BAB I PENGANTAR 1.1 Latar...

36
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Di tengah keberadaan sastra anak yang masih terpinggirkan dalam khazanah kesusastraan Indonesia 1 , Abdurahman Faiz, yang terlahir pada tanggal 15 November 1995, mampu menarik perhatian publik, termasuk kalangan sastrawan hingga negarawan. Nama Faiz kian dikenal setelah suratnya yang memenangkan Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI tahun 2003 atas prakarsa Dewan Kesenian Jakarta beredar luas di internet. Berawal dari popularitas yang didapat pada usianya yang dini tersebut, karya-karya Faiz, yang sebelumnya hanya menjadi dokumentasi pribadi, diterbitkan ke dalam bentuk buku. Tercatat hingga tahun 2008, Faiz telah membukukan 4 kumpulan puisi, 1 kumpulan esai, dan 6 antologi 2 . Sementara itu, pada tahun 2011, naskah dramanya yang bertajuk “Brani” berhasil memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Drama Federasi Teater Indonesia di bawah naungan pihak penyelenggara Depdikbud RI. Kemunculan Faiz dengan karya-karyanya yang telah bermula sejak masa kanak-kanak menjadikan status kepengarangannya identik dengan sebutan sastrawan “cilik”. Di arena sastra anak Indonesia, Faiz dipandang sebagai generasi brilian yang mampu menjadi tonggak bagi kelahiran sastrawan yang berasal dari kalangan anak-anak. 1 Diindikasikan dengan belum adanya penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak dalam sebuah zaman (Sugiarti, 2012: 207). 2 Dalam salah satu antologinya, yakni Antologi Puisi Empati untuk Yogyakarta (2006), puisi Faiz disandingkan dengan puisi karya Ahmadun Yosi Herfanda.

Transcript of BAB I PENGANTAR 1.1 Latar...

Page 1: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

1

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Di tengah keberadaan sastra anak yang masih terpinggirkan dalam khazanah

kesusastraan Indonesia1, Abdurahman Faiz, yang terlahir pada tanggal 15

November 1995, mampu menarik perhatian publik, termasuk kalangan sastrawan

hingga negarawan. Nama Faiz kian dikenal setelah suratnya yang memenangkan

Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI tahun 2003 atas prakarsa Dewan

Kesenian Jakarta beredar luas di internet. Berawal dari popularitas yang didapat

pada usianya yang dini tersebut, karya-karya Faiz, yang sebelumnya hanya

menjadi dokumentasi pribadi, diterbitkan ke dalam bentuk buku. Tercatat hingga

tahun 2008, Faiz telah membukukan 4 kumpulan puisi, 1 kumpulan esai, dan 6

antologi2. Sementara itu, pada tahun 2011, naskah dramanya yang bertajuk

“Brani” berhasil memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Drama Federasi

Teater Indonesia di bawah naungan pihak penyelenggara Depdikbud RI.

Kemunculan Faiz dengan karya-karyanya yang telah bermula sejak masa

kanak-kanak menjadikan status kepengarangannya identik dengan sebutan

sastrawan “cilik”. Di arena sastra anak Indonesia, Faiz dipandang sebagai generasi

brilian yang mampu menjadi tonggak bagi kelahiran sastrawan yang berasal dari

kalangan anak-anak.

1 Diindikasikan dengan belum adanya penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak

dalam sebuah zaman (Sugiarti, 2012: 207). 2 Dalam salah satu antologinya, yakni Antologi Puisi Empati untuk Yogyakarta (2006), puisi Faiz

disandingkan dengan puisi karya Ahmadun Yosi Herfanda.

Page 2: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

2

“Kehadiran mereka bisa jadi tonggak munculnya sastrawan anak-anak.”3

Faiz beserta Sri Izzati bahkan menjadi pelopor kelahiran seri “Kecil-Kecil

Punya Karya” (KKPK) rintisan Penerbit Mizan yang memiliki keseriusan

menggarap pasar sastra anak. Seri KKPK memuat cerita anak berdasar

pengalaman dan imajinasi para penulis anak Indonesia (Udasmoro, 2012: 24).

Secara lebih spesifik, KKPK diperuntukkan bagi segmentasi anak-anak sekolah

dasar yang gemar menulis (Muakhir, 2006: 11). KKPK didirikan pada tahun 2004

dengan melakukan launching perdana karya Faiz dan Izzati, masing-masing

Untuk Bunda dan Dunia dan Kado untuk Ummi. Haidar Bagir selaku pihak dari

Mizan dalam artikel berjudul “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”4 menyatakan

keberuntungannya karena bisa menerbitkan karya mereka.

“Biasanya penulis mengucapkan terima kasih kepada penerbit

karena karyanya dipublikasikan. Namun, khusus kali ini, kami justru ingin berterima kasih pada Izzati dan Faiz karena menyerahkan naskahnya untuk kami terbitkan.”

Konsekrasi yang diterima Faiz dalam lingkup arena sastra anak Indonesia

juga dikukuhkan oleh penghargaan Buku Terpuji Adikarya IKAPI tahun 2005

terhadap karya pertamanya, yakni Untuk Bunda dan Dunia. Dengan penghargaan

itu, Faiz menempati posisi yang sejajar dengan penulis-penulis sastra anak lain

yang sebagian besar menduduki kategori usia dewasa. Di lain pihak, penghargaan

Adikarya IKAPI yang berdiri sejak tahun 1997 ini merupakan lembaga pengayom

3 Menurut Haidar Bagir selaku pihak Mizan yang pertama kali menerbitkan karya Faiz. Dalam

artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran.

Page 3: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

3

yang berperan sebagai agen dalam memberikan legitimasi di arena sastra anak

Indonesia. Penghargaan ini diinspirasi oleh penghargaan bergengsi dalam sastra

terhadap cerita atau tulisan dan gambar/ ilustrasi, seperti Caldecott Award,

Newbery Award atau Hans Christian Anderson Award5.

Selanjutnya, legitimasi Faiz pada kancah arena sastra anak Indonesia pun

semakin diperkuat oleh adanya endorsement dari kalangan pakar sastra anak

dalam kedua bukunya, masing-masing Untuk Bunda dan Dunia dan Guru

Matahari. Bagi Riris K. Sarumpaet (2004: 5), karya Faiz mencerminkan

kreativitas dan keberanian yang luar biasa di tengah kesulitan untuk menemukan

buku yang baik dan menarik bagi pembaca anak. Sarumpaet (2004: 6) pun

kembali menegaskan bahwa karya Faiz menjadi jawaban atas kerinduannya akan

karya sastra dari penulis anak dengan karakteristiknya yang khas.

Setelah berpuluh tahun membaca karya sastra anak Indonesia, baru

kali ini saya menemukan kepolosan, kesederhanaan, kejernihan disertai kepedulian yang sangat pada “teman-teman kecilku yang miskin”.

Pada sisi yang lain, pencapaian Faiz dalam arena sastra anak Indonesia

seringkali dipertautkan dengan peran Helvy Tiana Rosa, sastrawan pendiri Forum

Lingkar Pena sekaligus bunda dari Faiz. Artinya, kepengarangan Faiz dengan

karya-karyanya tersebut tidak lepas dari habituation process atau proses-proses

pembiasaan yang dialami dalam ruang lingkup kehidupannya. Habitus seseorang

5 Sumber: www.bennyrhamdani.com. Artikel berjudul “Adikarya, Apa Kabar?” karya Benny

Rhamdani yang pernah menjadi pemenang ketiga pada penghargaan Adikarya IKAPI tahun 2007 dengan karyanya Jika Aku Jadi Kucing. Diposting pada 18 November 2013 dan diakses pada 20 Februari 2014.

Page 4: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

4

dapat ditelusuri dari sejarah individu, pengalaman yang membentuk masa pertama

kanak-kanak, segenap sejarah kolektif keluarga, dan kelas (Bourdieu, 2012: 141).

Dalam kata pengantar, sastrawan Indonesia angkatan ’66, Taufiq Ismail,

menyebut mengenai keunikan karya Faiz yang tidak dapat dilepaskan dari

pengaruh genetika serta habitus keluarganya.

Kumpulan sajak Untuk Bunda dan Dunia ini sungguh unik, karena

pengarangnya, Abdurahman Faiz, berumur delapan tahun. Dia lahir di Jakarta, 15 November 1995. Ibunya, Helvy Tiana Rosa adalah pengarang, dan ayahnya, Tomy Satryatmo, wartawan. Faktor genetik dan lingkungan kepenulisan dengan budaya membaca di rumah, secara dini telah membentuk Faiz (Ismail, 2004: x).

Senada dengan Taufiq Ismail, Seto Mulyadi, psikolog anak, pun menyikapi

kepengarangan Faiz sebagai produk dari habitus yang melingkunginya.

Saya rasa Faiz dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif.

Sebagai kanak-kanak dia sangat humanis (Mulyadi, 2004: 7).

Akhirnya, dengan habitus keluarga penulis inilah Faiz memiliki berbagai

jenis modal. Secara lebih terperinci, modal-modal bagi Bourdieu diklasifikasikan

ke dalam empat kategori. Modal ekonomi yang mencakup alat-alat produksi

(mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang; modal

budaya yang meliputi keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi

melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga; modal sosial yang dimiliki

pelaku, baik individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan pihak lain

yang punya kuasa; serta modal simbolis yang meliputi segala bentuk prestise,

status, otoritas, dan legitimasi (Karnanta, 2013: 10—11).

Page 5: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

5

Faiz memperoleh modal budaya yang terbentuk dari habitusnya berupa

pengetahuan dan kemampuan, khususnya, yang berkaitan dengan sastra. Modal

sosial pun begitu mungkin didapatkan oleh Faiz, terutama dari relasi sastra Helvy

Tiana Rosa sebagai agen. Selain itu, endorsement-endorsment maupun kata

pengantar yang terdapat dalam karya-karyanya serta penghargaan-penghargaan

yang telah diterima dapat pula menjadi bentuk legitimasi atas status

kepengarangan di usianya yang masih belia sebagai modal simbolis. Pada

implikasinya, dengan bekal modal budaya, modal sosial, juga modal simbolis

tersebut Faiz pun mampu meraup modal ekonomi, salah satunya berupa royalti

atas karya-karyanya.

Faiz kemudian mengakumulasi berbagai modal yang telah berhasil

dikumpulkannya. Modal digunakan agen sebagai bekal untuk berkompetisi dalam

arena yang menjadi ruang kompetisi bagi agen untuk mempertahankan atau

memperebutkan posisi tertentu. Artinya, modal menjadi salah satu penyebab

terjadinya perbedaan-perbedaan dalam sebuah kompetisi yang ada dalam arena.

Oleh karena itu, jumlah dan bobot relatif yang dimiliki oleh agen dapat

menentukan posisinya di suatu arena (Ritzer, 2007: 525).

Posisi sosial dan peran sastrawan dalam arena menjadi salah satu sorotan

yang diperhatikan oleh Bourdieu dalam teori Arena Produksi Kultural. Lebih

lanjut, bagi Bourdieu, sastrawan merupakan seorang produser kultural yang

menduduki sebuah posisi tertentu di dalam sebuah arena tertentu (Codd, 2009:

195). Posisi dalam arena dapat menjelaskan sukses tidaknya seseorang dalam

memperoleh legitimasi ataupun status sebagai sastrawan. Oleh karenanya, hal

Page 6: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

6

yang menonjol dari kajian (sosiologi) sastra dalam perspektif Bourdieu adalah

bahwa teorinya membuka peluang untuk bertanya apa, bagaimana, dan mengapa

seseorang memiliki legitimasi dan “sukses” menjadi sastrawan atau seniman

(Salam, 2013: 7)6.

Dengan demikian, predikat ‘sastrawan’ pun merupakan sebuah gelar

sekaligus proses kompleks yang terjadi dalam arena. Arena sastra menjadi tempat

bagi pergulatan-pergulatan di mana yang dipertaruhkan adalah kekuasaan untuk

mengimposisi atau memaksakan definisi dominan tentang penulis, dan karenanya,

kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak ambil bagian dalam pergulatan

mendefinisikan penulis tersebut (Bourdieu, 2012: 22). Seseorang yang menulis

kemudian mempublikasikan karya sastra tidak secara serta-merta menyandang

label sastrawan. Status sastrawan sesungguhnya diberikan oleh pihak-pihak

tertentu yang berada dalam arena sastra (Karnanta, 2013: 1).

Berbekal habitus dan akumulasi berbagai jenis modal, Faiz berposisi untuk

meraih legitimasi simbolis dalam arena sastra Indonesia. Perhatian dari kalangan

sastrawan negeri berupa endorsement serta kata pengantar menjadi tiket masuk

bagi Faiz untuk turut serta berkompetisi dalam arena ini. Pada implikasi yang lain,

keikutsertaan Faiz tersebut juga merupakan deskripsi dari serangkaian

trajektorinya dalam arena. Trajektori menjelaskan serangkaian posisi yang silih-

berganti ditempati oleh agen di tengah keadaan arena sastra yang juga silih

berganti (Johnson, 2012: xxxix).

6 Disajikan dalam Diskusi Bulanan S2 Ilmu Sastra #1, Prodi S2 Ilmu Sastra FIB UGM pada

tanggal 19 Juni 2013 di FIB UGM, Yogyakarta.

Page 7: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

7

Salah satu sastrawan dalam arena Indonesia, Agus R. Sarjono, melalui kata

pengantar dalam karya Faiz yang berjudul Guru Matahari (2004), pun dengan

yakin mendudukkan Faiz sebagai seorang penyair.

Faiz adalah seorang penyair! Ini tidak dapat dibantah. Bukan

karena sekecil itu dia sudah menulis puisi dan bukan pula karena puisi-puisinya mengagumkan, melainkan ia memang hidup sebagai penyair, disadari atau tidak disadarinya (2004: xi).

Pergulatan Faiz dalam arena sastra Indonesia yang sesungguhnya ditandai

dengan label nominator termuda sepanjang pergelaran ajang Khatulistiwa Literary

Award (KLA) atas karyanya Guru Matahari. Di arena sastra Indonesia, ajang ini

milik kalangan sastrawan dewasa dan cukup bergengsi. Penghargaan KLA pernah

diterima oleh beberapa nama, seperti Seno Gumira Ajidarma dengan Kitab Omong

Kosong, Ayu Utami melalui Bilangan Fu, Nirwan Dewanto bersama karya Bulia

Lima Kaki, Joko Pinurbo lewat Kekasihku, Hamsad Rangkuti dalam Bibir dalam

Pispot, dan lain sebagainya.

Persaingan sengit dalam arena sastra Indonesia untuk memperebutkan posisi

terkonsekrasi yang didominasi oleh sastra milik sastrawan-sastrawan “dewasa”

diindikasikan dengan penganuliran gelar sebagai nominator KLA. Dalam KLA

2005, buku puisi penyair cilik, Abdurahman Faiz (Guru Matahari) semula muncul

dalam daftar 10 besar, tapi setelah adanya sejumlah protes dan kritik, tiba-tiba

namanya dihapus begitu saja, dan segera diganti nama dan buku lain (Situmorang,

2009: 198). Namun, pilihan Faiz untuk terus menulis puisi merupakan manifestasi

dari perjuangannya untuk berkompetisi di jalur sastra.

Page 8: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

8

Dalam karya selanjutnya, Nadya Kisah dari Negeri yang Menggigil, Sapardi

Djoko Damono menganggap bahwa di usianya yang masih dini, Faiz telah

mencapai tahap kesadaran sebagai penulis puisi.

Ketika menulis, ia mungkin saja tidak sadar bahwa sedang

bermain-main—sampai tahap tertentu ketika ia mulai menyadari bahwa permainan yang dilakukannya ternyata adalah menulis puisi. Pada waktu itulah ia berpikir dan mempertimbangkan langkah-langkah yang dilakukannya dengan sadar. Mengapa ia menulis? Untuk apa ia menulis? Bagaimana ia menulis? Dan pada usia yang masih dini, Faiz telah sampai pada tahap itu (Damono, 2008: x).

Sapardi kembali menambahkan bahwa Faiz dengan puisinya mulai merasa

telah masuk ke dalam dunia yang sebelumnya sudah dihuni oleh Rendra, Taufiq,

dan Tardji (Damono, 2007: xi). Dengan demikian, posisi Faiz yang seringkali

masih dianggap murni sebagai sastrawan “cilik” tidak lagi relevan. Melalui

puisinya yang berjudul “Klarifikasi Kurcaci”, Faiz melakukan perlawanan

terhadap struktur arena sastra Indonesia yang hanya melegitimasi karya-karya

sastra dari penulis dewasa.

Mengapa puisi ini tak boleh diterbitkan? tanyaku tak mengerti tidak kutemukan SARA di sana Sebab puisi ini terlalu bagus untuk seorang anak kecil seharusnya ini karya Sapardi dan yang itu karya Sutardji (“Klarifikasi Kurcaci”, 2007: 10).

Pada bait yang lain, Faiz kembali mempersoalkan ruang sosial khususnya

arena sastra di Indonesia yang memberi legitimasi simbolis hanya pada kalangan

Page 9: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

9

dewasa. Faiz mengontraskan kondisi arena di Indonesia tersebut dengan arena di

negara lain.

Aku membaca Ali Di usia enam tahun Ia putuskan mengikuti Muhammad Rasul Allah Aku membaca Syafii Di usia balita ia hafal Quran Aku membaca Mozart Pada usia kelima Ia buat komposisi lagu menakjubkan (“Klarifikasi Kurcaci”, 2007: 11).

Tanpa menyia-nyiakan koleksi modal simbolis yang diperoleh dari

serangkaian endorsement-endorsment serta kata pengantar dari beberapa nama

sastrawan yang tercantum dalam antologi-antologi puisinya, pada kondisi yang

lain, Faiz masih memiliki persediaan bekal untuk kembali berstrategi dalam

pertaruhan perebutan legitimasi simbolis di arena sastra Indonesia. Strategi

merupakan ide bagi agen dalam bertindak untuk mereproduksi posisi-posisi

mereka dan memperoleh posisi dalam ruang sosial (Mahar, 2009: 23), termasuk

arena sastra sebagai bagiannya.

Dalam ruang lingkup arena sastra Indonesia, fenomena kepengarangan Faiz

menjadi hal yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Usianya yang masih belia

ketika menghasilkan karya-karya yang pembacanya tidak hanya melingkupi

pembaca anak-anak, tetapi juga menarik perhatian dari beberapa sastrawan

bahkan tokoh kenamaan negeri menjadikan pergulatan kepengarangannya dapat

menembus arena sastra anak maupun arena sastra Indonesia secara keseluruhan.

Page 10: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

10

Jamal D. Rahman menganggap Faiz mampu menghidupkan mata kanak-kanak ke

dalam mata penyair. Ketika penyair hanya bekerja dengan satu mata, Faiz bekerja

dengan dua mata, yakni mata kanak-kanak dan mata penyair.7

Trajektori Faiz dengan habitus dan akumulasi modal yang membuatnya

bertarung dalam dua arena sastra tersebut mengukuhkan “tanda distingtifnya” dari

sastrawan lain. Teoritikus Sosiologi Seni dari Perancis, Pierre Bourdieu, berusaha

menjelaskan bahwa dalam ruang sosial, termasuk arena sastra, kekuatan

pendorong dari semua perilaku manusia (sastrawan) tidak hanya untuk mencari

kehormatan, tetapi juga dengan tujuan utama untuk menjadi eksis, menduduki

posisi sebagai individu, dan menjadi berbeda agar menjadi menonjol dalam ruang

tersebut (dalam Ritzer, 2007: 529). Bourdieu (2012: 49) juga mengemukakan

bahwa “membuat tanda sendiri” berarti menciptakan sebuah posisi baru,

melampaui posisi yang sudah ditempati, di kubu terdepan. Dalam perjuangan

bertahan hidup ini, tanda menjadi sangat penting, semisal nama aliran atau

kelompok—kata-kata yang menciptakan benda, tanda distingtif yang

memproduksi eksistensi.

Pada konteks sastra, perbedaan tersebut dimaknai sebagai strategi dalam

pergulatan untuk ‘mengukir nama’ (faire date), membuat tanda, mencapai

pengakuan atas perbedaan seorang agen dengan agen lainnya. Abdurahman Faiz

berstrategi dan berposisi dengan menjadi tampil beda untuk menunjukkan

eksistensinya di tengah pergulatan yang terjadi dalam arena sastra Indonesia. Di

titik tersebut, dalam pergulatan hidup dan pergulatan mencapai kesuksesan,

7 Dalam wawancara dengan Helvy Tiana Rossa tanggal 14 Oktober 2013.

Page 11: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

11

urgensi tanda-tanda distingtif yang dimunculkan Faiz dapat mengidentifikasi

strategi dan posisinya di dalam arena sastra.

Arena sastra yang dihadapi oleh Faiz dalam berstrategi dan berposisi adalah

arena sastra pasca-Orde Baru. Pada masa ini ruang sosial di Indonesia tengah

menghadapi fase baru setelah rezim Soeharto diruntuhkan oleh reformasi menuju

masa demokrasi. Perubahan tersebut sangat dimungkinkan membawa imbas pada

struktur arena sastra Indonesia. Dalam kondisi demikian, relevansi strategi dan

posisi yang diduduki Faiz dalam arena sastra Indonesia dapat menjelaskan

dinamika kesusastraan Indonesia mutakhir, termasuk juga perkembangan sastra

anak Indonesia yang menjadi bagian di dalamnya.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara terperinci

mengenai strategi perjuangan legitimasi dan posisi yang ditempati oleh

Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia. Strategi dan realitas posisi Faiz

dalam arena sastra Indonesia merupakan bentuk praktik budaya. Dalam teori

Arena Produksi Kultural, Bourdieu memaknai budaya sebagai representasi sosial

dengan memusatkan perhatian pada dialektika antara struktur objektif dan

subjektif. Posisi sosial dan peran sastrawan menjadi salah satu sorotan yang

diperhatikan oleh Bourdieu karena mencermikan wujud praktik kebudayaan.

Sementara itu, selain Faiz sebagai salah satu agen dengan trajektori, habitus

dan akumulasi modal yang dimilikinya, kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta

digunakan sebagai objek material dalam penelitian ini untuk mendapatkan

pemahaman secara menyeluruh (subjektif dan objektif) mengenai strategi dan

posisi Faiz dalam arena sastra Indonesia. Dari beberapa karya Faiz, Aku Ini Puisi

Page 12: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

12

Cinta dipandang dapat merepresentasikan praktik bersastra Faiz karena buku ini

merupakan antologi gabungan dua buku pendahulunya, yakni Untuk Bunda dan

Dunia dan Guru Matahari. Pihak penerbit menyebut bahwa Aku Ini Puisi Cinta

merupakan wujud apresiasi terhadap tanggapan pembaca yang positif terhadap

dua karya Faiz yang sebelumnya.

Perjalanan Faiz dalam menulis puisi telah melahirkan dua karya

fenomenal yaitu Untuk Bunda dan Dunia (DAR! Mizan, 2004) dan Guru Matahari (DAR! Mizan, 2004). Kedua buku tersebut mendapat sambutan hangat dari para pembaca. Aku Ini Puisi Cinta (DAR! Mizan 2004) adalah kumpulan puisi-puisi terpilih Faiz yang dikemas secara khusus.8

Kondisi tersebut menjelaskan bahwa karya-karya Faiz dinilai berhasil jika

ditinjau berdasarkan prinsip hierarki heteronom yang berorientasi pasar.

Sambutan hangat dari pembaca sehingga pihak penerbit melakukan cetak ulang

merupakan indikator yang memperinci kesuksesan Faiz dengan label legitimasi

populer. Selain itu, kedua buku Faiz itu pun masing-masing mendapatkan

penghargaan Adikarya IKAPI dan nominator Khatulistiwa Literary Award.

Artinya, buku ini dapat menggambarkan kepengarangaan Faiz yang meliputi

arena sastra anak dan arena sastra Indonesia secara keseluruhan. Buku Aku Puisi

Cinta juga cukup mewakili trajektori, habitus serta akumulasi modal Faiz dan

pandangannya terhadap ruang sosial maupun arena sastra Indonesia pasca-Orde

Baru.

8 Tanggapan dari pihak penerbit yang terdapat dalam sampul belakang buku Aku Ini Puisi Cinta

karya Abdurahman Faiz.

Page 13: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

13

1.2 Rumusan Masalah

Kehadiran Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia pada masa pasca-

Orde Baru menjadi fenomena yang menarik untuk ditinjau lebih jauh. Faiz berada

di arena sastra Indonesia dengan habitus yang membentuknya serta modal-modal

yang telah terkumpul. Faiz yang terlahir dari rahim salah seorang sastrawan yang

punya kiprah besar di Indonesia lantas melejit dengan pencapaiannya yang sangat

berbeda dengan penulis-penulis sebayanya. Ketika usianya masih berada pada

tataran kanak-kanak, karya-karya Faiz telah diterima dan mendapat perhatian yang

lebih dari berbagai kalangan, terutama sastrawan hingga negarawan.

Di lain sisi, di tengah problematisnya keberadaan sastra anak, khususnya

di arena sastra Indonesia, momentum kemunculan Faiz pada usia kanak-kanak

menjadikan pergulatan kepengarangannya berada dalam talik-ulur arena sastra

anak serta arena sastra Indonesia secara keseluruhan. Dengan menggunakan Teori

Arena Produksi Kultural Bourdieu, dapat ditelusuri persoalan kepengarangan Faiz

dalam arena sastra Indonesia. Oleh karena itu, untuk menuju pada jawaban

tersebut, berikut rumusan pertanyaan penelitiannya.

1. Bagaimana struktur arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia pasca-

Orde Baru yang menjadi ruang sosial Abdurahman Faiz dalam

melakukan praktik?

2. Bagaimana trajektori dan akumulasi modal Abdurahman Faiz dalam

pertarungan perebutan posisi dan legitimasi dalam arena sastra

Indonesia pasca-Orde Baru?

Page 14: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

14

3. Bagaimana kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta menjadi representasi

strategi dan posisi Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia

pasca-Orde Baru?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang diramukan berdasarkan rumusan masalah adalah

untuk (1) mengetahui struktur arena kekuasaan dan arena sastra tempat

kemunculan Abdurahman Faiz beserta karya-karyanya (2) mendapatkan

penjelasan secara terperinci mengenai pengaruh trajektori, habitus dan

pengelolaan modal milik Abdurahman Faiz dalam kontestasi simbolis di arena

sastra Indonesia (3) memperoleh jawaban atas strategi dan pencapaian posisi

Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia melalui representasi karyanya,

Aku Ini Puisi Cinta.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini mengaplikasikan Teori Arena Produksi

Kultural milik Pierre Bourdieu. Teori ini digunakan untuk menjawab

permasalahan mengenai posisi Abdurahman Faiz dalam arena sastra Indonesia dan

pengaplikasian trajektori, habitus, modal, serta strategi Faiz dalam mencapai

posisinya dalam arena sastra Indonesia. Sementara itu, secara praktis, penelitian

ini bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika mengenai pergulatan sastrawan

anak dalam arena sastra Indonesia yang masih jarang sekali mendapatkan

Page 15: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

15

perhatian. Diharapkan penelitian ini menjadi salah satu pemicu terhadap kajian-

kajian berikutnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Abdurahman Faiz maupun karyanya belum pernah disinggung secara

terperinci dalam sistematika penelitian. Pembicaraan mengenai kiprah ataupun

karyanya seringkali berkaitan dengan artikel-artikel dalam media massa.

Pembahasan melalui media massa tersebut lebih menjangkau persoalan-persoalan

mengenai kehidupan pribadi yang berkaitan dengan aktivitas kepenulisannya,

prestasi-prestasi yang diraihnya, serta karya-karya yang telah ditelurkannya.

Pada format yang lain, pembahasan, secara general dan cukup singkat,

mengenai beberapa karya yang dikorelasikan dengan kepengarangan Faiz hanya

dapat ditemukan pada kata pengantar dalam karya-karyanya yang diberikan oleh

beberapa sastrawan. Taufiq Ismail memberikan kata pengantar pada karya

berjudul Untuk Bunda dan Dunia; Agus R. Sardjono dalam Guru Matahari; dan

Sapardi Djoko Damono pada Nadya Kisah dari Negeri yang Menggigil.

Pembahasan-pembahasan mengenai Faiz ataupun karyanya itu, baik yang

melalui media massa maupun yang terdapat dalam karyanya, dimanfaatkan

sebagai data dalam penelitian ini. Data tersebut merupakan objek material yang

digunakan untuk mengungkapkan trajektori, habitus, modal, strategi, hingga posisi

Faiz dalam arena sastra Indonesia pasca-Orde Baru.

Sementara itu, penggunaan teori yang dikemukaan oleh Pierre Bourdieu

untuk membedah persoalan kesusastraan mulai bergeliat. Dalam bidang sastra,

Page 16: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

16

teori yang dikemukakan oleh Bourdieu diterapkan untuk menganalisis persoalan

pengarang hingga komunitas. Melalui tesis yang diterbitkan pada tahun 2013,

Saeful Anwar mengaplikasikan teori milik Pierre Bourdieu untuk melihat

disposisi dan pencapaian Persada Studi Klub (PSK) sebagai sebuah komunitas

kesusastraan yang cukup melegenda di Yogyakarta dalam arena sastra nasional.

Dikemukakannya bahwa PSK menduduki peranan sebagai pihak yang terdominasi

di bawah kekuasaan Orde Baru. Karena posisinya tersebut, PSK melakukan

bentuk resistensi dengan memupuk modal simbolis dalam persaingan arena sastra

nasional.

Masih ada keterkaitan dengan PSK, pada tahun yang sama, yakni 2013, I

Made Wayan Astika menempuh penelitian dengan teori yang juga tidak berbeda,

teori Sosiologi Pierre Bourdieu. Dengan objeknya Landu Umbu Paranggi sebagai

pendiri PSK, Astika mendeskripsikan posisi Paranggi dalam arena sastra nasional;

pergulatannya dalam arena sastra Bali; serta strategi-strategi yang ditempuh untuk

menghadapi arena sastranya. Dijelaskan bahwa dalam sastra nasional, Paranggi

menempati posisi objektif sebagai penyair terkonsekrasi dan terlegitimasi dalam

arenanya. Sementara itu, di Bali, Paranggi melakukan reproduksi-reproduksi

dalam pergulatan arena sastra regional yang hampir mirip dengan apa yang telah

dilakukannya di Yogyakarta. Untuk mempertahankan dan memperkuat

pencapaian dalam arena, Paranggi melakukan strategi dengan menginvestasikan

prestise, kebohemian, ketersohoran, dan kefanatikannya terhadap puisi dengan

tetap mengeksklusi modal ekonomi sebagai modal yang tidak terlalu dominan.

Page 17: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

17

Penelitian mengenai komunitas maupun pengarang dengan teori Bourdieu

dalam kedua tesis tersebut secara garis besar dimaksudkan untuk menemukan

jawaban atas penerapan strategi dalam pertarungan pencapaian posisi tertentu

dalam arena sastra. Pada penelitian ini, relevansi strategi serta realitas posisi Faiz

dalam arena sastra pun menjadi pokok permasalahan yang dicari jawabannya.

Akan tetapi, keikutsertaan Faiz dalam pertarungan perebutan legitimasi simbolis

dalam arena sastra Indonesia merupakan fenomena kebaharuan yang menarik

untuk ditelusuri secara lebih mendalam.

Pergulatan kepengarangan Faiz pada usia belia dalam arena sastra Indonesia

dapat menunjukkan adanya indikasi perubahan struktur dalam arena ini. Terlebih

lagi, ruang sosial Faiz adalah rezim pasca-Orde Baru yang mengalami perubahan

sistem politik dan ekonomi secara signifikan dari rezim sebelumnya. Artinya,

relevansi strategi dan realitas posisi Faiz dapat menjelaskan struktur arena sastra

Indonesia mutakhir yang sangat mungkin mengalami perubahan seiring dengan

perubahan yang terjadi dalam arena kekuasaan. Selain itu, pada implikasi yang

lain, penelitian ini juga mampu memberikan gambaran mengenai posisi sastra

anak dalam arena sastra Indonesia bahkan arena kekuasaan Indonesia. Dengan

demikian, temuan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi

mengenai keberadaan sastra anak Indonesia di tengah perkembangan sastra

Indonesia pada rezim pasca-Orde Baru.

Page 18: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

18

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori Arena Produksi Kultural dari Pierre

Bourdieu. Dalam teori Arena Produksi Kultural, posisi sosial dan peran sastrawan

menjadi salah satu fokus yang diperhatikan oleh Bourdieu karena mencerminkan

praktik kebudayaan. Realitas posisi dan peran Faiz dalam arena sastra Indonesia

pun merupakan bentuk praktik budaya.

Sebagai formula lanjutan dari pemikirannya mengenai praktik9 yang

memiliki arena lebih luas, teori Arena Produksi Kultural pun terbentuk atas

pemahaman yang menjembatani oposisi antara objektivisme dan subjektivisme.

Objektivisme—sebagai penjelasan dunia sosial dari sudut pandang situasi-situasi

objektif yang menstrukturkan kebebasan praktis kesadaran manusia—dinilai tidak

berhasil mengungkapkan realitas pada dimensi tertentu yang dirangkai oleh

konsepsi dan representasi yang dilakukan oleh individu. Sementara itu,

subjektivisme—yang menjelaskan konstruksi pengetahuan mengenai dunia sosial

dengan landasan pengalaman utama dan persepsi-persepsi individu—dipandang

gagal memahami landasan sosial yang membangun kesadaran. Dengan kata lain,

Bourdieu menempatkan objektivisme vs. subjektivisme dalam posisi yang saling

memengaruhi.

Analisis struktur objektif tidak dapat dilepaskan dari analisis asal-

usul struktur mental individual (subjektif) yang, hingga taraf tertentu, merupakan produk penggabungan struktur sosial—juga tidak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri—ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis—di mana agen berpartisipasi dengan posisi mereka di dalam

9 Praktik merupakan hasil hubungan dialektika antara struktur dan keagenan. Praktik tidak

ditentukan secara objektif dan bukan hasil kemauan bebas (Bourdieu, 1995: 3).

Page 19: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

19

ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini (Bourdieu, 1990: 14).

Lebih lanjut, dalam teori Arena Produksi Kultural, perdamaian antara

objektivisme dan subjektivisme dimaknai sebagai penolakan terhadap kaitan

langsung biografi individual dengan karya sastra atau yang berkaitan dengan

‘kelas sosial’ yang menjadi asal suatu karya sastra. Selain itu, teori ini pun tidak

memperkenankan analisis internal karya individual bahkan analisis

intertekstualnya karena kedua hal tersebut harusnya dilakukan secara bersamaan

(Bourdieu, 1990: 147). Artinya, teori Arena Produksi Kultural tidak hanya bertitik

pusat pada analisis karya-karya sastra. Teori ini juga menjangkau analisis

mengenai kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang

simbolis (karya sastra) yang melibatkan produsen karya (penulis, sastrawan)

hingga publik, penerbit, kritikus, galeri, akademi, dan lainnya sebagai pihak yang

mempunyai kewenangan untuk memberikan konsekrasi atau legitimasi.

Dalam mengembangkan teori Arena Produksi Kultural yang tidak dapat

dilepaskan dari teori praktik miliknya tersebut, Bourdieu mengelaborasi dan

memperbaiki konsep mengenai habitus dan arena. Habitus yang didasarkan pada

konsep keagenan (agensi) dimaknai oleh Bourdieu sebagai kemampuan agen

terkait dengan relasinya terhadap struktur (sosial). Struktur sosial sendiri

diterjemahkan Bourdieu sebagai arena yang dipahami dalam dua dimensi, yakni

struktur objektif, struktur yang terpampang dalam struktur sosial, dan struktur

subjektif, yakni struktur yang berada dan bekerja dalam diri individu (Karnanta,

2013: 9).

Page 20: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

20

Sementara itu, praktik juga menuntut kehadiran modal karena modal

merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi

di dalam ranah (arena) (Takwin, 2009: xx). Secara singkat, Bourdieu menyatakan

rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x

Modal) + Arena = Praktik (Bourdieu, 1984: 101). Rumus tersebut menjadi

pengganti hubungan sederhana antara agen dan struktur dengan relasi antara

habitus dan arena yang mengikutsertakan modal. Oleh karenanya, habitus, modal,

dan arena pun menjadi tiga konsepsi utama untuk menguraikan Arena Produksi

Kultural.

1.6.1 Habitus sebagai Struktur Kognitif Agen

Habitus adalah struktur kongnitif yang dimanfaatkan oleh agen dalam

menghadapi realitas sosial. Dalam berurusan dengan realitas sosial tersebut, agen

menempuh cara yang bervariasi berdasarkan habitusnya masing-masing. Habitus

mampu memengaruhi perbedaan tindakan agen karena didefinisikan sebagai

sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa berubah atau berpindah

‘transposable disposition’ (Bourdieu, 1995: 72). Disposisi sendiri merupakan

rincian dari tindakan teroganisir agen yang sejajar dengan struktur, langkah agen

untuk berada berkaitan dengan kebiasaan-kebiasannya, serta kecenderungan atau

tendensi (Bourdieu, 1995: 214). Disposisi yang bertahan lama menunjukkan

bahwa habitus merupakan suatu produk sejarah yang diterima agen sebagai proses

panjang pencekokan (process of inculcation) dalam ruang dan jangka waktu

Page 21: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

21

tertentu. Sementara itu, disposisi yang bisa berubah atau berpindah menjelaskan

bahwa habitus dapat dialihkan dari satu arena ke arena yang lain.

Habitus sebagai struktur yang menstruktur ‘structuring structure’

mengandung pengertian sebagai sebuah struktur yang membangun realitas sosial.

Artinya, menjadi kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi,

representasi, dan praktik agen. Di pihak lain, habitus sebagai struktur yang

terstruktur ‘structured structure’ menjelaskan struktur yang dikonstruksikan oleh

realitas sosial. Habitus terlahir dari realitas sosial tertentu sehingga menjadi

struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh realitas sosial yang

menghasilkannya. Oleh karenanya, habitus menghasilkan serta dihasilkan oleh

realitas sosial. Dengan kata lain, habitus dilukiskan sebagai dialektika internalisasi

dari eksternalitas dan eksternalitasi dari internalitas (Bourdieu, 1995: 72).

Dialektika tersebut menjelaskan pula bahwa habitus merupakan konstruksi

perantara yang hanya mengendalikan pikiran dan pilihan praktik agen. Habitus

hanya bergerak pada aspek “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan agen

dan sebaiknya mereka pilih sebagai praktik. Walaupun demikian, habitus lebih

merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja

karena berada pada tataran prasadar (preconcious). Selain itu, habitus juga bukan

merupakan gerakan mekanistis yang mengabaikan latar belakang sejarah sama

sekali karena habitus pun dimengerti sebagai produk sejarah yang mulai terbentuk

sejak manusia lahir dan bersosialisasi dengan masyarakat dalam rentang ruang dan

waktu tertentu. Terlebih lagi, habitus bukanlah kodrat yang terberi secara alamiah,

melainkan terkonstruksi dari hasil pembelajaran dalam pengasuhan, aktivitas

Page 22: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

22

bermain, hingga pendidikan. Maka dari itu, habitus hanya menyediakan dasar-

dasar yang digunakan agen untuk membuat pilihan dan memilih strategi yang

hendak diterapkan dalam realitas sosial tanpa melibatkan pertimbangan rasional

sepenuhnya.

Sementara itu, sifat habitus yang teratur dan berpola tidak mengindikasikan

bentuk kepatuhan terhadap aturan-aturan tertentu karena habitus sudah menyatu

ke dalam pikiran dan tubuh hingga menjadi tempat berlangsungnya sejarah.

Habitus yang terarah pada tujuan dan hasil tertentu pun tidak didasari oleh maksud

sadar dalam mencapai tujuan dan hasil tersebut. Artinya, tidak dilandasi

kompetensi khusus untuk mencapainya (Kleden via Adib, 2012: 97).

1.6.2 Modal sebagai Asas Kekuatan Agen

Modal memiliki pengaruh terhadap kehadiran agen dalam suatu arena

karena agen tidak masuk untuk bersaing dalam perebutan posisi maupun bertaruh

tanpa memiliki bekal. Posisi berbagai agen dalam arena ditentukan oleh jumlah

bobot relatif modal yang dimiliki (Ritzer, 2007: 525). Modal menjadi konsentrasi

kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam arena.

Dalam arena produksi kultural yang identik dengan adanya kontestasi,

modal sebagai “sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar

dapat digunakan” dimanfaatkan para agen untuk memperebutkan posisi yang

terlegitimasi. Istilah ‘modal’ dipakai Bourdieu untuk memetakan hubungan-

hubungan kekuatan dan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat (Karnanta,

2013: 10). Dalam pandangan Bourdieu, modal dibagi ke dalam empat kelompok,

Page 23: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

23

yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolis. Modal

ekonomi meliputi alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan

benda-benda), dan uang. Modal budaya mencakup keseluruhan klasifikasi

intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan

keluarga. Modal sosial atau jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau

kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Modal

simbolis merangkum segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi.

Empat klasifikasi modal, yakni ekonomi, budaya, sosial, dan simbolis dapat

saling dipertukarkan. Masing-masing jenis modal didapat dan diakumulasikan

dengan saling diinvestasikan dalam bentuk-bentuk modal lainnya yang disebut

sebagai rekonversi modal. Jumlah modal yang diakumulasi dan struktur modal itu

sendiri memengaruhi pengklasifikasian hierarki dan diferensiasi masyarakat.

Seseorang yang menguasai keempat modal sekaligus pasti akan menduduki

hierarki tertinggi dan memperoleh kekuasaan yang besar (kelas dominan);

sementara yang hanya menguasai beberapa modal saja menempati posisi hierarki

sebagai kelas menengah; dan yang tidak menguasai satu modal pun menempati

posisi hierarki terendah (Karnanta, 2013: 11).

Kendati demikian, kekuatan modal yang dipertarungkan di setiap arena

bergantung pada hukum-hukum yang membentuk struktur arena tersebut.

Kepemilikan modal ekonomi, misalnya, tidak secara otomatis mengimplikasikan

kepemilikan modal kultural atau simbolis, dan sebaliknya. Hal tersebut

digambarkan Bourdieu sebagai berikut.

Page 24: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

24

“ada sebuah struktur yang bersilangan yang homolog dengan struktur arena kuasa di mana, seperti yang kita ketahui, para intelektual, yang kaya dengan modal kultural dan (relatif) miskin dalam modal ekonominya, dan para pemilik industri dan pebisnis, yang kaya dengan modal ekonomi namun relatif miskin dalam modal kultural, berada dalam oposisi antara satu sama lain” (Bourdieu, 2012: 246).

Dalam arena produksi kultural, tempat dipertaruhkannya legitimasi maupun

konsekrasi dengan logika hukum ekonomi terbalik, modal yang dinilai paling

signifikan untuk memposisikan agen pada kutub positif (kelas dominan) adalah

modal kultural dan modal simbolis. Secara lebih rinci, dalam Distinction, modal

kultural dimaknai sebagai serangkaian pengetahuan, suatu kode internal atau suatu

akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi

terhadap, atau kompetisi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-

artefak kultural. Lebih lanjut, sebuah karya kultural dapat menjadi bermakna dan

mempunyai kepentingan hanya jika berada di tangan pihak-pihak dengan

kompetensi kulturalnya. Karya kultural akan menjadi kode ketika berada pada

tempat karya tersebut dikodekan (encoded). Kepemilikan terhadap kode, atau

modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atau kalkulasi

yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggota-anggota kelompok

(pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang

tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan)

(Johnson, 2012: xix). Sementara itu, modal simbolis yang terfokus pada derajat

akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan didasari oleh

dialektika antara pengetahuan (connaissance) dan pengakuan (reconnaissance).

Page 25: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

25

Dalam berkontestasi, agen memasuki arena kultural tidak dengan tujuan

untuk menderita kekalahan. Agen harus memiliki habitus tertentu yang

menggerakkannya untuk bisa beradaptasi, setidaknya dengan sejumlah

pengetahuan, keahlian, atau talenta minimum agar diapresiasi dengan legitimasi.

Oleh karenanya, modal diinvestasikan agen dengan cara sedemikian rupa yang

paling memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari

keterlibatannya dalam arena, termasuk arena kultural.

1.6.3 Arena sebagai Ruang Dinamis dalam Pengambilan Posisi Agen

Arena menjadi ruang bagi agen yang menempati berbagai macam posisi

yang telah tersedia (ataupun yang menciptakan posisi-posisi baru) untuk ikut serta

dalam kompetisi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang

khas di dalamnya. Sementara itu, struktur arena ditentukan oleh relasi-relasi antara

posisi-posisi yang ditempati agen-agen di arena itu. Oleh karenanya, perubahan

posisi-posisi agen dapat berdampak pada perubahan struktur arena karena arena

bersifat dinamis.

Sebagai ruang terstruktur yang otonom dengan aturan-aturan main serta

relasi-relasi kekuasaannya sendiri, arena satu dengan arena lainnya memiliki

hubungan keterpengaruhan satu sama lain dalam lingkup ruang sosial. Arena

produksi kultural yang menjadi bagian dari ruang sosial memiliki hukum

keberfungsian sendiri yang membedakannya dengan arena lain, seperti arena

ekonomi, arena politik, arena pendidikan, dan arena lain. Akan tetapi, hukum-

hukum yang berlaku dalam arena produksi kultural juga homolog dengan hukum-

Page 26: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

26

hukum yang diterapkan dalam arena lain, terutama arena politik dan arena

ekonomi yang membangun arena kekuasaan.

Di dalam arena kultural (termasuk sastra), perebutan posisi terlegitimasi

lebih didasarkan pada materi-materi yang bersifat simbolis, seperti pengakuan,

konsekrasi, dan prestise. Oleh karenanya, arena kultural berada dalam posisi

subordinat atau terdominasi dalam arena kekuasaan yang prinsip legitimasinya

didasarkan pada kepemilikan modal ekonomi atau politik. Arena kultural berada

di dalam arena kekuasaan karena lebih banyak memiliki bentuk-bentuk modal

simbolis (contohnya modal akademis, modal kultural), tapi sekaligus berada di

dalam posisi terdominasi karena relatif rendahnya tingkat modal ekonomi yang

dimilikinya (dibandingkan dengan fraksi-fraksi dominan kelas dominan)

(Johnson, 2012: xxxiii). Meskipun demikian, arena produksi kultural yang disebut

Bourdieu sebagai dunia ekonomi terbalik tetap memiliki otonomi yang relatif kuat

untuk menolak determinasi-determinasi ekonomi dan politik.

Pergulatan antara otonomi sruktur arena kultural dan homologinya dengan

arena kekuasaan dan arena ekonomi memunculkan dualitas prinsip hierarki;

hierarki otonom dan hierarki heteronom. Arena produksi kultural lantas

distrukturkan oleh oposisi dua sub-arena, yakni arena produksi terbatas dan arena

produksi skala besar. Arena produksi terbatas berdasarkan prinsip hierarki otonom

tidak melandaskan produksi seni pada keuntungan material, tetapi bertujuan untuk

memperoleh keuntungan yang bersifat kultural maupun simbolis yang dapat

berimbas pada perkembangan estetika arena kultural sendiri. Sementara itu, arena

Page 27: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

27

produksi skala besar yang sesuai dengan prinsip hierarki heteronom berorientasi

memenuhi selera pasar yang berujung pada tujuan memperoleh laba ekonomi.

Berdasarkan konteks arena sastra Perancis, Bourdieu kembali menguraikan

pergulatan yang terjadi dalam arena produksi kultural melalui adanya klasifikasi

legitimasi untuk menandai posisi yang ditempati sastrawan. Legitimasi tersebut

meliputi, legitimasi spesifik; legitimasi borjuis; dan legitmasi populer. Legitimasi

spesifik: pengakuan yang diberikan oleh sekelompok produsen produsen kepada

produsen lain yang menjadi rival mereka—legitimasi ‘seni untuk seni’, yang

otonom dan cukup diri; legitimasi borjuis: legitimasi yang sesuai dengan selera

borjuis yang diberikan oleh fraksi-fraksi dominan kelas dominan atau institusi-

institusi negara; dan legitimasi populer: penghargaan yang diberikan oleh pilihan-

pilihan konsumen umum atau audien massal (Bourdieu, 2012: 35).

Kondisi-kondisi tersebut menyiratkan bahwa arena produksi kultural

merupakan arena yang selalu berada pada taraf ketegangan. Arena kultural

menjadi arena kekuatan (a field of forces), tapi juga arena pergulatan (a field of

struggle) yang cenderung mengubah ataupun melanggengkan arena kekuatan ini

(Bourdieu, 2012: 5). Arena produksi kultural tidak bergerak statis maupun

mekanis, tetapi bersifat cair penuh dinamika dan persaingan. Dalam arena ini

terdapat perebutan posisi sastrawan hingga seniman terlegitimasi yang tidak fix,

tetapi senantiasa diperlombakan.

Page 28: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

28

1.6.3.1 Strategi sebagai Orientasi Spesifik Praktik Agen dalam Arena

Strategi dan lintasan (trajektori) menjadi dua konsep kunci dalam teori arena

Bourdieu (Johnson, 2012: xxxvii). Strategi tidak dapat diceraikan dalam

keseluruhan tindakan agen yang mengikutsertakan habitus dan modal sebagai

taruhan-taruhan untuk berkompetisi dalam arena. Strategi dapat dipahami sebagai

orientasi khusus praktik. Agen memprogram strategi-strategi spesifik guna

mentransfer habitus serta mendistribusikan modal-modal yang telah diakumulasi

sebagai praktik untuk mencapai posisi tertentu dalam arena.

Terkait dengan praktik agen, Bourdieu menyebut ‘strategi’ untuk

mendeskripsikan tiga gagasannya.

“(1) ide tentang perjuangan demi pengakuan sebagai dimensi

fundamental kehidupan sosial. Perjuangan ini merupakan perjuangan atas akumulasi modal. Karenanya, mestilah ada suatu logika spesifik tentang akumulasi modal simbolis, seperti modal yang dibangun berdasarkan pengetahuan dan pengenalan; (2) ide tentang strategi—seperti halnya orientasi praktik—sebagai sesuatu yang tidak sadar atau tidak terkalkulasi maupun terdeterminasi secara mekanis. Ia merupakan produk intuitif ‘pengetahuan’ tentang aturan-aturan permainan; (3) ide tentang adanya sebuah logika praktik—yang rinciannya bergantung pada tempat dan waktu yang spesifik atau mungkin, tentu saja, bergantung pada suatu urutan peristiwa di dalam waktu” (Bourdieu via Mahar, 2009: 22).

Sementara itu, menurut variannya, strategi dibagi menjadi strategi

rekonversi modal dan strategi reproduksi. Strategi rekonversi modal atau

penukaran kembali bertumpu pada mobilitas agen dalam lingkup ruang sosial

berdasarkan pertukaran dan pembentukan modal-modal yang dimilikinya ke

dalam modal-modal spesifik yang berlaku dalam arena tersebut; sedangkan

strategi reproduksi mengacu pada cara-cara agen mengolah, memperluas,

Page 29: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

29

mempertahankan, dan mengakumulasi modal-modal yang dimilikinya (Bourdieu,

1984: 131)

Konsep strategi tersebut secara lebih eksplisit dijelaskan melalui

pemahaman (a) strategi investasi ekonomi yang terkait dengan menambah serta

mempertahankan modal ekonomi; (b) strategi investasi simbolis yang

mempertahankan dan meningkatkan pengakuan sosial yang didapat; (c) strategi

investasi biologis, yakni kontrol pengaturan jumlah keturunan untuk menjamin

pewarisan modal dan memudahkan kenaikan posisi; (d) strategi pewarisan, terkait

dengan modal ekonomi yang dipandang sebagai modal yang signifikan dalam

arena kekuasaan; (e) strategi pendidikan, yaitu praktik yang mengarah pada usaha

menghasilkan pelaku sosial yang memiliki keahlian tertentu (Haryatmoko dalam

Karnanta, 2013: 5—6).

Sebagai produk dari habitus, strategi lebih dikonstruksikan oleh disposisi

tidak sadar terhadap praktik. Oleh karenanya, strategi pun bergantung pada posisi

agen dalam arena dan pertarungan-pertarungan perebutan legitimasi yang terjadi

di arena tersebut. Strategi mengarahkan praktik agen berdasarkan habitus dan

modal untuk menemukan solusi paling memungkinkan dalam kondisi arena yang

penuh dengan perjuangan dan pertarungan guna mempertahankan ataupun

mencapai posisi tertentu.

1.6.3.2 Trajektori sebagai Rute Agen Mencapai Posisi Tertentu dalam Arena

Trajektori menggambarkan serangkaian posisi yang silih-berganti ditempati

seorang agen dalam kondisi arena (kultural) yang juga mengalami dinamika.

Page 30: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

30

Posisi-posisi yang tidak tetap tersebut hanya bisa didefinisikan dan ditentukan

dalam kaitannya dengan struktur yang membentuk arena. Dalam istilah Bourdieu,

trajektori juga diartikan sebagai lintasan sosial atau biografi yang dikonstruksi.

Secara lebih detail, trajektori didefinisikan sebagai.

Serangkaian gerak suksesif seorang agen di dalam ruang yang

terstruktur (berhierarki), yang bisa mengalami penggantian dan distorsi, atau lebih tepatnya, di dalam struktur distribusi jenis-jenis modal berbeda yang dipertaruhkan di dalam arena, modal ekonomi dan modal konsekrasi spesifik (dengan jenis yang berbeda-beda). Gerak-gerak ini, yang mendefinisikan penuaan sosial ‘sosial ageing’, terdiri atas dua susunan. Mereka bisa dibatasi kepada salah satu sektor arena dan terletak di sepanjang sumbu konsekrasi yang sama, di mana penuaan ditandai oleh akumulasi positif, nol atau negatif modal spesifik; atau mereka malah menyebabkan perubahan sektor dan rekonversi (pengalihan bentuk) modal spesifik tertentu menjadi jenis modal lain (contohnya kasus puisi-puisi Simbolis yang masuk ke dalam novel psikologis) atau rekonversi modal lain ke dalam modal ekonomi (dalam kasus pergeseran dari puisi menuju ‘novel beradab’ atau teater, atau yang jauh lebih jelas dalam kasus kabaret atau cerita bersambung) (Bourdieu, 2012: 58).

Dalam arena produksi kultural, trajektori mendeskripsikan perpindahan

posisi agen dalam arena yang juga bisa mengalami perubahan struktur. Struktur

arena kultural secara tidak langsung dapat dideskripsikan pula oleh trajektori agen

dalam mendistribusikan sekaligus mempertaruhkan modal simbolis yang

dimilikinya untuk menempati posisi terlegitimasi. Oleh karenanya, trajektori dapat

dipandang sebagai sesuatu yang dihasilkan dari perjuangan modal simbolik di

dalam arena-arena dalam keterkaitannya dengan jaringan relasi-relasi ekonomi,

budaya, dan sosial (Mahar, 2009: 26).

Lebih lanjut, trajektori agen dalam arena produksi kultural dapat

menjelaskan dua kecenderungan. Trajektori agen dapat berupa perpindahan agen

Page 31: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

31

yang hanya mengacu pada satu arena, yakni arena produksi kultural saja. Dalam

kecenderungan ini, trajektori agen hanya berorientasi pada modal simbolis.

Artinya, modal simbolis yang diakumulasikan dapat bernilai, kurang bernilai, atau

tidak benilai sama sekali. Di lain sisi, trajektori agen justru dapat berupa

pengalihan bentuk modal simbolis ke dalam bentuk modal lain, termasuk

rekonversi modal simbolis menjadi modal ekonomi.

BAGAN TEORI

BUDAYA

Penelitian ini menerapkan konsep-konsep teori Arena Produksi Kultural

tersebut dalam beberapa tahapan. Ketika mengkaji novel Gustav Flaubert berjudul

L Education Sentimentable dalam karyanya yang berjudul The Field of Cultural

Dialektika

Subjektif Objektif

Agensi Struktur

(HABITUS X MODAL) + ARENA PRAKTIK

POSISI STRATEGI

&

TRAJEKTORI

=

Page 32: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

32

Production, Bourdieu menyimulasikan tiga tahapan analisis. Pertama, pembacaan

struktur utama teks dengan teori praktik sosial miliknya. Kedua, analisis terhadap

posisi sosial pengarang di dalam ruang sosial. Ketiga, analisis terhadap arena

kekuasaan dan arena sastra. Simulasi yang dilakukan Bourdieu tersebut tidak

bersifat hierarkis, parsial dan kaku, melainkan fleksibel dan komprehensif. Oleh

karena itu, tiap peneliti dapat melakukan penyesuaian terhadap model simulasi itu

sesuai dengan objek kajian (Karnanta, 2013: 6).

Dengan tajuk Strategi dan Posisi Abdurahman Faiz dalam Arena Sastra

Indonesia Pasca-Orde Baru: Analisis Produksi Kultural Pierre Bourdieu, tahapan

pertama analisis pada bab II merupakan pembahasan arena kekuasaan dan arena

sastra sebagai ruang sosial Faiz. Arena kekuasaan menjadi pembahasan yang perlu

dikemukakan karena memiliki homologi dengan arena sastra. Dalam analisis

arena, deskripsi mengenai keutamaan arena kekuasaan merupakan bagian penting

untuk menemukan hubungan dengan setiap arena spesifik lainnya, khususnya

arena sastra (Ritzer, 2009: 525).

Pada tahapan selanjutnya, yakni bab III, konsep trajektori dan modal Faiz

diaplikasikan. Trajektori sebagai lintasan sosial atau biografi yang dikonstruksi

dikemukakan untuk menyoroti posisi-posisi objektif yang silih berganti ditempati

oleh Faiz dalam ruang sosial (Johnson, 2012: xxviii). Dalam analisis mengenai

trajektori ini, habitus Faiz pun menjadi bagian yang dibahas. Selain itu, trajektori

pun diterapkan agen dalam suatu ruang sosial tempat berbagai arena berada.

Arena sendiri merupakan pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal (ekonomi,

budaya, sosial, dan simbolis) digunakan dan disebarkan (Ritzer, 2012: 525).

Page 33: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

33

Artinya, trajektori Faiz pun dapat menjelaskan mengenai perolehan ataupun

akumulasi modal Faiz dalam ruang sosial.

Berikutnya, pada bab IV, pembacaan Aku Ini Puisi Cinta sebagai

representasi struktur utama teks dilakukan untuk mendapatkan deskripsi mengenai

relevansi strategi dan pencapaian posisi Faiz. Strategi dan posisi Faiz dalam arena

sastra Indonesia pasca-Orde Baru merupakan salah satu bentuk praktik budaya

yang disoroti oleh Bourdieu dalam teori Arena Produksi Kultural.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode strukturalisme generatif milik Pierre

Bourdieu. Metode tersebut dipergunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis

hubungan dialektis antara struktur objektif dan representasi subjektif (Mahar,

2009: 4). Melalui metode strukturalisme generatif itu, persoalan strategi

Abdurahman untuk merealisasikan pencapaian posisi tertentu dalam arena sastra

Indonesia dapat ditelusuri. Oleh karena itu, proses pengumpulan dan analisis data

yang dipandang relevan dapat dijadikan bahan untuk menguraikan persoalan yang

dikemukakan.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Pemahaman mengenai praktik sastra secara menyeluruh sebagai wujud dari

parktik kultural hanya dapat dipahami tanpa memisahkan aspek material karya

dengan ruang sosial yang melingkupi kehidupan penulis. Oleh karenanya, secara

intrinsik, karya-karya sastra Abdurahman Faiz menjadi satuan data dalam

Page 34: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

34

penelitian ini guna mengetahui sosiologi kehidupannya. Karya-karya sastra yang

dikumpulkan merupakan karya yang telah dipublikasikan.

Selanjutnya, seleksi data menjadi salah satu tahapan yang ditempuh dalam

metode pengumpulan data. Dari sekian karya yang ditulisnya, Aku Ini Puisi Cinta

dipilih sebagai objek material karena karakteristik karyanya yang paling relevan

dengan permasalahan penelitian yang diajukan. Aku Ini Puisi Cinta dipandang

dapat menggambarkan persoalan kepengarangaan Faiz yang meliputi arena sastra

anak dan arena sastra Indonesia secara keseluruhan. Karya ini merupakan karya

gabungan dari dua karya sebelumnya yang masing-masing menyandang gelar

Adikarya IKAPI dan Khatulistiwa Literary Award (dianulir). Selain itu, buku Aku

Puisi Cinta juga dapat mewakili trajektori, habitus, serta modal Faiz dan

pandangannya terhadap ruang sosial maupun arena sastra Indonesia.

Secara ekstrinsik, data yang berkaitan dengan kehidupan sosiologis Faiz

juga menjadi objek material dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dengan

teknik dokumentasi maupun wawancara. Dokumen-dokumen yang digunakan

untuk mengetahui arena sastra Faiz dapat berupa, buku, jurnal, makalah, esai,

maupun artikel-artikel yang tersebar dalam media massa, cetak dan elektronik.

Sementara itu, teknik wawancara langsung ditempuh guna mendapatkan data yang

lebih komprehensif, terutama mengenai Faiz. Pihak yang diwawancarai, yakni

Helvy Tiana Rosa dan Abdurahman Faiz.

Dalam melakukan wawancara, susunan pertanyaan dipersiapkan terlebih

dahulu. Catatan dokumentasi dan handphone menjadi alat yang digunakan untuk

melakukan wawancara. Hasil wawancara yang telah direkam kemudian

Page 35: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

35

ditranskripsi dan dipilah sejumlah data yang dapat mendukung penelitian sesuai

dengan kerangka teoretis.

1.7.2 Metode Analisis Data

Terdapat beberapa tinjauan dalam menganalisis data yang telah

dikumpulkan serta dipilih pada tahapan sebelumnya. Analisis data dibatasi oleh

objek formal yang dibangun atas kerangka teori Arena Produksi Kultural

Bourdieu. Objek formal dalam penelitian ini adalah arena kultural Faiz dengan

karyanya kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta. Oleh karenanya, analisis data

ditempuh dalam beberapa tinjauan.

Tinjauan pertama, menganalisis arena kekuasaan dan juga arena sastra

Indonesia, termasuk kategori sastra anak di dalamnya, guna menemukan struktur

arena tempat praktik pengambilan posisi Faiz berlangsung di dalamnya. Tinjauan

kedua, melakukan penelusuran trajektori yang tidak lepas dari pengaruh habitus

Faiz dan pengakumulasian modal yang dimilikanya. Tahap ini mampu

menggambarkan trajektori agen dalam arena sastra Indonesia sebagai hasil dari

pembentukan habitus serta pengelolaan modal yang telah dimilikinya.

Selanjutnya, tinjauan ketiga, menganalisis kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta.

Pada tahap terakhir ini, karya Faiz dapat dilihat sebagai representasi strategi dan

posisi yang ditempatinya dalam arena sastra Indonesia. Analisis ini mencerminkan

homologi antara praktik pergulatan Faiz dengan karya-karya yang ditulisnya.

Semua tinjauan analisis dilakukan dengan cara menafsirkan dan

mengintegrasikan temuan data dengan menggunakan teori dan penalaran dalam

Page 36: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79321/potongan/S2-2015...artikel “Telah Lahir Dua Sastrawan Cilik”. Lihat Lampiran. 4 Lihat Lampiran. 3

36

kerangka pemikiran Bourdieu. Penafsiran ditempuh dengan cara memberikan

penjelasan, perbandingan, pengorelasian, pemilahan, atau pengombinasian dengan

konsep-konsep yang ada. Setelah semua data dianalisis dengan tinjauan tersebut,

langkah selanjutnya adalah menyimpulkan temuan-temuan yang diperoleh sesuai

dengan data yang ada. Mekanisme penarikan kesimpulan didasarkan pada data

yang telah diolah atau dianalisis dalam kegiatan penelitian dihubungkan dengan

konsep-konsep Bourdieu.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian ini di bagi dalam bab-bab sebagai berikut.

Bab I adalah pengantar, yang berisi uraian tentang (1) latar belakang; (2)

rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) manfaat penelitian; (5) tinjauan

pustaka (6) landasan teori; (7) metode penelitian; dan (8) sistematika penulisan.

Bab II adalah uraian mengenai arena kekuasaan pasca-Orde Baru dan

hubungannya dengan arena sastra Indonesia tempat Abdurahman Faiz berpraktik.

Bab III adalah penjelasan mengenai trajektori Abdurahman Faiz yang

menjelaskan pula habitus serta akumulasi modal miliknya dalam pertarungan

perebutan posisi dan legitimasi di arena sastra Indonesia pasca-Orde Baru.

Bab IV adalah penjabaran mengenai kumpulan puisi Aku Ini Puisi Cinta

yang menjadi representasi strategi maupun posisi Abdurahman Faiz dalam arena

sastra Indonesia pasca-Orde Baru.

Bab V adalah kesimpulan.