BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...

44
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitian Beberapa tahun terakhir ini bermunculan buku catatan perjalanan yang ditulis oleh orang Indonesia. Hal itu, misalnya, dapat dilihat dari terbitnya empat seri buku The Naked Traveler (2007) karya Trinity yang naik cetak berulang kali. Disusul kemudian catatan perjalanan Agustinus Wibowo yang dibukukan menjadi trilogi, yaitu Selimut Debu (2010), Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (2011), dan Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (2012). Buku-buku tersebut mendapat respons yang sangat bagus di kalangan pembaca. 1 Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi dalam dunia sastra Indonesia. Pada 2011 terbit novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta 9 Summers 10 Autumns Dari Kota Apel ke The Big Apple kaya Iwan Setyawan; kemudian secara berturut-turut Paris, Aline (2013) karya Prisca Primasari, Last Minute in Manhattan (2013) karya Yoana Dianika; Roma, Con Amore (2013) karya Robin Wijaya; Barcelona Te Amo (2013) karya Kireina Anno, Bangkok (2013) karya Moemoe Rizal, First Time in Beijing (2013) karya Riawani Elyta, Melbourne (2013) karya Winna Effendi; Swiss Little Snow in Zurich (2013) karya Alvi Syahrin, London: Angel (2013) karya Windry Ramadhina, Tokyo: Falling (2013) karya Sefryana Khairil, Holland One Fine Day in Leiden (2013) karya Feba Sukmana, Amsterdam Ik Hou 1 Buku-buku sejenis yang terbit lebih dulu, misalnya, dapat dilihat pada Menyusuri Lorong-Lorong Dunia yang terdiri dari tiga jilid, Perjalanan ke Atap Dunia, Life Traveler, dll.

Transcript of BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...

Page 1: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

1

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang Penelitian

Beberapa tahun terakhir ini bermunculan buku catatan perjalanan yang

ditulis oleh orang Indonesia. Hal itu, misalnya, dapat dilihat dari terbitnya empat

seri buku The Naked Traveler (2007) karya Trinity yang naik cetak berulang kali.

Disusul kemudian catatan perjalanan Agustinus Wibowo yang dibukukan menjadi

trilogi, yaitu Selimut Debu (2010), Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia

Tengah (2011), dan Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (2012). Buku-buku

tersebut mendapat respons yang sangat bagus di kalangan pembaca.1

Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi dalam dunia sastra

Indonesia. Pada 2011 terbit novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum

Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta 9 Summers 10 Autumns Dari Kota

Apel ke The Big Apple kaya Iwan Setyawan; kemudian secara berturut-turut Paris,

Aline (2013) karya Prisca Primasari, Last Minute in Manhattan (2013) karya

Yoana Dianika; Roma, Con Amore (2013) karya Robin Wijaya; Barcelona Te

Amo (2013) karya Kireina Anno, Bangkok (2013) karya Moemoe Rizal, First

Time in Beijing (2013) karya Riawani Elyta, Melbourne (2013) karya Winna

Effendi; Swiss Little Snow in Zurich (2013) karya Alvi Syahrin, London: Angel

(2013) karya Windry Ramadhina, Tokyo: Falling (2013) karya Sefryana Khairil,

Holland One Fine Day in Leiden (2013) karya Feba Sukmana, Amsterdam Ik Hou

1 Buku-buku sejenis yang terbit lebih dulu, misalnya, dapat dilihat pada Menyusuri Lorong-Lorong

Dunia yang terdiri dari tiga jilid, Perjalanan ke Atap Dunia, Life Traveler, dll.

Page 2: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

2

van Je (2013) karya Arumi E, Sotter Celo de Roma (2013) karya Donna

Widjajanto, dan lain sebagainya.

Cerita-cerita perjalanan itu termasuk femomenal, meskipun cerita-cerita

perjalanan semacam itu sebenarnya bukan genre baru dalam dunia sastra

Indonesia. Pada abad ke-19, karya-karya yang dianggap pra-modern sudah

menampilkan cerita-cerita perjalanan. Pada tahun 1918 Marco Kartodikromo

menulis Student Hidjo. Kemudian diikuti oleh Adi Negoro yang menulis Melawat

ke Barat pada 1930 yang merupakan dokumentasinya ketika melakukan

perjalanan ke negeri Belanda. Pada tahun 1985 NH. Dini juga menulis novel Pada

Sebuah Kapal yang mengisahkan perjalanannya ke Prancis, dan masih banyak

lagi.

Secara garis besar, cerita-cerita perjalanan yang terbit kemudian itu

mengisahkan orang-orang Indonesia, dengan berbagai kepentingan melakukan

perjalanan ke luar negeri, terutama di negara-negara Eropa. Eropa tampaknya

menjadi minat tersendiri bagi penulis perjalanan Indonesia. Mereka mengunjungi

tempat-tempat yang baru dan asing, juga mengalami perjumpaan, berinteraksi,

dan terlibat dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Mereka, yang

sebelumnya terpisah secara geografis dan historis, bertemu dalam satu momen

yang menempatkan mereka pada situasi dan persoalan-persoalan tertentu.

Dari berbagai cerita perjalanan yang terbit kemudian itu, penelitian ini akan

berfokus pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa (selanjutnya disingkat 99 CdLE).

Di samping karena novel ini dianggap merepresentasikan cerita-cerita perjalanan

ke Eropa (yang mendominasi cerita-cerita perjalanan yang bermunculan itu),

Page 3: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

3

novel ini dipilih karena dianggap memberikan wacana yang lebih kompleks

dibandingkan dengan novel-novel sejenis yang terbit pada masanya. Selain itu,

novel ini juga mendapatkan respons yang antusias dari pembaca dan pernah

difilmkan pada tahun 2013.

Novel ini menceritakan pengalaman pribadi si penulis ketika berada di

Eropa (Austria) selama tiga tahun, 2008—2011. Selain di Austria, penulis juga

melakukan perjalanan ke berbagai negara Eropa lainnya, seperti, Prancis, Spanyol,

dan Istanbul. Dalam sejarahnya, hubungan yang teridentifikasi antara Indonesia

dan Eropa (Belanda) adalah penjajah dan terjajah. Indonesia adalah objek yang

ditulis, sedangkan Eropa adalah subjek yang menulis. Dengan munculnya cerita-

cerita perjalanan orang Indonesia tentang Eropa ini mengindikasikan adanya

pembalikan posisi.

Di Eropa, penulis adalah seorang pekerja dan pelajar. Rangga adalah pelajar

di salah satu universitas di Austria, sedangkan Hanum, selain bekerja sebagai

editor video di universitas tempat Rangga belajar, ia juga kursus bahasa Jerman.

Posisi penulis sebagai pelajar (intelektual) menjadi penting karena mereka adalah

individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan

mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada

publik (Said, 2014: 8). Alasan keberadaannya adalah untuk mewakili semua orang

dan isu yang secara rutin dilupakan atau disembunyikan (Said, 2014: 8). Dengan

demikian, 99 CdLE dapat dikatakan sebagai suara kaum cerdik cendekia yang

mewakili bangsanya: Indonesia.

Page 4: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

4

Dalam 99 Cahaya di Langit Eropa wacana yang ditawarkan tidak sekadar

hubungan antara penjajah dan terjajah, tetapi lebih kompleks hingga merambah

isu-isu agama. Selama melakukan perjalanan di Eropa, penulis bersinggungan

dengan jejak-jejak Islam di Eropa. Dalam hal ini, penulis memosisikan Islam

sebagai bagian dari identitas Indonesia. Penulis mencoba mendefinisikan kembali

hubungan antara Indonesia dan Eropa. Jika teks-teks orientalis sering

menempatkan Islam (sebagai representasi Timur) berseberangan dengan Eropa

(sebagai representasi Barat), novel ini berupaya untuk memberikan wacana

tandingan bahwasanya Islam dan Eropa dapat bersisian. Bahkan, Islam dilihat

lebih unggul daripada Eropa. Menurut novel ini, Eropa tidak akan berjaya tanpa

campur tangan Islam. Dilihat dari apa yang disajikan oleh penulis tersebut,

perjalanan yang dilakukan tersebut bukan perjalanan yang tanpa tujuan.

Sebaliknya, perjalanan itu penuh dengan agenda.

Novel 99 Cahaya di Langit Eropa, sebagai cerita perjalanan, tidak hanya

menyuguhkan berbagai gambaran mengenai tempat-tempat yang asing bagi

penulis. Penulis juga berinteraksi dengan orang-orang Eropa dan dihadapkan

dengan berbagai realitas kehidupan orang Eropa dan non-Eropa. Karena

keterlibatannya dengan orang lain dalam perjalanannya itu, penulis juga

memasukkan respons dan penilaiannya. Penilaian ini mau tidak mau

bersinggungan juga dengan diri penulis sendiri. Berdasarkan hal tersebut,

setidaknya novel ini menyuguhkan tiga hal, yaitu penggambaran tentang dunia,

pernyataan diri, dan perepresentasian Yang Lain (the other). Melalui ketiga hal

tersbeut dapat dilihat agenda yang disembunyikan oleh penulis. Dengan wacana

Page 5: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

5

yang ditawarkan itu, penelitian terhadap sastra perjalanan di Indonesia, khususnya

novel 99 CdLE, menjadi penting dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Menelusuri pola perjalanan dalam 99 Cahaya di Langit Eropa yang meliputi

penggambaran terhadap dunia, pernyataan diri, perepresentasian pada Yang

Lain, sekaligus menelusuri strategi yang digunakan penulis untuk meraih

kepercayaan pembaca.

2. Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

Eropa.

1.3 Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalahnya, penelitian ini memiliki lima tujuan.

Pertama, menelusuri pola penggambaran dunia dalam 99 CdLE. Kedua,

mendeskripsikan pola diri yang bagaimana yang terimplikasi dari penggambaran

dunia. Ketiga, mendeskripsikan pola representasi yang dilakukan oleh penulis

terhadap Yang Lain. Keempat, menelusuri strategi yang digunakan oleh penulis

untuk meraih kepercayaan pembaca. Kelima, menguraikan keterkaitan pola-pola

tersebut dengan agenda dalam novel.

1.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran peneliti, belum banyak penelitian yang

mengangkat persoalan-persoalan dalam cerita perjalanan. Penelitian mengenai

cerita perjalanan pernah dilakukan oleh Faruk dalam Belenggu Pasca-kolonial

Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia (2007). Dalam salah satu bagian

Page 6: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

6

bukunya Faruk membahas cerita perjalanan Melawat ke Barat karya Adi Negoro

(sebagai representasi cerita perjalanan dari Timur) yang dibandingkan dengan

Robinson Crusoe karya Daniel Dafoe (sebagai representasi cerita perjalanan dari

Barat). Menurut Faruk, Melawat ke Barat tidak berhasil menggambarkan gerakan

striking back yang dilakukan orang Timur terhadap orang Barat.

Meskipun belum ada yang menyoroti novel 99 CdLE sebagai cerita

perjalanan, beberapa penelitian terhadap novel ini sudah banyak dilakukan.

Penelitian-penelitian itu dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang

menyoroti persoalan nilai-nilai dan yang menyoroti persoalan bahasa.

Kelompok yang pertama dapat dilihat pada penelitian yang berjudul “Nilai-

Nilai Toleransi dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak

Jejak Islam di Eropa dan Relevansinya terhadap Tujuan Pendidikan Agama

Islam” yang dilakukan oleh Akhid Nur Kholis Pratama (2014). Penelitian ini

beranggapan bahwa toleransi adalah problem besar umat beragama karena agama

seringkali menjadi motif berbagai konflik. Novel 99 CdLE dianggap dapat

menyampaikan pesan toleransi tersebut. Tujuan penelitian ini dengan demikian

adalah mengungkan aspek-aspek toleransi apa saja yang terdapat dalam novel

kajian. Adapun metode yang digunakan adalah dokumentasi, baik dalam bentuk

gambar, suara, ataupun tulisan. Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nila

toleransi yang ada dalam novel itu meliputi mengakui hak setiap orang;

menghormati keyakinan orang lain; mencanangkan konsep mengalah; saling

mengerti; kesadaran dan kejujuran; dan jiwa yang berfalasafah pancasila. Nilai-

nilai toleransi itu pun dianggap sinergis dengan tujuan pendidikan agama Islam,

Page 7: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

7

yang mencakup aspek dimensi keyakinan dan dimensi pemahaman. Kelemahan

penelitian ini terletak pada tidak dijangkaunya aspek-aspek dalam novel ini justru

tidak menampilkan sikap toleransi.

“Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa

Karya Hanum Salsabiela Rias dan Rangga Almahendra” (Inayah Damayanti,

2014). Serupa dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini juga berfokus pada

nilai-nila yang ada dalam 99 CdLE. Penelitian ini menganggap bahwa banyak

pendidikan akhlak yang ada dalam novel kajian. Namun, bukan hal tersebut yang

menjadi alasan penulis menetapkan novel ini sebagai objek kajian. Novel ini

dipilih sebagai objek kajian adalah bahasa yang digunakan dalam novel ini

dianggap mengalir, mudah dicerna, dan diresapi. Tujuan penelitian ini dengan

demikian adalah mencari nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam novel

kajian. Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan metode

dokumentasi dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif

deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa novel 99 CdLE memuat

akhlak kepada Allah dan akhlak kepada manusia. Kelemahan penelitian ini

terletak pada masih kacaunya apa yang termasuk dalam pendidikan akhlak.

Penelitian selanjutnya adalah “Aspek Religius dalam Novel 99 Cahaya di

Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra: Tinjauan

Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA” (Nilam

Sari Nurjanah, 2015). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan aspek sosial

historis pengarang, struktur yang membangun novel, dan mendeskripsikan aspek

Page 8: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

8

religius. Tujuan yang ketiga hal tersebut kemudian diimplementasikan

menggunakan teori sosiologi sastra sebagai bahan ajar di SMA.

Penelitian selanjutnya adalah “Tokoh Wanita dalam Novel 99 Cahaya di

Langit Eropa dan Implikasi Pembelajarannya” yang ditulis oleh Restty Purwana

Suwama, Muhammad Fuad, dan Kahfie Nazaruddin. Penelitian ini bertujuan

mendeskripsikan tokoh wanita dalam novel kajian dan implikasinya terhadap

pembelajaran di SMA. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya beberapa tokoh

wanita, yaitu tokoh wanita yang berperan sebagai istri, anak, dan ibu. Dengan

dimuatnya tokoh wanita yang demikian itu, penelitian ini menganggap bahwa

novel 99 CdLE dianggap layak dijadikan sebagai alternatif pembelajaran SMA.

Namun, di dalamnya terdapat ketidaksinkronan karena menurut penelitian ini,

aspek bahasa, aspek psikologi dan latar belakang budayanya lah yang

membuatnya layak dijadikan sebagai alternatif pembelajaran.

Tulisan yang berfokus pada persoalan Islam berjudul “Novel 99 Cahaya di

Langit Eropa: Ekspresi Islam Moderat” (Agus Iswanto, 2014) yang dimuat di

Jurnal Penamas Volume 27. Nomor 1. Dengan menggunakan pembacaan heuristik

dan hermeneutik, hasil analisis dalam tulisan ini menunjukkan bahwa pemikiran

Islam yang dikandung oleh novel ini adalah Islam Moderat yang ditunjukkan oleh

pandangan tidak apologetis terhadap masa lalu Islam, dengan melihat kegagalan

sekaligus kegemilangan Islam di masa lalu dalam sejarah harus diterima dan

dijadikan pelajaran. Selain itu, menurut tulisan ini, novel 99 CdLE menujukkan

konsep jihad yang dilakukan dengan cara damai.

Page 9: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

9

Kelompok kedua adalah penelitian yang berfokus pada persoalan bahasa

dalam novel 99 CdLE, di antaranya adalah penelitian yang berjudul “Analisis

Reduplikasi dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela

Rais” (Fatmi Zahara, 2015). Penelitian ini berfokus pada bentuk-bentuk

reduplikasi dan makna yang dihasilkannya dalam novel 99 CdLE. Metode yang

digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

dalam 99 CdLE terdapat empat macam bentuk reduplikasi dan menghasilkan 15

macam makna reduplikasi.

“Implikatur Percakapan pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya

Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” (Riza Hernita, 2014). Penelitian ini

dilatarbelakangi dengan asumsi bahwa dalam situasi dan konteks tertentu penutur

memberikan informasi yang lebih dari apa yang dikatakannya. Tujuan penelitian

ini adalah mendeskripsikan implikatur percakapan dalam novel kajian serta

implikasinya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Metode yang digunakan

adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan mendata satuan-satuan linguistik

yang mengandung implikatur percakapan. Hasil penelitian ini memperlihatkan 15

sampel percakapan yang memiliki implikatur percakapan. Data 1 penggalan

percakapan melanggar maksim cara, sedangkan data 2-15 melanggar maksim

kuantitas dan maksim cara. Adapun setiap temuan penggalan percakapan menaati

teori relevansi dan maksim relevansi dari prinsip kerjasama.

Penelitian-penelitian yang disebutkan di atas sama sekali tidak

menyinggung novel 99 CdLE sebagai cerita perjalanan, mengingat secara

Page 10: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

10

gamblang sub judul novel ini adalah “Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa”.

Dengan demikian, sejauh yang diketahui oleh peneliti, penelitian tentang novel 99

CdLE sebagai sebuah cerita perjalanan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Selain itu, pembicaraan tentang nilai-nilai dalam 99 CdLE tanpa dilihat dari

konteks cerita perjalanan dan poskolonial seperti pernelitian ini akan meleset.

Begitu pun pembicaraan mengenai bahasa. Untuk itu, penelitian ini sangat penting

untuk dilakukan.

1.5 Landasan Teori

Bagian ini menguraikan konsep-konsep yang akan digunakan untuk

menjawab persoalan penelitian. Konsep-konsep itu, antara lain, pengertian sastra

perjalanan, deskripsi hubungan antara sastra perjalanan dan poskolonialisme,

penggambaran terhadap dunia dalam sastra perjalanan, mendeskripsikan

pernyataan diri dan perepresentasian Yang Lain dalam sastra perjalanan, serta

menguraikan kemungkinan strategi yang digunakan oleh penulis untuk meraih

kepercayaan pembaca dan konsep tentang agenda.

1.5.1 Pengertian Sastra Perjalanan

Tidak mudah untuk memberikan definisi atau batasan yang jelas tentang apa

itu perjalanan dan sastra perjalanan. Istilah sastra perjalanan adalah label generik

yang sangat luas dan seringkali membingungkan. Sastra perjalanan selalu

menjalin hubungan yang kompleks dan membingungkan dengan sejumlah genre

yang terkait erat dengannya (Raban dalam Thompson, 2011: 11). Salah satu

definisi sederhana yang dapat diberikan tentang perjalanan adalah negosiasi antara

diri dan “Yang Lain” akibat perpindahan dalam ruang (Thompson, 2011: 9).

Page 11: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

11

Bertolak dari definisi tentang perjalanan tersebut, sastra perjalanan kemudian

dipahami sebagai laporan perjalanan tentang dunia yang lebih luas yang dilakukan

oleh orang asing di tempat yang asing atau belum diketahui (Thompson, 2011:

10).

Sastra perjalanan memiliki bentuk dan sifat yang beragam karena terdiri dari

berbagai gabungan tipe tulisan mulai dari jurnal, buku harian, esai, cerita pendek,

serta mencakup berbagai tema mulai dari kisah petualangan, risalah filsafat,

uraian politis, hingga pencarian spiritual. Bahkan, ada tulisan memoar dan

investigasi jurnalisme (Huggan dan Holland, 1998: 8). Sehubungan dengan

keragaman bentuk dan sifat sastra perjalanan itu, Huggan dan Holland (1998: 8—

9) menyarankan genre sastra perjalanan sebagai “genre hibrida” yang melintasi

berbagai kategori dan disiplin.

Menurut catatan Thompson, definisi sastra perjalanan dapat diklasifikasikan

menjadi dua bagian besar, yaitu definisi secara eksklusif dan inklusif. Seorang

kritikus berpengaruh yang sering menawarkan konsep eksklusif tentang sastra

perjalanan adalah Paul Fussell. Bagi Fussell (dalam Thompson, 2011: 13), sastra

perjalanan secara implisit disamakan dengan bentuk sastra yang lebih senang

disebutnya sebagai travel book, meskipun istilah lain seperti travelogue2 juga

sering digunakan. Meskipun demikian, Fussell menekankan bahwa sastra

perjalanan secara tajam harus dibedakan dari bentuk-bentuk teks yang

berhubungan dengan perjalanan, seperti laporan eksplorasi dan buku panduan

perjalanan. Travel book bagi Fussell adalah tulisan perjalanan yang hampir selalu

2 Awalnya, travelogue adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan program televisi

dengan tema wisata. Kemudian, dalam studi sastra perjalanan, istilah ini digunakan untuk

menyebut laporan perjalanan atau cerita perjalanan (Thompson, 2011: 206).

Page 12: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

12

diperpanjang oleh prosa naratif, sering dipecah menjadi beberapa bab, dan dengan

cara ini buku perjalanan umumnya—secara visual dan formal—jauh lebih banyak

menyerupai novel daripada menyerupai buku panduan. Dalam buku panduan

mungkin ada yang menjadi bagian dari narasi prosa, tetapi biasanya dibuat dalam

bentuk yang pendek dan diselingi dengan peta, tabel, simbol, serta mode naratif

lainnya sebagai informasi. Sementara itu, travel book mungkin juga menggunakan

bahan ilustrasi, termasuk peta atau gambar, tetapi biasanya ini hanya elemen

sekunder terhadap narasi utama prosa dan proporsinya jauh lebih kecil

(Thompson, 2011: 14).

Menurut Fussel, narasi yang ditawarkan oleh travel book akan hampir selalu

menjadi retrospektif, laporan orang pertama dari pengalaman perjalanan penulis

sendiri, atau dari tempat atau orang asing. Terlebih lagi, aspek personal atau

subjektif dari narasi itu sering sangat terasa karena pembaca dengan cermat

mengamati tidak hanya tempat-tempat yang dikunjungi oleh pengarang, tetapi

juga dari respons pengarang terhadap tempat itu, impresinya, pikiran, dan juga

perasaannya (Thompson, 2011: 14).

Penekanan pada narasi otobiografi dan pengalaman pribadi penulis juga

menjadi pembeda antara travel book dan buku panduan perjalanan. Fussell (dalam

Thompson, 2011: 15) menyarankan bahwa travel book yang “benar” memiliki

unsur pribadi atau subjektivitas sebagai pemahaman bahwa agenda dalam buku

perjalanan bukan hanya fungsional atau praksis, melainkan juga estetis.

Penekanannya ada dalam teks-teks yang dilatardepani oleh sensibilitas yang khas

dari penulis dan style yang digunakan untuk buku perjalanan. Aspek sensibilitas

Page 13: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

13

dan style inilah yang membedakan sastra perjalanan dengan buku-buku perjalanan

lainnya.

Bagi Fussell, buku-buku perjalanan adalah representasi dari perjalanan dan

peristiwa dalam perjalanan yang benar-benar terjadi. Lebih kepada bentuk non-

fiksi daripada fiksi. Dalam bahasa Mary Campbell, ‘buku perjalanan adalah

sejenis kesaksian: secara umum dimaksudkan untuk kebenaran (Thompson, 2011:

15). Meskipun sifatnya mendidik, travel book juga menawarkan kepada pembaca

sesuatu yang mirip kesenangan narasi dari sebuah novel atau roman, bagi Fussell,

travel book lebih mengarah pada genre non-fiksi. Travel book ini juga secara

eksplisit maupun implisit sering didukung oleh adanya motif pencarian. Dapat

dikatakan juga bahwa travel book adalah sub-spesies dari memoar.

Sementara itu, Thompson lebih suka menyebutnya sebagai “buku perjalanan

modern” atau “buku perjalanan sastra”. Bagi Thompson, label sastra dan modern

dalam definisi Fussell menjadi penting. Di satu sisi, buku perjalanan, seperti yang

diungkapkan oleh Fussell, lebih memberikan hiburan dan kesenangan estetis pada

pembaca. Di sisi lain, pada saat yang sama terdapat tulisan-tulisan perjalanan yang

lain lebih dekat dengan semangat investigasi jurnalisme daripada memoar atau

fiksi. Tulisan perjalanan jenis ini aspek menghibur pembaca adalah tujuan

sekunder (Thompson, 2011: 18). Di sinilah pentingnya penambahan label modern

atau sastra dalam buku perjalanan Fussell.

Bagi Fussell, yang paling sesuai dikatakan sebagai buku perjalanan modern

adalah buku-buku perjalanan yang muncul setelah tahun 1900-an. Sebelum 1900,

tulisan-tulisan perjalanan itu biasa disebut voyagers and travels, bukan travel

Page 14: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

14

writing atau travel book. Voyagers and travels adalah istilah yang merangkum

keragaman dari teks yang berhubungan dengan perjalanan, yang terdiri dari

berbagai bentuk yang berbeda dan melayani banyak fungsi: jurnal dan surat-surat

wisatawan; laporan dari pedagang atau mata-mata atau diplomat; laporan

eksplorasi, ziarah, penaklukan kolonial dan administrasi; dan banyak hal lainnya.

Kebanyakan buku-buku perjalanan yang ditulis sebelum akhir abad ke-18

akan menyerang pembaca modern dengan sangat impersonal dan un-otobiografik,

bahkan ketika buku-buku itu ditulis dalam sudut pandang orang pertama.

Biasanya, penekanannya bukan pada pikiran subjektif dan perasaan penulis, tetapi

pada informasi yang dikumpulkan selama perjalanan: topografi negara-negara

asing, misalnya, atau rincian dari kebiasaan mereka, kemampuan militer, dan

komoditas utama perdagangan (Thompson, 2011: 20). Secara umum, sebagian

besar teks voyagers and travels jauh lebih mementingkan penyebarluasan data

yang berguna. Buku-buku perjalanan yang muncul sebelum abad ke-19, oleh

Fussell disebut sebagai era pra-perjalanan, yaitu era ketika tulisan-tulisan

perjalanan lebih mengedepankan fungsi, tidak peduli dengan representasi diri

pengarang dalam teks, atau dengan kesadaran teks sebagai artefak estetis.

Jika Fussell mendefinisikan sastra perjalanan secara eksklusif, terdapat

beberapa ahli yang mencoba mendefinisikannya secara lebih longgar atau inklusif.

Zweden von Martels (dalam Thompson, 2011: 23) menganggap bahwa sastra

perjalanan dapat mencakup materi mulai dari buku panduan, rute perjalanan,

bahkan juga peta ke dalam tulisan perjalanan darat/laut, atau deskripsi

pengalaman luar negeri. Dalam hal ini, Martels melihat sastra perjalanan dan buku

Page 15: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

15

panduan perjalanan sebagai cabang genre yang sama. Sementara itu, Jan Born

membuat perbedaan antara ‘buku perjalanan’ dan ‘sastra perjalanan’. Sama halnya

dengan Fussell, bagi Born, sastra perjalanan ditulis oleh orang pertama dan

seolah-olah perjalanan non-fiksi. Namun, Born tidak bersikeras bahwa buku

perjalanan harus “sastra” dan diikuti oleh agenda estetis. Born juga tidak

menyamakan ‘buku perjalanan’ dan ‘sastra perjalanan’ secara keseluruhan. Sastra

perjalanan oleh Born kemudian dipahami sebagai ‘istilah kolektif untuk berbagai

teks, baik fiksi maupun non-fiksi, yang tertemakan perjalanan (Thompson, 2011:

23).

Adapun menurut Michel de Certeau, setiap cerita adalah perjalanan dan

tindakan menulis itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bentuk perjalanan yang

adalah selalu berbentuk tulisan (Thompson, 2011: 24). Dengan demikian, bagi

Carteau, semua tulisan adalah sastra perjalanan. Van Mortels kemudian

menganggap bahwa karya puisi dan prosa juga dapat dianggap sebagai sastra

perjalanan yang sah. Selain itu, bagi Martels, peta juga dapat dimasukkan dalam

sastra perjalanan karena peta dapat ditafsirkan sebagai “teks” (Thompson, 2011:

25).

Berdasarkan semua definisi yang dikemukakan oleh para ahli itu, bagi

Tompson (2011: 26), sastra perjalanan lebih baik dipahami sebagai konstelasi

berbagai jenis tulisan atau teks, bentuk-bentuk yang berbeda yang terhubung tidak

dengan pola ketentuan tunggal, melainkan satu perangkat yang oleh filsuf Ludwig

Wittgenstein disebut sebagai ‘family resemblances’. Artinya, ada berbagai fitur

atau atribut yang dapat membuat kita mengklasifikasikan teks sebagai tulisan, dan

Page 16: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

16

setiap teks individu akan mewujudkan pilihan yang berbeda dan kombinasi atribut

ini.

Thompson pun menekankan bahwa batas-batas sastra perjalanan itu kabur.

Namun, Thompson menyarankan bahwa dalam label generik yang lebih longgar,

orang dapat berbicara dengan ketelitian yang lebih tinggi dari mode spesifik dan

sub-genre sastra perjalanan: perjalanan abad pertengahan, sastra perjalanan

modern awal, atau eksplorasi abad ke-18, atau buku panduan dari era yang

berbeda, atau memang buku perjalanan modern, yang sering mengacu pada dan

menyesuaikan dengan semua pendahulu dan bentuk pendamping yang berbeda.

1.5.2 Sastra Perjalanan, Kolonialisme, dan Poskolonialisme

Pada abad ke-15 sampai abad ke-20, sastra perjalanan memainkan peran

integral dalam ekspansi imperial Eropa (Thompson, 2011: 3).3 Pada periode

Victorian (1837—1914), sastra perjalanan sudah digunakan untuk memperkuat

mitos imperialisme yang ditujukan pada pembaca-pembaca di daerah imperial.

Sastra perjalanan kemudian semakin berkembang sampai Edward Said menulis

Orientalism (1978) yang menjadikan sastra perjalanan sebagai sumber utama

analisis dan kajiannya. Menurut Hulme dan Youngs (2002: 8), Orientalism

Edward Said adalah karya pertama kritik kontemporer yang menggunakan

tulisan/sastra perjalanan sebagai piranti utama dalam korpusnya. Dalam

3 Perkembangan sastra perjalanan dibahas secara komprehensif oleh Peter Hulme dan Tim Youngs

dalam The Cambridge Companion to Travel Writing (2002).

Page 17: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

17

Orientalism, Said mengungkap bahwa para orientalis4 membuat catatan perjalanan

dan kajian yang diwarnai dengan dominasi, restrukturasi, dan hasrat penguasaan

dengan tujuan melakukan penaklukan rohani melalui misi yang dikemas dalam

misi pemberadaban (Sudibyo, 2009: 3). Perbedaan antara Timur dan Barat

menjadi tolok ukur kajian mereka. Hampir semua kajian tentang Timur selalu

bergantung pada apa yang pernah digariskan oleh orientalisme. Orientalisme

menjadikan dunia Timur sebagai objek pemikiran yang tidak bebas (Said, 1985:

2—3).

Sastra perjalanan menjadikan ekspansi imperial bermakna dan diinginkan

oleh para masyarakat di negara imperial, meskipun keuntungannya hanya diraup

oleh segelintir pihak. Buku-buku perjalanan, memberikan bacaan kepada publik

Eropa akan rasa kepemilikan, hak dan keakraban ke bagian yang jauh dari dunia

yang sedang dieksplorasi, diserang, diinvestasikan, dan terjajah. Buku-buku sastra

perjalanan juga menciptakan rasa keingintahuan, kegembiraan, petualangan, dan

bahkan semangat tentang ekspansionisme Eropa (Pratt, 2008: 3).

Sastra perjalanan Eropa sangat berpengaruh dalam memproduksi dan

mengedarkan pengetahuan tentang dunia dan memicu aspirasi ekspansi dan

penaklukan (Smethurst, 2009: 1). Sastra perjalanan tersebut menegaskan oposisi

biner Barat-Timur. Oposisi yang kemudian terbentuk adalah formulasi yang

merendahkan: beradab/biadab, ilmiah/takhayul, dan seterusnya. Formasi diskursif

ini tidak secara polos mengusulkan kategori yang hanya diperuntukkan bagi Barat

(persoalan homogenitas) untuk mendefinisikan dirinya terhadap Yang Lain yang

4 Para orientalis mengacu pada siapa saja yang mengajar, menulis, dan meneliti tentang Timur. Hal

ini berlaku baik yang berprofesi sebagai ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi

dengan tidak mempersoalkan jenis kajiannya (Said, 1985: 2).

Page 18: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

18

diproyeksikan. Wacana imperialis dibangun di atas sistem hubungan asimetris

ideologis-informatif. Dalam konteks sastra perjalanan, yang paling penting dari ini

adalah traveler/travellee, pengamat/diamati, dan narator/dinarasikan (Smethurst,

2009: 1). Pengetahuan itu kemudian digunakan untuk menginformasikan

eksplorasi dan penemuan selanjutnya.

Dalam kajian sastra, poskolonialisme dipahami sebagai strategi bacaan yang

menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu mengidentifikasi

adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan

menilai sifat-sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut

(Foulcher, 2008: 3). Namun, sastra perjalanan, dalam kajian poskolonialisme,

sering menjadi momok. Terdapat prasangka bahwa sastra perjalanan

menyebarluaskan wacana perbedaan yang kemudian digunakan utuk

membenarkan proyek kolonial. Dalam konteks ini, sastra perjalanan digunakan

oleh orang Eropa untuk menyusun atau memahami daerah di luar Eropa sebagai

kendali di bawah mereka (Edward dan Graulund, 2011: 1).

Menurut Ivision (dalam Edward dan Grauland, 2011: 1) sastra perjalanan

juga dianggap sebagai produk budaya dari imperialisme karena sering ditulis

secara aktif oleh orang-orang yang terlibat secara aktif dalam perluasan dan

pemeliharaan imperialisme (penjelajah, tentara, administrator, misionaris,

jurnalis) dan tergantung pada dukungan dari lembaga-lembaga imperial dalam

rangka memfasilitasi sastra perjalanan. Dalam hal ini, Ivision menunjukkan cara

di mana catatan perjalanan—khususnya teks abad ke-19—merumuskan wacana

perbedaan dan berkontribusi terhadap politik ekspansi kolonial. Hal ini sejalan

Page 19: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

19

dengan pendapat Lisle (2006: 1) yang mengatakan bahwa secara historis, sastra

perjalanan berpartisipasi di dunia internasional dengan menyebarkan tujuan

imperial: cerita dari ‘tanah yang jauh’ yang penting dalam membangun hubungan

yang tidak setara, tidak adil, dan eksploitatif yang dilakukan oleh pemerintah

kolonial.

Dalam sastra perjalanan poskolonial, penulis menerapkan strategi

manipulasi teks dengan tujuan menyusun kembali, menumbangkan

(menyubversi), dan menulis ulang bentuk imperial yang ada (Smethurst, 2009:

11). Akan tetapi, tidak ada jaminan bahwa subversi tersebut akan bekerja dalam

bentuk yang sepenuhnya poskolonial, kadang-kadang juga dituduh melanjutkan

pendekatan terlalu kuat ke seluruh dunia. Sastra perjalanan kontemporer dapat

difilter melalui self-reflective, kesadaran pos-imperialis, tetapi mereka masih

memperkuat suatu order of things, bentuk, yang masih berasal dari Barat. Seperti

yang dikatakan oleh Charles Sugnet: "Meskipun wisatawan tidak lagi merupakan

kekuasaan literal imperial dan mungkin secara khusus menyangkal keterlibatan

tersebut, ia masih merebut untuk dirinya sendiri hak representasi, penghakiman,

dan mobilitas efek imperial" (Smethurst: 2009: 10). Subjek poskolonial merebut

ruang istimewa dari narator dan menghubungkan peran traveler/travellee,

pengamat/yang diamati, dan narator/yang dinarasikan.

Narasi poskolonial berusaha untuk melawan berabad-abad prasangka Eropa

berdasarkan model representasi yang melambangkan genre sastra perjalanan,

seperti korelasi diri dan Yang Lain; familiar-asing; dan estetika jarak yang eksotis

(daripada menyadari dan mengakui) tempat yang jauh (Smethurst, 2009: 11).

Page 20: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

20

Untuk menawarkan kritik poskolonial dari seluruh tradisi tulisan Eropa, penulis

sastra perjalanan poskolonial perlu menumbangkan bentuk narasi perjalanan yang

tidak hanya bergantung pada tempat istimewa narasi performatif, tetapi juga pada

penindasan langsung dari kulit putih, pembaca kelas menengah. Penulis

perjalanan setidaknya berada pada posisi satu kaki di luar budaya Barat dan

semakin menggunakan ruang sastra perjalanan sebagai cara pernyataan-diri dan

eksplorasi budaya. Mereka juga memperluas batas-batas diskursif dan bentuk

cakrawala semantik untuk menumbangkan itu dari dalam. Dalam kasus penulis

poskolonial, narasi otoritas terkait dengan pengalaman postkolonial dan strategi

autentikasi diri. Dalam penulisan perjalanan mereka, subjek poskolonial terlibat

dalam "sintaks performatif dari penegasan kembali, keterlibatan dengan

kontingensi sejarah, tantangan untuk interpelasi kolonial, pengambilalihan agensi

dan pandangan (Smethurst, 2009: 12).

Kajian poskolonial mengenai sastra perjalanan biasanya terbagi menjadi dua

bagian, yaitu yang berfokus pada tulisan-tulisan perjalanan yang ditulis oleh

masyarakat yang pernah melakukan penjajahan dan tulisan perjalanan yang ditulis

oleh masyarakat yang pernah terjajah5. Menurut Edwards dan Graulund (2011: 2)

yang sering menjadi persoalan adalah bahwa “perjalanan” begitu sering ditautkan

dengan “perjalanan Eropa”. Yang seringkali ditegaskan oleh banyak kritikus

adalah bahwa dunia hanya ‘dipetakan’ oleh orang-orang Eropa. Padahal, orang-

5 Masyarakat terjajah adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah wilayah geografis yang

diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan dikendalikan oleh masyarakat lain yang berasal dari

wilayah geografis atau ruang yang lain, terutama masyarakat Eropa. Masyarakat terjajah juga

dapat mengacu pada masyarakat yang pikiran, perasaan, sikap, perilaku, dan bahkan tubuhnya

diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan dikendalikan oleh masyarakat penjajah melalui praktik,

teori, dan sikap yang ditanamkan padanya oleh masyarakat penjajah itu (Faruk, 2007: 16).

Page 21: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

21

orang non-Eropa juga turut berkontribusi dalam misi tersebut. Banyak masyarakat

non-Eropa yang memiliki catatan perjalanan.

Sastra perjalanan poskolonial kemudian dipahami sebagai tulisan perjalanan

tandingan. Tulisan perjalanan yang menolak kecenderungan untuk menikmati

eksotisme atau demarkasi pembatasan yang jelas untuk membedakan atau

memisahkan identitas dan budaya nasional. Sastra perjalanan poskolonial bukan

hanya oposisi atau upaya menulis kembali, melainkan juga menawarkan kerangka

acuan yang ada di luar batas-batas produksi pengetahuan Eropa (Edwards dan

Graulund, 2011: 3). Sastra perjalanan poskolonial menyajikan banyaknya jalan

untuk menjelajahi dialektika lokasi dan diri. Sastra perjalanan poskolonial

menunjukkan bahwa teks perjalanan kontemporer mendekatkan pada subjek

material dengan (dan melalui) kesadaran dari aktivitas menulis tentang sebuah

tempat adalah sebuah produksi simultan diri dan jangkauan posisi berbahasa itu

diidentifikasi.

1.4.3 Penggambaran Dunia dalam Sastra Perjalanan

Dalam sebagian besar bentuknya, menurut Thompson (2011: 62), prinsip

utama sastra perjalanan adalah memberitakan dunia yang lebih luas dan

menyebarluaskan informasi tentang orang dan tempat yang asing. Dunia, dalam

hal ini tidak terbatas pada tempat-tempat, tetapi meluas pada penggambaran

terhadap orang-orang yang ditemui. Namun, ada banyak lapisan mediasi antara

dunia yang sebenar-benarnya dan dunia seperti apa yang selanjutnya dipaparkan

dalam sastra perjalanan. Peristiwa dan kejadian yang ditemui dalam perjalanan

penulis selalu hadir kepada pembaca dalam bentuk yang disaring, dibiaskan

Page 22: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

22

pertama melalui kesadaran pengamatan penulis dan kedua melalui tindakan

penulisan, peralihan dari “pengalaman perjalanan” ke dalam “teks perjalanan”.

Hal tersebut melibatkan proses yang selektif di mana penulis mengutamakan

beberapa aspek dari pengalaman perjalanannya atas yang lain, sesuai dengan

preferensi kepenulisan dan persyaratan generik. Akibatnya, bentuk sastra

perjalanan yang berusaha untuk akurat dan objektif itu hanya menawarkan

gambaran parsial dari dunia dan gambaran tidak lengkap yang jauh dari realitas

yang kompleks. Oleh karena itu, lanjut Thompson (2011: 63), sastra perjalanan

tentu mendistorsi dunia bahkan akan terbawa ke dalam pandangan penulisnya.

Oleh sebab itu, sebagai sebuah laporan mengenai dunia yang luas, orang-

orang dan tempat yang asing, cerita perjalanan dapat bergerak ke dua arah yang

bertentangan. Pertama, memberikan tekanan yang kuat pada gambaran objektif

mengenai dunia yang asing yang dikunjungi, dengan menekan sekuat mungkin

tanggapan atau pendapat pribadi traveler terhadap dunia itu. Menurut Thompson

(2011: 72), perlu dicatat bahwa meskipun tampak objektif, sastra perjalanan

biasanya mencerminkan perspektif ideologis yang berbeda dari dunia. Posisi

budaya dan ideologi penulis itu sendiri juga menginformasikan dan mendistorsi

gambaran apapun dari tempat dan orang asing.

Kecenderungan yang kedua adalah memberikan tekanan pada diri

pejalannya sendiri, pendapat dan respons-respons emosionalnya terhadap dunia

tersebut. Kecenderungan yang pertama merupakan kecenderungan yang umum

terdapat dalam cerita perjalanan Eropa dari zaman klasik hingga renaisans atau

modernitas awal, sedangkan kecenderungan kedua merupakan kecenderungan

Page 23: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

23

yang banyak muncul dalam cerita perjalanan pada era modern, yang bermuara

pada dan dipengaruhi oleh romantisisme.

Namun, kedua kecenderungan itu, kata Thompson, bukanlah sepenuhnya

bertolak belakang. Bagaimanapun subjektifnya sebuah cerita perjalanan, cerita itu

tetap harus mendasarkan diri pada fakta objektif, setidaknya berusaha meyakinkan

pembaca bahwa dunia yang digambarkan adalah dunia yang faktual. Sebaliknya,

betapa pun obkjektifnya, cerita perjalanan itu tetap mengimplikasikan

subjektivitas si pejalan atau si penceritanya. Sebagai misal, cerita perjalanan yang

cenderung objektif pada era klasik dan renaisans sebenarnya mengimplikasikan

tuntutan subjektif masyarakat zamannya yang menjadi sasaran pembaca bagi

cerita tersebut. Kecenderungan itu mengimplikasikan bahwa masyarakat pembaca

menganggap tidak layak masuknya subjektivitas dalam cerita pejalanan karena

yang mereka inginkan adalah pengetahuan mengenai dunia lain itu. Dalam hal

inilah cerita perjalanan terkait tidak hanya dengan latar belakang masyarakat dan

kebudayaan asal si pencerita atau si pejalan, melainkan terkait dengan agenda

ekonomi dan politik zamannya, yaitu para pemodal yang berusaha melakukan

eksplorasi terhadap wilayah-wilayah di seluruh dunia untuk kepentingan ekonomi

dan politik.

Secara bersamaan, sudut pandang subjektif ini akan selalu sampai pada

aspek ideologis, menjadi ekspresi sikap, asumsi dan aspirasi yang diwarisi dari

budaya yang lebih besar atau subkultur yang menjadi bagian penulis perjalanan.

Dalam hal ini, semua sastra perjalanan dapat dikatakan tidak begitu banyak

Page 24: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

24

merepresentasikan dunia dengan sebenar-benarnya, seperti representasi dari satu

perspektif tertentu pada dunia itu (Thompson, 2011: 72).

Selanjutnya, menurut Thompson (2011: 66), penulis juga sering dikacaukan

oleh pertemuan mereka dengan perbedaan yang radikal dan telah sering berjuang

untuk memahami fenomena yang melampaui atau membatalkan semua harapan

sebelumnya. Untuk alasan ini, perjalanan dapat menjadi pengalaman sangat

mengasingkan. Secara agak paradoks, kerenggangan ini mungkin sering

diungkapkan, sebagian setidaknya, dengan takjub (wonder). Sebagaimana diamati

oleh Mary Campbell (1988), Stephen Greenblatt (1991) dan Anthony Pagden

(1993), wonder merupakan tema yang berulang dan sebuah kiasan dalam tulisan

perjalanan. Wonder dapat didefinisikan sebagai respons emosional dan intelektual

yang terjadi ketika seorang penulis perjalanan dihadapkan dengan sesuatu yang

menentang pemahaman sementara, dan yang tidak dapat dengan mudah

berasimilasi ke dalam jaringan konseptual di mana penulis perjalanan biasanya

diorganisasi dalam pengalamannya (Thompson, 2011: 67).

Campuran antara kagum dan tercengang/heran yang terjadi kemudian akan

sering beroperasi pada tahap pra-rasional, bahkan tingkat somatik. Kondisi ini

seringkali membuat penulis tidak dapat menemukan kata-kata untuk

menyampaikan pengalaman mereka secara penuh. Wonder kemudian memicu

timbulnya sublime (Thompson, 2011: 67). Seperti halnya sublime, wonder

seringkali adalah sebuah keingintahuan, campuran dari kekaguman, ketertarikan,

dan ketakutan (Thompson, 2011: 67).

Page 25: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

25

1.5.4 Pernyataan Diri (Revealing Self) dan Perepresentasian “Yang Lain”

dalam Sastra Perjalanan

Sastra perjalanan menjadi penting karena memfasilitasi pertemuan dengan

orang yang berbeda dari diri sendiri dan menampilkan ‘ketegangan tertentu’ (atau

keseimbangan tertentu) antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati.

Semua tulisan perjalanan mengejar keterlibatan dengan perbedaan, dengan sesuatu

yang lain dari biasanya, pengalaman sehari-hari di rumah, dan mengatur

keterlibatan melalui kategori subjektivitas, ruang, dan waktu. Sastra perjalanan

ditulis oleh subjek yang mengamati tentang objek yang diamati, ditulis dalam

sudut pandang orang pertama yang melakukan perjalanan. Hal ini menghasilkan

subjek narator “aku” yang menggunakan semua indranya untuk menyerap dan

mengasimilasi data di sekitarnya.

Semua perjalanan dikonfrontasi dengan atau bernegosiasi dengan alteritas.

Semua perjalanan mengharuskan penulis untuk menegosiasikan interaksi

kompleks ini yang kadang-kadang mengganggu antara alteritas dan identitas,

antara perbedaan dan kesamaan (Thompson, 2011: 9). Jika semua perjalanan

melibatkan perjumpaan antara diri dan Yang Lain yang dibawa oleh pergerakan

melalui ruang, semua sastra perjalanan adalah catatan atau produk dari pertemuan

ini, dan dari negosiasi antara kesamaan dan perbedaan. Kadang-kadang

perjumpaan itu akan dijelaskan langsung dalam tulisan, yang akan menawarkan

narasi dari peristiwa yang terjadi. Dalam kasus lain, akan tersirat dalam tulisan

karena laporan itu bukan dari perjalanan yang sesungguhnya, tetapi hanya

Page 26: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

26

perspektif baru atau informasi yang diperoleh melalui perjalanan orang lain

(Thompson, 2011: 10).

Diri dan Yang Lain dalam penelitian ini berbeda dengan diri dan Yang Lain

dalam wacana kolonial. Dalam wacana kolonial, diri Eropa yang sebelumnya

berperan sebagai pengkaji, kini menjadi objek yang dikaji, sedangkan Yang Lain

non-Eropa yang sebelumnya menjadi objek yang dikaji, kini berperan sebagai

subjek pengkaji. Dengan sendirinya, dialektika diri dan Yang Lain berubah dari

dialektika Barat dan non-Barat menjadi dialektika non-Barat dan Barat.

1.5.4.1 Pernyataan Diri dalam Sastra Perjalanan

Sastra perjalanan tidak hanya tentang perjalanan literal, tetapi juga sebuah

perjalanan emosional dan psikologis penulisnya, atau lebih tepatnya, evolusi

emosional dan psikologis yang selalu mungkin ditafsirkan secara metaforis

sebagai sebuah perjalanan (Thompson, 2011: 96—97). Lebih lanjut, sastra

perjalanan bisa dilihat sebagai pengembangan batin yang memberikan bentuk dan

estetika untuk narasinya. Sastra perjalanan biasanya berbentuk autobiografi dan

sebuah genre yang biasanya mengeksplorasi dan menyediakan subjektivitas

narator-traveler guna menjelajahi dan menggambarkan dunia. Seperti yang

dipaparkan di awal, bagi Fussell, sastra perjalanan diklasifikasikan juga sebagai

sub-spesies memoar.

Sastra perjalanan, khususnya yang menggunakan bentuk orang pertama,

seringkali membagi sebuah fokus pada pemusatan diri, terkonsentarsi dengan

detail-detail empiris, dan sebuah pergerakan waktu dan tempat sebagai

percontohan sederhana (Hulme dan Youngs, 2002: 6). Dalam pada itu, sastra

Page 27: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

27

perjalanan berpotensi menjadi otobiografi. Kecenderungan ini menyebabkan

sastra perjalanan hampir seluruhnya tentang narator-traveller, bukan tempat yang

dikunjungi. Perjumpaan dengan dunia yang lebih luas menjadi hanya dalih atau

anjuran untuk introspeksi dan analisis diri. Narasi ini berusaha menjalin dalam

dan luar dunia, pencampuran yang seolah-olah faktual, deskripsi tujuan orang-

orang dan tempat-tempat yang dilalui penulis dengan lebih membuka catatan

subjektif tentang pemikiran dan perasaan penulis selama melakukan perjalanan

(Thompson, 2011: 98). Dalam hal ini, pola penggambaran dunia berimplikasi

pada diri yang bagaimana yang terungkap.

Penulis perjalanan dapat memosisikan diri di berbagai titik sepanjang

spektrum yang membentang dari, pada satu sisi, sebuah subjektivitas ekstrem

yang menyangkut dirinya sendiri terutama dengan medan batin pikiran dan

perasaan, memori dan imajinasi, dan di sisi lain, sebuah objektivitas ekstrem yang

berusaha untuk menyuguhkan fakta tentang dunia yang tampaknya sedikit atau

tidak ada mediasi naratorial (Thompson, 2011: 99). Artinya, sastra perjalanan

telah sering menjadi media di mana penulis dapat melakukan proyek otobiografi,

mengeksplorasi pernyataan-pernyataan dari identitas dan kedirian sementara

secara bersamaan menyajikan kepada pembaca sebuah self-authored dan laporan

seperti yang resmi dari diri mereka sendiri.

Meskipun demikian, menurut Thompson (2011: 99—100), sastra perjalanan

tidak perlu secara eksplisit diniatkan sebagai otobiografi, juga tidak harus

menunjukkan subjektivitas yang terang-terangan untuk mengungkapkan

kepribadian penulis. Bahkan, sastra perjalanan yang tampaknya modern, sangat

Page 28: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

28

impersonal, dan un-otobiografi kadang-kadang berfungsi sebagai model

penciptaan-diri, di mana penulis berusaha untuk memproyeksikan identitas atau

persona yang diinginkan oleh dunia yang lebih luas.

Melalui pembacaannya terhadap A Tramp Abroad karya Mark Twain,

Thompson berpendapat bahwa terdapat cara yang ditempuh penulis perjalanan

untuk menegaskan dirinya, yaitu mendeskripsikan pengalaman-pengalaman.

Dalam strategi ini, penulis tidak hanya melaporkan informasi yang dikumpulkan

selama perjalanannya, tetapi juga menyumbangkan pribadinya, pengalaman hidup

selama perjalanan itu. Penulis mengkreasikan ulang atau mendramatisasi tindakan

melihat pada apa yang dilihatnya sehingga pembaca berbagi pengalaman

dengannya (Thompson, 2011: 109). Penulis tidak hanya menyajikan informasi

tentang dunia yang lebih luas, tetapi juga mendramatisasi sesuatu dari interaksi

yang kompleks dan halus yang terjadi antara ‘diri’ dan ‘Yang Lain’,

penulis/traveler dan dunia, dalam perjalanan.

Sastra perjalanan mengartikulasikan dunia batin, pikiran, dan perasaan yang

bervariasi. Dalam banyak perjalanan, perhatian ke dalam dan ekspresi diri (self

expression) berikutnya tidak keluar jauh dari pernyataan sederhana dari apa yang

penulis pikir dan rasakan pada berbagai titik waktu (Thompson, 2011: 111).

Dalam beberapa perjalanan, maka, fungsi perjalanan sampai batas tertentu sebagai

perangkat narasi di mana seluruh kehidupan penulis dapat diajukan ke dalam

fokus tertentu. Dalam cara ini, sastra perjalanan tidak hanya menawarkan sejarah

diri yang lebih besar, tetapi juga diplot sebagai narasi kembang tumbuhnya

pengetahuan diri dan realisasi diri (Thompson, 2011: 114).

Page 29: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

29

Thompson setidaknya membagi jenis perjalanan menjadi dua bagian besar,

yaitu perjalanan turistik dan perjalanan eksploratif. Perjalanan yang pertama

adalah perjalanan yang terpetakan sehingga tingkat ketidakpastiannya rendah.

Sebaliknya, pada perjalanan yang kedua tingkat ketidakpastiannya cukup tinggi

karena perjalanan tersebut belum terpetakan. Jika dalam perjalanan pertama si

penjelajah biasanya menggunakan buku-buku panduan atau bantuan seorang

pemandu, pada perjalanan yang kedua si penjelajah tidak menggunakan atribut-

atribut tersebut.

Selain dua jenis perjalanan itu, Thompson juga menyajikan jenis perjalanan

lain, yaitu perjalanan ziarah (pilgrimage). Pada abad pertengahan, perjalanan

ziarah seringkali tunduk dan berfokus pada teks-teks keagamaan (Thompson,

2011: 38). Setelah abad pertengahan, cerita perjalanan ziarah dapat ditemui pada

Remark of Several parts of Italy (1705) karya Addison dan Discovery of the Large

(1596) karya Ralegh. Perjalanan ziarah menjadi berharga selama mengemban

spiritualitas, transformasi eksistensial dalam perjalanan. Ziarah biasanya

melibatkan peningkatan keyakinan/keimanan. Perjalanan ini dipenuhi dengan

ketidaknyamanan dan penderitaan atau rasa sakit (Thompson, 2011: 106).

Perjalanan ziarah dilakukan sebagai ritual penting sebagai proses realisasi diri

karena membawa pembaharuan atau penemuan kembali yang signifikan

(Thompson, 2011: 115).

Selanjutnya, diri yang terungkap di dalam cerita perjalanan cenderung

bervariasi sesuai dengan konteks sosial dan politik zamannya. Dalam hal ini,

Thompson membedakan subjektivitas/diri yang terungkap dalam sastra perjalanan

Page 30: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

30

Eropa sepanjang zaman. Pertama, diri Pencerahan (Enlightenment) yang

cenderung objektif. Secara umum, asumsi yang dibuat adalah bahwa diri

Pencerahan lebih memprioritaskan fakta dan penyelidikan empiris kedalam dunia

yang lebih luas. Dalam hal ini, mereka lebih berperan sebagai pengamat dan

sebagai diri atau subjektivitas Cartesian. Dalam pengamatannya, mereka terlepas

dari hal atau peristiwa yang diamati (Thompson, 2011: 117).

Kedua, diri Romantik yang cenderung subjektif. Sastra perjalanan ini

muncul sekitar akhir abad ke-18 dan menjadi penanda sebagai pergeseran radikal

dari abad pertengahan untuk nilai Romantik. Dengan pergeseran ini, diri romantik

mulai diartikulasikan. Diri Romantik, atau kadang-kadang disebut subjektivitas

romantik diasumsikan berbeda dalam berbagai cara dari diri Pencerahan dan

subjektivitas pencerahan yang mendahuluinya. Diri Romantik tidak hanya

mengamati, mereka juga bereaksi terhadap kejadian yang melingkupi mereka.

Mereka merekam reaksi-reaksi itu dan refleksinya terhadap hal yang diamati

tersebut dalam cerita perjalanannya. Dalam banyak kasus, diri Romantik

seringkali mencari situasi yang membangkitkan perasaan yang kuat dan sensasi

keindahan atau intensitas spiritual. Diri Romantik lebih terbuka dari diri

Pencerahan dalam mengubah pengalaman perjalanan dan orang-orang yang

mereka hadapi. Jadi, sementara diri Pencerahan menyajikan diri Cartesian yang

tidak mengalami perubahan dalam perjalanannya, diri Romantik tidak hanya

menyajikan catatan literal, tetapi juga sebuah perjalanan metaforis dari penemuan

dan pematangan diri (Thompson, 2011: 117).

Page 31: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

31

Meskipun terlihat sebagai dua kategori yang berbeda, antara diri Pencerahan

dan diri Romantik bukanlah dua kategori yang benar-benar berseberangan.

Menurut Thompson (2011: 118), subjektivisme yang longgar berlabel ‘Romantik’

muncul dalam berbagai bentuk yang pada gilirannya menimbulkan berbagai

tingkat keasyikan dengan diri sendiri. Banyak penulis perjalanan pada akhir abad

ke-18 dan seterusnya menyuguhkan pikiran dan perasaan personal ke dalam cerita

perjalanannya, tetapi tidak semua dari mereka menggambarkan dirinya secara

signifikan diubah oleh pengalamannya. Dalam banyak kasus, mereka juga tetapi

menyuguhkan informasi empiris tentang dunia yang lebih luas. Sebaliknya, dari

abad 18 akhir dan seterusnya banyak traveler yang menggunakan cara yang lebih

personal, gaya subjektif, sekaligus tetap berkomitmen dalam proyek Pencerahan

untuk mengumpulkan data dan pengamatan empiris.

Ketiga, diri Posmodern yang cenderung melampaui keberadaan subjek

dengan menempatkannya sebagai bagian dari dunia dan sekaligus menjadi subjek

yang lentur dan terus berubah. Dalam diri posmodern ini, perbedaan antara diri

dengan Yang Lain pun menjadi kabur dan tumpang-tindih.

1.5.4.2 Merepresentasikan “Yang Lain” dalam Sastra Perjalanan

‘Other/Yang Lain/Liyan’ adalah setiap orang yang terpisah dari diri

(Ashcroft dkk., 1998: 169). Dalam wacana kolonial, subjek terjajah ditandai

sebagai ‘Yang Lain’ melalui wacana seperti primitivisme dan kanibalisme,

sebagai sarana untuk mengukuhkan pemisahan biner antara penjajah dan terjajah

dan menegaskan kealamiahan dan keunggulan pandangan dunia dan kebudayaan

Page 32: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

32

kolonial/penjajah.6 Ambivalensi wacana kolonial terletak pada fakta bahwa kedua

proses dari ‘othering’ terjadi pada waktu yang bersamaan, subjek kolonial

menjadi ‘anak’ yang baik dari imperial yang hina dan primitif serta terdegradasi

subjek wacana imperial (Ashcroft, 1998: 171).

Adapun othering/meliyankan/me-lain-kan adalah istilah yang diciptakan

oleh Gayatri Spivak untuk proses ketika wacana imperial menciptakan “liyan-

liyan”. Yang Lain berhubungan dengan fokus hasrat atau kekuasaan (M-Other

atau Father-atau Empire) dalam kaitannya dengan subjek yang diproduksi, Yang

Lain adalah subjek yang dikuasai atau dinafikan oleh wacana kekuasaan. Othering

menggambarkan berbagai cara di mana wacana kolonial memproduksi subjeknya.

Dalam penjelasan Spivak itu, othering adalah proses yang dialektis karena Yang

Lain yang menjajah pada saat yang sama ditetapkan sebagai Yang Lain yang

terjajah yang diproduksi sebagai subjek (Ashcroft, 1998: 171). Proses othering ini

dapat terjadi pada semua jenis narasi kolonial (Ashcroft, 1998: 171).

Dalam sastra perjalanan, othering menunjukkan proses ketika anggota suatu

budaya mengidentifikasi dan menyoroti perbedaan antara mereka dan anggota

budaya lain. Secara khusus, othering diartikan sebagai proses dan strategi ketika

suatu budaya menggambarkan budaya lain yang tidak hanya berbeda, tetapi juga

lebih rendah daripada dirinya sendiri (Thompson, 2011: 132—133). Semua sastra

perjalanan dapat dibilang terlibat dalam tindakan othering dalam artian yang

6Definisi other/liyan yang digunakan dalam teori pasca-kolonial berakar pada analisis

pembentukan subjektivitas Freudian dan pasca-Freudian, terutama dalam karya psikoanalisis dan

teoretikus kebudayaan Jaques Lacan. Penggunaan Lacan dalam istilah ini melibatkan perbedaan

antara ‘Other’ (dengan O besar) dan ‘other’ (dengan o kecil), yang dapat menyebabkan beberapa

kebingungan, tetapi merupakan perbedaan yang sangat berguna dalam teori poskolonial (Ashcroft,

1998: 169—170).

Page 33: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

33

pertama karena setiap tulisan perjalanan didasarkan pada asumsi bahwa ia

membawa berita dari orang dan tempat-tempat asing dan untuk pembaca yang

‘lain’ (Thompson, 2011: 133).

Penggambaran orang dan tempat lain yang dilakukan oleh penulis

perjalanan sering termotivasi secara ideologis, pada tingkat tertentu untuk

membenarkan dan mendorong suatu kebijakan tertentu atau tindakan terhadap

orang lain. Dimensi ideologis sastra perjalanan dan tujuan retoris yang lebih besar

dilayani oleh kecenderungan yang sering digambarkan oleh penulis tentang

kelompok dan budaya lain dengan cara yang bermusuhan dan merendahkan

(Thompson, 2011: 134). Motif dibalik penggambaran yang merendahkan atau

mendukung budaya lain mungkin bervariasi. Seringkali motif ini akan sadar dan

ditentukan, bergerak dari campuran emosi yang kompleks, seperti rasa takut, iri

hati, jijik, ketidakpahaman dan bahkan kadang-kadang hasrat terhadap budaya lain

yang ingin penulis tekan dan sangkal. Dalam proses othering itu, para penulis

sangat sering merendahkan the other/Yang Lain dalam tulisan perjalanan guna

membenarkan kepentingannya. Mereka melegitimasi perilaku pribadi penulis

terhadap orang-orang yang ditemui (Thompson, 2011: 133—134). Karena sastra

perjalanan menggambarkan suatu kontak lintas budaya, mereka sering

mengungkapkan apa yang disebutnya sebagai ‘geografi imajinatif’ yang

beroperasi tidak hanya dalam pikiran masing-masing penulis perjalanan, tetapi

juga dalam budayanya yang lebih umum (Thompson, 2011: 135—136).

Selanjutnya, menurut Thompson, terdapat tiga strategi dalam

merepresentasikan Yang Lain (strategy of othering) dalam sastra perjalanan.

Page 34: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

34

Pertama, strategi kolonial yang secara dominan digunakan pada era kolonial.

Sastra perjalanan ini seringkali menampung wacana-wacana kolonial yang

menempatkan Yang Lain dalam posisi yang tidak menguntungkan. Thompson

(2011: 137) melihatnya dalam kasus Through the Dark Continent (1878) karya

Henry Morton Stanley. Stanley menghadirkan dirinya sebagai sosok pahlawan

sehingga menerbitkan fantasi dan ambisi orang-orang muda untuk melakukan

petualangan. Stanley menghadirkan subjek kolonial dengan cara yang ekstrem:

jahat, kanibal, dan kotor. Hal itu adalah strategi retoris dan mode representasi

yang sengaja digunakan oleh Stanley. Strategi kolonial ini memberikan tekanan

pada perbedaan antara diri dan Yang Lain sekaligus membangun hierarki antara

keduanya.

Dalam Foucaldian/Saidian istilah tersebut sering membentuk secara

signifikan tidak hanya gambaran dan representasi dari budaya lain, tetapi bahkan

persepsi penulis sebagai usaha mereka keluar dari dunia (Thompson, 2011: 141).

Subjek kolonial yang digambarkan dengan cara merendahkan adalah kombinasi

dari stereotipe dan atau mode representasi karakteristik wacana kolonial.

Kedua, meskipun terdapat kecenderungan mengarah pada visi kosmopolitan

yang merayakan perbedaan budaya, sastra perjalanan masih terjebak pada agenda

kolonialisme. Masih terdapat usaha para penulis perjalanan untuk “menghibur”

pembaca Barat dengan cerita-cerita perjalanan mereka. Sastra perjalanan adalah

genre yang masih terjerat dalam dan berkontribusi pada jaringan kekuasaan neo-

kolonial di mana Barat mempertahankan dominasi global saat ini (Thompson,

2011: 155). Oleh karena itu, strategi yang kedua ini disebut dengan strategi neo-

Page 35: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

35

kolonialisme. Gambaran Yang Lain dimunculkan kembali dalam bentuk yang

lebih “halus”, yang dilihat Thompson dalam kasus sastra perjalanan French

Lessons in Africa (1993) karya Peter Bidllecombe. Bagi Thompson, tulisan

perjalanan Bidlecombe terlalu meromantisasi daerah dan budaya lain. Yang Lain

dianggap tidak menghuni periode waktu tertentu sebagai penjelajah dan budaya

mereka serta sebagai kelangsungan hidup yang anakronistik dari periode

sebelumnya, era yang lebih biadab (Thompson, 2011: 158). Jadi, banyak sastra

perjalanan yang masih secara implisit maupun eksplisit menempatkan Barat pada

garda depan kemajuan dan modernitas. Implikasi lebih lanjut dari hal itu adalah

hanya Barat yang memiliki keahlian dan visi moral untuk mengelola urusan

global.

Ketiga, strategi poskolonial. Strategi ini biasanya terdapat dalam sastra

perjalanan yang ditulis oleh penulis-penulis yang berasal dari negeri jajahan atau

imigrannya. Menurut Thompson (2011: 164), cerita perjalanan ini secara tegas

berusaha untuk menantang stereotipe dan sikap Barat. Sebagai contoh, Jamaica

Kincaid dan Caryl Philips menghasilkan cerita perjalanan yang disebuat

‘countertravel writing’ yang berusaha dengan berbagai cara untuk membalikkan

fokus dan agenda Barat (Thompson, 2011: 164). Cerita perjalanan ini cenderung

melakukan perlawanan terhadap strategi pertama dan kedua dengan cara

menunjukkan kenyataan-kenyataan yang berkebalikan dengan asumsi-asumsi

kolonial mengenai negeri jajahan, kenyataan-kenyataan yang selama ini mereka

abaikan. Strategi ketiga ini juga dilakukan dengan menunjukkan bahwa

masyarakat dan kebudayaan penjajah sebenarnya sama terbelakangnya dengan

Page 36: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

36

masyarakat dan kebudayaan terjajah seperti yang biasa dicitrakan oleh cerita-

cerita perjalanan kolonial (Thompson, 2011: 164).

1.5.5 Strategi Meraih Kepercayaan Pembaca (Epistemological Decorum)

dalam Sastra Perjalanan

Menurut Thompson (2011: 63), sastra perjalanan harus mendasari diri pada

kenyataan tempat dan budaya yang penulis gambarkan sehingga perjalanannya

bukan hanya sebuah fiksi atau cerita palsu. Keseimbangan antara fakta dan fiksi

ini menjadikan pembaca bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan

dengan validitas pengetahuan yang ditawarkan oleh tulisan perjalanan. Penulis

seringkali berhadapan dengan “keyakinan” pembaca terhadap informasi yang

dimunculkan. Untuk itu, terdapat berbagai strategi yang digunakan oleh penulis

guna menghindari kekhawatiran pembaca terhadap validitas tulisan yang

dibacanya. Thompson kemudian memaparkan berbagai strategi yang dapat

digunakan untuk meraih kepercayaan dan meminimalisasi efek distorsi yang

dirangkum dalam apa yang disebut Steven Shapin sebagai epistemological

decorum.

Pertama, otoritas yang kuat yang mengacu pada karya-karya kanon. Strategi

ini biasa digunakan pada cerita perjalanan abad pertengahan. Pada masa itu, cerita

perjalanan dinilai dalam kaitannya dengan penggambaran dunia yang sudah

disediakan oleh cerita-cerita kanon, misalnya Alkitab, tulisan-tulisan dari Bapa

gereja, karya-karya filsuf klasik, ahli geografi, dan sejarawan. Keakuratan cerita

perjalanan pada masa itu bergatung pada kesesuaiannya pada karya-karya kanon

tersebut (Thompson, 2011: 72—73).

Page 37: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

37

Kedua, strategi empiris, yaitu dengan menggunaakan sudut pandang orang

pertama. Strategi ini digunakan karena melayani fungsi retoris yang menandai

teks sebagai pernyataan dari seseorang yang benar-benar hadir pada saat kejadian

dijelaskan. Frasa “saya mengunjungi” dan “saya melihat” menandai pernyataan

dari orang yang benar-benar hadir pada saat kejadian itu berlangsung. Dalam hal

ini, persoalan saksi mata (eyewitness) menjadi penting. Hal tersebut menjadi

sarana kunci untuk menyatakan akurasi dan pentingnya catatan mereka

(Thompson, 2011: 73).

Ketiga, strategi objektif pengungkapan detail dan netralitas penulis. Startegi

ini digunakan untuk menunjukkan bahwa cerita perjalanan yang disampaikan

adalah faktual dan otentik. Selain itu, strategi ini bertujuan untuk menunjukkan

bahwa sastra perjalanan yang dapat dipercaya adalah yang menampilkan dirinya

secara langsung, tanpa perantara transkripsi dari penjelajah asli suatu sastra

perjalanan yang lain (Thompson, 2011: 78). Hal tersebut dapat dicapai dengan

melampirkan foto atau gambar dalam cerita perjalanan tersebut. Di samping itu,

untuk meyakinkan pembaca bahwa penulis adalah orang yang objektif, penulis

menampilkan bahwa dirinya netral dalam mengungkapkan sesuatu.

Keempat, penulis menggunakan prinsip attachment untuk melampirkan

entitas yang tidak diketahui (oleh pembaca) dengan titik referensi yang diketahui,

dengan kerangka makna dan pemahaman yang akrab. Prinsip attachment ini dapat

beroperasi dalam berbagai cara yang berbeda. Tingkat yang paling mendasar

adalah penggunaan majas, di antaranya adalah penggunaan simile. Melalui

penggunaan simile, penulis perjalanan dapat membuat titik perbandingan yang

Page 38: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

38

membingkai sesuatu dari budaya asing yang belum diketahui dalam fenomena

yang sudah diketahui (Thompson, 2011: 68). Selain simile, terdapat juga

penggunaan synecdoche guna memberikan rincian yang mendalam mengenai

suatu fenomena. Penulis perjalanan hanya memiliki sudut pandang parsial pada

peristiwa yang mereka saksikan. Synecdoche muncul saat pengarang membuat

suatu generalisasi dari pengalaman mereka sendiri untuk menarik kesimpulan atau

melakukan pengamatan yang lebih besar tentang tempat atau budaya asing.

Dengan synecdoche, penulis perjalanan harus mengambil sebagian sebagai simbol

dari keseluruhan yang lebih besar. Hal ini disebabkan tidak ada penulis perjalanan

yang dapat menyurvei setiap inci dari sebuah lingkungan baru atau menjadi akrab

dengan setiap anggota dan setiap nuansa dari budaya asing. Hal ini membuat

pengamatan yang dibuat dan kesimpulan yang dicapai menjadi subjektif, yang

mencerminkan diri, selera, minat, dan sikap mereka sendiri (Thompson, 2011:

71—72).

Kelima, plausibilitas-probabilitas, yaitu hanya menampilkan peristiwa atau

fenomena yang berada dalam batas-batas kewajaran untuk mengesankan bahwa

cerita bukanlah sekadar romantisme (Thompson, 2011: 80).

1.4.6 Agenda dalam Sastra Perjalanan

Menurut Thompson (2011: 7), implikasi etis dan politis merupakan agenda

fundamental dalam sastra perjalanan yang ditawarkan oleh gambaran dan

representasi terhadap orang-orang dan budaya lain. Dengan kata lain, gambaran

yang diberikan oleh penulis—baik terhadap orang-orang maupun budaya lain—

Page 39: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

39

bukan sekadar informasi yang tidak bertujuan. Gambaran tersebut memiliki

implikasi etis maupun politis.

Bukan hanya pada apa yang digambarkan, agenda juga terkait dengan

bagaimana penulis menggambarkannya. Unsur personal atau subjektif dalam

sastra perjalanan adalah pemahaman bahwa sastra perjalanan bukan hanya untuk

kepentingan fungsional atau praktis. Unsur subjektif tersebut memperlihatkan

minat yang tinggi terhadap alam atau budaya yang diamati oleh penulis. selain itu,

masing-masing jenis sastra perjalanan akan memperlihatkan unsur yang berbeda.

Misalnya, perjalanan yang terkait dengan ziarah akan memuat pesan-pesan

dakwah atau spiritual.

Selanjutnya, menurut Thompson (2011: 27), masing-masing genre sastra

perjalanan, pada setiap saat perkembangannya memiliki sejarahnya sendiri,

konvensi retoris sendiri, dan perannya sendiri dalam budaya yang lebih besar.

Pada era Kristen, sastra perjalanan yang memperlihatkan minat yang berlebihan

dalam hal sekuler berpotensi diklasifikasikan sebagai sin of curiositas. Sementara

itu, Colombus memperlihatkan tekanan pada aspek saksi mata guna membangun

fakta melalui penyelidikan secara empiris. Cara tersebut lebih ditekankan daripada

membangun fakta melalui referensi penulis besar di masa lalu. Francis Bacon

menekankan bahwa pendekatan empiris saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga

metode induktif, yaitu menekankan perlunya pengumpulan fakta-fakta tentang

dunia sebelum upaya untuk menyimpulkan hukum yang mendasari fenomena

alam.

Page 40: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

40

Agenda dalam sastra perjalanan juga dapat dilihat dalam Imperial Eyes

(1992) karya Marie Louise Pratt. Dalam Imperial Eyes, Pratt membaca sederet

catatan perjalanan dan eksplorasi orang Eropa yang berkelana di tanah-tanah

jajahan atau yang akan dan telah dijajah, di benua Afrika dan Amerika, dalam

berbagai bahasa. Subyek utama Imperial Eyes adalah sastra perjalanan dan

eksplorasi orang-orang Eropa, yang dianalisis dalam hubungannya dengan

ekspansi ekonomi dan politik Eropa sejak sekitar 1750. Teks-teks ini, menurut

Pratt, adalah bagian dari sejarah sastra Eropa, sebab mereka sangat berpengaruh

membentuk cara berpikir orang Eropa mengenai non-Eropa. Adapun yang

menjadi tema utama buku ini adalah bagaimana buku-buku perjalanan yang ditulis

orang Eropa mengenai non-Eropa menciptakan sebuah “subjek domestik” bangsa

Eropa, baik di masa lalu maupun sekarang. Bagaimana teks-teks itu melibatkan

publik pembaca metropolitan di Eropa, dengan (atau tanpa) ekspedisi

ekspansionis, yang keuntungannya diraup oleh segelintir pihak.

Pertengahan abad ke-18 menjadi titik berangkat dari Imperial Eyes, masa

ketika Eropa Utara mengalami dua proses penting yang saling berkaitan:

mencuatnya ‘sejarah alam’ sebagai struktur pengetahuan terpisah dan momentum

ketika kolonialisasi mulai melakukan eksplorasi ke pedalaman setelah hanya

berkutat di wilayah pesisir. Perkembangan ini terjadi bersamaan dengan berbagai

proses penting lain yang terjadi di Eropa seperti konsolidasi bentuk-bentuk

subjektivitas dan kekuasaan kaum borjuis, bermulanya fase baru kapitalisme yang

didorong oleh pencarian bahan baku, upaya meluaskan perdagangan dari pesisir

ke pedalaman, dan kecenderungan bangsa-bangsa Eropa untuk meluaskan teritori

Page 41: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

41

jajahan demi mencegah agar tidak didahuli kekuatan-kekuatan musuh Eropa lain

(Pratt, 2007: 8). Daftar panjang “produksi alam” yang mengisi banyak narasi

eksplorasi pada abad ke-18 dan 19 merupakan inventarisasi. Tujuan representasi

ini berkontribusi secara komersial dan agenda kolonial yang didukung oleh

banyak ekplorasi Eropa pada abad ini (Thompson, 2011: 84—85).

1.5 Hipotesis dan Variabel

Hipotesis pada dasarnya adalah sebuah kesimpulan atau jawaban sementara

yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian

(Faruk, 2012: 21). Berdasarkan teori yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini

mengasumsikan bahwa 99 CdLE masih memperlihatkan kecenderungan

subjektivitas dalam penggambaran dunia, perbedaan dan hierarki yang halus

dalam strategi pelainannya, dan diri neo-kolonial dalam penyingkapan

subjektivitasnya.

Di samping itu, cerita tersebut juga memperlihatkan kecenderungan

objektivitas dalam penggambaran dunia, persamaan dalam strategi pelainannya,

dan diri poskolonial yang resisten dalam pengungkapan subjektivitasnya.

Kecenderungan tersebut dapat bervariasi sesuai dengan perbedaan latar belakang

nasional atau lokal. Variasi itu merentang dari kutub subjektivitas ke objektivitas,

kesamaan dan perbedaan, dan kolonial ke poskolonial dalam penyingkapan diri.

Selain itu, perjalanan yang dilakukan dalam novel ini bukan perjalanan yang tak

bertujuan, tetapi perjalanan yang memiliki agenda, baik yang tampak maupun

yang tersembunyi.

Page 42: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

42

Berdasarkan hipotesis tersebut, ditemukan dua variabel dasar dari penelitian

ini, yaitu variabel dasar subjektivitas-objektivitas, persamaan-perbedaan, dan

kolonial-poskolonial yang berhadapan dengan variabel latar belakang dan agenda

sosial dalam skala lokal maupun nasional. Variabel yang kedua merupakan

variabel independen yang memengaruhi variabel pertama sebagai variabel

dependennya.

1.6 Metode Penelitian

Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik diperlukan

data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis

sehingga ditemukan hubungan antardata yang dianggap merepresentasikan

hubungan antarfakta sebagaimana yang dinyatakan di dalam teori dan hipotesis

(Faruk, 2012: 22). Selanjutnya, menurut Faruk (2012: 23), metode penelitian

dibagi menjadi dua, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data.

Metode dan teknik pengumpulan data pada dasarnya adalah seperangkat cara atau

teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya

adalah untuk mengumpulkan fakta-fakta empiris yang terkait dengan masalah

penelitian (Faruk, 2012: 24—25). Data dalam penelitian ini berupa pernyataan-

pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari sesuatu atau gejala, atau

pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang

lain.

Dalam penelitian ini, data-data untuk variabel pertama bersumber dari novel

kajian, yaitu 99 CdLE. Fakta-fakta empiris yang ada berkaitan dengan bagaimana

gambaran/deskripsi penulis tentang dunia, strategi pelainan, dan diri yang

Page 43: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

43

diungkap. Masing-masing dari satuan-satuan kenyataan tekstual itu akan

dikelompokkan menjadi dua, yaitu gambaran subjektif dan objektif, strategi

perbedaan dan kesamaan, kesetaraan dan hierarki, dan diri kolonial, neo-kolonial,

dan poskolonial. Data variabel kedua bersumber pada teks-teks eksternal, baik

berupa teks-teks sosiologis, kebudayaan, maupun historis.

Adapun metode analisis data diartikan sebagai seperangkat cara sebagai

hasil perpanjangan dari pemikiran manusia guna mengetahui hubungan antardata

yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk,

2012: 25). Dengan demikian, analisis data dilakukan untuk menemukan hubungan

antara variabel yang pertama dengan variabel yang kedua. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis dengan mendasarkan diri

pada dokumen-dokumen historis yang menyatakan adanya hubungan empirik

antara keduanya. Selain itu juga digunakan metode perbandingan dengan

membandingkan data-data yang ada dengan dokumen pembanding tertentu. Di

samping itu, digunakan juga metode inferensi logis seperti deduksi, induksi, dan

silogisme.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Hasil penelitian ini akan dipaparkan dengan sistematika sebagai berikut.

Bab pertama berisi pengantar yang terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan

masalah, tujuan, tinjauan pustaka, landasan teori, variabel dan hipotesis, metode

penelitian, serta sistematika laporan penelitian. Bab kedua berisi paparan

mengenai pola penggambaran dunia. Bab ketiga berisi paparan mengenai pola

pernyataan diri penulis. Bab keempat berisi paparan mengenai perepresentasian

Page 44: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88198/potongan/S2-2015... · Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit

44

terhadap Yang Lain. Bab kelima berisi strategi yang digunakan oleh peulis utuk

meraih kepercayaan pembaca. Bab keenam berisi agenda. Bab ketujuh berisi

kesimpulan.