BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfpeningkatan penerimaan devisa negara dari industri...

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pariwisata bagi banyak negara berkembang dijadikan sebagai lokomotif pembangunan ekonomi, dan para ahli menobatkan industri tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan (De Kadt, 1979). Sektor ini dikategorikan sebagai industri terbesar di dunia dan dianggap sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya serta memberi kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sharpley, 2002). Indonesia mengatur pembangunan kepariwisataan melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 2009, yang didalamnya mengandung ketegasan bahwa sektor pariwisata menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang mesti dilakukan secara terstruktur, sistematis, terpadu, bertanggung jawab, serta menekankan pada prinsip-prinsip sustainability dengan tidak mengabaikan nilai- nilai agama, kondisi sosial budaya, kelestarian lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Penegasan tersebut menunjukkan pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya wisata (tourism resources) yang ada agar kepariwisataan di Indonesia dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfpeningkatan penerimaan devisa negara dari industri...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pariwisata bagi banyak negara berkembang dijadikan sebagai

lokomotif pembangunan ekonomi, dan para ahli menobatkan industri tanpa asap

(smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan (De Kadt, 1979).

Sektor ini dikategorikan sebagai industri terbesar di dunia dan dianggap sebagai

sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat

signifikan di bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya serta memberi

kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan

kesejahteraannya (Sharpley, 2002).

Indonesia mengatur pembangunan kepariwisataan melalui Undang-undang

Nomor 10 tahun 2009, yang didalamnya mengandung ketegasan bahwa sektor

pariwisata menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang

mesti dilakukan secara terstruktur, sistematis, terpadu, bertanggung jawab, serta

menekankan pada prinsip-prinsip sustainability dengan tidak mengabaikan nilai-

nilai agama, kondisi sosial budaya, kelestarian lingkungan hidup, serta

kepentingan nasional. Penegasan tersebut menunjukkan pentingnya perencanaan

dan pengelolaan sumberdaya wisata (tourism resources) yang ada agar

kepariwisataan di Indonesia dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal

kepada masyarakat.

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)

mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang

2

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa menghilangkan

kesempatan dan peluang generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan

dan kesejahteraan mereka (WCED, 1987). Ide tentang pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) yang digagas World Commission on

Environment and Development (WCED) tersebut berakar dari konsep yang

berusaha mengintegrasikan kepentingan ekonomi dengan ekologi.

“......bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan proses

integrasi ekonomi dan ekologi melalui upaya perumusan paradigma

dan arah kebijakan yang bertumpu pada kemitraan dan partisipasi

para pelaku pembangunan dalam mengelola sumber daya seoptimal

mungkin (Baiquni, M dan Susilawardani, 2002).

Konsepsi pembangunan berkelanjutan diadopsi oleh bidang pariwisata dan

selanjutnya didefinisikan sebagai “pembangunan pariwisata yang dilaksanakan

guna memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat setempat pada saat ini

dengan memelihara dan mengembangkan peluang-peluang untuk pembangunan di

masa mendatang”. Hal tersebut dilakukan dengan mengelola semua sumberdaya

yang ada dengan berbagai cara, sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika

dapat terpenuhi, dengan tetap terpeliharanya integritas budaya, proses-proses

ekologi esential, keragaman biologi dan sistem pendukung kehidupan (UN-WTO,

2004). Upaya untuk menemukan keterkaitan antara pariwisata dengan

pembangunan berkelanjutan dikemukakan Sharpley (2009) yang menyatakan

bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang

terfokus pada dua hal, di satu sisi keberlanjutan sebagai aktivitas ekonomi, dan

sisi lainnya merupakan sebuah kebijakan yang berorientasi pada tujuan-tujuan

jangka panjang dan antar generasi.

3

Pembangunan pariwisata membawa dampak yang sangat luas terhadap

berbagai aspek kehidupan, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan

hidup. Di bidang ekonomi peranan pariwisata dapat diindikasikan diantaranya

oleh besarnya penerimaan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Secara

nasional dalam beberapa kurun waktu terakhir, kontribusi pariwisata terhadap

penerimaan devisa negara (Indonesia) menunjukkan tren yang meningkat. Tahun

2006 jumlah devisa yang disumbangkan industri pariwisata terhadap

perekonomian nasional US$ 4.447,97 juta. Kemudian meningkat terus (kecuali

tahun 2009) menjadi US$ 7.603,45 juta pada tahun 2010. Apabila data

penerimaan devisa tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2010, maka terjadi

peningkatan penerimaan devisa negara dari industri pariwisata sebesar 70,94

persen. Dilihat dari rangking penerimaan devisa, industri pariwisata menempati

posisi ke lima setelah minyak & gas bumi, batu bara, minyak kelapa sawit dan

karet olahan dengan nilai ekspor sebesar US$ 8.554,40 juta pada tahun 2011

(budpar.go.id, tahun 2011). Penerimaan devisa pariwisata pada tahun 2012

diperkirakan mencapai US$ 9,1 miliar, atau naik 5,81 persen dibanding

penerimaan devisa tahun 2011, (http://bps.go.id/brs_file/pariwisata_01feb13.pdf).

Badan Pusat Statistik juga melaporkan selama periode Januari hingga Desember

2013, jumlah devisa yang dihasilkan sektor pariwisata US$ 10,1 miliar dan

meningkat menjadi US$ 10,69 miliar selama tahun 2014

(http://www.neraca.co.id/article/37961/Devisa-Pariwisata-Capai-US101Miliar).

Jumlah tenaga kerja yang mampu diserap sektor pariwisata secara nasional

juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2006 sebesar 4,65

4

persen dari 95,46 juta orang tenaga kerja yang terserap di seluruh Indonesia

bekerja di sektor pariwisata. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan,

sampai dengan tahun 2011 sebanyak 8,53 juta orang (7,75 persen) dari 109,95

juta tenaga kerja telah mampu terserap di sektor pariwisata, dengan rata-rata

pertumbuhan 11,32 persen per tahun selama kurun waktu 2006 – 2011

(budpar.co.id).

Kunjungan wisatawan international ke Bali juga menunjukkan tren yang

meningkat dengan sumbangan devisa sebesar US$ 4 miliar tahun 2012 atau 44

persen dari jumlah devisa yang disumbangkan sektor pariwisata secara nasional

dalam tahun yang sama. Selain dari sisi penerimaan devisa, peranan pariwisata

Bali dalam perekonomian dapat dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB.

Walaupun dalam statistik dan PDRB Bali tidak secara eksplisit tercatat

sumbangan sektor pariwisata, namun meningkatnya kontribusi sektor

perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Bali secara gamblang

menggambarkan peranan sektor (yang terkait dengan) pariwisata. Sejak tahun

1969 sampai dengan tahun 2000, peranan ke tiga sektor tersebut terus meningkat

dalam kontribusinya terhadap PDRB Bali, yakni 9.25 persen (1969), meningkat

menjadi 13.90 persen (1983) dan menjadi 33.19 persen pada tahun 2000 (Pitana,

2003), bahkan tahun 2010 sumbangan sektor yang terkait dengan pariwisata

tersebut sudah mencapai angka 46,16 persen (budpar.co.id, 2011).

Pembangunan pariwisata membutuhkan beragam sumberdaya wisata

untuk keberhasilannya, salah satu komponen utama sumberdaya tersebut adalah

destinasi, yakni panggung pertunjukan seluruh sumberdaya wisata yang akan

5

memberikan nilai akhir bagi kepuasan berwisata. Profesionalisme pengelolaan

destinasi pariwisata akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggul-

an dan daya tarik destinasi tersebut bagi wisatawan; b) manfaatnya secara ekologi,

ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya saingnya di

antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik & Teguh, 2012).

Sejumlah alasan penting diungkapkan oleh Damanik & Teguh kenapa prinsip-

prinsip keberlanjutan (sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan

destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama tajamnya kompetisi

destinasi di tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan

ketimpangan perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga

rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara

tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional dalam

kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi tersebut memiliki

daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic, Kenjic, & Zrnic, 2010).

Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat ditentukan

oleh pandangan ke depan dari kebijakan (forward-looking policies) dan philosopi

manajemen yang dianut, yang mampu membangun hubungan harmonis antara

masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan pemerintah. Keharmonisan hubungan

tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan

manfaat ekonomi yang selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya,

dan lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat

meningkat kualitasnya (Edgell, Allen, Smith, & Swanson, 2008). Pertanyaannya

adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut berkelanjutan secara

6

ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan masyarakat lokal, sementara dalam

waktu yang bersamaan pembangunan tersebut sangat peka terhadap isu-isu

lingkungan, budaya dan sosial? Jawaban singkatnya adalah sangat mungkin,

karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi alam dan

lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap keberlanjutan

masyarakat lokal. Lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan

pembangunan destinasi pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata

berkelanjutan (Edgell S. L., 2006), yakni: (1) memanfaatkan secara optimum

sumberdaya lingkungan, memelihara proses-proses ekologi essential, dan

melakukan konservasi terhadap natural heritage dan keragaman biologi;

(2) menghargai keaslian nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan

konservasi terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai

tradisional, berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling

menghargai; dan (3) memastikan dalam jangka panjang akan memberikan

manfaat sosial ekonomi kepada semua pemangku kepentingan dengan distribusi

yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan kesempatan memperoleh

penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya pengentasan kemiskinan.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari seluruh

stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk memastikan adanya

partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan ber-

kelanjutan merupakan proses yang terus menerus dan membutuhkan monitoring

yang tidak pernah berhenti terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya.

7

Berdasarkan perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik

produk wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan

implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya

manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu

sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan pengelolaan destinasi

dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi asset, dan sumberdaya

wisata dari penurunan mutu dan manfaatnya bagi pengelola, masyarakat lokal,

maupun wisatawan; kedua meningkatkan daya saing destinasi pariwisata melalui

tawaran pengalaman berwisata yang berkualitas kepada wisatawan. Semakin

tinggi kualitas pengalaman yang dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula

potensi daya saing destinasi tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi

faktor kunci yang menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut,

karena jumlah wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga

memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal, pemerintah,

dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment, 2003).

Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi

pariwisata yang dilakukan secara professional, (European Communities, 2003;

Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik & Teguh, 2012) antara lain: (1) me-

ningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya kualitas

pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing destinasi, sehingga

dapat menarik investor lebih banyak untuk menanamkan modalnya; (3) jaminan

atas keberlanjutan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-

ciptanya kemitraan yang semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan

8

(5) perbaikan serta inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi

pariwisata.

Masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholder, menjadi aktor utama dan

kunci sukses pengelolaan maupun pembangunan destinasi pariwisata melalui

partisipasi mereka yang merupakan ciri penting dari model pembangunan

pariwisata berbasis masyarakat (CBT = Community Based Tourism). Garrod

(2003) yang melihat CBT sebagai bentuk perencanaan partisipatif, keberhasilan-

nya akan ditentukan oleh beberapa hal, antara lain: (1) adanya kepemimpinan

yang efektif; (2) adanya pemberdayaan masyarakat lokal; (3) terjadi keterkaitan

antara keuntungan ekonomi dengan konservasi; (4) keterlibatan stakeholder lokal

dalam setiap tahapan proyek; dan (5) adanya partisipasi masyarakat lokal dalam

monitoring dan evaluasi proyek. Yaman & Mohd (2004) menambahkan beberapa

aspek kunci pada pembangunan pariwisata dengan pendekatan CBT yaitu:

pertama, adanya dukungan pemerintah; kedua, partisipasi dari stakeholder;

ketiga, pembagian keuntungan yang adil; keempat, penggunaan sumber daya lokal

secara berkesinambungan; kelima, penguatan institusi lokal; dan keenam,

keterkaitan antara level regional dan nasional.

Partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan kepariwisataan dapat

dilihat dari dua perspektif yaitu partisipasi dalam proses pengambilan keputusan

(decesion making prosess) dan partisipasi yang berkaitan dengan manfaat yang

diterima masyarakat (perceived benefit) dari adanya pembangunan kepariwisataan

di wilayahnya (Timothy, 1999). Partisipasi tersebut dapat diwujudkan dalam

bentuk kesanggupan untuk mengikuti kegiatan; memberikan sumbangan

9

pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, maupun berbagai bentuk materi; serta ikut

menikmati hasil pembangunan tersebut. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan

secara perorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam suatu

proses pembangunan dimana masyarakat terlibat mulai dari tahap perumusan

kebijakan, pengambilan keputusan, penerapan keputusan, penyusunan program,

perencanaan dan pembangunan, dan evaluasi kegiatan. Selain terlibat dalam

proses pengambilan keputusan tersebut, masyarakat yang berpartisipasi mesti ikut

dalam kepemilikan (sharing benefit) dan sebagai penikmat hasil pembangunan

(Cohen & Uphoff, 1980).

Partisipasi masyarakat memiliki peranan yang begitu penting dalam pem-

bangunan destinasi pariwisata karena berbagai alasan, antara lain: (1) masyarakat

memiliki pemahaman sejarah tentang bagaimana wilayah mereka beradaptasi

dengan perubahan; (2) masyarakat akan menjadi salah satu kelompok paling dekat

yang mendapat pengaruh dari kegiatan pariwisata; (3) masyarakat diharapkan

menjadi bagian integral dari produk wisata yang akan ditawarkan oleh destinasi

tersebut. Masyarakat lokal yang ada di destinasi pariwisata akan menjadi bagian

tidak terpisahkan dari produk wisata yang terbentuk, asalkan mereka dari awal

terlibat dalam diskusi dan proses perencanaan. Hal tersebut disebabkan oleh

karena partisipasi masyarakat dalam industri pariwisata dapat memproteksi

produk wisata melalui kolaborasi manajemen yang mengarah pada pendekatan

perencanaan yang lebih berbasis masyarakat untuk menjamin adanya dukungan

yang kuat dari masyarakat agar pembangunan destinasi pariwisata dapat berhasil

(Murphy, 1985). Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan

10

destinasi pariwisata dapat mendukung dan menjunjung tinggi budaya lokal,

tradisi, pengetahuan dan keterampilan, dan mampu menciptakan kebanggaan

terhadap warisan budaya (De Lacy et al., 2002).

Tujuan dari partisipasi masyarakat adalah untuk meningkatkan

komunikasi antara para pemangku kepentingan dalam memfasilitasi pengambilan

keputusan yang lebih baik dan pencapaian pembangunan berkelanjutan (Nampila,

2005). Tanpa partisipasi, jelas tidak ada kemitraan, tidak ada pembangunan dan

tidak ada program. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan

keputusan untuk melaksanakan pembangunan kepariwisataan dapat menyebabkan

kegagalan dalam pengembangan masyarakat yang berdampak pada rendahnya

manfaat pembangunan kepariwisataan yang dirasakannya (Sharpley, 2009).

Partisipasi dalam pembangunan kepariwisataan tidak saja dimaksudkan

untuk memperoleh dukungan masyarakat, tetapi disebabkan juga oleh peranan

partisipasi sebagai komponen utama untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Keberpartisipasian (participativeness) masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai

faktor. Partisipasi masyarakat dengan demikian dapat ditingkatkan dengan

mengatasi hambatan partisipasi, sementara pada saat yang sama mengambil

langkah-langkah yang diperlukan untuk mempromosikan prinsip-prinsip

partisipasi berkelanjutan (Theron, 2005).

Banyak studi yang telah mendokumentasikan bahwa kesuksesan pem-

bangunan kepariwisataan dapat tergambarkan dari partisipasi masyarakat lokal

dalam pengambilan keputusan pada berbagai tahapan, yakni tahap identifikasi

masalah, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi (Zhao & Ritchie,

11

2007). Studi yang dilakukan oleh Kibicho (2004) di Kenya tentang pengambilan

keputusan pembangunan pariwisata pantai, menyimpulkan bahwa ada keterkaitan

yang sangat erat antara partisipasi masyarakat dengan dukungan yang diberikan

terhadap keberlanjutan pembangunan kepariwisataan sebagai akibat dari dilibat-

kannya masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di wilayah tersebut.

Pembangunan kepariwisataan tidak akan berhasil tanpa pemimpin komunitas dan

masyarakat terlibat di dalamnya, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh

Aref & Ma’rof (2008) yang dilakukan di Shiraz, Iran yang menyimpulkan bahwa

tanpa partisipasi masyarakat, industri pariwisata di Shiraz tidak akan

berkembang, walaupun studi Li (2006) yang mempelajari partisipasi komunitas

dalam pengambilan keputusan di bidang pembangunan kepariwisataan di

Jiuzhaigou Biosphere Reserve, Provinsi Sichuan China menyimpulkan lain,

bahwa partisipasi masyarakat lokal yang lemah dalam proses pengambilan

keputusan, masih memberi manfaat yang cukup bagi masyarakat lokal.

Keterkaitan partisipasi masyarakat lokal dengan pembangunan

kepariwisataan, dapat diamati melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan

pendapatan, dan pendidikan masyarakat lokal tentang pariwisata dan kewira-

usahaan, serta meningkatnya kesadaran publik pariwisata. Masyarakat dapat

berpartisipasi dalam kegiatan yang terkait dengan bidang ekonomi sebagai

pekerja yang dibayar atau bekerja sendiri. Partisipasi melalui kerja memiliki

dampak yang lebih bersifat langsung pada kehidupan rumah tangga miskin,

sehingga menjadi cara yang efektif untuk mengurangi kemiskinan di tingkat

rumah tangga karena manfaat ekonomi pariwisata langsung sampai ke tingkat

12

keluarga (Zhao & Ritchie, 2007). Pariwisata juga dapat menjadi salah satu

sumber terbaik dalam kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, termasuk

perempuan dan sektor informal. Partisipasi masyarakat melalui kesempatan kerja,

baik sebagai pekerja ataupun sebagai owner dan operator bisnis kecil, dapat

menjadi katalis untuk pengembangan produk wisata, seni, kerajinan dan nilai-nilai

budaya, khususnya melalui pengambilan keuntungan dari aset alam dan budaya

yang berlimpah di wilayah mereka (Scheyvens, 2002). Hubungan antara

partisipasi masyarakat dengan tingkat pendapatan diteliti di Peru oleh Mitchell &

Reid (2001) dalam Tosun (2006). Hasil penelitian mereka menunjukkan 90

persen responden dari masyarakat lokal berpendapat bahwa penghasilan mereka

akan meningkat jika partisipasinya lebih intensif dalam aktivitas kepariwisataan.

Penelitian Tosun (2006) di Turki menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat

dalam pengambilan keputusan sangat diperlukan untuk memaksimalkan manfaat

sosio-ekonomi dari pembangunan kepariwisataan bagi masyarakat.

Terdapat tiga faktor pendukung agar partisipasi masyarakat dapat terwujud

secara nyata sebagai suatu kegiatan, yakni: adanya kemauan, kemampuan dan

kesempatan untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Kunci utama tumbuh dan

berkembangnya partisipasi masyarakat adalah kemauan untuk berpartisipasi. Hal

ini disebabkan karena belum adanya jaminan bahwa partisipasi masyarakat akan

tumbuh dan berkembang walaupun masyarakat telah memiliki kesempatan dan

kemampuan yang cukup, tanpa adanya kemauan mereka untuk turut membangun.

Adanya kemauan berpartisipasi akan menjadi faktor pendorong bagi individu

untuk meningkatkan kompetensinya dan aktif mencari serta memanfaatkan setiap

13

peluang yang ada (Mardikanto, 2003). Kemauan dan kemampuan untuk

berpartisipasi bersumber dari dalam diri individu atau kelompok masyarakat,

sementara itu kesempatan berpartisipasi akan datang dari pihak lain yang

memberikan kesempatan. Jika warga atau kelompok masyarakat ada kemauan

berpartisipasi namun tidak memiliki kemampuan, maka partisipasi tidak akan

terjadi walaupun diberikan peluang oleh pihak luar. Partisipasi juga tidak akan

terwujud apabila tidak ada kesempatan dari pihak luar, walaupun kemauan dan

kemampuan masyarakat ada. Kesempatan berpartisipasi yang datang dari pihak

luar berhubungan dengan sistem politik negara, karena adanya perubahan

paradigma tata pemerintahan suatu negara yang berdampak pada berubahnya

pemaknaan dan mekanisme pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam

penyelengaraan pembangunan. Mardikanto (2003) selanjutnya menjelaskan

bahwa kesempatan yang dimaksud berhubungan dengan kemauan politik

penguasa dari tingkat pusat sampai pada jajaran birokrasi terendah di daerah

untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan, sejak dari pengambilan

keputusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan,

sampai kepada pemanfaatan pembangunan bagi masyarakat.

Studi tentang partisipasi masyarakat dan kaitannya dengan destinasi

pariwisata dapat dilakukan di berbagai lokasi di Bali, salah satunya di Kintamani,

sebuah destinasi pariwisata yang sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara

sejak jaman kolonial Belanda dan pernah menjadi destinasi yang sangat popular

pada periode tahun 1970an sampai 1990an. Wisatawan mancanegara yang

berkunjung ke Bali pada masa itu menjadikan Kintamani sebagai daya tarik

14

wisata utama yang mesti dimasukkan ke dalam paket program perjalanan mereka.

Destinasi pariwisata Kintamani terus berkembang dengan segala dinamikanya,

dan sejak tanggal 20 September 2012 Kaldera Batur yang menjadi daya tarik

utama wilayah ini telah diakui sebagai anggota Global Geopark Network (GGN)

satu-satunya di Indonesia, serta Pura dan Danau Batur beserta sistem subaknya

juga diakui sebagai world cultural heritage oleh UNESCO. Tidak banyak

destinasi pariwisata di dunia yang secara bersamaan pada wilayah yang sama

mendapatkan dua pengakuan international seperti yang telah diperoleh Batur –

Kintamani.

Masyarakat Kintamani sendiri belum memahami secara utuh keberadaan

geopark, apa manfaatnya buat mereka, dan bagaimana pengaruh keberadaannya

terhadap perbaikan kehidupan mereka. Sudah berjalan dua tahun keberadaan

Batur Global Geopark, namun belum terlihat adanya tanda-tanda perubahan ke

arah yang lebih baik dari perilaku masyarakat Kintamani dalam memberikan

pelayanan kepada wisatawan. Bahkan praktik-praktik pembangunan pariwisata di

Kintamani saat ini dapat dikatakan masih jauh dari prinsip-prinsip sustainability,

yang apabila dibiarkan akan sangat mengancam keberadaan geopark. Fakta di

lapangan menunjukkan adanya perilaku yang cenderung merusak dari masyarakat

lokal maupun pengusaha terhadap kepariwisataan di destinasi tersebut, yang dapat

diamati dari beberapa indikator, yaitu:

a) Eksploitasi berlebihan terhadap alam dan lingkungan terutama adanya

usaha galian C (pasir dan batu) beserta aktivitas ikutannya di Kintamani.

Penggalian terhadap batu sisa letusan Gunungapi Batur yang dilakukan

15

secara masif dan tidak terkendali, dapat menghilangkan bukti-bukti sejarah

letusan (geosite), sehingga mengancam eksisitensi Batur Global Geopark;

b) Pembangunan sarana wisata (restoran) di tepi jurang yang tidak terencana

dan kurang mengindahkan estetika lingkungan, sehingga sangat berbahaya

bagi keselamatan pengunjung terutama apabila terjadi tanah longsor.

Bangunan-bangunan tersebut juga menutupi keindahan Kaldera Batur,

yang merupakan selling point dari kawasan. Selain itu praktik berbisnis

para pengusaha restoran yang memberikan komisi berlebihan kepada sopir

dan guide berdampak buruk terhadap kualitas produk dan pelayanan.

c) Banyaknya sarana wisata berupa bangunan restoran yang terbengkalai

karena tidak mampu bertahan dalam persaingan usaha di wilayah

Kintamani, terlihat kumuh dan kotor. Restoran yang mampu bertahan

bahkan berkembang dengan pesat adalah restoran yang sebagian besar

tidak memiliki ijin, yang lokasinya berada di sebelah timur jalan raya

Panelokan, menutupi keindahan panorama Gunung dan Danau Batur.

d) Perilaku masyarakat dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan

yang cenderung tidak ramah dan mengganggu kenyamanan mereka.

Wisatawan maupun biro perjalanan wisata seringkali mengeluh terhadap

gangguan pedagang acung, guide liar, serta masih dijumpainya anggota

masyarakat yang meminta-minta kepada wisatawan.

e) Pembuangan sampah sembarangan dan limbah pertanian yang mengalir ke

Danau Batur, mengakibatkan danau tercemar berat oleh bahan organik dan

pestisida. Belum lagi pencemaran sisa-sisa pakan ikan yang bersumber

16

dari perikanan danau (keramba) yang dikembangkan oleh masyarakat,

menambah beratnya beban pencemaran Danau Batur.

Perilaku masyarakat Kintamani dalam pembangunan kepariwisataan

tersebut saat ini banyak menimbulkan persoalan, khususnya dalam pemanfaatan

sumberdaya wisata yang ada maupun dalam pemberian pelayanan kepada

wisatawan. Pemerintah Kabupaten Bangli, telah berupaya untuk mengatasi

berbagai persoalan tersebut, diantaranya dengan mengatur jadual waktu

pengangkutan dan mengalihkan jalur kendaraan pengangkut galian C agar tidak

masuk ke jalur wisata. Namun segala upaya yang telah dilakukan tersebut sampai

saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dampak dari berbagai

persoalan yang belum terpecahkan tersebut adalah terjadinya penurunan kinerja

kepariwisataan Kintamani yang ditunjukkan oleh menurunnya proporsi kunjungan

wisatawan ke kawasan ini serta retribusi dan kontribusinya pada penyusunan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bangli, seperti digambarkan pada

Tabel 1.1.

Data Tabel 1.1 menunjukkan proporsi kunjungan wisatawan ke Kintamani

dibandingkan kunjungan ke Bali yang fluktuatif, bahkan cenderung menurun.

Data tersebut menggambarkan semakin menurunnya popularitas Kintamani

sebagai destinasi pariwisata dibandingkan dengan destinasi lain, seperti Tanah Lot

misalnya yang kecenderungan kunjungannya semakin meningkat. Untuk

mengembalikan popularitas Kintamani sebagai destinasi pariwisata yang popular

di Bali dan dalam kerangka upaya perwujudan kebijakan pengembangan destinasi

pariwisata berkualitas, maka strategi pengembangannya dilakukan melalui

penataan dan diversifikasi produk serta promosi pariwisata. Inisiatif pemerintah

17

pusat yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah dalam upaya menata

kembali destinasi pariwisata Kintamani berdampak pada diterimanya Batur

Global Geopark sebagai anggota GGN UNESCO serta Pura dan Danau Batur

beserta subaknya sebagai warisan budaya dunia (world cultural heritage). Hal

tersebut merupakan promosi ampuh untuk mengembalikan citra Kintamani

sebagai ikon pariwisata Bali.

Tabel 1. 1

Kunjungan Wisatawan ke Kintamani, Retribusi dan Kontribusinya terhadap PAD

Kabupaten Bangli Tahun 2003 – 2014

Tahun

Jumlah Wisatawan (orang) Persentase

ke

Kintamani

Retribusi (rupiah)

Kontribusi

pada PAD

Bangli (%) Langsung

Ke Bali Ke Kintamani

2003 993.009 201.180 20,16 670.681.000 8,42

2004 1.458.309 267.139 18,32 887.192.000 12,00

2005 1.386.449 320.596 23,12 1.070.790.000 13,92

2006 1.250.317 259.344 18,89 794.910.500 8,18

2007 1.664.854 352.775 19,46 1.079.618.000 11,77

2008 1.968.892 437.207 22,21 1.352.466.500 10,68

2009 2.384.819 526.706 22,09 1.624.045.500 10,69

2010 2.546.023 418.143 16,42 1.813.462.500 11,66

2011 2.756.579 425,909 15,45 5,268,661,500 23,91

2012 2.892.019 548.152 18,95 5.204.775.000 12,77

2013 3.278.598 564.451 17,22 5.335.238.000 9,55

2014 3.766.638 584.127 16,12 6.335.238.000 11,73

Keterangan:

1. Titik puncak kunjungan wisatawan ke Kintamani terjadi tahun 1993 sebesar

64,79% dari total kunjungan wisatawan ke Bali. Tren pada tahun-tahun

berikutnya menurun secara drastis sejak tahun 2002 hingga sekarang;

2. Kenaikan drastis retribusi pada tahun 2011 disebabkan adanya perubahan tarif

masuk objek wisata dari Rp.2.500,- menjadi Rp.10.000,- per orang, efektif

berlaku sejak Bulan Nopember 2010.

Sumber: BPS, DISPARDA Propinsi Bali, dan DISBUDPAR Kabupaten Bangli, 2014.

Selain Batur Global Geopark telah diakui oleh dunia sebagai satu-satunya

geopark anggota GGN dari Indonesia, sejak tahun 2011 pemerintah pusat melalui

18

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadikan Kintamani sebagai satu

dari 15 model DMO (Destination Managemen Organization) di Indonesia.

Definisi DMO yang dikemukakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

(2010) adalah:

‘........... tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis

yang mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, dan

pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik

melalui pemahaman jejaring, informasi dan teknologi, yang

terpimpin secara terpadu dengan peranserta dari masyarakat lokal,

pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah, yang memiliki

tujuan, proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan

kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan

pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal.

Pengembangan dan pengelolaan Batur Global Geopark Kintamani sebagai

salah satu dari 15 DMO di Indonesia akan melibatkan berbagai pihak, diantaranya

masyarakat lokal, pemerintah pusat maupun daerah serta pelaku usaha dengan

kebutuhan yang berbeda, sehingga menjadi tidak sederhana dan penuh tantangan.

Salah satu tantangannya adalah membangun kesadaran masyarakat akan perlunya

peranan dan kontribusi dari setiap komponen untuk menciptakan sinergitas

pengelolaan kepariwisataan. Keberhasilan pengelolaan Batur Global Geopark

Kintamani terkait dengan tujuan pengembangannya, antara lain: peningkatan

kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan alam maupun budaya dan tentu

saja manfaatnya bagi wisatawan. Secara singkat tujuan pembangunan destinasi

pariwisata seperti Batur Global Geopark Kintamani adalah untuk meningkatkan

kualitas destinasi tersebut yang dapat diukur dari tingkat kepuasan wisatawan,

tingkat kepuasan pelaku usaha pariwisata lokal, tingkat kepuasan masyarakat

lokal dan kualitas lingkungan hidup (European Communities, 2003). Hal tersebut

19

hanya akan mungkin tercapai apabila ada integrasi antara masyarakat lokal,

pemerintah dan pelaku usaha (industri pariwisata) dalam pembangunan destinasi

pariwisata. Pemerintah sebagai salah satu agen pembangunan memiliki peranan

strategis di dalam pembuatan kebijakan dan memberikan pelayanan bagi

pembangunan suatu wilayah, seperti yang diungkapkan oleh Cavaye, J. (2002),

yakni: pertama, pemerintah menyediakan pelayanan publik seperti pendidikan,

hukum dan keadilan, kesehatan, dukungan sosial, kesejahteraan dan pemeliharaan

infrastruktur; kedua, pemerintah berinvestasi untuk membangun infrastruktur fisik

dengan menyediakan atau memberikan subsidi bagi pengembangan sarana publik

seperti dam, infrastruktur transportasi dan komunikasi untuk meningkatkan akses

terhadap sumberdaya dan pencapaian pertumbuhan ekonomi; ketiga, pemerintah

menyediakan modal keuangan melalui pemanfaatan grant, pinjaman lunak,

investasi publik dalam perusahaan swasta, dan pengaturan keuangan untuk

mendorong bisnis dan kesempatan kerja; keempat, kebijakan pemerintah untuk

peningkatan efisiensi ekonomi, mengendalikan perilaku sektor swasta untuk

memperkuat manfaatnya bagi publik dan untuk mencapai equity yang lebih baik;

dan kelima, pemerintah mendukung pengembangan berbagai sektor untuk

memfasilitasi pembangunan ekonomi di wilayah perdesaan dan untuk

menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional. Tujuan penting dari kebijakan

pariwisata adalah untuk menjaga keberlanjutan nilai-nilai lokal, budaya dan

kualitas kehidupan. Agar kebijakan pariwisata dapat berhasil, harus berurusan

dengan perubahan yang akan terjadi pada kehidupan masyarakat dan lingkungan

sekitarnya, singkatnya keberhasilan pembangunan pariwisata sangat tergantung

20

pada kerjasama dan partisipasi masyarakat lokal (Williams, D.R., et al, 1995).

Pemerintah melalui kebijakannya di bidang regulasi maupun fasilitasi (Birkland,

2001) dan komunitas lokal dengan partisipasinya dibutuhkan dalam upaya

mencapai tujuan pembangunan pariwisata, karena tanpa peran pemerintah,

pemimpin komunitas dan masyarakat lokal maka industri pariwisata tidak akan

berkembang (Aref & Ma’rof, 2008).

Destinasi pariwisata sebagai sebuah produk, kualitasnya secara terus

menerus harus ditingkatkan sebagai konsekuensi logis dari wisatawan yang

semakin cerdas dan menuntut untuk bisa mendapatkan lebih banyak (more

demanding) serta dapat memperoleh value for money, selain juga disebabkan

karena tingkat persaingan destinasi di tingkat lokal maupun regional bahkan di

tingkat international yang semakin tajam. Wisatawan akan menuntut kualitas

destinasi yang semakin tinggi, mereka menuntut pelayanan yang lebih baik, ingin

mendapatkan pengalaman berwisata yang lebih variatif, dan berharap penduduk

lokal dapat menerima serta menyambut kedatangan mereka dengan keramahan

dan ketulusan mereka.

Kualitas destinasi juga dapat diindikasikan oleh terpenuhinya kebutuhan

serta tercapainya tingkat kepuasan masyarakat lokal sebagai anggota komunitas

yang ada di destinasi tersebut karena perkembangan pariwisata. Masyarakat lokal

merasakan kondisi perekonomian keluarga mereka lebih baik, kesempatan kerja

maupun peluang usaha dan investasi di desa meraka semakin tinggi, demikian

juga yang terjadi pada aspek sosial budaya.

21

Pelaku usaha pariwisata yang merupakan stakeholder lainnya yang ada di

destinasi, juga menjadi komponen yang sangat vital dalam menentukan kualitas

destinasi. Tingkat persaingan usaha, kemudahan mendapatkan ijin usaha, tingkat

profitabilitas dan perkembangan usaha, serta kesejahteraan karyawan, merupakan

sebagian dari komponen penting yang menjadi indikator tingkat kepuasan para

pelaku usaha tersebut yang dapat menunjukkan kualitas destinasi.

Kualitas destinasi selain dapat diteropong dari ke tiga aktor tersebut di atas

(wisatawan, masyarakat lokal, dan para pelaku usaha), juga dicirikan oleh kualitas

lingkungan yang ada di destinasi. Keberadaan sampah kawasan, pencemaran air

dan udara, estetika lingkungan, merupakan indikator-indikator kualitas

lingkungan yang sangat menentukan kualitas destinasi.

Batur Global Geopark Kintamani sebagai destinasi yang pernah menjadi

icon pariwisata Bali, agar tetap eksis dalam persaingan destinasi yang semakin

tajam, harus terus menerus berbenah dan berusaha untuk meningkatkan

kualitasnya. Hal tersebut menjadi keniscayaan dalam upaya mewujudkan

pembangunan pariwisata yang tidak saja mampu memberikan kesejahteraan

kepada masyarakat lokal, namun juga kepada para pelaku usaha, dan terutama

dapat memberikan kepuasan kepada wisatawan yang menjadi konsumen dari

destinasi tersebut, tanpa mengabaikan kualitas lingkungan. Hal ini menjadi tugas

berat bagi seluruh stakeholder, misalnya pemerintah dengan kebijakan dan

fasilitasinya dalam pembangunan harus mampu menyediakan berbagai sarana

prasarana maupun fasilitas wisata, serta mampu menciptakan kondisi agar

masyarakat terdorong untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan pengusaha

dapat dengan tenang menjalankan usahanya. Masyarakat lokal yang menjadi

22

subyek pembangunan, juga harus mampu menjadi tuan rumah baik yang dengan

ramah menyambut kedatangan wisatawan dan memberikan informasi serta

pelayanan yang memadai. Para pelaku usaha juga diharapkan mampu menyajikan

produk-produk berkualitas serta pelayanan yang profesional kepada wisatawan,

sehingga mereka terkesan atas pengalaman tak terlupakan yang mereka rasakan

selama berada di destinasi.

Dari uraian sebelumnya, terdapat benang merah yang mengaitkan antara

partisipasi masyarakat dengan peran pemerintah dalam mewujudkan destinasi

pariwisata berkualitas sebagai isu utama penelitian ini. Kualitas destinasi menjadi

suatu keniscayaan, karena paling tidak ada tiga alasan penting kenapa destinasi

pariwisata tersebut harus berkualitas, yakni pertama dari perspektif wisatawan,

bahwa mereka ingin mendapatkan value for money atas pengeluran yang mereka

lakukan selama menikmati destinasi yang dikunjunginya, artinya wisatawan ingin

memperoleh pelayanan yang lebih baik, pengalaman berwisata yang variatif,

sambutan dan keramahan penduduk lokal (hospitality), serta harga yang

reasonable; kedua dari sudut pandang produk dan manajemen, yakni tingginya

persaingan antar destinasi pada tingkat lokal, regional, nasional bahkan global.

Untuk memenangkan persaingan tersebut dibutuhkan kualitas destinasi yang

tinggi yang hanya dapat dicapai melalui manajemen dan tata kelola destinasi yang

profesional; ketiga dari perspektif kepentingan masyarakat lokal sebagai subjek

pembangunan kepariwisataan. Tingginya kualitas destinasi akan memberikan

jaminan terhadap keberlanjutan kepariwisataan di wilayah mereka, karena

wisatawan akan semakin banyak yang berkunjung, masa tinggal mereka lebih

lama, dan pengeluaran mereka lebih tinggi, sehingga masyarakat lokal akan

23

memperoleh manfaat ekonomi, dan sosial budaya yang pada akhirnya akan

berujung pada tingkat kesejahteraan mereka yang lebih baik.

Peningkatan kualitas destinasi tidak terlepas dari partisipasi masyarakat

lokal dan peran pemerintah. Sebagai regulator pemerintah dapat menyusun

kebijakan untuk mengatur kegiatan pembangunan kepariwisataan di suatu

wilayah, demikian pula fungsinya sebagai fasilitator, pemerintah dapat

memfasilitasi pembangunan tersebut dengan menyediakan infrastruktur yang

dibutuhkan, membangun sarana prasarana maupun fasilitas umum, serta membuat

berbagai pelatihan dan pemberian bantuan pendanaan dalam rangka

pengembangan sumberdaya manusia. Pada akhirnya, semua itu akan sia-sia tanpa

dukungan masyarakat lokal dalam bentuk partisipasi yang mereka lakukan dalam

pembangunan kepariwisataan di wilayahnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, selanjutnya dapat diidentifikasi masa-

lah utama penelitian ini yaitu “apa sesungguhnya yang terjadi pada pembangunan

kepariwisataan di Batur Global Geopark Kintamani (BG2K), terutama yang

berkaitan dengan kualitas destinasi, partisipasi masyarakat lokal dan peran

pemerintah?”. Selanjutnya permasalahan penelitian ini dielaborasi lebih dalam

dengan merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh partisipasi masyarakat lokal terhadap kualitas Batur

Global Geopark Kintamani?

2. Bagaimanakah pengaruh peran pemerintah terhadap kualitas Batur Global

Geopark Kintamani?

24

3. Bagaimanakah pengaruh interaksi peran pemerintah dengan partisipasi

masyarakat lokal terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani?

4. Bagaimanakah pengaruh kualitas Batur Global Geopark Kintamani terhadap

tingkat kepuasan masyarakat lokal sebagai refleksi dari kualitas destinasi

tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis pengaruh partisipasi masyarakat lokal terhadap kualitas

Batur Global Geopark Kintamani.

2. Menganalisis pengaruh peran pemerintah terhadap kualitas Batur Global

Geopark Kintamani.

3. Menganalisis pengaruh interaksi peran pemerintah dengan partisipasi

masyarakat lokal terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani.

4. Menganalisis pengaruh kualitas Batur Global Geopark Kintamani terhadap

tingkat kepuasan masyarakat lokal sebagai refleksi dari kualitas destinasi

tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pe-

ngetahuan di bidang ekonomi kepariwisataan khususnya yang berhubungan

dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan Batur Global

Geopark di Bali. Sedangkan dari sisi praktisnya, penelitian ini bermanfaat sebagai

bahan masukan bagi para pemangku kepentingan dalam upaya membangun

partisipasi masyarakat di suatu kawasan pariwisata. Pengelolaan destinasi

25

pariwisata melalui partisipasi masyarakat diharapkan dapat menjadikan destinasi

tersebut berkualitas dan berkelanjutan (sustainable) serta manfaatnya dapat

dinikmati oleh masyarakat lokal, sehingga kesejahteraannya meningkat. Selain

itu, destinasi pariwisata yang telah terbangun dapat dikelola dengan baik dan lebih

berkualitas yang ditandai oleh meningkatnya kepuasan masyarakat lokal.

Lebih rinci hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Bagi perguruan tinggi, sebagai bahan kajian tentang ekonomi kepari-

wisataan khususnya mengenai peranan partisipasi masyarakat lokal dalam

pembangunan dan upaya untuk meningkatkan kualitas destinasi;

2. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan

dan regulasi di bidang pembangunan serta pengelolaan destinasi

pariwisata berkualitas;

3. Bagi masyarakat dan pelaku usaha pariwisata, sebagai pengetahuan

tentang peranan mereka dalam meningkatkan kualitas destinasi pariwisata,

khususnya Batur Global Geopark Kintamani.