BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Sinema Asia Timur
Tayangan sinema Asia Timur, khususnya Korea, saat ini sedang marak dan
menjadi pilihan beberapa stasiun televisi Indonesia untuk menayangkannya. Stasiun
televisi Indosiar misalnya, menampilkan sinetron Korea disetiap hari Senin-Jumat, pada
pukul 15.30 WIB. Bahkan, setiap akan berakhirnya satu “episode”, maka mereka akan
mengiklankan sebuah “episode” pengganti yang “tidak kalah menariknya”. Misalnya
drama Korea, Style, bakal menggantikan drama Brilliant Legacy
Kedua drama serial Korea di atas merupakan tayangan yang banyak digemari,
baik kalangan usia muda, maupun tua. Sebelum kemunculannya dilayar televisi, media
internet seperti kodakloverzindo.wordpress.com, moviekorean.com, dan
kpculture.wordpress.com, sudah terlebih dahulu mempopulerkannya secara
“spektakuler”, melalui ringkasan cerita, gambar sampul film, dan nama tokoh-tokoh
pemerannya. Selain itu, iklan TV dan iklan cetak seperti poster drama Asia Timur di
rental-rental, majalah Asia pun ikut dicetak dan terjual banyak dipasaran.
Majalah-majalah itu antara lain adalah majalah Asianstars, Koreanstars, dan Asian
Crush.
Dalam pemasaran sinetron Korea, juga nampak, bahwa unsur utama yang
ditonjolkan adalah kisah yang mudah dimengerti penonton dan bersifat sederhana, yang
menceritakan kehidupan sehari-hari, sehingga penonton merasa seperti terlibat secara
emosional dengan serial yang disaksikannya, serta memiliki kekuatan karakter setiap
tokoh dalam cerita. Selain hal tersebut, sutradara film pun mampu mengemas
penampilan tokoh dengan sangat “sempurna”.
Alur cerita dalam setiap “episode” sinetron Korea, mudah dimengerti, tidak monoton,
intrik-intriknya menarik dan memiliki klimaks cerita. Di samping itu, sinetron Korea juga
memiliki banyak penggemar, dan memiliki banyak kisah yang variatif, mulai dari drama
tradisional, maupun moderen.
Hal-hal positif yang berkaitan dengan sinetron-sinetron Korea terus ditulis oleh
salah satu forum Korea di negara itu, dan dapat diakses pada “web” mereka, bahkan
© UKDW
2
forum tersebut menyediakan program “One-Stop Channel for Korean Programming”
dengan biaya “free”, khusus bagi pecinta sinetron Korea. Menariknya, forum tersebut
tidak berhenti sebatas kisah dalam sinetron itu, tetapi juga “hangat” melalui pembicaraan
seputar kisah nyata kehidupan sehari-hari para aktor dan aktris yang kerapkali menjadi
tokoh utama dan telah mengambil hati para pemirsa.
Surray Agung Nugroho, selaku pembicara dalam forum Puskor UGM,
berpendapat, bahwa ia merasa heran dengan pengaruh budaya Korea hingga saat ini.
Bahkan dari penelitannya pada tahun 2000-2010 disebutkan pengaruh tersebut adalah
melalui film-film dan lagu-lagu Korea. Tidak hanya itu, Agung Nugroho pun
menyimpulkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan “Korea” di Indonesia hanyalah
“kegilaan’’ sesaat, namun ternyata budaya pop Korea malah berjalan dan berkembang,
serta mendapat dukungan dari pemerintah Korea.
Di Indonesia, khususnya di dunia maya, sekelompok orang telah menyediakan
ruang untuk diskusi dan berbagi cerita mengenai sinetron Korea, bahkan ikut menyebut
diri mereka sebagai “komunitas film Korea”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa,
penggemar sinetron Korea di Indonesia terbilang banyak, sehingga, hemat penulis,
banyaknya penggemar tidak dapat diketahui dengan pasti. Hal tersebut terlihat jelas dari
banyaknya “situs” di internet yang mengangkat masalah sinetron Korea.
Pada prinsipnya, sinetron Korea memiliki alur cerita yang tidak jauh berbeda dengan
sinetron Indonesia. Tayangan-tayangan cenderung memiliki awal dan akhir yang sama,
kendati sinetron Korea dikemas secara lebih “terlihat” sempurna dari segi durasi tayang,
aktor dan aktris, dan gaya hidup yang lebih moderen.
1.2. Pandangan Tehadap Tayangan Televisi
1.2.1. Positif
Berbeda pendapat dengan penilaian di atas, beberapa kalangan
justru menilai bahwa sinetron Korea secara unik dan menarik ternyata dapat memberikan
banyak hal yang berbeda pada setiap pribadi yang menyaksikannya. Oleh karena dapat
memberikan rasa santai setelah lelah dengan rutinitas kehidupan, atau memenuhi
kebutuhan akan sensasi emosional dalam luapan tawa atau tetesan air mata terharu.
© UKDW
3
Sementara bagi sebagian orang, serial Korea dapat membangkitkan nostalgia indah akan
nilai-nilai hidup yang berharga dihadirkan kembali. Di samping itu, rangkaian gambar
hidup yang seringkali ditampilkan oleh serial Korea juga dapat membawa perasaan
simpati yang dalam, bahkan dapat menjadi refleksi atas pengalaman dan pelajaran
tentang makna kehidupan yang seperti dialami sendiri.
Kisah serial Korea juga dapat memberikan inspirasi dan motivasi malalui tampilan-
tampilan dalam layar kaca tersebut, untuk berjuang mewujudkan impian yang belum
tercapai. Membuka babak baru serta menembus nilai-nilai “kaku” yang selama ini dianut
oleh sebagian besar orang. Slogan menarik yang berkaitan dengan itu, sebuah pamflet di
kota Manado bertuliskan hal ekstrim, fight your culture, sebuah frasa yang indikasinya
jenuh terhadap budaya “stagnant” yang dipertahankan oleh orang-orang kolot.
Pengamat budaya, Haviland mengatakan, bahwa kebudayaan secara alami akan
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, dan perubahan itu diakibatkan oleh
masuknya orang luar, atau terjadi modifikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam
kebudayaan.
Berkaitan dengan hal di atas, Idi Subandi Ibrahim mengatakan, dengan media kita
mudah bersentuhan dengan budaya lain dan kultur baru. Dengan adanya media, muncul
kesadaran perbedaan budaya kita dengan negara lain. Di sinilah media diyakini sebagai
institusi yang penting bagi pembentuk kesadaran. Media adalah pembentuk kesadaran
sosial yang pada akhirnya menentukan persespi orang terhadap dunia dan masyarakat
tempat mereka hidup.
Dengan kata lain, pada hal itulah media dianggap sebagai alat yang bisa berfungsi
sebagai alat pengukur dan pembanding lintas budaya.
Berangkat dari pemahaman di atas, drama atau sinetron Korea tidak berarti
“menegatifkan” budaya, tetapi memodifikasi kebudayaan yang ada dengan tujuan lebih
baik atau “up to date”, tanpa meninggalkan budaya asli, hanya dikemas ke dalam bentuk
yang lebih moderen. Artinya, norma -normanya tetap sama dalam konteks kemasan yang
berbeda
Darwanto S.S, memperkaya pembaca dengan melihat dari sisi positif lainnya, ia
berpendapat lebih luas daripada kebanyakan orang yang beranggapan “menembus nilai-
nilai kaku”. Ia berpendapat bahwa, justru tayangan yang kita tonton bisa berfungsi
© UKDW
4
sebagai alat pendidikan, karena nilai-nilai yang ditampilkan dapat menjadi pembelajaran
kepada kita untuk bersikap waspada dan belajar beradaptasi terhadap budaya asing, tanpa
meninggalkan kebudayaan luhur peninggalan nenek moyang. Dengan demikian, serial
Korea, selain sebagai
sarana hiburan dan promosi produk bagi masyarakat luas, juga sebagai alat pendidikan.
Jack Lyle, seorang direktur institut komunikasi West Center mengatakan, bahwa televisi
adalah “jendela dunia” dan sangat membantu daya kreasi kita. Dengan melihat tayangan
yang disiarkan media, maka banyak hal baru yang akan diperoleh. Misalnya, berjumpa
dengan orang yang sebelumnya belum pernah kita jumpai, dan datang ke tempat yang
belum pernah kita kenal.
Di samping itu, mereka yang menilai tayangan sebagai hal yang berdampak
positif lebih cenderung untuk berpikir bahwa “segala sesuatu”, bukan hanya tayangan
televisi, tetapi juga media lain, seperti, video game dan komputer akan berdampak negatif
jikalau tidak diberi arahan-arahan oleh orang yang dewasa.
Jadi semua tergantung cara seseorang memaknai apa yang mereka kerjakan.
Berkaitan dengan itu, Oemar Hamalik mencoba memberikan beberapa hal positif
tayangan televis. Ia mengatakan, tayangan media dapat menciptakan kembali semua
peristiwa yang lalu, bahkan tayangan-tayangan itu mampu membawa sumber-sumber
yang ada di masyarakat ke dalam kelas pembelajaran.
Tentu saja penilaian positif yang dipaparkan di atas juga dapat dipertimbangkan seperti
argumentasi-argumentasi dari penilaian negatif beberapa kalangan di bawah.
1.2.2. Negatif
Maraknya sinetron Korea di Indonesia cukup mengundang respon yang berbeda-
beda dalam menilai esensi dan dampak drama tersebut bagi masyarakat Indonesia,
terlebih khusus pada usia remaja dan pemuda (lihat bab II, 4.1). Selain pada situs-situs
yang mudah didapatkan, penulis juga kerapkali bertemu dengan orangtua yang
mengeluhkan anak mereka yang “kecanduan” di depan layar televisi, sehingga
melupakan tugas pokoknya sebagai seorang siswa atau siswi sekolah.
Menurut hemat penulis, kekuatiran orangtua itu bisa dikatakan sebagai hal yang perlu
diperhatikan, sebab hal tersebut akan memberikan dampak negatif jangka panjang
© UKDW
5
terhadap anak, sebab anak itu akan tertinggal dalam mengejar proses pembelajarannya,
apalagi mengingat, bahwa pendidikan sekolah adalah pendidikan berjenjang dalam
kurikulum yang sistemik.
Indoktrinisasi budaya juga bisa terjadi tanpa disadari, seperti budaya Korea yang
tergolong lebih moderen dan terbuka, dibandingkan budaya Indonesia pada umumnya,
yang lebih tradisional. Ciri-ciri dari bagian tersebut adalah, model pergaulan yang lebih
bebas, lebih spontan, dan berpenampilan yang berubah-ubah sesuai konteks zaman.
Perkembangan dari penilaian di atas, juga dikaitkan dengan masalah perubahan
gaya hidup. Perubahan gaya hidup atau life style remaja masa kini tidak terlepas dari
perubahan budaya, pola pikir yang dianut oleh masyarakat bersangkutan. Kini remaja
lebih senang dengan hal-hal yang serba instant, pragmatis, itu semuanya diperkenalkan
oleh tayangan televisi kepada mereka.
David Chaney mengatakan, “pilihan gaya hidup semakin penting dalam
penyusunan identitas-diri dan aktivitas keseharian”
. Fundamentalisme seperti ini dapat dilihat pada desa Ciheulang, yang dikatakan sebagai
desa tanpa televisi, hal tersebut disebabkan bukan karena faktor keterbelakangan atau
tidak masuknya listrik di desa, tetapi disebabkan karena kewaspadaan terhadap moral
remaja desa.
Penulis buku, Ridho, yang berjudul “Berhala itu bernama budaya Pop”,
berpendapat, bahwa tujuan televisi adalah baik pada awalnya, namun dirusak pada
industri film. Ia melanjutkan bahwa televisi dalam kategori berita, liputan khusus,
discovery, dan English Learning masih dapat dikatakan berguna, tetapi ketika masuk
dalam drama dan film action disitulah kita harus mematikan televisi kita, ujarnya.
Senada dengan itu, pengamat budaya pop, Adorno dan Horkheimer, menuturkan, bahwa
media membentuk manusia menjadi manusia yang terasing dan individual, karena media
sendiri mengandung budaya monolitik, di mana audience sebagai makhluk pasif yang
menerima budaya dari media tanpa disadarinya. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah,
penonton atau penerima tidak bisa memberi tanggapan-tanggapan secara langsung.
Jan Baudrillard mengatakan, “televisi kini tidak hanya menjadi objek tontonan
manusia, tetapi manusialah yang justru tengah menonton Anda.”
Pada sisi lain, drama Korea secara khusus bisa dipahami sebagai drama romantisme,
© UKDW
6
contoh dampak dari hal ini adalah informasi dari media informasi, id.yahoo.com.
Informasi itu menyebutkan bahwa banyaknya janji cinta bisa disaksikan pada sebuah
menara yang dinamakan “gembok cinta” kota Seoul. Moment atau peristiwa tersebut
berangkat dari kisah romantis drama “Boys Before Flowers” di mana di tempat itu, sang
bintang, Jun Pyo dan Jan Di terjebak di luar stasiun kereta gantung menara.
Teguh karya, sutradara film, pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tidak
menyukai untuk menggarap film dengan tema remaja. Kalaupun dirinya menggarap film
remaja “usia 18 tahun”, itu dikarenakan mendapat “tekanan” dari pihak produser untuk
mengerjakannya. Tampaknya, Teguh Karya mengalami “kegelisahan” dan diduga
“kemuakannya” itu berasal dari film remaja berjudul “Cinta Pertama” yang pernah
digarapnya. Film yang mendapatkan sambutan masyarakat ini, mengungkapkan lika liku
“kasmaran” remaja kelas atas yang serba kecukupan dan cinta monyet dijadikan contoh
hidup kelas tertentu yang divisualisasikan. Remaja yang serba wah dengan hidup cuek
menjadi tontonan yang menarik.
Apa yang dituliskan oleh Teguh Karya di atas, pada intinya juga dapat disaksikan di
kebanyakan drama Korea. Idi Subandy menuturkan, bahwa budaya media atau populer
selamanya akan merefleksikan impian-impian massa yang mengindoktrinisasi anak muda
dalam potret yang seringkali lebih indah daripada kenyataannya.
Mengacu kepada pandangan-pandangan negatif terhadap nilai drama Korea, tidak
heran kelompok fundamentalis anti televisi yang lain, ikut menambahkan beberapa hal
yang ditimbulkan tayangan televisi, di antaranya adalah, menyebabkan sifat apatis, atau
cenderung membuat remaja lebih mementingkan segala hal tentang dirinya sendiri
ketimbang lingkungan sosialnya. Hal ini kita kenal dengan sebutan “egoisme”, atau sifat
mementingkan diri sendiri dengan segala sesuatu berorientasi pada dirinya. Selain itu,
disebutkan pula, bahwa tayangan membuat dan membentuk remaja menjadi korban
pencitraan, atau konsep bahwa wanita cantik harus putih dan langsing, serta pria tampan
harus berotot atau six packs.
Mengejar hal-hal di atas, memunculkan masalah yang sangat ironi, yakni
terjebaknya mereka pada konsumerisme. Yakni, mentingkan “kulit luar” tanpa esensi,
atau ketidakpedulian, kepercayaan pada citra semu, serta kemalasan yang dibentuk oleh
televisi melalui tayangan-tayangan buruknya membawa para remaja menjadi pribadi
© UKDW
7
yang lebih mementingkan tampilan luar. Melalui media demikianlah pemujaan terhadap
gaya hidup telah masuk ke wilayah kehidupan yang amat luas. Dimulai dari hal
pemilihan busana, model rambut, merek sepatu, make up, lipstik, hingga soal kulit, kuku,
betis, pinggang, hidung, HP, dan lain sebagainya.
2. Fenomena Remaja GKI Diponegoro Magelang
Remaja GKI Diponegoro Magelang merupakan remaja yang memiliki kebiasaan
berkutak dengan teknologi yang dapat digolongkan “canggih.” Bahkan dapat dikatakan
selalu memiliki informasi yang “up to date” atau sesuatu yang sedang marak di pasaran.
Dalam kenyataannya, penulis mengamati, bahwa rata-rata remaja GKI Diponegoro pun
“doyan” berbelanja hal-hal yang bukan merupakan kebutuhan pokok. Merek dan gengsi
adalah hal yang diutamakan oleh mereka. Dalam kebersamaan dengan mereka, kurang
lebih 4 tahun, memamerkan barang dan bersaing dalam hal harga adalah hal menarik dan
sepertinya menjadi kebanggan tersendiri.
Penulis melihat bahaya akan hal tersebut karena menjurus kepada konsumerisme,
dalam artian, hal yang tidak menjadi kebutuhan pokok dijadikan pokok dan merasa
bahwa itulah kebutuhan utama manusia. Contohnya, hp yang mahal dan bergaya, pakaian
seksi yang bermerek, dan gaya rambut, serta warna rambut yang tidak “original.”
Contoh menarik yang terjadi, adalah mereka mampu mengingat merek-merek handphone
yang dipakai oleh idola mereka dalam serial Korea, dan beberapa orangtua akhirnya
membelikan mereka tipe handphone yang sama.
Lebih lanjut, hal-hal tersebut memberikan kelekatan kepada “gaya” dan
menjadikan gaya itu sebagai sebuah simbol diri dan gaya sebagai aktualisasi diri mereka.
Tanpa “gaya” akan menjadikan mereka tidak memiliki percaya diri ketika berhadapan
dengan teman-teman mereka. Jadi diri mereka, kebanyakan dibangun oleh sebuah gaya
yang menjadi status dan gengsi.
Dengan melihat fenomena seperti demikian, maka penulis melakukan atau
mengadakan sebuah pertemuan dengan komisi remaja yang diadakan pada hari Sabtu,
tanggal 06 Maret 2010 di basement gereja, dengan tema: Gaya Hidup Remaja Masa Kini.
Dalam pertemuan tersebut, penulis melakukan dialog untuk mengetahui hal-hal apa atau
darimana mereka mendapatkan informasi mengenai gaya hidup moderen. Hal-hal
© UKDW
8
tersebut mereka dapatkan dari berbagai sumber, seperti iklan televisi, informasi dari
teman-teman mereka, media internet, namun beberapa mendapatkannya dari tayangan
sinetron Korea.
Dalam perbincangan santai di atas, baik dengan remaja pria dan wanita,
pengetahuan mereka terhadap dunia sekitar mode, bintang, dan teknologi jauh melampaui
pengetahuan mereka mengenai pengajaran gereja, bahkan mereka belum dapat menjawab
secara tepat makna baptisan, tujuan kedatangan Yesus (selain menebus manusia dari
dosa), hal yang berkaitan dengan sakramen, bahkan kepastian keselamatan pribadi.
Sebaliknya, mereka sangat mahir menyebut bintang-bintang Korea, dan kisah-kisahnya
yang penuh dengan dinamika, yang kerapkali ditutup dengan happy ending.
Dalam dialog tersebut, ketika sampai pada masalah minat terhadap sinetron
Korea, rupanya remaja pun menyukai lagu-lagu romantis dari artis-artis Korea, yang
biasanya sebagai soudtrack dalam setiap judul serial Korea. Salah satu soundtrack,
sekaligus tour bersama artis Korea yang paling diminati selama ini adalah Super Junior
Full House dan Super Junior Idol World. Tontonan tersebut adalah perjalanan sehari-hari
para artis Korea yang menampilkan “kekompakan”, kebersamaan, dan talenta atau bakat
yang mereka miliki. Tentu tidak ketinggalan penampilan dan hidup hedonis di mall-mall.
Tontonan yang menarik tersebut cukup menyita waktu remaja karena harus
menghabiskan 32 jam untuk 4 keping DVD.
Hal-hal menarik lainnya dari drama Korea, menurut mereka adalah tokoh atau
“bintang” sinetron Korea, yang kemudian diikuti dengan kisah atau cerita sinetron Korea.
Mereka terkesan mengagumi tokoh utama yang selalu tampil cuek atau dingin, ataupun
peduli namun heroik, selain itu, ada sisi kesetiaan dalam persahabatan, juga penampilan
moderen dengan gaya hidup “ala” Eropa, bahkan “bahasa gaul” dan bahasa “non verbal”
yang terkesan memikat hati mereka. Dengan pola yang yang sama, ekspresi beberapa
mereka tatkala melihat sang idola adalah menggigit kesepuluh jari mereka dan
“setengah” histeris memandang idola mereka dengan penuh kekaguman, seolah-olah
mereka sedang berhadapan dengan “cinta sejati”.
Berkaitan dengan sinetron Korea tersebut, juga terdapat fenomena yang nampak
jelas pada remaja GKI Diponegoro, hal tersebut adalah adanya remaja pria yang
mengikuti kuis mengganti nama lewat facebook dan mendapatkan nama Korea yang
© UKDW
9
kemudian dipakainya sebagai nama panggilan sehari-hari. Ada juga yang bercita-cita
memiliki kekasih dan suami secakep seorang artis Korea, kaya raya seperti aktor idola,
dan memasang foto profile di facebooknya seorang artis ternama Korea, Kim Hee Sun,
sebagai foto pria yang diidolakannya. Bahkan juga, salah satu remaja putri menampilkan
photo profile Blackberrynya dengan wajah seorang bintang pria Korea. Bentuk lain yang
diadopsi dari kisah serial Korea adalah ulang tahun seorang remaja di area kolam renang
dengan memakai gaun panjang, kemudian masuk ke area ulang tahun dengan
menyanyikan sebual lagu romantik.
Lebih dari hal itu, adalah keinginan seorang remaja mengoperasi dagunya dan
mengambil model dagu sang idola. Selain masalah yang lebih berat kepenampilan,
penulis pun mencermati eksklusifitas yang sangat menyolok di antara mereka, contohnya,
adanya kelompok yang senior yang tidak berhubungan dengan junior mereka, dan
kelompok junior yang tidak bergaul dengan sesama anggota remaja yang berbeda warna
kulit, kecuali orang tersebut memiliki kemampuan atau skill.
Mencermati hal-hal di atas, apakah berarti drama Korea ikut mempengaruhi
karakter mereka, atau sekadar kegemaran yang sementara dalam jiwa muda mereka?
Bagaimana dengan nilai atau karakter yang timbulkan oleh drama Korea terhadap remaja
GKI Diponegoro, khususnya paradigma mereka terhadap kebenaran iman Kristen?
Secara pasti, pada bab ini penulis belum menyimpulkan bahwa hal yang baik dan
buruk terhadap karakter remaja, adalah faktor yang ditimbulkan dan sebabkan oleh
drama Korea. Namun praduga penulis dari dialog dengan mereka, bisa dipahami bahwa,
kisah dan tokoh drama Korea mengambil bagian dalam pembentukan karakter mereka,
entah banyak atau sedikit, baik disadari ataupun tidak disadari, dan baik yang positif,
maupun yang negatif.
Positif yang dimaksudkan oleh penulis di atas adalah hal yang menyangkut kerjasama
dan persahabatan yang akrab di antara mereka.
Dalam pelayanan, mereka mampu berkreatifitas ditambah percaya diri, serta yang
menarik lainnya, juga penampilan mereka tergolong tidak ketinggalan jaman. Hal-hal
lain yang tidak kalah menarik yang dimunculkan mereka adalah permainan musik dan
keinginan maju dan belajar musik sangat tinggi, serta kreatif dalam penyusunan acara-
acara yang bersifat “heboh”, menarik, dan menantang. Sedangkan hal negatif yang
© UKDW
10
penulis maksudkan adalah, hedonisme atau konsumerisme yang terasa melekat pada diri
mereka, juga sikap cepat bosan terhadap sesuatu. Hal lainnya adalah masalah fokus
hidup, juga istilah “kebablasan”, yaitu memiliki dan berbuat sesuatu yang “terlampau”,
seperti telat pulang rumah saat malam hari, menyaksikan Korea dengan mengabaikan
waktu belajar. 2.1. Identitas Diri dan Karakter
2.1.1. Identitas
Pada permukaannya, masalah yang muncul kelihatannya sangat sederhana,
bahkan seorang mengatakan kepada penulis, bahwa hal atau pengaruh drama terhadap
kehidupan remaja tidaklah sangat signifikan, sebab mereka akan menyadari nilai-nilai
baik atau buruk dengan sendirinya seturut pertambahan usia mereka. Benarkah
sesederhana demikian? Seorang psikolog, Carl Gustac Jung justru kemudian mengatakan
hal yang bertolak belakang dengan pendapat tersebut. Menurutnya, pada usia
pertengahan dan usia tua, seseorang akan kembali berorientasi ke belakang, merangkul
kuat-kuat tujuan dan gaya hidup masa lalu.
Jadi, masa lalu atau masa remaja dan pemuda adalah masa “terpenting” seseorang dalam
membentuk karakter dirinya.
Pada usia remaja, khususnya perhatian remaja pada tayangan yang mereka
saksikan, fokus utama terletak pada tokoh bintang atau aktor utama tayangan itu.
Pengidolaan akan memberikan mereka sebuah gambaran baru yang mempengaruhi gaya
hidup dan pola tindak mereka. E.H. Erikson menyebut hal tersebut sebagai identitas diri.
Erikson mengatakan remaja merupakan usia pembentukan identitas terakhir, dan pada
usia itu remaja memiliki ego positif yang dominan. Setelah itu masa depan yang berada
dalam jangkauan menjadi bagian rencana hidup yang disadari.
Sejalan dengan itu, A.Giddens berpendapat, bahwa identitas diri terbentuk oleh
kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri dengan banyak pertanyaan
eksistensialis, seperti, apa yang harus saya lakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin
jadi siapa? Jadi baik Erikson maupun Giddens melihat identitas diri sebagai usaha
reflektif seseorang, dan dari sana ia mengkonstruksi dirinya mejadi sesuatu dengan
kondisi yang sangat sadar diri.
© UKDW
11
Setelah itu pertanyaan timbul, apakah masa depan itu telah diantisipasi di dalam
ekspektasi ekspektasi sebelumnya?
Permasalahan yang timbul dari sisipan kalimat Erikson adalah frasa “Apakah masa
depan telah diantisipasi?” Pertanyaan Erikson mengacu kepada pembentukan nilai-nilai
yang diterima oleh remaja dalam pertumbuhannya dan itu mempengaruhi masa depan
remaja itu sendiri, yang nantinya kita sebut sebagai karakter pada penulisan tesis ini. 2.1.2. Karakter
Tindakan dan hal-hal yang berkaitan dengan remaja (usia akhir masa
pertumbuhan) perlu mendapat pola asuh yang tepat ketika mereka menyaksikan sinema
dalam bentuk apa pun. Menyadari hal tersebut, E.B. Surbakti mengatakan hal yang
serupa bahwa, kaum remaja perlu mendapatkan pola asuh yang tepat, sebab kesalahan
pada pola asuh sekecil apa pun yang dilakukan terhadap mereka dapat berakibat fatal dan
sulit diperbaiki. Jika pada masa remaja mereka salah urus, dapat dipastikan masa depan
dunia ini akan rusak.
Ironisnya, pola asuh yang salah seringkali tidak disadari oleh keluarga, demikian
juga tempat di mana mereka bersekolah. Bagi penulis hal utama yang berkaitan dengan
penulisan ini, adalah remaja dalam menyaksikan drama Korea perlu mendapat perhatian.
Hal-hal yang dimaksud adalah nilai-nilai yang ditanamkan dalam karakter remaja pada
usia mereka oleh sinema Korea itu. Sehingga dalam usia mereka, pertanyaan sederhana
yang tepat adalah, apakah pengaruh sinema Korea yang ditonton oleh mereka terekam
dan menjadi karakter mereka? Hal ini berkaitan dangan masalah psikologi remaja, di
mana usia remaja adalah masa pencarian identitas diri.
Pada hal di atas, pembentukan karakter menjadi masalah penting pada penulisan
ini. Kesadaran mengenai pentingnya karakter, maka HAR Tilaar mengatakan,
“Terlupakannya hal mendasar ini dalam pendidikan bukannya menghasilkan manusia
budaya, melainkan manusia buaya”
Kutipan di atas merupakan kutipan yang “tajam” mengenai pentingnya karakter dalam
diri manusia pembelajar.
Berkaitan dengan itu, Wakil Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Fasli Jalal,
mengatakan, melalui pendidikan, hendak diwujudkan peserta didik yang memiliki
© UKDW
12
kepribadian kokoh dan membentuk karakter kuat. “Kita sudah sepakat untuk menjadikan
momentum tahun pelajaran baru untuk menjalankan dan mengimplementasikan
pendidikan karakter disemua jenjang pendidikan”, katanya saat memberikan sambutan.
Fasli menambahkan, tujuan lain pendidikan adalah menjadikan peserta didik berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis, serta bertanggungjawab. “Melalui pendidikan berbasis karakter, harapannya
semua jenjang pendidikan akan mampu mengeksplorasi potensi peserta didik, sehingga
menjadi manusia Indonesia yang memiliki karakter”, ujar Fasli. Lanjutnya, oleh sebab
demikian, pencanangan pendidikan karakter merupakan gerakan yang digalakkan
diseluruh Indonesia. Menurutnya, para pimpinan daerah mulai gubernur, wali kota,
bupati, hingga kepala dinas dan kepala sekolah telah bertekad melaksanakan revitalisasi
pendidikan karakter melalui upacara yang sama dan dibacakan sambutan Mendiknas.
“Bukan upacaranya yang penting, tetapi ada semangat untuk bersama-sama membangun
kembali pendidikan yang lebih kokoh,” tukasnya.
Pengertian yang spesifik mengenai karakter dan pentingnya karakter dijelaskan
oleh Doni Koesoema dengan sangat terperinci. Ia mengatakan bahwa karakter dipahami
secara berbeda oleh pemikir sesuai penekanan dan pendekatan mereka masing-masing.
lebih lanjut bahwa, ada pemikir yang menyamakan karakter dengan temperamen, bahkan
seperti keperibadian seseorang. Menurut Koesoema, karakter itu terbentuk dari bentukan-
bentukan yang diterima pada saat kecil, dan juga bawaan seseorang sejak ia lahir.
Pendapat yang sama dituliskan oleh Alwilson, bahwa karakter adalah penggambaran
tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit
maupun implisit. Ini berkaitan dengan masa depan.
Perspektif masa depan yang berupa cita-cita atau idealismenya itulah yang
memberikan manusia semangat dalam berjuang untuk mengatasi keterbatasan karakter
yang telah ada dari sononya. Ia berjuang terus menerus menjadi sosok pribadi yang
mampu menyempurnakan dirinya dalam ruang dan waktu. Sebuah masa depan senantiasa
menawarkan kemungkinan dan pertumbuhan yang lebih sempurna. Lanjut Koesoema,
manusia memang tidak dapat melepaskan dirinya dari sejarah masa lalunya yang
merupakan bagian integral dari proses pertumbuhannya. Namun, ia tidak hanya berhenti
di masa lalu. Ia dianugerahi kemampuan untuk mengarahkan dirinya ke depan, menuju
© UKDW
13
hari yang lebih baik.
Karakter yang pada mulanya hanya dipahami sebagai sebuah usaha memahami
manusia dari dinamika psikologi yang menyertainya, berupa kecenderungan
temperamental, kini menjadi semakin terfokus pada proses pilihan bebas manusia sebagai
penentu dan penghayat nilai.
Jadi karakter merupakan sebuah kesadaran dan keputusan individu dalam menentukan
cita-cita atau idealisme hidupnya di kemudian hari.
Kesadaran dan keputusan tersebut didapatinya melalui proses pembelajaran dari
dalam dirinya atau budayanya, dan juga dari luar dirinya atas apa yang diterimanya.
Masalahnya, pada sisi positif, apabila seseorang memiliki keinginan untuk menjadi
individu yang dihormati, dan ia melihat seseorang dihormati karena kesetiaan dan
kejujurannya, maka timbul kesadaran, bahwa kesetiaan dan kejujuran merupakan bagian
yang membuat orang dihormati, lalu dengan perjuangan yang berat, orang tersebut
melakukan kesetiaan dan kejujuran sebagai proses tujuannya. Negatifnya, apabila
seseorang memiliki keinginan untuk menjadi individu yang dihormati, dan ia melihat
seseorang dihormati karena ketampanan dan fasilitas yang dimilikinya, lalu muncul
kesadaran bahwa untuk dihormati, bahkan dipuji, ia harus mengoperasi wajah dan
berjuang untuk kaya agar tujuannya tercapai. Tentu hal ini adalah ironi yang terjadi
apabila tidak ada pengarahan yang benar dalam rangka penanaman nilai-nilai yang tepat,
yang bersumber dari Alkitab.
Dengan demikian, manusia perlu mendapatkan pendidikan karakter, agar ia dapat
membentuk diri menjadi sempurna melalui pengetahuan yang diterimanya, sehingga
potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya
semakin manusiawi. Ini berarti adalah, manusia semakin mampu berelasi secara sehat
dengan lingkungan di luar dirinya dan menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Jelas sekali, dalam tulisan Koesoema, karakter berkaitan dengan faktor pertumbuhan
remaja dan pengetahuan yang ia peroleh dalam menentukan daya serap menangkap nilai-
nilai yang mereka hadapi. 3. Karakter Kristiani
Dalam iman Kristen, bahkan mungkin seluruh agama sepakat bahwa, penanaman
karakter yang tepat adalah bersumber pada “ketuhanan”. Dalam konteks penanaman
© UKDW
14
nilai-nilai yang tepat bagi kekristenan, maka seorang Kristen perlu bercermin dari Yesus
Kristus sebagai tokoh yang sempurna dalam iman kerohaniannya. Seorang teolog, Verne
H. Fletcher mengatakan, bahwa etika Kristen adalah etika yang memiliki kekhasan
dengan etika-etika yang lain. Tentu dalam hal ini, pra-anggapan Fletcher melihat etika
Kristen memiliki ciri khas yang menarik, sekalipun menurutnya, walaupun memiliki
kekhasannya, namun etika Kristen tidak boleh eksklusif dan tertutup.
Pembahasan Fletcher, Yesus sebagai Manusia Baru merupakan tokoh atau model
pembelajaran mengenai karakter manusia Kristen. Yesus sebagai teladan dalam karakter,
maksudnya adalah, “mengikuti teladan Kristus”, yang berarti, pengikut Kristus perlu
mengakui dan bahwa ia wajib menjadi sepadan dengan Dia.
Yahya Wijaya pada kata pengantar buku karya Verne H.Fletche mengatakan,
gambaran tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap moral, karena
orang beragama memandang Tuhan sebagai sosok yang ideal, referensi bagi kehidupan
moral. Konsep atau hal tersebut memberikan kemudahan untuk memperkenalkan karakter
yang tepat bagi orang Kristen, khususnya remaja Kristen. Permasalahannya adalah,
Yesus seperti apa yang diperkenalkan oleh Alkitab yang oleh teolog Kristen memiliki
kekhasannya itu?
Beberapa bagian teladan yang ditinggalkan Yesus kepada murid-muridNya
merupakan hal-hal penting untuk dilakukan oleh manusia Kristen sebagai citra-citra
pembentuk. Citra-citra pembentuk tersebut diantaranya (selanjutnya, dibahas lebih pada
bab 3), adalah: 3.1. Yesus sebagai manusia lepas bebas/ tidak terikat dengan materi Manusia “lepas bebas” yang dimaksudkan adalah Yesus sebagai Manusia yang
bebas dalam keterikatannya dengan harta materi. Ia bukan anti terhadap kekayaan
(Lukas 19:8-10). Yesus juga bukan berarti menghendaki kehidupan bertapa, melainkan
sikapnya terhadap harta materi.
Dalah hal tersebut, kebebasan Yesus adalah dari keterikatan terhadap harta materi dan
dari semangat ketamakan atau keserakahan. Paul Suparno dalam istilahnya mengatakan
bahwa sikap ini adalah sikap lepas bebas, atau sama sekali seseorang tidak dikekang oleh
sesuatu. Berarti, tidak diperhamba oleh segala sesuatu.
© UKDW
15
3.2. Yesus sebagai Manusia yang mampu berelesai dan bersama dengan semua golongan
Yesus adalah Manusia yang bisa berelasi dengan semua golongan manusia, baik
itu orang kaya, miskin, kaum intelektual, wanita, orang terlantar dan juga orang yang
berdosa. Kesemuanya itu, jelas menunjukkan jati diri Yesus yang tidak memandang
pangkat ataupun golongan kepada siapa Ia bergaul. Yesus juga bukan sosok yang tidak
mengamati perilaku yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, ia mengecam perilaku orang-
orang yang membeda-bedakan status sosial masyarakat, bahkan orang yang memiliki
motivasi buruk atau muatan lain dalam pergaulannya (Lukas 14:1,7-14). Kebebasan
Yesus mencakup kebebasan dari nafsu akan kedudukan sosial, dari gila hormat dan
keinginan untuk membesarkan diriNya. Ia tidak mengutamakan reputasi dan pangkat.
3.3. Yesus sebagai Manusia yang bebas dari ketundukan pada “Moralitas yang
Tertutup”.
Moralitas tertutup menunjuk kepada suatu tata moral yang bermaksud
memisahkan salah satu kelompok, aliran atau bangsa dari dunia luar. Hal ini berkaitan
dengan eksklusifitas dan membuat eksklusifitas kelompok tertentu. Contohnya, ahli
Taurat yang merasa diri terpilih dan lebih baik dari rakyat jelata pada saat itu. Juga
bangsa Yahudi yang merasa diri sebagai bangsa pilihan dan tidak memandang bangsa
Samaria.
Yesus menghancurkan pemikiran itu dengan membuat komunitas terbuka,
dengan tidak adanya pembedaan status di antara semua kelompok dan golongan. Yesus
mengundang dan mengajak semua orang untuk menjadi warga kerajaanNya dan
menyesuaikan diri dengan sifat Allah. 3.4. Yesus sebagai manusia rendah hati dan lemah lembut
Karakter Yesus di atas didasari dengan sifat rendah hati dan lemah lembut, dan
karakter ini kebanyakan dinilai orang sebagai karakter yang lemah dan tidak kuat.
Padahal, karakter tersebut ini tidak identik dengan orang lemah dan tidak kuat,
sebaliknya kata aslinya, lemah lembut adalah praus (Gal 5:23; Kol 3:12), yang berarti,
seorang penguasa yang ideal, bijaksana, hakim yang adil, atau raja yang murah hati.
Rendah hati dan kelemah lembutan seorang pemimpin inilah yang menciptakan
© UKDW
16
keakraban Yesus dengan orang-orang yang tersisih dan orang-orang berdosa, bahkan juga
melayani setiap mereka. Inilah yang disebut pemimpin adalah pelayan. 4. Rumusan Masalah
Berangkat dari pengertian karakter, pentingnya karakter dan penggambaran
mengenai Yesus dan karakternya sebagai manusia baru, rendah hati, dan adil,
bagaimanakah model atau gambaran yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh sinema Korea
dan pengaruhnya terhadap remaja GKI Diponegoro? Dibandingkan dengan teori karakter
Yesus menurut Alkitab, bagaimanakah karakter Yesus Kristus yang diajarkan melalui
serangkaian khotbah, Pemahaman Alkitab, dan ceramah-ceramah oleh GKI Diponegoro
kepada para remajanya? Apakah GKI Diponegoro telah menjadi pedagogi
yang menanamkan nilai-nilai yang tepat bagi pertumbuhan karakter remajanya? Apakah
ada hal-hal yang tidak disadari oleh GKI Dipo mengenai ajaran gereja yang justru malah
membentuk karakter remajanya menjadi negatif? Bagaimanakah gambaran Karakter
Yesus Kristus dapat memberikan kesadaran dalam pembentukan karakter remaja GKI
Diponegoro di tengah-tengah ketertarikan mereka terhadap sinema Korea? Ataukah, ada
nilai-nilai karakter serial Korea yang positif, memiliki kesamaan dengan ajaran Yesus,
bahkan dapat diterapkan dan diintegrasikan dengan pengajaran gereja? Bagaimanakah
ajaran tentang Yesus Kristus dapat memberi kontribusi bagi pembentukan karakter
remaja GKI DIponegoro Magelang? 4.1. Batasan Penelitian
Karya tulis ini meneliti permasalahan remaja GKI Dipo dalam pengaruh sinteron
Korea dibandingkan ajaran gereja mengenai Yesus terhadap pembentukan karakter
mereka. Penulis meneliti lebih jauh kisah sinetron Korea yang paling digemari oleh
remaja, sehingga hal-hal yang mempengaruhi menjadi lebih jelas. Penulis pun meneliti
ajaran GKI Diponegoro Magelang selama ini (usia GKI Diponegoro, 9 tahun), serta
seberapa terkesannya remaja GKI Diponegoro terhadap ajaran gereja, sehingga itu
menjadi bagian dalam diri mereka. Dalam penelitian ini, penulis akan memakai beberapa
buku acuan selain tiga buku acuan utama yaitu, buku karya Verne H, Fletcher , Erik H.
Erikson, dan Doni Koesoema.
Pada bagian yang lain, penulis akan memaparkan persamaan-persamaan dan
© UKDW
17
karakter tokoh dalam serial Korea dan karakter tokoh Yesus. Dari pemaparan tersebut,
akan nampak bahwa apakah serial Korea memiliki banyak hal positif atau justru tidak
sepadan dengan pengajaran Alkitab. 4.2. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui faktor-faktor penting yang dapat membuat remaja GKI Diponegoro
tertarik terhadap kisah sinetron Korea.
2. Mengetahui secara jelas, pengaruh tokoh Yesus dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3. Melihat dan memilah persamaan dan perbedaan pendidikan karakter yang diajarkan
gereja dan serial Korea
1. Melalui penulisan tesis ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi teologis bagi
gereja
GKI Diponegoro dalam melakukan penanaman karakter yang tepat bagi Komisi
Remajanya 4.3. Rumusan Judul
Judul yang direncanakan penulis untuk menulis tesis ini adalah Pengaruh Sinetron Korea
dibandingkan dengan Pengaruh Ajaran Gereja Bagi Pembentukan Karakter Remaja
Gereja Kristen Indonesia Jalan Pangeran Diponegoro Magelang. 4.4. Hipotesis
1. Kisah dan tokoh dalam serial Korea lebih mempengaruhi pembentukan karakter remaja
GKI Diponegoro, dibandingkan dengan karakter Yesus dalam ajaran gereja GKI
Diponegoro.
2. Remaja GKI Diponegoro belum memiliki konsep yang tepat dan hal menarik yang
membuat mereka terkesan dengan ajaran gereja, khususnya mengenai Yesus.
3. Tidak adanya kesadaran bahwa Alkitab merupakan panduan atau acuan dalam menilai
karakter yang benar. 4.5. Metodologi
1. Verne H. Fletcher dalam bukunya yang berjudul “Lihatlah Sang Manusia”, sebagai
inspirasi dari konsep manusia baru.
2. Doni Koesoema A, dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Karakter: Strategi
Mendidik Anak di zaman Global, sebagai acuan untuk memahami pengertian karakter
© UKDW
18
dan langkah-langkah dalam memberikan pendidikan karakter yang tepat.
3. Pada penelitian ini, untuk memperoleh data yang obyektif dan mendalam, maka
penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif . Pendekatan kualitatif adalah melalui
observasi, literatur, dan wawancara. Pendekatan kualitatif digunakan karena beberapa
pertimbangan yaitu: pertama: pendekatan ini lebih dahulu merupakan pengamatan,
sehingga dapat merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena
yang terjadi; kedua, metode ini menciptakan hubungan langsung antara peneliti dan yang
diteliti; ketiga, sumber informasi dari beberapa narasumber akan lebih lagi memperkaya
khazanah berpikir. Penelitian ini akan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
melalui observasi, literatur, dan wawancara.
Pada Studi observasi, peneliti akan mengamati gaya hidup sejumlah remaja, mulai dari
busana, tingkah laku, bahasa, bahkan pemikiran mereka yang telah dipengaruhi oleh
tayangan drama Asia dan pengajaran mengenai tokoh Yesus; pada bagian literatur,
peneliti memakai tiga jenis buku yang meliputi buku budaya popular, buku Teologi, dan
buku pertumbuhan psikologi remaja secara umum. 4.6. Sistimatika Penulisan Bab I. Pendahuluan
Bagian pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, batasan penelitian, tujuan
penelitian, rumusan judul, hipotesis, metodolog dan sistematika penulisan. Bab II. Deskripsi Sinema Korea dan Pengaruhnya terhadap Remaja GKI Diponegoro
Merupakan deskripsi dan penjelasan singkat terhadap kisah-kisah Korea yang
popular, diantaranya adalah, Dream Hight dan The Birth of A Rich. Analisis yang
mencakup pengaruh serial Korea yang bermakna positif dan negatif. Psikologi Remaja,
dan dalam kaitannya, remaja sebagai penghayat nilai serial Korea. Bab III. Teori Etika Karakter Yesus Kristus, Serta Analisis Ajaran Gereja dan
Pengaruhnya Terhadap Remaja GKI Diponegoro Magelang
Teori etika karakter Yesus Kristus menurut para teolog Kristen sebagai acuan
untuk melihat karakter dan nilai-nilai karakter dalam pengajaran praktis remaja GKI
Dipo, dalam bentuk khotbah, Pemahaman Alkitab, diskusi, dan seminar, yang selama ini
ditanamkan dalam kehidupan remaja GKI Dipo.
© UKDW
19
Bab IV. Serial Korea dan Pengajaran Gereja
Menguraikan dialog antara nillai-nilai atau karakter yang terdapat pada serial
Korea dan tokoh Yesus. Pada bagian ini, penulis akan memaparkan persamaan dan
perbedaan yang terdapat pada kedua hal tersebut, serta mencoba mendialogkan tokoh
serial Korea dan tokoh Yesus.
Bab V. Kesimpulan
Bab ini menguraikan kesimpulan dari seluruh rangkaian penulisan bab.
© UKDW