam.

Keraton Yogyakarta sebagai lingkungan binaan, disusun secara

konsentrik berdasarkan replika jagat raya untuk menjaga

keselarasan hidup. Titik pusat dalam susunan replika itu

sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan kosmos.

Pada skala negara, susunan konsentris Keraton Yogyakarta

terwujud dalam kota yang berpusat pada kuthagara (keraton

sebagai pusat dan paréntah njêro), dikelilingi nagara (paréntah

njaba, para pangeran, patih, dan pejabat keraton yang lain), dan

nagaragung (pusat kota yang besar), serta mancanagara (negara

asing yang diperintah bupati).3 Sistem pemerintahan tersebut

menunjuk Keraton Yogyakarta sebagai pusat sentris, termasuk

dalam pengembangan dan pembangunan. Keraton Yogyakarta

sebagai pusat kebudayaan merupakan karya monumental, yang

menjadi sumber ide dan pengembangan arsitektur di luar keraton.

Kestabilan seluruh tatanan dunia manusia (mikro) terjaga

karena kedudukan kuthagara yang menjadi titik pusat mampu

menjaga keseimbangan makroskosmos. Sultan tinggal di pusat

keraton dan menjadi sumber kekuatan yang mengalirkan

kesejahteraan ke daerah serta membawa kestabilan tatanan

                                                            3Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Terj. Mochtar

Pabotinggi (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2009), 26-27.

Page 4: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

4

 

kosmos. Kosmos jagat raya (makro) dipercaya menghasilkan

kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi dapat pula membawa

bencana. Keselarasan kerajaan (mikro) dengan jagat raya (makro)

dicapai melalui tersusunnya tipologi kerajaan yang hierarkis

mengikuti pola dasar alam semesta.

Keraton Yogyakarta disusun secara hierarkis, yakni arah

utara-selatan merupakan ruang umum, resmi, dan tempat

upacara, sedangkan arah timur-barat merupakan ruang pribadi,

yang akrab dan keramat.4 Dalêm Prabayêksa berfungsi sebagai

titik pusat pertemuan arah utara-selatan dan timur-barat. Dalêm

terbesar di Keraton Yogyakarta ini berada di pusat inti kêdhaton,

dan untuk mencapai pusat harus melewati pelataran dan pintu

gerbang yang berlapis. Pelataran arah utara-selatan, meliputi: (1)

Alun-alun Lor, (2) Sitihinggil Lor, (3) Kêmandhungan Lor, (4) Sri

Manganti, (5) Kêdhaton, (6) Kêmagangan, (7) Kêmandhungan Kidul,

(8) Sitihinggil Kidul, dan (9) Alun-alun Kidul. Pelataran kêdhaton

merupakan puncak konstelasi dari sembilan pelataran tersebut.

Kêdhaton diapit oleh dua pelataran domestik tempat keluarga

keraton tinggal.5 Peralihan dari pelataran ke pelataran berikutnya

dapat ditempuh melalui sembilan pintu gerbang, yakni: (1)

                                                            4Denys Lombart, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan-warisan

Kerajaan Konsentris (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, jilid 3, 2000), 113.

5Revianto Budi Santosa, Omah: Membaca Makna Rumah Jawa (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), 94.

Page 5: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

5

 

Pangurakan, (2) Tarub Agung, (3) Brajanala, (4) Sri Manganti, (5)

Danapêrtapa, (6) Kêmagangan, (7) Gadhung Mlati, (8)

Kêmandhungan, dan (9) Gadhing.

Sejumlah bangunan untuk urusan dalam keraton berada di

sepanjang pinggiran pelataran kêdhaton, termasuk ruang hunian

bagi para penghuni keraton. Ruang hunian di pelataran ini terbagi

menjadi dua sisi, yakni Kêputrèn berada di bagian barat,

sedangkan Kêsatriyan berada di bagian timur. Di ruang hunian

Kêputrèn digunakan untuk upacara keluarga, terutama yang

terkait dengan aktivitas domestik kaum perempuan, upacara

kesuburan dan upacara ritus kehidupan. Konsentrasi ruang di

pusat keraton itu menunjuk pada supremasi yang diraih dengan

konsentrasi dua sisi dari karakteristik ganda, yakni urusan luar

dan dalam, ranah negara dan keluarga, lingkup lelaki dan

perempuan. Sultan Hamengku Buwana I sebagai penguasa,

merupakan penghubung dari kedua poros utara-selatan dan

timur-barat yang berada tepat di pusat kêdhaton.6

Sultan Hamengku Buwana I adalah seorang raja yang

berbudi luhur, adil bijaksana, berjiwa kesatria, jujur, dan tidak

meninggalkan sifat têpo sêliro. Pada masa pemerintahannya, yang

bersifat feodal, kebudayaan dan kesenian mencapai kemajuan

pesat. Sultan Hamengku Buwana I adalah pencipta tata letak dan

                                                            6Santosa, 2000: 109, 111.

Page 6: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

6

 

tata bangunan Keraton Yogyakarta. Ia juga dikenal sebagai

seorang ahli gamelan, pencipta gending Gajah Hendro, dan

pencipta seni tari Běksan Lawung. Sultan Hamengku Buwana I

berhasil memupuk dan mempertinggi nilai budaya, seni, dan

filsafat, yang dapat dianalisis melalui bentuk bangunan Keraton

Yogyakarta dan kelengkapannya, termasuk seni hias ukir pada

gamelan, serta perhiasan dari emas atau perak.7

Seperti diketahui, kondisi Keraton Yogyakarta saat ini telah

mengalami berbagai perubahan, khususnya dalam konteks

fungsinya. Keraton Yogyakarta yang di masa lampau berfungsi

sebagai pusat kendali pemerintahan, yakni tempat raja-dewa yang

secara fisik dipandang sakral, kini beberapa di antaranya telah

mengalami perubahan menjadi profan yang terbuka bagi publik

pada saat-saat tertentu. Perubahan fungsi fisik Keraton

Yogyakarta itu tentu dilandasi perubahan pola pikir yang

signifikan, dan itu sangat berpengaruh pada tata ruang interior

keraton. Perubahan fungsi fisik keraton itu mengantarkan adanya

perubahan tata ruang interior, dari yang semula bersifat tertutup

menjadi terbuka bagi publik. Sebab itu timbul masalah estetika

tata ruang interior Keraton Yogyakarta yang sangat menarik untuk

diangkat sebagai fokus pengkajian ini.

                                                            7Nitinegoro, 1980: 68, 69.

Page 7: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

7

 

Perubahan fungsi Keraton Yogyakarta makin menonjol pada

masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX (terlahir dengan

nama G.R.M. Dorojatun), sosok raja yang mengalami dua era

pemerintahan, yaitu masa sebelum kemerdekaan RI dan masa

sesudah kemerdekaan RI. Sebelum kemerdekaan RI, Sultan

Hamengku Buwana IX masih menjalankan pemerintahan

tradisional yang feodalistik, namun sesudah kemerdekaan, roda

pemerintahan keraton mengacu pada pemerintahan RI yang

modern, demokratis. Perubahan kondisi-kondisi itu tentu

mempengaruhi alam pikir Sultan Hamengku Buwana IX, baik

ketika Sultan masih memegang dasar-dasar pemikiran tradisional

(feodalistik) mau pun ketika Sultan berada dalam birokrasi

modern (demokratis). Kenyataannya, Sultan menunjukkan

kemampuan yang tinggi dalam memadukan kedua kondisi

perubahan ke dalam pola pikir. Perpaduan pola pikir itu kemudian

diwujudkan dalam realitas kehidupan di lingkungan keraton, yang

harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Pemikiran dan kehendak Sultan Hamengku Buwana IX

sebagai seorang raja berpadu dengan pemikiran dan kehendak

rakyat (ngudi jumbuhing kawula gusti),8 yang mengukuhkan

dirinya dengan sebutan “tahta untuk rakyat” yang kemudian oleh

                                                             8P.J. Suwarno, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 87.

Page 8: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

8

 

Sultan Hamengku Buwana X diteguhkan dalam tekad “tahta bagi

kesejahteraan kehidupan sosial-budaya rakyat”. Inti dari misi

keraton yang terpateri dalam amanah Sultan Hamengku Buwana

IX itu dipersingkat oleh Sultan Hamengku Buwana X menjadi

“Lima Tekad Dasar”, yakni: (1) lebih banyak memberi daripada

menerima, mengabdi tanpa pamrih; (2) tidak mempunyai

prasangka, rasa iri, dan dengki, hangrêngkuh atau ngêmong,

melindungi dan mengayomi (pêngayom dan pêngayêm) secara adil

tanpa membeda-bedakan golongan, keyakinan dan agama; (3)

tidak melanggar paugeran negara; (4) untuk lebih berani

mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah

salah, memiliki watak gung binathara, (5) untuk tidak memiliki

ambisi apa pun, senantiasa berusaha hanya bagi kesejahteraan

rakyat, mewarisi api semangat dari makna nama Hamêngku

Buwana lebih dari sekedar pewaris tahta dan kedudukan sultan.

Amanah Sultan Hamengku Buwana X itu menjadi Garis-Garis

Besar Strategi Sosial kultural Keraton, yang sebenarnya sudah

tersandang dalam tiga substansi makna yakni hamangku,

hamêngku, hamêngkoni, di dalamnya tersimpan pemaknaan

varian-varian pengertian tradisional Keraton Yogyakarta berkaitan

dengan pengabdian dan pelayanan penguasa kepada rakyat.

Hamangku berkaitan dengan watak bèrbudi bawa lêksana,

Page 9: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

9

 

hamêngku berkaitan dengan watak ambêg adil paramarta, dan

hamêngkoni berkaitan dengan watak ing ngarsa sung tuladha.9

Kebijakan keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku

Buwana IX telah membawa banyak perubahan yang menyentuh

sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan sendi

kehidupan di lingkungan Keraton Yogyakarta dari yang semula

berdasarkan sistem pemerintahan feodal, di bawah pengawasan

penguasa kolonial dan atau fasisme Jepang, telah menjadi bagian

dari kekuasaan Republik Indonesia (bahkan pernah menjadi ibu-

kota RI). Apabila semula keraton berfungsi sebagai pusat

kekuasaan yang menduduki posisi penting pada generasi Mataram

dan penerusnya, maka pada masa kekuasaan Sultan Hamengku

Buwana IX telah berubah menjadi daerah istimewa sebagai bagian

dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).10 Perubahan itu

tentu dilandasi oleh perubahan sikap dan konsep pemikiran yang

mendasar, sehingga layak diteliti secara mendalam, agar diketahui

ideologi apa yang mendasarinya.

                                                            9Sultan Hamengku Buwono X, “Sosialisasi Jiwa Keraton Di

Tengah Perubahan Zaman: Sebuah Tatapan Introspektif”, dalam Seminar Kebudayaan: Posisi Keraton Di Tengah Perubahan Zaman (Yogyakarta: unpublished, 5 Februari 1992), 9. Periksa pula Sindhunata, “Kata Pengantar”, dalam Sri Sultan Hamengku Buwono X: Bercermin di Kalbu Rakyat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 8.

10Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan Dari Masa ke Masa”, dalam Atmakusumah (ed.), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Jakarta: PT. Gramedia, 1982), 64-65.

Page 10: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

10

 

Sesungguhnya, sejak Keraton Yogyakarta berada di bawah

kekuasaan Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921), telah

mengalami berbagai perkembangan dan perubahan, baik secara

fisik mau pun nonfisik. Keraton Yogyakarta dihias makin indah

dengan kaca berpigura, lampu kristal, benda perunggu, lantai

batu pualam Italia, dan bermunculan kursi-kursi Eropa yang

disepuh emas. Selain itu, Yogyakarta mulai mengenal aliran

listrik, terutama di keraton dan pemukiman elite.11

Pada masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII,

pendidikan model Barat bagi para putera bangsawan ditemukan di

dalam tembok keraton. Bangsawan pria memiliki kesempatan luas

untuk mencapai pendidikan tinggi. Tempat belajar para putera

dan sêntana dalêm, yang semula diadakan di Tamanan keraton

dipindah ke luar keraton, yaitu di sebelah timur Pagelaran, Alun-

Alun Lor. Para pangeran yang dipandang cerdas dikirim ke negeri

Belanda untuk melanjutkan sekolah.12 Selain itu, Sultan

Hamengku Buwana VII mengijinkan dua orang puteranya, yaitu

Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma, mendirikan

’Kridha Beksa Wirama’ di luar keraton tahun 1918. Pada masa itu,

                                                            11M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono

Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), 194; Sutrisno Kutoyo, Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Riwayat Hidup dan Perjuangan (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1996), 49, 52.

12Mari S. Condronegoro, Busana Adat Karton Yogyakarta: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995), 10, 11.

Page 11: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

11

 

teknik fotografi mulai dipergunakan untuk mendokumentasikan

berbagai pertunjukan, khususnya pertunjukan wayang wong.13

Ketika putera mahkota, yakni Kanjeng Gusti Pangeran

Adipati Anom Hamengkunegara II (G.R.M. Sujadi) naik tahta

sebagai Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939), para

pangeran mulai disekolahkan di luar keraton. Mereka tinggal

bersama keluarga Belanda, meskipun secara terpisah. Sultan

tidak menghendaki sekedar mendapat sanjungan atau pemanjaan

terhadap puteranya, tetapi diinstruksikan kepada para guru agar

mendidik putera-puteranya seperti anak-anak yang lain. Para

putera bangsawan harus diperlakukan dengan disiplin tinggi dan

tidak perlu diistimewakan. G.R.M. Dorojatun adalah anak laki-laki

pertama dari garwa padmi, Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom

Hamengkunegara (masa gadisnya bernama R.A. Kustilah), yang

sejak usia empat tahun dititipkan kepada keluarga Belanda untuk

belajar. Pendidikannya di Belanda membawa dirinya ke pemikiran

demokrasi nasionalis.14

Setelah G.R.M. Dorojatun naik tahta menjadi Sultan

Hamengku Buwana IX pada tanggal 18 Maret 1940, pemikiran

demokrasi nasionalis itu membawa perubahan pada fungsi

keraton yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka bagi dunia                                                             

13R.M. Soedarsono, Wayang Wong: Drama Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), 39, 43.

14Mochtar, 1982: 22, 24.

Page 12: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

12

 

pendidikan dan pariwisata. Hal itu merupakan fenomena yang

menunjukkan bahwa keraton telah mengalami transformasi dan

perubahan paradigma yang bersentuhan dengan sendi-sendi

kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya sejalan dengan kehidupan

modern. Pada masa Sultan Hamengku Buwana IX, terjadi

perubahan fungsi keraton yang signifikan, yang oleh penerusnya,

Sultan Hamengku Buwana X, gagasan tersebut tetap dilestarikan.

Pemikiran raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta sejak masa

pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII hingga masa

pemerintahan Sultan Hamengku Buwana X itu diyakini

berpengaruh kuat pada eksistensi Keraton Yogyakarta. Sudah

barang tentu, hal ini sangat menarik untuk dikaji secara

mendalam, baik yang terkait dengan perubahan bentuk fisik tata

ruang mau pun konsep estetika yang melandasi penciptaannya.

Perkembangan dan perubahan tata ruang interior Keraton

Yogyakarta itu menyiratkan tumbuhnya kesadaran estetika

sultan, sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.

B. Rumusan Masalah

Dari berbagai penelusuran awal yang dilakukan, timbul tiga

masalah pokok, sebagai berikut.

Page 13: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

13

 

1. Bagaimana bentuk dan perkembangan tata ruang interior

Keraton Yogyakarta sejak masa Sultan Hamengku Buwana VII

hingga Sultan Hamengku Buwana X.

2. Mengapa terjadi perubahan eksistensi dan fungsi sosial

kultural, serta bagaimana pengaruhnya terhadap tata ruang

interior Keraton Yogyakarta.

3. Bagaimana hakikat estetika tata ruang interior Keraton

Yogyakarta dalam konteks religi, filosofis, dan kultural.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di

atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1. Tujuan Penelitian

a. Mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai artifak di Keraton

Yogyakarta, khususnya arsitektur-interior bangunan. Hal ini

tentunya merupakan bukti fisik yang mendukung fungsi

keraton sebagai pusat seni dan budaya, dengan bukti-bukti

artifak yang terpateri dalam visualisasi tata ruang interior

Keraton Yogyakarta sehingga menjadi bangunan yang

bersejarah dan monumental.

b. Mengetahui dan memahami pemikiran Sultan Hamengku

Buwana VII hingga Sultan Hamengku Buwana X sebagai

Page 14: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

14

 

pendorong perubahan eksistensi dan fungsi sosial kultural,

yang tercermin dalam tata ruang interior Keraton Yogyakarta.

c. Merumuskan konsep estetika tata ruang interior Keraton

Yogyakarta dalam konteks religi, filosofis, dan kultural yang

dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang seni

dan desain, baik aplikatif maupun teoritis.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini, antara lain:

a. Melalui pengkajian ini diharapkan dapat ditemukan kearifan

nilai budaya pada tata ruang interior bangunan tradisional

yang dapat diimplementasikan dalam melaksanakan tugas

dalam mengampu mata kuliah desain interior.

b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan

bermakna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang seni

dan desain yang bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya

mengenai kearifan budaya bangsa dalam bentuk estetika tata

ruang, sekaligus menjadi referensi penting bagi analisis ilmiah

tentang karya seni tradisi.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber ide

pengembangan daya kreativitas penciptaan seni dan desain,

baik yang berkaitan dengan tata ruang interior maupun elemen

estetik yang dibangun berlandaskan nilai luhur budaya bangsa.

Page 15: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

15

 

D. Tinjauan Pustaka

Keraton Yogyakarta mengundang banyak minat sarjana

untuk mengkajinya, sehingga hasil penelitian dan penulisan

mengenai Keraton Yogyakarta sangat banyak, baik dari segi

historis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun dari segi

arsitektur, yang di antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Penelitian Noeratri Andanwerti (Tesis) berjudul “Hubungan

Perubahan Sosial Budaya Dengan Perubahan Arsitektural Istana”

(2003), menjelaskan berbagai dampak perubahan politik, sosial,

ekonomi, dan budaya pada arsitektural Keraton Yogyakarta,

terutama bangunan Pagelaran dan Sitihinggil Utara, dari masa

kekuasaan Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan

Hamengku Buwana IX. Pembangunan fisik tratag Pagelaran dan

Bangsal Sitihinggil Utara mengalami puncaknya pada masa Sultan

Hamengku Buwana VIII. Selain karena bangunan ini roboh akibat

gempa bumi, faktor ekonomi keraton mengalami kemakmuran,

sehingga Sultan Hamengku Buwana VIII mempunyai dana yang

cukup untuk membangun kembali dan mengadakan perbaikan

bagi pelestarian bangunan keraton. Penelitian ini memberikan

informasi penting mengenai perubahan yang terjadi pada

Page 16: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

16

 

bangunan keraton, namun fokus analisisnya berkisar pada

perubahan bentuk bangunan Pagelaran dan Sitihinggil Utara.15

Penelitian Hananto (Tesis) berjudul “Kajian Estetika Ruang

Dalam Bangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Studi Kasus

Bangunan Bangsal Kencana” (1999), menjelaskan tentang bentuk

dan makna bangunan Bangsal Kêncana. Elemen yang dianalisis

yakni lantai, dinding, dan plafon. Dibahas pula mengenai

pengaruh pencahayaan dalam ruang. Tulisan ini merupakan studi

kasus satu bangunan di pelataran Kêdhaton. Meskipun penelitian

ini memberikan beberapa informasi penting tentang interior

Bangsal Kêncana, namun pendekatan yang digunakan untuk

menganalisis berbeda dengan yang digunakan oleh peneliti. Data

mengenai bentuk disajikan berdasarkan fakta yang ada pada saat

penelitian dilaksanakan, tidak menyajikan perubahan dan

perkembangan. Pembahasan makna estetika dikaji kurang

mendalam, tidak ada interpretasi penulis mengenai makna

simbolik yang terkait dengan religi, filosofis, dan kultural. Analisis

lebih menekankan pada aspek bentuk saja.16

                                                            15Noeratri Andanwerti, “Hubungan Perubahan Sosial Budaya

Dengan Perubahan Arsitektural Istana”, Tesis Program Magister Desain (Bandung: ITB, 2003).

16Hananto, “Kajian Estetika Ruang Dalam Bangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Studi Kasus Bangsal Kencana”, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur (Semarang: Universitas Diponegoro, 1999).

Page 17: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

17

 

Tulisan Daliman berjudul “Makna Simbolik Nilai-nilai

Kultural Edukatif Bangunan Keraton Yogyakarta: Suatu Analisis

Numerologis & Etimologis” (2001), menjelaskan simbolisme dan

simbolisasi keraton, serta fungsi keraton sebagai mandala berikut

ajaran sangkan-paraning dumadi. Makna kehadiran bangunan

keraton tidak hanya terletak pada sofistikasi arsitektur Jawa,

tetapi lebih pada kandungan nilai kultural-edukatif yang

visualisasinya nampak dalam simbol.17 Meskipun analisis dalam

tulisan jurnal ini membahas simbol dan makna bangunan

keraton, namun tidak membahas perubahan dan perkembangan,

tidak pula menganalisis aspek estetika visual ruang interior.

Perihal fungsi dan makna bangunan Keraton Yogyakarta,

dijelaskan oleh (1) Brongtodiningrat dalam “Arti Kraton

Yogyakarta”, (2) Darto Harnoko dalam “Fungsi, Arti Serta Makna

Bangunan Kraton Yogyakarta dan Sekitarnya”, dan (3) Pantja

Sunjata dalam “Makna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan

Bangunan Keraton, Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra”.18

                                                             17A. Daliman, “Makna Simbolik Nilai-nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis & Etimologis”, dalam jurnal Humaniora (Yogyakarta: UGM Press, vol. XIII no. 1, 2001).

18Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Terj. R. Murdani Hadiatmaja (Yogyakarta: Museum Kraton, 1978); Darto Harnoko, “Fungsi, Arti Serta Makna Bangunan Kraton Yogyakarta dan Sekitarnya”, dalam Jurnal Kebudayaan KABANARAN (Yogyakarta: Retno Aji Mataram Press-Yayasan Pustaka Nusatama, Vol.1, 2001); I.W. Pantja Sunjata, et al., Makna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan Bangunan Keraton, Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra (Jakarta: Depdikbud, 1995).

Page 18: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

18

 

Keraton Yogyakarta baik selaku lembaga maupun sebagai

bangunan fisik, padat mengandung lambang dan falsafah,

mengambarkan perjalanan hidup manusia, mulai dari Krapyak

hingga Tugu Pal Putih, bahwa kesemuanya itu tidak luput dari

makna simbolik.

Tulisan Revianto Budi Santosa berupa tesis yang telah

dibuat buku berjudul Omah: Membaca Makna Rumah Jawa (2000)

menjelaskan kedomestikan dalam tradisi Jawa, pembentukan dan

penghunian setting domestik, perhelatan ritual, susunan ruang

dalam pertunjukan wayang dan bědhaya, serta jalinan makna

dalam pembentukan pada rumah rakyat, rumah bangsawan, dan

rumah raja atau keraton.19

Sugiarto Dakung menyajikan berbagai tipe bentuk arsitektur

Jawa, persyaratan mendirikan dan upacaranya, serta berbagai

bentuk ragam hias dan makna simboliknya.20 Hamzuri juga

menjelaskan tentang aneka bentuk rumah Jawa, lingkungan dan

konstruksi rumah serta aspek psikologis lingkungan tempat

tinggal.21 Menurut Arya Ronald dalam disertasinya berjudul

“Aspecten van de Bouwcultuur van de Traditionele Javaanse                                                             

19Revianto Budi Santosa, Omah: Membaca Makna Rumah Jawa (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).

20Sugiarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982).

21Hamzuri, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Jakarta: Proyek Pengembangan Permuseuman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tanpa tahun).

Page 19: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

19

 

Woning en zijn Architectonische Expressie” (1992), bentuk pola

tempat tinggal Jawa dipengaruhi oleh pola pikir, tuntutan

kenikmatan, gejala perkembangan alam, perubahan pandangan

masyarakat dan idealisme tiap individu, persyaratan keserasian

lingkungan, penampilan visual, bentuk ruang dan penekanan

fungsional, syarat-syarat ideologi dan norma adat, dan syarat

topografi yang datar. Buku ini sesungguhnya merupakan disertasi

untuk memperoleh derajat doktor, yang di dalamnya mengandung

informasi luas dan penting.22 Sebagian dari tulisan disertasi Arya

Ronald itu, dibuat buku dengan judul Nilai-nilai Arsitektur Rumah

Tradisional Jawa (2005), yang menjelaskan tentang arsitektur

Jawa kuno, transformasi nilai mistik dan simbolik dalam ekspresi

arsitektur rumah tradisional Jawa, arsitektur vernakular Jawa,

simbolisme dan pelestarian lingkungan rumah tradisional Jawa.23

Dradjat Suhardjo dalam buku Mangaji Ilmu Lingkungan

Kraton (2004), menelaah konsep-konsep lingkungan hidup Keraton

Yogyakarta sejak 1755. Dijelaskan pula mengenai paradigma

keraton (arti penting makna sejarah, teori pertumbuhan kota, dan

                                                            22Arya Ronald, “Aspecten van de Bouwcultuur van de Traditionele

Javaanse Woning en zijn Architectonische Expressie”, Disertasi (Delft Nederland: Delft University of Technology, Oktober 1992). 23Arya Ronald, Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisonal Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005).

Page 20: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

20

 

paradigma), masjid pathok nêgari dalam konteks spasial kerajaan

Mataram dan arsitekturalnya.24

Khairuddin, dalam buku Filsafat Kota Yogyakarta (1995)

menjelaskan aspek-aspek planologi kota Yogyakarta, meliputi

kondisi wilayah, sejarah Keraton Yogyakarta, keraton sebagai

pusat pengembangan, makna filsafati struktur kota Yogyakarta

yakni kosmologi keraton dan konsepsi sumbu filosofis, serta

manusia dalam konteks filsafat planologi kota Yogyakarta.25

Tulisan L. Adam berjudul “De Pleinen, Poorten en Gebouwen

van de Kraton van Jogjakarta”, dalam Djawa (1940), membahas

keraton Mataram di Kota Gede (1586-1613), sesudah itu pindah

tempat di hutan Kerta (1613-1645), Plered (1645-1677), dan

Kartasura (1682-1744). Di dalamnya juga dibahas mengenai

Keraton Yogyakarta 1755 di bawah Pangeran Mangkubumi, anak

Amangkurat IV, yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I (1755-

1792). Sultan membangun pesanggrahan di Gamping, desa Tlaga,

Kalurahan Bodeh. Menurut Brandes dalam Bataviaasch

Genootschap, deel 37, tahun 1894, Keraton Yogyakarta itu disebut

Ajogija. Dalam Sêrat Rèrènggan Kêraton yang ditulis Panembahan

Senopati, tahun Dje 1510, letak Keraton Yogyakarta ada di

Pacetokan, yang disebut hutan Bringin. Dijelaskan bahwa

                                                            24Dradjat Suhardjo, Mangaji Ilmu Lingkungan Kraton (Yogyakarta:

Safiria Insania Press, 2004). 25Khairuddin, Filsafat Kota Yogyakarta (Yogyakarta: Liberty, 1995)

Page 21: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

21

 

perencanaan Keraton Yogyakarta mengambil tipe keraton

Majapahit, seperti tertera di dalam kitab Nêgarakêrtagama.

Dijelaskan pula nama-nama bangunan, bagian-bagian dalam

keraton, dan tata letaknya. 26

M.C. Ricklefs, dalam bukunya Jogjakarta Under Sultan

Mangkubumi 1749-1792 (1974), memberikan informasi mengenai

pemberontakan dan pembagian kerajaan Mataram menjadi dua

seperti tertera dalam perjanjian Giyanti.27 C.C. Berg, dalam buku

Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan S. Gunawan (1974),

memberikan informasi perihal magi, jabatan raja, dan penulisan

sejarah Jawa.28 H. J. de Graaf menulis Awal Kebangkitan

Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, terjemahan Grafiti Pers

dan KITLV (1985), merupakan buku pertama dari serangkaian

karya de Graaf tentang sejarah raja-raja Mataram. Dalam buku

ini, de Graaf menyingkap tabir yang menyelubungi riwayat

kebangkitan Mataram pada masa pemerintahan Senapati.29 H.J.

de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, dalam buku Kerajaan-kerajaan

Islam Pertama di Jawa, terjemahan Grafiti Pers & KITLV (1985),

                                                             26L. Adam, “De Pleinen, Poorten En Gebouwen Van De Kraton Van Jogjakarta”, dalam Djawa (Batavia: Uitgegeven door het Java-Instituut te Weltevreden, IV, 1940). 27M.C. Ricklefs, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792 (London: Oxford University Press, 1974). 28C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara, 1974). 29H.J. de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati , Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985).

Page 22: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

22

 

secara khusus menyoroti permulaan periode Islam di Jawa pada

abad ke-15 dan ke-16. Penulisan buku ini menggunakan sumber-

sumber pribumi dengan menonjolkan aspek sosial dan ekonomi, di

samping membahas silsilah raja dan keagamaan.30

Sultan Hamengku Buwana X (patron), dalam buku Kraton

Jogja: The History and Cultural Heritage (2002), menjelaskan

Keraton Yogyakarta dari berbagai sisi pada periode Hindu dan

Islam Jawa, asal-usul, dan pandangan dunia; pendirian keraton

oleh Pangeran Mangkubumi; sultan sebagai Raja Gung Binathara

dan citra sultan sesuai dengan Hasta Brata dalam Sêrat Rama,

arsitektur dan ruang-ruang di lingkungan keraton; pengetahuan

dan pendidikan; tradisi-tradisi yang hidup dan pusaka-pusaka

keramat, kesusastraan, dan seni.31

G. Moedjanto, dalam buku Konsep Kekuasaan Jawa:

Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (1987), menjelaskan tentang

dinasti Mataram, pergeseran dan legitimasi kekuasaan dalam

sejarah Mataram, konsolidasi kedudukan dinasti Mataram lewat

pengembangan bahasa Jawa, doktrin ke-agungbinathara-an:

                                                            30H.J. de Graff, dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam

Pertama di Jawa, Terj. Grafiti Pers & KITLV (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1986). 31Sultan Hamengku Buwono X (patron), Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage (Jakarta: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Association, 2002).

Page 23: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

23

 

konsep kekuasaan Jawa dan penerapannya oleh raja-raja

Mataram, dan sistem politik patrimonial kerajaan Mataram.32

Soemarsaid Moertono menulis buku berjudul Negara dan

Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa

Mataram II Abad XVI sampai XIX (1985). Buku yang merupakan

tesis Soemarsaid ini, menyajikan tinjauan yang memungkinkan

faktor-faktor paling relevan dalam kehidupan negara. Setiap faktor

ditelaah dari segi arti pentingnya bagi kelancaran hidup negara,

tempatnya dalam pengaturan negara dan saling pengaruhnya

dengan faktor lainnya. Karena raja menjadi pusat kekuasaan atas

segalanya, maka analisisnya dimulai dari masalah pokok dalam

kehidupan negara pada masa Mataram II, yaitu bagaimana raja

dapat membenarkan kedudukannya yang berkuasa. Ini

merupakan masalah kewibawaan. Konsep magis-religius menjadi

sarana utama untuk melaksanakan dan mempertahankan

kekuasaan raja, serta melindungi keutuhan negara.33

P.A. Soerjadiningrat, “Toelichting bij den Plattegrond van de

Kraton te Jogjakarta”, dalam majalah Djawa, 5e Jaargang, No. 1,

Jan-Febr. 1925, menjelaskan tata letak Keraton Yogyakarta

berikut nama-nama jalan, termasuk juga nama-nama tumbuh-

                                                            32G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh

Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987). 33Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).

Page 24: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

24

 

tumbuhan. Bangunan itu, antara lain: Alun-alun Lor, Sitihinggil

Lor, Kêmandungan Lor, Sri Manganti, Kêdhaton, Kêmagangan,

Kêmandungan Kidul, Sitihinggil Kidul, dan Alun-alun Kidul.34

Abdurrachman Surjomihardjo dalam disertasinya berjudul

Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-1930 (2000),

menjelaskan pertumbuhan tiga lembaga sosial di Yogyakarta yang

dipengaruhi oleh bentuk lembaga pendidikan, pers, dan

pergerakan nasional. Dengan pendekatan sosiologis,

Surjomihardjo melihat proses modernisasi masyarakat Yogyakarta

merupakan percampuran kota tradisional dan kolonial menjadi

kota modern. Beberapa segi perkembangan sosial kota

dijelaskannya mulai dari kota kerajaan kuno dengan Keraton

Yogyakarta sebagai asal kota hingga munculnya kelompok sosial

dan golongan bumiputera, golongan Eropa, golongan Tionghoa dan

para santri. Perkembangan sosial ini memperlihatkan proses

pluralisasi sosial sebagai bagian dari perbenturan sistem

kemajemukan kolonial, yang ditentukan oleh kategori ras dengan

kedudukan hukum. Dalam struktur keraton, menunjuk suatu

piramida sosial dengan sultan menduduki tempat puncak.35

                                                             34P.A. Soerjadiningrat, “Toelichting bij den Plattegrond van de Kraton te Jogjakarta”, dalam Djawa 5e Jaargang No. 1, Jan-Febr.1925 (Batavia: Uitgegeven Door Het Java-Instituut Te Weltevreden, IV, 1925).

35Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-1930 (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000); Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930 (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2008).

Page 25: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

25

 

Ryadi Goenawan dan Darto Harnoko dalam bukunya

berjudul Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta: Mobilitas

Sosial DIY Periode Awal Abad 20 (1993), mengupas perkembangan

kota Yogyakarta dari masa Sultan Hamengku Buwana I hingga

zaman Jepang dan kemerdekaan Republik Indonesia, yang

mendorong proses mobilitas sosial masyarakat kota Yogyakarta,

baik dari sisi kehidupan kultural maupun keagamaan, termasuk

modernisasi masyarakat Jawa sebagai wujud gagasan kaum

liberal.36 Penelitian Selo Soemardjan secara detail menjelaskan

perubahan yang terjadi dalam pemerintahan Yogyakarta mulai

dari rezim Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, dan berbagai

partai politik, perusahaan asing, organisasi ekonomi,

pembangunan, pendidikan dan perubahan sosialnya di

Yogyakarta.37 Untuk memperoleh informasi lebih lengkap,

Poerwokoesoemo membuat tulisan berupa tanggapan terhadap

disertasi Soemardjan, yakni memberikan informasi penting

terhadap kebenaran beberapa peristiwa yang dialami oleh

                                                             36Ryadi Goenawan & Darto Harnoko, Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta: Mobilitas Sosial DIY Periode Awal Abad 20 (Jakarta: Depdikbud, 1993). 37Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 1991). Untuk edisi revisi lihat Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Terj. Mochtar Pabotinggi (Yogyakarta: Komunitas Bambu, cetakan kedua, 2009).

Page 26: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

26

 

Poerwokoesoemo selama menjadi orang terdekat yang bekerjasama

dengan Sultan Hamengku Buwana IX.38

Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya,

jilid tiga (2000), menjelaskan tentang warisan kerajaan-kerajaan

konsentris. Dalam tatanan masyarakat yang hierarkis, raja

merupakan poros dunia yang bertugas mempertahankan

keserasian mikrokosmos dan makrokosmos. Setelah masuknya

Islam, raja tidak lagi dianggap sebagai perwujudan dewa,

melainkan wakil Tuhan di dunia, sebagai Kalifatullah, yaitu figur

penerima wahyu illahi.39

P.J. Suwarno dalam Sultan Hamengku Buwana IX dan

Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 (1994),

dengan detail menjelaskan berbagai pemikiran Sultan Hamengku

Buwana IX dalam birokrasi pemerintahan, tekad sultan

melepaskan diri dari penjajahan dan kemampuan sultan

memadukan birokrasi modern dengan pemerintahan berdasarkan

tradisi. Di bagian awal, dibahas mengenai proses perubahan

birokrasi pemerintahan Keraton Yogyakarta mulai zaman Jepang

hingga pangrèh praja tahun 1945.40

                                                            38Soedarisman Poerwokoesoemo, Tanggapan Atas Disertasi

Berjudul Perubahan Sosial Di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986).

39Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan Konsentris (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, jilid 3, 2000) 40P.J. Suwarno, Sultan Hamengku Buwana IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

Page 27: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

27

 

Buku berjudul Tahta Untuk Rakyat (1982), yang disunting

oleh Atmakusumah, menjelaskan berbagai peristiwa dalam

kehidupan Sultan Hamengku Buwana IX dari masa ke masa.

Tulisan Kustiniyati Mochtar dalam buku itu menjelaskan

perjalanan hidup Sultan Hamengku Buwana IX dari kecil hingga

bertahta menjadi raja, peran Sultan dalam melawan Jepang,

proklamasi kemerdekaan RI, perang kemerdekaan, serangan

umum 11 Maret 1949, hingga berbagai cuplikan pengalaman

irasional maupun rasional yang bermanfat bagi pengembangan

kota Yogyakarta. Buku ini sangat penting karena berisi berbagai

pemikiran sultan yang dirangkai dalam tulisan teman-teman

terdekatnya. Adam Malik dalam kata sambutan menjelaskan

bahwa Sultan Hamengku Buwana IX memiliki tiga sifat sekaligus,

yaitu sebagai patriot, seorang raja dan sahabat. Sifat sultan yang

sederhana, tenang, tegas serta keagungan yang dimilikinya

menumbuhkan rasa kagum dan hormat. Jiwa nasionalisme dan

patriotisme dalam pribadi sultan menunjukkan sosok sultan yang

demokratis dan setia dalam perjuangan. Sultan Hamengku

Buwana IX dilukiskan sebagai tokoh yang sangat terbuka

terhadap gagasan-gagasan baru yang bernaluri politik.41

                                                            41Atmakusumah (ed.), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan

Sultan Hamengku Buwono IX (Jakarta: PT. Gramedia, 1982).

Page 28: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

28

 

Buku Vincent Houben berjudul Kraton and Kumpeni:

Surakarta and Yogyakarta 1830-1870 (1994), lebih banyak

menjelaskan aspek sejarah, antara lain tentang hubungan baru

antara pemerintah Belanda dan para pangeran Jawa pada tahun

1830, dibangunnya aparat pemerintah Belanda di kerajaan

Surakarta dan Yogyakarta, aktivitas ekspansionis yang dilakukan

Belanda, kehidupan politik, sosio-ekonomi kerajaan Surakarta dan

Yogyakarta, dan evaluasi dampak perubahan ekonomi terhadap

struktur sosial kedua kerajaan tersebut.42

James R. Brandon dalam buku Jejak-jejak Seni Pertunjukan

di Asia Tenggara terjemahan R.M. Soedarsono (2003), membahas

tentang kepercayaan animisme tentang raja yang dipercaya

mewakili esensi dari negara. Istananya adalah sebuah model

mikrokosmos dari makrokosmos kerajaan. Raja sebagai penguasa

negara menghimpun kekuatan spiritual. Ketika Hindu masuk ke

Asia Tenggara, raja dianggap sebagai dewa yang hidup, seorang

manusia yang di dalamnya adalah seorang dewa Hindu, pelindung

masyarakat. Ia menguasai kekuatan secara total, politik, sosial,

dan keagamaan, serta kepadanya ditujukan semua aspirasi

masyarakat. Pada rangkaian waktu tertentu, raja membangun

                                                             42Vincent J.H. Houben, Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870 (Leiden: KITLV Press, 1994).

Page 29: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

29

 

hubungan ritual dengan nenek moyangnya. Untuk memperkuat

kedudukannya, raja menerima kekuatan magi baru dari mereka.43

Clifford Geertz dalam buku berjudul Abangan, Santri, Priyayi

Dalam Masyarakat Jawa (1983), menjelaskan tentang ritual,

upacara-upacara, kepercayaan orang Jawa, pengobatan, sihir dan

magi sebagai varian abangan. Dibahas pula perkembangan Islam,

pendidikan, dan pelaksanaan hukum Islam. Dalam konteks

penelitian ini, bahasan mengenai priyayi yang dijelaskan Clifford

Geertz perlu diperhatikan, terkait dengan budaya wong agung

dengan subjek penelitian ini yakni seorang raja, sehingga latar

belakang, dimensi umum kepercayaan dan etika priyayi perlu

ditelaah lebih lanjut. Demikian pula yang terkait dengan mistik

dan peranan kesenian klasik dan kesenian rakyat.44

Niels Mulder dalam buku Kepribadian Jawa dan

Pembangunan Nasional (1978), menelaah pandangan hidup orang

Jawa, dasar moril dan cara berpikir orang Jawa. Menurut Mulder,

orang Jawa memandang dan mengalami kehidupan mereka

sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis.

Kehidupan orang Jawa selalu bersifat seremonial. Tiga proporsi

dalam cara berfikir orang Jawa disebutkan antara lain: (1) bentuk

lebih penting daripada isi, bentuk menentukan isi, dan bentuk                                                              43James R. Brandon, Jejak-jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara, Terj. R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST UPI, 2003). 44Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).

Page 30: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

30

 

menguasai kenyataan. Isi termasuk bentuk, keduanya tidak bisa

terpisah; (2) bentuk yang sempurna sudah ada, bentuk ini hanya

harus ditaati dan diisi. Untuk mengisi bentuk yang sempurna itu,

orang harus menunggu waktu baik. Kesempurnaan adalah suatu

konsep yang statis; (3) waktu tidak memainkan peranan yang

penting. Sebagai variabel yang berdiri sendiri, waktu tidak

dipahami, sedangkan bentuk adalah buah pikiran yang paling

penting dan sudah meliputi waktu. Waktu dan isi tidak

didiferensiasikan dari bentuk.45

Tulisan Franz Magnis-Suseno berjudul Etika Jawa (2001),

sebuah kajian filsafat tentang kebijaksanaan hidup orang Jawa

menjadi sangat penting untuk pegangan dalam analisis data.

Buku ini membahas kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa

yang bertumpu pada prinsip kerukunan, hormat dan keselarasan

sosial. Di bagian lain dijelaskan tentang pandangan dunia Jawa

tentang alam numinus dan dunia, alam numinus dan kekuasaan,

serta dasar numinus keakuan dan takdir. Buku ini juga

membahas mengenai sikap batin dan tindakan yang tepat dalam

dunia, serta etika sebagai kebijaksanaan hidup khususnya

mengenai relativasi baik-buruk, moral dan estetika. Dalam

pandangan hidup Jawa, yang menentukan dalam agama bukan

                                                             45Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978).

Page 31: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

31

 

masalah kebenaran, melainkan apakah pandangan dunia itu

cocok dengan pengalaman, artinya dapat dirasakan sebagai

sesuatu yang bermakna.46

Pandangan dunia bagi orang Jawa oleh Franz Magnis-

Suseno dan S. Reksosusilo CM dalam bukunya Etika Jawa Dalam

Tantangan (1983) dibedakan menjadi empat lingkaran bermakna.

Lingkaran pertama lebih bersifat ekstrovert yakni intinya adalah

sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan numinus

antara alam, masyarakat dan alam adikodrati yang keramat, yang

dilaksanakan dalam ritus, tanpa refleksi eksplisit terhadap

dimensi batin sendiri. Lingkaran kedua memuat penghayatan

kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus. Lingkaran

ketiga berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan

ke persatuan dengan yang numinus. Di sini unsur-unsur dari

lingkungan pertama diterjemahkan ke dalam dimensi pengalaman

kebatinan sendiri dan sebaliknya alam lahir distrukturasikan

dengan bertolak dari dimensi batin. Lingkaran keempat adalah

penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Illahi. 47

Berdasarkan beberapa pustaka yang telah diuraikan

tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa belum ada yang

membahas secara khusus mengenai tata ruang interior Keraton                                                             

46Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001).

47Franz Magnis-Suseno dan S. Reksosusilo CM., Etika Jawa Dalam Tantangan (Yogyakarta: Kanisius, 1983).

Page 32: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

32

 

Yogyakarta, terutama dikaji dari elemen estetikanya. Penelitian

disertasi yang diusulkan ini belum pernah diteliti orang lain

sehingga dapat dijamin orisinalitasnya.

E. Landasan Teori

Sebuah objek desain timbul disebabkan oleh sifat

multidisipliner yang membangunnya, yang dapat diurai dan

dijelaskan dengan menggunakan berbagai teori. Pendekatan ialah

sudut pandang atau dari segi mana peneliti memandang, dimensi

mana yang diperhatikan, dan unsur-unsur mana yang

diungkapkan. Pendekatan dapat dioperasionalisasikan dengan

bantuan seperangkat konsep dan teori. Teori merupakan alat

untuk mempermudah analisis dan sintesis.48 Dalam penelitian ini,

pendekatan yang digunakan yakni pendekatan historis,

hermeneutika, dan estetik, dengan landasan teori kebudayaan,

perkembangan dan perubahan, dan estetika arsitektur-interior.

1. Pendekatan Historis

Pendekatan historis digunakan untuk pengamatan

rangkaian peristiwa dalam sistem sosial kultural yang

menghasilkan artifak budaya sebagai wujud dari kompleks

aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat

                                                            48Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi

Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), 3-6.

Page 33: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

33

 

atau sistem sosial. Ketika peristiwa yang satu mengakibatkan

peristiwa yang lain, tentu berkaitan dengan aspek sinkronis dan

diakronis. Walker dalam bukunya Design History and the History

of Design (1989) menjelaskan bahwa kajian sinkronis memusatkan

perhatian pada kesatuan yang mencakup unsur-unsur serta

hubungan pengaruh-mempengaruhi dalam situasi tertentu. Kajian

sinkronik membahas mengenai sistem atau struktur, sedangkan

kajian diakronik memusatkan perhatian pada perubahan

(dipahami sebagai studi tentang proses).49 Proses adalah aspek

dinamis dari struktur, dan sebaliknya, struktur adalah aspek

statis dari proses.50

 

 

 

 

 

Bagan 1. Telaah objek studi secara sinkronis dan diakronis (Walker, 1989:80).

                                                            49John A. Walker, Design History and the History of Design

(London: Pluto Press, 1989), 80; seri terjemahannya berjudul Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. Laily Rahmawati (Yogyakarta: Jalasutra, 2010); lihat pula Kartodirdjo, 1993:40-41.

50Kartodirdjo, 1993: 52.

Analisis Diakronis WAKTU

An

alis

is

Sin

kron

is

RU

AN

G

Objek Penelitian

(Tra

nsve

rsal

)

Longitudinal 

Page 34: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

34

 

Semua gejala, hubungan-hubungannya, interaksi antara

objek-objek, pendeknya, seluruh proses terjadi dalam situasi atau

moment (saat) tertentu, proses ini dapat dikatakan terjadi secara

sinkronis. Segala sesuatu, ada dalam keadaan perkembangan

dalam waktu, atau dengan perkataan lain semua yang ada pada

masa kini adalah hasil dari perkembangan masa lampau. Apabila

segala sesuatu dilacak bagaimana perkembangannya, maka

pendekatannya adalah diakronis. Perubahan serta keadaan masa

kini adalah nuansa dari arus yang telah dilalui dari awal

pertumbuhannya. Perspektif historis melihat masa kini tidak

terlepas dari masa lampau dan identitasnya. Sebaliknya,

gambaran masa lampau ditentukan oleh pandangan masa kini.

Pandangan masa kini mengarahkan seleksi dan penyorotan gejala

berdasarkan jiwa zaman, sedangkan masa lampau tidak dapat

melihat masa kini sebagai sesuatu dalam isolasi atau dalam

vakansi. Perspektif historis mempunyai dua dimensi, yakni aspek

masa kini dan aspek masa lampau.51

Pendekatan diakronis digunakan untuk merekonstruksi

secara eksplanatonis latar belakang tampilnya artifak Keraton

Yogyakarta dan perkembangannya, serta berbagai pemikiran

Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan Hamengku Buwana

X yang mendorong perubahan eksistensi dan fungsi keraton.

                                                            51Kartodirdjo, 1993: 40-41.

Page 35: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

35

 

Adapun pendekatan sinkronis dalam tata ruang interior dipandang

sebagai kesatuan elemen desain yang saling berhubungan untuk

mencapai keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), dan

kesatuan (unity) dalam pengertian seni rupa. Analisis sistem ini

akan diterapkan dalam mengkaji unsur rupa tata ruang interior

Keraton Yogyakarta berdasarkan pada fakta fisik yang diterapkan,

pada pilihan penelitian yang bersifat kolektif tetapi saling terkait

dalam keterikatan jaringan fungsional.

2. Pendekatan Hermeneutika

Pendekatan hermeneutika digunakan untuk memahami

makna keberadaan (ontologi) tata ruang interior Keraton

Yogyakarta melalui penafsiran. Pendekatan ini digunakan untuk

menemukan kompleksitas dari ide, gagasan, serta nilai religi,

filosofi, dan budaya dibalik wujud estetika tata ruang interior

Keraton Yogyakarta. Hermeneutika adalah metode penafsiran atau

interpretasi makna yang kontekstual, yang di dalamnya makna

setiap entitas ditentukan oleh konteks keseluruhan.52

Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau

                                                            52Yasraf Amir Piliang, “Esai Pembuka: Pendekatan dalam

Penelitian Desain, Pelbagai Perkembangan Paradigma”, dalam John A. Walker, Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. Laily Rahmawati (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), xviii, xix.

Page 36: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

36

 

situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Semua interpretasi

mencakup pemahaman.53

Ricoeur menguraikan bahwa hermeneutik bertujuan

menghilangkan misteri simbol-simbol dalam teks dengan cara

membuka tabir yang belum diketahui dan tersembunyi dalam

simbol itu sendiri. Hermeneutik adalah teori pengoperasian

pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi atau

penafsiran teks. Apa yang diucapkan atau ditulis mempunyai

makna lebih dari satu (multiple meaning), bila dihubungkan

dengan konteks yang berbeda. Menurut Ricoeur, metode

hermeneutik sangat terbuka lebar dalam upaya memberikan

makna teks atau tanda-tanda, yang di dalamnya memuat

hubungan/relasi bersama antara tafsir dan tanda-tanda. Dalam

tafsir simbolik, terkandung pengertian dari ekspresi extralinguistic

reality.54 Seorang penafsir dalam membaca teks harus

memperhatikan keseluruhan dari events, persons, institutions, dan

natural atau historical realities are articulated.55 Ricoeur

menguraikan ada tiga tahapan dalam hermeneutik, yakni (1) level

semantik, yaitu bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi

                                                            53E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat

(Yogyakarta: Kanisius, 1999), 24, 30. 54Paul Ricoeur, “The Problem of Double Meaning as Hermeneutic

Problem and as Semantic Problem”, dalam Stephen David Ross (ed.), Art and Its Significance: an Anthology of Aesthetic Theory (State University of New York, 1987), 397, 399.

55Ricoeur, 1987: 398.

Page 37: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

37

 

ekspresi ontologi, (2) level refleksi, yaitu mengangkat lebih tinggi

lagi posisi hermeneutik pada level filosofi, dan (3) level eksistensial,

yaitu membeberkan hakikat dari pemahaman, tersingkap

pemahaman dan makna.56

Semua objek budaya pada dasarnya netral. Hanya subjek

yang memberi arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada

objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Sebuah

benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh

perhatian atas benda itu. Objek dan makna tidak pernah terjadi

secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek

itu netral, sehingga makna dalam sebuah teks tidaklah ada di

balik atau di belakangnya, melainkan ada di depannya.57 Dalam

hal ini, Keraton Yogyakarta nantinya akan dijadikan objek yang

dianalisis dalam konteks situasinya, dikaji secara hermeneutik

untuk menangkap makna yang terefleksi sebagai jiwa zamannya.

3. Pendekatan Estetik

Keraton Yogyakarta sebagai wujud kebudayaan berupa objek

tangible, akan dibedah dengan menggunakan pendekatan estetik

yang menekankan aspek seni dan desain dalam kaitannya dengan

kekuatan estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta.

                                                            56Ahmad Norma Permata “Hermeneutika Fenomenologis”, dalam

Nafisul Atho & Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 227-230.

57Sumaryono, 1999: 30-31.

Page 38: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

38

 

Diungkapkan oleh Yasraf Amir Piliang, “Esai Pembuka:

Pendekatan dalam Penelitian Desain, Pelbagai Perkembangan

Paradigma”, dalam John A. Walker, Desain, Sejarah, Budaya:

Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. Laily Rahmawati (2010)

bahwa, kekuatan estetika muncul dari aspek bentuk, isi (simbol),

dan ekspresi (ungkapan emosi).58

Seni dan desain adalah bidang yang memiliki satuan

keilmuan yang terbuka dan dinamis. Sebuah objek desain,

disebabkan oleh sifat interdisiplin yang membangunnya, dapat

didekati dari pelbagai pendekatan. Desain mempunyai bidang

penelitian khusus yang melibatkan di dalamnya filsafat,

keteknikan, dan estetik. Objek penelitian desain bersifat spesifik,

terdiri dari dunia objek, manusia yang terkait, struktur yang

membangunnya, serta nilai dan makna yang terkandung di

dalamnya. Penelitian tentang objek-objek konkret dapat berupa

deskripsi atau analisis tentang sifat-sifat fisik, material atau wujud

tangiblenya; akan tetapi dapat pula berupa interpretasi terhadap

kandungan-kandungan abstrak di baliknya (nilai, ide, esensi,

ideologi, makna).59 Estetika tidak semata berkenaan dengan

persepsi visual-fisikal saja, namun mencakup konsep yang

abstrak, yakni yang benar, teratur, dan berguna. Estetika memiliki

                                                            58Piliang, 2010: xxiii. 59Piliang, 2010: xiii-xi.

Page 39: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

39

 

watak transendental, keberaturan, dan pragmatik. Desain

hendaknya menunjukkan kebenaran estetik, sebab desain adalah

suatu kearifan yang ditampakkan.60

Pembahasan estetika dalam karya seni dan desain berkisar

pada dua arus, yakni: (1) Pendekatan dari dalam atau intrinsik,

yaitu pendekatan yang mencoba memahami rasa, yakni resensi

seni yang mencoba memberi apresiasi dari dalam serta dari kode

yang dipunyai oleh karya itu sendiri. Pendekatan ini memberi

objektivitas dalam penilaian karya. (2) Pendekatan dari luar ke

karya seni melalui disiplin ilmu atau kacamata kode ilmu itu

untuk membedah karya tersebut. Pendekatan ini disebut

ekstrinsik. Keuntungan pendekatan ini terletak pada kesadaran

terhadap subjektivitas karya seni.61 Dalam disertasi ini, kedua

pendekatan itu digunakan. Melalui pendekatan intrinsik, peneliti

mencoba memahami realitas budaya dengan mengamati fenomena

di lapangan, sedangkan pendekatan ekstrinsik digunakan untuk

menginterpretasikan estetika tata ruang interior Keraton

Yogyakarta berdasarkan landasan teori yang sudah ditetapkan.

                                                            

60Widagdo, “Estetika dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Perannya dalam Desain”, dalam Jurnal Ilmu dan Desain (Bandung: vol.1, no.1, ITB, 2006), 11.

61FX. Mudji Sutrisna, “Kritik Seni”, dalam Teks-Teks Kunci Estetika: Filsafat Seni (Yogyakarta: Galang Press, 2005), 269.

Page 40: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

40

 

4. Teori Kebudayaan

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul

Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (2002) menjelaskan

bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan,

dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat,

yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Ditegaskan

Koentjaraningrat bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu:

(1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2)

wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta

tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat (social system);

(3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya

manusia/kebudayaan fisik.62

Manusia dalam konteks kebudayaan, Cassirer menjelaskan

sebagai berikut. (1) Ciri utama manusia terletak pada karyanya.

Bahasa, mitos, religi, kesenian, dan sejarah merupakan wujud

kebudayaan yang penting dan saling kait-mengkait dalam satu

ikatan, baik vinculum substantiale (ikatan substansial) maupun

vinculum functionale (ikatan fungsional). Dalam hal semua itu,

makna budaya sangat esensial dan penting.63 (2) Akivitas budaya

manusia dilakukan untuk mencapai tujuan dalam kesatuan                                                             

62Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2002), 5-8.

63Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: PT Gramedia, 1987), 104-106.

Page 41: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

41

 

tindakan yang harmoni dalam suatu fokus pemikiran.64 (3) Dalam

keanekaan dan kemajemukan, mitos, religi, seni, bahasa, bahkan

ilmu pengetahuan, kini ditinjau sebagai beraneka penjelmaan dari

tema yang sama – dan tugas filsafat adalah membuat agar tema

itu dapat didengar dan dipahami.65 Teori budaya yang dirumuskan

Cassier ini dapat memperkaya analisis dalam memecahkan

masalah penelitian yang ditetapkan.

5. Teori Perkembangan dan Perubahan

Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis,

bukan sesuatu yang kaku atau statis. Kebudayaan merupakan

cerita tentang perubahan-perubahan, riwayat manusia yang selalu

memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah

ada. Kebudayaan dilukiskan sebagai suatu tahap atau bagian

dalam cerita tentang sejarah perkembangan. Gejala kebudayaan

selalu berlangsung dalam suatu ketegangan antara lingkaran fakta

yang mengurung manusia dalam keniscayaan alam dan

keterbukaan yang dicapai oleh penilaian kritis (evaluasi),

ketegangan antara imanensi (serba terkurung), dan transendensi

(yang mengatasi sesuatu, berdiri di luar sesuatu).66

                                                            64Cassirer, 1987: 108. 65Cassirer, 1987: 108. 66C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Terj. Dick Hartoko

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988), 9-10.

Page 42: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

42

 

Setiap kebudayaan memiliki sistem budaya yang berfungsi

sebagai pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia. Sejak

kecil seorang individu telah diresapi dengan nilai-nilai budaya

masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu telah berakar di

dalam mentalitasnya dan kemudian sukar diganti dengan yang

lain dalam waktu yang singkat.67 Kuntowijoyo memberi gambaran

bagaimana tipe ideal budaya tertentu diaktualisasikan. Jika

memakai pendekatan idealis, maka masalah pokoknya ialah the

informing spirit dalam kebudayaan, sedangkan yang tampak dalam

pendekatan materialis, yakni a whole social order, bahwa produk

estetika dan intelektual merupakan ekspresi dari kegiatan sosial

yang timbul karena sistem sosial kultural.68

Objek tangible berupa bangunan dan isinya, tidak dapat

dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya. Kuntowijoyo

menjelaskan bahwa sebuah sistem budaya tidak pernah berhenti.

Ia mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena

dorongan internal maupun eksternal.69 Menurut Kuntowijoyo,

terdapat dikotomi sosial dan budaya antara golongan bangsawan

dan petani, budaya istana dan budaya rakyat, yang masing-

masing mempunyai lembaga, simbol, dan normanya sendiri.                                                              67Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: Penerbit UI Press, 1990), 77.

68Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Edisi Kedua, PT. Tiara Wacana, 2003), 134, 135.

69Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Penerbit PT. Tiara Wacana Yogya, 1987), xi-xii.

Page 43: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

43

 

Sekalipun ada dikotomi, ada pula mobilitas budaya, ke atas atau

ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol, dan norma

mengalami transformasi.70

Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pemikiran dan

Perkembangan Historiografi Indonesia (1982), menjelaskan setiap

perkembangan kebudayaan mencakup penerimaan suatu tubuh

isi kebudayaan, baik secara warisan tradisional mau pun

pengaruh dari luar.71 Menurut Sartono, sistem sosial kultural

adalah suatu kesatuan dari segmen dan institusi sosial yang

mempunyai hubungan erat satu sama lain yang saling

mempengaruhi. Sistem sosial kultural ini menunjukkan berbagai

macam masyarakat, yang struktur dan fungsinya ditentukan oleh

warisan kultural dari lingkungan tempat masyarakat tersebut.

Dalam perkembangan dan pertumbuhannya, dari yang sederhana

sampai yang kompleks, kesatuan dan kebiasaan kultural yang

sudah ada lebih dahulu tidaklah hilang. Namun, integrasi sosial

kultural mempunyai akibat yang langsung pada stratifikasi sosial

kultural beserta sistem statusnya. Proses integrasi itu dilukiskan

sebagai interaksi antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil.

                                                            70Kuntowijoyo, 1987: 6-7. 71Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi

Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1982), 127.

Page 44: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

44

 

Koeksistensi dan bercampurnya Tradisi Besar dan Tradisi Kecil

melahirkan peradaban campuran.72

Seni dan budaya mengkomunikasikan nilai-nilai yang

mendasari tindakan manusia dengan menyertai gambaran atas

hasil atau akibatnya. Seni dan budaya dipelajari melalui persoalan

fungsi komunikatif dan makna yang dikandungnya. Kecuali ciri-

ciri arkeologisnya, perlu diuraikan ciri-ciri efektif yang ada dalam

simbolismenya. Karya seni menciptakan bentuk untuk

mengkomunikasikan pengalaman kolektif dalam mewujudkan

tujuan atau makna tertentu. Ekspresi simbolis dipergunakan

untuk menciptakan dan mempertahankan susunan masyarakat.

Bentuk dan isinya merupakan fungsi pokok dari seni dan budaya

untuk meneruskan makna kehidupan.73

Karya-karya seni menyampaikan perasaan emotif yang tak

meragukan lagi berhubungan erat dengan tatanan moral dari satu

fase sejarah serta zaman budaya. Claire Holt membagi garis besar

kerangka zaman menjadi lima, yakni (1) prasejarah, (2) persebaran

agama-agama India, abad I atau II M sampai dengan abad XVIM,

(3) penyebaran Islam, sejak kurang lebih tahun 1250 hingga

sekarang, (4) penetrasi dan ekspansi dominasi perdagangan politik

Eropa, abad ke 16 sampai 1945, (5) masa republik Indonesia yang

                                                            72Kartodirdjo, 1982: 129-132.

73Kartodirdjo, 1982: 125-126.

Page 45: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

45

 

merdeka, 1945 hingga sekarang. Perkembangan gaya seni masa

prasejarah hingga sekarang merefleksikan sebuah perasaaan

dunia yang berubah. Pada masa prasejarah digeneralisasikan citra

manusia secara skematis yang dibedakan terutama oleh ciri-ciri

khas jenis kelaminnya. Pada masa Indonesia Hindu, perbedaan

pada satu sisi menekankan status, yaitu tinggi dan rendah, dan

pada sisi lain polaritas, ilahi, dan keraksasaan. Pada masa

pendewaan raja-raja ini, keindahan adalah atribut para dewa dan

raja. Di Jawa pada masa lampau, kreativitas artistik mengabdi

pada fungsi ritual magis dan religius, memberi bentuk yang nyata

pada mitos, serta meningkatkan kehidupan seremonial yang

sekuler pada semua peristiwa penting, baik di istana raja-raja atau

pada komunitas desa. Kematian dan kesuburan adalah poros

utama. Sistem keagamaan bertujuan untuk memperkokoh

kelanggengan kehidupan manusia dalam sebuah kontinuitas

keabadian. Di masa sekarang ini, konteks sosial kultural dapat

dilihat secara langsung. Ide-ide dan nilai-nilai baru timbul dan

banyak mempengaruhi pandangan hidup masyarakat. Semangat

nasionalisme mendorong pencarian gaya simbolis dari jiwa

nasional secara kolektif, demokratis, dan mendorong pencarian

ekspresi pribadi yang tinggi.74 Perkembangan gaya seni

                                                            74Claire Holt, Melacak Jejak-jejak perkembangan seni di Indonesia.

Terj. RM. Soedarsono (Bandung: Arti. Line, 2000), xxii-xxix.

Page 46: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

46

 

berdasarkan periodisasi zaman itu merupakan realitas yang

berguna untuk penelusuran seni yang berpengaruh terhadap

objek kajian. Event dalam realitas sejarah Keraton Yogyakarta

bermanfaat untuk menemukan pemahaman dalam interpretasi

makna estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta.

6. Teori Estetika Ruang Arsitektur-Interior

Aesthetic is the science of sensuous knowledge whose aim is

beauty (estetika adalah ilmu tentang pengetahuan inderawi yang

tujuannya adalah keindahan).75 Estetika sesungguhnya bukan

hanya kesenian dalam arti sempit, tetapi lebih sebagai seluruh

kemampuan kreatif manusia dalam kebudayaannya. Kemampuan

kreatif tersebut yang kemudian memberi bahasa-bahasa

pengucapan tentang keindahan. Estetika dapat berfungsi sebagai

katarsis (upaya pembersihan atau penyucian diri, pelepasan diri

dari ketegangan spiritual), juga dapat berfungsi sebagai ekspresi

nilai-nilai yang diperjuangkan. Estetika juga berfungsi sebagai

ungkapan religiositas atau perasaan keberagaman.76

Mudji Sutrisno menyebutkan peranan estetika ada tiga,

yakni: (1) Estetika sebagai tata harmoni dalam ukuran. Apa yang

hinggap adalah sebuah simetri, sebuah harmonisasi dalam

                                                            75The Liang Gie, Garis Besar Estetik: Filsafat Keindahan

(Yogyakarta: Karya Yogyakarta, 1976), 15. 76FX. Mudji Sutrisna, “Estetika dan Religiositas”, dalam Teks-Teks

Kunci Estetika: Filsafat Seni (Yogyakarta: Galang Press, 2005), 184.

Page 47: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

47

 

sesuatu yang dapat diukur dengan keseimbangan; (2) Estetika

sebagai jalan kontemplasi. Secara simbolik, yang puncak itu selalu

merupakan simbol Yang Ilahi, orang diharapkan melepaskan

nafsunya, karmanya, dengan seluruh hiasan duniawinya, lalu

menuju ke atas dengan nuraninya yang bersih. Akhirnya, yang

harus menghadap pada Tuhan adalah roh, spirit, soul itu sendiri.

Soul ini tanpa bentuk; (3) Estetika sebagai ungkapan rasa

manusia. Estetika itu merupakan bentuk pengungkapan perasaan

manusia mengenai keindahan. Manusia menyatukan ungkapan

rasa keindahan dari Yang Ilahi dengan rasa religius. Setiap

manusia mempunyai kepekaan intuisi untuk berkomunikasi

dengan orang lain tanpa tersekat baju agama. Manusia akan

mampu memahami perbedaan itu dengan mudah, meskipun

berbeda latar belakangnya.77

Ernst Cassirer, dalam buku Manusia dan Kebudayaan:

Sebuah Esei Tentang Manusia, Terj. Alois A. Nugroho (1987),

menjelaskan bahwa representasi ruang dan hubungan spasial

tidak hanya sekadar memperlakukan suatu benda dengan cara

yang tepat dan demi penggunaan praktis, tetapi seseorang

memiliki konsepsi menyeluruh mengenai benda dalam ruang, dan

mengkajinya dari berbagai sudut pandang agar hubungannya

                                                            77Sutrisno, “Estetika dan Religiositas”, 2005: 190-198.

Page 48: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

48

 

dengan objek lain dalam ruang dapat terlihat, dan

menempatkannya dalam keseluruhan sistem.78

Analisis formal karya seni dan desain mempertimbangkan

pertama-tama efek estetik yang diciptakan oleh bagian-bagian

komponen formal dari seni dan desain, yakni elemen bentuk

seperti garis, raut (shape), tekstur, ruang, warna, dan cahaya,

yang disusun dengan pertimbangan prinsip desain untuk

menghasilkan komposisi dalam kesatuan desain.79 Fungsi simbolis

dari keseluruhan bentuk arsitektural adalah menghidupkan

tanda-tanda material yang membuatnya berbicara. Dalam ruang

simbolis, manusia tidak berurusan dengan benda fisik atau objek

perseptual, karena yang dipelajari manusia adalah relasi spasial,

yang untuk menyatakannya dalam bentuk simbol adekuat.80

Ruang dalam konteks arsitektur-interior adalah substansi

materi. Ruang sebenarnya tidak berbentuk dan terdispersi. Pada

saat suatu unsur diletakkan pada suatu bidang, barulah

hubungan visualnya terbentuk. Ketika unsur-unsur lain mulai

diletakkan pada bidang tersebut, terjadilah hubungan majemuk

antara ruang dan unsur-unsur tersebut maupun antar unsur satu

dengan unsur lainnya.81 Jadi, ruang terbentuk karena ada unsur

                                                            78Cassirer, 1987: 63, 69. 79Piliang, 2010: xxiii-xxiv.

80Cassirer, 1987: 54, 36-40. 81Francis DK.Ching, Ilustrasi Desain Interior, Terj. Paul Hanoto

Adjie (Jakarta: Erlangga, 1996), 10.

Page 49: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

49

 

pembentuknya. Ruang pada dasarnya realitas tidak teraba, tetapi

dapat dirasakan kehadirannya oleh panca indera manusia.

Seseorang dapat merasakan ruang di alam bebas dengan awan

sebagai langit-langit, pegunungan atau lembah sebagai dinding,

dan tanah berpijak sebagai lantai. Pengertian ini menjelaskan

bahwa orang tersebut berada di dalam ruang semesta raya,

sehingga istilah ’tata ruang Keraton Yogyakarta’ dalam penelitian

ini digunakan untuk menjelaskan tata ruang keraton dalam

lingkup ruang makrokosmos.

Arsitektur artinya berbahasa dengan ruang dan gatra,

dengan garis dan bidang, dengan bahan material dan suasana

tempat. Berarsitektur adalah berbahasa manusiawi, dengan citra

unsur-unsurnya, baik dengan bahan material mau pun dengan

bentuk serta komposisi. Bahasa arsitektur adalah kejujuran dan

kewajaran. Keindahan arsitektur adalah pancaran kebenaran.82

Unsur pembentuk ruang dalam arsitektur-interior dikenal seperti

titik, garis, bidang, dan volume. Unsur-unsur ini dapat dirangkai

untuk menegaskan dan membentuk ruang, untuk membedakan

bagian dalam dan bagian luar, dan membentuk batas-batas fisik

ruang interior, sehingga pada saat seseorang memasuki suatu

bangunan, akan merasakan adanya naungan dan perlindungan.

                                                            82Mangunwijaya, Wastu Citra (Jakarta: PT. Gramedia, 2009),

13,20.

Page 50: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

50

 

Persepsi ini timbul karena batas-batas fisik yang membentuk

ruang. Bidang-bidang memagari ruang, menegaskan batas-

batasnya, dan memisahkan ruang makrokosmos dengan ruang

interior sebagai ruang mikrokosmos, tempat bernaung dan

berlindung bagi manusia.83 Atas dasar pengertian ini, maka istilah

’tata ruang interior Keraton Yogyakarta’, digunakan untuk

menjelaskan ruang dalam konteks jêron bètèng Keraton

Yogyakarta. Bètèng menjadi batas fisik yang memisahkan ruang

hunian sultan (tempat bernaung dan berlindung) dengan ruang

luar dan atau ruang makrokosmos.

Interior adalah satu bagian integral dari struktur dalam

bangunan, yang berarti bahwa desain interior tidak mungkin lepas

dari arsitektur dan hanya dapat dipelajari dalam satu konteks

arsitektur.84 Interior adalah solusi bagi suatu pemecahan masalah,

bukan hanya menyangkut kombinasi bentuk yang indah, tekstur,

warna, material, namun juga tiap-tiap bagian dalam suatu interior

mempunyai fungsi dan tujuan yang menjawab kebutuhan

manusia. Adalah kewajiban perancang untuk memenuhi tuntutan

kebutuhan fungsi pemakai ruang. Jika interior tidak sesuai

dengan tujuan fungsi yang diharapkan, maka terjadi kegagalan

                                                            83Ching, 1996: 11, 14. 84John F. Pile, A History of Interior Design (London: Laurence King,

2000), 8-9.

Page 51: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

51

 

desain.85 Faktor manusia sebagai pemakai merupakan aspek

penting, karena fasilitas ruang selalu direncanakan untuk

mewadahi kegiatan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan

psikologi, rasa aman, sosial, penghargaan, maupun aktualisasi

diri. Kesesuaian jenis kegiatan manusia harus dapat ditampung

pada dimensi ruang yang berwujud.86

Estetika tata ruang Keraton Yogyakarta dalam konteks religi

dapat ditelusuri dengan menggunakan pengetahuan tentang

kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Dalam

pandangan kepercayaan masyarakat mitologis, Rachmat Subagya

membedakan faham mengenai ketuhanan menjadi tujuh. Bila

sikap kasih dan sikap taqwa seimbang dan saling melengkapi, dan

keduanya diarahkan kepada pribadi Tuhan yang bersifat baik dan

adil, maka terdapat teisme dan monoteisme. Kerapkali sikap itu

samar-samar, kabur sehingga tidak menggugah hati manusia.

Tuhan Pencipta lalu dianggap tersembunyi jauh di atas

ciptaannya. Ia menjadi serba gaib, berjarak panjang, dan paling

asing bagi manusia yang tidak berani lagi mengucapkan namaNya

(deisme). Dengan menjauhkan Tuhan dari ruang lingkup insani,

maka manusia dibawa oleh kecenderungan hati untuk jadi dekat

dengan Yang Gaib, mengibaratkan ketuhanan sebagai badan                                                             

85Arnold Friedman, John F. Pile, Forrest Wilson, Interior Design (New York: Elsevier, 1982), 166.

86J. Pamudji Suptandar, Desain Interior (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999), 39-44.

Page 52: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

52

 

alamiah seperti matahari, bulan atau bumi (mitologi alam) atau

mengkhayalkannya sebagai penghuni pohon atau sebagai arwah

para leluhur (animism, manisme). Pandangan lain menganggap

Tuhan terwujud dalam manusia, terutama dalam diri raja (raja-

dewa). Akhirnya daya gaib dianggap bersemayam dalam benda

alam seperti gunung, batu, dan api (dinamisme) atau dalam benda

yang dibuat tangan manusia seperti patung dan jimat (fetisisme).87

Estetika tata ruang Keraton Yogyakarta dalam konteks

filosofi, menganut pola tipologi keraton-keraton di Jawa.

Mangunwijaya menjelaskan bahwa bentuk-bentuk arsitektural

hadir sebagai sarana mitis penghadiran, selaku simbol kosmologis

perwujudan bentuk dasar orientasi diri, menyangkut ke-ADA-an

manusia. Orientasi diri adalah naluri kodrati untuk mencegah

manusia hanyut tanpa kepastian. Penghayatan adanya pusat

dunia merupakan penghayatan manusia religius yang

fundamental. Manusia tidak dapat hidup dalam angkasa kosong.

Manusia membutuhkan orientasi untuk membawanya pada

ketentraman batin. Orientasi berasal dari kata orient atau timur

berarti mencari ufuk timur (lawannya barat). Pengertian ini datang

dari pengalaman sehari-hari seperti matahari terbit dan terbenam.

Begitu kuatnya perasaan orientasi pada matahari ini, sehingga

                                                            87Rachmat Subagya, Agama Asli di Indonesia (Jakarta: Penerbit

Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981), 64-66.

Page 53: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

53

 

banyak bangsa percaya bahwa matahari menjadi sumber segala

kehidupan. Orientasi empat arah, timur-barat dan utara-selatan

menimbulkan suatu titik atau imajinasi tugu poros, pusat yang

terjadi oleh persilangan garis-garis timur-barat dan utara-selatan.

Titik atau tugu tengah itu disebut pusering jagad.88

Kosmologi Hindu tentang Jagad Purana yang berpusat pada

suatu benua bundar Jambudwipa dikelilingi tujuh lapisan daratan

dan samudera menjadi acuan penataan keraton. Ide dan gagasan

dalam konteks filosofi dapat ditemukan dalam konsep Vasthu-

Purusha-Mandala. Mangunwijaya menjelaskan vasthu berarti

norma dasar semesta yang berbentuk dan berwujud; purusha

berarti insan atau personifikasi gejala semesta dasar yang awal,

asli, utama dan sejati; mandala diartikan sebagai wilayah energi,

bentuk konkret akibat pengaruh medan daya. Pusat orientasi

menjadi tempat yang paling berdaya dan hierarki paling tinggi.

Pusat merupakan wilayah energi, bentuk konkret akibat pengaruh

medan daya. Medan daya ini akan semakin kuat apabila

terhubung dengan dunia atas/dunia dewa/Tuhan. Dunia tidak

dihayati secara homogen, tidak semua tempat mengandung nilai

yang sama, tetapi hierarkis, ada yang paling penting dan vital.89

                                                            88Mangunwijaya, 2009: 123-125. 89Mangunwijaya, 2009: 128-129.

Page 54: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

54

 

Estetika tata ruang Keraton Yogyakarta dalam konteks

kultural dapat ditemukan dengan menggunakan teori yang

berkaitan dengan tata kehidupan, sikap, perilaku dan norma

manusia sebagai mahkluk sosial. Franz Magnis-Suseno dalam

tulisannya Etika Jawa (2001) membedakan kaidah dasar pola

pergaulan kehidupan masyarakat Jawa yakni kaidah kerukunan

dan hormat. Kedua prinsip ini merupakan kerangka normatif yang

menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi pergaulan

manusia Jawa. Dua prinsip ini bertujuan mempertahankan

eksistensinya di masyarakat agar berada dalam keadaan

harmonis, selaras, tenang, tenteram, dan bersifat kekeluargaan.90

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan

metode deskriptif analisis kritis yang mengurai berbagai fakta

historis dan nilai budaya, untuk menemukan konsep estetika tata

ruang interior Keraton Yogyakarta yang ditelusuri dari pandangan

dan sikap Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan Hamengku

Buwana X. Penelitian kualitatif merupakan fokus perhatian

penelitian ini dengan beragam metode, yang mencakup

pendekatan historis, hermeneutika, dan estetik. Para peneliti

                                                            90Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2001), 38.

Page 55: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

55

 

kualitatif mempelajari objek di dalam konteks alaminya. Mereka

berupaya untuk memahami dan menafsirkan fenomena yang

dilihat dari sisi makna, yang dilekatkan peneliti kepadanya.91

Penelitian ini dilakukan dengan menetapkan batasan subject

matter, waktu, dan wilayah penelitian. Pengumpulan data

dilakukan dengan studi pustaka, wawancara, observasi, dan

pencermatan sumber dokumen. Hasil temuan data dianalisis

secara kritis untuk menemukan kesimpulan penelitian.

1. Batasan Subject Matter

Ruang lingkup penelitian ini mencakup tentang tata ruang

interior Keraton Yoyakarta pada masa kekuasaan Sultan

Hamengku Buwana VII (1877-1919) hingga Sultan Hamengku

Buwana X (1989 – sekarang). Adapun unsur ruang interior yang

diteliti antara lain: orientasi bangunan dan bentuk bangunan;

fungsi dan organisasi ruang, sirkulasi dan sifat ruang; elemen

pembentuk ruang (dinding, lantai, dan plafon); elemen transisi

(pintu dan jendela); elemen tektonik (tiang/saka); elemen pengisi

ruang (perabot); dan ragam hias.

                                                             91Norman K. Denzin dan Yvonna S.Lincoln, “Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research”, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S.Lincoln (ed.), Handbook of Qualitative Research (New Delhi: Sage Publikations, Inc, second edition, 2000), 2.

Page 56: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

56

 

2. Waktu dan Wilayah Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan mengambil kurun waktu

periode Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan Hamengku

Buwana X. Sebagai pilihan penelitian ditetapkan objek yang

berada di pelataran kêdhaton, dengan pertimbangan bahwa area

ini merupakan pusat aktivitas penghuni keraton, baik untuk

aktivitas ritual, kenegaraan, maupun pariwisata. Secara jelas

dapat dilihat bahwa dengan dibukanya pelataran kêdhaton untuk

publik, maka ungkapan-ungkapan budaya maupun fungsi-fungsi

pranata di lingkungan ini mengalami perkembangan. Pembahasan

sampel penelitian berupa bangunan di pelataran kedhaton dan

difokuskan pada bangunan inti yakni dalêm Prabayêksa dan

Bangsal Kêncana, tentu saja tidak bisa lepas dari konteks

eksterior tata ruang keraton, sehingga pembahasan mengenai

estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta dimulai dari

bentuk arsitektural secara keseluruhan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ditempuh melalui:

a. Studi pustaka digunakan untuk menemukan data dan

informasi, khususnya yang bersumber dari data tertulis

tentang pemikiran Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan

Hamengku Buwana X, sejarah terbentuknya Keraton

Page 57: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

57

 

Yogyakarta, perkembangan dan perubahan bentuk bangunan,

perkembangan sosial kultural di lingkungan Keraton

Yogyakarta berikut nilai budaya yang menyertainya, khususnya

makna religi, filosofi, dan kultural.

b. Dokumentasi visual dan observasi di lapangan dilakukan

untuk menemukan data faktual kondisi fisik bangunan Keraton

Yogyakarta. Pengamatan difokuskan pada bentuk dan tata

ruang interior Keraton Yogyakarta. Elemen interior yang

didokumentasi meliputi orientasi bangunan dan bentuk

bangunan; fungsi dan tata letak bangunan; organisasi ruang,

sirkulasi dan sifat ruang; elemen ruang (dinding, lantai, dan

plafon); elemen transisi (pintu dan jendela); elemen tektonik

(tiang/saka); perabot; dan ragam hias.

c. Wawancara dengan komunitas pendukungnya, antara lain

pengageng keraton, pejabat keraton, dan budayawan keraton.

Teknik wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data yang

secara kontekstual mendukung analisis untuk memperoleh

pandangan dan pemikiran Sultan Hamengku Buwana VII

hingga Sultan Hamengku Buwana X yang mendorong

perubahan eksistensi dan fungsi keraton. Berbagai informasi

mengenai perubahan fisik bangunan bisa digali melalui teknik

wawancara terpimpin.

Page 58: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

58

 

d. Sumber informasi lain yang bernilai adalah dokumen/arsip

Keraton Yogyakarta. Dokumen semacam itu mencakup arsip

foto (album foto), peta, pencatatan resmi, susunan

acara/pranatan lampah-lampah, surat-surat, catatan harian,

dan tulisan-tulisan yang tidak diterbitkan.

4. Analisis Data

Analisis data berupa pengkajian hasil wawancara, observasi

lapangan, dan dokumen yang telah dikumpulkan. Data yang

berhasil dihimpun dikelompokkan dan diklasifikasikan

berdasarkan variabel yang diselidiki. Kompilasi data tekstual yang

berhasil dihimpun dikonfirmasikan dengan data visual, data

lapangan, dan hasil wawancara dengan ahli dan pakar yang

relevan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Data yang

jumlahnya cukup banyak direduksi dengan membuat

pengelompokan dan abstraksi. Kemudian dilakukan analisis kritis

yang bersifat terbuka, open-ended, induktif, bersifat longgar, tidak

kaku, dan tidak statis. Analisis data induktif bertujuan untuk

memperjelas informasi yang masuk melalui proses unitisasi dan

kategorisasi.92 Data yang terkumpul dianalisis menggunakan

pendekatan historis, hermeneutika, dan estetik. Kemudian

                                                            92Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian

Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), 174-175.

Page 59: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

59

 

dilakukan analisis lanjut dari data primer yang didapat,

pengulasan data pendukung lainnya, hingga akhirnya

merumuskan temuan teoretis yang dituangkan dalam laporan.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini secara keseluruhan disajikan dalam

enam bab, sebagai berikut. Bab I merupakan pengantar yang

menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada bab II diuraikan mengenai latar belakang historis tata

ruang Keraton Yogyakarta, meliputi konsep tata ruang negara

Jawa, latar belakang historis keraton Mataram Islam masa

Panembahan Senapati dan Sultan Agung, berikut tata ruang

kerajaan Mataram Islam khususnya Kota Gede dan Plered. Uraian

berikutnya mengenai latar belakang historis Keraton Yogyakarta

pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I hingga

Sultan Hamengku Buwana VI dan Sultan Hamengku Buwana VII

hingga Sultan Hamengku Buwana X. Bab ini diakhiri dengan

pembahasan mengenai komponen tata ruang Keraton Yogyakarta.

Bab III merupakan deskripsi bentuk tata ruang interior

Keraton Yogyakarta yang disusun dalam dua pokok bahasan.

Bagian pertama membahas Tugu dan Panggung Krapyak sebagai

Page 60: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67980/potongan/S3-2013... · pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton

 

60

 

ujung poros utara-selatan, sembilan pelataran, dan bangunan-

bangunan Keraton Yogyakarta. Bagian kedua membahas mengenai

pusat orientasi tata ruang interior Keraton Yogyakarta khususnya

Dalêm Prabayêksa dan Bangsal Kêncana.

Bab IV menjelaskan perubahan eksistensi dan fungsi sosial

kultural Keraton Yogyakarta. Pandangan Sultan Hamengku

Buwana VII hingga Sultan Hamengku Buwana X di bidang politik

dan sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya

berpengaruh besar terhadap sikap dan tindakan sultan berikut

fasilitas ruang yang dibutuhkan, baik untuk aktivitas domestik,

aktivitas kenegaraan dan jumênêngan, aktivitas ritual dan

seremonial, maupun aktivitas sosial yang membawa perubahan

eksistensi Keraton Yogyakarta, yakni dari pusat pemerintahan

kerajaan menjadi rumah tinggal, kini berubah menjadi museum

untuk tujuan pendidikan dan pariwisata.

Bab V menjelaskan tentang estetika tata ruang Keraton

Yogyakarta dalam konteks religi, filosofis, dan kultural,

dilanjutkan dengan Bab VI yang berisi kesimpulan.