BAB I PENDAHULUAN - abstrak.uns.ac.id · menggunakan paling sedikit tiga huruf asli (ل ع ف) dari...

54
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa sebagai sebuah sistem berarti mempunyai susunan yang teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna dan berfungsi (Hidayatullah, 2012: 3), sehingga terbentuklah tatanan bahasa yang bersifat sistematis dan sistemis (Chaer, 2007: 35). Hampir semua bahasa yang ada memiliki susunan yang bersifat sistematis dan sistemis, termasuk juga salah satu bahasa rumpun Semit yakni bahasa Arab (selanjutnya disingkat dengan bA). Susunan yang bersistem tersebut adalah struktur tata bahasa yang meliputi subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis. Semua subsistem tata bahasa tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Karena tiap unsur dalam subsistem tersebut tersusun menurut aturan atau pola tertentu yang secara keseluruhan membuat satu sistem. Bagian dari subsistem tata bahasa yang membicarakan tentang seluk beluk kata, juga menyelidiki segala proses perubahan golongan dan arti kata sebagai akibat dari perubahan bentuk kata disebut morfologi (Ramlan, 1987: 21). Dalam bahasa Arab morfologi lebih dikenal dengan ilm a’sh-sharf (al-Khuli, 1982: 175). ‘Ilm a’sh-sharf merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk dari suatu kata dan perubahan keadaan suatu kata yang tidak dipengaruhi oleh i‘ra>b dan bentuknya (ar-Ra>jachi>, 2008: 17). ‘Ilm a’sh-sharf juga merupakan ilmu yang membahas tentang berbagai kata dari sisi tashri>f atau perubahan bentuk kata, ibda>l, idgha>m, dan i‘la>l (al-Ghula>yaini>, 2006: 8). Dalam ‘ilmu a’sh-sharf yang

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - abstrak.uns.ac.id · menggunakan paling sedikit tiga huruf asli (ل ع ف) dari...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa sebagai sebuah sistem berarti mempunyai susunan yang teratur

berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna dan berfungsi

(Hidayatullah, 2012: 3), sehingga terbentuklah tatanan bahasa yang bersifat

sistematis dan sistemis (Chaer, 2007: 35). Hampir semua bahasa yang ada

memiliki susunan yang bersifat sistematis dan sistemis, termasuk juga salah satu

bahasa rumpun Semit yakni bahasa Arab (selanjutnya disingkat dengan bA).

Susunan yang bersistem tersebut adalah struktur tata bahasa yang meliputi

subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis. Semua subsistem tata bahasa

tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain, dan

tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Karena tiap unsur dalam

subsistem tersebut tersusun menurut aturan atau pola tertentu yang secara

keseluruhan membuat satu sistem.

Bagian dari subsistem tata bahasa yang membicarakan tentang seluk beluk

kata, juga menyelidiki segala proses perubahan golongan dan arti kata sebagai

akibat dari perubahan bentuk kata disebut morfologi (Ramlan, 1987: 21). Dalam

bahasa Arab morfologi lebih dikenal dengan ‘ilm a’sh-sharf (al-Khuli, 1982:

175). ‘Ilm a’sh-sharf merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk

dari suatu kata dan perubahan keadaan suatu kata yang tidak dipengaruhi oleh

i‘ra>b dan bentuknya (ar-Ra>jachi>, 2008: 17). ‘Ilm a’sh-sharf juga merupakan ilmu

yang membahas tentang berbagai kata dari sisi tashri>f atau perubahan bentuk kata,

ibda>l, idgha>m, dan i‘la>l (al-Ghula>yaini>, 2006: 8). Dalam ‘ilmu a’sh-sharf yang

2

menjadi objek pembahasan yaitu mengenai ism mutamakkin (ism yang mu‘rab

atau ism yang dapat menerima tanda-tanda i‘ra>b) dan fi‘l mutasharrif (verba yang

dapat berubah bentuk sesuai dengan proses perubahan infleksi) (al-Ghula>yaini>,

2006: 8). Kedua objek tersebut berkaitan dengan pembicaraan tentang kata dan

segala hal yang berhubungan dengannya, seperti perubahan bentuk kata, asal-usul

kata, dan pemecahan kata. Dengan demikian, morfologi atau ‘ilm a’sh-sharf

merupakan ilmu yang mempelajari seluk-beluk bentuk dari suatu kata serta

perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kata tersebut.

Suatu kata ketika mengalami proses perubahan bentuk akan diperoleh

bentukan-bentukan yang berubah hanya asalnya atau bentuk dasar, identitas

leksikalnya, maupun status kategori katanya. Proses perubahan bentuk yang

menghasilkan bentukaan-bentukan dari kata yang sama identitas leksikalnya

disebut dengan fleksi atau infleksi, sedangkan proses yang menghasilkan

bentukan kata-kata yang tidak sama identitas leksikalnya tanpa perubahan

kategori atau sekaligus perubahan kategorinya disebut dengan derivasi (Verhaar,

2012: 118).

Dalam ‘ilm a’sh-sharf dua pembahasan tentang proses perubahan kata

tersebut dibagi menjadi dua jenis pembahasan besar yakni al-istiqa>q ‘derivasi’

dan a’t-tashri>f ‘infleksi’. Kedua proses morfologis tersebut meliputi proses

perubahan bentuk yang terjadi pada ism „nomina‟ dan fi‘l „verba‟. Adapun di

dalam fi‘l disebut dengan isytiqa>qul af‘a>l dan tashri>ful af‘a>l.

Pada pembentukan kata bA terdapat perbedaan pendapat dalam hal akar kata

yang menjadi dasar pembentukan kata. Para linguis Kufah mengatakan bahwa

3

akar kata dalam bA adalah dari fi‘l „verba‟, sedangkan linguis Bashrah

mengatakan akar kata dalam bA adalah mashdar (al-Labdi>, 1985: 123). Dari

kedua pendapat tersebut penulis lebih condong kepada bahwa akar kata dalam bA

berasal dari fi‘l „verba‟ karena dalam satu fi‘l bisa terdapat mashdar lebih dari

satu. Tidaklah dapat diterima jika sesuatu yang dijadikan dasar memiliki

bermacam-macam bentuk.

Selaras dengan pendapat bahwa akar kata dalam bA adalah fi‘l,

pembentukan kata terutama pada verba bA diketahui melalui sistem akar pola

yang biasa disebut sebagai wazn atau miqyas (a’r-Ra>jachi>, 2008: 19). Wazn

digunakan sebagai standar untuk menunjukkan pola dari suatu verba. Ahli bA

menggunakan paling sedikit tiga huruf asli (ف ع ل) dari verba فعل fa‘ala untuk

mewakili huruf-huruf dari wazn akar kata bA (a’r-Ra>jachi>, 2008: 32). Ketiga

huruf tersebut yakni huruf fa>‘ menjadi huruf pertama yang mewakili akar kata

dalam bA, kemudian huruf ‘ain mewakili huruf kedua, dan huruf la>m mewakili

huruf yang ketiga (a’r-Ra>jachi>, 2008: 19). Para ahli nahwu memilih kata فعل fa‘ala sebagai standar karena keberadaan tiga huruf tersebut yakni fa>’, ‘ain, dan

la>m mengandung perpaduan beberapa makhraj yaitu syafatun „bibir‟, fammun

„mulut', chalqun „tenggorokan‟. Di samping itu juga ada alasan lain dari ketiga

huruf tersebut yaitu ketiga huruf tersebut yang dilihat paling umum dari beberapa

kata kerja lain ditinjau dari segi makna (‘Utsma>n, 1939: 7). Ketiga huruf yang

menjadi wakil tiap huruf dari pada wazn dasar verba bA mempunyai penyebutan

tersendiri, huruf pertama yakni fa>’ pada pola disebut dengan fa>‘ul kalimah, huruf

4

kedua yakni ‘ain disebut dengan ‘ainul kalimah, dan huruf ketiga yakni la>m

dinamakan dengan la>mul kalimah (a’r-Ra>jachi>, 2008: 19).

Dari pola dasar yang terdiri dari tiga huruf fa‘, ‘ain, la>m tersebut

dikembangkan menjadi wazn atau pola dari verba dan nomina seperti fa‘ala pola

dari verba كتب kataba, fa‘ila pola dari verba حسب chasiba, fu‘ila pola dari

verba ضرب dhuriba, fu‘lun pola dari nomina رمح rumchun, fi‘lun pola dari

nomina ملح milchun, fu‘ulun pola dari nomina كتب kutubun, dan selainnya (a’r-

Ra>jachi>, 2008: 19).

Verba dalam bA ditinjau dari jumlah huruf penyusunnya dibedakan menjadi

dua yaitu tsula>tsi „verba yang terdiri dari tiga huruf konsonan asli‟ dan ruba>’i

„verba yang terdiri dari empat huruf konsonan asli‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).

Masing-masing dari verba tsula>tsi> dan ruba>‘i> dibedakan lagi menurut polanya

menjadi mujarrad tsula>tsi> (triliteral denude), mazi>d tsula>tsi> (triliteral

augmented), mujarrad ruba>‘i> (quadriliteral denude) dan mazi>d ruba>‘i>

(quadriliteral augmented) (a’d-Dahdah, tt: 564). Selanjutnya dari verba triliteral

dan kuadriliteral tersebut akan dibentuk menjadi berbagai macam jenis dan bentuk

kata.

Verba dasar triliteral terbagi menjadi tiga pola dasar yaitu fa‘ala, fa‘ila,

fa‘ula. Ketiga pola dasar tersebut dipecah lagi menjadi enam pola, yaitu fa‘ala-

yaf‘ilu, fa‘ala-yaf‘ulu, fa‘ala-yaf‘alu, fa‘ila-yaf‘alu, fa‘ila-yaf‘ilu, fa‘ula-yaf‘ulu.

Dari masing-masing enam pola verba tersebut dalam tashri>ful af‘al kemudian

dibagi lagi menurut shi>ghat ‘bentuk‟nya yaitu menjadi verba perfek, imperfek,

imperatif (a’d-Dahdah, 2000: 228). Pada verba perfek, imperfek dan imperatif

5

tersebut memiliki proses perubahan bentuk yang beragam menurut jenis verba

yang mengikutinya. Menurut pengamatan penulis sebagian besar penyebab utama

dari beragamnya proses perubahan bentuk internal pada verba bA yaitu karena

adanya huruf ‘illah yang menyusun verba-verba tersebut. Seperti contoh verba

perfek qawala قول qa>la dari jenis mu‘tal ajwa>f, yang asalnya adalah قال

mengikuti pola فعل fa‘ala. Huruf wau tersebut berubah menjadi alif karena

berdasarkan kaidah i‘la>l, apabila wau berharakat yang terletak setelah harakat

fatchah, maka huruf wau tersebut wajib diganti dengan alif. Contoh lain yaitu

verba imperfek للونن yatlu>na dari jenis verba mu‘tal na>qi>sh, yang asalnya adalah ينتي

yaf‘ulu>na. Huruf wau sukun yang berada فعلون yatluwu>na mengikuti pola ينتيللول نن

di akhir kata tersebut dibuang dan wau berharakat yang berada pada la>m fi‘l

disukunkan. Hal tersebut terjadi karena berdasarkan kaidah i‘la>l yaitu apabila

terdapat wau sukun di akhir kata dan huruf wau yang terletak pada la>m kalimah

berharakat, maka harakat pada huruf wau yang terletak pada la>m kalimah harus

disukun jika wau tersebut berharakat dhammah.

Di antara verba-verba bA, verba yang mengandung huruf ‘illah sangat

berpotensi terjadi proses perubahan bentuk internal. Verba berhuruf ‘illah tersebut

seperti fi‘l ajwa>f , fi‘l mitsa>l, fi‘l na>qish, dan fi‘l lafi>f yang masuk dalam jenis fi‘l

mu‘tal. Verba tersebut sangat berpotensi terjadi perubahan bentuk ketika

bersambung dhami>r, seperti ن- ي ,أي dalam proses infleksi verba. Perubahan

bentuk ini banyak terjadi pada verba-verba dasar terutama pada verba dasar

triliteral. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis mengambil pembahasan

tentang perubahan bentuk pada verba-verba dasar tsula>tsi> mujarrad „verba dasar

6

triliteral‟ berpola fa‘ala-yaf‘ulu untuk mengetahui lebih lanjut mengenai variasi

proses perubahan bentuk yang terjadi pada verba-verba bA.

Proses perubahan bentuk suatu kata menjadi bentuk yang lain disebut

dengan a’t-tashri>f ‘infleksi’ (Ba‘albaki, 1990: 246). Proses infleksi yang terjadi

pada verba disebut dengan tashri>ful af’a>l ‘konjugasi‟. Tashri>f af’a>l „konjugasi‟

merupakan proses perubahan verba yang menunjukkan pada perubahan kala,

jumlah (tunggal, dual, dan plural), atau jenis (laki-laki dan perempuan)

(Ba„albaki, 1990: 113). Misalnya pada pembentukan verba kala kini (perfek)

untuk persona yang berbeda-beda seperti verba درست darasta „kamu p2.m.s telah

belajar‟ untuk persona tunggal, berbeda dengan verba درستما darastuma> „kamu

p2.m.d telah belajar‟ untuk persona dual, dan درسنا darasna> „kami p1.n.p telah

belajar‟ untuk persona plural. Bentuk-bentuk kata yang berbeda itu sesungguhnya

memiliki identitas kata atau leksikal yang sama dengan kata dasarnya sedangkan

yang berbeda yaitu perubahan bentuk afiks pada verba tersebut. Perubahan bentuk

afiks pada verba di atas merupakan perwujudan dari proses infleksi dengan

konsep penanda persona, jumlah dan gender dalam verba bA.

Dalam perubahan bentuk verba bA banyak proses perubahan yang menjadi

pendukungnya. Proses-proses tersebut di antaranya berupa modifikasi internal

seperti i‘la>l (vocalization), idgha>m (elipsis), dan ibda>l (mutation). Proses-proses

itu menjadi pendukung perubahan terutama pada verba-verba yang berhuruf ‘illah

wa>w, ya>’ dan alif. Verba berhuruf ‘illah tersebut oleh al-Ghula>yaini> disebut

dengan fi‘l mu‘tal (2006: 40). Proses perubahan tersebut juga tidak dipungkiri

terjadi juga pada fi‘l shachi>ch, namun hanya fi‘l shachi>ch jenis mahmu>z saja yang

7

mengalami proses perubahan bentuk meskipun hanya pada verba imperatif dan

beberapa verba imperfeknya saja.

Seperti proses perubahan pada fi‘l mu‘tal ajwa>f bentuk verba imperatif

ta>ba نابن tub ‘bertaubatlah p2.m.s’ berasal dari verba dasar لب yatu>bu ينتيلوبل -

‘bertaubat’ yang mengikuti pola fa‘ala-yaf‘ulu asalnya ل يولب 'utwub. ل يولب 'utwub berubah menjadi لب tub karena terdapat huruf ‘illah wau yang berharakat

dhammah dan huruf sebelumnya yakni huruf ta>’ berharakat sukun atau mati,

maka agar tidak berat saat mengucapkan kata tersebut harakat pada huruf ‘illah

wau dipindahkan ke huruf sebelumnya yakni huruf ta>’, sehingga menjadi ل يلوب 'utu>b. Kemudian untuk menghindari bertemunya dua huruf mati, maka huruf

‘illah yang berharakar sukun dihapus sehingga menjadi ل لب 'utub. Setelah itu,

karena hamzah washl pada ل لب 'utub tidak dibutuhkan lagi maka dibuang

sehingga menjadi لب tub. Proses perubahan yang terjadi pada fi‘l mu‘tal ajwa>f

.tub yaitu proses i‘la>l لب

Fenomena dari proses perubahan bentuk pada verba atau disebut dengan

konjugasi yang dalam bA dikenal dengan tashri>ful af‘a>l (Ba„albaki, 1990: 113)

seperti i‘la>l (vocalization), idgha>m (elipsis), dan ibda>l (mutation) terjadi tidak lain

juga karena pengaruh dari afiksasi yang ada pada suatu verba. Perubahan afiks

pada suatu verba merupakan perwujudan dari proses infleksi atau tashri>f pada

verba yang disertai dengan perubahan dhami>r pelakunya. Perubahan pelaku

tersebut berdasarkan jumlahnya yang berupa dhami>r mufrad (tunggal), mutsanna

(dual), dan jama‘ (plural); berdasarkan jenis gendernya yaitu berupa maskulin

(dhami>r mudzakkar) dan feminin (muannats); serta berdasarkan posisi pelakunya

8

berupa orang pertama (mutakallim), atau orang kedua (mukha>thab), atau orang

ketiga (gha>‘ib).

Penelitian tentang tata bahasa yang berkaitan dengan kaidah bahasa

khususnya mengenai proses perubahan bentuk kata terutama verba telah banyak

dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan. Meskipun demikian, peneliti merasa

masih perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan lebih terperinci

tentang proses perubahan internal seperti i‘la>l dan idgha>m pada verba bA. Peneliti

juga tertarik untuk melakukan penelitian ini karena terkait dengan ketatabahasaan

yang dapat membantu para pembelajar untuk memahami tata bahasa terutama

kaidah morfologi dalam bA. Penelitian dengan judul infleksi kata kerja berpola

fa‘ala-yaf‘ulu yang ada dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia sejauh

pengamatan penulis dari berbagai perpustakan belum pernah dibahas.

Alasan dari pemilihan kamus al-Munawwir (1997) sebagai sumber

penelitian yaitu dipilih berdasarkan pada pertimbangan antara lain, karena kamus

al-Munawwir Arab-Indonesia yang disusun dengan sistem pola akar kata

(Mahbib, 28 Oktober 2014: Diakses 24 Juli 2015 jam 20.26 wib). Pada kamus al-

Munawwir sejatinya ketika digunakan untuk mencari akar suatu kata,

mengharuskan penggunanya paham dengan dasar-dasar ‘ilm a’sh-sharf dan

nahwu, karena untuk mencari akar kata atau kata dasar kita harus mengetahui

bentuk fi‘l ma>dhi> dari kata tersebut. Selain itu, kamus al-Munawwir Arab-

Indonesia merupakan kamus terlengkap dan juga merupakan salah satu kamus

yang banyak digunakan oleh pembelajar bahasa Arab.

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan proses

pembentukan verba dasar triliteral secara infleksi serta dapat mendeskripsikan

9

macam-macam verba dasar triliteral yang mengikuti pola fa‘ala - yaf‘ulu yang

terdapat dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia edisi ke-2 cet.ke-14 tahun

1997 yang kemudian dapat memperkaya para peneliti bahasa dalam mempelajari

verba dasar triliteral dalam bA. Diharapkan juga dari penelitian yang dilakukan ini

dapat memberikan informasi mengenai afiks-afiks infleksi penanda persona,

jumlah dan gender pada verba dasar berbentuk ma>dhi> „perfek‟, mudha>ri’

„imperfek‟, dan amr „imperatif‟.

Penelitian tentang verba secara umum telah banyak dilakukan oleh peneliti

terdahulu, tetapi penelitian yang secara khusus membahas tentang pola

pembentukan secara infleksi pada verba triliteral serta afiks-afiks penanda

persona, jumlah dan gender pada verba dasar triliteral bA sejauh yang penulis

baca belum banyak dikaji. Beberapa penelitian dianggap mendasari penelitian ini

yaitu penelitian yang dilakukan oleh Taqiyah (2009), Luthfan (2010), Afrizal

(2013), Ridwan (2014), Aliyah (2014) dan Idiatussaufiah (2015).

Taqiyyah (2009), telah melakukan penelitian dengan judul al-I‘la>l wal

Ibda>l fi> Su>rah al-Ahqa>f (dira>sah tahli>liyyah sharfiyyah). Permasalahan dalam

penelitian ini meliputi jumlah kalimat yang mengandung proses i‘la>l dan ibda>l

dalam pengucapan dan penulisan serta proses i‘la>l yang ada dalam surat al-Ahqa>f.

Hasil dari penelitian ini di antaranya penyebab dari terjadinya i‘la>l dan ibda>l

adalah a’ts-tsiqa>l dan yang mempengaruhi terjadinya i‘la>l dan ibda>l adalah at-

takhfi>f. Dalam surat al-Ahqa>f kalimat yang mengadung i‘la>l dan ibda>l ada 112

dengan perincian 52 i‘la>l bi’l-qalb, 27 i‘la>l bi’t-taski>n, 24 i‘la>l bi’l-hadzf, 5 i‘la>l

bil’-hamzah dan 4 ibda>l.

10

Luthfan (2010), telah melakukan penelitian dalam bentuk jurnal tentang

Sistem Morfologi Verba Bahasa Arab. Permasalahan yang dikaji yaitu sistem

morfologi verba dalam bA dengan perspektif linguistik modern. Sistem morfologi

tersebut mencakup tiga hal, yaitu: karakter morfologi, sistematika morfologi dan

proses morfologi. Penelitian ini menghasilkan tiga poin penting, yaitu (1) karakter

pembentukan kata dalam bA berdasarkan pada interdigitasi akar radikal dan pola,

(2) sistem morfologi bA bersifat infleksional dan derivasional, dan (3) proses

morfologi dalam bA tidak mengenal reduplikasi, komposisi dan konversi.

Afrizal (2013), telah melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan

judul Morfem-Morfem Pembentuk Verba Dasar Triliteral Bahasa Arab.

Penelitian ini berusaha mengungkap jumlah dan bentuk morfem yang terdapat

pada suatu verba dasar triliteral serta proses morfologis dan morfofonologis

beserta makna yang dikandung masing-masing morfem pembentuk verba dasar

triliteral. Hasil dari penelitian ini adalah verba dasar triliteral tersusun atas

morfem akar, transfiks, dan afiks persona, jumlah serta jenis. Proses morfologis

suatu verba dasar triliteral diawali dengan morfem akar yang mengalami

transfiksasi, sehingga menjadi pangkal dan dilanjutkan dengan afiksasi persona,

jumlah, dan jenis. Dari proses morfologi menyebabkan perubahan fonologis atau

disebut dengan proses morfofonologis yakni proses yang melibatkan fonem /w/,

/y/, /‟/ dan geminasi sebagai bagian dari morfem akar.

Ridwan (2014), telah melakukan penelitian yang disampaikan pada acara

Forum Ilmiah X (Seminar Internasional) dengan judul Verba Triliteral Bahasa

Arab: Tinjauan dari Prespektif Morfologi Derivasi dan Infleksi. Penelitian ini

mengungkapkan tentang paradigma infleksi persona, jumlah, dan gender dan

11

fungsi afiks infleksi penanda persona, jumlah, dan gender pada verba dasar

trilateral. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa verba dasar triliteral tersusun atas

morfem akar, transfiks, dan afiks persona, jumlah dan jenis. Proses morfologis

suatu verba dasar triliteral diawali dengan morfem akar yang mengalami

transfiksasi sehingga menjadi pangkal dan dilanjutkan dengan afiksasi persona,

jumlah, jenis. Proses morfologis tersebut dapat menyebabkan perubahan fonologis

atau yang biasa disebut proses morfofonologis. Proses morfofonologis ini

melibatkan fonem /w/,/y/, /ʔ/ dan geminasi sebagai bagian dari morfem akar.

Aliyah (2014), telah melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan

judul I‘la>l bil Ibdal dalam Kitab Ayyuhal Walad (Analisis Morfofonologi).

Penelitian ini membahas tentang proses i‘la>l bil ibdal dari kalimah yang ada

dalam kitab Ayyuhal Walad yang mengalami i’lal bil ibdal dan memaparkan

kalimah apa saja yang mengalami i‘la>l bil ibdal. Hasil dari penelitian ini di

antaranya ditemukan 93 data kalimah yang mengalami i’lal bil ibdal yang terdiri

atas 31 fi‘l ma>dh>i (verba perfektum), 15 fi‘l mudha>ri’ (verba imperfektum), 1 fi‘l

amr (verba imperatif), 23 ism mashdar (nomina original), 18 ism fa>’il (nomina

agentif), 2 ism maf’u>l (patient-noun), dan 2 ism makan (nomina lokal) dengan

proses analisis i‘la>l yang berbeda-beda yang terdiri atas 22 kalimah yang

mengganti huruf wau dengan huruf alif, 23 kalimah yang mengganti huruf ya>’

dengan huruf alif, 17 kalimah yang mengganti huruf wau dengan huruf ya’, 13

kalimah yang mengganti huruf wau dengan huruf hamzah, 14 kalimah yang

mengganti huruf ya>’ dengan huruf hamzah, 6 kalimah yang mengganti huruf

hamzah dengan huruf ma>d, 3 kalimah yang mengganti huruf wau dengan huruf

ta’, dan 1 kalimah yang mengganti huruf ya>’ dengan huruf ta’.

12

Idiatussaufiah (2015), telah melakukan penelitian dalam bentuk Tesis

dengan judul Sinonim Khamr dalam Bahasa Arab pada Kamus Al-Munawwir

Arab-Indonesia (1997) (Analisis Semantik Leksikal). Penelitian mengungkapkan

tentang kata-kata yang bersinonim dengan khamr pada kamus al-Munawwir Arab-

Indonesia (1997) dan medan semantik serta komponen makna dari masing-masing

sinonim tersebut. Selain itu penelitian ini juga mengungkapkan apakah kata-kata

tersebut benar-benar bersinonim mutlak atau hanya berdekatan saja. Adapun hasil

penelitian dari penelitian ini antara lain: ditemukannya beberapa kata yang

dianggap bersinonim dengan kata khamr dalan kamus al-Munawwir Arab-

Indonesia (1997) yang dianalisis menggunakan analisis paradigmatik di antaranya

al-bit’u, al-jafnah, al-khafis, az-zarajun, nabiz, as-sakaru dan as-sulafu.

Sedangkan menurut komponen makna, terdapat 28 komponen makna yang

berbeda karena masing-masing kata yang bersinonim tersebut memiliki makna

yang berbeda ditinjau dari segi bahan, bentuk, rasa, warna dan proses

pembuatannya. Selain itu, kata-kata yang bersinonim itu tidak ada yang

bersinonim mutlak karena setiap kata memiliki beberapa komponen makna

pembeda antara kata satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian mengenai proses infleksi pada verba

dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu perlu dilakukan. Penelitian ini berbeda dengan

penelitian-penelitian di atas. Dalam penelitian ini mengambil fokus mengenai

proses-proses pendukung dalam perubahan bentuk verba pada proses infleksi

verba dasar triliteral berpola fa‘ala-yaf‘ulu yang ada dalam kamus al-Munawwir

Arab-Indonesia, karena di antara pola-pola verba dasar, pola tersebutlah yang

13

banyak ditemukan dalam kamus al-Munawwir dan dalam proses pembentukan

verba, pola tersebut juga mengalami proses perubahan bentuk yang beragam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang tersebut di atas, maka

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana proses perubahan bentuk pada verba dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu

secara infleksi?

2. Bagaimana persebaran verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu dalam kamus

al-Munawwir Arab-Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan deskripsi permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan proses perubahan bentuk pada verba dasar berpola fa‘ala-

yaf‘ulu secara infleksi.

2. Mendeskripsikan persebaran verba berpola verba fa‘ala-yaf‘ulu yang ada

dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia.

D. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan luasnya permasalahan mengenai proses infleksi pada

verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu, maka dalam penelitian ini hanya terbatas pada proses

perubahan pada verba jenis shachi>ch dan mu‘tal bentuk fi’l ma>dhi> ma’lu>m „verba

perfek aktif‟, dan fi’l mudha>ri’ ma‘lu>m „verba imperfek aktif‟, dan fi’l amr „verba

imperatif‟. Adapun untuk melihat persebaran verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu dalam

kamus al-Munawwir Arab-Indonesia tidak terbatas pada abjad-abjad tertentu,

akan tetapi menyeluruh dari abjad alif hingga ya>’.

14

E. Landasan Teori

1. Morfologi

a. Konsep Dasar Morfologi

Morfologi, secara etimologi berasal dari kata morf yang artinya „bentuk‟

dan kata logi yang berarti „ilmu‟. Jadi secara harfiah morfologi berarti „ilmu

mengenai bentuk‟ (Chaer, 2008: 3). Morfologi merupakan salah satu cabang

linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan

gramatikal (Verhaar, 1977: 52). Morfologi juga mempelajari seluk-beluk bentuk

kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk katanya terhadap golongan dan

arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari

seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu baik

fungsi gramatikalnya maupun fungsi semantik (Ramlan, 1987: 21).

Adapun dalam bahasa Arab ilmu ini lebih dikenal dengan istilah ‘ilm ash-

sharf (Ba‘albaki, 1990: 318 dan al-Khuli, 1982: 175). „Ilm a’sh-sharf merupakan

ilmu yang membahas tentang berbagai kata dari sisi tashri>f „perubahan bentuk

kata‟, ibda>l „penggantian huruf lain pada posisinya‟, idgha>m „memasukkan satu

huruf ke huruf lain‟, dan penggantian huruf (al-Ghula>yaini>, 2006: 8)

Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata. Satuan yang paling kecil

diselidiki oleh morfologi ialah morfem dan yang paling besar berupa kata.

Adapun satuan gramatikal yang salah satu unsurnya berupa afiks juga termasuk

dari satuan yang diselidiki oleh morfologi (Ramlan, 1987: 23-25).

15

b. Kata

Kata adalah satuan atau bentuk “bebas” dalam tuturan. Bentuk “bebas”

secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, atau tidak

membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari

bentuk-bentuk “bebas” lainnya di depannya dan dibelakangnya dalam tuturan

(Verhaar, 2012: 97). Kata dapat terbentuk dari satu morfem bebas, misalnya

rumah, rijl (Asrori, 2004: 24), atau pada verba bA seperti kata fahima

(Hidayatullah, 2012: 55). Morfem bebas berbeda dengan morfem terikat. Morfem

terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan yang hanya dapat

meleburkan diri pada morfem lain (Verhaar, 2012: 97), apabila tidak digabungkan

dengan morfem lain tidak akan muncul dalam pertuturan (Chaer, 2007: 152),

misalnya dalam bA pada partikel al- (Verhaar, 2012: 55). Dalam verba bA, satu

kata dapat terdiri dari satu atau lebih morfem terikat seperti kata yaktubna, yang

terdiri dari satu morfem bebas (KtuB) dan dua morfem terikat (ya- dan -na)

(Verhaar, 2012: 55-56).

Morfem tidak dapat dianalisis menjadi bentuk yang lebih kecil lagi,

(kecuali menjadi bentuk fonem) yang disebut dengan akar kata (root) (Bauer,

1988: 11). Misalnya dalam bA pada kata kataba mempunyai akar kata KTB. Akar

kata tersebut nantinya akan melahirkan bentuk kata yang lain yang disebut dengan

pola atau wazn (Hidayatullah, 2012: 56). Morfem yang dilekati oleh afiks atau

unit morfologis lainnya disebut dengan morfem dasar (base) (Bauer, 1988: 12).

Adapun menurut Chaer istilah bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya

digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar dalam proses

morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal atau dapat juga berupa

16

gabungan morfem. Misalnya dalam bahasa Inggris kata singers bentuk dasarnya

adalah singer, sedangkan kata singer itu sendiri bentuk dasarnya adalah sing

(Chaer, 2007: 159). Sedangkan morfem pangkal digunakan untuk menyebut

bentuk dasar dalam proses infleksi atau pembubuhan afiks inflektif. Contoh dalam

bahasa Indonesia kata menangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi, dan morfem

me- adalah bentuk afiks inflektif (2007: 160).

Kata dalam bA dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ism „nomina‟, fi‘l „verba‟,

dan charf „partikel‟. (1) Ism atau yang lebih dikenal dengan kata benda adalah

kata yang menunjukkan pada makna mandiri dan tidak berkaitan dengan waktu

(a’d-Dahdah, 2000: 15). Lebih spesifiknya ism merupakan kata yang menunjukan

pada makna manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, tempat, waktu, sifat, atau

makna yang bebas dari waktu (Ni‟mah, tt: 17). (2) Fi‘l „verba‟ adalah kata yang

menunjukkan kepada suatu kejadian di waktu tertentu (Ni„mah, tt: 18). (3) Charf

„partikel‟ adalah setiap kata yang tidak memiliki makna kecuali bersamaan

dengan kata yang lain. Seperti, fi>, hal, an, la>m (Ni„mah, tt: 18).

Fi‘l adalah kata yang menunjukkan kepada dua perkara yang terjadi

bersamaan yaitu suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan pada waktu tertentu.

Fi‘l atau verba bA memiliki keistimewaan yang dilihat dari kaidahnya dengan

memiliki dua tema yang berbeda, yaitu menurut jenisnya dan keadaannya.

Menurut jenisnya verba bA dibagi menjadi dua, yaitu al-fi‘l at-ta>m, seperti kataba

dan al-fi‘l an-na>qish, seperti ka>na. Kemudian al-fi‘l at-ta>m dibagi lagi menjadi

dua, yakni al-fi‘l al-muta’addi>, seperti qathafa dan al-fi‘l al-la>zim, seperti jalasa.

al-fi‘l al-la>zim kemudian dibagi juga menjadi dua macam yaitu, al-fi‘l al-ma‘lu>m,

seperti saraqa dan al-fi‘l al-majhu>l, seperti suriqa (a’d-Dahdah, 2000: 228).

17

Fi‘l ‘verba’ menurut keadaannya dibagi menurut tema-tema tertentu di

antaranya sebagai berikut: (1) dilihat dari segi shigha>t „bentuknya‟ terbagi

menjadi ma>dhi, mudha>ri’, dan amr. (2) dilihat dari segi waktunya terbagi menjadi

ma>dhi, cha>dhir, dan mustaqbal. (3) dilihat dari segi wazn „polanya‟ terbagi

menjadi mujarrad tsula>tsi>, mazi>d tsula>tsi, mujarrad ruba’i>, dan mazid ruba’i>. (4)

dilihat dari segi huruf ‘illahnya terbagi menjadi shachi>h dan mu‘tal. (5) dilihat

dari segi ‘amalnya, terbagi menjadi ‘a>mil dan makfu>f. (6) dilihat dari segi

penetapannya terbagi menjadi mutsbat dan manfi>. (7) dilihat dari segi

penegasnya terbagi menjadi mu’akkad dan ghairu mu’akkad. (8) dilihat dari segi

i‘ra>b ‘harakat akhirnya’, terbagi menjadi mu’rab dan mabni>. (9) dilihat dari segi

tashri>f ‘perubahannya’ terbagi menjadi mutasharrif dan ja>mid (a’d-Dahdah, 2000:

228).

Adapun dalam kitabnya Ja>mi’ud Duru>s al-‘Arabiyyah, al-Ghula>yaini>

menggolongkan verba shachi>ch dan mu‘tal ke dalam jenis verba menurut kuat dan

lemah huruf-hurufnya (2006: 39-40). Berikut definisi dan pembagian shachi>ch

dan mu‘tal menurut al-Ghula>yaini>.

a. Al-Fi‘l A’sh-Shachi>ch

Al-fi‘l a’sh-shachi>ch yaitu verba yang huruf-hurufnya berupa huruf asli,

bukan berupa huruf ‘illah alif, wa>w, ya>’ ( ي, , ) (al-Ghula>yaini>, 2006: 40) dan

yang tidak mengalami i‘la>l (al-Qu>ri>, tt: 2). Contoh: كتب kataba „menulis‟, بدل badala „mengganti‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).

Fi‘l shachi>ch menurut al-Ghula>yaini> terbagi menjadi tiga macam yaitu:

1) Fi‘l shachi>ch sa>lim adalah verba yang salah satu hurufnya bukan berupa

huruf ‘illah, hamzah ataupun tadh‘i>f „dua huruf yang melebur jadi satu‟

18

(al-Ghula>yaini>, 2006: 40), dan yang tidak mengalami i‘la>l (al-Qu>ri>, tt: 2).

Contoh: ,‟nashara „menolong نصنر ,<qatala „membunuh‟ (al-Ghula>yaini قتل

2006: 40).

2) Fi‘l shachi>ch mahmu>z adalah verba yang salah satu huruf aslinya berupa

huruf hamzah. Letak hamzah tersebut dapat berada di depan (fa>‘ fi‘l), tengah

(‘ain fi‘l) atau di akhir kata (la>m fi‘l) (al-Hamalawi>, 1893: 59). Kata kerja

jenis ini terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :

a) Mahmu>z Fa>’, yaitu verba yang fa>’ fi‘lnya berupa hamzah.

contoh: أنكنل akala „makan‟ (a’d-Dahdah, tt: 434).

b) Mahmu>z ‘ain, yaitu verba yang ‘ain fi‘lnya berupa hamzah.

contoh: لؤم la‘uma „kikir‟ (a’d-Dahdah, tt: 434), رأى raa> ‘melihat’,

.sa’ala „bertanya‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40)سأل

c) Mahmu>z La>m, yaitu verba yang la>m fi‘lnya berupa hamzah.

contoh: خطئ khathi‘a „salah‟ (a’d-Dahdah, tt: 434). قرأ qara’a „membaca‟

(al-Ghula>yaini>, 2006: 40).

d) Fi‘l shachi>ch mudha>’af adalah kata kerja penyusun huruf aslinya berupa dua

huruf yang sejenis, tapi bukan sebagai tambahan (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).

Kata kerja jenis ini terbagi menjadi dua macam, yaitu :

a) Mudha>’af tsula>tsi>, yaitu verba yang ‘ain fi‘l dan la>m fi‘lnya berupa huruf

sejenis.

Contoh: منرر marra „lewat‟

b) Mudha>’af ruba>’i>, yaitu verba yang fa>‘ fi‘l dan la>m fi‘l pertama sejenis

dengan huruf di fa>’ fi‘l dan la>m fi‘l kedua.

Contoh: زنلزنل zalzala „bergoncang‟

19

b. Al-Fi‘l Al-Mu‘tal

Al-fi‘l al-mu‘tal yaitu verba yang salah satu huruf aslinya berupa huruf

‘illah. Fi‘l mu‘tal ini terbagi menjadi empat macam yaitu 1) Fi‘l Mitsal, 2) Fi‘l

Ajwa>f, 3) Fi‘l Na>qish, dan 4) Fi‘l Lafi>f (al-Ghula>yaini>, 2006: 40). Berikut

definisinya :

1) Fi‘l mitsa>l

Fi‘l mitsa>l adalah verba yang fa>’ fi‘lnya atau huruf pertamanya berupa huruf

‘illah (al-Ghula>yaini>, 2006: 40). Verba ini dinamakan dengan “mitsa>l‛ karena

dia semisal dengan fi‘l shachi>ch dalam proses i‘la>l fi‘l ma>dhi>nya (al-Hamalawi>,

1893: 60). Yakni maksudnya ketika proses i‘la>l fi‘l mitsa>l bentuk ma>dhi> „perfek‟,

huruf ‘illah tidak masuk dalam proses i‘la>l fi‘l ma>dhi> (‘Ali>m, 2004: 403).

Contoh: عد wa‘ada „berjanji‟, سر yasara „mudah‟ (al-Hamalawi>, 1893: 60)

2) Fi‘l ajwa>f

Fi‘l ajwa>f adalah kata kerja yang‘ain fi‘lnya atau huruf keduanya berupa

huruf ‘illah. Contoh: قال qa>la ‘berkata’, باع ba>’a „menjual‟ (al-Ghula>yaini>,

2006: 40).

Verba ini dinamakan dengan “ajwa>f ” karena bagian tengahnya (‘ain fi‘l)

bukan huruf shachi>ch, dan dinamakan juga verba yang mempunyai tiga huruf

karena ketika bersambung dengan dhami>r ta>’ fa>‘il verba ajwa>f menjadi tiga

huruf, seperti قلت qultu „p1.n.s telah berkata‟, بعت bi‘tu „p1.n.s telah

menjual‟ (al-Hamalawi>, 1893: 60).

20

3) Fi‘l na>qish

Fi‘l na>qish adalah kata kerja yang la>m fi‘lnya berupa huruf ‘illah (al-

Ghula>yaini>, 2006: 40). Verba ini dinamakan dengan na>qish yaitu karena huruf

akhirnya (lam fi‘l) dihapus karena terjadi perubahan.

Contoh: غز ghaza> „menyerang‟, رنمنى rama> ‘melemparkan’ (al-Hamalawi>, 1893:

.radhiya ‘ridha’ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40) رضي ,(60

4) Fi‘l lafi>f

Fi‘l lafi>f adalah kata kerja yang dua huruf penyusunnya berupa hururf ‘illah

asli. Fi‘l lafi>f terbagi menjadi dua jenis, yaitu :

(a) Lafi>f maqru>n adalah kata kerja yang dua huruf ‘illah penyusunnya

terkumpul menjadi satu (al-Ghula>yaini>, 2006: 40), terletak di ‘ain kalimah

dan la>m kalimah (al-Hamalawi>, 1893: 60). Dinamakan dengan “maqru>n”

yaitu karena kedua huruf ‘illah letaknnya saling berdekatan (1893: 60).

Contoh: نينونى nawa> ‘berniat’ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).

(b) Lafi>f mafru>q adalah kata kerja yang dua huruf ‘illah penyusunnya terletak

secara terpisah (al-Ghula>yaini>, 2006: 40), yaitu terletak di fa>‘ fi‘l dan la>m

fi‘lnya (al-Hamalawi>, 1893: 60). Dinamakan dengan “mafru>q” yaitu karena

kedua huruf ‘illah letaknnya terspisah dari huruf ‘illah yang lainnya (1893:

60). Contoh: نقنى waqa> ‘menjaga’ (al-Ghula>yaini>, 2006: 40).

2. Proses Morfologis

a. Derivasi

Derivasi atau derivational merupakan pembentukan kata baru dengan

identitas leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya (Chaer, 2007: 175). Seperti

dari kata bahasa inggris sing “menyanyi” terbentuk kata singer “penyanyi”. Pada

21

kata tersebut jelas terdapat perbedaan identitas leksikal, sebab selain perbedaan

makna juga terdapat perbedaan kelas katanya; sing berkelas verba, sedangkan

singer berkelas nomina.

Dalam bA derivasi dikenal dengan istilah إلشتقاق al-isytiqa>q (Ba‘albaki,

1990: 142 dan al-Khuli 1982: 70). al-Khuli (1982: 70) dalam kamusnya A

Dictionary of Theoretical Linguistics English-Arabic menjelaskan bahwa derivasi

adalah,

من ملشتقة (كا ب) مثل , جلذر يف معها تحد أخرى كلمة كو ن : إلشتقاق حدة ز ئدة بإضافة عادة ألشتقاق كنونwrite . ملشتقة من writer (كتب) . لساق أ جلذر إىل أكثر أ

Al-Isytiqāqu: takwīnu kalimatin ukhrā tattachidu ma’ahā fi>l judzri, mitslu (kātibun) al-musytaqqatu min (kataba) wa ‚writer‛ al-musytaqatu min ‚write‛. Wa yukawwinu al-isytiqāqu ‘ādatan bi-idhāfatin zāidatin wāchidatin aw aktsara ilāl judzri awi’s-sāqi.

“Derivasi yaitu pembentukan satu kata baru yang serupa dengan kata

sebelumnya ditinjau dari akar kata pembentukannya, seperti kata

kātibun dibentuk dari kata kataba, sama halnya seperti kata writer

yang dibentuk dari kata write. Biasanya Pembentukan kata derivasi

yaitu dengan menambahkan satu huruf tambahan atau lebih kepada

akar kata aslinya.”

al-Isytiqa>q pada asalnya adalah mengambil pecahan dari sesuatu atau

mengambil setengah bagian dari sesuatu. Secara terminologi al-Isytiqa>q adalah

mengambil suatu kata dengan adanya syarat antara kedua kata tersebut

mempunyai keserupaan dalam hal lafaznya, maknanya dan susunan hurufnya serta

perubahan dalam hal bentuknya. Seperti kata كتب uktub „tulislah‟ asalnya كتب yaktubu „sedang menulis‟, كتب yaktubu berasal dari verba perfek كتب kataba

„telah menulis‟, كتب kataba berasal dari mashdar كتابة kita>batan „tulisan‟ (al-

Ghula>yaini>, 2006: 156).

22

Al-Ghula>yaini> membagi al-Isytiqa>q yang terjadi pada verba menjadi tiga

macam (2006: 156-157), yaitu :

1) Al-Isytiqa>qul Ma>dhi>

Proses pembentukan pada fi‘l ma>dhi> ini, fi‘l ma>dhi> diambil dari pola

sumber yang berbeda-beda.

2) Al-Isytiqa>qul Mudha>ri’

Proses pembentukan pada fi‘l mudha>ri’ yaitu diambil dari fi‘l ma>dhi>,

dengan menambahkan huruf-huruf mudha>ra’ah (sebagai penanda fi‘l mudha>ri’) di

awal katanya. Huruf-huruf mudha>ra’ah ada empat yakni أ hamzah, ت ta>’, ن nu>n,

dan ي ya>’, yang disingkat menjadi “أنيت” (al-Ghula>yaini>, 2006: 156).

Huruf-huruf mudhar>a’ah tersebut memiliki fungsi sebagai berikut (al-

Ghula>yaini>, 2006: 156-157) :

a) Huruf أ hamzah

Digunakan untuk orang pertama sebagai pelaku (mutakallim) ketika dalam

keadaan tunggal. Contoh: ذهب dzahaba „dia p3.m.s telah pergi‟, dimasuki dhami>r

.‟adzhaba „saya sedang pergi' أذهب ana> menjadi' أنا

b) Huruf ت ta>’

(1) Untuk orang kedua (mukha>thab) maskula (mudzakkar) ketika dalam

keadaan tunggal, dual, dan plural.

Contoh:

Tunggal

أنتن 'Anta

„kamu p2.m.s‟

ذهبTadzhabu

„kamu p2.m.s sedang pergi‟

Dual

نتما'Antuma>

„kamu p2.n.d’

ذهبانTadzhaba>ni

„kamu p2.m.s sedang pergi‟

23

Plural

نتم'antum

„kalian p2.m.p‟

ذهبونtadzhabu>na

„kalian p2.m.p sedang pergi‟

(2) Untuk orang kedua (mukha>thab) femina (muannats) ketika dalam keadaan

tunggal, dual, dan plural.

Contoh:

Tunggal

أنت'anti

„kamu p2.f.s‟

ذهبنيtadzhabi>na

„kamu p2.f.s sedang pergi‟

Dual

نتما'antuma>

„kamu p2.f.d‟

ذهبانtadzhaba>ni

„kamu p2.f.s sedang pergi‟

Plural

نن 'antuna

„kalian p2.f.p

ذهنبtadzhabi>n

„kalian p2.f.p sedang pergi‟.

(3) Untuk orang ketiga (gha>’ib) maskula/femina ketika dalam keadaan tunggal

dan dual.

Contoh:

Tunggal

هي

hiya

„dia p3.f.s‟

ذهبtadzhabu

„dia p3.f.s sedang pergi‟

Dual

مهاhuma>

„dia p3.n.d‟

ذهبانtadzhaba>ni

„dia p3.f.d sedang pergi‟

c) Huruf ن nu>n

Digunakan untuk orang pertama (mutakallim) ketika dalam keadaan

plural. Contoh: حنن nahnu „kami (lk/pr)‟, masuk ke dalam verba imperfek menjadi

seperti: نذهب nadzhabu „kami (lk/pr) sedang pergi‟.

d) Huruf ي ya’>

Digunakan untuk orang ketiga (gha>’ib) maskula/femina ketika dalam

keadaan tunggal, dual dan plural.

24

Contoh :

Tunggal هو

huwa „dia p3.m.s‟

ذهبyadzhabu

„dia p3.m.s sedang pergi‟

Dual مها

huma> ‘dia p3.n.d’

ذهبانyadzhaba>ni

„dia p3.n.d sedang pergi‟

Plural

همhum

„mereka p3.m.p‟

ذهبونyadzhabu>na

„mereka p3.m.p sedang pergi‟

هن hunna

„mereka p3.f.p‟

ذهنبyadzhabna

„mereka p3.f.p sedang pergi‟

Berikut cara pembentukan fi‘l mudha>ri’ yang diambil dari fi‘l ma>dhi>

dengan menambahkan huruf mudha>ra’ah di awal katanya (al-Ghula>yaini>, 2006:

157) :

(1) Huruf pertama disukunkan setelah dimasuki oleh huruf mudha>ra‘ah.

Contoh:

(2) Kemudian huruf yang keduanya difatchahkan, didhammahkan atau

dikasrahkan sesuai dengan kehendak bahasa (menurut penulisan bahasa

yang telah banyak dikenal dan yang benar).

Contoh: علم ya’LAmu „p3.m.s sedang mengetahui‟, كتب yakTUbu

„p3.m.s sedang menulis‟, حيمل yachMIlu „p3.m.s sedang membawa‟.

نأكل أكل أكلakala 'kala ya’kulu

„p3.m.s telah makan‟ „p3.m.s sedang makan‟

نسأل سأنلن سنأنلن Sa’ala s’ala Yas’alu

„p3.m.s telah bertanya‟ „p3.m.s sedang bertanya‟

25

3) al-Isytiqa>qul Amr

Proses pembentukan pada fi‘l amr yaitu diambil dari fi‘l mudha>ri’ dengan

membuang huruf mudha>ra‘ah yang ada di awal fi‘l mudha>ri’. Apabila setelah

huruf mudha>ra’ah adalah huruf yang berharakat maka keadaannya tetap (al-

Ghula>yaini>, 2006: 157). Seperti: تعلم yata‘allamu „p3.m.s sedang belajar‟, bentuk

fi‘l amrnya yaitu علم ta‘allam „belajarlah p2.m.s‟.

Kemudian apabila setelah huruf mudha>ra‘ah itu huruf yang berharakat

sukun, maka yang semula tempat huruf mudha>ra‘ah diganti sebagai ditempati

oleh hamzah za>idah (huruf hamzah tambahan), Contoh: كتبت taktubu „p2.m.s

sedang menulis‟, bentuk fi‘l amrnya yaitu كتب 'uktub „tulislah p2.m.s‟.

Hamzah yang terdapat pada fi‘l amr adalah hamzah washl yang berharakat

kasrah. Contoh: علم 'i‘lam „ketahuilah p2.m.s‟, كتب 'uktub „tulislah p2.m.s‟.

Kecuali, apabila fi‘l ma>dhi>nya terdiri dari empat huruf, maka hamzahnya adalah

hamzah qath‘i yang dibaca fatchah. Contoh: م أكر 'akrama „memuliakan‟, أحسن 'achsana „membaguskan‟, ىأعط 'a‘tha> ‘memberikan’. Serta apabila fi‘l ma>dhi>

yang terdiri dari tiga huruf yang ‘ain fi‘lnya berharakat dhammah (فعلل yaf‘ulu),

maka hamzahnya adalah hamzah washl yang dibaca dhammah. Contoh: دخلت tadkhulu „p2.m.s sedang masuk‟, bentuk fi‘l amrnya yaitu دخل udkhul

„masuklah p2.m.s‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).

b. Infleksi

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa fleksi, ketika menggunakan kata-

kata dalam bahasa berfleksi di dalam sebuah kalimat, maka harus disesuaikan

dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa

26

itu. Penyesuaian bentuk itu dengan menggunakan alat-alat gramatikal yang

biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga

berupa modifikasi internal yakni perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasarnya

(Chaer, 2007: 170).

Infleksi atau inflection merupakan perubahan bentuk kata yang

menunjukkan pelbagai hubungan gramatikal; mencakup deklinasi nomina,

pronominal, ajektiva, dan konjungsi verba. Dalam proses Infleksi juga ada unsur

yang ditambahkan pada sebuah kata untuk menunjukkan suatu hubungan

gramatikal; mis, s dalam boys menunjukkan infleksi plural, s dalam reads

menunjukkan infleksi verba orang ketiga (Kridalaksana, 2008: 93).

Definisi infleksi menurut Kridalaksana selaras dengan definisi infleksi

menurut al-Khuli. al-Khuli (1982: 131) mendifinisikan infleksi atau لتصر ف a’t-

tashri>f dengan :

.بسو ها عالقتها جلملة يف ظيفتها على لتدل لكنلمة ز ئد إضافة : لتصر فA’t-tashri>fu: idhāfatu zawāidil-kalimati litadulla ‘alā wazhīfatihā fi>l jumlati wa ‘alāqatiha> bisiwāhā.

“Infleksi yaitu menambahkan beberapa huruf tambahan pada suatu

kata dengan tujuan merubah fungsinya dalam suatu kalimat dan

merubah hubungannya dengan kata-kata yang sebelum dan

sesudahnya).”

Adapun menurut Ba‘albaki> (1990: 246) infleksi disebut dengan لتصر ف a’t-tashri>f yang maknanya غيري taghyi>r „perubahan‟. Berikut penjelasan infleksi

menurut Ba‘albaki> dalam Dictionary Of Linguistic Terms English-Arabic, أ , " ناجح" من "ناجون": مثال )حتو ل صيغة لكلمة إىل صيغة أخرى : لتصر ف

eatمنeat .) A’t-tahri>fu: Tachwi>lu shi>ghatil kalimati ila> shi>ghatin ukhra> (mistla>: ‚na>jichu>na‛ min ‚na>jichu‛, aw ‚eat min eat‛.

27

“Tashri>f adalah mengubah bentuk suatu kata menjadi bentuk yang lain

(Seperti: kata na>jichu>na asalnya na>jichu, atau “eat” asalnya “eat”).”

Definisi Ba‘alba>ki di atas menjelaskan bahwa infleksi mengubah suatu kata

menjadi kata yang lain yang sama identitas leksikalnya, seperti yang dicontohkan

bahwa kata na>jichu berubah menjadi na>jichu>na yang memiliki identitas leksikal

sama yaitu sama-sama verba.

Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Samsuri, bahwa infleksi

adalah suatu konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya

(Samsuri dalam Putrayasa, 2008: 113). Hal itu dapat juga dikatakan bahwa

infleksi merupakan sebuah proses morfologi karena afiksasi yang menyebabkan

terbentuknya berbagai bentukan dengan ketentuan bahwa bentukan tersebut tetap

dalam kelas kata yang sama, dan tidak terjadi perubahan kelas kata. Bahwa pada

umumnya, perubahan bentuk atau proses morfologis (infleksi) tersebut hanyalah

menyatakan hubungan sintaksis dan tidak membawa pemindahan dari satu kelas

ke kelas yang lain (Parera (1994) dalam Putrayasa, 2008: 113).

Jika dalam sebuah proses morfologis menimbulkan perubahan bentuk atau

kata yang bermorfem plural dan bentuk-bentuk tersebut secara sintaksis tidak

mempunyai ekuivalen dalam distribusi sintaksis dengan sebuah kata bermorfem

tunggal, maka bentuk ini disebut dengan bentuk infleksi. Jadi pada umumnya

bahwa perubahan bentuk itu hanya menyatakan hubungan sintaksis dan tidak

membawa pemindahan dari satu kelas kata ke dalam kelas kata yang lain (Parera,

2007: 23).

Dalam proses distribusinya proses infleksi mengalami distribusi yang lebih

luas dari pada proses derivasi. Karena pada proses infleksi biasanya memberikan

28

atau menyatakan beberapa kategori ketatabahasaan seperti, tunggal dan plural,

jenis kelamin (pria/jantan dan wanita/betina), aspek dan waktu, bentuk aktif dan

pasif, tata tingkat sifat (biasa, lebih, sangat/amat) dan beberapa kategori yang

mungkin terjadi sesuai dengan kekhasan bahasa tertentu masing-masing (Parera,

2007: 23).

Proses infleksi tidak hanya terjadi pada kata benda, akan tetapi dapat pula

terjadi pada kata kerja. Infleksi yang terjadi pada kata kerja dinamakan dengan

konjugasi. Konjugasi adalah klasifikasi verba menurut bentuk-bentuk infleksinya

atas kala, persona, dan jumlah; infleksi kata kerja; seperangkat verba yang

mempunyai sistem infleksi yang hampir bersamaan (Kridalaksana, 2008 : 131).

Konjugasi oleh Ba‘albaki (1990: 113) disebut dengan صر ف ألفعال

tashri>ful af‘a>l yaitu,

نية جلمع أ لتذكري ثأ إلفر د لت, غيري صورة لفعل للداللة على لزمن . خل, ذهبان , ذهب , ذهبو , ذهبت , ذهب: مثال: لتأنيث

Taghyi>ru shu>ratil fi‘li liddila>lati ‘ala’z-zamani, awil ifra>di wa’t-tatsniyati wal jam’i awi’t-tadzki>ri wa’t-ta’ni>tsi, mistla>: dzahaba, dzahabat, dzahabu>, yadzhabu, yadzhaba>ni. “proses perubahan verba yang menunjukkan pada perubahan kala,

jumlah (tunggal, dual, dan plural), atau jenis (laki-laki dan

perempuan), seperti dzahaba, dzahabat, dzahabu>, yadzhabu,

yadzhaba>ni, dan selainnya.”

Dalam bahasa Arab infleksi atau tashri>f pada kata kerja terjadi disertai

dengan perubahan dhami>rnya. Seperti yang dikatakan oleh al-Ghula>yaini> bahwa

perubahan yang terjadi pada verba adalah perubahan yang terjadi berdasarkan

pelakunya atau fa>‘ilnya (2006: 167). Perubahan pelaku atau fa>‘ilnya berdasarkan

jumlahnya yaitu berupa dhami>r mufrad „kata ganti untuk tunggal‟, mutsanna „kata

ganti untuk dua orang‟ atau jama’ „kata ganti untuk tiga orang atau lebih‟,

29

berdasarkan gendernya yaitu berupa dhami>r mudzakkar „kata ganti orang berjenis

laki-laki‟ dan dhami>r muannats „kata ganti orang berjenis perempuan‟ dan

berdasarkan posisinya pelakunya yaitu berupa dhami>r gha>’ib „kata ganti orang

untuk orang ketiga‟ hingga dhami>r mukha>thab „kata ganti orang untuk orang

kedua‟.

Perubahan yang terjadi pada fi‘l ma>dhi> dan fi‘l mudha>ri’ ada empat belas

bentuk, di antaranya tiga dari bentuk gha>’ib, tiga dari bentuk gha>’ibah, tiga

berbentuk mukha>thab, tiga berbentuk mukha>thabah, dan dua bentuknya berupa

mutakallim. Adapun perubahan yang terjadi pada fi‘l amr ada enam bentuk yaitu

tiga berupa mukha>thab dan tiga berupa mukha>thabah.

Berikut perubahan yang terjadi pada kata kerja yang dilihat dari jenis kata

kerjanya berdasarkan huruf penyusunnya beserta perubahan pada dhami>rnya:

1) Tashri>f pada fi‘l shachi>ch sa>lim

Pada fi‘l shachi>ch sa>lim dari jenis fi‘l tsula>tsi>, padanya tidak terjadi

perubahan (al-Ghula>yaini>, 2006: 168). Maksud dari tidak terjadi perubahan yakni

tidak mengalami perubahan dalam mengikuti standar wazn „polanya‟ dalam

tashri>f, meskipun ketika disandarkan kepada ism dhami>r (tunggal, dual, plural)

ataupun ism zhahi>r. Contoh نصر nashara, نصر nashara>, نصر nasharu>.

2) Tashri>f pada fi‘l shachi>ch mahmu>z

Pada fi‘l shachi>ch mahmu>z dari jenis fi‘l tsula>tsi>, padanya tidak terjadi

perubahan kecuali hanya terjadi pada bentuk fi‘l amr saja, seperti أخذ 'akhadza

„mengambil‟, أكل 'akala „makan‟, dan terkadang fi‘l amr datang dalam bentuk

30

hamzah yang telah dihapus seperti, خلذ khudz „ambillah‟, كلل kul „makanlah‟

(al-Ghula>yaini>, 2006: 168).

Pada fi‘l mahmu>z yang berupa fi‘l mudha>ri’, ketika huruf pertama

disandarkan pada bentuk orang pertama atau mutakallim, maka kedua hamzah

diganti menjadi bentuk ma>d, seperti آمر ,‟a>khadza „saya sedang mengambil' آخذ'a>mara „p1.n.s sedang memerintahkan‟. Dan ketika fi‘l mahmu>z fa> ‘ berupa fi‘l

amr yang huruf pertamanya berharakat dhammah, maka huruf hamzah yang kedua

diganti dengan huruf wau seperti, ا زلهريل ارين ا وا ل 'u>mul ya> zuhairul khaira

„berharaplah kebaikan wahai zuhair‟. Adapun ketika hamzah itu diucapkan

dengan disambungkan dengan kata sebelumnya, maka hamzah itu menjadi tetap

sesuai dengan keadaannya seperti .ya> zuhairu’ mulul khaira ارين ؤلوا زهريل ا

3) Tashri>f pada fi‘l mudha>’af

Perubahan yang terjadi pada fi‘l mudha>’af yakni dengan melepaskan

penekanan tasydi>d bersama dengan dhami>r rafa>‘ mutacharrikah seperti pada

verba مددت madadta „p2.m.s telah membentangkan‟, مددت madattu „p1.n.s

telah membentangkan‟, مددن madadna> „p1.n.p telah membentangkan‟, ميددن yamdudna „p3.f.p telah membentangkan‟, مددن 'umdudna „bentangkanlah p2.f.p‟

(al-Ghula>yaini>, 2006: 168).

Diperbolehkan juga apabila fi‘l amr tersebut dalam bentuk tunggal atau

berupa fi‘l mudha>ri’ yang bersambung dengan la>m amr, disandarkan pada bentuk

tunggal dengan memberi tasydi>d seperti, مد mudda „bentangkanlah p2.m.s‟ dan مد تل la-tamudda „jangan dibentangkan p2.m.s‟, atau dengan menguraikannya

31

seperti, مدد 'umdud „bentangkanlah p2.m.s‟, dan مددتل la-yamduda „jangan

bentangkan p2.m.s‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 168).

4) Tashri>f pada fi‘l ajwa>f

Perubahan yang terjadi pada fi‘l ajwa>f yakni dengan menghapus huruf

‘illah yang ada bersama dengan dhami>r rafa>‘ mutacharrikah, seperti قلت qultu

„p1.ns telah mengatakan‟, قلنا qulna> „p1.n.p telah mengatakan‟, قلتم qultum

„p2.m.p telah mengatakan‟, قلن taqalna „p2.f.p telah mengatakan‟, قلن qulna

„katakanlah p2.f.p‟. Adapun pada fi‘l amr ketika dalam keadaaan mufrad

mukha>thab „bentuk tunggal pelaku orang pertama‟, seperti قل qul „katakanlah

p2.m.s‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 169).

Apabila fi‘l ma>dhi> ajwa>f tsula>tsi> mujarrad disandari oleh dhami>r rafa>‘

mutacharrikah huruf pertamanya didhammahkan ketika berbentuk fi‘l ajwa>f wa>wi

wazn fa‘ala-yaf‘ulu seperti قلت qultu „p1.n.s telah mengatakan‟ atau لنساءل قلن an-nisa>u qulna „para wanita itu telah mengatakan sesuatu‟ (al-Ghula>yaini>, 2006:

169).

Faidah dari bentuk fi‘l ma>dhi> dan fi‘l amr jenis fi‘l ajwa>f ini keduanya

disandarkan pada nun niswah, dalam bentuk yang sama seperti pada kata قلن qulna dan بعن bi‘na dalam kalimat قلن بعن لنساءل an-nisa>u qulna wa bi’na „para

wanita itu telah mengatakan dan membeli sesuatu‟. Kecuali apabila asal fi‘l

ma>dhi>nya adalah قالن qa>lna, dan asal fi‘l amrnya قولن qu>lna, (al-Ghula>yaini>,

2006: 169).

32

5) Tashri>f pada fi‘l na>qish

Perubahan pada fi‘l na>qish yaitu pada fi‘l ma>dhi> huruf alif dihapus ketika

bersambung dengan ta>’ a’t-ta’ni>ts seperti pada verba دعت da‘at „p3.m.s telah

memanggil‟, دعتا da‘ata > „p3.m.s telah memanggil‟. Sedangkan apabila pelaku

berupa orang ketiga yang asalnya berupa wau, maka wau diganti ketika

bersambung dengan dhami>r seperti, دعو da‘au „p3.m.p telah memanggil‟, دعون da‘auna „p3.f.p telah memanggil‟, دعوت da‘auta „p2.m.s telah memanggil‟, دعونا da‘auna> „p1.n.p telah memanggil‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 169).

Apabila yang dihapus adalah huruf ‘illah wau, maka huruf yang

bersambung dengan wa>wul-jama>‘ah menjadi berharakat dhammah seperti دعون yad‘U>na ‘p3.m.p sedang memanggil’, دعو ud‘U< \ ‘panggillah p2.m.p’. Adapun

yang bersambung dengan ya>’ mukha>thabah harakat berubah menjadi kasrah,

seperti , دعني tad‘I<na „p2.f.s sedang memanggil‟, دعي 'ud‘I< „panggillah p2.f.s‟

(al-Ghula>yaini>, 2006: 170).

3. Proses Perubahan Verba Dalam Bahasa Arab

a. Al-Idgha>m

Idgha>m secara bahasa adalah idkha>l „memasukkan‟(al-Hamalawi>,

1893:224). Secara terminologi idgha>m menurut „Alim (2002: 20) adalah

mengucapkan dua huruf yang sama dan tidak ada pemisah di antara keduanya,

huruf pertama bersukun sedangkan yang kedua berharakat. Adapun idgha>m

menurut al-Ghula>yaini> adalah memasukkan suatu huruf kepada huruf yang

sejenis, menjadikan dua huruf tersebut menjadi satu dengan cara diberi tasydi>d (يي) seperti مندر madda asalnya مندندن madada „p3.m.s telah membentangkan‟, مينلدد yamuddu asalnya دلدل maddan مند ,‟yamdudu „p3.m.s sedang membentangkan مين

33

asalnya مندد maddan „bentangan‟ (2006: 66). Dengan demikian idgha>m

merupakan proses pengucapan dua huruf yang sejenis yang berdampingan, huruf

pertama sukun dan yang kedua berharakat dengan cara diberi tasydi>d (يي).

Adapun hukum dua huruf tersebut, dalam hukum idgha>m yakni bahwa

huruf yang pertama dalam keadaan sukun sedangkan huruf yang kedua dalam

keadaan berharakat serta tidak adanya pemisah di antara dua huruf tersebut.

Sukunnya huruf pertama adakalanya memang asli seperti مند maddun dan شند

syaddun dan adakalanya dengan pembuangan harakat seperti مدر madda dan شدر

syadda, atau dengan memindahkan harakat huruf yang pertama pada huruf

sebelumnya seperti مينلد yamuddu dan شلدد yasyuddu (al-Ghula>yaini>, 2006: 66).

1) Pembagian Idgha>m

Menurut al-Ghula>yaini> (2006: 66), idgha>m terbagi menjadi dua macam,

yaitu Idgha>m shaghi>r dan Idgha>m kabi>r.

a) Idgha>m Shaghi>r , adalah huruf pertama dari dua huruf yang sejenis atau

sama dalam keadaan sukun secara asal.

Contoh : سلككنر sukkarun menjadi سلكرر sukkarun , منددن maddun menjadi

maddun مند

b) Idgha>m Kabi>r adalah kedua huruf penyusunnya sama-sama berharakat

kemudian huruf yang pertama disukunkan atau memindah harakat huruf

yang pertama pada huruf sebelumya. Adapun alasan dikatakan idgha>m

kabir> yaitu karena dalam idgha>m kabi>r terdapat dua tahapan, yaitu

mensukunkan dan memasukkan sedangkan dalam idgha>m shaghi>r hanya

memasukkan saja. Contoh : دلدل yamuddu مينلدد yamdudu menjadi مين

34

2) Hukum al-Idgha>m

Dalam Kitab Ja>mi’ud Duru>s al-Ghula>yaini> membagi idgha>m menurut

hukumnya menjadi tiga macam, yaitu wajib, boleh, dan tidak boleh (2006: 67-70).

a) Idgha>m yang Diwajibkan

Pada idgha>m semua huruf masuk tanpa terkecuali yakni Alif layyinah

yang menunjukkan dua alif yang sama tanpa pemisah di antara keduanya.

Menurut ‘Ali>m (2002: 20) wajib melakukan idgha>m apabila bertemu dengan

syarat-syarat berikut :

(1) Dua huruf tersebut sama atau sejenis.

(2) Huruf yang pertama sukun yang kedua berharakat.

Idgha>m pada VDT yang dihukumi wajib menurut al-Ghula>yaini> (2006:

67) yaitu :

(1) Ketika ada dua huruf yang sejenis dan berkumpul dalam satu kata baik

kedua huruf tersebut berharakat atau huruf yang pertama sukun sedangkan

huruf yang kedua berharakat.

Contoh : منر marra ‘p3.m.s telah lewat’ asalnya منرنرن marara,

رلرن yamurru ‘p3.m.s sedang lewat’ asalnya مير -yamruru (al مين

Ghula>yaini>, 2006: 67).

(2) Apabila huruf yang sebelumnya sukun, maka harakat huruf pertama

dipindahkan kepada huruf sebelumnya.

Contoh : ينرلدد yaruddu ‘p3.m.s sedang mengembalikan’ asalnya ينردلدل yardudu (al-Ghula>yaini>, 2006: 67).

35

(3) Apabila ada dua huruf yang sama bersandingan, yang mana huruf pertama

sukun, ketika berada dalam dua kata seperti satu kata, hanya saja huruf

yang kedua berupa dhami>r, maka wajib mengidgha>mkan secara lafaz dan

penulisan.

Contoh : سنكنتد sakattu „p1.n.s telah diam‟, عنرا ’anna> ‘dari kami’.

Selain kedua kedua jenis dhami>r tersebut, wajib mengidgha>mkan secara

lafaz dan tulisan, namun jika selain dari dhami>r tersebut maka

pengidgha>man hanya secara lafaz dan tidak secara tulisan (al-Ghula>yaini>,

2006: 67).

(4) Apabila huruf yang kedua bukan berbentuk dhami>r, maka wajib

mengidgha>mkan secara lafaz saja.

Contoh: له قل qul lahu ‘katakan padanya’, ربك ستغفر istaghfir Rabbaka

„minta ampunlah kepada Rabbmu‟.

Dikatakan sya>d atau menyimpang dari aturan apabila tidak melakukan

pengidgha>man pada beberapa lafaz yang tidak dapat dibuat analogi yang

seharusnya pada lafaz tersebut dilakukan pengidgha>man di dalam, contoh:

qathitha’s-syi‘ru „syair itu telah terpotong‟ apabila diidgha>mkan لشعر قطط

menjadi قنطر qaththa; لعني لححت lachichatil-‘ainu „kotoran mata itu melekat

di kelopak mata‟ apabila diidgha>mkan menjadi ت lachchat (al-Ghula>yaini>,

2006: 67).

b) Idgha>m yang Diperbolehkan

Menurut al-Ghula>yaini> (2006: 68-69) diperbolehkan mengidgha>mkan

huruf atau tidak mengidgha>mkan huruf pada VDT dalam empat keadaan:

36

Pertama, Pada dua huruf yang sama, huruf pertamanya berharakat

sedangkan huruf yang kedua disukunkan dengan sukun yang bukan harakat

asalnya karena disukunkan. Contoh: ميلد مل la>m yamudda „jangan

membentangkan‟ diidgha>mkan menjadi مل ميدلد la>m yamdud.

Apabila huruf yang diidgha>m bersambung dengan alif tatsniyah „huruf

alif sebagai penanda dual‟ atau wa>wul-jama>‘ah „huruf wau sebagai penanda

plural‟ atau ya>’ mukha>tabah „huruf ya>’ sebagai penanda orang pertama‟ atau

nun tauki>d, maka wajib diidgha>mkan karena harakat sukun pada huruf yang

kedua dari huruf yang sejenis, sudah hilang.

Contoh :

(1) Huruf yang diidhgha>m bersambung dengan alif tatsniyah, yaitu

.’lam yamudda> ‘p2.m.d jangan bentangkanمل ميلدر

(2) Huruf yang diidhgha>m bersambung dengan wa>wul-jama>’ah, yaitu ملla>m yamuddu ميلدد > ‘p2.m.p jangan bentangkan’.

(3) Huruf yang diidhgha>m bersambung dengan ya>’ mukha>tabah, yaitu مل .’la>m tamuddi> ‘p2.f.p jangan bentangkan تنلدي

Sedangkan apabila huruf yang diidgha>m bersambung dengan dhami>r rafa>‘

mutacharrikah, maka tidak boleh diidgha>mkan (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).

Harakat yang sejenis pada huruf kedua fi‘l mudha>ri’ majzu>m dan fi‘l

amr diidgha>mkan mengikuti harakat fa>‘ fi‘lnya, hal ini menurut mayoritas

pendapat ulama‟. Contoh: رلدد rudda ‘kembalikan’ dan ملن ينرلدد la>m yaruddu

‘jangan dikembalikan’. Namun juga diperbolehkan membaca dengan fatchah

atau kasrah meskipun pada asalnya fa>‘ fi‘l dibaca dhammah, seperti رندر radda

„kembalikan!‟, ملن ينرندر la>m yarudda ‘jangan dikembalikan’. Serta boleh

37

membaca kasrah walaupun fa>‘ fi‘lnya dibaca fatchah, seperti: ع ر ‘idhdha

„menundukkan‟, ملن نع ر la>m ya‘idhdha „jangan menundukkan‟, dan boleh

membaca dengan kasrah walaupun fa>’ fi‘lnya dibaca fatchah: فرر firra

„melarikan diri‟, ملن نفرر la>m yafirra „jangan melarikan diri‟ (al-Ghula>yaini>,

2006: 68).

Jadi, apabila fa>‘ fi‘lnya dibaca dhammah, huruf yang diidgha>m boleh

dibaca dhammah, fatchah dan kasrah. Namun dengan membaca kasrah huruf

tersebut merupakan pendapat yang lemah, sedangkan dengan membaca

fatchah sama dengan membaca dhammah menurut pendapat yang kuat dan

kebanyakan penggunaannya. Adapun fa>’ fi‘l yang dibaca fatchah, maka huruf

yang diidgha>m boleh dibaca fatchah atau kasrah, tapi yang lebih utama dan

lebih sering digunakan yaitu dibaca dengan fatchah, sedangkan apabila fa>‘

fi‘lnya dibaca kasrah, maka huruf yang diidgha>m boleh dibaca kasrah dan

fatchah dan keduanya mempunyai kredibilitas hukum yang sama (al-

Ghula>yaini>, 2006: 68).

Dalam keadaan seperti ini yakni adanya proses idgha>m dalam fi‘l

mudha>ri’, maka jazmnya fi‘l mudha>ri’ dikira-kirakan di akhir hurufnya sebab

adanya harakat pengidgha>man mencegah untuk menjelaskannya sebab

jazmnya fi‘l mudha>ri’. Serta mabni> sukunnya fi‘l amr juga dikira-kirakan

pada huruf yang terakhir sebab adanya harakat pengidgha>man mencegah

untuk menampakkan harakat idgha>mnya dari sukunnya fi‘l amr (al-

Ghula>yaini>, 2006: 68).

Bahwasanya adanya hamzah washl dalam fi‘l amr dari fi‘l tsula>tsi

mujarrad, seperti: مدلد ل 'umdud „bentangkan‟, tidak dibutuhkan lagi setelah

38

adanya proses idgha>m, maka dibuang sehingga menjadi ملدر mudda

„bentangkan‟. Alasan dari adanya hamzah washl pada fi‘l amr adalah agar

suatu kata tidak dimulai dengan huruf yang sukun. Seiring dengan adanya

kaidah idgha>m, penyebab tersebut telah hilang karena huruf pertama pada fi‘l

amr sudah berharakat (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).

Kedua, Apabila ‘ain fi‘l dan la>m fi‘l suatu kata berupa ya>’ yang lazim

serta y>a’ yang kedua berharakat, seperti: حنيين chayiya „hidup‟, boleh dibaca

idgha>m: menjadi حنير chayya (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).

Apabila harakat huruf kedua tidak asli karena adanya i‘ra>b, seperti:

lan لنن حيليين ,‟ra’aitu muchayiyan „saya melihat suatu kehidupan رنأن ت منييا

yuchyiya „jangan pernah dihidupkan‟. Maka tidak boleh diidgha>mkan juga

apabila sukun pada huruf yang kedua tidak asli, seperti: حني تل chayi>tu

„p1.n.s telah hidup‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 68).

Ketiga, dua huruf yang sama bersandingkan dalam dua kalimat serta

sama-sama berharakat, contoh: ,‟ja’ala-li> „dia telah membuatkanku يل جعلن

بالقلم كتبن kataba bil-qalami „dia telah menulis dengan pena‟ maka boleh

diidgha>mkan dengan mensukunkan huruf yang pertama, seperti: جعل يل

ja’a’l-li>, كتب بالقلم katab-bil-qalami. Hanya saja dalam hal ini

pengidgha>man khusus secara lafaz bukan secara tulisan (al-Ghula>yaini>,

2006: 69).

c) Idgha>m yang Dilarang

Di dalam VDT ada beberapa tempat yang tidak boleh melakukan

idgha>m, pada VDT tidak boleh dilakukan idgha>m yaitu :

39

(1) Apabila salah satunya sukun (bukan sukun yang asli) dikarenakan

bertemu dengan dhami >r rafa>‘ mutacharrikah.

Contoh: مددتل madadtu „p1.n.s telah memanjangkan‟,

مددننا madadna> „p1.n.p telah memanjangkan‟,

,‟madadtum „p2.m.p telah memanjangkan مدد ل

‟madadtunna „p2.f.p telah memanjangkan مدد لنر

(al-Ghula>yaini>, 2006: 69-70)

(2) Apabila huruf yang pertama berharakat dan yang kedua sukun.

Contoh : ظنلنلتل zhalaltu ‘p1.n.s senantiasa’ (al-Hamalawi>, 1893: 224)

(3) Tidak boleh ada pemisah di antara keduanya.

Contoh : ندن د wada>dun ‘menyayangi’ (‘Ali>m, 2002: 20)

(4) Huruf pertama dari dua huruf yang sejenis, letaknya tidak boleh berada

di awal kata.

Contoh : دندن dadanun ‘sendau gurau’ (‘Ali>m, 2002: 20)

b. Al-I‘la>l

I‘la>l menurut al-Ghula>yaini> merupakan salah satu kaidah atau aturan bahasa

dalam ‘ilm a’sh-sharf (morfologi) yang membahas bagaimana cara menghapus

huruf ‘illah, mengganti huruf ‘illah, dan menjadikan sukun pada huruf ‘illah

tersebut (2006: 71). Senada dengan definisi al-Hamalāwi> (1893: 200) tentang i‘la>l

yakni,

. أ إسكانه حذفه, إلعالل هو غيري حرف لعلة للتخفيف بقلبه Al- i‘la>lu huwa taghyi>ru charful ‘illati li’t-takhfi>>fi wa bi-qalbihi aw iska>nihi aw chadzfihi.\

40

“I‘la>l yaitu perubahan huruf ‘illah pada suatu kata agar ringan

(ketika diucapkan) dengan cara mengganti, menjadikannya sukun

atau dengan menghapus huruf ‘illah tersebut.”

Adapun al-Khuli dan Ba‘albaki di dalam kamusnya mendefinisikan i‘la>l

(vocalfatchah / vocalization) dengan pengertian yang sama pula yaitu,

قلب صامت إىل صامتQalbu sha>mati ila> sha>mati.

“Mengganti bunyi satu kepada bunyi yang lain (al-Khuli, 1982: 303).”

Definisi tentang i‘la>l yang di atas disempurnakan oleh definisi Ba‘albaki

(1990: 530) dengan menggunakan contoh, yaitu sebagai berikut :

)) لد (( من)) لولد((: مثال: حتو ل لصامت إىل شبه لصامتTachwi>lu’sh-sha>mati ila> syibhu’sh-sha>mati; mitsla>: ((yu>lidu)) min ((walada)). “Mengubah bentuk suatu suara menjadi seperti suara yang lain,

seperti yu>lidu yang berasal dari verba walada.”

Dari semua definisi tentang i‘la>l di atas, jelas terlihat bahwa i‘la>l merupakan

sebuah proses perubahan dengan penggantian bunyi huruf ‘illah, penghapusan

huruf ‘illah, dan menjadikan huruf ‘illah berharakat sukun.

Menurut al-Ghula>yaini> (2006:71) i‘la>l pada verba terbagi menjadi empat,

yaitu: (a) al-Hadzfu, (b) al-Qalbu, (c) al-Iska>nu, dan (d) i‘la>l hamzah. Adapun

i‘la>l pada VDT pola fa‘ala-yaf‘ulu terbagi menjadi tiga juga, yaitu: (a) al-

Hadzfu, (b) al-Qalbu, (c) al-Iska>nu, dan (d) i‘la>l hamzah . Berikut penjelasannya:

1) Al-I‘la>l bil-Chadzfi

Al-I‘la>l bil-Chadzfi yaitu i‘la>l dengan menghapus huruf ‘illah. Poses i‘la>l

dengan menghapus huruf ‘illah pada VDT di antaranya terjadi pada tempat-

tempat berikut, yaitu :

41

Pertama, ketika ada huruf ‘illah yang berstatus sebagai huruf ma>d dan

bertemu dengan huruf sukun sesudahnya, maka huruf ‘illah dihapus (al-

Ghula>yaini>, 2006: 71).

Contoh :

(a) Asalnya : يلبتل Tubtu „p1.n.s telah bertaubat‟

tubtu يلبتل tabtu ينبتل ta>btu نابتل tawabtu ينونبتل

(b) Asalnya : ينتلنبن yatubna „p3.f.p sedang bertaubat‟

yatubna ينتلنبن yatuwbna ينتيلوبنن yatwubna ينتيولبنن

(c) Asalnya : لب tub „bertaubatlah p2.m.s‟

tub لب utub ' ل لب utu>b ' ل يلوب utwub ' ل يولب

Kedua, Apabila verba berupa fi‘l mu‘talul-a>khir, maka huruf akhirnya

harus dihapus ketika menjadi (al-Ghula>yaini>, 2006: 72) :

(1) Fi‘l amr yang menunjukkan arti mufrad mudzakkar.

Contoh: ل لل 'utlu „bacalah p2.m.s‟, asalnya ل يللو 'utlu>

.<undu' لندل undu „bermurah hatilah p2.m.s‟, asalnya' لندل

(2) Fi‘l mudha>ri’ majzu>m yang huruf akhirnya tidak bersambung dengan

sesuatu apapun.

Contoh: ندعل ملن la>m yad’u, asalnya ندعل ملن la>m yad’u> ‘jangan memanggil’.

Hanya saja penghapusan huruf ‘illah pada keadaan di atas bukanlah karena

i‘la>l, akan tetapi sebagai pengganti dari sukun ketika berbentuk fi‘l amr dan

sebagai ganti sukun pada i‘ra>b fi‘l mudha>ri’.

Ketiga, fi‘l ajwa>f yang huruf terakhirnya bersukun, maka huruf ‘illah yang

ada di ‘ain fi‘l dihapus karena pertemuan dua sukun. Contoh كلن kun ‘jadilah

p2.m.s’, قيللتل qultu ‘p1.n.s telah mengatakan’ (al-Hamalawi>, 1893: 224).

42

2) Al-I‘la>l bil-Qalbi

al-I‘la>l bil-Qalbi yaitu i‘la>l dengan mengganti huruf ‘illah. Dalam i‘la>l

penggantian huruf ‘illah pada fi‘l pola fa‘ala-yaf‘ulu terjadi pada dua tempat,

yaitu :

(1) Qalbul-wa>wi alifan „mengganti wau dengan alif‟

Qalbul-wa>wi alifan yaitu apabila huruf ‘illah wau yang berharakat dengan

harakat aslinya bersama dengan huruf sebelumnya yang berharakat fatchah, maka

huruf ‘illah wau wajib diganti dengan alif .

Contoh : دنعنا da’a> ‘mengundang’, asalnya دنعنون da’awa ,

,talawa ينلنون tala> ‘membaca’, asalnya نالن

.tawaba (al-Ghula>yaini>, 2006: 72) ينونبن ta>ba ‘bertaubat’, asalnya نابن

(2) I‘la>lul-alif „mengganti alif’

I‘la>lul-alif yaitu apabila huruf alif sebagai huruf yang ketiga dan berasal

dari wau, maka harus dikembalikan ke asalnya. Contoh : نندنى nada> ‘bermurah

hati’, asalnya نندن ن nadawa (al-Ghula>yaini>, 2006: 76-77).

3) Al-I‘la>l bi’t-Taski>n

Al-Ghula>yaini> (2006: 77) membagi al-I‘la>l bi’t-taski>n menjadi dua, yaitu

(1) i‘la>l dengan membuang harakat huruf ‘illah agar tidak berat ketika diucapkan

dan (2) i‘la>l dengan memindahkan harakat huruf ‘illah kepada huruf shachi>ch

sebelumnya yang bersukun.

43

Al-I‘la>l bi’t-taski>n pada VDT ini terdapat beberapa keadaan yaitu :

Pertama, I‘la>l dengan membuang harakat huruf ‘illah agar tidak berat

ketika diucapkan mempunyai ketentuan yaitu,

(1) Apabila wau atau ya>’ yang berada di akhir kata berharakat dhammah atau

kasrah dan huruf sebelumnya juga berharakat, maka la>m fi‘l yang berharakat

harus dihapus dengan disukunkan. Hal ini bertujuan agar tidak memberatkan

dalam pengucapan dan agar kedua huruf yang bersukun tidak berkumpul.

Contoh :

(a) ندعلو yad‘u> „p3.m.s sedang memanggil‟ asalnya ندعلول yad‘uwu

(b) ينق ي yaqdhi> ‘p3.m.s sedang menghakimi‟ asalnya ينق يل yaqdhiyu

(2) Apabila terkumpul dua sukun dalam satu kata yaitu sukun pada la>m fi‘l dan

sukun pada wa>wul jama>‘ah, maka harakat la>m fi‘l dihapus.

Contoh:

(a) نغنيلونن yaghnu>na „p3.m.p sedang memiliki banyak harta‟ asalnya نغنيلول نن yaghnuwu>na

غنيلونن ين yaghnu>wna ينغنيلو نن yaghnuwu>na ينغنيلول نن yaghnu>na.

(c) للونن yatluwu>na ينتيللول نن yatlu>n „p3.m.p sedang membaca‟ asalnya ينتي

للو نن yatluwu>na ينتيللول نن للونن yatlu>wna ينتي yatlu>na ينتي

Kedua, I‘la>l dengan memindahkan harakat huruf ‘illah kepada huruf

shachi>ch sebelumnya yang bersukun terbagi menjadi dua yaitu (al-Ghula>yaini>,

2006: 77-79):

(1) I‘la>l Naql Murni

I‘la>l Naql Murni yaitu pemindahan harakat tanpa mengganti atau

menghilangkan huruf ‘illah. Pemindahan harakat dilakukan jika ‘ain fi‘lnya

44

berupa wau atau ya>’ berharakat serta terletak setelah huruf shachi>ch bersukun,

maka wajib memindahkan harakat ke huruf shachi>ch bersukun sebelumnya.

Pemindahan ini berlaku apabila harakat yang dipindahkan sesuai dengan huruf

‘illah. Contoh : ينقلومل yaqu>mu „p3.m.p sedang berdiri‟ asalnya ينقولمل yaqwumu

(al-Ghula>yaini>, 2006: 77-78).

(2) I‘la>l Naql Tidak Murni

I‘la>l Naql Tidak Murni yaitu pemindahan harakat dengan disertai

penggantian atau penghilangan huruf ‘illah (al-Ghula>yaini>, 2006: 78).

1) I‘la>l bi’n-Naql wal-Qalb

I‘la>l bi’n-Naql wal-Qalb, yaitu pemindahan harakat huruf ‘illah kepada

huruf shachi>ch sebelumnya yang bersukun kemudian mengganti huruf ‘illah

dengan dengan alif jika harakat huruf sebelumnya adalah fatchah dan

menggantinya dengan ya>’ jika harakat huruf sebelumnya adalah kasrah (al-

Ghula>yaini>, 2006: 78). Pemindahan ini dilakukan apabila harakat yang

dipindahkan dengan huruf ‘illah tidak memiliki kesesuaian.

Contoh : (1.a) نبنيل yabi>nu ‘ asalnya ينبنيل yabyinu ‘menjelaskan’

(1.b) أنقنامن 'aqa>ma asalnya أنقيونمن 'aqwama ‘mendirikan’

(1.c) ’yuqwimu ‘mendirikan يلقومل yuqi>mu asalnya لقيمل

2) I‘la>l bi’n-Naql wal-Chadzf,

I‘la>l bi’n-Naql wal-Chadzf, yaitu pemindahan harakat ‘ain fi‘l yang

menyebabkan terkumpulnya dua sukun, yakni sukun pada huruf ‘illah dengan

sukun pada akhir kata yakni la>m fi‘l, maka huruf ‘illah harus dihapus (al-

Ghula>yaini>, 2006: 79).

45

Contoh : (2.a) خنف khaf asalnya خونف ikhwaf „p2.m.s takutlah‟

(2.b) لب tub asalnya ل يولب utwub „p2.m.s bertaubatlah‟

(2.c) ملن لقم la>m yuqim asalnya ملن يلقوم la>m yuqwim „p3.m.s

jangan berdiri‟

4) Al-I‘la>l Al-Hamzah

Hamzah merupakan huruf shachi>ch dan berbeda dengan huruf ‘illah, oleh

karena itu i‘la>lnya diganti dengan beberapa cara lain, berikut i‘la>l hamzah pada

verba bahasa Arab (al-Ghula>yaini>, 2006: 79-81) :

a) Jika hamzah yang pertama berharakat dan hamzah yang kedua disukun, maka

wajib mengganti harakat hamzah yang kedua dengan huruf ma>d yang sejenis

dengan harakat huruf sebelumnya.

Contoh : آمننن 'a>mana ‘mengamankan’ asalnya أنأمننن 'a’mana (al-Ghula>yaini>,

2006: 79)

b) Jika hamzah yang pertama disukun dan hamzah yang kedua berharakat, maka

harakat pada hamzah yang pertama diidgha >mkan kepada hamzah setelahnya.

Contoh: ل سنأر sa‘‘a>la ‘yang banyak bertanya’ asalnya أأن ل -sa‘‘a>la (al سن

Ghula>yaini>, 2006: 79).

c) Apabila hamzah terletak setelah huruf yang berharakat, maka boleh

diringankan dengan mengganti harakat yang sesuai dengan harakat huruf

sebelumnya.

Contoh: قينرنأن qara’a ‘p3.m.s telah membaca’ menjadi قينرن qara>

<yaqra ينقرن yaqrau ‘p3.m.s sedang membaca’ menjadi ينقرنأل

yajru نرل yajru’u menjadi نرلؤل > „p3.m.s berani‟

(al-Ghula>yaini>, 2006: 80).

46

d) Apabila kata tersebut merupakan bentuk fi‘l amr yang berasal dari bentuk

kata أكل 'akala dan أخذ 'akhadza maka wajib dihapus.

Contoh : أنخنذن 'akhadza „mengambil‟ menjadi خلذ khudz „ambillah‟,

,<kul „makanlah‟ (al-Ghula>yaini كلل akala „makan‟ menjadi' أنكنلن

2006: 80).

e) Kebanyakan yang dihapus pada bentuk amr musytaq.

Contoh: أنمنرن 'amara - نأملرل ya‘muru fi‘l amrnya ملر mur „perintahlah‟ (al-

Ghula>yaini>, 2006: 80)

f) Wajib dihapus hamzah pada wazn أفعل af‘ala pada bentuk mudha>ri’nya.

Contoh: أنكرنمن 'akrama – لكرمل yukrimu ; لكرمل yukrimu asalnya يلؤنكرمل yu‘akrimu „memuliakan‟ (al-Ghula>yaini>, 2006: 80-81).

F. Metodologi Penelitian

Menurut Subroto (1992:31-32) metode mencakup kesatuan dan

serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan

populasi dan sampel data, tahap pemerolehan data, dan analisis data. Dalam

metode penelitian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal, antara lain: (1) jenis

penelitian, (2) data dan sumber data, (3) populasi dan sampel, (5) tahap

pengumpulan data, (6) tahap analisis data, dan (7) tahap penyajian hasil analisis.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang menyajikan data berdasarkan objek penelitian berdasarkan fakta-

fakta yang ada (Sudaryanto, 1992: 5). Penelitian ini juga bersifat deskriptif yaitu

47

rancangan yang didasarkan pada data yang berupa kata-kata bukan data yang

berupa angka (Sudaryanto, 1993: 62).

2. Data Dan Sumber Data

Data merupakan semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam

(dalam arti luas), yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti

(Subroto, 1992: 34). Oleh karena itu, data disebut juga dengan bahan penelitian

(Sudaryanto, 1990:9). Data sebagai bahan penelitiaan bukanlah bahan mentah

atau calon data, melainkan bahan jadi yang siap untuk dianalisis (1990: 3). Dalam

penelitian ini yang menjadi data adalah leksikon-leksikon verba dasar bA berpola

fa‘ala–yaf‘ulu. Seperti data verba dasar berpola fa‘ala–yaf‘ulu dalam kamus al-

Munawwir berikut :

(a) ال يلي tala> ‘membaca’ (fi‘l na>qish , MNWR / hal.138)

(b) اب يلي ta>ba ‘taubat’ (fi‘l ajwa>f, MNWR / hal.140)

(c) أخذ يلي akhadza ‘mengambil’ (fi‘l mahmu>z, MNWR / hal.12)

Data lingual tidaklah muncul dari suatu ketiadaan, tetapi data itu

mempunyai sumber atau ada asalnya. Dari suatu sumber data dapat diperoleh data

yang dimaksud dan yang diinginkan (Sudaryanto, 1990: 33). Sumber data dalam

penelitian kebahasaan dibagi menjadi dua, yaitu sumber data lisan dan sumber

data tertulis (Subroto, 1992: 33). Mengingat penelitian ini adalah studi

kepustakaan maka sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber

data tertulis berupa kamus al-Munawwir Arab-Indonesia edisi ke-2, cetakan ke-14

tahun 1997 karangan Ahmad Warson Munawwir.

48

3. Populasi dan Sampel

Populasi merupakan keseluruhan obyek penelitian yang memiliki

karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 1993: 141). Adapun

Populasi dalam penelitian ini adalah 1811 fi‘l tsula>tsi> mujarrad „VDT‟ pola

fa‘ala-yaf‘ulu yang terdapat dalam sumber data yakni kamus al-Munawwir Arab-

Indonesia edisi ke-2, cetakan ke-14 tahun 1997.

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian

langsung. Sampel hendaknya mewakili atau dianggap mewakili populasi secara

keseluruhan (Subroto, 1992: 32). Dalam penelitian ini penulis tidak mengambil

semua populasinya untuk dijadikan sampel dalam menganalisis data. Penulis

memperoleh sampel dengan menggunakan teknik random sampling yang mana

dalam teknik ini pengambilan sampel dilakukan secara acak. Sampel yang diambil

dari jumlah populasi yang merupakan fi‘l tsula>tsi> mujarrad atau VDT yang

terdapat dalam kamus al-Munawwir Arab-Indonesia adalah sebanyak 8 verba.

Jumlah tersebut dapat dikatakan cukup mewakili untuk dijadikan sampel dalam

analisis data. Kemudian dari sampel yang telah ditemukan dari abjad alif hingga

ya>’, dikelompokkan berdasarkan kategori jenis verba shachi>ch dan mu‘tal yang

sesuai dengan pola verba fa‘ala-yaf‘ulu yaitu seperti shachi>ch sa>lim, shachi>ch

mahmu>z, shachi>ch mudha>‘af, mu‘tal ajwa>f dan mu‘tal na>qish. Adapun sampel

yang dimaksud adalah verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu yang termasuk dari jenis :

1. Shachi>ch sa>lim.

2. Shachi>ch mahmu>z fa>’.

3. Shachi>ch mahmu>z ‘ain.

4. Shachi>ch mahmu>z la>m.

49

5. Shachi>ch mudha>‘af yang fa>’ fi‘lnya berupa huruf hamzah.

6. Shachi>ch mudha>‘af yang fa>’ fi‘lnya tidak berupa huruf hamzah.

7. Mu‘tal ajwa>f wa>wi.

8. Mu‘tal na>qish wa>wi.

4. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini data penelitian dikumpulkan dengan metode simak. Metode

simak dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa VDT dalam kamus al-

Munawwir Arab-Indonesia. Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik

sadap, sedangkan teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik catat.

Dalam penelitian ini metode simak menggunakan teknik simak bebas libat

cakap atau teknik SBLC, di mana peneliti tidak ikut serta secara langsung dalam

proses menentukan pemunculan calon data, akan tetapi peneliti hanya sebagai

pemerhati saja. Kemudian dilanjutkan dengan teknik dasar dari teknik SBLC

yakni teknik sadap.

Teknik sadap merupakan kegiatan menyadap yang digunakan sebagai

teknik dasar dalam pengumpulan data tulis. Dalam penelitian ini yang disadap

adalah data tulis yang berhubungan dengan objek penelitian. Teknik sadap

dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988: 2).

Penggunaan bahasa yang dimaksud yaitu VDT dalam kamus al-Munawwir Arab-

Indonesia. Untuk mengetahui verba dasar yang terdapat dalam kamus al-

Munawwir tersebut masuk ke dalam kategori verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu atau

bukan yaitu dengan cara melihat harakat di atas garis (seperti: ـــ) yang terdapat

pada samping kiri verba yang bertanda (*). Kemudian dilanjutkan dengan teknik

50

lanjutan yakni teknik catat. Untuk memudahkan melakukan pencatatan, maka

pada verba dasar triliteral yang sudah ditemukan diberikan nomer urut, seperti

contoh berikut :

Setelah melakukan penyadapan dengan menyimak VDT dalam kamus al-

Munawwir Arab-Indonesia, maka dilanjutkan dengan teknik catat. Teknik catat

ini dipandang sebagai teknik lanjutan (Sudaryanto, 1988: 5). Teknik catat

diwujudkan dengan melakukan pencatatan langsung dari sumber data ke dalam

kartu data dengan menggunakan alat tulis tertentu yang kemudian dilanjutkan

dengan mengklasifikasikan data. Adapun teknik catat dalam penelitian ini

dilakukan dengan mengadakan pencatatan ke dalam kartu data terhadap data

verba dasar yang berpola fa‘ala-yaf‘ulu yang terdapat pada kamus al-Munawwir

Arab-Indonesia. Pencatatan ke dalam kartu data dilakukan dengan

mengklasifikasikan data menurut jenis verba berdasarkan kuat-lemah hurufnya

atau berdasarkan verba shachi>ch dan mu‘tal. Kemudian dari klasifikasi data

berdasarkan verba shachi>ch dan mu‘tal dipilih lagi berdasarkan jumlah verba

terbanyak dari abjad alif hingga ya>’ menurut jenis verba shachi>ch dan mu‘tal.

Pencatatan pada kartu data tersebut dilakukan dengan memberi tanda lengkap

51

dengan nama sumber datanya sesuai dengan masalah yang akan diteliti sehingga

mempermudah dalam pengklasifikasian dan analisis data.

Berikut adalah contoh kartu data :

Kartu data terdiri dari sumber data dan nomor data, halaman di mana data tersebut

ditemukan, data verba dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu, kemudian jenis verba.

5. Tahap Analisis Data

Setelah tahap pengumpulan data selanjutnya dilakukan tahap analisis data

sebagai langkah kedua. Untuk mengawali tahap analisis data, 8 verba yang telah

dipilih berdasarkan jumlah verba terbanyak dari abjad alif hingga ya>’ menurut

jenis verba shachi>ch dan mu‘tal kemudian dilakukan proses tashri>f istila>chi> atau

infleksi berdasarkan bentuknya yakni ma>dhi> ‘perfek’, mudha>ri’ ‘imperfek’, dan

amr ‘imperatif’.

Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam tahap analisis data

adalah metode agih. Metode agih merupakan suatu metode yang alat penentunya

bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri atau dengan kata lain unsur

penentunya adalah bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993: 15). Dalam

penelitian ini metode agih digunakan untuk menganalisis VDT berpola fa‘ala-

yaf‘ulu yang mengalami proses perubahan bentuk internal seperti i‘la>l dan

idgha>m.

No. : Mnwr/93

Hal. : 1298 Data verba : ال ال Jenis verba : Mu‘tal Ajwa>f wa>wi

52

Teknik dasar yang digunakan untuk menganalisis adalah teknik bagi unsur

langsung (BUL). Teknik BUL dianggap sebagai teknik dasar karena cara yang

digunakan pada awal analisis adalah membagi satuan lingual data menjadi

beberapa bagian atau unsur, yang dipandang sebagai bagian yang langsung

membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto,1993: 31). Adapun dalam

penelitian ini satuan lingual data yang dibagi menjadi beberapa unsur yakni

berupa verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu.

Adapun teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik ganti dan teknik

lesap. Teknik ganti yaitu teknik dengan menggantikan unsur tertentu satuan

lingual yang bersangkutan dengan unsur tertentu yang lain di luar satuan lingual

yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 37). Penggantian ini digunakan untuk

mengetahui kadar kesaman kelas atau kategori unsur yang terganti atau yang

diganti. Apabila dapat digantikan maka kategori atau kelas kedua unsur tersebut

sama. Yang dimaksud dengan kelas dan kategori dapat meliputi superkelas atau

superkategori (kelas atasan) dan subkelas atau subkategori (kelas bawahan).

Berikut contoh pengaplikasian teknik ganti :

Data 2 : أبر 'abara, bentuk imperatif بري لأ 'u’buri> ‘memfitnahlah p2.f.s’

Pada verba بري لأ 'u’buri> berubah bentuk menjadi بري buri> karena terdapat

dua hamzah yang pertama berharakat dan yang kedua sukun berdampingan dalam

satu kata dengan tanpa adanya pemisah. Ketika dalam keadaan demikian, maka

harakat sukun pada hamzah kedua diganti dengan huruf wau. Penggantian harakat

sukun menjadi wau pada hamzah kedua yaitu karena hamzah pertama berharakat

dhammah, penggantian huruf tersebut disesuaikan dengan harakat yang ada pada

huruf sebelumnya yakni hamzah pertama, sehingga menjadi ي ل بر 'u>buri>.

53

Unsur sukun yang terdapat pada hamzah kedua dalam verba بري لأ 'u’buri>

digantikan dengan unsur wau sehingga menjadi verba bentuk يأ بر 'u>buri> apabila

berterima berarti kedua unsur tersebut mempunyai kesamaan. Proses penggantian

ini dengan menggunakan teknik ganti turun tataran.

Teknik lanjutan lain yang digunakan adalah teknik lesap. Teknik lesap

merupakan teknik analisis yang dilakukan dengan melesapkan yakni dengan

menghilangkan, menghapus, mengurangi unsur tertentu dari satuan lingual yang

bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 41). Pelesapan unsur dalam teknik lesap

berfungsi untuk mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan baik dari unsur

gramatikalnya maupun tidak gramatikal.

Seperti penggunaan teknik lesap dalam proses perubahan verba berikut :

Data 2 : أبر 'abara, bentuk imperatif بر bura> ‘memfitnahlah p2.n.d’

Dengan menggunakan teknik lesap yaitu menghapus atau menghilangkan

huruf nu>n dan hamzah washl yang berfungsi sebagai penanda dual dan hamzah

washl sebagai huruf tambahan saja pada kata لأبيلرن ن 'u’bura>ni, sehingga menjadi بيلرن bura>. Penghapusan huruf nu>n dan hamzah washl pada kata لأبيلرن ن 'u’bura>ni tidak

mengubah kelas kata, huruf nu>n tersebut hanya sebagai penanda dual saja dan

huruf hamzah washl hanya huruf tambahan saja.

Metode agih dengan teknik BUL yang dilanjutkan dengan teknik lesap dan

teknik ganti ini digunakan dalam menganalisis bab dua untuk mengetahui proses

perubahan bentuk yang terjadi dalam VDT berpola fa‘ala-yaf‘ulu.

54

6. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, penyajian hasil analisis data

disajikan dengan menggunakan teknik informal dan teknik formal. Teknik

informal yaitu teknik dengan bentuk penyajian hasil analisis data dengan

menggunakan kata-kata biasa atau dengan uraian berwujud kalimat-kalimat yang

diikuti pemerian secara terperinci (Sudaryanto, 1993: 145). Teknik formal yaitu

teknik dengan penyajian hasil analisis data dengan menggunakan tanda dan

lambang-lambang tertentu (Sudaryanto, 1993: 145). Adapun dalam penelitian ini

teknik formal yang digunakan dalam penyajian data yaitu dengan menggunakan

lambang seperti tanda panah () artinya menjadi dan dan lambang-lambang huruf

sebagai singkatan nama.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini meliputi empat bab yaitu sebagai

berikut.

Bab I: Pendahuluan. Pada bab ini meliputi latar belakang penulisan

laporan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah,

landasan teori, metodelogi penelitian yang meliputi jenis penelitian, populasi dan

sampel, sumber data dan data, tahap pengumpulan data penelitian, tahap analisis

data, tahap penyajian hasil analisis data, serta sistematika penulisan.

Bab II: Proses infleksi verba dasar berpola fa‘ala-yaf‘ulu.

Bab III: Persebaran verba berpola fa‘ala-yaf‘ulu dalam kamus al-

Munawwir Arab-Indonesia.

Bab IV: Penutup, berisi kesimpulan dan saran.