BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG...

40
1 BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan. Pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pedoman dan pengarah tingkah laku manusia. Melalui kebudayaan manusia dapat melakukan interprestasi dari pengalaman kehidupan sehari-hari yang dialami dengan proses belajar, sebab kebudayaan sifatnya tidak statis dan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan alam dan kemajuan teknologi. Belajar merupakan bagian terpenting dari transformasi kebudayaan, sehingga hubungan kebudayaan dengan pendidikan menjadi sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan. 1 Menurut Sjafri (2010) 2 juga sesuai dengan kandungan amanat Undang-undang Dasar 1945, tanggung jawab pemerintah adalah mengikis kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keadaan keterbelakangan ekonomi membuat masyarakat memilih kondisi yang memprihatinkan, walaupun ada sebagian dari mereka yang mampu untuk tetap menghidupi anggota keluarga, tetapi tidak sedikit dari mereka yang tidak berhasil karena berbagai alasan, salah satunya adalah alasan ekonomi. Dampaknya kehidupan keluarga terutama anak-anak menjadi tidak terurus, khususnya dalam hal pendidikan. 1 Sairin,Sjafri. Riak-Riak Pembangunan Prespektif Antropologi, Yogyakarta:Media Wacana, 2010. 2 Sairin,Sjafri. Masyarakat Batukandik, Yogyakarta: Kepel Press Laboratorium Antropologi, FIB, UGM,2006.

Transcript of BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG...

Page 1: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

1  

BAB I

PENGANTAR

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mempersiapkan diri dalam

menghadapi kehidupan. Pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan yang berfungsi

sebagai pedoman dan pengarah tingkah laku manusia. Melalui kebudayaan manusia

dapat melakukan interprestasi dari pengalaman kehidupan sehari-hari yang dialami

dengan proses belajar, sebab kebudayaan sifatnya tidak statis dan selalu menyesuaikan

diri dengan perkembangan alam dan kemajuan teknologi. Belajar merupakan bagian

terpenting dari transformasi kebudayaan, sehingga hubungan kebudayaan dengan

pendidikan menjadi sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan.1

Menurut Sjafri (2010)2 juga sesuai dengan kandungan amanat Undang-undang

Dasar 1945, tanggung jawab pemerintah adalah mengikis kemiskinan dan meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Keadaan keterbelakangan ekonomi membuat masyarakat memilih

kondisi yang memprihatinkan, walaupun ada sebagian dari mereka yang mampu untuk

tetap menghidupi anggota keluarga, tetapi tidak sedikit dari mereka yang tidak berhasil

karena berbagai alasan, salah satunya adalah alasan ekonomi. Dampaknya kehidupan

keluarga terutama anak-anak menjadi tidak terurus, khususnya dalam hal pendidikan.

                                                            1 Sairin,Sjafri. Riak-Riak Pembangunan Prespektif Antropologi, Yogyakarta:Media Wacana, 2010. 2 Sairin,Sjafri. Masyarakat Batukandik, Yogyakarta: Kepel Press Laboratorium Antropologi, FIB, UGM,2006.  

Page 2: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

2  

Kondisi ini memaksa anak-anak untuk bertahan hidup secara mandiri guna

menghidupi keluarga dan diri sendiri. Beberapa diantara mereka yang memang tidak

memiliki orang tua untuk mengurus hidup, membuatnya mandiri dan terkesan menjadi

terlantar. Ketiadaan orangtua di sini karena orang tua anak-anak tersebut meninggal

dunia, sehingga anak-anak ini disebut dengan istilah anak-anak yatim piatu, atau

memang ada orang tua namun orang tua tersebut tidak mau mengurus anaknya,

akibatnya anak-anak tersebut menjadi terlantar.

Data dari Departemen Sosial Repubik Indonesia pada tahun 2014 ada jutaan

anak yang masih berada dalam kondisi rentan, seperti anak terlantar (3.488.309 anak);

balita terlantar (1.178.824 anak); anak rawan terlantar(10.322.674 anak); anak nakal

(193.155anak); dan anak cacat (367.520 anak).3 Ini menjadi salah satu bukti bahwa di

Indonesia masih memiliki banyak anak terlantar yang kurang diperhatikan oleh negara.

Menurut data Kemensos RI pada tahun 2014, menunjukkan bahwa jumlah anak

terlantar berusia 6-18 tahun mencapai 3.156.365 atau hampir 5,4% dari jumlah anak

indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 2.614.949 anak tinggal diperdesaan dan

jumlah 541.415 anak tinggal di perkotaan. Sedangkan anak yang tergolong rawan

keterlantaran diperkirakan mencapai jumlah 10.349.240 anak. Jumlah tersebut

7.320.786 anak yang tinggal di perdesaan dan 3.046.454 anak tinggal di perkotaan.

Pemerintah sebagai pemegang amanat konsitusi yang tertuang dalam Undang–

Undang 1945 khususnya pasal 34, berupaya agar penanganan anak terlantar terus

dilakukan melalui berbagai program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar baik melalui

panti dan non panti. Amanat UUD 1945 secara luas juga menjamin tidak semata pada

remaja putus sekolah dan terlantar saja, namun remaja yang hampir terlantar dan yang                                                             3 Lihat “Sekilas tentang Masalah Anak,”dalam www.depsos.go.id diakses pada 20 April 2014.

Page 3: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

3  

tidak terlantar juga perlu mendapatkan hak yang sama dari Negara. Kondisi yang

terlantar ini mengakibatkan anak-anak banyak yang tidak terurus dan masuk ke dalam

lingkaran hitam kehidupan, seperti banyaknya anak-anak yang diadopsi, dieksploitasi,

untuk dipekerjakan menjadi tenaga kerja di jalanan, mengamen atau meminta-minta dan

yang paling memprihatinkan adalah melacurkan diri serta menjual obat terlarang atau

narkoba.4 Hal ini tentunya dapat diminimalisir jika mereka mengenyam pendidikan,

karena memang usia anak-anak adalah usia yang sangat potensial untuk meraih ilmu

pengetahuan.

Banyak disaksikan di tengah-tengah masyarakat terdapat anak yang masih

memerlukan penanganan dan perlindungan karena rentan kehidupan ekonomi, misalnya

anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin, anak cacat, anak terlantar, ataupun anak

jalanan yang merajalela dan tidak terhitung jumlahnya. Beberapa dari mereka mungkin

sudah cukup beruntung karena dapat terselamatkan dan memperoleh penanganan baik

oleh pemerintah maupun swasta yang peduli terhadap kesejahteraan anak. Bagi

sebagian anak yang lain, yang kurang beruntung untuk mendapatkan kesejahteraan itu,

terutama yang terkait dengan pendidikan dan kehidupan mereka. Kesejahteraan anak

telah menjadi tanggung jawab negara. Terkait dengan keberadaan anak terlantar, pasal

34 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa, “(1) Fakir miskin dan anak terlantar

dipelihara oleh negara; (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh

                                                            4Menurut Kongres Stockholm, trafficking didefinisikan sebagai pemindahan orang secara rahasia dan terlarang yang bertujuan mengeksploitasi dan hanya memberi keuntungan pada perekrut, trafficker dan sindikat kejahatan. Lihat, “ Mengatasi Permasalahan Trafficking Wanita dan Anak,”dalam www.eska.or.id diakses pada 20 April 2010.

Page 4: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

4  

rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan

martabat kemanusiaan.”5

Masa depan sebuah bangsa ada ditangan anak-anak sebagai penerus generasi

bangsa. Jika saat ini menelantarkan anak-anak artinya mematikan masa depan bangsa,

sebab tidak peduli terhadap masa depan bangsa. Padahal mungkin saja anak-anak yang

terlantar ini dan membutuhkan kesejahteraan, perlindungan serta pendidikan adalah

calon-calon pemimpin dimasa yang akan datang. Hal ini menjadi penting bagi

pemerintah dan semua lapisan masyarakat untuk mengasuh anak-anak yang kurang

beruntung ini, terutama dalam hal pendidikan.

Pendidikan dalam pandangan umum seperti yang sudah diungkapkan sangat

memiliki peranan yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003 (UU

Sisdiknas) pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan diri, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Jadi jelas disini bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Seorang anak

yang tidak mampu dan “terlantar” karena berbagai faktor tentunya harus diangkat

derajat melalui pendidikan gratis, hal itu menjadi hak sebagai warga negara khususnya

warga negara Indonesia. Hal ini dijelaskan juga dalam pasal 28 B ayat (1) dan (2) UUD

yang tertulis:

                                                            5 Undang-Undang Dasar Repubik Indonesia dan Amandemennya, (Surakarta:Penerbit Pustaka Mandiri, 2006), hlm.94.i. 

Page 5: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

5  

Ayat (1), setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ayat (2), setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia.

Menurut UU No.23 tahun 2002 yang dimaksudkan dengan anak di sini adalah seseorang

yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.6 Menurut

T.O Ihromi (1999), anak dalam konsep kebudayaan merupakan awal dari terciptanya

manusia yang kemudian hidup berkelompok dan dipisahkan dari nilai budaya. Manusia

atau anak yang kemudian hidup berkelompok ini dinamakan masyarakat. Nilai-nilai

yang menjadi pedoman hidup dalam masyarakat dinamakan kebudayaan.

Mayoritas kondisi kejiwaan atau secara psikologi seorang anak masih

membutuhkan perhatian, berupa kasih sayang dari orang tua atau keluarga dekat. Saat

ini tidak sedikit anak yang tidak mendapatkan kasih sayang itu, karena ketiadaan orang

tua. Anak-anak yang terlantar ini kemudian menjadi yatim atau piatu atau kedua-duanya

yatim piatu serta berasal dari keluarga miskin. Kemudian kondisi hidup anak ini

menjadi terlantar, kurang kasih sayang dan perhatian dari semestinya yang didapatkan,

maka keadaannya menjadi terabaikan. Anak terlantar juga ada yang memang dibuang

oleh orangtuanya dan menjadi kehilangan orangtua. Hal inilah yang patut menjadi

perhatian khusus masyarakat secara luas, umumnya menjadi pekerjaan negara untuk

mengatasi keadaan anak yang terabaikan.

Terkait dengan kontribusi dalam upaya pendidikan anak, maka patut diberikan

apresiasi yang positif terhadap lembaga-lembaga sosial atau lembaga-lembaga

keagamaan. Lembaga atau yayasan yang memberikan perhatian khusus terhadap                                                             6 Undang-Undang RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat 1.

Page 6: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

6  

kesejahteraan terutama menyangkut masalah pendidikan, yaitu dengan mendirikan

panti-panti sosial. Menariknya di sini telah menjamur khususnya di Indonesia panti-

panti sosial yang ada dan dikelola oleh lembaga keagamaan. Keadaan ini membuat

peneliti tertarik untuk meneliti keberadaan panti asuhan di Indonesia, khususnya yang

berada di daerah ibukota DKI Jakarta dan Tangerang. Panti Asuhan yang bernama

Yayasan Panti Asuhan Yatim Piatu dan Fakir Miskin Mukhlishin Jakarta Selatan, dan

Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Panti Asuhan Yatim Piatu Al-Qur’aniyyah

Tangerang yang menjadi lokasi penelitian ini.

Kedua panti ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena keduanya memiliki

karakter yang sama, yaitu membangun tempat tinggal dan pendidikan sekolah untuk

anak yatim piatu, fakir miskin, dhuafa dan anak jalanan. Yayasan yatim piatu dan

pondok pesantren yatim piatu ini mengelola sendiri yayasan dan lembaga tersebut,

dibantu oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat setempat. Yayasan yang kedua panti

asuhan ini bangun merupakan murni dari dana pribadi yang diawali dari dukungan

orangtua. Selain dari dana pribadi, juga dibantu kerabat dan dukungan masyarakat

sekitar yang menjadi donatur dan yang mewakafkan tanahnya untuk terwujudnya

bangunan fisik sekolah milik yayasan panti asuhan tersebut. Artinya yayasan

membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

asrama tempat tinggal, kemudian baru mendirikan sekolah sendiri.

Kedua Panti asuhan ini sebelum memiliki sekolah sendiri masih menumpang di

sekolah lain, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal atau masih disekitar

tempat tinggal. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya transportasi. Saat ini Yayasan

Pendidikan Islam pondok pesantren panti asuhan yatim piatu Al-Qur’aniyyah dan

Page 7: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

7  

yayasan panti asuhan Jihadul Mukhlishin telah memiliki sarana dan fasilitas yang cukup

lengkap. Semua murni milik pribadi yayasan dan dikelola oleh yayasan sendiri. Alasan

lain panti ini diteliti juga untuk melihat perbedaan, antara yang murni hanya sebuah

yayasan yatim piatu dan yang merupakan pondok pesantren, sebab tentu peran dan

pengelolaannya berbeda antara yang murni yayasan yatim piatu dan yang penambahan

kata pondok pesantren, walaupun keduanya sama-sama bergerak dibidang sosial untuk

mengasuh dan merawat anak yatim piatu melalui pemberian pendidikan secara gratis.

Kemudian berusaha menjelaskan peran yang cukup signifikan untuk membantu

menanggulangi salah satu kemiskinan, terutama kemiskinan akan ilmu pengetahuan

dikarenakan ketiadaan biaya untuk seorang anak melanjutkan pendidikan dan

kehidupannya. Kedua yayasan ini memiliki peran menampung anak yang putus sekolah

karena ketiadaan biaya dan kondisi yang yatim piatu. Peran yang dijalankan untuk

memfasilitasi anak-anak ini melalui bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,

terutama dari pihak para dermawan yang ikhlas hati dan berjiwa besar menyantuni anak

yatim piatu ini. Yayasan hanya sebagai fasilitator yang memperantarai proses santunan

dari para dermawan ke anak-anak yatim piatu dan fakir miskin atau dhuafa tersebut.

Maksud dan tujuan kedua panti asuhan sama yaitu untuk membantu

menanggulangi kemiskinan dengan tugas mulia membantu pendidikan anak-anak yang

membutuhkan. Kemudian alasan lain dipilihnya dua panti asuhan tersebut karena kedua

lembaga tersebut dapat dibilang baru berdiri ditahun 2000-an. Walaupun terbilang

masih baru, tetapi kedua yayasan ini mengalami perkembangan cukup pesat, terutama

jumlah anak yang terdapat di yayasan yatim piatu pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.

Sedangkan di yayasan Mukhlishin lebih kepada keistiqomahannya menampung anak-

Page 8: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

8  

anak yatim piatu dan dhuafa ini, walaupun secara jumlah anak mereka cenderung tetap,

kalaupun meningkat tidak sebesar di Al-Qur’aniyyah. Perkembangan bangunan di

yayasan Mukhlishin terus mengalami peningkatan.

B. RUMUSAN MASALAH

Yayasan pendidikan Islam panti asuhan yatim piatu pondok pesantren Al-

Qur’aniyyah dan yayasan Mukhlishin ini menjadi salah satu alternatif pendidikan bagi

mereka yang tidak mampu secara ekonomi, untuk tetap melanjutkan sekolah dan

pendidikannya. Yayasan menjadi sarana dan prasarana masyarakat secara luas untuk

ikut membantu menjadi donatur tetap dan tidak tetap di kedua yayasan ini. Yayasan

menjadi fasilitator yang menyediakan dan menampung anak-anak yang kurang

beruntung, untuk diberikan bantuan dari masyarakat secara umum.

Pendirian yayasan seperti ini tentu tidaklah mudah dalam perjalanannya. Banyak

pertentangan dan hambatan bagi keberlanjutan yayasan, seperti salah satunya

bagaimana proses pendidikan dan manajemen pengelolaan yang digunakan oleh sekolah

dan yayasan untuk keberlangsungan yayasan. Pendidikan akan terlaksana dengan baik

jika proses pendidikan dan manajemen serta strategi pendidikannya dikordinasikan

dengan baik. Hal ini butuh organisasi yang baik dalam pelaksanaannya, agar tercipta

pendidikan yang ideal seperti pendidikan di sekolah umum lainnya. Menurut masing-

masing ketua yayasan, bahwa hambatan-hambatan yang ada berusaha dinikmati oleh

Page 9: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

9  

kedua yayasan ini sebagai cobaan dan bagian dari sebuah kehidupan, dan dijadikan

hambatan sebagai proses ke arah kemajuan.

Wacana lain yaitu pendapat masyarakat tentang banyaknya yayasan yang terdapat

di Indonesia, meyakinkan masyarakat Indonesia untuk berhati-hati dalam

menyumbangkan santunannya. Apakah yayasan tersebut terpercaya dan amanah atau

sebaliknya yayasan hanya mendompleng untuk meraih untung atas penderitaan anak-

anak ini. Oleh karena itu diharapkan perlu ada kerjasama antara berbagai pihak, pihak

pemerintah, pengurus yayasan dan masyarakat sekitar terkait dengan pendirian yayasan

pendidikan yatim piatu tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat dirumuskan

permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Permasalahan yang diangkat dalam

penelitian mengenai peran yayasan panti asuhan dalam penyelenggaraan pendidikan

terhadap anak yatim piatu, yaitu sebagai berikut:

1. Apakah motivasi yayasan menyelenggarakan pendidikan di panti asuhan?

2. Bagaimana proses pendidikan dan strategi pembelajarannya?

3. Bagaimana manajemen administrasi dan pengelolaan lembaganya?

Prespektif Antropologi yang dilihat dalam rumusan masalah ini adalah

bagaimana melihat pentingnya pendidikan dari prespektif Antropologi, hal ini ditinjau

dari sudut pandang pentingnya ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui

proses belajar. Kebudayaan yang berkembang membutuhkan proses pembelajaran. Hal

lain yang ditinjau yaitu terkait dengan motivasi atau dorongan dan dukungan sosial

untuk masalah pendidikan dan pemerataan pendidikan, agar setiap anak dapat

merasakan pendidikan melalui proses belajar di sekolah.

Page 10: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

10  

Kemudian dilihat dari berbagai sisi, yaitu sisi proses pendidikan yang terjadi di

sekolah tersebut, strategi apa yang dipahami untuk proses pembelajaran di sana. Hal lain

yang ditinjau dan dilihat adalah bagaimana manajemen administrasi dan pengelolaan

semua lembaga. Lembaga yang dimaksud disini yaitu lembaga pendidikan Islam panti

asuhan yatim piatu pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dan yayasan Mukhlishin. Ketiga

rumusan permasalahan di atas dikaitkan dengan pendirian sebuah yayasan untuk

pendidikan, baik yang murni yayasan yatim piatu dan yang ada penambahan kata

pondok pesantren, khususnya pendidikan untuk anak yatim piatu dan dhuafa. Ketiga

pertanyaan tersebut berusaha dikaitkan dari sisi Antropologi, yaitu dari sisi budaya

masyarakat setempat dilihat dari jiwa sosial dengan melakukan pembrantasan

kemiskinan melalui pendidikan gratis, apakah hal ini ada dampak yang signifikan atau

malah sebaliknya, semua tergantung dari peran dan maksud pendirian yayasan yang niat

utama membantu karena ibadah.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peran

yayasan dan lembaga pendidikan panti asuhan, dalam memberikan kontribusi terhadap

pendidikan anak yatim piatu. Tujuan penelitian ini berusaha menjelaskan peran panti

asuhan dalam memberikan kontribusi terhadap pendidikan, dan sistem pendidikan yang

dilihat dari proses dan strategi pembelajaran serta pengelolaannya. Hal lain yang dilihat

dalam penelitian ini yaitu berusaha mencari tahu perbandingan antara sistem pendidikan

di panti asuhan Mukhlishin yang terjadi di Jakarta Selatan, dengan melihat dan

Page 11: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

11  

membandingkan sistem pendidikan panti asuhan yang berada di lingkungan pondok

pesantren, yaitu Yayasan Panti Asuhan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah di

Tangerang.

Kedua panti ini sama-sama berorientasi untuk menolong anak yatim, yatim piatu

dan dhuafa, namun perjalanan yang satu lebih mengarahkan kepada agama Islam

dengan menciptakan suasana pondok pesantren yang satunya hanya sebatas tempat

tinggal asrama, dimana anak-anak di asrama juga didik pelajaran agama namun

peraturan tidak seketat di pondok pesantren. Hal lain yang dilihat adalah kultur budaya

tempat tinggal yang berpengaruh terhadap pendirian yayasan yatim piatu tersebut, hal

ini dilihat dari respon masyarakat sekitar dan bagaimana manajemen pengelolaan

yayasan dan starteginya, sehingga membuat yayasan ini tetap dapat bertahan hingga saat

ini.

2. Manfaat

Manfaat Penelitian ini setidaknya dapat terbagi dalam dua macam, yakni

manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis dan akademis bermanfaat terhadap

upaya memperluas wacana keilmuan Antropologi dilihat dari sisi Antropologi sosial.

Sosial yang dimaksud disini adalah belajar untuk berempati melihat keterbelakangan

anak yang sulit ekonomi, namun keinginan kuat untuk terus ke depan dapat meraih

pendidikan. Anak ini berusaha dengan masuk ke dalam panti asuhan atau sebuah

yayasan yatim piatu yang ikhlas membantu mereka dalam meraih ilmu dunia dan

akhirat.

Yayasan panti asuhan yatim piatu baik yang murni yayasan maupun yang di

dalam pondok pesantren sama-sama bertujuan menolong anak yatim, piatu, yatim piatu,

Page 12: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

12  

dan dhuafa untuk meraih ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang terjadi di

sekolah dan di pondok. Manfaat dari tesis ini berusaha mewujudkan keprihatinan dan

sikap empati kepada yang membutuhkan, melalui uluran tangan langsung seperti

pendirian yayasan seperti ini, atau melalui bantuan dana uluran dari para dermawan

kepada mereka yang benar-benar membutuhkan secara ekonomi.

Inti penelitian ini lebih menekankan dalam hal khazanah di bidang Antropologi

sosial. Maksudnya pentingnya pendidikan dalam ilmu Antropologi, namun tidak semua

anak dapat merasakan pendidikan, bentuk saling tolong menolong dan membantu anak

yatim piatu dan fakir miskin ini masuk ke dalam ranah sosial masyarakat, untuk

mewujudkan pendidikan gratis melalui sebuah yayasan pendidikan Islam panti asuhan

yatim piatu dan dhuafa atau fakir miskin. Hal ini dilihat dari sisi kacamata pendidikan

secara sosial dengan membantu mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.

Manfaat secara praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

terkait dengan praktik pembinaan pendidikan terhadap anak, khususnya yang terjadi di

panti asuhan. Manfaat praktis lain dalam penelitian ini yaitu, dengan pendirian panti

asuhan yatim piatu ini, dapat menginsipirasi manusia untuk selalu membantu

masyarakat sekitar tempat tinggal.

Bentuk bantuan disini terutama kepada tetangga sekitar yang memang perlu

dibantu, misalnya karena kemiskinan ekonomi, kehilangan orang tua yang mencari

nafkah, atau hal lain yang semua itu diniatkan untuk ibadah. Bantuan kepada mereka

dengan turut ikut serta berkontribusi memberikan kemampuan dan kelebihan rezeki

tehadap anak-anak yatim piatu melalui sedekah. Yayasan dan pondok pesantren ini

memfasilitasi bentuk bantuan tersebut dan menyalurkannya langsung kepada yang

Page 13: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

13  

benar-benar membutuhkan. Penelitian ini sebagai masukan kepada pihak pemerintah

untuk turut lebih berperan mewujudkan pendidikan murah dan gratis, sehingga dapat

menjangkau masyarakat secara luas.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai pendidikan anak yang berbasis panti asuhan telah banyak

dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Zulfadli (2011), yang berjudul

Pendidikan Non Formal Anak Terlantar, Studi Pada Yayasan Putri Gina Aceh.

Penelitian ini lebih menceritakan dampak dari banyaknya anak yang terlantar di Aceh,

yang diakibatkan oleh konflik, gempa dan tsunami. Akibatnya banyak masyarakat Aceh

yang kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya mengalami keterpurukan. Banyaknya

NGO (Non-Governmental Organization) yang ikut berperan mengatasi masalah

tersebut, salah satu NGO yang khusus memberikan pembelajaran pelatihan

keterampilan terhadap anak terlantar yaitu Yayasan Putri Gina, lembaga ini bergerak di

bidang pendidikan non formal untuk memberikan pendidikan pada masyarakat

khususnya anak-anak terlantar.

Penelitian tentang anak yang lain yaitu, penelitian tesis oleh Agus Abdul Mughni

(2011), yang berjudul Perlindungan Anak Berbasis Panti Asuhan di Panti Asuhan Yatim

Piatu Islam Yayasan RM Suryowinoto dan Panti Asuhan Yatim Jamasba. Penelitian ini

lebih mengedepankan tentang perlindungan anak secara umum. Akibat maraknya

berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak yang semakin banyak terjadi.

Page 14: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

14  

Berusaha menyelamatkan anak terlantar dengan dukungan selain dari pemerintah yaitu

dari lembaga sosial yang memberikan pelayanan kepada anak tersebut.

Kemudian penelitian oleh Sudarsono (2009), penelitian tesis tentang Peran Panti

Asuhan Yatim Putra Muhammadiyah Lowanu Yogyakarta dalam Membangun

Kemandirian Anak Asuh.7 Penelitian Sudarsono membahas tentang peran panti asuhan

dalam kaitan dengan membangun kemandirian anak. Penelitian lainnya oleh La Ode

Faka (2012), dengan penelitian tesis Program Pascasarjana UGM berjudul Peran

Pondok Pesantren Roudhatul Jannah dalam Penanaman Nilai-Nilai Kebangsaan Bagi

Santri dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah. Penelitian ini membahas

bagaimana pondok pesantren berperan untuk membantu santri mendapatkan perilaku

yang baik sesuai dengan penanaman nilai kebangsaan berdampak pada ketahanan

wilayahnya.

Penelitian ini juga berusaha mengupas tentang keberadaan anak asuh yang

terkait dengan pendidikan anak dalam tinjauan disiplin ilmu Antropologi. Khususnya

kajian aspek pendidikan yang dikaitkan dengan kebudayaan dalam Antropologi dikenal

dengan istilah Antropologi pendidikan. Menurut Kneller (1965), dari kebudayaan kita

mewarisi berbagai cara untuk kehidupan, seperti bahasa, agama, ilmu, obat dan

moralitas, yang mungkin tidak akan ditemukan sendiri dari pengalaman pribadi. Perlu

dan pentingnya pendidikan membuat anak yang berkebutuhan khusus disebabkan

kekurangan kasih sayang ini, mendapatkan perhatian penuh dari yayasan dan pondok

pesantren dalam mengasuh, merawat dan memberikan layanan pendidikan kepada anak

tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

                                                            7 Sudarsono, Peran Panti Asuhan Yatim Putra Muhammadiyah Lowanu Yogyakarta dalam Membangun Kemandirian Anak Asuh, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kaijaga Yogyakarta Konsentrasi Pekerjaan Sosial tahun 2009.

Page 15: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

15  

Pentingnya pendidikan ditinjau dari prespektif Antropologi membuat peneliti

tertarik untuk mengambil tema pendidikan bagi mereka yang tidak mampu secara

ekonomi, khususnya anak yatim. Pendidikan bagian dari antropologi yang dikaitkan

dengan manusia secara budaya, manusia membutuhkan proses belajar untuk

kelangsungan hidupnya, bagaimana mungkin jika manusia dalam hidup tidak dapat

meraih pendidikan melalui proses belajar? Tentu hidupnya tidak sesuai dengan budaya

yang ada. Tesis ini berusaha untuk mengangkat anak yatim yang tidak mampu untuk

melanjutkan pendidikannya dikarenakan ketiadaan biaya. Melalui kedua yayasan ini

salah satunya untuk mengangkat derajat anak yatim tersebut melalui pendidikan, baik

pendidikan formal maupun non formal.

Anak asuh yang terdapat di yayasan dan pondok pesantren ini membentuk suatu

ikatan anak yang satu dengan yang lain, membentuk suatu komunitas dan bersosialisasi

disini. Sosialisasi dan pendidikan anak di panti asuhan yatim piatu juga banyak

dijelaskan oleh Kuncoro Bayu Prasetyo (2009) dalam tesisnya yang berjudul Menjadi

Aceh di Panti Asuhan. Bagaimana kehidupan mereka di panti asuhan, untuk dapat

bertahan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti di atas sama-sama menerangkan

tentang anak dan panti asuhan. Perjalanan penelitian tersebut lebih menekankan pada

perlindungan dan kemandirian anak, sedangkan sistem pendidikan anak dan proses

pendidikan tidak begitu ditekankan.

Penelitian tesis ini lebih melihat anak dari prespektif manfaat pendidikan sekolah

yang diperoleh dari panti asuhan, dan manfaat adanya panti asuhan bagi anak yang tidak

mampu secara ekonomi untuk tetap bersekolah. Mengkaji manfaat panti asuhan ini

berharap ke depan dapat membantu mengurangi tingkat kebodohan dikehidupan

Page 16: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

16  

masyarakat, khususnya di Indonesia sebagai akibat ketidakmampuan untuk

melanjutkan sekolah. Kebodohan masyarakat berkurang, maka diharapkan negara akan

semakin berkembang dan maju ke arah kebaikan.

Aspek yang berkaitan dengan keberadaan anak hampir selalu menempati

kedudukan yang penting dalam kajian mengenai keluarga dan masyarakat. Menurut

Irwanto (1999), anak merupakan anggota keluarga dan masyarakat yang penting. Hal ini

karena anak merupakan generasi penerus bangsa dan bagian dari keluarga dalam

lingkup yang lebih luas. Anak yaitu generasi penerus sebuah masyarakat dan

kebudayaan, anak dalam pengertian kebudayaan sebagai pewaris budaya. Warisan

budaya ini kemudian diberikan secara turun-temurun sampai sekarang. Oleh karena itu,

diperlukan sarana sosialisasi untuk anak dalam beraktivitas dan melakukan transfer

kebudayaan melalui perilaku-prilaku sosial yang ada. Sarana seperti ini dapat diperoleh

di keluarga dan masyarakat. Saat dikeluarga yaitu di rumah dan di masyarakat melalui

pendidikan di sekolah.

Studi etnografis Antropologi mencatat mengenai penelitian tentang sosialisasi

dan pengasuhan anak, yaitu penelitian seorang Antropolog Margaret Mead pada tahun

1928 di kepulauan Samoa. Beliau adalah pelopor tentang studi etnografis tentang pola-

pola pengasuhan anak. Mead (1988) menggambarkan pendidikan anak-anak Samoa

yang dilakukan di dalam keluarga, serta bagaimana masyarakat Samoa

mensosialisasikan dan membentuk kepribadian para remaja, khususnya perempuan

dalam melihat kehidupan seksualitas maupun perjodohan. Hasil penelitiannya, Mead

melihat bahwa kehidupan remaja di Samoa lebih siap menghadapi kehidupan

seksualitas dalam perkawinannya dibandingkan dengan remaja di dunia Barat. Hal ini

Page 17: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

17  

karena sosialisasi mengenai kehidupan seksualitas di Samoa telah dilakukan semenjak

mereka masih anak-anak.

Studi lain mengenai kehidupan keluarga, yaitu seperti yang dilakukan oleh

Hildred Geertz mengenai keluarga Jawa. Geertz (1983) menjelaskan bahwa anak bagi

masyarakat Jawa adalah orang-orang terpenting di dunia. Oleh karena itu suami istri

yang belum dikaruniai anak akan menempuh berbagai upaya untuk memiliki anak.

Seorang anak di Jawa sejak kecil dilatih untuk bersikap sopan, santun, hormat, patuh,

dan sungkan. Anak yang masih balita dianggap “durung Jawa” yang berarti belum

mempunyai sifat orang Jawa yang beradab. Pola pengasuhan yang dilakukan di keluarga

Jawa adalah mengupayakan untuk menjadikan mereka “sampun Jawa” atau menjadikan

orang Jawa yang sesungguhnya. Nilai-nilai yang dilakukan dan disosialisasikan pada

anak untuk menjadi Jawa merupakan konsep ideal yang ada pada kehidupan orang

dewasa. Proses yang terjadi di sini adalah proses pendewasaan untuk memahami nilai-

nilai ideal yang berlaku umum. Proses sosialisasi ini dilakukan untuk menjadi dewasa

dengan membangun kepatuhan anak atas nilai dan perilaku yang diajarkan (Geertz,

1983:120).

Pola pengasuhan dalam pendidikan anak oleh keluarga, selalu dikaitkan dengan

kebudayaan yang ada pada masyarakat di mana seorang anak itu tinggal. Kebudayaan

itu menentukan apa yang diajarkan oleh anak dan bagaimana proses pembelajaran

tersebut dilakukan. Maksudnya proses pengasuhan anak akan terkait dengan masalah

transfer kebudayaan antar generasi (dalam Irwanto, 1999). Menurut Irwanto juga

praktek pengasuhan anak di Indonesia umumnya diarahkan untuk membuat anak

menjadi taat dan patuh. Pada masyarakat pedesaan kepatuhan dan ketaatan merupakan

Page 18: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

18  

ciri yang diperlukan, agar kelak ketika seseorang dewasa dapat bertahan hidup dalam

keterbatasan, dan agar mereka menjadi jaminan atau menjaga orangtuanya ketika tiba

masa senja. Pola pengasuhan yang berbeda keadaan, ketika seseorang anak tidak

memiliki orang tua, atau hanya memiliki salah satunya di tengah keterbatasan ekonomi

untuk bertahan hidup. Hal ini tentu membuat anak kehilangan proses sosialisasi yang

baik. Sosialisasi disini yaitu pola pengasuhan dalam pendidikan yang terjadi di keluarga

inti dan masyarakat secara luas.

Oleh karena itu perlu adanya pihak yang membantu dan memfasilitasi hal itu

kepada anak-anak yang memiliki keadaan berbeda tersebut. Yayasan berupa panti

asuhan yatim piatu baik yang murni bergerak hanya dibidang yayasan dan yang

bergerak dibidang pondok pesantren, tentu menjadi salah satu pihak yang turut berperan

serta membantu anak-anak tersebut. Anak-anak yatim piatu dan fakir miskin ini

mendapatkan pendidikan seperti pada umumnya, yaitu menjadi anak yang taat dan

patuh, dapat bersosialisasi dengan baik, serta memiliki ilmu pengetahuan dan

berprestasi. Hal ini menjadi bukti transfer kebudayaan antar generasi yang terdahulu ke

generasi selanjutnya dengan mengikuti perkembangan melalui proses pendidikan,

khususnya pendidikan dikedua yayasan itu.

Keadaan seperti di atas tentunya mengurangi tingkat kejahatan pada anak,

terutama yang terjadi di jalanan. Menurut Ertanto (2002), dalam studinya menjelaskan

tentang bagaimana anak jalanan bertahan hidup di jalanan. Anak-anak jalanan ini

terpaksa tumbuh dan besar di jalanan yang tidak pernah didesain untuk tumbuh

kembang seorang anak. Jalanan menjadikan mereka tempat untuk bersosialisasi dan

mengembangkan relasi sosial. Sosialisasi di jalanan ini menciptakan dua hal bagi anak-

Page 19: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

19  

anak jalanan, yaitu pertama jalanan sebagai tempat mereka bekerja untuk memperoleh

uang, kedua jalanan mengembangkan sebuah gaya hidup khas mereka dan menjadi

salah satu bentuk siasat mereka dalam bertahan hidup. Berdirinya yayasan yatim piatu,

panti asuhan dan pondok pesantren ini membuat anak-anak yang hidup di jalanan lebih

berkurang. Anak-anak tersebut dididik oleh panti asuhan untuk menjadi anak yang

bermartabat melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan. Hal ini tentu mengurangi tingkat

kejahatan pada anak dan menyelamatkan generasi bangsa selanjutnya serta mengurangi

kemiskinan, khususnya di Indonesia.

Seorang ahli Antropologi pendidikan Jepang, Saya Siraishi (2001) dalam

bukunya berjudul Pahlawan –Pahlawan Belia, juga menjelaskan bagaimana gagasan

mengenai keluarga Indonesia terkonstruksi melalui ruang-ruang kelas atau intitusi

sekolah. Ruang sekolah bukan lagi sekedar tempat untuk mendidik anak dengan

berbagai ilmu pengetahuan. Namun menjadi tempat untuk memproduksi gagasan

mengenai keluarga Indonesia. Gagasan itu telah merasuk dalam sendi kehidupan

masyarakat Indonesia modern. Akibatnya koneksi dan relasi yang dibangun baik di

bidang politik maupun ekonomi berlandaskan pada gagasan keluarga tersebut.

Hal penting yang perlu dicatat dari Saya Shiraishi adalah proses sosialisasi

mengenai gagasan keluarga Indonesia dapat terjadi dengan baik melalui faktor bahasa

Indonesia, sebagai bahasa perantara yang kosong dengan makna. Menurut Saya

Shiraishi juga bahasa Indonesia atau yang dikenal dengan istilah bahasa nasional itu,

oleh rezim berkuasa dapat dimanfaatkan dengan baik umtuk memproduksi gagasan

mengenai keluarga Indonesia, terutama melalui buku teks yang berada di pendidikan

tingkat dasar. Gagasan ini dapat terbentuk melalui kelas yang dinamakan pendidikan.

Page 20: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

20  

Pendidikan bukan hanya terkait dengan ilmu pengetahuan yang di dapat tetapi

bagaimana sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Keadaan seperti ini juga yang

menjadikan panti asuhan mengasuh anak-anak yatim piatu dan fakir miskin yang

membutuhkan, kemudian dapat bersosialisasi dengan anak-anak seusianya yang

hidupnya lebih baik dari anak-anak ini, dan anak-anak tersebut dapat meraih pendidikan

di dalam suatu ruang kelas, ruang kelas ini yang kemudian disebut sebagai pendidikan

baik pendidikan di pondok pesantren dan pendidikan di asrama serta pendidikan di

lingkungan sekolah formal.

Konvensi Hak Anak (KHA) yang dideklerasikan oleh PBB (Persatuan Bangsa-

Bangsa) pada tanggal 20 November 1989, menegaskan pentingnya peranan keluarga

dalam pemenuhan hak anak. Bagi anak yang terpaksa berada hidup di luar lingkungan

keluarga alaminya, maka diberikan ketentuan khusus dalam konvensi hak anak untuk

memberikan mereka keluarga pengganti atau semacam lembaga asuh alternatif. Hal ini

mengingat anak memiliki ketergantungan dengan orang dewasa.

Yayasan panti asuhan yatim piatu Al-Qur’aniyyah dan Mukhlishin berusaha

untuk memfasilitasi tempat tinggal dan memberikan pendidikan yang layak bagi anak

yatim piatu dan fakir miskin. Hak asuh anak yatim dan kurang mampu ekonomi ini,

sepenuhnya menjadi tanggung jawab yayasan, dimana yayasan ini dibentuk oleh satu

orang dan kemudian menjadi beberapa orang sehingga terbentuk yayasan atau lembaga.

Lembaga atau yayasan menjadi tempat tinggal bagi anak-anak yang kurang beruntung

ini untuk bergantung dan bersandar. Anak-anak bergantung pada orang dewasa, hal ini

juga yang terjadi di yayasan anak-anak bergantung kepada pengurus yayasan, terutama

Page 21: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

21  

kepada pimpinan yayasan. Anak-anak ini mendapatkan keluarga pengganti yang bisa

disebut sebagai lembaga asuh alternatif berupa kedua yayasan panti asuhan tersebut.

Tinjauan pustaka di atas membuat panti asuhan sebagai salah satu alternatif

pengasuhan anak ketika keluarga tidak mampu lagi menjalankan fungsi pengasuhan

terhadap anak-anak mereka. Hal ini yang menjadi salah satu dasar yayasan panti asuhan

Jihadhul Mukhlishin dan yayasan panti asuhan yatim piatu Al-Qur’aniyyah untuk

menjadi pihak yang terlibat dalam proses pengasuhan anak. Keberkahan mengasuh anak

yatim piatu dan dhuafa menjadikan alasan utama kedua yayasan itu untuk mendirikan

lembaga alternatif yang bergerak di bidang sosial, khususnya terkait dengan pendidikan

dan pengasuhan anak.

Keadaan ini tentu tidak lepas dari dukungan banyak pihak, supaya kondisi panti

asuhan tetap berjalan sebagaimana fungsinya menyelamatkan anak putus sekolah,

terutama anak yatim piatu dan dhuafa. Solidaritas dan dukungan masyarakat baik moril

maupun materi sangat membantu lembaga atau yayasan untuk mewujudkan. Keadaan

seperti ini perlu ada kerjasama yang baik, antara pemerintah, yayasan, dan masyarakat,

supaya keberlangsungan hidup anak-anak yang khusus ini dapat terwujud. Anak-anak

dapat meraih impian dan cita-citanya melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, tolong menolong menjadi salah satu semboyan dalam penelitian

ini. Melalui jiwa dan semangat tolong-menolong yang tinggi, maka dapat mewujudkan

pendidikan di sekolah secara adil dan merata. Prioritas utama yang ditolong yaitu bagi

anak yang hidupnya kurang mampu secara ekonomi dan tergolong yatim piatu. Setiap

agama menyarankan untuk tolong menolong dan bersedekah kepada anak yatim piatu,

agar kehidupan menjadi lebih barokah dan bahagia. Kata dari tolong menolong ini

Page 22: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

22  

digunakan baik oleh yayasan, maupun pondok pesantren untuk dapat menarik

masyarakat umum, untuk ikut berperan serta aktif membantu mewujudkan harapan

tersebut. Minimal menjadikan masyarakat umum untuk menjadi para donatur, baik

donatur tetap maupun donatur yang tidak tetap. Donatur tetap adalah donatur yang

setiap waktu sudah rutin membantu yayasan dan pondok pesantren yatim piatu.

Sedangkan donatur yang tidak tetap memberikan bantuannya sewaktu-waktu saja saat

ada hajat atau keinginan dan syukuran, baru membantu anak yatim piatu yang ada di

yayasan atau pondok pesantren.

Kebutuhan seseorang tidak selalu sama dengan kebutuhan organisasi dan

sebaliknya kebutuhan organisasi tidak selalu sama dengan kebutuhan seseorang. Pada

dasarnya seseorang akan masuk ke dalam organisasi apabila kebutuhan organisasi

dirasakan sama dengan kebutuhan orang itu. Organisasi yayasan yatim piatu dan panti

asuhan ini merupakan bagian dari organisasi sosial. Organisasi sosial yaitu organisasi

yang melayani kebutuhan sosial dari orang-orang yang saling berhubungan satu sama

lain, yang memiliki kesamaan, dan saling membantu. Ha ini yang kemudian disebut

sebagai bagian dari Antropologi sosial.

Page 23: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

23  

E. LANDASAN TEORI

a. Teori Organisasi

Kelembagaan kaitannya disini dalam bentuk organisasi. Berdasarkan kebutuhan

sosial, Talcott Parsons (1960) membedakan organisasi menjadi beberapa, salah satunya

yaitu organisasi integrative. Organisasi integrative ini melakukan aktivitas guna

memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat. Misalnya lembaga yatim piatu,

lembaga pemeliharaan orang lanjut usia, rumah sakit, pengadilan, dan organisasi

profesi.

Hubungan dengan pendapat Talcott ini menjadikan yayasan yatim piatu

Mukhlishin dan pondok pesantren yatim piatu Al-Qur’aniyyah menjadi bagian dari

sebuah organisasi yang berbentuk sebuah lembaga atau yayasan. Organisasi memiliki

pengertian yang berbeda-beda dari setiap penyusun definisi organisasi. Daam wikipedia,

pengertian organisasi secara sederhana adalah sistem saling berpengaruh antar orang

dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Talcott Parsons sendiri mengemukakan sumber teori organisasi ini adalah

pandangan manusia, walaupun masih banyak cara pandang dalam teori organisasi.

Pandangan manusia yang dimaksud yaitu beberapa sumber status dalam organisasi,

yang meliputi keanggotaan dalam keluarga, kualitas pribadi, prestasi, pemilikan,

wewenang dan kekuasaan. Status mana yang utama tergantung dari nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Page 24: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

24  

Hal ini berhubungan dengan kedua yayasan tersebut, yayasan Mukhlishin dan Al-

Qur’aniyyah sama-sama mementingkan organisasi yang bersifat sosial dan berhubungan

dengan pandangan manusia. Pandangan manusia ini terkait dengan kepengurusan dan

kepemimpinan yayasan dan pondok pesantren. Teori organisasi di yayasan juga

berusaha menjelaskan tentang manajemen dan pengelolaan lembaga. Setiap sekolah

atau yayasan pasti membutuhkan manajemen kelembagaan agar pelaksanaannya dapat

terlaksana dengan baik dan terstruktur. Terdapat di beberapa tempat dan daerah, sekolah

Islam atau madrasah yang awalnya mengalami kemunduran kemudian dapat maju

dengan pesat. Menurut buku manajemen pendidikan Islam, ada juga pendidikan sekolah

Islam atau madrasah yang maju tetapi kemudian akhirnya gulung tikar, ada yang

awalnya maju dan tetap bertahan, tidak sedikit juga yang berada dalam kategori La ‘

yahya wala yamutuu (artinya hidup enggan mati tidak mau) dan tetap seperti itu sampai

sekarang.

Menurut Fatah (2001)8 bagi seorang manajer , falsafah merupakan cara berpikir

yang telah terkondisikan dengan lingkungan, perangkat organisasi, nilai-nilai dan

keyakinan yang mendasari tanggung jawab seorang manajer. Melalui falsafah maka

seorang manajer dapat menerapkan strategi dengan mantap karena telah mendapatkan

pembenaran secara rasional. Manajemen pendidikan Islam dapat dilihat dari : Pertama

proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang dilihat secara islami. Kedua

lembaga Pendidikan Islam, manajemen disini dapat memaparkan cara-cara pengelolaan

pesantren, madrasah, perguruan tinggi Islam, dan sebagainya. Ketiga proses

pengelolaan pendidikan Islam menghendaki adanya sifat inklusif dan eksklusif, artinya

                                                            8 Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Page 25: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

25  

inklusif maksudnya sesuai visi dan misinya dan eksklusif hanya terfokus pada lembaga

pendidikan Islam. Keempat melalui cara menyiasati, artinya ada strategi dan pembedaan

antara administrasi dengan manajemen.

Kemudian sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait, sumber belajar

disini memiliki cakupan yang cukup luas, yaitu manusia, seperti ustad atau guru, siswa

atau santri, para pegawai dan pengurus yayasan. Sumber lain seperti bahan, lingkungan,

alat dan peralatan, serta aktivitas. Terakhir efektif dan efisien. Maksudnya

penyempurnaan dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini semua yang

mencoba untuk dijalankan di yayasan Jihadul Mukhlishin dan di pondok pesantren Al-

Qur’aniyyah.

b. Teori Peran dan Altruisme

Menurut Koentjaraningrat (1974), fungsi kebudayaan bagi masyarakat sangat

besar. Hal ini disebabkan karena salah satunya manusia dan masyarakat memerlukan

kepuasan baik di bidang spiritual maupun material. Fungsi kebudayaan tersebut

bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hal ini yang melandasi kedua organisasi

yayasan atau lembaga ini berdiri, yaitu untuk meraih kepuasan spiritual dan material.

Material yang didapat dari organisasi sosial seperti kedua yayasan tersebut tidak

seberapa hasilnya, namun spritual yang diutamakan.

Yayasan yatim piatu Mukhlishin dan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah,

merupakan bagian dari sebuah organisasi atau lembaga yang bergerak di bidang

pendidikan secara sosial. Fungsi lembaga pendidikan menurut Koentjaraningrat (1958),

Page 26: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

26  

yaitu memberikan persiapan bagi peranan pekerjaan, sebagai perantara pemindahan

warisan. Memperkenalkan individu tentang berbagai peranan dalam masyarakat.

Mempersiapkan para individu dengan berbagai peranan sosial, memberikan landasan

bagi penilaian dan pemahaman status relatif, meningkatkan kemajuan melalui

pengikutsertaan dalam riset ilmiah. Terakhir memperkuat penyesuaian diri dan

mengembangkan hubungan sosial.

Pendidikan di Yayasan Panti Asuhan sendiri terbagi menjadi dua yaitu :

pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan non formal terjadi di luar

pendidikan formal, contohnya seperti : belajar mengaji dan belajar ilmu pengetahuan

agama Islam secara luas, belajar membaca Al-Qur’an dengan melantunkan ayat-ayat

Al-Qur’an, sehingga menjadi enak untuk diperdengarkan. Pembelajaran lain yang

dilakukan di pondok pesantren, yaitu belajar rebana dan keterampilan, seperti belajar

keterampilan menjahit, menulis kaligrafi arab dari ayat Al-Qur’an, belajar komputer,

dan pratik belajar berdakwah dan ceramah. Kegiatan keterampilan di atas termasuk ke

dalam pendidikan non formal. Pandangan di atas semakin memperkuat bahwa

pendidikan sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, baik berupa pendidikan formal dan

pendidikan non formal. Pendidikan formal dan non formal semuanya memiliki manfaat

dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, harapannya dapat saling mengisi

diantara keduanya.

Teori altruisme9 yaitu teori untuk senantiasa berbagi atau menolong tanpa pamrih.

Teori ini berusaha mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.

Dasar teori ini adalah saling berbagi dan memberi. Teori Altruisme menginspirasi

tulisan ini untuk menolong tanpa pamrih, bentuknya melalui pendidikan gratis kepada                                                             9 Diambil dari www.id.wikipedia.org, diakses tanggal 13 Juni 2012.  

Page 27: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

27  

yang tidak mampu secara ekonomi. Jadi bentuk tolong disini adalah menolong yang

mampu secara ekonomi kepada yang tidak mampu secara ekonomi. Oleh karena itu

dibentuklah suatu yayasan yang berusaha mendahulukan kepentingan bersama di atas

kepentingan pribadi. Konsep saling memberi dan menerima ada di dalam yayasan panti

asuhan dan para dermawan yang memberikan rsebagian rezekinya kepada anak yatim,

memberi kepada yang memang benar-benar membutuhkan. Konsep saling berbagi ini

diberikan kepada para dermawan yang suka memberi rezeki ke anak yatim piatu, dan

difasilitasi melalui yayasan untuk menyelenggaraan pendidikan sekolah anak yang

terdapat di panti asuhan.

Paham ini bertujuan untuk mengutamakan orang lain. Hakikatnya bahwa perilaku

seseorang dipimpin oleh suatu pendapat bahwa tiap-tiap orang berpembawaan tidak

mementingkan diri sendiri, bahwa tiap-tiap orang berpembawaan untuk saling

membantu satu sama lain. Perwujudan paham ini menonjol saat orang lain sedang

mengalami kesulitan, sehingga tanpa diminta seseorang akan ikhlas membantu orang

lain. Bahkan seseorang akan merasa bersalah apabila pada suatu waktu tidak ikut

membantu kesulitan itu. Kesulitan yang dialami oleh orang lain yang telah dikenalnya,

walaupun mungkin orang lain itu tidak mengharapkan bantuannya.

Melalui ide dan gagasan seseorang, maka terbentuklah panti asuhan dengan usaha

untuk membantu sesama manusia. Manusia yang dibantu disini adalah anak-anak yatim

piatu dan dhuafa, supaya dapat tetap melanjutkan sekolah di tengah keterbatasan

ekonomi. Niat pembuatan panti ini berlandaskan keikhlasan untuk membantu

pendidikan, dengan mencari keberkahan bersama anak yatim piatu dan dhuafa sebagai

salah satu generasi bangsa.

Page 28: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

28  

Harapan Yayasan Jihadul Mukhlishin dan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah

yaitu supaya setiap anak yang berada di dalam yayasan panti asuhan ini dapat terurus

dan jelas hidupnya, dengan bersekolah langsung di tempat yang telah disediakan oleh

panti asuhan untuk meraih ilmu agama dan dunia. Sekolah dan yayasan yang dimiliki

panti asuhan Jihadul Mukhlishin dan Al-Qur’aniyyah ini keberadaannya sudah diakui

oleh pemerintah setempat. Alasan lain dibentuk yayasan pendidikan panti asuhan dan

pondok pesantren, yaitu mengacu pada keutamaan pendidikan bagi masyarakat dan hak

setiap warga negara. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003,

tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai

hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kedua yayasan ini

berusaha memberikan pendidikan bagi yang kurang mampu ekonomi, akibat dampak

mahalnya biaya pendidikan dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Menurut Wikipedia ensklopedia bebas, teori peran adalah sebuah sudut pandang

dalam sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian

diperankan oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial (misalnya ibu, manajer,

guru). Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan

perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan pada

pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang dapat diprediksikan, dan

bahwa kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan

faktor-faktor lain. Teater adalah metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan

teori peran. Meski kata 'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama beberapa

abad, sebagai suatu konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar tahun 1920-an dan

Page 29: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

29  

1930-an. Istilah ini semakin menonjol dalam kajian sosiologi melalui karya teoretis

Mead, Moreno, dan Linton.

Dua konsep Mead, yaitu pikiran dan diri sendiri, adalah pendahulu teori peran.10

Tergantung sudut pandang umum terhadap tradisi teoretis, ada serangkaian "jenis"

dalam teori peran. Teori ini menempatkan persoalan-persoalan berikut mengenai

perilaku sosial: Satu Pembagian buruh dalam masyarakat membentuk interaksi di antara

posisi khusus heterogen yang disebut peran. Kedua peran sosial mencakup bentuk

perilaku "wajar" dan "diizinkan", dibantu oleh norma sosial, yang umum diketahui dan

karena itu mampu menentukan harapan. Ketiga peran ditempati oleh individu yang

disebut "aktor". Keempat ketika individu menyetujui sebuah peran sosial, maka mereka

akan memikul beban untuk menghukum siapapun yang melanggar norma-norma peran.

Kemudian kondisi yang berubah dapat mengakibatkan suatu peran sosial dianggap

kedaluwarsa atau tidak sah, yang dalam hal ini tekanan sosial berkemungkinan untuk

memimpin perubahan peran. Terakhir antisipasi hadiah dan hukuman, serta kepuasan

bertindak dengan cara prososial, menjadi sebab para agen patuh terhadap persyaratan

peran.

Dalam hal perbedaan teori peran, di satu sisi ada sudut pandang yang lebih

fungsional. Jenis teori peran ini menyatakan bagaimana dampak tindakan individu yang

saling terkait terhadap masyarakat, serta bagaimana suatu sudut pandang teori peran

dapat diuji secara empiris. Kunci pemahaman teori ini adalah bahwa konflik peran

                                                            

10Hindin, Micelle J. (2007) "role theory" in George Ritzer (ed.) The Blackwell Encyclopedia of Sociology, Blackwell Publishing, 2007, 3959-3962

 

Page 30: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

30  

terjadi ketika seseorang diharapkan melakukan beberapa peran sekaligus yang

membawa pertentangan harapan.

Hal inilah yang terjadi di kedua yayasan Jihadul Mukhishin dan di pondok

pesantren Al-Qur’aniyyah. Kedua yayasan berusaha untuk menerapkan perannya secara

sosial, dengan memberikan kontribusinya kepada masyarakat yang dalam hal ini anak-

anak terlantar yang butuh perlindungan, pengasukan dan pendidikan. Anak-Anak yatim

piatu dan fakir miskin atau dhuafa ini dididik dan dirawat dengan kasih sayang seperti

kedua orangtuanya yang telah tiada. Pendidikan yang diberikan bukan hanya pendidikan

umum, tetapi yang lebih utama pendidikan agama, anak-anak ini diberikan tanggung

jawab untuk mengurus dirinya sendiri secara mandiri dan bermanfaat bagi sekitar,

hukuman bagi yang melanggar sesuai dengan kesepakatan dari peran tersebut. Konflik

tentu ada tetapi bagaimana disikapinya. Menurut pimpinan kedua yayasan segala

konflik berusaha untuk diselesaikan dengan cara baik-baik.

c. Teori Pemenuhan Kebutuhan

Teori motivasi Abraham Maslow (1908-1970) berisi tentang pemenuhan

kebutuhan manusia, khususnya yang terkait dengan anak. Menurut Maslow dalam

bukunya Motivation and Personality, bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan-

kebutuhan yang bersifat hirarkis.11 Teori di atas dapat digunakan sebagai alasan awal

manusia untuk memenuhi kebutuhan, salah satunya kebutuhan untuk memperoleh

pendidikan. Manfaat pendidikan bagi setiap manusia adaah salah satunya, selain dapat

                                                            11 Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row Publisher, 1970), hlm.1-10.

Page 31: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

31  

memenuhi kebutuhan dasar, secara pribadi dengan pendidikan dapat mengaktualisasi

diri menaikkan derajat sebagai manusia untuk mendapatkan penghargaan dan prestise.

Motivasi pribadi tentu tidak sama dengan motivasi organisasi. Motivasi organisasi

yang dimaksud disini adalah motivasi dari kedua yayasan ini, baik yayasan pondok

pesantren Al-Qur’aniyyah dan yayasan Jihadul Mukhlishin. Motivasi kedua yayasan

hampir sama, hanya saja pondok pesantren menginginkan anak asuhnya yang mereka

sebut santri lebih paham agama terutama dalam hal kitab suci umat Islam yaitu Al-

Qur’an. Yayasan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah berusaha mencetak generasi qur’ani

yang cinta Al-qur’an dan dapat mempraktekkannya, jadi ilmu pondok juga tidak kalah

pentingnya dengan ilmu pendidikan umum atau formal. Motivasi yang lain yaitu

mencerdaskan anak bangsa, terutama anak yang hidupnya kurang beruntung, seperti

anak yatim piatu dan dhuafa. Motivasi individu yaitu untuk kepentingan individu

masing-masing anak, hal ini tentu tidak sama, namun intinya mereka anak yang kurang

beruntung ini merasa terbantu dengan adanya yayasan yatim piatu tersebut.

Motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi sarana utama selain motivasi

yang lain dalam hidup, seperti meraih ilmu pengetahuan dan penghargaan akan

kesetaraan pendidikan. Hal ini tampak dari rasa bersyukur anak asuh yang berada di

kedua tempat yayasan yatim piatu ini. Mereka tetap dapat bersekolah kembali tanpa

bingung akan masalah biaya dan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan.

Menurut Hasyim Muhammad12 ada lima kebutuhan yang harus dipenuhi yaitu

kebutuhan fisiologis, kebutuhan ini adalah kebutuhan bersifat dasar, contohnya makan,

                                                            12 Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi telaah atas Abraham Maslow (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Walisongo Press, 2002). 

Page 32: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

32  

minum ataupun kebutuhan fisik lainnya yang menjadi kebutuhan pokok setiap manusia

yang harus dipenuhi. Kedua kebutuhan terkait rasa aman, contohnya terbebas dari

ancaman pihak luar yang dapat merugikan ataupun mengancam kehidupannya. Ketiga

kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki. Kemudian Kebutuhan akan penghargaan, yakni

kebutuhan terkait dengan penghargaan yang harus diberikan kepada diri seseorang atas

prestasi dari suatu perilaku yang dilakukan. Contoh salah satunya adalah penghargaan

akan proses pendidikan. Terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri, dimana seseorang

perlu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.

Teori lain yang ingin disampaikan dalam penelitian ini adalah teori tentang

bagaimana seseorang memiliki keinginan kuat untuk mengorbankan harta dan jiwanya,

demi keberlangsungan serta kesuksesan orang lain yang membutuhkan uluran

tangannya. Istilah lain dalam Islam adalah sedekah yang manfaatnya untuk diri sendiri

dan orang lain. Teori sedekah ini dapat dilakukan oleh siapapun, tidak harus menunggu

seseorang itu kaya raya baru sedekah. Bagaimana kesadaran untuk bersedekah dimulai

sejak dini, dari tidak memiliki sesuatu hingga memiliki sesuatu.

c. METODE PENELITIAN

a. Lokasi

Lokasi penelitian bertempat di Yayasan Yatim Piatu Jihadul Mukhlishin, Rempoa

Permai, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Daerah Jakarta Selatan, Propinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan di Pondok Pesantren Yatim Piatu Al-Qur’aniyyah,

Kelurahan Jurangmangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Daerah Tangerang Selatan.

Dasar dari pemilihan lokasi tersebut adalah faktor keragaman penduduknya. DKI

Page 33: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

33  

Jakarta dengan penduduk yang cukup padat dan kompleks masyarakatnya, memiliki

banyak yayasan yatim piatu. Yayasan yatim piatu yang dipilih dalam penelitian ini

terletak di kawasan DKI Jakarta yang terbilang cukup elit dan mewah, yaitu di daerah

Bintaro. Hal ini cukup strategis bagi yayasan untuk memudahkan penyelenggaraan

pendidikan dengan bantuan dana dari masyarakat sekitar yang dikelola oleh yayasan

tersebut.

Alasan lain pemilihan penelitian dikedua Yayasan Panti Asuhan Mukhlishin di

Jakarta dan Yayasan Panti Asuhan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah di Tangerang,

yaitu karena kedua tempat ini berada di kawasan ibukota yang strategis, dengan

kapasitas penduduk yang jumlahnya besar dan kemiskinan yang semakin merajalela.

Kemudian kedua yayasan penelitian ini memiliki kesamaan tujuan visi misi, tetapi

berbeda dalam bentuk pencitraan nama. Perbedaan antara yang hanya menggunakan

nama panti asuhan dengan yang menggunakan istilah pondok pesantren.

Pondok pesantren ini berdiri di kawasan Tengerang yang terbilang cukup padat

dan kumuh selain di DKI Jakarta. Tangerang menjadi daerah pinggiran dengan aktifitas

masyarakat yang beraneka ragam. Di sana berdirilah salah satu pondok pesantren,

tepatnya di Daerah Tangerang Selatan, yang fokus dengan pendidikan agama dan umum

untuk menangani anak yang bermasalah. Anak bermasalah yang dimaksud disini adalah

anak yang tidak memiliki kedua orangtua, khususnya ayahnya yang disebut dengan

istiah yatim.

Yayasan di dua tempat ini sama-sama memiliki pengaruh yang cukup signifikan

di daerah Jakarta Selatan dan Tangerang khusunya di kawasan Bintaro. Bintaro sendiri

menjadi daerah pinggiran Jakarta Selatan yang berbatasan langsung dengan daerah

Page 34: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

34  

Tangerang Selatan. Yayasan Jihadul Mukhlishin sendiri berada di komplek perumahan

elit di Jakarta Selatan daerah Bintaro dan Rempoa. Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah

berada di kawasan padat penduduk yang cenderung kumuh dan berada dekat dengan

masyarakat kalangan menengah ke bawah, hal ini terlihat perbedaan yang cukup

kontras.

b. Informan

Penentuan informan digunakan konsep James Spradley (1997:61) dalam

Endraswara (2006:239) yang prinsipnya menghendaki informan harus paham budaya

yang dibutuhkan. Informan kunci disini menurut Koentjaraningrat (1994:131)

diharapkan adalah mencari pendidikan yang cukup tinggi dari pada yang lain, agar

mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya yang dibutuhkan dan dipahami oleh si

peneliti. Menurut pendapat Koentjaraningrat ini, maka peneliti berusaha mengambil

informan kunci dari kalangan pendidikan tinggi yaitu pemiik atau pimpinan dari pondok

pesantren Al-Qur’aniyyah, Ustad Sobron. Ustad Sobron saat ini sedang menempung

strata tiga di sebuah kampus swasta di Jakarta Selatan, dengan dasar ilmu Al-Qur’an.

Informan kunci di yayasan Jihadul Mukhlishin juga berusaha mengambil dari kalangan

akademisi yaitu pimpinan yayasan sendiri, yang bernama Bapak Syafril. Bapak Syafril

ini merupakan lulusan sarjana di DKI Jakarta, yang kemudian bekerja mengabdi di

sebuah yayasan pendidikan, yang nantinya menjadi cikal bakal keinginannya untuk

mendirikan yayasan pendidikan sendiri.

Menurut Spradley (2007), informan merupakan sumber informasi atau secara

harfiah informan adalah guru bagi seorang etnografer. Informan dipilih yaitu dengan

Page 35: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

35  

penarikan informan dari masing-masing lingkup. Kemudian dilanjutkan kepada individu

lain dimasing-masing lingkup atas dasar rekomendasi dari informan sebelumnya.

Bentuk informasi dan data yang diperoleh adalah akibat kesamaan informasi yang

diberikan, baik oleh informan pertama maupun informan selanjutnya. Penelitian ini

menggunakan teknik wawancara kepada masing-masing informan sesuai dengan

peranannya.

Informan dalam penelitian ini meliputi pimpinan pondok dan pimpinan yayasan.

Pimpinan pondok bernama ustad Sobron, yang oleh santrinya sering disebut dengan

istilah abi yang artinya ayah dalam bahasa arab. Informan pimpinan yayasan panti

asuhan Mukhlishin bernama bapak Syafril Amir. Informan tambahan adalah anak asuh

atau santri yang tergolong yatim piatu, dan dhuafa, pemilihannya ditentukan oleh

kebijakan dari pimpinan pondok dan yayasan panti asuhan. Informan lainnya yang

sifatnya pendukung, yaitu seperti beberapa guru yang mengajar secara sukarela dengan

berbasis keihklasan di sana, serta masyarakat pendonor atau para dermawan setempat.

Masyarakat pendonor yang bersifat dermawan ini dipilih berdasarkan kriteria yang

sifatnya tetap. Pendonor tetap disini maksudnya yaitu selalu rutin memberikan

sumbangan ke panti asuhan. Pendonor yang sifatnya tidak tetap yaitu mereka yang

memberikan sumbangan ke pondok atau yayasan hanya sewaktu-waktu.

c. Teknik Pengumpulan

a. Observasi Partisipasi

Observasi dalam penelitian ini adalah dengan cara mengamati dan mendengar.

Hal ini dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari bukti terhadap fenomena

Page 36: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

36  

pendidikan di kedua yayasan yatim piatu tersebut. Pendidikan yang diperuntukkan bagi

anak-anak yatim piatu dan dhuafa, yang berada di kawasan elit dan kawasan padat

penduduk di Jakarta Selatan dan Tangerang. Pendidikan ini diselenggarakan oleh

yayasan yatim piatu Jihadul Mukhlishin dan yayasan pendidikan Islam panti asuhan

yatim piatu pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Pengamatan observasi ini menjadi

penting untuk melihat lokasi tempat dan keadaan sekitar. Pengamatan pada saat di

asrama yayasan, di sekolah dan di lingkungan tempat tinggal sekitar yayasan dan

pondok pesantren. Observasi dilakukan dengan cara mencatat dan memotret fenomena

yang ada tersebut, guna untuk menemukan data analisis yang dibutuhkan.

Pengamatan terlibat yaitu ikut berpartisipasi di setiap kegiatan anak-anak baik saat

di asrama tempat tinggal maupun di lingkungan sekolah. Pengamatan terlibat ini

memudahkan untuk mendapatkan informasi melalui wawancara dengan semua

komponen yang teribat dalam proses pendidikan, baik murid, guru, maupun pengurus

yayasan. Observasi partisipasi dalam penelitian adalah untuk mendapatkan data. Data

yang utama mengenai perilaku atau karakteristik yang sifatnya pribadi dari informan,

misalnya kedekatan dengan anak asuh. Perilaku yang tidak tampak dapat diketahui

dengan interview singkat, maka diperlukan observasi partisipasi ini secara aktif.

b. Wawancara

Teknik pengumpulan data yang berikutnya adalah wawancara. Metode wawancara

yang digunakan adalah wawancara mendalam. Dalam penelitian ini wawancara

mendalam pertama kali dilakukan oleh tokoh utama yaitu pengurus atau pemilik

yayasan dan pondok pesantren. Kemudian dilanjutkan untuk mencari informan

Page 37: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

37  

tambahan, untuk mencari informasi tambahan. Instrumen yang digunakan metode ini

adalah pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. Data yang digali dalam

wawancara ini yakni, hal-hal yang menyangkut dengan topik-topik pendidikan,

pembentukan yayasan, peran yayasan dan proses pendidikannya. Hal ini seperti

menjelaskan sistem pendidikan, dan metode pendidikan apa yang digunakan dan

diajarkan ke anak ilmu yang seperti apa, hal ini menjelaskan tentang kegunaan.

Kegunaan berdirinya yayasan dan pondok pesantren dilihat dari manfaat keadaan dan

teraksananya pendidikan di kedua tempat tersebut. Teori peran juga identik dengan

kegunaannya seperti apa kedua yayasan ini.

Wawancara ditujukan kepada beberapa kelompok informan. Kelompok informan

ini diantaranya, pengurus atau ketua yayasan dan ketua pondok pesantren, anak asuh di

yayasan dan santri di pondok pesantren, karyawan. Karyawan disini yaitu guru

pembimbing baik di yayasan yaitu asrama dan di pondok pesantren dengan ustad,

maupun guru yang terdapat di sekolah yayasan Jihadul Mukhlishin dan di pondok

pesantren Al-Qur’aniyyah.

c. Studi Pustaka

Selain observasi partisipasi dan wawancara juga dilakukan studi pustaka. Tujuan

dari studi pustaka adalah untuk mendapatkan informasi melalui referensi yang

dibutuhkan dalam proses metode dan pengerjaan untuk penyelesaian penelitian. Pada

tahap studi pustaka ini berisi uraian atau gambaran umum tentang penelitian. Studi

pustaka dapat diperoleh dari majalah, buku, koran, laporan penelitian, internet. Studi

Page 38: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

38  

pustaka juga dapat diperoleh dari data keadaan di lapangan, mengenai kaitannya dengan

hal-hal yang akan diteliti.

Studi pustaka berupa laporan penelitian dari beberapa orang yang meneliti hal

yang serupa, misalnya tentang pendidikan non formal anak jalanan oleh Zulfadli dari

Pascasarjana UGM dan penelitian Bayu tentang anak Aceh dan yang bukan Aceh

korban dari tsunami, kemudian diperbantukan di yayasan panti asuhan di Aceh. Hal ini

semua berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat terkait dengan masalah sosial.

Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini terutama yang berhubungan dengan

pendidikan, pelaksanaan, proses, dan sampai siapa yang teribat di dalamnya dijelaskan

dalam studi pustaka. Studi pustaka dan kerangka teori merupakan kerangka acuan yang

disusun berdasarkan kajian berbagai aspek. Kajian secara teoritis maupun empiris yang

menumbuhkan gagasan dan mendasari usulan penelitian. Uraian dalam studi pustaka

ini, diharapkan memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan

upaya-upaya lain yang mungkin sudah pernah dilakukan para ahli, untuk mendekati

permasalahan yang sama atau relatif sama. Pengembangan ini dilakukan untuk

mendapatkan landasan empiris yang cukup kuat.

d. Analisis Data.

Penelitian ini merupakan penelitian dasar, yang ditempatkan dalam penelitian

sosial budaya. Penelitian ini tergolong penelitian fenomenologis. Fokus kajian dan unit

analisisnya mencakup dua hal yaitu: penelitian tentang perilaku dan kebudayaan

(Ahimsa-Putra,2007:43-44). Mengacu pada hal tersebut usulan penelitian ini adalah

sistem pengetahuan, perilaku dari anak asuh atau santri dalam menerima pendidikan

Page 39: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

39  

yang ada di panti asuhan, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh panti asuhan untuk

menghadapi kondisi anak asuh dan problem dari pendidikan di panti asuhan sendiri.

Analisis datanya dengan menggunakan analisis penelitian secara kualitatif dan

dijelaskan dengan deskriptif. Deskriptif disini yaitu mencoba menggambarkan keadaan

situasi dan lingkungan disana.

Data yang dikumpulkan adalah data dari hasil wawancara, observasi partisipasi

dan beberapa studi pustaka. Data yang digali meliputi data-data yang berhubungan

dengan pendidikan yang diselenggarakan di kedua tempat tersebut. Data dari

wawancara dengan informan mengungkap pengaruh yayasan dan pondok pesantren

terhadap lingkungan sekitar, khususnya terkait dengan masalah pendidikan. Pendidikan

ini diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi untuk

melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Alasan utama dikarenakan ketiadaan biaya dan

kehilangan orangtua. Data yang digali adalah proses pendidikan yayasan dilihat dari

strategi dan metode pendidikan sekolahnya. Implikasi dari adanya kedua yayasan ini

terhadap keadaan lingkungan sekitar dan masyarakat dekat tempat tinggal kedua

yayasan.

Penelitian ini adalah kajian tentang pendidikan anak secara sosial yang

dilakukan oleh dua lembaga sosial di panti asuhan. Sasaran penelitian adalah lembaga

sosial yang mempunyai visi dan misi, kepengurusan, ataupun ideologi tertentu. Alur

penelitian tidak saja membahas tentang pendidikan anak secara sosial, akan tetapi juga

akan lebih mengkaji bagaimana sebuah lembaga melakukan kegiatan sosial tersebut.

Melengkapi analisis penelitian dari data lapangan selain observasi, wawancara dan studi

pustaka, maka penelitian ini akan menggunakan dokumentasi berupa data foto selama di

Page 40: BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77456/potongan/S2...membangun dari nol tempat tinggal anak-anak yatim piatu dan dhuafa dimuai dari seuah

40  

lapangan. Dokumentasi dengan menggunakan kamera foto diharapkan dapat

memberikan gambaran penting atas kejadian yang terjadi selama penelitian

berlangsung, yang terlewatkan dari rekaman alat indera manusia.