BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id Final... · Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id Final... · Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) telah menjatuhkan putusan
kontroversial, penting dan fenomenal pada tanggal 24 Februari 2003. Permohonan
pengujian terhadap Pasal 60 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota` Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003), diajukan oleh dua Pemohon (Pemohonan I
diajukan tanggal 15 0ktober 2003 teregister perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan
Pemohonan II diajukan dan diterima pada tanggal 19 November 2003 teregister
perkara Nomor 017/PUU-I/2003) teregister perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003.
Mahkamah Konstitusi dalam membacakan Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003
setebal 40 halaman selama dua jam secara bergantian,1 ternyata Putusan
1Sidang yang berlangsung selama dua jam Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Februari
2004 telah melahirkan sebuah keputusan penting. Selanjutnya dikatakan, putusan yang dibuat
benar-benar didasarkan pada pertimbangan hukum, hak asasi manusia (HAM) dan rasa keadilan
masyarakat. Di samping itu, seorang hakim menunjukkan independensinya dengan membuat
pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Todung Mulya Lubis “Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 dari Perspekif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”
dalam Jurnal Konstitusi Vol.1, No 1, Juli 2004. Hlm 12-29; “Mahkamah Konstitusi telah
membuka lembaran “baru” dalam sejarah perlindungan hak-hak warga negara di Indonesia”
sekaligus “membuka dan merintis jalan untuk memulai rekonsiliasi demi masa depan Indonesia
yang lebih demokratis dan berkeadilan” Ifdhal Kasim “Analisis Putusan MK dalam Perspektif
Rekonsiliasi Nasional”; dalam Jurnal Konstitusi Vol.1 No 1, Juli 2004 hlm 30-44; “Putusan ini
tak urung menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Tetapi putusan MK ini telah mengurangi
2
Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bulat. Delapan Hakim Konstitusi berpendapat
sama, sedang Hakim Konstitusi lainnya (Achmad Roestandi) memberikan
pendapat berbeda (dissenting opinion).2
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 telah
menjatuhkan amar putusan dengan menyatakan: 1) mengabulkan permohon
permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh sebagian Pemohon; 2)
menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4277) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; 3) menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
isolasi politik selama puluhan tahun terhadap para eks PKI” dalam Bambang Sutiyoso, 2009, Tata
Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta, UII Press, Hlm.
111.
2Ada sejumlah hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945, tetapi berdasarkan
Pasal 28J semua HAM itu dapat dibatasi dengan alasan tertentu, kecuali HAM yang disebutkan
dalam Pasal 28I. Ketujuh HAM yang terdapat dalam Pasal 28I itu adalah mutlak. Kemutlakan itu
mungkin saja tidak sejalan dengan deklarasi, kovenan, atau statuta yang dikeluarkan oleh lembaga
internasional. Namun demikian, tugas saya sebagai hakim konstitusi adalah menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD 1945, bukan menguji undang-undang dasar
terhadap hukum internasional. (Achmad Roestandi,“Mengapa Saya Mengajukan Dissenting
Opinion” dalam Refly Harun, dkk (Ed.), 2004, Menjaga Denyut Konstitusi, Jakarta, Konstitusi
Press, Hlm. 50-51).
3
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4277) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan
kalimat lain, Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menyaratkan bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan
orang yang terlibat langsung atau tak langsung dalam G-30-S/PKI, atau organisasi
terlarang lainnya.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pencabutan Pasal 60 huruf g
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 karena Indonesia secara konstitusional
melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melarang
diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik. Ketentuan konstitusi tersebut sesuai dengan Artikel 21
Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
dan Article 25 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
4
Terkait dengan hak memilih dan dipilih, Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote
and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-
undang maupun konvensi internasional hak asasi manusia, maka pembatasan,
penyimpangan, peniadaan dan penghapusan terhadap hak-hak tersebut merupakan
pelanggaran hak asasi dari warga negara. Dengan demikian, ketentuan Pasal 60
huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan juga dengan Pasal
28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembatasan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud Pasal 60 huruf g
hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. Pembatasan hak pilih
(baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas
pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta
ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh
putusan pengadilan yang tekah berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya
bersifat individual dan kolektif.
Mahkamah Konstituasi juga berpendapat suatu tanggung jawab pidana hanya
dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut
serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu
tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta
prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggungjawab dibebankan kepada
seseorang yang tidak terlibat secara langsung. Di samping itu, Mahkamah
5
Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g tidak relevan dengan
upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia
menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.
Hakim Konstitusi Achmad Roestandi memberikan pendapat berbeda
(dissenting opinion). Dikatakan bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 seolah-olah tidak selalu sejalan dengan semangat
yang terkandung dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Menurutnya, pembatasan tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 60 huruf g tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 merupakan
refleksi atas kondisi sosial politik Indonesia di satu pihak dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 di
pihak lain. Bila dirunut kontroversi atas keberadaan Pasal 60 huruf g dapat
ditandai ketika pembahasan rumusan Pasal 60 huruf g di DPR. Kontroversi
pendapat tidak saja di antara anggota DPR melainkan juga pendapat yang
dikemukakan oleh para pakar, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Dalam proses
persetujuan DPR, mekanisme pengambilan suara terbanyak, hampir 1/3 anggota
6
tidak menyetujui adanya larangan bekas PKI dan partai terlarang ikut dalam
Pemilu.3
Ketika Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dimohonkan
constitutional review ke Mahkamah Konstitusi, pemerintah diwakili Menteri
Dalam Negeri Hari Sabarno dan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra
tidak sependapat dengan alasan-alasan/ argumentasi yang dikemukakan oleh para
Pemohon. Pemerintah berpendapat bahwa: 1) Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J
merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan,
sehingga pemahaman terhadap ketentuan HAM harus dipahami secara utuh kaitan
pasal demi pasal, dimana Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I memberi HAM bagi
warga negara Republik Indonesia dan Pasal 28J memberikan pembatasan hak asasi
warga negara Republik; 2) masih berlakunya TAP MPRS-RI Nomor
XXV/MPRS/1966 yuncto TAP MPR-RI Nomor I/MPR/2003, sehingga organisasi
terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau terlarang lainnya dibatasi hak
asasinya sebagai warga negara Republik Indonesia.
Frans Magnis Suseno berpendapat: 1) andaikata TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 mempunyai kedudukan hukum yang sah, tetapi pelarangan
terhadap anggota PKI untuk memilih dan dipilih tetap tidak berdasar karena
bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia; 2) keanggotaan
di dalam PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya sebelum keluarnya
3Todung Mulya Lubis. Loc. Cit.
7
TAP MPRS tersebut bukan merupakan kesalahan apa pun, tidak menjadi
pelanggaran apa pun, kecuali mereka melakukan perbuatan yang melawan hukum
dan diputus oleh pengadilan.
Thamrin Amal Tomagola berpendapat bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 merupakan pelanggaran yang mendasar
terhadap partisipasi politik warga negara karena dalam sistem demokrasi yang
dipahami sebagai popular control system over collective decision making, maka
terdapat pihak atau kelompok yang secara umum dilarang untuk berpartisipasi.
Berbagai pendapat kritis yang disampaikan saat pembahasan di DPR maupun
saat pengujian konstitusional (constitutional review) di Mahkamah Konstitusi
terkait ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, apakah
merupakan pembatasan hak-hak warga negara sebagai ditentukan dalam Pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan
normatif tersebut, ternyata memunculkan dua pendapat berbeda. Pertama, para
Pemohon (yang memiliki legal standing) berpendapat bahwa ketentuan Pasal 60
huruf g merupakan ketentuan dikriminatif karena bertentangan dengan Pasal 28C
sampai dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kedua, pemerintah berpendapat Pasal 60 huruf g telah sesuai Pasal
28A sampai dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan adanya pembatasan sesuai Pasal 28J meski harus dipahami secara utuh
8
pasal demi pasal sesuai Pasal 28A sampai Pasal 28I Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pendapat kedua ini diamini Hakim Konstitusi Achmad Roestandi dengan
berpendapat berbeda (dissenting opinion) atas Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 011-017/PUU-I/2003). Meski demikian, Mahkamah Konstitusi sebagai
pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga sebagai pengawal demokrasi (the
guardian and the sole interpreter of the constitution as well as the guardian of the
process of democratization)4 sekaligus sebagai pelindung hak konstitusional warga
negara (the protector of the citizens constitution rights)5 melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 telah mencabut ketentuan
Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Putusan Mahkamah
Konstitusi mencabut ketentuan Pasal 60 huruf g, menurut Todung Mulya Lubis
merupakan putusan yang benar-benar berdasarkan pada pertimbangan hukum, hak
asasi manusia (HAM) dan rasa keadilan masyarakat.6
Dalam menjatuhkan putusan, Mahkamah Konstitusi berpegang pada
kewenangan dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, penerjemah tunggal
konstituasi dan penjaga dari proses demokrasi. Di samping itu, Mahkamah
4Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta,
Konstitusi Press, Cet. I, Hlm. 105.
5Jenedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm. 7.
6Todung Mulya Lubis, Loc. Cit.
9
Konstitusi sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector
of the citizen constitutional rights) dan sebagai pelindung hak asasi manusia (the
protector of human rights).7
Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dicabut karena
dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap hak-hak asasi warga negara atau
diskriminasi terhadap hak konstitusional warga negara terkait hak-hak politik.
Pengingkaran tersebut tidak saja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 melainkan juga
terhadap Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Substansi Pasal 60
huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 merupakan hak politik warga
negara yang dimanifestasikan hak memilih dan dipilih. Hak memilih dan dipilih
sebagai hak konstitusional warga negara telah mendapatkan tempatnya yang
sangat positif dimana Indonesia sebagai negara hukum sekaligus sebagai bentuk
perlindungan hukum, pemenuhan hukum dan pengembangan hak asasi manusia di
masa depan. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi a quo tidak saja dapat
menjadi pertimbangan maupun referensi perancangan peraturan perundangan-
undangan bagi legislatif, eksekutif melainkan juga bagi peningkatan kualitas
demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
7Maruarar Siahaan menyebutkan sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam
UUD 1945, fungsi pelindung (protector) konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi
manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Lihat dalam Maruarar Siahaan, 2005, Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, Hlm.11.
10
Sejalan dengan hal tersebut, perancangan peraturan perundang-undangan
maupun produk-produk bentukan legislatif telah sepatutnya mengacu pada norma-
norma hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-U/2003,
termasuk hak memilih dan dipilih sebagai hak politik yang nota bene sebagai
bagian dari hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
Dengan kalimat lain, Eko Prasojo menyebut bahwa kewenangan hukum
Mahkamah Konstitusi berakhir tatkala pembatalan ketentuan pasal tersebut
dilakukan. Pada saat bersamaan kewenangan politik legislatif terhadap eks anggota
terlarang PKI dimulai. Batas-batas apa yang dapat diatur terhadap hak-hak politik
eks anggota PKI, sepenuhnya yang berada dalam wilayah kewenangan
legislatif8. Apalagi menginggat konsekuensi atas putusan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat final dan mengikat (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003), maka dapat diartikan Putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh9 dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).
Putusan Makamah Konstitusi berlaku dengan sendirinya (self executing) tanpa
8Eko Prasojo, 2006, “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum dan Politik Indonesia”
dalam Jentera Jurnal Hukum, Jakarta, Edisi 11, Tahun III, Januari-Maret, Hlm. 26-37
9Maruarar Siahaan, 2005, Ibid., Hlm. 208.
11
memerlukan upaya paksa serta tidak hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara
tetapi juga mengikat semua orang (erga omnes).10
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan Pasal 60 huruf g
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 telah memunculkan tidak saja konflik
norma melainkan normanya pun kabur. Hal ini ditandai dengan adanya
permohonan pengajuan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi
terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
Konfliks norma antara norma dalam Pasal 60 huruf g dengan pasal-pasal yang
menjadi larangan diskriminasi dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Indonesia secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 melarang adanya diskriminasi sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2). Selanjutnya dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada bagian lain, ketentuan Pasal 60 huruf g memunculkan norma kabur atau
normanya tidak jelas, yakni ditandai dengan adanya multi interpretasi tentang
validitas ketentuan Pasal 60 huruf g yang menentukan bahwa “bukan bekas
anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan
10Jenedjri M. Gaffar, Ibid., Hlm. vi.
12
orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung11
dalam G-30-S/PKI, atau
organisasi terlarang lainnya” Dengan norma hukum seperti itu, khususnya kalimat
“terlibat langsung ataupun tak langsung” dalam ketentuan Pasal 60 huruf g
memunculkan multi interpretasi atas norma hukum dimaksud sehingga norma
semacam ini dikualifikasi sebagai norma kabur.
Sejalan dengan hal tersebut dimana kewenangan dan fungsi Mahkamah
Konstitusi di samping sebagai penjaga, penafsir konstitusi dan pelindung hak-hak
konstitusional warga negara maupun sebagai pelindung hak asasi manusia
tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003.
Dengan demikian, apa yang menjadi landasan pemikiran Mahkamah Konstitusi
dalam menjatuhkan perkara a quo nampak dalam pertimbangan-pertimbangan
hukumnya dimana dalam putusannya memiliki sifat yang menentukan atau faktor-
faktor yang esensial (ratio decidendi) tidak dapat dilepaskan dari kewenangan dan
fungsi dimaksud.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mendalam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
yang mengetengahkan tesis dengan judul: ”Perlindungan Hukum Hak Dipilih
dari Segala Bentuk Diskriminasi: Studi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 011-017/PUU-I/2003.”
11Dalam Penjelasan atas Pasal 60 huruf g hanya dijelskan “cukup jelas”. Atas Penjelasan
tersebut dapat memunculkan multi interpretasi atas ktentuan norma tersebut.
13
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep perlindungan hukum terhadap hak untuk dipilih dari
segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
2. Apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-
I/2003 terhadap warga negara?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Bahwa untuk mencegah pembahasan dalam penelitian ini meluas dan tidak
fokus, maka dipandang perlu untuk melakukan pembatasan terhadap ruang lingkup
masalah. Adanya ruang lingkup masalah diharapkan sebagai pembatas sekaligus
dapat menjawab kedua masalah yang dikedepankan dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi pada; Pertama, kajian mengenai konsep
perlindungan hukum hak untuk dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem
ketetanegaraan Indonesia. Kedua, apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.
1.4 Tujuan Penelitian
Bahwa dalam penelitian ini mempunyai dua (2) tujuan, yaitu: 1) tujuan umum,
dan 2) tujuan khusus
14
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi dan mengkaji konsep perlindungan hukum hak untuk
dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
2. Sebagai bahan dalam pengembangan ilmu hukum, terutama terkait
dengan apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendekripsikan dan menganalisis konsep perlindungan hukum terhadap
hak untuk dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
2. Mendekripsikan dan menganalisis apa akibat hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap warga
negara.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis.
15
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan:
1. Dapat menemukan konsep atau prinsip yang berkenaan dengan
perlindungan hukum dalam kaitannya dengan hak untuk dipilih dari
segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
2. Meneliti dan melakukan analisis akibat hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pembentuk undang-undang (legislatif) dimana penelitian ini dapat
dijadikan sebagai landasan teoretis dan referensi dalam perancangan
undang-undang, terutama terkait dengan perlindungan hukum hak dipilih
dari segala bentuk diskriminasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 011-017/PUU-I/2003.
2. Pemerintah (eksekutif) dimana penelitian ini dapat dijadikan sebagai
landasan teoretis dan referensi dalam menyusun undang-undang,
peraturan pemerintah dan peraturan perundangan-undangan lain yang
menjadi kewenangan Pemerintah (eksekutif).
16
3. Praktisi hukum atau penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat)
penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan dalam
menangani perkara yang terkait dengan pelindungan hukum hak dipilih
dari segala bentuk diskriminasi.
4. Mahasiswa dan masyarakat pada umumnya bahwa penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dalam menambah khazanah
kepustakaan di bidang perlindungan hukum hak dipilih dari segala bentuk
diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
1.6 Orisinalitas Penelitian Tesis
Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang menulis topik:
“Perlindungan Hukum Hak Dipilih dari Segala Bentuk Diskriminasi: Studi
Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003”
sebagaimana tercermin dalam penelitian ini:
1. “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah” (Skripsi) ditulis pada tahun 2012 oleh Gugun Ridho
Putra (NIM: 0606079641) pada Fakultas Hukum Program Studi Hukum
17
Kekhususan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Depok12
, dengan
mengetengahkan rumusan masalah:
1. Bagaimana pengaturan perundang-undangan Indonesia mengatur
jaminan hak politik warga negara Republik Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan perundang-undangan Indonesia mengatur
pembatasan hak politik mantan narapidana di Indonesia?
3. Bagaimana konstitusionalitas hak politik mantan narapidana untuk
menjadi kepala daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14-17/PUU-V/2007 dan Nomor 4/PUU-V/2009?
Pada intinya skripsi ini mengkaji hak dipilih mantan narapidana sebagai
hak politik. Hak dipilih bagi mantan narapidana dalam beberapa peraturan
perundang-undangan memuat pembatasan, terutama pembatasan dalam
jabatan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pembatasan dimaksud ditujukan kepada mereka yang pernah menjadi
narapidana atas putusan tindak pidana dengan ancaman pidananya lebih
dari 5 (lima) tahun dan putusan mana telah berkekuatan hukum tetap
12Gugun Ridho Putra, 2012, “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah” (Skripsi), Depok, Fakultas Hukum Program Studi Hukum Kekhususan Hukum
Tata Negara, Universitas Indonesia.
18
(inkracht van gewijsde) sebagaimana diatur dalam Pasal 58 huruf f
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Ternyata ketentuan Pasal 58
huruf f tersebut telah dimohonkan pengujian konstitusional
(constitutional review) ke Mahkamah Konstitusional dengan putusan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Dengan demikian,
hak dipilih bagi mantan narapidana ada pembatasan-pembatasan dalam
upaya jabatan kepala daerah.
2. “Pengaturan Hak Pilih TNI dan Polri dalam Sistem Demokrasi di
Indonesia (Studi Perbandingan Pemilihan Umum Tahun 1955, Orde
Baru, dan Era Reformasi)” (Skripsi) ditulis oleh Nugraha Widya Putra
(NIM: 06410184), pada tahun 2012 di Fakultas Hukum, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta13
, dengan mengetengahkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hak pilih TNI dan Polri dalam sistem demokrasi di
Indonesia pada Pemilu tahun 1955?
2. Bagaimanakan hak pilih TNI dan Polri dalam sistem demokrasi di
Indonesia pada Pemilu masa Orde Baru?
13Nugraha Widya Putra, 2012, “Pengaturan Hak Pilih TNI dan Polri dalam Sistem Demokrasi
di Indonesia (Studi Perbandingan Pemilihan Umum Tahun 1955, Orde Baru, dan Era Reformasi).”
(Skripsi), Yogyakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
19
3. Bagaimanakan hak pilih TNI dan Polri dalam sistem demokrasi pada
Era Reformasi?
Pada intinya dalam skripsi ini diuraikan bahwa pada Pemilu tahun 1955
hak memilih bagi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(disingkat ABRI belakangan disebut TNI) dan Polri diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Pasal 3 ayat (1). Sedangkan hal
ini berbeda pada masa Orde Baru yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Dalam Pasal 11 ditentukan bahwa
anggota Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih
serta Pasal 14 menentukan bahwa anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indobnesia tidak menggunakan hak dipilih. Pada era reformasi sesuai
ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 menyebutkan TNI tidak
menggunakan hak pilihnya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003
menyebutkan bahwa anggota TNI/Polri tidak menggunakan hak memilih.
Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menentukan bahwa anggota
TNI/Polri harus mengundurkan diri dari jabatannya.
3. Todung Mulya Lubis “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/2003 dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”
20
dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No. 1 Juli 2004. Dalam artikel tersebut
ada tiga (3) masalah yang dikedepankan, yaitu:14
a) Pro dan kontra putusan
MK; b) Bobot penting Putusan MK; c) Setelah Putusan MK: “Nasib”
perundangan lainnya.
Pada intinya penulis mengakui bahwa pendapat pro maupun kontra
terhadap putusan MK tersebut sebenarnya telah dimulai saat pembahasan
terhadap Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat.
Secara politis dikhotomi pendapat pro dan kontra mencerminkan aspirasi
yang berkembang dalam masyarakat. Ternyata sikap pro dan kontra ini
mewarnai juga pendapat yang berkembang di antara Hakim Mahkamah
Konstitusi. Tidak urung pendapat berbeda (dissenting opinion) pun muncul
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003. Bobot
penting putusan MK adalah dimana MK telah berhasil keluar dari
pertimbangan politis dengan menggunakan argumen-argumen dan
penjelasan pasal-pasal tentang HAM dalam standar dan norma domestik
dan internasional. Sedangkan pasca Putusan MK, ada dua pendapat
berbeda. Pertama, keputusan MK ini, secara praktek ketetanegaraan dapat
menjadi preseden dan dapat dianggap applied terhadap aturan-aturan yang
14Todung Mulya Lubis., Ibid.
21
sejenis. Kedua, pendapat yang menyatakan semua perundang-undangan
yang dinilai diskiriminatif mesti diuji materi satu persatu.
4. Muhardi Hasan dan Estika Sari “Hak Sipil dan Politik” dalam Jurnal
Demokrasi, Vol. IV No.1 2005. Artikel ini akan menjelaskan urgensi
pemeliharaan hak-hak sipil dan politik sebagai kebutuhan obyektif bagi
semua orang dari suatu negara, baik domestik maupun internasional. Selain
itu, artikel ini juga akan menguraikan faktor-faktor penentu hak-hak sipil
dan politik di suatu negara. Faktor-faktor penentu meliputi karakteristik
rezim memegang kekuasaan di suatu negara, masuknya hak-hak sipil dan
politik dalam konstitusi dan peraturan lainnya, budaya politik masyarakat,
dan aura politik internasional dalam hal hak asasi manusia.
5. Ifdhal Kasim “Analisis Putusan MK dalam Perspektif Rekonsiliasi
Nasional” dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1, No. 1, Juli 2004, Hlm.30-41.
Dalam artikel tersebut, dinyatakan bahwa dengan putusan tersebut,
Mahkamah Konstitusi telah membuka lembaran “baru” dalam sejarah
perlindungan hak-hak warga negara di Indonesia yang sebanding dengan
Putusan Hakim Agung Amerika Serikat, Earl Warren dalam kasus Brown
vs Board of Education yang terkenal itu. Mahkamah telah menempatkan
dirinya sebagai the guardian of the constitution.
22
Selanjutnya, disebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/2003 tersebut bukan hanya membawa efek pada pemulihan
hak-hak kewarganegaraan (civil and political rights) para
anggota/simpatisan PKI, tetapi juga melapangkan jalan ke arah
“rekonsiliasi nasional” yang hendak diraih bangsa ini ke depan. Hal ini
merupakan implikasi yang lebih luas lagi adalah kepada seluruh rakyat
Indonesia yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi.
1.7 Landasan Teoritis
Kerlinger sebagaimana dikutif Sugiyono menyebut teori sebagai seperangkat
konstruk (konsep), definisi, dan preposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena
secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat
berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.15
Dengan demikian, suatu
teori berfungsi sebagai pisau bedah dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini,
landasan teoretis yang digunakan dalam melakukan kajian atau analisis terhadap
obyek penelitian dengan judul: ”Perlindungan Hukum Hak Dipilih dari Segala
Bentuk Diskriminasi: Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/2003” ini adalah menggunakan beberapa teori. Beberapa teori
dimaksud meliputi Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Hak Asasi Manusia
(HAM). Demikian pula, dalam uraian berikut ini beberapa batasan, pengertian atau
15Sugiyono, 2013, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, Bandung, Alfabeta,
Hlm. 55-56.
23
konsep dan istilah akan digunakan sepanjang relevan dengan penelitian ini,
termasuk istilah perlindungan hukum (dalam konteks negara hukum perlindungan
hukum dimaksud adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia) yang
dikemukakan mencerminkan kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan dan
dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan
hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-undang dasar, undang-undang dan
peraturan hukum.16
1.7.1 Teori Kedaulatan Hukum
Teori Kedaulatan Hukum (Rechtssouvereniteit) dipelopori oleh sarjana
Belanda bernama Hugo Krabbe (1857-1936). Teori Kedaulatan Hukum
merupakan penentangan terhadap Teori Kedaulatan Negara yang mengajarkan
bahwa negara berada di atas hukum karena negaralah yang membuat hukum.
Teori Kedaulatan Hukum tidak dapat menerima kekuasaan seseorang atau
sekelompok penguasa, membuat hukum berdasarkan kehendak mereka pribadi,
kemudian hukum yang dibuatnya itu dikonsepsikan sebagai kehendak negara.
Menurut Teori Kedaulatan Hukum, bukan hukum yang ditentukan oleh negara
tetapi sebaliknya negaralah yang ditentukan oleh hukum dan karena itu negara
adalah produk hukum, jadi negara harus tunduk pada hukum. Mengapa demikian?
Secara sederhana jawabannya karena hukum muncul dari kesadaran hukum setiap
16Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, Bandung, Alumni, Hlm. 17.
24
orang. Tugas negara adalah menjelmakan kesadaran hukum itu dalam bentuk
ketentuan hukum positif berupa peraturan hukum yang dibuat oleh masyarakat
sendiri melalui wakil-wakilnya di parlemen.17
Teori Kedaulatan Hukum berprinsip
bahwa hukumlah satu-satunya yang menjadi sumber kedaulatan. Semua manusia
yang hidup di dunia ini, termasuk badan hukum maupun negara sebagai sebuah
entitas beserta para penyelenggara negara harus tunduk kepada hukum. Untuk
menjelmakan Kedaulatan Hukum atas negara, maka dalam suatu negara harus ada
konstitusi sebagai koridor dari penyelenggara negara.18
Lebih daripada itu sebagai inti dari Teori Kedaulatan Hukum yang
mengajarkan tunduknya negara kepada hukum membawa konsekuensi bahwa
setiap kekuasaan yang ada dalam negara harus tunduk terhadap hukum. Jadi
hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara. Oleh karena itu berpegang
pada Teori Kedaulatan Hukum, maka kekuasaan kehakiman pun harus tunduk
pada hukum. Konsekuensinya semua kekuasaan yang berada di bawah tatanan
negara hukum juga harus tunduk pada hukum.19
Pada bagian lain, Krabbe juga
mengatakan bahwa pada prinsipnya kedaulatan hukum berkaitan dengan kepastian
hukum, keadilan hukum, dan kegunaan hukum. Kesemuanya ini bersumber pada
17Bander Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung,
Mandar Maju, Hlm. 48.
18
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2012, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara,
Bandung: Refika Aditama, Cet, II, Hlm. 114.
19
Bander Johan Nasution, Op.Cit, Hlm. 49.
25
kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, rakyat maupun negara tidak boleh
melanggarnya dan negara justru harus memberikan perlindungan hukum bagi
masyarakat. Karena setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam
hukum.20
Teori atau ajaran tersebut, dikemukakan oleh Krabbe melalui beberapa buku
yang berjudul antara lain: 21
1) Die Lehre der Rechtssouvereinitat, Betrag Zur Staatslehre (1906).
2) De Moderne Staatsidee (1916, diterjmahkan ke dalam bahasa Jerman
tahun 1919 dan ke dalam bahasa Inggris tahun 1922).
3) Het Rechtsgezag (1917).
4) De Innerlijke Waarde Der Wet (1924).
Berdasarkan uraian Teori Kedaulatan Hukum yang dikemukakan oleh Krabbe
tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kedudukan hukum berada di atas negara dan
oleh karena itu negara harus tunduk pada hukum”.22
Dengan kalimat lain, dalam
suatu negara “hukum adalah sebagai panglima”.
20Hardjono, 2009, Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian Terhadap Perubahan UUD
1945, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 105.
21
I Made Pasek Diantha, 2000, “Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman” (Disertasi),
Surabaya, Universitas Airlangga, Program Pascasarjana, Hlm. 214.
22
Ibid.
26
Teori Kedaulatan Hukum berkait erat dengan doktrin negara hukum sesuai
dengan prinsip The Rule of Law dalam tradisi Inggris ataupun berkaitan dengan
prinsip Rechtsstaat menurut tradisi Jerman. Istilah lain untuk menggambarkan
prinsip Kedaulatan Hukum ini digunakan juga istilah nomokrasi (nomocracy)
sebagai konsep kekuasaan oleh nilai atau norma (nomoi).23
Dengan kalimat lain,
bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.24
Pada awalnya pemikiran negara hukum muncul sejak zaman Yunani Kuno
yang dikemukakan oleh Plato (428-347 SM) dengan konsep bahwa
penyelenggaraan negara yang baik adalah didasarkan pada pengaturan yang baik
disebut istilah Nomoi. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas
ketika didukung oleh muridnya, yakni Aristoteles (384-322 SM) dengan karya
Politica. Menurut Aristoteles suatu negara yang baik adalah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum.25
23Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, Hlm. 112.
24
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, PT Bhuana
Ilmu Populer, Hlm. 211.
25
Bander Johan Nasution, Op.Cit., Hlm. 50. Istilah Rechtsstaat pertama kali digunakan oleh
Rudolf von Gneist, Guru Besar Universitas Berlin dalam karangannya yang berjudul Das
Englische Verwaltungscrecht (1857). Dalam Karangannya itu digunakan istilah Rechtsstaat untuk
menunjukkan hukum yang berlaku di Inggris. Lihat dalam I Made Pasek Diantha, 2000, Op.Cit.,
Hlm. 66.
27
Di Indonesia istilah negara hukum sering diterjemahkan Rechtstaats atau The
Rule of Law.26
Paham Rechtsstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental. Ide tentang Rechtsstaats mulai populer pada Abad XVII
sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominasi oleh absolutisme raja.
Paham Rechtsstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental,
seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl (1802-1861).
Sedangkan paham The Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey
menerbitkan bukunya Introduction to the Study of The Law of The Constitution
pada tahun 1885.27
Paham The Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Anglo
Saxon atau Common Law System.28
Menurut Friedrich Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan
istilah Rechtsstaat mencakup empat elemen penting, yaitu: 29
1) Perlindungan hak-
hak asasi manusia; 2) Pembagian kekuasaan; 3) Pemerintahan berdasarkan
undang-undang; dan 4) Peradilan Tata Usaha Negara.
26Agussalim Andi Gadung, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum,
Jakarta, Ghalia Indonesia, Hlm. 33.
27
Buku Introduction to the Study of the Law of the Constitution karya A.V. Dicey
diterjemahkan dalam edisi Indonesia A.V. Dicey, 2008, Pengantar Studi Hukum Konstitusi
(Penerjemah Nurhadi), Bandung, Cet. II, Nusamedia.
28
Firdaus Arifin Suharizal, 2007, Refleksi Reformasi Konstitusi, 1998-2002, Bandung, Citra
Aditya Bakti, Hlm. 59.
29
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrati, Jakarta, PT. Bhuana
Ilmu Populer, Hlm., 199., Bdk. Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar
Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Hlm.130.
28
Pada bagian lain, Philipus M. Hadjon mengemukakan ciri-ciri Rechtsstaat
adalah: 1) adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, 2) adanya pembagian
kekuasaan negara, dan 3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.30
A.V. Dicey sebagaimana dikutif oleh Jimly Asshiddiqie menyebut tiga ciri
penting The Rule of Law, yaitu:31
1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law); 2)
Kesamaan Dihadapan Hukum (Equality Before the Law); dan 3) Asas Legalitas
(Due Process of Law).
Selanjutnya Jimly Asshiddiqie menyatakan keempat prinsip Rechtsstaat yang
dikembangkan oleh F.J. Stahl tersebut, pada intinya dapat digabungkan dengan
ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai
ciri-ciri negara hukum. Bahkan oleh The Interrnational Commission of Jurists,
prinsip-prinsip negara hukum tersebut ditambah dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman
sekarang makin mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip
yang dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission
30 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, PT.
Bina Ilmu, Hlm. 76.
31
Jimly Asshiddiqie, 2009, Ibid.
29
of Jurists adalah: 1) negara harus tunduk pada hukum, 2) pemerintahan
menghormati hak-hak individu, 3) peradilan yang bebas tidak memihak.32
Wolfgang Friedman sebagaimana dikutif Jimly Asshiddiqie membedakan
antara Rule of Law dalam arti formal, yaitu dalam arti organized public power dan
Rule of Law dalam arti material, yaitu the rule of just law. Perbedaan ini
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu,
keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena
pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran
pengertian hukum formal dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum
material. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan
perundang-undangan dengan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantif.33
Pada bagian lain, Brian Tamanaha (2004) sebagaimana dikutif oleh Marjane
Termoshuizen-Art membagi konsep Rule of Law dalam dua kategori, fomal and
substantive. Setiap kategori, yaitu Rule of Law dalam arti formal dan Rule of Law
dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep
32Jimly Asshiddiqie, 1999, Op.Cit., Hlm. 198-99.
33
Jimly Asshiddiqie, 2009, Op.Cit., Hlm. 200.
30
negara hukum atau Rule of Law mempunyai enam bentuk. Adapun hal tersebut
adalah sebagai berikut34
:
1. Rule by Law (bukan Rule of Law) dimana hukum hanya difungsikan
sebagai instrument of government action. Hukum hanya dipahami dan
difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan
prediktabilitasnya sangat tinggi serta sangat disukai oleh para pengusaha
sendiri, baik yang mengusai modal maupun yang menguasai proses-
proases pengambilan keputusan politik.
2. Formal Legality, mencakup ciri-ciri yang bersifat: 1) prinsip
prospektivitas (rule written in adcance) dan tidak boleh bersifat retroatif,
2) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, 3) jelas (clear), 4)
publik, dan 5) relatif stabil. Artinya, dalam bentuk yang formal legality itu
diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.
3. Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum
yang menjamin kepastian. Tetapi menurut Tamanaha sebagai a procedural
mode of legitimation, demokrasi juga mengandung keterbatasan-
keterbatasan yang serupa dengan formal legality. Seperti dalam formal
legality, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum yang buruk dan
tidak stabil Karena itu dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas
34Brian Tamanaha (2004) dalam Marjanne Termoshuizen-Art, “The Concept of Rule of
Law” dalam Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3-Tahun II.,
November 2004, Hlm, 83-92.
31
hukum dalam arti formal atau Rule of Law dalam arti formal sekali pun
tetap juga timbul ketidakpastian hukum. Nilai-nilai kepastian dan
prediktibilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat
saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezim otoriter yang lebih
menjamin stabilitas dan kepastian.
4. Substantive views yang menjamin individual rights.
5. Rights of dignity and/ or justice.
6. Social welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.
Pada bagian lain, Sri Sumantri M menguraikan ada empat unsur-unsur
terpenting dari negara hukum. Adapun keempat unsur tersebut, yaitu:35
1) bahwa
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas
hukum atau peraturan perundang-undangan, 2) adanya jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia (warga negara), 3) adanya pembagian kekuasaan dalam negara, dan
4) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
Terkait uraian tentang negara hukum di atas, Jimly Asshiddiqie merumuskan
adanya 13 prinsip pokok negara hukum (Rechtsstaat) sekaligus sebagai pilar-pilar
utama menyangga berdiri tegaknya Negara Republik Indonesia yang modern dan
demokratis sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (The Rule of Law atau
pun Rechtsstaat). Adapun ketiga belas prinsip pokok negara hukum dimaksud
35Sri Sumantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni,
Hlm, 29-30.
32
meliputi:36
1) Supremasi hukum (Supremacy of Law); 2) Persamaan dalam hukum
(Equality Before the Law); 3) Asas legalitas (Due Process of Law); 4) Pembatasan
kekuasaan; 5) Organ-organ penunjang yang independen; 6) Peradilan bebas dan
tidak memihak; 7) Peradilan Tata Usaha Negara; 8) Peradilan Tata Negara
(Constitutional Court); 9) Perlindungan hak asasi manusia; 10) Bersifat
demokratis (Democratishe Rechtsstaat; 11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan
tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat); 12) Transparan dan kontrol sosial, dan 13)
Berketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan
empiris prinsip-prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa masalah hukum
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif
mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara
hierarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris
terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri
pada aturan hukum.37
Prinsip-prinsip maupun unsur-unsur negara hukum sebagaimana diuraikan di
atas telah termuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan untuk
mewujudkan negara hukum tampak lebih konkret pasca perubahan Undang-
36Jimly Asshiddiqie, 2011, Op.Cit., Hlm. 13.
37
Jimly Asshiddiqie, 2009, Ibid., Hlm. 212.
33
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam salah satu uraian terkait dengan
negara hukum, Palguna menyatakan bahwa salah satu gagasan mendasar yang
melandasi dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah gagasan untuk menegakkan paham negara hukum.
Paham negara hukum sebagaimana tertuang dalam rumusan Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berkait erat
dengan paham demokrasi, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedemikian eratnya kaitan
tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa paradigma yang melandasi seluruh
perubahan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah
terletak pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan pengejawantahan dari
amanat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alenia keempat.38
Teori Kedaulatan Hukum sebagaimana diuraikan di atas digunakan sebagai
landasan teori untuk membahas permasalahan pertama, yaitu bagaimana konsep
perlindungan hukum terhadap hak dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam
38I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya
Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm . 25-26.
34
sistem ketetanegaraan Indonesia. Perlindungan hukum yang dimaksud didasarkan
atas ketentuan normatif sebagaimana diatur dalam Konstitusi Negara Republik
Indonesia maupun dalam peraturan perundang-undangan.
1.7.2 Teori Hak Asasi Manusia
Perdebatan tentang nilai-nilai hak asasi manusia apakah universal (artinya
nilai-nilai hak asasi manusia berlaku umum di semua negara) atau partikular
(artinya nilai-nilai hak asasi manasia pada suatu negara sangat kontekstual yaitu
memunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap negara karena ada
keterikatan dengan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang pada suatu
negara) terus berlanjut. Berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, paling
tidak menurut Peter Davies ada tiga teori yang dapat dijadikan kerangka, yaitu: 1)
Teori Realitas (Realistic Theory), 2) Relativisme Kultural (Cultural Relativism
Theory), dan 3) Teori Radikal Universalisme (Radical Universalism Theory).39
39Teori hak asasi manusia yang dikemukakan Peter Davies (1994) dijadikan landasan teori
dalam penelitian ini. Lihat dalam Abdul Rozak (Ed,), 2005, Demokrasi, Hakl Asasi Manusia &
Masyarakat Madani, Jakarta, Prenada Media, Cet. III, Hlm. 217-19 Bandingkan juga dalam
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional (Penerjemah: A. Handyana Pudjaatmaka), Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Hlm.
32-53 menguraikan empat teori hukum hak asasi manusia, yaitu: Hukum Kodrati dan Hak
Kodrati, 2) Positivisme, 3) Realisme Hukum, dan 4) Marxisme. Sedang Rhona KM. Smith, dkk
(Ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pusham UII, Hlm. 18-24 menguraikan teori hak
asasi manusia meliputi: 1) Teori Universalisme (Universalist Theory) Hak Asasi Manusia, 2)
Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory), dan 3) Teori Memadukan Universalime
dan Pluralisme Lihat juga dalam Andrey Sujatmoko, 2015, Hukum HAM dan Hukum
Humaniter, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hlm. 7-10.
35
1. Teori Realitas (Realistic Theory)
Teori Realitas mendasari pandangannya pada asumsi adanya manusia yang
menekankan self interest dan egoisme dalam dunia seperti bertindak
anarkis. Dalam situasi anarkis, setiap manusia saling mementingkan
dirinya sendiri, sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak
manusiawi di antara individu dalam memperjuangkan egoisme dan self
interst-nya. Dengan demikian, dalam situasi anarkis prinsip universalitas
moral yang dimiliki setiap individu tidak dapat berlaku dan berfungsi.
Untuk mengatasi situasi demikian negara harus mengambil tindakan
berdasarkan power dan security yang dimiliki dalam rangka menjaga
kepentingan nasional dan keharmonisan sosial dibenarkan. Tindakan yang
dilakukan negara seperti di atas tidak termasuk dalam kategori tindakan
pelanggaran hak asasi manusia oleh negara.
2. Teori Relativisme Kultural (Cultural Relativism Theory)
Teori Relativisme Kultural berpandangan bahwa nila-nilai moral dan
budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral
hak asasi manusia bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada
suatu negara. Dalam kaitan dengan penerapan hak asasi manusia menurut
teori ini ada tiga model penerapan hak asasi manusia, yaitu:
36
a) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak sipil, hak
politik dan hak pemilikan pribadi.
b) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak ekonomi
dan hak sosial.
c) Penerapan hak asasi manusia yang lebih menekankan pada hak
penentuan nasib sendiri (self determination) dan pembangunan
ekonomi.
Bahwa model pertama banyak dilakukan oleh negara-negara yang
tergolong maju. Model kedua banyak diterapkan di dunia berkembang
dan untuk model ketiga banyak diterapkan di dunia terkebelakang.
3. Teori Radikal Universalitas (Universalism Radical Theory)
Teori Radikal Universalitas berpandangan bahwa semua nilai termasuk
nilai-nilai hak asasi manusia adalah bersifat universal dan tidak bisa
dimodifiksi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah
suatu negara. Kelompok radikal universalitas menganggap hanya ada satu
paket pemahaman mengenai hak asasi manusia bahwa nilai-nilai hak asasi
manusia berlaku sama di semua tempat dan di sembarang waktu serta dapat
diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan
sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan
37
terhadap nilai-nilai hak asasi manusia berlaku sama dan universal bagi
semua negara dan bangsa.
Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai hak asas manusia
tersebut, ada dua arus pemikiran dan pandangan yang saling tarik menarik
dalam melihat relativitas nilai-nilai hak asasi manusia, yaitu: a) strong
relativist, dan b) weak relativist.
a) Strong Relativist
Strong relativis beranggapan bahwa nilai hak asasi manusia dan nilai-
nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan
tertentu. Sedangkan universalitas nilai hak asasi manusia hanya
menjadi pengontrol dari nilai-nilai hak asasi manusia yang didasari
oleh budaya lokal atau lingkungan yang spesifik. Berdasarkan
pandangan ini diakui adanya nilai-nilai hak asasi manusia lokal
(partikular) dan nilai-nilai hak asasi manusia yang universal.
b) Weak Relativist
Dalam Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai-nilai hak asasi
manusia bersifat universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan
pertimbangan budaya tertentu. Berdasarkan pandangan ini nampak
tidak adanya pengakuan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia lokal
38
melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai hak asasi manusia
universal.
Terkait dengan ketiga teori tersebut di atas, Teori Universal Radikal (Radical
Universal Theory) yang strong relativist dapat dipahami keberlakuannya di
Indonesia. Teori ini berpandangan bahwa hanya satu hak asasi manusia dan
sekaligus bagi semua bangsa. Meski demikian, ada pandangan bahwa nilai-nilai
hak asasi manusia dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya
dan lingkungan tertentu. Sedangkan universalitas nilai hak asasi manusia hanya
menjadi pengontrol dari nilai hak asasi manusia yang didasari oleh budaya lokal.
Pandangan ini mengakui nilai-nilai lokal (partikular) dan nilai-nilai hak asasi
manusia secara universal.
Adanya pertanyaan bagaimana nilai-nilai universal hak asasi manusia dapat
bertransformasi menjadi hak konstitusional warga negara. Dalam kaitan ini, ada
dua teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan transferabilitas nilai dan norma
hak asasi manusia dari nilai-nilai dan norma-norma lintas negara bangsa menjadi
norma nasional atau negara. Pertama, teori ratifikasi dalam hukum internasional.
Ratifikasi sebagai salah satu prosedur dalam perjanjian internasional
memungkinkan transfer norma hukum yang bersifat lintas yurisdiksi negara.
Ratifikasi merupakan pintu gerbang nasionalisasi hukum internasional, khususnya
yang mengikat secara hukum (legally binding). Kedua, teori transplantasi hukum
dalam studi perbandingan hukum. Meminjam konsep transplantasi hukum, maka
39
transfer norma hak asasi manusia dari satu instrumen internasional hak asasi
manusia ke dalam sistem hukum nasional dimungkinkan. Dalam konteks tersebut,
secara informal Indonesia telah melakukan adaptasi atau transfer norma universal
hak asasi manusia, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan. Ratifikasi yang
dilakukan atas berbagai instrumen internasional hak asasi manusia yang secara
hukum mengikat. Di antara sekian banyak instrumen hak asasi manusia yang telah
diratifikasi adalah kovenan induk hak asasi manusia, yaitu: ICCPR (International
Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights).40
Berdasarkan uraian Teori Hak Asasi Manusia tersebut, maka Teori Universal
Radikal (Radical Universal Theory) yang strong relativist digunakan untuk membahas
masalah kedua, yaitu apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/2003 terhadap warga negara.
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.41
Adapun metode penelitian ini
meliputi: 1) Jenis Penelitian, 2) Jenis Pendekatan, 3) Sumber Bahan Hukum, 4)
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum, dan 5) Teknik Analisis Bahan Hukum.
40Ismail Hasani (Ed.), 2013, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga:
Mahkamah Konstitusi sebagai Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak
Asasi Manusia, Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara, Hlm. 49-51.
41
Sugiyono, Ibid., Hlm. 18.
40
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam tesis ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif,42
yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika ilmu hukum dari sisi normatif, terutama berkaitan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU- I/2003 yang mencabut atau
membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan hasil penelitian yang
diharapkan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan meneliti
undang-undang yang berkaitan dengan masalah pemenuhan hak politik, terutama
hak dipilih dari mantan anggota partai politik atau organisasi massa (ormas)
terlarang sebagaimana diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 yang selanjutnya dicabut atau dibatalkan keberlakuannya melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003. Sedangkan
pendekatan kasus (case approach) digunakan untuk meneliti Putusan Mahkamah
42Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang.
Bayumedia Publishing, Hlm. 57
41
Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mencabut atau membatalkan
ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
Pendekatan historis (historical approach) digunakan untuk meneliti alasan/
argumentasi (reasoning) para Pemohon dalam mengajukan permohonan uji
materiil (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003. Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach)
dilakukan dengan mempelajari pandangan, konsep, prinsip-prinsip, norma-norma
hukum, baik norma hukum nasional maupun norma hukum internasional
(konvensi dan deklarasi) yang berkembang dalam ilmu hukum guna membangun
argumentasi hukum terkait dengan perlindungan hukum hak dipilih dari segala
bentuk diskriminasi dengan meneliti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/2003.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier:
1. Bahan Hukum Primer:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan MPRS-RI Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran
Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
42
Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/
Marxisme-Lenninisme.
c. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia.
d. Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
f. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.
h. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
i. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
j. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
43
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi
Undang-Undang.
k. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
l. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal
25 Februari 2004 Tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
m. Universal Declaration of Human Right (UDHR) 1948.
n. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) 1966.
o. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR) 1966.
2. Bahan Hukum Sekunder meliputi buku hukum (text books), jurnal hukum,
karya tulis ilmiah (makalah), dan artikel di media massa yang semuanya
berkaitan atau relevan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-
017/PUU-I/2003 tanggal 25 Februari 2004.
3. Bahan Hukum Tersier meliputi kamus hukum dan kamus lain (Black’s Law
Dictionary) yang terkait dengan elaborasi terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 25 Februari 2004.
44
1.8.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan kegiatan inventarisasi dan
pengelompokan bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi, sehingga
memudahkan kembali penelusuran bahan hukum tersebut. Bahan hukum
dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yaitu dengan melakukan pencatatan
terhadap sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan
hukum tertier.
Setelah dilakukan identifikasi terhadap bahan hukum tersebut, selanjutnya
dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan
atau kutipan dengan menggunakan sistem kartu. Kartu yang digunakan terdiri atas
tiga macam kartu, yaitu: kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu analisis.
Selanjutnya dengan sistem kartu tersebut dalam penelitian ini dilakukan
penelusuran kepustakaan yang terkait dengan konsep perlindungan hukum hak
dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan
akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
terhadap warga negara.
1.8.4 Teknik Analisis Bahan Hukum
Pengolahan dan penganalisan bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder, digunakan teknik deskriptif
45
analisis, yaitu dengan mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu kemudian
menganalisis melalui teknik analisis sebagai berikut:
1. Teknik deskriptif, yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dari preposisi-preposisi hukum atau non-hukum.
2. Teknik evaluatif, yaitu melakukan penilaian dan mengevaluasi, tepat atau
tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap suatu
pandangan, preposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang
tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
3. Teknik interpretatif, yaitu menafsirkan dengan menggunakan teknik-teknik
penafsiran terhadap adanya konflik norma atau norma kabur yang
melandasi pemberlakuan suatu peraturan perundangan-undangan, termasuk
pandangan maupun landasan pemikiran yang dikemukakan oleh Hakim
Mahkamah Konstitusi sebagai ratio decidendi dalam menjatuhkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan pendapat berbeda
(dissenting opinion) yang dikemukan oleh salah satu Hakim Mahkamah
Konstitusi.
4. Teknik argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan
yang bersifat penalaran hukum (legal reasoning) terhadap berbagai
pemikirann yang menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-
46
I/2003, termasuk adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam
putusan dimaksud.
1.9 Sistematika Penulisan
Sistematiasi penulisan dalam penelitian ini meliputi lima bab, yaitu: Bab I
sampai dengan Bab V. Bab I merupakan “Pendahuluan” berisi uraian tentang Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Ruang Lingkup Masalah, Tujuan
Penelitian: Tujuan Umum dan Tujuan Khusus, Manfaat Penelitian: Manfaat
Teoretis dan Manfaat Praktis, Originalitas Penelitian Tesis, Landasan Teoretis:
Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Hak Asasi Manusia (HAM), dan Metode
Penelitian: Jenis Penelitian, Jenis Pendekatan, Sumber Bahan Hukum, Teknik
Pengumpulan Bahan Hukum, dan Teknik Analisis Bahan Hukum.
Bab II menguraikan tentang “Hak Dipilih dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM)”, serta diuraikan tentang Definisi Hak Dipilih, Sejarah Hak
Dipilih, Perkembangan Hak Dipilih, dan Kaitan Hak Dipilih dengan Hak Asasi
Manusia.
Bab III merupakan elaborasi terhadap permasalahan pertama sehingga
pembahasannya meliputi: “Perlindungan Hukum terhadap Hak Dipilih” dengan
rincian pembahasan: Perlindungan Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Hak Dipilih dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Demokrasi sebagai
47
Dasar Hak Asasi Manusia untuk Hak Dipilih dan Bentuk-Bentuk Hak Asasi
Manusia dan Tempat Hak Dipilih.
Bab IV merupakan elaborasi terhadap permasalahan kedua, yaitu tentang:
“Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
terhadap Warga Negara.” Terkait dengan elaborasi tersebut pembahasan meliputi:
Pertimbangan dan Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-
I/2003, Pertimbangan Hukum, Amar Putusan, Pendapat Beda (Dissenting
Opinion), Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-
I/2003, Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-
I/2003, Keterbatasan Putusan Hanya pada Lembaga Perwakilan, Akibat Hukum
dalam Bidang Politik untuk Hak Dipilih, dan Perspektif Negara Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Pada Bab V merupakan “Penutup” sekaligus berisi Simpulan dan Saran terkait
dengan penelitian ini.