BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id Final... · Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah...

47
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) telah menjatuhkan putusan kontroversial, penting dan fenomenal pada tanggal 24 Februari 2003. Permohonan pengujian terhadap Pasal 60 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota` Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003), diajukan oleh dua Pemohon (Pemohonan I diajukan tanggal 15 0ktober 2003 teregister perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan Pemohonan II diajukan dan diterima pada tanggal 19 November 2003 teregister perkara Nomor 017/PUU-I/2003) teregister perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. Mahkamah Konstitusi dalam membacakan Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 setebal 40 halaman selama dua jam secara bergantian, 1 ternyata Putusan 1 Sidang yang berlangsung selama dua jam Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Februari 2004 telah melahirkan sebuah keputusan penting. Selanjutnya dikatakan, putusan yang dibuat benar-benar didasarkan pada pertimbangan hukum, hak asasi manusia (HAM) dan rasa keadilan masyarakat. Di samping itu, seorang hakim menunjukkan independensinya dengan membuat pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Todung Mulya Lubis “Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 dari Perspekif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional” dalam Jurnal Konstitusi Vol.1, No 1, Juli 2004. Hlm 12-29; “Mahkamah Konstitusi telah membuka lembaran “baru” dalam sejarah perlindungan hak-hak warga negara di Indonesia” sekaligus “membuka dan merintis jalan untuk memulai rekonsiliasi demi masa depan Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan” Ifdhal Kasim “Analisis Putusan MK dalam Perspektif Rekonsiliasi Nasional”; dalam Jurnal Konstitusi Vol.1 No 1, Juli 2004 hlm 30-44; “Putusan ini tak urung menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Tetapi putusan MK ini telah mengurangi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id Final... · Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) telah menjatuhkan putusan

kontroversial, penting dan fenomenal pada tanggal 24 Februari 2003. Permohonan

pengujian terhadap Pasal 60 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota` Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2003), diajukan oleh dua Pemohon (Pemohonan I

diajukan tanggal 15 0ktober 2003 teregister perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan

Pemohonan II diajukan dan diterima pada tanggal 19 November 2003 teregister

perkara Nomor 017/PUU-I/2003) teregister perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003.

Mahkamah Konstitusi dalam membacakan Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003

setebal 40 halaman selama dua jam secara bergantian,1 ternyata Putusan

1Sidang yang berlangsung selama dua jam Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Februari

2004 telah melahirkan sebuah keputusan penting. Selanjutnya dikatakan, putusan yang dibuat

benar-benar didasarkan pada pertimbangan hukum, hak asasi manusia (HAM) dan rasa keadilan

masyarakat. Di samping itu, seorang hakim menunjukkan independensinya dengan membuat

pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Todung Mulya Lubis “Putusan Mahkamah Konstitusi

Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 dari Perspekif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”

dalam Jurnal Konstitusi Vol.1, No 1, Juli 2004. Hlm 12-29; “Mahkamah Konstitusi telah

membuka lembaran “baru” dalam sejarah perlindungan hak-hak warga negara di Indonesia”

sekaligus “membuka dan merintis jalan untuk memulai rekonsiliasi demi masa depan Indonesia

yang lebih demokratis dan berkeadilan” Ifdhal Kasim “Analisis Putusan MK dalam Perspektif

Rekonsiliasi Nasional”; dalam Jurnal Konstitusi Vol.1 No 1, Juli 2004 hlm 30-44; “Putusan ini

tak urung menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Tetapi putusan MK ini telah mengurangi

2

Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bulat. Delapan Hakim Konstitusi berpendapat

sama, sedang Hakim Konstitusi lainnya (Achmad Roestandi) memberikan

pendapat berbeda (dissenting opinion).2

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 telah

menjatuhkan amar putusan dengan menyatakan: 1) mengabulkan permohon

permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh sebagian Pemohon; 2)

menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4277) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; 3) menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara

isolasi politik selama puluhan tahun terhadap para eks PKI” dalam Bambang Sutiyoso, 2009, Tata

Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta, UII Press, Hlm.

111.

2Ada sejumlah hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945, tetapi berdasarkan

Pasal 28J semua HAM itu dapat dibatasi dengan alasan tertentu, kecuali HAM yang disebutkan

dalam Pasal 28I. Ketujuh HAM yang terdapat dalam Pasal 28I itu adalah mutlak. Kemutlakan itu

mungkin saja tidak sejalan dengan deklarasi, kovenan, atau statuta yang dikeluarkan oleh lembaga

internasional. Namun demikian, tugas saya sebagai hakim konstitusi adalah menguji

konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD 1945, bukan menguji undang-undang dasar

terhadap hukum internasional. (Achmad Roestandi,“Mengapa Saya Mengajukan Dissenting

Opinion” dalam Refly Harun, dkk (Ed.), 2004, Menjaga Denyut Konstitusi, Jakarta, Konstitusi

Press, Hlm. 50-51).

3

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4277) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan

kalimat lain, Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menyaratkan bukan bekas anggota organisasi

terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan

orang yang terlibat langsung atau tak langsung dalam G-30-S/PKI, atau organisasi

terlarang lainnya.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pencabutan Pasal 60 huruf g

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 karena Indonesia secara konstitusional

melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melarang

diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),

Pasal 28I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak

membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik,

kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,

keyakinan politik. Ketentuan konstitusi tersebut sesuai dengan Artikel 21

Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)

dan Article 25 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

4

Terkait dengan hak memilih dan dipilih, Mahkamah Konstitusi berpendapat

bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote

and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-

undang maupun konvensi internasional hak asasi manusia, maka pembatasan,

penyimpangan, peniadaan dan penghapusan terhadap hak-hak tersebut merupakan

pelanggaran hak asasi dari warga negara. Dengan demikian, ketentuan Pasal 60

huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan juga dengan Pasal

28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembatasan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud Pasal 60 huruf g

hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. Pembatasan hak pilih

(baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas

pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta

ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh

putusan pengadilan yang tekah berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya

bersifat individual dan kolektif.

Mahkamah Konstituasi juga berpendapat suatu tanggung jawab pidana hanya

dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut

serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu

tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta

prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggungjawab dibebankan kepada

seseorang yang tidak terlibat secara langsung. Di samping itu, Mahkamah

5

Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g tidak relevan dengan

upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia

menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.

Hakim Konstitusi Achmad Roestandi memberikan pendapat berbeda

(dissenting opinion). Dikatakan bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2003 seolah-olah tidak selalu sejalan dengan semangat

yang terkandung dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Menurutnya, pembatasan tidak bertentangan dengan

ketentuan Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 60 huruf g tidak bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 merupakan

refleksi atas kondisi sosial politik Indonesia di satu pihak dan kewenangan

Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 di

pihak lain. Bila dirunut kontroversi atas keberadaan Pasal 60 huruf g dapat

ditandai ketika pembahasan rumusan Pasal 60 huruf g di DPR. Kontroversi

pendapat tidak saja di antara anggota DPR melainkan juga pendapat yang

dikemukakan oleh para pakar, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Dalam proses

persetujuan DPR, mekanisme pengambilan suara terbanyak, hampir 1/3 anggota

6

tidak menyetujui adanya larangan bekas PKI dan partai terlarang ikut dalam

Pemilu.3

Ketika Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dimohonkan

constitutional review ke Mahkamah Konstitusi, pemerintah diwakili Menteri

Dalam Negeri Hari Sabarno dan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra

tidak sependapat dengan alasan-alasan/ argumentasi yang dikemukakan oleh para

Pemohon. Pemerintah berpendapat bahwa: 1) Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J

merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan,

sehingga pemahaman terhadap ketentuan HAM harus dipahami secara utuh kaitan

pasal demi pasal, dimana Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I memberi HAM bagi

warga negara Republik Indonesia dan Pasal 28J memberikan pembatasan hak asasi

warga negara Republik; 2) masih berlakunya TAP MPRS-RI Nomor

XXV/MPRS/1966 yuncto TAP MPR-RI Nomor I/MPR/2003, sehingga organisasi

terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau terlarang lainnya dibatasi hak

asasinya sebagai warga negara Republik Indonesia.

Frans Magnis Suseno berpendapat: 1) andaikata TAP MPRS Nomor

XXV/MPRS/1966 mempunyai kedudukan hukum yang sah, tetapi pelarangan

terhadap anggota PKI untuk memilih dan dipilih tetap tidak berdasar karena

bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia; 2) keanggotaan

di dalam PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya sebelum keluarnya

3Todung Mulya Lubis. Loc. Cit.

7

TAP MPRS tersebut bukan merupakan kesalahan apa pun, tidak menjadi

pelanggaran apa pun, kecuali mereka melakukan perbuatan yang melawan hukum

dan diputus oleh pengadilan.

Thamrin Amal Tomagola berpendapat bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 merupakan pelanggaran yang mendasar

terhadap partisipasi politik warga negara karena dalam sistem demokrasi yang

dipahami sebagai popular control system over collective decision making, maka

terdapat pihak atau kelompok yang secara umum dilarang untuk berpartisipasi.

Berbagai pendapat kritis yang disampaikan saat pembahasan di DPR maupun

saat pengujian konstitusional (constitutional review) di Mahkamah Konstitusi

terkait ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, apakah

merupakan pembatasan hak-hak warga negara sebagai ditentukan dalam Pasal 28

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan

normatif tersebut, ternyata memunculkan dua pendapat berbeda. Pertama, para

Pemohon (yang memiliki legal standing) berpendapat bahwa ketentuan Pasal 60

huruf g merupakan ketentuan dikriminatif karena bertentangan dengan Pasal 28C

sampai dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Kedua, pemerintah berpendapat Pasal 60 huruf g telah sesuai Pasal

28A sampai dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan adanya pembatasan sesuai Pasal 28J meski harus dipahami secara utuh

8

pasal demi pasal sesuai Pasal 28A sampai Pasal 28I Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendapat kedua ini diamini Hakim Konstitusi Achmad Roestandi dengan

berpendapat berbeda (dissenting opinion) atas Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 011-017/PUU-I/2003). Meski demikian, Mahkamah Konstitusi sebagai

pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga sebagai pengawal demokrasi (the

guardian and the sole interpreter of the constitution as well as the guardian of the

process of democratization)4 sekaligus sebagai pelindung hak konstitusional warga

negara (the protector of the citizens constitution rights)5 melalui Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 telah mencabut ketentuan

Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Putusan Mahkamah

Konstitusi mencabut ketentuan Pasal 60 huruf g, menurut Todung Mulya Lubis

merupakan putusan yang benar-benar berdasarkan pada pertimbangan hukum, hak

asasi manusia (HAM) dan rasa keadilan masyarakat.6

Dalam menjatuhkan putusan, Mahkamah Konstitusi berpegang pada

kewenangan dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, penerjemah tunggal

konstituasi dan penjaga dari proses demokrasi. Di samping itu, Mahkamah

4Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta,

Konstitusi Press, Cet. I, Hlm. 105.

5Jenedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm. 7.

6Todung Mulya Lubis, Loc. Cit.

9

Konstitusi sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector

of the citizen constitutional rights) dan sebagai pelindung hak asasi manusia (the

protector of human rights).7

Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dicabut karena

dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap hak-hak asasi warga negara atau

diskriminasi terhadap hak konstitusional warga negara terkait hak-hak politik.

Pengingkaran tersebut tidak saja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 melainkan juga

terhadap Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Substansi Pasal 60

huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 merupakan hak politik warga

negara yang dimanifestasikan hak memilih dan dipilih. Hak memilih dan dipilih

sebagai hak konstitusional warga negara telah mendapatkan tempatnya yang

sangat positif dimana Indonesia sebagai negara hukum sekaligus sebagai bentuk

perlindungan hukum, pemenuhan hukum dan pengembangan hak asasi manusia di

masa depan. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi a quo tidak saja dapat

menjadi pertimbangan maupun referensi perancangan peraturan perundangan-

undangan bagi legislatif, eksekutif melainkan juga bagi peningkatan kualitas

demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

7Maruarar Siahaan menyebutkan sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam

UUD 1945, fungsi pelindung (protector) konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi

manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Lihat dalam Maruarar Siahaan, 2005, Hukum

Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm.11.

10

Sejalan dengan hal tersebut, perancangan peraturan perundang-undangan

maupun produk-produk bentukan legislatif telah sepatutnya mengacu pada norma-

norma hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-U/2003,

termasuk hak memilih dan dipilih sebagai hak politik yang nota bene sebagai

bagian dari hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Dengan kalimat lain, Eko Prasojo menyebut bahwa kewenangan hukum

Mahkamah Konstitusi berakhir tatkala pembatalan ketentuan pasal tersebut

dilakukan. Pada saat bersamaan kewenangan politik legislatif terhadap eks anggota

terlarang PKI dimulai. Batas-batas apa yang dapat diatur terhadap hak-hak politik

eks anggota PKI, sepenuhnya yang berada dalam wilayah kewenangan

legislatif8. Apalagi menginggat konsekuensi atas putusan Mahkamah Konstitusi

yang bersifat final dan mengikat (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003), maka dapat diartikan Putusan Mahkamah Konstitusi langsung

memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang

dapat ditempuh9 dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).

Putusan Makamah Konstitusi berlaku dengan sendirinya (self executing) tanpa

8Eko Prasojo, 2006, “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum dan Politik Indonesia”

dalam Jentera Jurnal Hukum, Jakarta, Edisi 11, Tahun III, Januari-Maret, Hlm. 26-37

9Maruarar Siahaan, 2005, Ibid., Hlm. 208.

11

memerlukan upaya paksa serta tidak hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara

tetapi juga mengikat semua orang (erga omnes).10

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan Pasal 60 huruf g

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 telah memunculkan tidak saja konflik

norma melainkan normanya pun kabur. Hal ini ditandai dengan adanya

permohonan pengajuan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi

terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.

Konfliks norma antara norma dalam Pasal 60 huruf g dengan pasal-pasal yang

menjadi larangan diskriminasi dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia.

Indonesia secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 melarang adanya diskriminasi sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2). Selanjutnya dalam

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada bagian lain, ketentuan Pasal 60 huruf g memunculkan norma kabur atau

normanya tidak jelas, yakni ditandai dengan adanya multi interpretasi tentang

validitas ketentuan Pasal 60 huruf g yang menentukan bahwa “bukan bekas

anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan

10Jenedjri M. Gaffar, Ibid., Hlm. vi.

12

orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung11

dalam G-30-S/PKI, atau

organisasi terlarang lainnya” Dengan norma hukum seperti itu, khususnya kalimat

“terlibat langsung ataupun tak langsung” dalam ketentuan Pasal 60 huruf g

memunculkan multi interpretasi atas norma hukum dimaksud sehingga norma

semacam ini dikualifikasi sebagai norma kabur.

Sejalan dengan hal tersebut dimana kewenangan dan fungsi Mahkamah

Konstitusi di samping sebagai penjaga, penafsir konstitusi dan pelindung hak-hak

konstitusional warga negara maupun sebagai pelindung hak asasi manusia

tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003.

Dengan demikian, apa yang menjadi landasan pemikiran Mahkamah Konstitusi

dalam menjatuhkan perkara a quo nampak dalam pertimbangan-pertimbangan

hukumnya dimana dalam putusannya memiliki sifat yang menentukan atau faktor-

faktor yang esensial (ratio decidendi) tidak dapat dilepaskan dari kewenangan dan

fungsi dimaksud.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mendalam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003

yang mengetengahkan tesis dengan judul: ”Perlindungan Hukum Hak Dipilih

dari Segala Bentuk Diskriminasi: Studi Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 011-017/PUU-I/2003.”

11Dalam Penjelasan atas Pasal 60 huruf g hanya dijelskan “cukup jelas”. Atas Penjelasan

tersebut dapat memunculkan multi interpretasi atas ktentuan norma tersebut.

13

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep perlindungan hukum terhadap hak untuk dipilih dari

segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

2. Apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-

I/2003 terhadap warga negara?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Bahwa untuk mencegah pembahasan dalam penelitian ini meluas dan tidak

fokus, maka dipandang perlu untuk melakukan pembatasan terhadap ruang lingkup

masalah. Adanya ruang lingkup masalah diharapkan sebagai pembatas sekaligus

dapat menjawab kedua masalah yang dikedepankan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi pada; Pertama, kajian mengenai konsep

perlindungan hukum hak untuk dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem

ketetanegaraan Indonesia. Kedua, apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.

1.4 Tujuan Penelitian

Bahwa dalam penelitian ini mempunyai dua (2) tujuan, yaitu: 1) tujuan umum,

dan 2) tujuan khusus

14

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi dan mengkaji konsep perlindungan hukum hak untuk

dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia.

2. Sebagai bahan dalam pengembangan ilmu hukum, terutama terkait

dengan apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mendekripsikan dan menganalisis konsep perlindungan hukum terhadap

hak untuk dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia.

2. Mendekripsikan dan menganalisis apa akibat hukum Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap warga

negara.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis.

15

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan:

1. Dapat menemukan konsep atau prinsip yang berkenaan dengan

perlindungan hukum dalam kaitannya dengan hak untuk dipilih dari

segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

2. Meneliti dan melakukan analisis akibat hukum Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pembentuk undang-undang (legislatif) dimana penelitian ini dapat

dijadikan sebagai landasan teoretis dan referensi dalam perancangan

undang-undang, terutama terkait dengan perlindungan hukum hak dipilih

dari segala bentuk diskriminasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 011-017/PUU-I/2003.

2. Pemerintah (eksekutif) dimana penelitian ini dapat dijadikan sebagai

landasan teoretis dan referensi dalam menyusun undang-undang,

peraturan pemerintah dan peraturan perundangan-undangan lain yang

menjadi kewenangan Pemerintah (eksekutif).

16

3. Praktisi hukum atau penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat)

penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan dalam

menangani perkara yang terkait dengan pelindungan hukum hak dipilih

dari segala bentuk diskriminasi.

4. Mahasiswa dan masyarakat pada umumnya bahwa penelitian ini

diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dalam menambah khazanah

kepustakaan di bidang perlindungan hukum hak dipilih dari segala bentuk

diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

1.6 Orisinalitas Penelitian Tesis

Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang menulis topik:

“Perlindungan Hukum Hak Dipilih dari Segala Bentuk Diskriminasi: Studi

Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003”

sebagaimana tercermin dalam penelitian ini:

1. “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah” (Skripsi) ditulis pada tahun 2012 oleh Gugun Ridho

Putra (NIM: 0606079641) pada Fakultas Hukum Program Studi Hukum

17

Kekhususan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Depok12

, dengan

mengetengahkan rumusan masalah:

1. Bagaimana pengaturan perundang-undangan Indonesia mengatur

jaminan hak politik warga negara Republik Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan perundang-undangan Indonesia mengatur

pembatasan hak politik mantan narapidana di Indonesia?

3. Bagaimana konstitusionalitas hak politik mantan narapidana untuk

menjadi kepala daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

14-17/PUU-V/2007 dan Nomor 4/PUU-V/2009?

Pada intinya skripsi ini mengkaji hak dipilih mantan narapidana sebagai

hak politik. Hak dipilih bagi mantan narapidana dalam beberapa peraturan

perundang-undangan memuat pembatasan, terutama pembatasan dalam

jabatan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pembatasan dimaksud ditujukan kepada mereka yang pernah menjadi

narapidana atas putusan tindak pidana dengan ancaman pidananya lebih

dari 5 (lima) tahun dan putusan mana telah berkekuatan hukum tetap

12Gugun Ridho Putra, 2012, “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah” (Skripsi), Depok, Fakultas Hukum Program Studi Hukum Kekhususan Hukum

Tata Negara, Universitas Indonesia.

18

(inkracht van gewijsde) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 huruf f

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Ternyata ketentuan Pasal 58

huruf f tersebut telah dimohonkan pengujian konstitusional

(constitutional review) ke Mahkamah Konstitusional dengan putusan

konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Dengan demikian,

hak dipilih bagi mantan narapidana ada pembatasan-pembatasan dalam

upaya jabatan kepala daerah.

2. “Pengaturan Hak Pilih TNI dan Polri dalam Sistem Demokrasi di

Indonesia (Studi Perbandingan Pemilihan Umum Tahun 1955, Orde

Baru, dan Era Reformasi)” (Skripsi) ditulis oleh Nugraha Widya Putra

(NIM: 06410184), pada tahun 2012 di Fakultas Hukum, Universitas Islam

Indonesia, Yogyakarta13

, dengan mengetengahkan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hak pilih TNI dan Polri dalam sistem demokrasi di

Indonesia pada Pemilu tahun 1955?

2. Bagaimanakan hak pilih TNI dan Polri dalam sistem demokrasi di

Indonesia pada Pemilu masa Orde Baru?

13Nugraha Widya Putra, 2012, “Pengaturan Hak Pilih TNI dan Polri dalam Sistem Demokrasi

di Indonesia (Studi Perbandingan Pemilihan Umum Tahun 1955, Orde Baru, dan Era Reformasi).”

(Skripsi), Yogyakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

19

3. Bagaimanakan hak pilih TNI dan Polri dalam sistem demokrasi pada

Era Reformasi?

Pada intinya dalam skripsi ini diuraikan bahwa pada Pemilu tahun 1955

hak memilih bagi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

(disingkat ABRI belakangan disebut TNI) dan Polri diatur dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Pasal 3 ayat (1). Sedangkan hal

ini berbeda pada masa Orde Baru yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Dalam Pasal 11 ditentukan bahwa

anggota Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih

serta Pasal 14 menentukan bahwa anggota Angkatan Bersenjata Republik

Indobnesia tidak menggunakan hak dipilih. Pada era reformasi sesuai

ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 menyebutkan TNI tidak

menggunakan hak pilihnya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003

menyebutkan bahwa anggota TNI/Polri tidak menggunakan hak memilih.

Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menentukan bahwa anggota

TNI/Polri harus mengundurkan diri dari jabatannya.

3. Todung Mulya Lubis “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

017/PUU-I/2003 dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”

20

dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No. 1 Juli 2004. Dalam artikel tersebut

ada tiga (3) masalah yang dikedepankan, yaitu:14

a) Pro dan kontra putusan

MK; b) Bobot penting Putusan MK; c) Setelah Putusan MK: “Nasib”

perundangan lainnya.

Pada intinya penulis mengakui bahwa pendapat pro maupun kontra

terhadap putusan MK tersebut sebenarnya telah dimulai saat pembahasan

terhadap Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat.

Secara politis dikhotomi pendapat pro dan kontra mencerminkan aspirasi

yang berkembang dalam masyarakat. Ternyata sikap pro dan kontra ini

mewarnai juga pendapat yang berkembang di antara Hakim Mahkamah

Konstitusi. Tidak urung pendapat berbeda (dissenting opinion) pun muncul

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003. Bobot

penting putusan MK adalah dimana MK telah berhasil keluar dari

pertimbangan politis dengan menggunakan argumen-argumen dan

penjelasan pasal-pasal tentang HAM dalam standar dan norma domestik

dan internasional. Sedangkan pasca Putusan MK, ada dua pendapat

berbeda. Pertama, keputusan MK ini, secara praktek ketetanegaraan dapat

menjadi preseden dan dapat dianggap applied terhadap aturan-aturan yang

14Todung Mulya Lubis., Ibid.

21

sejenis. Kedua, pendapat yang menyatakan semua perundang-undangan

yang dinilai diskiriminatif mesti diuji materi satu persatu.

4. Muhardi Hasan dan Estika Sari “Hak Sipil dan Politik” dalam Jurnal

Demokrasi, Vol. IV No.1 2005. Artikel ini akan menjelaskan urgensi

pemeliharaan hak-hak sipil dan politik sebagai kebutuhan obyektif bagi

semua orang dari suatu negara, baik domestik maupun internasional. Selain

itu, artikel ini juga akan menguraikan faktor-faktor penentu hak-hak sipil

dan politik di suatu negara. Faktor-faktor penentu meliputi karakteristik

rezim memegang kekuasaan di suatu negara, masuknya hak-hak sipil dan

politik dalam konstitusi dan peraturan lainnya, budaya politik masyarakat,

dan aura politik internasional dalam hal hak asasi manusia.

5. Ifdhal Kasim “Analisis Putusan MK dalam Perspektif Rekonsiliasi

Nasional” dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1, No. 1, Juli 2004, Hlm.30-41.

Dalam artikel tersebut, dinyatakan bahwa dengan putusan tersebut,

Mahkamah Konstitusi telah membuka lembaran “baru” dalam sejarah

perlindungan hak-hak warga negara di Indonesia yang sebanding dengan

Putusan Hakim Agung Amerika Serikat, Earl Warren dalam kasus Brown

vs Board of Education yang terkenal itu. Mahkamah telah menempatkan

dirinya sebagai the guardian of the constitution.

22

Selanjutnya, disebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

017/PUU-I/2003 tersebut bukan hanya membawa efek pada pemulihan

hak-hak kewarganegaraan (civil and political rights) para

anggota/simpatisan PKI, tetapi juga melapangkan jalan ke arah

“rekonsiliasi nasional” yang hendak diraih bangsa ini ke depan. Hal ini

merupakan implikasi yang lebih luas lagi adalah kepada seluruh rakyat

Indonesia yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi.

1.7 Landasan Teoritis

Kerlinger sebagaimana dikutif Sugiyono menyebut teori sebagai seperangkat

konstruk (konsep), definisi, dan preposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena

secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat

berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.15

Dengan demikian, suatu

teori berfungsi sebagai pisau bedah dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini,

landasan teoretis yang digunakan dalam melakukan kajian atau analisis terhadap

obyek penelitian dengan judul: ”Perlindungan Hukum Hak Dipilih dari Segala

Bentuk Diskriminasi: Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

017/PUU-I/2003” ini adalah menggunakan beberapa teori. Beberapa teori

dimaksud meliputi Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Hak Asasi Manusia

(HAM). Demikian pula, dalam uraian berikut ini beberapa batasan, pengertian atau

15Sugiyono, 2013, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, Bandung, Alfabeta,

Hlm. 55-56.

23

konsep dan istilah akan digunakan sepanjang relevan dengan penelitian ini,

termasuk istilah perlindungan hukum (dalam konteks negara hukum perlindungan

hukum dimaksud adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia) yang

dikemukakan mencerminkan kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan dan

dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan

hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-undang dasar, undang-undang dan

peraturan hukum.16

1.7.1 Teori Kedaulatan Hukum

Teori Kedaulatan Hukum (Rechtssouvereniteit) dipelopori oleh sarjana

Belanda bernama Hugo Krabbe (1857-1936). Teori Kedaulatan Hukum

merupakan penentangan terhadap Teori Kedaulatan Negara yang mengajarkan

bahwa negara berada di atas hukum karena negaralah yang membuat hukum.

Teori Kedaulatan Hukum tidak dapat menerima kekuasaan seseorang atau

sekelompok penguasa, membuat hukum berdasarkan kehendak mereka pribadi,

kemudian hukum yang dibuatnya itu dikonsepsikan sebagai kehendak negara.

Menurut Teori Kedaulatan Hukum, bukan hukum yang ditentukan oleh negara

tetapi sebaliknya negaralah yang ditentukan oleh hukum dan karena itu negara

adalah produk hukum, jadi negara harus tunduk pada hukum. Mengapa demikian?

Secara sederhana jawabannya karena hukum muncul dari kesadaran hukum setiap

16Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana, Bandung, Alumni, Hlm. 17.

24

orang. Tugas negara adalah menjelmakan kesadaran hukum itu dalam bentuk

ketentuan hukum positif berupa peraturan hukum yang dibuat oleh masyarakat

sendiri melalui wakil-wakilnya di parlemen.17

Teori Kedaulatan Hukum berprinsip

bahwa hukumlah satu-satunya yang menjadi sumber kedaulatan. Semua manusia

yang hidup di dunia ini, termasuk badan hukum maupun negara sebagai sebuah

entitas beserta para penyelenggara negara harus tunduk kepada hukum. Untuk

menjelmakan Kedaulatan Hukum atas negara, maka dalam suatu negara harus ada

konstitusi sebagai koridor dari penyelenggara negara.18

Lebih daripada itu sebagai inti dari Teori Kedaulatan Hukum yang

mengajarkan tunduknya negara kepada hukum membawa konsekuensi bahwa

setiap kekuasaan yang ada dalam negara harus tunduk terhadap hukum. Jadi

hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara. Oleh karena itu berpegang

pada Teori Kedaulatan Hukum, maka kekuasaan kehakiman pun harus tunduk

pada hukum. Konsekuensinya semua kekuasaan yang berada di bawah tatanan

negara hukum juga harus tunduk pada hukum.19

Pada bagian lain, Krabbe juga

mengatakan bahwa pada prinsipnya kedaulatan hukum berkaitan dengan kepastian

hukum, keadilan hukum, dan kegunaan hukum. Kesemuanya ini bersumber pada

17Bander Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung,

Mandar Maju, Hlm. 48.

18

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2012, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara,

Bandung: Refika Aditama, Cet, II, Hlm. 114.

19

Bander Johan Nasution, Op.Cit, Hlm. 49.

25

kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, rakyat maupun negara tidak boleh

melanggarnya dan negara justru harus memberikan perlindungan hukum bagi

masyarakat. Karena setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam

hukum.20

Teori atau ajaran tersebut, dikemukakan oleh Krabbe melalui beberapa buku

yang berjudul antara lain: 21

1) Die Lehre der Rechtssouvereinitat, Betrag Zur Staatslehre (1906).

2) De Moderne Staatsidee (1916, diterjmahkan ke dalam bahasa Jerman

tahun 1919 dan ke dalam bahasa Inggris tahun 1922).

3) Het Rechtsgezag (1917).

4) De Innerlijke Waarde Der Wet (1924).

Berdasarkan uraian Teori Kedaulatan Hukum yang dikemukakan oleh Krabbe

tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kedudukan hukum berada di atas negara dan

oleh karena itu negara harus tunduk pada hukum”.22

Dengan kalimat lain, dalam

suatu negara “hukum adalah sebagai panglima”.

20Hardjono, 2009, Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian Terhadap Perubahan UUD

1945, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 105.

21

I Made Pasek Diantha, 2000, “Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman” (Disertasi),

Surabaya, Universitas Airlangga, Program Pascasarjana, Hlm. 214.

22

Ibid.

26

Teori Kedaulatan Hukum berkait erat dengan doktrin negara hukum sesuai

dengan prinsip The Rule of Law dalam tradisi Inggris ataupun berkaitan dengan

prinsip Rechtsstaat menurut tradisi Jerman. Istilah lain untuk menggambarkan

prinsip Kedaulatan Hukum ini digunakan juga istilah nomokrasi (nomocracy)

sebagai konsep kekuasaan oleh nilai atau norma (nomoi).23

Dengan kalimat lain,

bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.24

Pada awalnya pemikiran negara hukum muncul sejak zaman Yunani Kuno

yang dikemukakan oleh Plato (428-347 SM) dengan konsep bahwa

penyelenggaraan negara yang baik adalah didasarkan pada pengaturan yang baik

disebut istilah Nomoi. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas

ketika didukung oleh muridnya, yakni Aristoteles (384-322 SM) dengan karya

Politica. Menurut Aristoteles suatu negara yang baik adalah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum.25

23Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas

Indonesia, Hlm. 112.

24

Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, PT Bhuana

Ilmu Populer, Hlm. 211.

25

Bander Johan Nasution, Op.Cit., Hlm. 50. Istilah Rechtsstaat pertama kali digunakan oleh

Rudolf von Gneist, Guru Besar Universitas Berlin dalam karangannya yang berjudul Das

Englische Verwaltungscrecht (1857). Dalam Karangannya itu digunakan istilah Rechtsstaat untuk

menunjukkan hukum yang berlaku di Inggris. Lihat dalam I Made Pasek Diantha, 2000, Op.Cit.,

Hlm. 66.

27

Di Indonesia istilah negara hukum sering diterjemahkan Rechtstaats atau The

Rule of Law.26

Paham Rechtsstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum

Eropa Kontinental. Ide tentang Rechtsstaats mulai populer pada Abad XVII

sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominasi oleh absolutisme raja.

Paham Rechtsstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental,

seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl (1802-1861).

Sedangkan paham The Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey

menerbitkan bukunya Introduction to the Study of The Law of The Constitution

pada tahun 1885.27

Paham The Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Anglo

Saxon atau Common Law System.28

Menurut Friedrich Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan

istilah Rechtsstaat mencakup empat elemen penting, yaitu: 29

1) Perlindungan hak-

hak asasi manusia; 2) Pembagian kekuasaan; 3) Pemerintahan berdasarkan

undang-undang; dan 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

26Agussalim Andi Gadung, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum,

Jakarta, Ghalia Indonesia, Hlm. 33.

27

Buku Introduction to the Study of the Law of the Constitution karya A.V. Dicey

diterjemahkan dalam edisi Indonesia A.V. Dicey, 2008, Pengantar Studi Hukum Konstitusi

(Penerjemah Nurhadi), Bandung, Cet. II, Nusamedia.

28

Firdaus Arifin Suharizal, 2007, Refleksi Reformasi Konstitusi, 1998-2002, Bandung, Citra

Aditya Bakti, Hlm. 59.

29

Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrati, Jakarta, PT. Bhuana

Ilmu Populer, Hlm., 199., Bdk. Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar

Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Hlm.130.

28

Pada bagian lain, Philipus M. Hadjon mengemukakan ciri-ciri Rechtsstaat

adalah: 1) adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan

tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, 2) adanya pembagian

kekuasaan negara, dan 3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.30

A.V. Dicey sebagaimana dikutif oleh Jimly Asshiddiqie menyebut tiga ciri

penting The Rule of Law, yaitu:31

1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law); 2)

Kesamaan Dihadapan Hukum (Equality Before the Law); dan 3) Asas Legalitas

(Due Process of Law).

Selanjutnya Jimly Asshiddiqie menyatakan keempat prinsip Rechtsstaat yang

dikembangkan oleh F.J. Stahl tersebut, pada intinya dapat digabungkan dengan

ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai

ciri-ciri negara hukum. Bahkan oleh The Interrnational Commission of Jurists,

prinsip-prinsip negara hukum tersebut ditambah dengan prinsip peradilan bebas

dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman

sekarang makin mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip

yang dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission

30 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, PT.

Bina Ilmu, Hlm. 76.

31

Jimly Asshiddiqie, 2009, Ibid.

29

of Jurists adalah: 1) negara harus tunduk pada hukum, 2) pemerintahan

menghormati hak-hak individu, 3) peradilan yang bebas tidak memihak.32

Wolfgang Friedman sebagaimana dikutif Jimly Asshiddiqie membedakan

antara Rule of Law dalam arti formal, yaitu dalam arti organized public power dan

Rule of Law dalam arti material, yaitu the rule of just law. Perbedaan ini

dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu,

keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena

pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran

pengertian hukum formal dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum

material. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan

perundang-undangan dengan semata, niscaya pengertian negara hukum yang

dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin

keadilan substantif.33

Pada bagian lain, Brian Tamanaha (2004) sebagaimana dikutif oleh Marjane

Termoshuizen-Art membagi konsep Rule of Law dalam dua kategori, fomal and

substantive. Setiap kategori, yaitu Rule of Law dalam arti formal dan Rule of Law

dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep

32Jimly Asshiddiqie, 1999, Op.Cit., Hlm. 198-99.

33

Jimly Asshiddiqie, 2009, Op.Cit., Hlm. 200.

30

negara hukum atau Rule of Law mempunyai enam bentuk. Adapun hal tersebut

adalah sebagai berikut34

:

1. Rule by Law (bukan Rule of Law) dimana hukum hanya difungsikan

sebagai instrument of government action. Hukum hanya dipahami dan

difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan

prediktabilitasnya sangat tinggi serta sangat disukai oleh para pengusaha

sendiri, baik yang mengusai modal maupun yang menguasai proses-

proases pengambilan keputusan politik.

2. Formal Legality, mencakup ciri-ciri yang bersifat: 1) prinsip

prospektivitas (rule written in adcance) dan tidak boleh bersifat retroatif,

2) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, 3) jelas (clear), 4)

publik, dan 5) relatif stabil. Artinya, dalam bentuk yang formal legality itu

diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.

3. Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum

yang menjamin kepastian. Tetapi menurut Tamanaha sebagai a procedural

mode of legitimation, demokrasi juga mengandung keterbatasan-

keterbatasan yang serupa dengan formal legality. Seperti dalam formal

legality, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum yang buruk dan

tidak stabil Karena itu dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas

34Brian Tamanaha (2004) dalam Marjanne Termoshuizen-Art, “The Concept of Rule of

Law” dalam Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3-Tahun II.,

November 2004, Hlm, 83-92.

31

hukum dalam arti formal atau Rule of Law dalam arti formal sekali pun

tetap juga timbul ketidakpastian hukum. Nilai-nilai kepastian dan

prediktibilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat

saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezim otoriter yang lebih

menjamin stabilitas dan kepastian.

4. Substantive views yang menjamin individual rights.

5. Rights of dignity and/ or justice.

6. Social welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.

Pada bagian lain, Sri Sumantri M menguraikan ada empat unsur-unsur

terpenting dari negara hukum. Adapun keempat unsur tersebut, yaitu:35

1) bahwa

pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas

hukum atau peraturan perundang-undangan, 2) adanya jaminan terhadap hak-hak

asasi manusia (warga negara), 3) adanya pembagian kekuasaan dalam negara, dan

4) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Terkait uraian tentang negara hukum di atas, Jimly Asshiddiqie merumuskan

adanya 13 prinsip pokok negara hukum (Rechtsstaat) sekaligus sebagai pilar-pilar

utama menyangga berdiri tegaknya Negara Republik Indonesia yang modern dan

demokratis sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (The Rule of Law atau

pun Rechtsstaat). Adapun ketiga belas prinsip pokok negara hukum dimaksud

35Sri Sumantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni,

Hlm, 29-30.

32

meliputi:36

1) Supremasi hukum (Supremacy of Law); 2) Persamaan dalam hukum

(Equality Before the Law); 3) Asas legalitas (Due Process of Law); 4) Pembatasan

kekuasaan; 5) Organ-organ penunjang yang independen; 6) Peradilan bebas dan

tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara

(Constitutional Court); 9) Perlindungan hak asasi manusia; 10) Bersifat

demokratis (Democratishe Rechtsstaat; 11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan

tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat); 12) Transparan dan kontrol sosial, dan 13)

Berketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan

empiris prinsip-prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa masalah hukum

diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif

mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara

hierarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris

terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri

pada aturan hukum.37

Prinsip-prinsip maupun unsur-unsur negara hukum sebagaimana diuraikan di

atas telah termuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan untuk

mewujudkan negara hukum tampak lebih konkret pasca perubahan Undang-

36Jimly Asshiddiqie, 2011, Op.Cit., Hlm. 13.

37

Jimly Asshiddiqie, 2009, Ibid., Hlm. 212.

33

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa

Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam salah satu uraian terkait dengan

negara hukum, Palguna menyatakan bahwa salah satu gagasan mendasar yang

melandasi dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 adalah gagasan untuk menegakkan paham negara hukum.

Paham negara hukum sebagaimana tertuang dalam rumusan Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berkait erat

dengan paham demokrasi, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedemikian eratnya kaitan

tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa paradigma yang melandasi seluruh

perubahan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah

terletak pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan pengejawantahan dari

amanat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 alenia keempat.38

Teori Kedaulatan Hukum sebagaimana diuraikan di atas digunakan sebagai

landasan teori untuk membahas permasalahan pertama, yaitu bagaimana konsep

perlindungan hukum terhadap hak dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam

38I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya

Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm . 25-26.

34

sistem ketetanegaraan Indonesia. Perlindungan hukum yang dimaksud didasarkan

atas ketentuan normatif sebagaimana diatur dalam Konstitusi Negara Republik

Indonesia maupun dalam peraturan perundang-undangan.

1.7.2 Teori Hak Asasi Manusia

Perdebatan tentang nilai-nilai hak asasi manusia apakah universal (artinya

nilai-nilai hak asasi manusia berlaku umum di semua negara) atau partikular

(artinya nilai-nilai hak asasi manasia pada suatu negara sangat kontekstual yaitu

memunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap negara karena ada

keterikatan dengan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang pada suatu

negara) terus berlanjut. Berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, paling

tidak menurut Peter Davies ada tiga teori yang dapat dijadikan kerangka, yaitu: 1)

Teori Realitas (Realistic Theory), 2) Relativisme Kultural (Cultural Relativism

Theory), dan 3) Teori Radikal Universalisme (Radical Universalism Theory).39

39Teori hak asasi manusia yang dikemukakan Peter Davies (1994) dijadikan landasan teori

dalam penelitian ini. Lihat dalam Abdul Rozak (Ed,), 2005, Demokrasi, Hakl Asasi Manusia &

Masyarakat Madani, Jakarta, Prenada Media, Cet. III, Hlm. 217-19 Bandingkan juga dalam

Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan

Internasional (Penerjemah: A. Handyana Pudjaatmaka), Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Hlm.

32-53 menguraikan empat teori hukum hak asasi manusia, yaitu: Hukum Kodrati dan Hak

Kodrati, 2) Positivisme, 3) Realisme Hukum, dan 4) Marxisme. Sedang Rhona KM. Smith, dkk

(Ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pusham UII, Hlm. 18-24 menguraikan teori hak

asasi manusia meliputi: 1) Teori Universalisme (Universalist Theory) Hak Asasi Manusia, 2)

Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory), dan 3) Teori Memadukan Universalime

dan Pluralisme Lihat juga dalam Andrey Sujatmoko, 2015, Hukum HAM dan Hukum

Humaniter, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hlm. 7-10.

35

1. Teori Realitas (Realistic Theory)

Teori Realitas mendasari pandangannya pada asumsi adanya manusia yang

menekankan self interest dan egoisme dalam dunia seperti bertindak

anarkis. Dalam situasi anarkis, setiap manusia saling mementingkan

dirinya sendiri, sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak

manusiawi di antara individu dalam memperjuangkan egoisme dan self

interst-nya. Dengan demikian, dalam situasi anarkis prinsip universalitas

moral yang dimiliki setiap individu tidak dapat berlaku dan berfungsi.

Untuk mengatasi situasi demikian negara harus mengambil tindakan

berdasarkan power dan security yang dimiliki dalam rangka menjaga

kepentingan nasional dan keharmonisan sosial dibenarkan. Tindakan yang

dilakukan negara seperti di atas tidak termasuk dalam kategori tindakan

pelanggaran hak asasi manusia oleh negara.

2. Teori Relativisme Kultural (Cultural Relativism Theory)

Teori Relativisme Kultural berpandangan bahwa nila-nilai moral dan

budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral

hak asasi manusia bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada

suatu negara. Dalam kaitan dengan penerapan hak asasi manusia menurut

teori ini ada tiga model penerapan hak asasi manusia, yaitu:

36

a) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak sipil, hak

politik dan hak pemilikan pribadi.

b) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak ekonomi

dan hak sosial.

c) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak

penentuan nasib sendiri (self determination) dan pembangunan

ekonomi.

Bahwa model pertama banyak dilakukan oleh negara-negara yang

tergolong maju. Model kedua banyak diterapkan di dunia berkembang

dan untuk model ketiga banyak diterapkan di dunia terkebelakang.

3. Teori Radikal Universalitas (Universalism Radical Theory)

Teori Radikal Universalitas berpandangan bahwa semua nilai termasuk

nilai-nilai hak asasi manusia adalah bersifat universal dan tidak bisa

dimodifiksi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah

suatu negara. Kelompok radikal universalitas menganggap hanya ada satu

paket pemahaman mengenai hak asasi manusia bahwa nilai-nilai hak asasi

manusia berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat

diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan

sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan

37

terhadap nilai-nilai hak asasi manusia berlaku sama dan universal bagi

semua negara dan bangsa.

Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai hak asas manusia

tersebut, ada dua arus pemikiran dan pandangan yang saling tarik menarik

dalam melihat relativitas nilai-nilai hak asasi manusia, yaitu: a) strong

relativist, dan b) weak relativist.

a) Strong Relativist

Strong relativis beranggapan bahwa nilai hak asasi manusia dan nilai-

nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan

tertentu. Sedangkan universalitas nilai hak asasi manusia hanya

menjadi pengontrol dari nilai-nilai hak asasi manusia yang didasari

oleh budaya lokal atau lingkungan yang spesifik. Berdasarkan

pandangan ini diakui adanya nilai-nilai hak asasi manusia lokal

(partikular) dan nilai-nilai hak asasi manusia yang universal.

b) Weak Relativist

Dalam Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai-nilai hak asasi

manusia bersifat universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan

pertimbangan budaya tertentu. Berdasarkan pandangan ini nampak

tidak adanya pengakuan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia lokal

38

melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai hak asasi manusia

universal.

Terkait dengan ketiga teori tersebut di atas, Teori Universal Radikal (Radical

Universal Theory) yang strong relativist dapat dipahami keberlakuannya di

Indonesia. Teori ini berpandangan bahwa hanya satu hak asasi manusia dan

sekaligus bagi semua bangsa. Meski demikian, ada pandangan bahwa nilai-nilai

hak asasi manusia dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya

dan lingkungan tertentu. Sedangkan universalitas nilai hak asasi manusia hanya

menjadi pengontrol dari nilai hak asasi manusia yang didasari oleh budaya lokal.

Pandangan ini mengakui nilai-nilai lokal (partikular) dan nilai-nilai hak asasi

manusia secara universal.

Adanya pertanyaan bagaimana nilai-nilai universal hak asasi manusia dapat

bertransformasi menjadi hak konstitusional warga negara. Dalam kaitan ini, ada

dua teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan transferabilitas nilai dan norma

hak asasi manusia dari nilai-nilai dan norma-norma lintas negara bangsa menjadi

norma nasional atau negara. Pertama, teori ratifikasi dalam hukum internasional.

Ratifikasi sebagai salah satu prosedur dalam perjanjian internasional

memungkinkan transfer norma hukum yang bersifat lintas yurisdiksi negara.

Ratifikasi merupakan pintu gerbang nasionalisasi hukum internasional, khususnya

yang mengikat secara hukum (legally binding). Kedua, teori transplantasi hukum

dalam studi perbandingan hukum. Meminjam konsep transplantasi hukum, maka

39

transfer norma hak asasi manusia dari satu instrumen internasional hak asasi

manusia ke dalam sistem hukum nasional dimungkinkan. Dalam konteks tersebut,

secara informal Indonesia telah melakukan adaptasi atau transfer norma universal

hak asasi manusia, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan. Ratifikasi yang

dilakukan atas berbagai instrumen internasional hak asasi manusia yang secara

hukum mengikat. Di antara sekian banyak instrumen hak asasi manusia yang telah

diratifikasi adalah kovenan induk hak asasi manusia, yaitu: ICCPR (International

Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International Covenant on

Economic, Social, and Cultural Rights).40

Berdasarkan uraian Teori Hak Asasi Manusia tersebut, maka Teori Universal

Radikal (Radical Universal Theory) yang strong relativist digunakan untuk membahas

masalah kedua, yaitu apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan

data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.41

Adapun metode penelitian ini

meliputi: 1) Jenis Penelitian, 2) Jenis Pendekatan, 3) Sumber Bahan Hukum, 4)

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum, dan 5) Teknik Analisis Bahan Hukum.

40Ismail Hasani (Ed.), 2013, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga:

Mahkamah Konstitusi sebagai Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak

Asasi Manusia, Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara, Hlm. 49-51.

41

Sugiyono, Ibid., Hlm. 18.

40

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam tesis ini menggunakan metode penelitian hukum

normatif,42

yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika ilmu hukum dari sisi normatif, terutama berkaitan dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU- I/2003 yang mencabut atau

membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan hasil penelitian yang

diharapkan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan undang-undang

(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan meneliti

undang-undang yang berkaitan dengan masalah pemenuhan hak politik, terutama

hak dipilih dari mantan anggota partai politik atau organisasi massa (ormas)

terlarang sebagaimana diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2003 yang selanjutnya dicabut atau dibatalkan keberlakuannya melalui

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003. Sedangkan

pendekatan kasus (case approach) digunakan untuk meneliti Putusan Mahkamah

42Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang.

Bayumedia Publishing, Hlm. 57

41

Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mencabut atau membatalkan

ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.

Pendekatan historis (historical approach) digunakan untuk meneliti alasan/

argumentasi (reasoning) para Pemohon dalam mengajukan permohonan uji

materiil (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2003. Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach)

dilakukan dengan mempelajari pandangan, konsep, prinsip-prinsip, norma-norma

hukum, baik norma hukum nasional maupun norma hukum internasional

(konvensi dan deklarasi) yang berkembang dalam ilmu hukum guna membangun

argumentasi hukum terkait dengan perlindungan hukum hak dipilih dari segala

bentuk diskriminasi dengan meneliti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

017/PUU-I/2003.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber

bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier:

1. Bahan Hukum Primer:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan MPRS-RI Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran

Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk

42

Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/

Marxisme-Lenninisme.

c. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi

Manusia.

d. Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR

Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

f. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia.

g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi.

h. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

i. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

j. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

43

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi

Undang-Undang.

k. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

l. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal

25 Februari 2004 Tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

m. Universal Declaration of Human Right (UDHR) 1948.

n. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) 1966.

o. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(ICESCR) 1966.

2. Bahan Hukum Sekunder meliputi buku hukum (text books), jurnal hukum,

karya tulis ilmiah (makalah), dan artikel di media massa yang semuanya

berkaitan atau relevan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-

017/PUU-I/2003 tanggal 25 Februari 2004.

3. Bahan Hukum Tersier meliputi kamus hukum dan kamus lain (Black’s Law

Dictionary) yang terkait dengan elaborasi terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 25 Februari 2004.

44

1.8.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan kegiatan inventarisasi dan

pengelompokan bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi, sehingga

memudahkan kembali penelusuran bahan hukum tersebut. Bahan hukum

dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yaitu dengan melakukan pencatatan

terhadap sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan

hukum tertier.

Setelah dilakukan identifikasi terhadap bahan hukum tersebut, selanjutnya

dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan

atau kutipan dengan menggunakan sistem kartu. Kartu yang digunakan terdiri atas

tiga macam kartu, yaitu: kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu analisis.

Selanjutnya dengan sistem kartu tersebut dalam penelitian ini dilakukan

penelusuran kepustakaan yang terkait dengan konsep perlindungan hukum hak

dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan

akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003

terhadap warga negara.

1.8.4 Teknik Analisis Bahan Hukum

Pengolahan dan penganalisan bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder, digunakan teknik deskriptif

45

analisis, yaitu dengan mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu kemudian

menganalisis melalui teknik analisis sebagai berikut:

1. Teknik deskriptif, yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau

posisi dari preposisi-preposisi hukum atau non-hukum.

2. Teknik evaluatif, yaitu melakukan penilaian dan mengevaluasi, tepat atau

tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap suatu

pandangan, preposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang

tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

3. Teknik interpretatif, yaitu menafsirkan dengan menggunakan teknik-teknik

penafsiran terhadap adanya konflik norma atau norma kabur yang

melandasi pemberlakuan suatu peraturan perundangan-undangan, termasuk

pandangan maupun landasan pemikiran yang dikemukakan oleh Hakim

Mahkamah Konstitusi sebagai ratio decidendi dalam menjatuhkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan pendapat berbeda

(dissenting opinion) yang dikemukan oleh salah satu Hakim Mahkamah

Konstitusi.

4. Teknik argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan

yang bersifat penalaran hukum (legal reasoning) terhadap berbagai

pemikirann yang menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-

46

I/2003, termasuk adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam

putusan dimaksud.

1.9 Sistematika Penulisan

Sistematiasi penulisan dalam penelitian ini meliputi lima bab, yaitu: Bab I

sampai dengan Bab V. Bab I merupakan “Pendahuluan” berisi uraian tentang Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Ruang Lingkup Masalah, Tujuan

Penelitian: Tujuan Umum dan Tujuan Khusus, Manfaat Penelitian: Manfaat

Teoretis dan Manfaat Praktis, Originalitas Penelitian Tesis, Landasan Teoretis:

Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Hak Asasi Manusia (HAM), dan Metode

Penelitian: Jenis Penelitian, Jenis Pendekatan, Sumber Bahan Hukum, Teknik

Pengumpulan Bahan Hukum, dan Teknik Analisis Bahan Hukum.

Bab II menguraikan tentang “Hak Dipilih dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia (HAM)”, serta diuraikan tentang Definisi Hak Dipilih, Sejarah Hak

Dipilih, Perkembangan Hak Dipilih, dan Kaitan Hak Dipilih dengan Hak Asasi

Manusia.

Bab III merupakan elaborasi terhadap permasalahan pertama sehingga

pembahasannya meliputi: “Perlindungan Hukum terhadap Hak Dipilih” dengan

rincian pembahasan: Perlindungan Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, Hak Dipilih dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Demokrasi sebagai

47

Dasar Hak Asasi Manusia untuk Hak Dipilih dan Bentuk-Bentuk Hak Asasi

Manusia dan Tempat Hak Dipilih.

Bab IV merupakan elaborasi terhadap permasalahan kedua, yaitu tentang:

“Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003

terhadap Warga Negara.” Terkait dengan elaborasi tersebut pembahasan meliputi:

Pertimbangan dan Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-

I/2003, Pertimbangan Hukum, Amar Putusan, Pendapat Beda (Dissenting

Opinion), Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-

I/2003, Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-

I/2003, Keterbatasan Putusan Hanya pada Lembaga Perwakilan, Akibat Hukum

dalam Bidang Politik untuk Hak Dipilih, dan Perspektif Negara Hukum dan Hak

Asasi Manusia.

Pada Bab V merupakan “Penutup” sekaligus berisi Simpulan dan Saran terkait

dengan penelitian ini.