BAB I PENDAHULUAN -...

69
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nasib bangsa di masa mendatang tergantung keadaan generasi muda sekarang .karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha untuk membentuk kondisi generasi muda dalam keadaan sehat secara fisik, mental, dan social. Salah satu diantaranya ialah perhatian penuh terhadap kesejahteraan anak. Pembinaan sedini mungkin mengandung arti bahwa pembinaan generasi muda harus dimulai sejak prasekolah sejak individu masih berada dalam keluarga. Keluarga sebagai kesatuan social terkecil merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak yang sangat penting bagi pembangunan, khususnya mengenai peletakan dasar pembangunan mental dan pembentukan pribadi anak. Dalam keluarga anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali yang kemudian disambungkan atau dilanjutkan di tempat pendidikan lain. Orang tua, ayah dan ibu sebagai penanggung jawab keluarga menjadi semakin penting. Orang tua harus mampu menciptakan kondisi lingkungan keluarga menjadi lingkungan yang kondusif bagi kencenderungan tingkah laku melindungi dan mensejahterakan anak. Perkembangan yang optimal akan menjadi anak mencapai aktualisasi diri, menjadi orang yang periang, mudah menyesuaikan diri dan sempurna baik secara fisik maupun mental. Karena itu apabila keluarga

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nasib bangsa di masa mendatang tergantung keadaan generasi muda

sekarang .karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha untuk membentuk kondisi

generasi muda dalam keadaan sehat secara fisik, mental, dan social. Salah satu

diantaranya ialah perhatian penuh terhadap kesejahteraan anak.

Pembinaan sedini mungkin mengandung arti bahwa pembinaan generasi

muda harus dimulai sejak prasekolah sejak individu masih berada dalam keluarga.

Keluarga sebagai kesatuan social terkecil merupakan lingkungan yang pertama

dan utama bagi anak yang sangat penting bagi pembangunan, khususnya

mengenai peletakan dasar pembangunan mental dan pembentukan pribadi anak.

Dalam keluarga anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali yang kemudian

disambungkan atau dilanjutkan di tempat pendidikan lain.

Orang tua, ayah dan ibu sebagai penanggung jawab keluarga menjadi

semakin penting. Orang tua harus mampu menciptakan kondisi lingkungan

keluarga menjadi lingkungan yang kondusif bagi kencenderungan tingkah laku

melindungi dan mensejahterakan anak. Perkembangan yang optimal akan menjadi

anak mencapai aktualisasi diri, menjadi orang yang periang, mudah menyesuaikan

diri dan sempurna baik secara fisik maupun mental. Karena itu apabila keluarga

2

telah memberikan dasar yang kuat, maka keadaan anak selanjutnya tidak menjadi

masalah yang rumit.

Sikap seorang anak sangat dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku

pengasuhnya yang bertanggung jawab merawat anak-anak selama dua tahun

pertama hidupnya. Tidak peduli apakah ia menjadi optimis atau seorang pesimis,

seorang yang dingin atau penuh kemarahan , seorang yang ragu-ragu, semuanya

ini sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan orang tua terutama ibu.oleh

karena itu peran ibu dan para pengasuh sebagai orang yang terdekat dengan anak

merupakan hal sangat penting.

Pola asuh merupakan suatu cara atau system untuk merawat, menjaga, dan

mendidik anak yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat

mempengaruhi sikap, tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orang tua.

Ibu selalu menyayangi dan memperhatikan kebutuhan anaknya dan

menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, walaupun berbeda beda pola asuh

masing –masing keluarga. Ada ibu yang sangat keras menggunakan otoritasnya,

sangat mengontrol dan membatasi tingkah laku anaknya. Tetapi sebaliknya ada

ibu yang bersikap serba boleh terhadap anaknya, ibu tidak mengontrol kegiatan

anaknya, semuanya diserahkan sepenuhnya kepada anak. Disamping itu ada ibu

yang saling berdialog dengan anaknya, ibu mendengarkan apa yang dikemukakan

oleh anaknya. Anak diberi kesempatan bertukar pikiran dengan ibu dan ibu

menganggapnya sebagai anak yang mempunyai arti.dengan meningkatkannya

pendidikan wanita, timbul kesadaran untuk mengembangkan diri maupun

3

melakukan kegiatan sosial.demikian juga halnya dampak dari krisis moneter

menyebabkan bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena

semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu

caranya adalah menambah penghasilan keluarga. Akhirnya, kalau biasnya ayah

yang berkerja sekarang ibupun ikut bekerja. Ibu yang bekerja diluar rumah harus

pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga, karena pada hakekatnya seorang

ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk

mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi ibu mempunyai anak

yang masih kecil maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu

dengan bijaksana.

Seorang anak usia dini masih sangat tergantung pada ibunya. Karena anak

belum mampu melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi , belajar dan

sebagainya . mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan

pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak dititipkan pada seorng pembantu atau

baby sitter maka ibu harus tau betul bahwa pengasuh tersebut mampu

membimbing dan membanu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya . kalau

pengasuh ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan

menderita kerugian . pembentukan kepribadian anak dimulai ketika anka berusia

0-5 tahun,termasuk didalamnya kepercayaan diri. Anak akan belajar dari orang-

orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang

disekitarnya. Kadang-kadang karena lingkungan yang kurang mendukung

sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak negative bagi

4

pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya (Soenarto dan Sumarsih,

1996).oleh karena itu ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur

waktu. Keterlibatan ibu dalam aktivitasnya di luar rumah akan bermanfaat bagi

peningkatan fungsi dan perannya dalam keluarga apa bila tidak berdasarkan atas

motif untuk melepaskan diri dari peran domestic wanita. Ibu yang harus

berangkat kerja pagi hari dan pulang sore hari tetap harus meluangkan waktu

untuk berkomunikasi , bercanda , dan memeriksa tugas- tugas sekolah anak,

meskipun ibu sangat lelah setelah seharian kerja. Tetapi pergorbanan tersebut

akan menjadi suatu kebahagiaan jika anak- anaknya bertumbuh menjadi pribadi

yang pribadi yang kuat dan stabil. Sedangkan untuk ibu yang tinggal di rumah

pun harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Walaupun banyak waktu

untuk bersama anak tetap yang paling penting adalah kualitas hubungan

interpersonal antara ibu dan anak.

Berdasarkan hasil penelitian para ahli tentang pola asuh orang tua dapat di

ambil intinya bahwa peranan ibu sangat penting dalam pembentukan kepribadian

anak. Salah satu pakar yang membagi pola asuh orang tua adalah Hurlock (1980)

yang membedakan pola asuh menjadi tiga yaitu otoriter, demokratis, dan

permisif. Anak yang di asuh dengan pola demokratis akan membentuk harga diri

yang tinggi, tidak menolak bila dikritik, mandiri dan optimis dalam menghadapi

semua persoalan yang ada pada dirinya, anak akan sensitif, menghargai peraturan

dan mampu menilai dan mengontrol perilakuya sendiri.

5

Secara umum dalam pola asuh otoriter ibu sangat menanamkan disiplin dan

menuntut prestasi yang tinggi pada anaknya. Hanya sayang ibu tidak memberikan

kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapat, sekaligus

menomorduakan anak. Kebalikan pola asuh otoriter adalah pola asuh permisif.

Dalam golongan ini ibu dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Namun, di sisi

lain kendali ibu dan tuntutan prestasi pada anak rendah. Anak dibiarkan berbuat

sesukanya tanpa beban kewajiban atau target apapun.

Sifat percaya diri anak diperlukan dalam perkembangannya menjadi

dewasa.kemungkinan besar ,orang yang percaya diri akan biasa menerima dirinya

sendiri, siap menerima tantangan meski sadar ada kemungkinan salah. Rasa

percaya diri dapat membantu anak menhadapi situasi dalam pergaulan dan

menangani tugas lebih mudah.

Kepercayaan diri merupakan sikap positif seorang individu yang

memampukan dirinya untuk mengembangkan penilian positif baik terhadap diri

sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya.hal ini bukan

berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu

seorang diri, alias “ sakti.). Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya

merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia

merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena

didukung oleh pengalaman, potensi yang actual,prestasi serta harapan yang

realistil terhadap diri sendiri.

6

Untuk anak-anak, rasa percaya diri membuat mereka mampu mengatasi

tekanan dan penolakan dari teman- teman sebayanya.anak yang percaya diri

mempunyai perangkat yang lebih lengkap untuk menghadapi situasi dan berani

minta bantuan jika mereka memerlukannya. mereka jarang diusik .justru mereka

sering mempunyai daya tarik yang membuat orang lain ingin bersahabat

dengannya. Mereka Tidak takut untuk berprestasi baik di sekolah atau untuk

menunjukkan bahwa mereka memang kreatif. Percaya diri bukan merupakan

bawaan dari lahir, juga tidak jatuh dari langit. Anak-anak mudah sekali merasa

rendah diri, merasa tidak mampu , tidak penting, karena ada banyak hal yang

harus dipelajari, dan orang yang lebih tua tampak begitu pandai. Anak-anak

memerlukan dorongan dan dukungan secara terus menerus. Jika orang tua atau

guru dapat berperan dengan baik, anak-anak akan memiliki rasa percaya diri.jika

anda membangun ras percaya diri dalam diri anak anda, tak ada istilah terlambat

untuk memulai. Anda justru akan memberikan hadiah terbaik untuk anak anda

dan diri anda sendiri.

Kepercayaan diri pada anak dapat di bentuk dari pengalaman bersosialisasi

dengan lingkungan. Sebagai contoh, pujian dari ibu tentang hasil kegiatan atau

bantuan yang dilakukannya dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Karena

dengan itu anak merasa dihargai dan merasa dirinya berguna bagi orang lain.

Tanamkan sikap bahwa berbuat salah bukanlah dosa yang terampuni,

bahwa nilai seseoarang tidak selalu bias dihitung berdasarkan kesempurnaan hasil

kerjanya. Yang penting bukan atau salah, tapi bagaimana cara dia melakukannya.

7

Jadikan ini sebagai pedoman untuk diri anda juga. Hormati dan hargai anak anda.

Jangan mempermalukan dia didepan teman-teman sebayanya, atau didepan orang

dewasa lainnya, atau didepan umum .jika anak anda berbuat salah, panggil

ketempat yang sepi, atau bicarakan di rumah. Jika anda berbicara, gunakan nada

suara seperti yang anda harapkan akan digunakan saat ia berbicara.

Dengarkan anak anda dan dorong dia untuk berfikir mandiri. Belajar

mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar. Tempat terbaik untuk

berlatih menjadi orang yang percaya diri di rumah. Hargai ide-ide yang

dinyatakannya. Katakan berulang-ulang kepada anak anda bahwa anda percaya

dia bisa. Dan bersikaplah positif di depan orang-orang lain tentang apa yang bias

dilakukan anak anda. Dengan cara begitu , anak yakin bahwa anda bener-bener

mempercayai kemampuannya

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan , TK Tarbiyatul

Atfal yang berdiri sejak tahun 1980, memiliki 45 orang murid. Jumlah murid laki

– laki 17 orang dan murid perumpuan 28 orang. Usia murid 4-6 tahun, dan jumlah

staf pengajar ada 2 orang.

Orang tua dari murid-murid tersebut ada yang bekerja (PNS, pedagang dan

wiraswasta) dan ada pula yang tidak bekerja ( ibu rumah tangga ). Banyak

diantara mereka (murid TK ) yang sulit berinteraksi dengan teman sebaya

mereka,ada yang pendiam, bersikap dingin dan ragu-ragu, anak cemas berpisah

dengan orang tua mereka dan ingin selalu ditunggui. Anak enggan untuk mencoba

hal yang baru karena takut gagal. Ini menunjukkan bahwa anak tidak yakin

8

dengan dirinya. Misalnya saja dalam sebuah permainan lempar bola, apabila

teman-temannya mampu untuk menangkap bola dari temannya. Anak akan

menjadi pesimis dan tidak mau berusaha untuk mencoba lagi karena takut gagal,

sehingga anak menjadi frustasi. Ini semua tidak lepas dari bagaimana peranan ibu

dalam mendidik dan mengasuh anak, memberi kasih sayang, komunikasi yang

berkualitas , dan penghargaan atas prestasi anak sekecil apapun prestasi yang

dicapai anak dalam meningkatkanrasa percaya diri anak. Sehingga akan tumbuh

menjadi individu yang mandiri yang memiliki harga diri yang tinggi dalam

menjalani kehidupan.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang

hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan kepercayaan diri anak di TK

Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah adakah hubungan pola asuh orang

tua dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon

Kendal.

9

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum:

Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di

TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.

2. Tujuan Khusus:

a. Pola asuh orang tua di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon

Kendal.

b. Kepercayaan diri anak dengan orang tua bekerja dan tidak bekerja.

c. Hubungan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di TK

Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti :

Merangsang peneliti untuk menambah wawasan dalam melaksanakan

penelitian dan mengadakan serta mengembangkan penelitian yang lebih luas

dimasa yang akan datang.

2. Bagi Ibu atau Orang tua:

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan pada ibu dalam

memberikan asuhan kepada anak baik untuk ibu yang bekerja maupun ibu

yang tidak bekerja.

10

3. Bagi Ilmu Pengetahuan :

Diharapkan dapat menambah bahasan tentang pola asuh anak dengan ibu yang

bekerja dan ibu yang tidak bekerja.

4. Bagi Profesi Keperawatan :

Menambah pengetahuan perawat dan meningkatkan mutu pelayanan

keperawatan kepada klien baik individu , keluarga , kelompok dan

masyarakat.

E. Bidang Ilmu

Penelitian ini termasuk dalam ilmu keperawatan di bidang anak.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Masa Prasekolah

Awal Masa Prasekolah

Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa prasekolah merupakan

masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan saat dimana individu relatif tidak

berdaya dan tergantung pada orang lain. Bagi kebanyakan anak, masa prasekolah

sering kali dianggap tidak ada akhirnya sewaktu mereka tidak sabar.

Menunggu saat yang didambakan yakni pengakuan dan masyarakat bahwa

mereka bukan anak-anak lagi melainkan ‘orang-orang dewasa’. Periode awal

berlangsung dari umur dua sampai enam tahun. (Hurlock,1980)

Sebagian besar orang tua menganggap awal masa prasekolah sebagai usia

yang mengundang masalah atau usia sulit. Awal masa prasekolah sebagai usia

yang mengundang masalah atau usia sulit. Awal masa prasekolah sering terjadi

masalah prilaku. Alasan mengapa masalah prilaku sering terjadi diawal masa

prasekolah karena anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang

unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil. para ahli

psikologi sering menyebut usia prasekolah merupakan usia kelompok, masa

dimana anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi

12

kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada

waktu mereka masuk kelas satu. (Hurlock,1980)

Karena perkembangan utama yang terjadi selama awal masa prasekolah

berkisar diseputar penguasa dan pengendalian lingkungan, banyak ahli psikologi

melabelkan awal masa prasekolah sebagai usia menjelajah, sebuah label yang

menunjukan bahwa anak ingin mengetahui lingkungannya, bagaimana

mekanismenya, bagaimana perasaannya, dan bagaimana ia menjadi bagian dari

lingkungan. Salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungan adalah

dengan bertanya. Jadi, periode ini sering disebut sebagai usia bertanya.yang

paling menonjol dalam periode ini adalah meniru pembicaraan dan tindakan

orang lain. Oleh karena itu, periode ini juga dikenal sebagai usia meniru. Namun

meskipun kencenderungan ini tampak kuat tetapi anak lebih menunjukkan

kreativitas dalam bermain selama masa prasekolah dibandingkan dengan masa-

masa lain dalam kehidupannya. Dengan alasan ini, ahli psikologi juga

menanamkan periode ini sebagai usia kreatif .

Pada periode awal masa prasekolah begitu banyak hal yang harus

dipelajari. Salah satu yang terpenting dan bagi banyak anak merupakan tugas

perkembangan yang paling sulit adalah belajar untuk berhubungan secara

emosional dengan orang tua. Saudara-saudara kandung, dan orang lain. Hubungan

emosional pada bayi harus diganti dengan hubungan yang lebih matang. Anak

harus belajar memberi dan menerima kasih sayang. singkatnya, ia harus belajar

terikat keluar dari pada dirinya sendiri. Demikian pula halnya dengan pengertian

13

tentang benar dan salah. Pengetahuan tentang benar dan salah masih terbatas pada

situasi rumah dan harus diperluas dengan pengertian benar dan salah dalam

hubungannya dengan orang-orang diluar rumah terutama lingkungan tetangga,

sekolah dan teman bermain. (Hurlock,1980)

Tugas perkembangan awal masa prasekolah yang dasarnya telah

diletakkan pada masa bayi diharapkan sudah dikuasai anak sebelum mereka

masuk sekolah. Hurlock mengemukakan bahwa tugas perkembangan pada masa

prasekolah meliputi perkembangan fisik, ketrampilan, berbicara, perkembangan

emosi, sosialisasi, bermain dan perkembangan kepribadian.

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan selama awal masa prasekolah berlangsung lambat

dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan masa bayi. Pertambahan tinggi

badan setiap tahunnya rata-rata tiga inchi. Pada usia enam tahun tinggi anak

rata-rata 46 inchi. Pertumbuhan berat badan setiap tahunnya rata-rata tiga

sampai lima pon. Pada usia enam tahun berat anak harus kurang lebih tujuh

kali berat pada waktu lahir. Perbedaan dalam postur tubuh untuk pertama kali

tampak jelas pada awal kanak-kanak. Ada yang posturnya gemuk lembek

(endomorfik), ada yang kuat berotot (mesomorfik), dan ada lagi yang relative

kurus (ektomorfik).

Anak -anak yang cenderung bertubuh endomorfik lebih banyak

jaringan lemaknya dari pada jaringan otot, yang cenderung mesomorfik

mempunyai jaringan otot lebih banyak dari pada jaringan lemak, dan yang

14

bertubuh ektomorfik mempunyai otot-otot yang kecil dan sedikit jaringan

lemak, tingkat pengerasan otot bervariasi pada bagian-bagian tubuh. Otot

menjadi lebih besar, lebih kuat, dan lebih berat, sehingga anak tampak lebih

kurus meskipun beratnya bertambah.

Selama empat sampai enam bulan pertama dari awal masa prasekolah,

empat gigi bayi yang terakhir yaitu geraham belakang, muncul. Selama

setengah tahun terakhir gigi anak mulai tanggal digantikan oleh gigi tetap.

yang pertama kali tumbuh yaitu gigi seri tengah. Bila awal masa prasekolah

berakhir, pada umumnya anak memiliki satu atau dua gigi tetap didepan dan

beberapa celah dimana gigi tetap akan tumbuh.

b. Ketrampilan pada Awal Masa prasekolah

Awal masa prasekolah merupakan masa yang ideal untuk mempelajari

ketrampilan tertentu. Terdapat alasan. Pertama, anak sedang mengulang ulang

dan karenanya dengan senang hati mau mengulang suatu aktivitas sampai

mereka terampil melakukannya. kedua, anak-anak bersifat pemberani

sehingga tidak terhambat oleh rasa takut kalau dirinya mengalami sakit atau

diejek teman- temannya sebagaimana ditakuti anak yang lebih besar. Dan

ketiga, anak mudah dan cepat belajar karena tubuh mereka masih sangat

lentur dan ketrmpilan yang dimiliki baru sedikit sehingga ketrampilan yang

baru dikuasai anak tidak mengganggu ketrampilan yang sudah ada. awal masa

prasekolah dapat dianggap sebagai “saat belajar” untuk belajar ketrampilan .

(Hurlock,1980)

15

Apabila anak tidak diberi kesempatan mempelajari ketrampilan

tertentu, perkembangannya sudah memungkinkan dan ingin melakukannya

karena berkembangannya keinginan untuk mandiri, maka mereka tidak saja

akan kurang memiliki dasar ketrampilan yang telah dipelajari oleh teman-

teman sebayanya tetapi juga kurang memiliki motivasi untuk mempelajari

berbagai keterampilan pada saat diberi kesempatan. keterampilan yang

dipelajari anak bergantung sebagaian pada kesiapan kematangan terutama

kesempatan yang diberikan untuk mempelajari dan bimbingan yang diperoleh

dalam menguasai keterampilan secara cepat dan efisien. (Hurlock,1980)

c. Kemajuan Berbicara pada Awal Masa prasekolah

Selama awal masa prasekolah, anak memiliki keinginan yang kuat

untuk belajar berbicara. Karena belajar berbicara merupakan sarana pokok

dalam sosialisasi anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman sebaya

akan lebih mudah mengadakan kontak sosial dan lebih mudah diterima

sebagai anggota kelompok dari pada anak yang kemampuan

berkomunikasinya terbatas. (Hurlock,1980)

Anak yang mengikuti kegiatan prasekolah akan mengalami rintangan

baik dalam hal sosial maupun pendidikan kecuali bila ia pandai bicara seperti

teman-teman sekelasnya. Belajar berbicara merupakan sarana untuk

memperoleh kemandirian. Untuk meningkatkan komunikasi, anak harus

menguasai dua tugas pokok yaitu yang pertama mereka harus meningkatkan

kemampuan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain dan yang kedua,

16

mereka harus meningkatkan kemampuan bicaranya sehingga dapat dimengerti

orang lain. (Hurlock,1980)

d. Perkembangan Emosi

Selama awal masa prasekolah emosi sangat kuat. Saat ini merupakan

saat ketidakseimbangan dimana anak mudah terbawa ledakan-ledakan

emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan, hal ini tampak mencolok

pada usia 4-6 tahun. Emosi yang umum pada awal masa prasekolah antara

lain:

1) Amarah

Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran

mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang

hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan menangis,

berteriak, menggertak , menendang, melompat –lompat atau memukul.

2) Takut

Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang

kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut,

seperti cerita-cerita, gambar-gambar, acara radio atau televisi, dan film-

film dengan unsur yang menakutkan, pada mulanya reaksi terhadap rasa

takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari,

bersembunyi, menangis, menghindari situasi yang menakutkan.

17

3) Cemburu

Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian

orang tua beralih kepada orang lain didalam keluarga, biasanya adik yang

baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya

secara terbuka atau menunjukkannya dengan kembali berprilaku seperti

anak kecil, seperti mengompol, pura-pura sakit atau menjadi nakal.

Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik perhatian.

4) Ingin tahu

Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru

dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan orang lain. Reaksi anak

adalah dengan bertanya.

5) Iri Hati

Anak sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang

dimiliki orang lain. Iri hati ini diungkapkan dalam bermacam-macam cara,

yang paling umum adalah mengeluh tentang barangnya sendiri. Dengan

mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang seperti dimiliki orang

lain.

6) Gembira

Anak merasa gembira karena sehat, situasi yang diharapkan,

bencana kecil, berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Ungkapan

kegembiraaannya seperti tersenyum, tertawa, tertepuk tangan, melompat-

lompat, atau memeluk benda atau orang yang membuatnya bahagia .

18

7) Sedih

Anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintai

atau yang dianggap penting bagi dirinya, apakah itu orang, binatang, atau

mainan. Secara khas ungkapan kesedihannya dengan menangis,

kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan.

8) Kasih Sayang

Anak belajar mencintai orang, binatang, atau benda kesayangan. ia

mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar tetapi ketika

masih kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk,

dan mencium objek kasih sayangnya.

e. Perkembangan Sosialisasi

Salah satu tugas perkembangan awal masa prasekolah yang penting

adalah memperoleh latihan dan pengalaman yang diperlukan untuk menjadi

anggota “kelompok” dalam akhir masa prasekolah. Jadi awal masa prasekolah

sering disebut sebagai masa prakelompok. dasar sosialisasi diletakkan dengan

meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari

tahun ketahun.

Pada sosialisasi awal anak menunjukkan minat yang nyata untuk

melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan

mereka.ini dikenal dengan “bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri,

tidak bermain dengan anak- anak lain. Perkembagan berikutnya adalah

bermain “asosiatif” dimana anak terlibat dalam kegiatanyang menyerupai

19

kegiatan anak-anak lain. Dengan meningkatnya kontak sosial, anak terlibat

dalam “bermain kooperatif” dimana ia menjadi anggota kelompok dan saling

berinteraksi . Sekalipun anak sudah bermain dengan anak lain, ia masih sering

berperan sebagiai penonton, mengamati anak lain bermain tidak ikut terlibat

dalam permainannya. Dari pengalaman mengamati ini anak belajar

bagaimanba anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana perilakunya

dalam berbagai situasi sosial.

Pola perilaku sosial anak misalnya dengan meniru sikap dan perilaku

orang lain yang ia kagumi agar sama dengan kelompok, persaingan (keinginan

untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain yang dimulai dirumah dan

kemudian berkembang dalam bermain dengan anak di luar rumah), kerjasama,

membagi miliknya terutama mainan untuk anak lain. Lambat laun sifat

mementingkan diri sendiri berubah menjadi sifat murah hati. Menjelamg

berakhirnya awal mas prasekolah dukungan dari teman- teman menjadi lebih

penting dari pada persetujuan orang -orang dewasa.

Pada awal masa prasekolah terdapat pula perilaku yang tidak sosial

seperti negativisme atau melawan otoritas orang dewasa, mencapai puncaknya

pada usia 4 kemudian menurun, perilaku agresif, perilaku berkuasa atau

merajai semakain meningkat dengan bertambah banyaknya kesempatan untuk

kontak sosial, memikirkan diri sendiri karena cakrawala sosial anak terutama

terbatas dirumah, anak sering kalau mementingkan diri sendiri, ledakan

amarah yang sering disertai merusak benda disekitarnya, tidak peduli

20

miliknya sendiri atau milik orang lain. Namun, tiap-tiap pola perilaku yang

tampaknya tidak sosial ataupun anti sosial ini penting ini sebagai pengalaman

belajar yang memungkinkan anak mengerti apa yang di setujui oleh kelompok

sosial serta apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima oleh kelompok.

f. Bermain pada Awal Masa prasekolah

Masa awal prasekolah sering disebut sebagai tahap bermain. Hurlock

(1980) mengatakan bahwa bermain dalam masa prasekolah adalah kegiatan

yang serius, bahkan merupakan kegiatan pokok dalam masa prasekolah. Anak

yang populer ingin bermain lebih banyak dengan anak-anak lain sedangkan

anak yang secara sosial kurang diterima atau yang sudah merasa senang hanya

sedikit persetujuan terpaksa bermain sendiri sepanjang waktu, anak yang

kreatif menghabiskan sebagain besar waktu bermain untuk menciptakan

sesuatu yang orisinil dari mainan-mainan dan alat bermain, sedangkan anak

yang tidak kreatif mengikuti pola yang sudah dibuat oleh orang lain. Semakin

banyak bimbingan yang diterima anak dalam bermain semakin besar variasi

dalam kegiatan bermain dan semakin besar kegembiraan yang diperoleh anak.

g. Perkembangan Sosislisasi

Pola kepribadian mulai terbentuk pada awal masa prasekolah. Karena

orang tua, saudara-saudara kandung, dan saudara yang lain merupakan dunia

sosial bagi anak, maka bagaimana perlakuan dan perasaan mereka kepada

anak merupakan faktor penting dalam pembentukan konsep diri, yaitu inti

pola kepribadian . dengan berjalannya periode awal masa prasekolah, anak

21

semakin banyak berhubungan dengan teman-teman sebayanya, baik

dilingkungan tetangga, dilingkungan prasekolah, atau dipusat perawatan anak.

(Hurlock ,1980)

Kondisi yang membentuk konsep diri pada awal masa prasekolah antara

lain sebagai berikut:

1. Cara pelatihan anak yang digunakan adalah penting dalam membentuk konsep

diri yang sedang berkembang. Pola asuh otoriter yang keras disertai

banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua

orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah.

2. Cita-cita orang tua terhadap anaknya berperan penting dalam

mengembangkan konsep dirinya. Kalau harapan mereka terlalu tinggi, anak

cenderung gagal. Terlepas dari bagaimana anak bereaksi, kegagalan

meninggalkan bekas-bekas yang tidak terhapuskan pada konsep diri dan

meletakkan dasar-dasar untuk perasaan rendah diri dan tidak mampu. konsep

diri yang negatif akan berpengaruh terhadap kepercayaan diri anak yang

menjadi buruk. Anak takut untuk mencoba sesuatu yang baru karena

pengalaman gagal tersebut.

3. Ketidaknyamanan lingkungan, apakah karena kematian, penceraian

perpisahan atau mobilitas sosial berpengaruh buruk terhadap konsep diri anak

karena ia merasa tidak aman dan merasa lain dari teman-teman sebaya.

22

4. Posisi urutan anak-anak dalam keluarga dapat mempengaruhi kepribadian

anak –anak didalam keluarga belajar memerankan peran khusus, sebagaian

berhasil tidaknya anak dalam bersaing dengan saudara-saudara kandungnya.

Berdasarkan uraian diatas bahwa masa prasekolah yaitu usia dua hingga

enam tahun merupakan masa yang paling suylit terutama dihadapi oleh ibu

atau pengasuh lainnya. Keberhasilan anak dimasa mendatang dipengaruhi

oleh keberhasilannya pada awal masa prasekolah. Sehingga sangatlah perlu

dukungan, bimbingan, perhatian, dan kasih sayang kepada anak diusia ini baik

dari orang tua maupun orang-orang berada disekitar anak.

B. Kepercayaan Diri

a. Pengertian Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang

mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan manusia karena dengan

kepercayaan diri seseorang akan mengaktualisasikan potensi yang

dimilikinya.

Walgito (1993) bahwa kepercayaan diri sebagai salah satu aspek

kepribadian terbentuk dalam interaksi individu dengan lingkungannya

khususnya lingkungan sosial.

Angelis (2003) menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalah suatu

keyakinan dalam hati bahwa segala tantangan hidup apapun harus dihadapi

dengan berbuat sesuatu.

23

Kepercayaan diri menurut Branden (dikutip walgito,1993) adalah

kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada dalam dirinya. Hambly

(1989) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan diri yang

dimiliki individu dalam menanggani segala situasi.

Hakim (2002) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu

keyakinan seseorang terhadap segala aspek, kelebihan yang dimilikinya dan

keyakinan mampu mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri

adalah keyakinan seseorang pada kemampuan yang dimilikinya, dalam

mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. sehingga tidak perlu

membandingkan dirinya dengan orang lain.

b. Ciri-ciri kepercayaan diri

Telah dikemukan diatas bahwa kepercayaan diri adalah suatu keadaan

dalam diri seseorang yang berisi keyakinan tentang kemampuan melakukan

dan menghasilkan sesuatu dengan sukses.

Sobur (1985) bahwa anak yang memiliki kepercayanan diri adalah

berani menghadapi resiko dan bertanggung jawab yang harus diterima dari

tindakan yang dilakuakan yaitu kemungkinan mengalami kegagalan.

Anthony (dikutip Irawati ,2002) ciri-ciri orang yang memiliki

kepercayaan diri meliputi:

1. Jawab berarti mau menerima dan menanggung resiko dari perbuatannya.

24

2. Rasa aman berarti tidak memiliki ketakutan dan kecemasan yang dapat

menghambat kepercayaan dirinya.

3. Harga diri berarti mampu menyadari segala kekurangan dan kelebihan

sehingga tidak memiliki perasaan rendah diri.

4. Mandiri berarti hidup tidak bergantung pada orang lain dan selalu dapat

mengembangkan , mengerjakan sesuatu tanpa menunggu orang lain.

5. Optimis berarti menyadari kemampuan yang dimiliki dan berusaha untuk

memperoleh yang terbaik dalam kehidupannya.

6. Tidak mudah putus asa berati memiliki mental yang kuat untuk dapat

menghadapi hal yang terburuk dan berani mencoba lagi setelah mengalami

kegagalan.

Lauster (1998.) ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan diri

adalah optimis, bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya, bersikap

tenang, berani mengungkapkan pendapatnya.

c. Faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri

1. Keadaan fisik

Suryabrata (1984) berpendapat bahwa keadaan fisik individu akan

berpengaruh terhadap kepercayaan diri individu yang memiliki fisik yang

kurang sempurna akan menimbulkan perasaan tidak enak terhadap diri

sendiri, karena merasa ada yang kurang dalam dirinya dibandingkan yang

lainnya, keadaan ini membuat individu merasa kurang percaya diri dan

kurang berharga.

25

2. konsep diri

Adanya perbedaan sumber konsep diri antara laki-laki dan

perempuan. Konsep diri laki-lak bersumber dari keberhasilan kerja

persaingan dan kekuasaan, dimana laki-laki pada dasrnya dituntut untuk

berperan diluar rumah sejak prasekolah, sehingga laki-laki menjadi lebih

berani dalam menghadapi tantangan dan hal –hal baru. Sedangkan pada

perempuan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, sehingga

perhatiannya diluar dirinya kurang dominan dibandingkan perhatian

terhadap dirinya dan lingkungan sekitar rumah saja. Hal yang

mempengaruhi pola pikir dan keinginan perempuan cenderung menjadi

seorang yang perasa dan kurang berani menunjukkan kemampuan serta

kurang yakin dalam menghadapi hal-hal yang baru.ada beberapa

karakterristik yang dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Memiliki sifat feminim seperti cenderung sangat pasif, tidak terus terang,

tidak percaya diri dan cenderung lemah lembut. Sedangkan laki-laki

memiliki sifat maskulin seperti sangat agresif, sangat bebas, sangat

dominan sering menggunakan logika dan sangat percaya diri.

3. Usia

Kepercayaan diri terbentuk dan berkembang sejalan dengan

berjalannya waktu, pada waktu masih muda kepercayaan diri begitu rapuh,

karena pada waktu masih muda suatu penolakkan atau kegagalan akan

dirasakan sebagai suatu yang sangat menyakitkan.

26

4. Dukungan sosial

Menurut Loekomono (1983) bahwa rasa percaya diri pada individu

dipengaruhi dalam hubungannya dengan orang-orang yang dianggapnya

penting. Lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Pendapat ini didukung

oleh Natawidjaja (1998) untuk meningkatkan kepercayaan diri anak

membutuhkan pihak lain yang yang dipercayainya, untuk mendorong

keberaniannya mengambil keputusan.

5. Pendidikan

Monks (dikutip Muljati, 2002) menyatakan bahwa tingkat

pendidikan mempunyai pengaruh dalam menentukan kepercayaan diri,

semakin tinggi pendidikan semakin banyak yang telah dipelajari dan ini

berarti semakin individu mengenal diri baik kekurangan maupun

kelebihannya. Semakin individu dapat menentukan standar sendiri

keberhasilannya. Individu yang demikian mempunyai kepercayaan dalam

menanggani sesuatu tanpa perasaan takut dan kwatir mengalami

kegagalan., semakin tinggi tingkat pendidikanya semakin tinggi pula

kepercayaan dirinya

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

faktor-faktor yang memperngaruhi kepercayaan diri yaitu keadaan fisik,

konsep diri, usia, dukungan sosial, pendidikan.

Pakar ilmu jiwa menemukan bahwa kepercayaan diri mulai

terbentuk sejak bayi dalam kandungan dan berkembang lewat hubungan

27

anak dengan ibu atau pengasuhnya. Salah satu indikator yang penting

anak yang percaya diri adalah ia melekat (attach) dengan ibu atau

pengasuhnya. melekat disini bukan berarti tidak dapat dipisahkan. Melekat

artinya anak memiliki keyakinan dikala ia lapar, ibu atau pengasuhnya

hampir dapat dipastikan dating untuk mengurangi rasa laparnya. pada

waktu anak merasa resah dan menanggis, ibu juga hampir selalu datang

menghiburnya bila anak inggin bermain sendiri, ibu juga tidak sering

menganggu keasyikannya ( Handojo, 1999)

Menurut Gunarsa (1992) perkembangan kepercayaan diri anak

mulai brerkembang sejak usia 0-1 tahun. Anak yang dipelihara dengan

baik dan penuh kasih sayang akan menimbulkan perasaan aman bagi anak

sehingga percaya pada lingkungan. Sebaliknya, apabila anak diabaikan

maka perkembangan kepercayaan diri anak menjadi terhambat, anak tidak

percaya kepada lingkungan dan memberikan penilian yang negatif

terhadap lingkungannya pada usia 0-1 tahun pemberian Asi akan

memberikan rasa aman bagi anak, dan merupakan awal memupuk rasa

percaya diri anak.

Handojo (1999) menambahkan bahwa kepercayaan diri itu mampu

memultiplikasi dengan sendirinya. Setiap keberhasilan pada satu tugas,

akan menambah kepercayaan diri anak untuk mencoba menyeleseaikan

tugas baru yang lain. Rasa ingin tahu dan kepercayaan diri merupakan

asset yang diperlukan anak untuk dapat belajar dengan sukses. Anak yang

28

tidak punya pengharapan bahwa ia akan sukses, biasanya juga tidak

memiliki motivasi untuk mengasah kemampuannya. kalau ini berlangsung

terus menerus anak akan bertumbuh menjadi seorang yang pesimis, ragu-

ragu, pemalu, sulit beradaptasi dengan lingkungan yang merupakan ciri

anak yang kehilangan kepercayaan dirinya.

Menurut Gunarsa (1992 ) anak yang percaya diri adalah anak yang

kreatif anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mencoba hal-hal

yang baru,. Bahkan hal-hal yang berbahaya sekalipun.merupakn tugas ibu

dan pengasuh lain dalam mendampingi anak dengan tidak memberikan

kebebasan secara mutlak termasuk berkreasipun ada batas-batasanya,

sehingga tidak membahayakan anak maupun orang lain. Sebaliknya ibu

tidak ragu untuk melarang anak apabila membahayakan kesalamatan anak

dan orang lain. Namun harus diperhatikan bahwa untuk menentukan

berbahaya atau tidak harus berhati-hati, tetapi tidak pula menganggap

semua berbahaya bagi anak karena akan menyebabkan kreatifitas anak

tidak berkembang.ibu tidak hanya melarang atau memberi batasan tetapi

juga menyediakan fasilitas yang lain untuk anak berkreasi, memberikan

alternatif untuk permainan lain.

Pada usia prasekolah merupakan masa bermain bagi anak.

Memberikan keleluasaan bermain bersama dengan teman-temannya

merupakan langkah yang baik untuk pembentukan kepercayaan diri anak .

Memperbanyak hubungan anak dengan dunia luar, baik dengan teman –

29

teman sebaya maupun dengan yang berbeda usia akan menguatkan rasa

diri anak. Sikap yang otoriter, penuh dengan larangan-larangan hanya

akan merusak percaya diri pada anak. Larangan itu akan mematikan

kreatifitas anak yang selanjutnya memperkuat rasa ketergantungan pada

orang tua. agar anak bisa diarahkan melakukan segala sesuatu sendiri, ibu

harus memulai dari hal-hal kecil kemudian meningkat kepada hal-hal yang

lebih besar ( Purbasari, 2002)

Orang tua dalam hal ini ibu sangat berperan untuk

merngembangkan kepercayaan diri anak. Karakteristik pengasuhan ibu

untuk anak prasekolah berbeda dengan karekteristik pengasuhan ibu untuk

usia lain. Karakteristik pengasuhan ibu meliputi pemeliharaan,

penerimaan, peka, mengizinkan anak untuk mengeksplorasi dan

mengekspresikan diri, disiplin, penggunaan bahasa yang baik serta

memberi batas-batasan atau aturan pada anak. Peran ibu mendapat

hambatan jika ibu harus bekerja diluar rumah waktu yang dimilikiibu

untuk mengasuh dan merawat anak menjadi jauh berkurang. Sehingga

kemampuan sosialisasi anak untuk menerapkan nilai, normal, kebiasaan

yang diperlukan untuk perkembangannya sebagai anggota masyarakat

menjadi rendah karena anak tidak yakin apakah ia mampu untuk

mengadakan interaksi tersebut.

Hal senada yang dikemukan oleh Hurlock (1980) bahwa kalau ibu

bekerja diluar rumah , perawatan harus diserahkan kepada sanak keluarga

30

atau pengasuh bayaran atau anak harus dititipkan kepusat perawatan anak.

Kalau anak merasa senang dalam lingkungan baru dan menyukai

pengasuhnya, ibu tidak akan senang dengan keadaan ini. Sebaliknya,

kalau anak tidak merasa bahagia dan merasa aman, anak membenci karena

tidak mengasuhnya dan ingin akan menyebabkan ibu merasa bersalah

karena melalaikan peran orang tua. Kondisi ini dapat merusak perasaan

aman dan kebersamaan yang berakibat anak menjadi rendah diri terutama

apabila ia melihat hubungan anak-anak lain yang hangat dengan ibunya.

Untuk meningkatkan diri anak sebagaian orang tua mengikutkan

anak dalam perlombaan, misalnya lomba menggambar, menyanyi, menari,

dan lain-lain. Mengikutkan anak dalam perlombaan menyebabkan potensi

anak berkembang. Tetapi untuk memupuk kepercayaan diri padsa anak

ukurannya bukan dalam menang atau kala.karena apabila anak mengalami

kekalahan anak akan menjadi frustasi, kecewa, takut untuk mencoba lagi

menyalakan orang lain atas kelahannya. Tetapi yang paling penting

motivasi orang tua mengikutsertakan anak dalam lomba adalah untuk

mengembangkan percaya diri anak, mengembangkan potensi yang

dimiliki.sehingga kalaupun anak gagal anak tidak mudah menyerah. Ibu

memberi pengertian kepada anak dengan lembut bahwa dalam perlombaan

selau ada yang kalah dan menang. Cara ibu memberi tahukan kepada anak

agar anak tetap percaya diri walaupun ia kalah, misalnya dengan berkata :

31

“nggak menang juga tidak apa-apa, tetap anak mama. Besok dicoba lagi

dan lebih banyak latihan” (Gunarsa, 1992)

Kepercayaan Diri Anak:

a. Interaksi sosial

Anak mampu bergaul dengan orang lain baik teman sebaya

maupun tidak sebaya, sejenis maupun berlainan jenis. Disamping itu

anak tidak merasa takut, canggung dengan kehadiran orang lain. Anak

mampu berkomunikasi lancer dengan orang lain.

b. Kemandirian

Anak mampu melakukan tugas tanpa bantuan orang lain

(berpakaian, mandi, bersisir), memusatkan perhatian pada tugas, anak

mampu mengendalikan diri dalam suasana apapun. Tidak cemas

berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengan anak.

c. Toleransi

Anak bersedia membantu orang lain, mampu memahami orang

lain, mau berbagi miliknya dengan teman, anak mau disuruh minta

maaf jika dia berbuat kesalahan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak yang

memiliki kepercayaan diri yang tinggi adalah anak yang kreatif,

berinisiatif, selalu berani mencoba hal-hal yang baru, memiliki

perasaan yang aman dan nyaman akan lingkungannya, diterima

dilingkungannya. Anak yakin akan kemampuannya.selain itu juga

32

anak mampu bersosialisasi dengan orang lain, anak tidak ragu-ragu,

tidak mementingkan diri sendiri, berprilaku yang positif, mandiri,

perasaan gembira adanya motivasi untuk mengasahnya

kemampuannya.

C. Pola Asuh Orang Tua

a. Pola asuh Anak

Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak

memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-

peraturan yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan

hubungan sosial dengan lingkungan yang lebih luas .Namun dengan adanya

perbedaan latar belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari

orang tua, maka terjadilah keanekaragaman cara mendidik. Menurut Cole

(1983) yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah proses pendidikan

yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat

mempengaruhi sikap tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orangtua.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunarsa (1995) yang mengemukakan

bahwa pola asuh orang tua adalah cara mendidik anak sesuai dengan sifat dan

titik berat orang tua dalam hubungan antar orang tua dan anak.

Menurut Hurlock (1999) Pola asuh orang tua adalah suatu metode

disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya Metode disiplin ini

meliputi dua konsep yaitu konsep negative dan konsep positif. Menurut

33

konsep negative, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan, ini

merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan

menyakitkan, sedangkan menurut konsep positif, disiplin berarti pendidikan

dan bimbinngan yang lebih menekankan pada disiplin dan peengendalian diri.

Lebih jauh Hurlock (1999) menyebutkan bahwa fase pokok dari pola asuh

orang tua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekangan-

pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak

kedalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial.

Proses pendidikan yang berlangsung lama dan berkesinambungan

sehingga dapat mempengaruhi sikap, tingkah laku seseorang yang dilakukan

oleh orang tua (Nurbiati, 2005).

Gunarsa (1995) mengatakan bahwa tidak ada orang tua yang dengan

sengaja mendidik anak supaya tidak berhasil dalam hidupnya. Tetapi

kenyataannya seringkali orang tua tanpa disadari mengambil suatu tertentu

yang sebernarnya merupakan suatu sikap salah, tetapi itu di anggap benar

menurut anggapan mereka atau umum.

Pada dasarnya, pengasuhan anak merupakan anak merupakan proses

yang penuh dinamika. Seiring pertumbuhan dan perkembangan anak salah

satu kunci sukses pengasuhan anak adalah dengan mengembangkan

komunikasi yang efektif antara ibu dan anak. Komunikasi antara ibu dan

anak, idealnya bertujuan meningkatkan intelektual, emosi,moral, percaya diri,

dan spiritual anak. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang pengasuhan

34

anak. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari berbagai media, antara lain

buku-buku, televise, pengalaman dari orang lain (termasuk orang kita), dan

pengalaman yang didapat dari keterlibatan langsung dalam situasi

pengasuhan. (Enoch,1999).

b. Kategori pola asuh

Kategori pola asuh orang tua digolongkan menjadi tiga model yaitu

otoriter (Authoritarian), permisif, demokratis.

1. Authoritarian ( otoriter)

Pola ini mengunaknan pendekatan yang memaksakan kehendak,

suatu peraturan yang dicanangkan orang tua dan harus dituruti oleh anak.

Pendekatan semacam ini biasanya kurng responsive pada hak dan

keinginan anak.

Komunikasi yang dilakukan lebih bersifat satu arah dan lebih

sering berupa perintah, sehingga anak sebagi objek kurang didengar dan

biasanya cenderung diam serta menutup diri.

Hal ini membuat anak tidak memiliki pilihan dalam berperilaku,

karena anak terlalu khawatir dengan apa yang diperintahkan orang tua

dan biasanya takut membuat kesalahan.

2. Permisif

Pola pengasuhan ini menggunakan pendekatan yang sangat

responsif (bersedia mendengarkan) tetapi cenderung terlalu longgar.orang

tua memiliki sikap yang relatif hangat dan menerima sang anak apa

35

adanya, kadang cenderung pada memanjakan. Anak terlalu dijaga,

dituruti keinginannya dan diberi kebebasan untuk melakukan apa saja

yang dia inginkan.

Tetapi tidak diikuti dengan tindakan mengontrol atau menuntut

anak untuk menampilkan prilaku tertentu, sehingga kadang-kadang anak

merasa cemas mereka melakukan sesuatu yang salah atau benar.

3. Demokratis

Pola asuh ini menggunakan pendekatan rasional dan demokratis.

Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya

dengan pertimbangan factor kepentingan dan kebutuhan yang realistis.

Orang tua melakukan pengawasan, kebebasan dan tanggung jawab

kepada anak dalam berakifitas secara wajar dan rasional. Orang tua

menghargai minat anak dan mendorong keputusan anak untuk mandiri,

tetapi tetap tegas dan konsisten dalam menentukan standar, kalau perlu

menggunakan hukuman yang rasional sebagai upaya memperlihatkan

kepada anak konsekuensi suatu bentuk pelanggaran.

Orang tua dan anak saling menghargai hak-hak mereka satu sama

lain. Orang tua menawarkan berbagai kehangatan dan menerima tingkah

laku asertif anak mengenai peraturan , norma dan nilai-nilai.

Salah satu yang terpenting dan bagi banyak anak merupakan tugas

perkembangan paling sulit adalah perkembangan kepribadian.

36

Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang

mempunyai fungsi penting.

Berkenaan dengan pentingnya pemantauan bagi pembentukan

kepercayaan diri anak, banyak ahlii menyebutkan bahwa kepercayaan diri

merupakan salah satu kebutuhan dasar anak sebagai dasar untuk masa

depan yang lebih baik (Gunarsa, 1992). Dengan dasar pertiinbangan yang

paling berperan adalali pola pengasuhan ibu tanpa mengabaikan faktor-

faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan diri anak. Pola asuh ibu

sendiri dipengaruhi oleh bcberapa faktor salah satunya adalah kesempatan

ibu berada di rumah untuk berinteraksi dengan anaknya.

Pola asuh ibu memegang peranan penting dalam memberikan

standar perilaku dan sumber motivasi bagi anak untuk memenuhi

peraturan tersebut. Berdasarkan teori Baumrind (1991), pola asuh ibu

dibagi menjadi pola asuh ctoriter, pennisif, dan otoritatif. Anak yang

dididik dengan pola asuh otoriter cenderung menarik diri, frustasi, cemas

yang berlebihan, anak dituntut untuk selalu mentaati peraturan dan

langsung memberikan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi anak

untuk memberikan penjelasan mengapa berbuat kesalahan. Sementara

anak yang dididik dengan pola asuh yang pennisif kurang menghargai

orang lain, tidak mempunyai tanggung jawab, sulit dikendalikan, perilaku

negatif di masyarakat. Dari hasil penelitian yang dilakukan Baumrind

(1984), kedua pola asuh di atas memberikan konstribusi yang buruk bagi

37

pembentukan kepercayaan diri anak dan menyebubkan anak sangat

bergantung kepada ibu dan pengasuh lain.

Berbeda pada anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoritatif

atau demokratis, anak diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi

yang dimiliki, berprestasi, berperilaku yang positif, keberhasilan

sosialisasi, anak lebih bertanggung Jawab, dan memiliki kepercayaan din

yang tmggi. (Baumrind, 1984)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

1. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan

mempengaruhi kesiapan mereka menjalankan peran pengasuhan. Ada

beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam

menjalankan peran pengasuhan antara lain : terlibat aktif dalam setiap

pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi paa

masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak

dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam kepercayaan anak.

Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai

pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap

menjalankan peran asuh. Selain itu orang tua akan lebih mampu

mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan anak yang

normal (Supartini, 2004)

38

2. Hubungan suami istri

Dalam pemberian pola asuh kepada anak, hubungan yang kurang

harmonis antara suami istri akan berdampak kepada kemampuan orang

tua dalam memberikan pola asuh secara bahagia (Supartini, 2004).

Hubungan suami istri yang kurang harmonis dapat ditandai oleh

keluarga yang sering bertengkar bahkan sering kali adanya kekerasan

dalam keluarga antara kedua orang tua (Depkes, 1995).

3. Umur Orang Tua

Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki

mempunyai alasan yang kuat dengan kesiapan menjadi orang tua.

Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran

pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak

dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan

kekuatan fisik dan psikososial (Supartini, 2004).

D. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak

Baumrind mengatakan bahwa hubungan antara pola asuh dan karakteristik

anak pada sampel prasekolah tetap kuat ketika dites kembali pada pertengahan

masa prasekolah. Anak dengan orang tua yang otoritatif cenderung mempunyai

skor yang lebih tinggi dalam pengukuran kepercayaan diri (self-confidence). Pola

asuh otoritatif berhubungan dengan penyesuaian diri yang lebih positif terhadap

trauma keluarga, seperti perceraian atau perkawinan kembali. Dalam penelitian

39

lebih lanjut anak-anak ini ditemukan lebih kompeten berdasarkan penilian teman

sebaya, beberapa anak remaja serta pengamat dalam penelitian.

Anak dengan pola asuh otoriter cenderung mempunyai skor yang lebih

rendah pada pengukuran kepercayaan diri. Didapatkan skor rendah pada

pengukuran hubungan sosial dengan teman sebaya dan dalam beberapa kondisi

ditemukan tingkat yang tinggi dari agresi interpersonal.

Anak dengan orang tua permisif lebih serring menunjukkan kesulitan

dalam penyesuaian di sekolah, cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada

rata-rata pengukuran agrivitas, pada remaja lebih cenderung terlibat dalam prilaku

menyimpang serta prilaku bermasalah lainnya.

Tipe pola asuh otoritatif umumnya menghasilakan anak yang lebih

bertanggung jawab dan mengandalkan diri sendiri. Anak berkembang menjadi

tidak bergantung ,agresif, bersahabat, dan kooperatif.

Dua tipe lainnya, otoriter dan permisif menghasilkan ketergantungan pada

anak.kedua tipe ini disimpulkan memiliki ide-ide yang realistik tentang anak-

anak.keduanya melihat bahwa anak dikendalikan oleh dorongan (impuls) yang

primitive dan egois. Pola asuh otoriter menghasilkan anak yang patuh dirumah

dan sering tergantung serta pasif dalam situasi otoritas lainnya. Anak sering

menampilkan prilaku menarik diri.bersifat curiga, dan cenderung tidak puas. Di

lain pihak, anak dengan pola asuh permisif sering kekurangan control diri dan

kepercayaan diri. Anak dibesarkan dibawah pengaruh yang cenderung

menimbulkan rasa takut akan pengalaman baru. Mungkin karena kebebasan tidak

40

terbatas yang diterima membuat anak tidak yakin prilaku bagaimana yang dapat

diterima dalam iklim yang otoritatif

E. Kerangka Teori

Gambar 1

Hurlock, E.B, 1980, Developmental Psycology. A life-span .Approach,5th edition,

MC Graw-Hill, Inc, New york.

Masa Prasekolah • Perkembangan fisik • Ketrampilan pada awal masa prasekolah • Kemajuan berbicara pada awal masa

prasekolah • Perkembangan emosi • Perkembangan sosialisasi • Bermain pada awal masa prasekolah • Perkembangan kepribadian

Faktor yang mempengaruhi • Tingkat pendidikan • Jumlah anak • Pengalaman

(pengasuhan dari orang tua)

• Umur orang tua • Hubungan suami istri

Kepercayaan diri anak

Pola asuh orang • Otoriter • Pemisif • otoritatif

Faktor yang mempengaruhi • Toleransi • Interaksi sosial • kemandirian

41

F. Kerangka konsep

Variabel independent ( bebas ) Variabel dependent (terikat )

G. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian terdiri dari variabel independent ( bebas ) dan

variabel dependent ( terikat )

7. Yang dimaksud dengan variabel independen dalam penelitian ini adalah pola

asuh orang tua.

8. Yang dimaksud dengan variabel dependent dalam penelitian ini adalah

kepercayaan diri anak

H. Hipotesis

Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak.

Pola asuh orang tua Kepercayaan diri anak

42

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif dengan

menggunakan rancangan cross sectional, yaitu suiatu penelitian dimana variabel-

variabel yang termasuk variabel dependent dan independent diobservasi sekaligus

dalam waktu yang bersamaan (Notoatmojo, 2003)

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian (Arikunto,2002),

Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ibu-ibu dari siswa-siswi

di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal.

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 50 orang responden.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling

tertentu untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi (Nursalam 2001).pada

penelitian ini sampel diambil dan populasi ibu-ibu yang mempunyai anak

yang sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon Kendal dengan

memperhatikan kriteria sebagai berikut:

43

a. Kriteria Inklusi

Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi

oleh subyek sehingga dapat diikut sertakan dalam penelitian (Nursalam,

2003). Dalam penelitian criteria inklusinya adalah:

1) Ibu yang bersedia diteliti

2) Ibu yang putra-putrinya sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan

Pegandon Kendal.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan sampel yang

memenuhi kriteria tidak diikutsertakan dalam penelitian (Nursalam,

2003) .Dalam penelitian ini kriteria ekslusinya adalah :

1) Ibu yang tidak bersedia diteliti.

2) Ibu yang putra-putrinya sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan

Pegandon Kendal.

Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah

menggunakan total sampling, dimana responden yang memenuhi kriteria

inklusi dijadikan sampel. Dalam pengambilan sampel ada 50 orang

responden dari siswa-siswi TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon

Kendal.

44

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

Variabel independent dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri anak.

3. Variabel moderator

Variabel moderator dalam penelitian ini adalah pekerjaan ( Orang tua yang

bekerja maupun yang tidak bekerja)

D. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Variabel

bebas: pola

asuh

Pola asuh adalah suatu

cara atau sistem untuk

merawat, menjaga dan

mendidik anak yang

berlangsung lama dan

berkesinambungan

sehingga dapat

mempengaruhi sikap,

tingkah laku seseorang

yang dilakukan oleh

• Kuesioner

tertutup,

dengan 30

pertanyaan

dan pilihan

jawaban ,

penilaian

untuk

pertanyaan

• Selalu (skor

• Jumlah skor

yang diperoleh

dengan nilai

skor

• < 70% : kurang

• > 70 % : baik

Ordinal

45

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

orang tua. 4)

• Sering (skor

3)

• Jarang (skor

2)

• Tak pernah

(skor 1)

2. Variabel

terikat :

kepercayaan

diri

Kepercayaan diri

adalah suatu

keyakinan seseorang

terhadap segala Aspek

kelebihan yang

dimilikinya, dalam

mencapai berbagai

tujuan di dalam

hidupnya sehingga

tidak perlu

membandingkan

dirinya dengan orang

lain.

Kuesioner

tertutup, dengan

25 pertanyaan

dan pilihan

jawaban ,

penilaian untuk

pertanyaan

favorable :

• Selalu

(Skor 4)

• Sering (skor

3)

• Kadang-

• Jumlah skor

yang diperoleh

dengan nilai

skor :

• < 63% : rendah

• > 63% : tinggi

Ordinal

46

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

kadang (Skor

2)

• Tidak pernah

(Skor 1)

Sedangkan

untuk penilaian

untuk

pertanyaan

unfavorable :

• Selalu (skor

4)

• Tidak sering

(skor 3)

• Sering (skor

2)

• Sangat sering

(skor 1)

47

E. Instrumen Penelitian

1. Skala Pola Asuh

Untuk mengetahui pola asuh pada subjek penelitian digunakan alat

ukur berupa kuesioner tertutup yang di sesuaikan dengan umur subjek yaitu

usia prasekolah. Skala pola asuh dilakukan dengan bobot 1-4yaitu skor 4

untuk jawaban “selalu”, 3 “untuk sering”, 2 untuk “jarang”, 1 untuk “tidak

pernah”.

Skala pola asuh terdiri dari 30 item yaitu, 11 item otoriter, 9 item

permisif, 10 item otoritatif.

2. Skala Kepercayaan Diri

Untuk mengukur kepercayaan diri anak digunakan alat ukur berupa

kuesioner tertutup. Kuesioner ini diadaptasi bahasa karena subjek yang diteliti

berumur lebih muda dan ditambah beberapa item untuk memperluas

pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner kepercayaan diri menjadi 25 item

favorable dan unfavorable yang menggunakan tiga aspek, yaitu (1) interaksi

sosial adalah anak mampu bergaul dengan orang lain baik teman sebaya

maupun tidak sebaya,sejenis maupun berlainan jenis.disamping itu anak tidak

merasa takut,canggung dengan kehadiran orang lain,anak mampu

berkomunikasi lancer dengan orang lain.(2) kemandirian adalah anak mampu

melakukan tugas tanpa bantuan orang lain, memusatkan perhatian pada tugas,

anak mampu mengendalikan diri dalam suasana apapun, tidak cemas berpisah

dari ibu atau orang yang dekat dengan anak.(3) toleransi adalah anak bersedia

48

membantu orang lain, mampu memahami orang lain mau berbagi miliknya

dengan teman, anak mau disuruh minta maaf jika dia berbuat kesalahan. yang

disusun dengan skala likert dengan bobot 1-4. pertanyaan yang favorable skor

4 untuk jawaban “selalu”,skor 3 untuk “sering”, skor 2 untuk “kadang-

kadang”,skor 1 untuk” tidak pernah. Jawaban pertanyaan unfavorable yaitu

skor 4 untuk jawaban “selalu”,3 untuk “tidak sering”,2 untuk “sering”,1 untuk

“sangat sering”. Semakin tinggi nilai yang diperoleh subjek dalam kuesioner

ini semakin tinggi kepercayaan dirinya. Sebaliknya semakin rendah nilai yang

diperoleh subjek semakin rendah kepercayaan dirinya.

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Dilakukan uji coba item dan analisis item kuesioner kepercayaan diri anak

kepada 50 orang siswa TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal, kemudian

dilakukan analisis item dengan menguji korelasi antara skor item dengan skor

total dengan pendekatan internal concistensy. Pendekatan konsistensi internal

memerlukan hanya satubentuk tes yang dikenakan sekali saja pada kelompok

subjek (Azwar, 2000).Korelasi yang tinggi menunjukkan kesesuaian antara fungsi

item dengan fungsi ukur angket secara keseluruhan. Teknik yang digunakan

adalah korelasi product moment dari Pearson, yaitu:

( )( )( ){ } ( ){ }∑ ∑∑ ∑

∑∑ ∑−−

−=

nYYnXX

nYXXYrxy

//

/2222

Keterangan X dan Y = Skor masing-masing skala

n = Banyak Subjek

49

Menurut Sugiono (2003) keputusan ujinya adalah:

Bila r hitung lebih besar dari r tabel artinya variabel tersebut valid.

Bila r hitung lebih kecil dari r table artinya variabel tersebut tidak valid.

Hasil ujicoba instrumen terhadap 15 diperoleh rxy > rtabel (0,514) yang

berarti instrumen valid. Lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.

Reabilitas alat ukur pada prinsipnya menunjukkan sejauh mana suatu alat

ukur dapat memberikan hasil pengukuran yang relative tidak berbeda bila

dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Azwar, 2000).

Reabilitas alat ukur dalam penelitian ini diuji dengan alat uji reabilitas Alpha,

yaitu:

2

211 X

J

S

Sk

k ∑−−

Keterangan k = Banyaknya belahan tes

SJ2 = Varians belahan j; j = 1,2….k

Sx = Varians skor tes

Menurut sugiono (2003) dasar pengambilan keputusan uji reabilitas adalah

sebagai berikut:

- Jika r alpha positif dan alpha > r tabel maka butir atau variabelnya tersebut

tidak reliable.

- Jika r alpha positif dan alpha < r tabel , maka butir atau variabel tersebut

tidak reliable.

50

- Jika alpha > r tabel tapi bertanda negatif , maka butir atau variabel tersebut

akan tetap tidak reliabel.

Hasil analisis reliabilitas diperoleh nilai alpha untuk kuesioner pola asuh

orang tua sebesar 0,9532 sedangkan untuk kuesioner kepercayaan diri anak

sebesar 0,9345. Karena nilai alpha > r tabel (0,514) dapat disimpulkan bahwa

kedua instrumen tersebut reliabel.

G. Metode Pengelahan Data dan Analisa Data

1. Prosedur Pengolahan Data

Menurut Arikunto (1997) Pengelolahan data dilakukan dengan tahap-

tahap sebagai berikut :

a. Editing

Editing adalah pengecekan jumlah kuesioner, kelengkapan data,

diantaranya kelengkapan identitas, lembar kuesioner dan kelengkapan

isian kuesioner sehingga apabila mendapat ketidaksamaan dapat

dilengkapi segera oleh peneliti.

b. Coding

Coding adalah melakukan pemberian kode berupa angka untuk

memudahkan pengolahan data. Angka yang digunakan dalam penelitihan

ini adalah 0 dan 1, angka 1 untuk jawaban yang sesuai dengan ketentuan (

ya ) dan angka 0 untuk jawaban yang tidak memenuhi ketentuan ( tidak ).

51

c. Data entry

Data entry adalah memasukkan data yang diperoleh menggunakan

fasilitas computer.

d. Tabulating

Tabulating adalah mengelompokkan data sesuai dengan tujuan

penelitian kemudian dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan.

Setiap pertanyaan yang sudah diberi nilai hasilnya dijumlahkan dan diberi

kategori sesuai dengan jumlah pertanyaan pada kuesioner.

2. Analisa Data

Teknik analisa data yang dipakai adalah Chi-squre, hasil disajikan

dalam distribusi frekuensi dengan rumus :

100% ×=∑ ∑n

X

Keterangan : ∑ X = Jumlah yang dihasilkan

N = Jumlah sample

∑% = Jumlah persen

Rumus Chi-squre yaitu : ( )

h

h

fff

X2

02 ∑ −=

Keterangan : X2 = Chi-squre

f0 = Frekuensi yang diobservasi

.fh = Frekuensi yang diharapkan

52

Analisis data dipercepat dengan menggunakan computer program

SPSS versi 10. penggolongan subyek dibagi kedalam tiga kategori yaitu

tinggi, sedang, rendah ( Azwar, 2000 ).

Cara lain untuk menilai hubungan antara variable adalah dengan

nilai probabilitas ( p ). Dengan tingkat kepercayaan yang dipakai 5% maka

nilai p = 0,05. suatu analisa data dikatakan ada hubungan apabila p < 0,05

dan sebaliknya jika p > 0,05 maka dikatakan tidak mempunyai hubungan.

H. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan pemohonan ijin kepada

kepala sekolah TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal. Untuk mendapatka

persetujuan dengan menekannkan pada masalah penelitian yang meliputi :

1. Informed consent

Merupakan cara persetujuan anatara peneliti dengan responden dengan

memberiakn persetujuan melalui informed consent. Dengan memberikan

lembar persetujuan pada responden sebelum penelitian dilaksanakan. Tujuan

dari lemabar persetujuan ini sebagai bukti penyelenggaraan penelitian,

tanggung gugat, dan agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian

dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak

responden.

53

2. Anonymity ( tanpa nama )

Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dimana tidak

dituliskan nama responden pada kuesioner dan hanya diberikan kode atau

nomer responden.

3. Contidentiality ( kerahasiaan )

Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin

keraharisnnya oleh peneliti. Hanya data tertentu saja yang disajikan dalam

bentuk kesimpulan data.

54

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini mengungkap tentang hubungan antara pola asuh orang tua

dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Kecamatan

Pegandon Kabupaten Kendal. Data diperoleh dari pengisian kuesioner kepada orang

tua anak dan selanjutnya dianalisis secara univariate dan bivariate.

1. Analisis Univariate

a. Jenis Pekerjaan Ibu

Ibu dari anak di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Kecamatan

Pegandon Kabupaten Kendal yang menjadi responden penelitian ini sebagian

besar tidak bekerja.

Tabel 4.1. Jenis Pekerjaan Ibu Anak TK Tarbiyatul Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal

Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase

Tidak bekerja 41 82.0 Bekerja 9 18.0

Total 50 100 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006

Terlihat pada tabel di atas, sebanyak 41 ibu atau 82% tidak bekerja dan

hanya sebagai ibu rumah tangga saja, selebihnya 9 ibu atau 18% bekerja di

luar rumah.

b. Gambaran Pola Asuh Orang Tua

55

Pola asuh orang tua diambil dengan kuesioner sebanyak 30 butir

dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 4. Lebih lanjut gambaran pola asuh

orang tua dari hasil penelitian dapat dilihat pada analisis deskriptif berikut.

Tabel 4.2. Pola Asuh Orang Tua Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal

Pola asuh Frekuensi Persentase

Baik 36 72 Kurang 14 28 Jumlah 50 100

Sumber: data primer yang diolah tahun 2006

Terlihat dari tabel di atas, sebanyak 36 responden atau 72% memilik

pola asuh yang baik, selebihnya 14 responden atau 28% dalam kategori

kurang.

c. Gambaran Umum Kepercayaan Diri Anak

Gambaran umum kepercayaan diri anak dilihat dari pengisian

kuesioner sebanyak 25 butir penyataan dengan skor terendah 1 dan skor

tertinggi 4.

Tabel 4.3. Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal

Kepercayaan Diri Frekuensi Persentase

Tinggi 25 50 Rendah 25 50 Jumlah 47 100

Sumber: data primer yang diolah tahun 2006

Terlihat dari tabel di atas, sebanyak 25 anak atau 50% memiliki

kepercayaan diri tinggi dan 25 anak lainnya atau 50% memiliki kepercayaan

diri rendah.

56

57

2. Analisis Bivairate

a. Perbedaan Pola Asuh Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja

Perbedaan pola asuh ibu bekerja dan tidak bekerja dapat dilihat

dari analisis chi square sebagai berikut.

Tabel 4.4. Perbedaan Pola Asuh Ibu Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal antara yang Bekerja dan Tidak Bekerja

Pola asuh

Baik Kurang Total Jenis pekerjaan f % f % f %

Tidak bekerja 29 70.7 12 29.3 41 100Bekerja 7 77.8 2 22.2 9 100

χ2 hitung = 0,182; p value = 0,670 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006

Terlihat pada tabel di atas, dari 41 ibu yang bekerja, terdapat 29

ibu atau 70,7% memiliki pola asuh baik, selebihnya 12 ibu atau 29,3%

memiliki pola asuh kurang baik. Dari 9 ibu yang bekerja, ternyata 7 ibu di

antaranya atau 77,8%nya memiliki pola asuh baik dan 2 ibu atau 22,2%

memiliki pola asuh kurang baik. Dari data di atas menunjukkan tidak ada

perbedaan pola asuh antara ibu yang bekerja dan tidak bekerja yaitu

cenderung dalam kategori baik.

Simpulan ini didukung pula dari hasil uji chi square dan diperoleh

χ2 hitung = 0,182 dengan p value = 0,670 > 0,05, yang berarti secara

signifikan tidak ada perbedaan yang nyata pola asuh yang digunakan

58

orang tua anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon

Kabupaten Kendal antara yang bekerja dan tidak bekerja.

b. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak

Hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri

anak dapat dilihat dari analisis chi kuadrat seperti tercantum pada tabel

berikut.

Tabel 4.5. Tabulasi Silang Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal

Kepercayaan Diri Anak

Rendah Tinggi Jumlah Pola asuh orang tua f % f % f %

Baik 14 39 22 61 36 100 Kurang 11 79 3 21 14 100

χ2hitung = 6,49; p value = 0,012

Terlihat dari tabel di atas terdapat 36 anak mendapatkan pola asuh

yang baik dan ternyata 22 anak di antaranya atau 61% memiliki

kepercayaan diri yang tinggi dan 14 anak atau 39% memiliki kepercayaan

diri yang rendah. Terlihat dari tabel di atas, terdapat 14 anak mendapatkan

pola asuh kurang dan ternyata 11 anak diantaranya atau 79% memiliki

kepercayaan diri yang rendah dan sisanya 3 anak atau 21% memiliki

kepercayaan diri tinggi. Berdasarkan hasil korelasi chi square diperoleh χ2

hitung = 6,349 dengan p value = 0,012 < 0,05, yang berarti hipotesis yang

menyatakan ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan

59

diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon

Kabupaten Kendal.

60

B. Pembahasan

1. Pola Asuh Orang tua Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan

Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.

Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak

memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan

yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial

dengan lingkungan yang lebih luas. Menurut Cole (1983,h.432) yang

dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah proses pendidikan yang

berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat mempengaruhi sikap

tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orangtua. Gunarsa (1995 ,h.116)

juga mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara mendidik anak

sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam hubungan antar orang tua

dan anak. Hurlock (1999 ,h.82) mendefinisikan bahwa pola asuh orang tua

adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa pola asuh orang tua anak

TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal

dalam kategori baik. Dari 50 responden yang diteliti terdapat 36 responden

atau 72% memiliki pola asuh yang baik. Ini menunjukkan bahwa pola asuh

yang dikembangkan kepada anak cenderung pola asuh demokratis.

Pola asuh yang satu ini menggunakan pendekatan rasional dan

demokratis. Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan

61

mencukupinya dengan pertimbangan faktor kepentingan dan kebutuhan yang

realistis. Orang tua melakukan pengawasan, kebebasan dan tanggung jawab

kepada anak dalam berakifitas secara wajar dan rasional. Orang tua

menghargai minat anak dan mendorong keputusan anak untuk mandiri, tetapi

tetap tegas dan konsisten dalam menentukan standar, kalau perlu

menggunakan hukuman yang rasional sebagi upaya memperlihatkan kepada

anak konsekuensi suatu bentuk pelanggaran. Ciri lainnya orang tua dan anak

saling menghargai hak-hak mereka satu sama lain. Orang tua menawarkan

berbagai kehangatan dan menerima tingkah laku asertif anak mengenai

peraturan , norma dan nilai-nilai.

Namun demikian masih ada 28% orang tua yang memiliki pola asuh

kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa ada indikasi pola asuh yang

digunakan cenderung otoriter atau pola asuh yang satunya yaitu permisif. Pola

asuh otoriter lebih mengunakan pendekatan yang memaksakan kehendak,

suatu peraturan yang dicanangkan orang tua dan harus dituruti oleh anak.

Pendekatan semacam ini biasanya kurng responsive pada hak dan keinginan

anak. Komunikasi yang dilakukan lebih bersifat satu arah dan lebih sering

berupa perintah, sehingga anak sebagi objek kurang didengar dan biasanya

cenderung diam serta menutup diri, sebaliknya pada pola asuh permisif lebih

menggunakan pendekatan yang sangat responsif (bersedia mendengarkan)

tetapi cenderung terlalu longgar. Orang tua memiliki sikap yang relatif hangat

62

dan menerima sang anak apa adanya, kadang cenderung pada memanjakan.

Anak terlalu dijaga, dituruti keinginannya dan diberi kebebasan untuk

melakukan apa saja yang dia inginkan. Tetapi tidak diikuti dengan tindakan

mengontrol atau menuntut anak untuk menampilkan prilaku tertentu, sehingga

kadang-kadang anak merasa cemas mereka melakukan sesuatu yang salah

atau benar.

Berdasarkan data yang diperoleh ternyata ibu yang bekerja dan tidak

bekerja memiliki pola asuh yang relatif sama yaitu cenderung baik , dan hanya

sebagian yang kurang baik.

2. Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan

Pegandon Kabupaten Kendal.

Kepercayaan diri menurut Angelis (2003,h.10) merupakan keyakinan

dalam hati bahwa segala tantangan hidup apapun harus dihadapi dengan

berbuat sesuatu. Kepercayaan diri menurut Branden (dikutip

walgito,1993,h.7) adalah kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada

dalam dirinya. Hambly (1989,h.3) menambahkan bahwa kepercayaan diri

adalah keyakinan diri yang dimiliki individu dalam menanggani segala situasi.

Hakim (2002,h.6) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu

keyakinan seseorang terhadap segala aspek, kelebihan yang dimilikinya dan

keyakinan mampu mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. Berdasarkan

63

data yang diperoleh ternyata seanyak 50% anak memiliki kepercayaan diri

tinggi dan 50% anak memiliki kepercayaan diri kurang. Dari data ini

menunjukkan bahwa sebagian siswa memiliki kepercayaan diri tinggi dalam

arti mampu bertanggung jawab, merasa aman, memiliki harga diri, mandiri,

optimis dan tidak mudah putus asa. Menurut Antony yang dikutip oleh

Irawati, 2002, h. 10-11) menyatakan ciri-ciri orang yang memiliki

kepercayaan diri yaitu mau menerima resiko dari perbuatannya, tidak merasa

takut dan cemas, mampu menyadari kekurangan dan kelebihannya, tidak

mudah bergantung pada orang lain, merasa optimis yaitu menyadari

kemampuan yang dimiliki dan berusaha memperoleh yang terbaik dan tidak

mudah putus asa. Namun demikian masih ada 50% lagi anak yang memiliki

kepercayaan diri rendah. Hal ini menunjukkan bahwa anak tersebut belum

menunjukkan secara optimal ciri-ciri kepercayaan diri yang telah

dikemukakan tersebut.

Kepercayaan diri anak dapat dilihat dari tiga indikator yakni interaksi

sosial, kemandirian dan toleransi terhadap orang lain. Terkait dengan ketiga

indikator tersebut, ternyata 64% anak masih memiliki interaksi sosial yang

rendah, sebanyak 44% memiliki kemandirian yang rendah dan 44% siswa

memiliki toleransi kepada ornag lain yang rendah. Dari data tersebut

menunjukkan bahwa masih banyak anak yang kurang mampi berinteraksi

sosial karema kurang memiliki kepercayaan diri, masih banyak anak yang

64

memiliki kemandirian yang rendah, masih banyak anak yang memiliki

ketergantuan yang tinggi pada orang lain. Rasa toleransi dari siswa masih

rendah, hal ini dimungkinkan karena kurangnya kepercayaan pada diri sendiri.

3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak TK

Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat

berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan

kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut

berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam

keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian

adalah praktik pengasuhan anak. Seperti diungkapkan oleh Brown dalam

Tarsis Tarmudji yang menyatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang

pertama kau menerima kehadiran anak.

Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi budaya yang ada di

lingkungannya. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua

sangat berperan dalam meletakkan dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap,

perilaku dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, ditiru oleh anaknya

kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya kemudian

menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak

mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum identifikasi dengan orang

lain (Bonner dalam Tarsis Tamudji).

65

Pola asuh yang orang tua berhubungan erat dengan kepercayaan diri

anak. Ada kecenderungan bahwa dari anak yang mendapatkan pola asuh baik

(demokratis) memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dari data sebanyak 36

anak yang memperoleh pola asuh baik, 22 di antaranya memiliki kepercayaan

diri tinggi, sebaliknya dari 14 responden yang memperoleh pola asuh kurang

(bukan demokratis), ternyata 11 di antaranya memiliki kepercayaan diri

rendah. Hasil uji chi square diperoleh p value = 0,012 < 0,05, yang berarti ada

hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kepercayaan diri. Hasil

penelitian ini mendukung pendapat Baumrind (1984) yang mengatakan bahwa

hubungan antara pola asuh dan karakteristik anak pada sampel prasekolah

tetap kuat ketika dites kembali pada pertengahan masa prasekolah.

Kepercayaan diri anak salah satunya kemandirian terbentuk karena adanya

pola asuh yang baik. Hal ini terbukti dari hasil uji chi square hubungan pola

asuh dengan kemandirian diperoleh p value = 0,015 (lampiran). Ini

membuktikan bahwa kemandirian anak yang cenderung tinggi berasal dari

anak yang mendapatkan pola asuh baik (demokratis), sebaliknya anak yang

memiliki kemandirian anak yang kurang berasal dari anak yang mendapatkan

pola asuh oorites dan permisif.

Anak dengan orang tua yang demokratis cenderung mempunyai skor

yang lebih tinggi dalam pengukuran kepercayaan diri (self-confidence). Pola

asuh demokratis berhubungan dengan penyesuaian diri yang lebih positif

terhadap trauma keluarga, seperti perceraian atau perkawinan kembali. Dalam

66

penelitian lebih lanjut anak-anak ini ditemukan lebih kompeten berdasarkan

penilian teman sebaya, beberapa anak remaja serta pengamat dalam

penelitian. Anak dengan pola asuh otoriter cenderung mempunyai skor yang

lebih rendah pada pengukuran kepercayaan diri. Didapatkan skor rendah pada

pengukuran hubungan sosial dengan teman sebaya dan dalam beberapa

kondisi ditemukan tingkat yang tinggi dari agresi interpersonal.

Anak dengan orang tua permisif lebih sering menunjukkan kesulitan

dalam penyesuaian di sekolah, cenderung memiliki skor yang lebih tinggi

pada rata-rata pengukuran agrivitas, pada remaja lebih cenderung terlibat

dalam prilaku menyimpang serta prilaku bermasalah lainnya.

Tipe pola asuh demokratis umumnya menghasilkan anak yang lebih

bertanggung jawab dan mengandalkan diri sendiri. Anak berkembang menjadi

tidak bergantung ,agresif, bersahabat, dan kooperatif. Dua tipe lainnya,

otoriter dan permisif menghasilkan ketergantungan pada anak. kedua tipe ini

disimpulkan memiliki ide-ide yang realistik tentang anak-anak. keduanya

melihat bahwa anak dikendalikan oleh dorongan (impuls) yang primitive dan

egois. Pola asuh otoriter menghasilkan anak yang patuh dirumah dan sering

tergantung serta pasif dalam situasi otoritas lainnya. Anak sering

menampilkan prilaku menarik diri. bersifat curiga, dan cenderung tidak puas.

Di lain pihak, anak dengan pola asuh permisif sering kekurangan control diri

dan kepercayaan diri. Anak dibesarkan dibawah pengaruh yang cenderung

menimbulkan rasa takut akan pengalaman baru. Mungkin karena kebebasan

67

tidak terbatas yang diterima membuat anak tidak yakin prilaku bagaimana

yang dapat diterima dalam iklim yang demokratis.

4. Keterbatasan Penelitian

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepercayaan diri anak

sangatlah kompleks. Adapun keterbatasan penelitian ini adalah:

a. Waktu penelitian sangat singkat, yang dilakukan dalam satu hari, sehingga

kuesioner tidak semua terisi oleh ibu-ibu di TK Tarbiyatul Athfal

Penanggulan Pegandon Kendal

b. Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional yang berarti melihat pola

asuh orang tua terhadap kepercayaan didik anak pada suatu saat saja,

padahal perkembangan diri anak merupakan proses yang berjalan dan

tidak dapat diobervasi secara sesaat.

68

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil beberapa

simpulan antara lain:

1. Pola asuh orang tua anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan

Pegandon Kabupaten Kendal tergolong baik (demokratis) yaitu sebesar 72%.

2. Kepercayaan diri anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan

Pegandon Kabupaten Kendal sebagaian dalam kategori tinggi (50%) dan

sebagian lainnya tergolong rendah (50%)

3. Ada hubungan positif yang signifikan pola asuh orang tua dengan

kepercayaan diri anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon

Kabupaten Kendal (p value = 0.012).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak anak

yang memiliki kepercayaan diri rendah, oleh karena itu disarankan:

1. Kepada orang tua anak lebih memberikan pola asuh yang lebih demokratis

dengan terus menerus untuk membangun kepercayaan diri anak.

2. Orang tua anak hendaknya lebih banyak mengurangi pola asuh yang bersifat

otoriter yang dapat menghambat kepercayaan diri anak.

69

3. Perawat anak hendaknya ikut berperan aktif memberikan pola asuh yang lebih

demokratis sehingga akan terbentuk kepercayaan diri anak yang lebih mantap.

4. Bagi peneliti lain hendaknya lebih meneliti dengan sampel yang lebih luas

dan menambah variabel lain seperti pola didik dari guru, sebab guru juga

memberikan kontribusi pula terhadap kepercayaan diri anak.