BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... ·...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... ·...
BAB I
PENDAHULUAN Latar Belakang
Penelitian ini membahas mengenai proses interaksi mahasiswa yang berasal dari
Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena beberapa
bulan belakangan ini, terjadi konflik-konflik yang dipicu oleh mahasiswa Papua yang
mengalami perlakuan diskriminatif karena stereotip yang berkembang di masyarakat
(Samudro, 2016). Banyak perlakuan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh
masyarakat setempat, seperti mahasiswi Jurusan Akuntansi FEB UGM yang ditolak
langsung ketika mengetahui bahwa dirinya berasal dari Papua hingga dirinya sakit dan
kembali ke kampung halaman selama sebulan lamanya. Tindakan diskriminasi lain dialami
oleh Alin, seorang mahasiswa Jurusan Pertanian UGM. Ia mengalami kekerasan dari
seniornya hanya karena dirinya berasal dari Papua. Pada saat ini, semboyan “Yogyakarta
Berhati Nyaman” nyatanya tidak berlaku lagi, di mana seharusnya konflik seperti itu tidak
terjadi.
Bila dilihat sejarahnya, Kota Yogyakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang
terus berkembang dengan tetap mempertahankan icon-nya sebagai Kota Budaya.
Keberadaan Keraton dan Kesultanan Yogyakarta menjadikan kota ini sebagai representasi
simbolisme Budaya Jawa. Yogyakarta juga menjadi icon pluralisme di mana beragam etnis,
suku, agama, dan kepercayaan dapat hidup bersama secara damai, setidaknya sampai era
awal tahun 2000-an (Purwaningsih, 2014). Ketika beberapa kota di Indonesia dilanda
kerusuhan dan konflik sosial pada era akhir 1990-an, Yogyakarta sebagai salah satu pusat
gerakan reformasi saat itu mampu mempertahankan situasi aman dan damai. Kondisi ini
tentu tidak lepas dari sejarah Yogyakarta sejak era sebelum kemerdekaan sampai periode-
periode kritis di awal kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi Ibu Kota Negara dan pusat
pemerintahan ketika Ibu Kota Jakarta mengalami krisis menyusul invasi militer Belanda.
Bahkan, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat termasuk daerah yang pertama menyatakan
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945. Atas alasan tersebut, maka Yogyakarta mendapatkan status sebagai Daerah
Istimewa selama Orde Lama dan Orde Baru, bahkan diperkuat pada era reformasi melalui
Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta.
Selain itu, Yogyakarta mempunyai banyak slogan di antaranya Kota Pelajar, Kota
Gudeg, Kota Seni dan Budaya, Kota Istimewa dan Kota Batik. Keindahan Kota Yogyakarta
menjadi daya tarik bagi masyarakat yang berdomisili dari luar Yogyakarta untuk
mengunjungi Yogyakarta, baik untuk singgah sementara atau menetap guna menuntut ilmu
atau mencari peruntungan nafkah di Yogyakarta. Predikat Kota Yogyakarta yang telah lama
dilekatkan tidak hanya mencakup Yogyakarta di bagian kota, namun juga merambat ke
Kabupaten Sleman yang merupakan salah satu daerah yang memiliki keunggulan-
keunggulan di banyak bidang seperti transportasi, bisnis, obyek wisata dan pendidikan
(Riyandi, 2016).
Babarsari menjadi salah satu lokasi di Sleman yang menonjol dibandingkan dengan
lokasi lain di Sleman. Fasilitas yang ada mampu menarik orang-orang dari berbagai wilayah
di Indonesia untuk melakukan kegiatan dalam jangka waktu yang lama seperti melakukan
kegiatan bisnis dan menimba ilmu. Contohnya adalah para mahasiswa yang berasal dari
Papua. Selain berkaitan dengan keunggulan-keunggulan tersebut, ternyata pemilihan lokasi
mereka didasarkan kepada relasi “kaka”1 yang kuat sehingga membuat para pendatang
yang berasal dari Papua merasa aman.
Mereka yang baru pertama kali ke Yogyakarta pasti akan mengalami culture shock,
mulai dari perbedaan cuaca, geografis, makanan, bahasa, hingga budaya. Bahkan, tak jarang
mereka merasa terdiskriminasi apabila banyak dari orang Jawa atau etnik lain berbicara
(apalagi menggunakan bahasa Jawa) sambil tertawa sembari melihat keberadaan orang
Papua. Mereka merasa tersinggung dan menganggap orang Jawa tertutup. Padahal, bila mau
melihat lebih dalam lagi, fenomena multikulturalisme ini menarik sekali untuk ditelaah.
Beragam budaya, termasuk dari Papua yang menjadi perantau di Yogyakarta mencoba
masuk ke dalam segala hal terkait budaya Yogyakarta. Mereka mempelajari bahasanya,
mencicipi makanan, hingga bertingkah laku sopan dan ramah terhadap masyarakat sekitar.
Pemikiran ideal semacam ini yang menjadikan suatu daerah menjadi lebih aman dan
tentram. Menurut Bhikui Parekh (dikutip oleh Budiman, 2007: 3), pemahaman
multikulturalisme bukan sebagai sebuah doktrin politik dengan muatan programatik, tidak
pula sebagai sebuah aliran falsafah dengan teori yang khas tentang tempat manusia di dunia,
melainkan lebih sebagai perspektif atau cara melihat kehidupan manusia. Jadi, masyarakat
perlu memandang multikulturalisme sebagai sebuah berkah keanekaragaman serta melihat
segala perbedaan dengan cara menghargai mereka tanpa perlu bertindak primordialisme dan
memicu konflik.
Namun, kota yang dikenal dengan keragamannya saat ini menjadi ancaman bagi
warganya karena tidak lagi menjadi kota yang aman. Meski Kota Yogyakarta dan sekitarnya
merupakan kiblat multikulturalisme dengan sentral budaya yang harmoni, terlebih lagi pada 1 Panggilan dari adik untuk kakak, tidak hanya mengacu pada saudara yang mempunyai ikatan darah namun bisa juga untuk menyebut orang yang lebih tua yang berasal dari Papua.
tahun 2008, Yogyakarta mendapat julukan City Of Toleranace (Purwaningsih, 2014), tetapi
menurut Wahid Institute (2014), Daerah Istimewa Yogyakarta ditempatkan sebagai daerah
intoleran nomor dua se-Indonesia, akibat banyaknya kasus intoleransi dan pelanggaran
kebebasan beragama sepanjang 2014 yang berjumlah 21 kasus. Hal ini sangat disayangkan
mengingat dulu, Yogyakarta dikenal sebagai kota yang sangat ramah dan toleran.
Masalah yang timbul karena tak selarasnya hubungan antar etnis di Yogyakarta
ditunjukkan dengan adanya pihak kepolisian yang mengepung asrama Papua yang terletak
di Jalan Kusumanegara pada tanggal 14 Juli 2016 silam. Kejadian tersebut bermula saat
mahasiswa Papua yang menamai diri Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat
(PRPPB) membuat rangkaian acara pada tanggal 13-16 Juli 2016. Acara tersebut dalam
rangka mendukung ULMWP (United Liberation Movement For West Papua) untuk
bergabung di Melanesian Spearhead Group (MSG) yang sedang melakukan Konferensi
Tingkat Tinggi di Honiara, Solomon Island 13-15 Juli tahun 2016. PRPPB semula
berencana melakukan aksi long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua di Jalan
Kusumanegara ke Titik Nol KM di Jalan Panembahan Senopati pukul 09.00 WIB (Tribun,
2016). Namun pada pagi harinya sebelum acara long march diadakan, Asrama Papua
dikepung oleh ratusan polisi lengkap dengan trukdalmas, mobil patroli dan puluhan motor
polisi. Warga Papua yang berada di dalam asrama tidak bisa keluar dan melakukan aktifitas
karena seluruh pintu dikepung oleh pihak kepolisian.
Pengepungan oleh kepolisian terhadap PNRPPB, tidak hanya karena isu dukungan
separatisme oleh mahasiswa Papua, tetapi juga disebabkan oleh kuatnya labelling terhadap
mahasiswa Papua. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) mengenai teori labelling, sesuatu
dianggap menyimpang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada
seseorang atau kelompok orang. Dalam kasus ini, mahasiswa yang berasal dari Papua
dilabeli dengan stigma yang negatif seperti pemabuk, pembuat onar, keras kepala dan tidak
bisa diatur (Samudro, 2016). Sehingga masyarakat lokal kerap kali tidak mempercayai
bahwa hanya sebagian warga asal Papua yang mempunyai sifat yang disebutkan di atas
sehingga kerap menjadikan konflik antar etnis yang melibatkan sifat-sifat kedaerahannya.
Kasus-kasus seperti di atas patut disoroti, terutama dari aspek sosiologis. Dalam
perspektif multikulturalisme, problem etnisitas yang dialami oleh masyarakat Papua di
Yogyakarta tidak dilihat dalam perspektif mayoritas dan minoritas melainkan problem relasi
sosial antar komunitas sosial dan budaya yang berbeda. Parekh (2000), misalnya,
menyebutkan bahwa kajian tentang multikulturalisme tidak dimaksudkan untuk melakukan
pembelaan terhadap minoritas. Melainkan, multikulturalisme sesungguhnya lebih berfokus
pada hubungan komunitas-komunitas antar budaya yang berbeda.
Terlepas dari tagline Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai minatur dalam
keberagaman, namun masih sering terjadi peristiwa konflik yang memunculkan ketegangan
antara mahasiswa yang berasal dari Papua dan masyarakat lokal Yogyakarta. Keberagaman
sebagai icon Kota Yogyakarta seringkali tidak sejalan dengan kenyataan banyak konflik
yang terjadi antar etnis yang bersumber pada stereotype terhadap etnis tertentu.
Riset ini akan difokuskan untuk mengkaji mahasiswa Papua. Oleh karenanya,
multikulturalisme di Kampung Babarsari lebih dilihat dalam perspektif mahasiswa Papua.
Beberapa Alasan melakukan hal tersebut karena keterbatasan waktu penelitian ini dan studi
tentang keragaman mahasiswa Papua di Jogja belum banyak dilakukan. Selama ini,
masyarakat Papua cenderung dilihat secara essensialisme, yaitu memiliki karakteristik sosial
budaya yang tunggal. Padahal, hasil pengamatan dan kajian literature penulis menunjukkan
bahwa mahasiswa Papua di Jogja tidaklah homogen, misalnya ada perbedaam masyarakat
pegunungan dan pantai (Wertipo, 2015). Berdasarkan argumentasi tersebut maka peneliti
akan mengkaji multikulturalisme Papua di Kampung Babarsari.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini akan difokuskan untuk
menjawab pertanyaan “bagaimana ragam mahasiswa Papua berinteraksi di Kampung
Babarsari Yogyakarta?” Pertanyaan ini diturunkan menjadi beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana keragaman sosial mahasiswa Papua di Kampung Babarsari
Yogyakarta?
2. Bagaimana persepsi mahasiswa Papua terhadap penerimaan warga
masyarakat Kampung Babarsari?
Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai rujukan bagi upaya
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan selain itu dapat memperkaya literatur bagi peneliti
yang menggali multikulturalisme.
B. Manfaat Praktis
1. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta menjadi sarana untuk
mengaplikasikan teori yang sudah dipelajari selama masa perkuliahan.
2. Bagi Khalayak Umum
Penelitian ini dapat dijadikan pandangan baru bagi masyarakat umum bahwa
keberagaman merupakan kunci dari persaudaraan.
3. Bagi Pemerintah
Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk Pemerintah yang bisa melakukan
kajian dan pengambilan kebijakan terhadap permasalahan mengenai diskriminasi.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
proses keragaman mahasiswa Papua dalam berinteraksi dengan masyarakat di Kampung
Babarsari Yogyakarta.
Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah melakukan tinjauan terhadap hasil-
hasil penelitian sebelumnya untuk menunjukan keaslian penulisan skripsi ini. Setelah
mencari penelitian-penelitian terdahulu mengenai proses adaptasi pelajar asal Papua yang
sedang merantau di tempat yang baru masih terbilang belum begitu banyak, sehingga
dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi salah satu cara untuk menambah
pengetahuan mengenai adaptasi dan penerimaan pelajar asal Papua.
Penelitian pertama yang akan dibahas adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh
Andriani dkk (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Strategi Adaptasi Sosial Siswa Papua
di Kota Lamongan” Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume 02 Nomor 03
Tahun 2015, 530-544. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana siswa yang berasal
dari Papua mengikuti program pemerintah yaitu UP4B (Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat). Sebagai pendatang dengan keadaan minoritas di lingkungan yang
baru, siswa Papua dituntut untuk mampu beradapatasi dengan lingkungan masyarakat
Lamongan. Peneliti menggunakan teori Adaptasi dari John Bannet, yang mengatakan bahwa
strategi adaptif merupakan suatu pola-pola yang dibentuk dengan berbagai penyesuaian
yang direncanakan oleh manusia untuk mendapatkan sumber-sumber daya untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Keberhasilan manusia dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan hidup harmonis ditentukan oleh kemampuan manusia dalam
menjaga hubungan baik dengan lingkungan fisik, yaitu alam, benda-benda konkrit, maupun
lingkungan psikis, yaitu jiwa raga orang di dalam lingkungan ataupun rohaniah. Dalam
penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk meneliti suatu fenomena kelompok
tertentu yaitu siswa Sekolah Menengah Umum yang berasal dari Pulau Papua yang tinggal
di kota Lamongan Jawa Timur, dengan tujuan untuk mengikuti tugas belajar dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa siswa
Papua menggunakan strategi adaptasi perilaku untuk menghadapi perbedaan di lingkungan
yang baru, menghadapi resistensi atau penolakan, mencari kesamaan di lingkungan yang
baru, kemudian strategi ini lebih dominan dilakukan oleh siswa Papua dalam melakukan
adaptasi dalam menghadapi perbedaan.
Selanjutnya jurnal kedua yang ditulis oleh Wijanarko dan Syafiq (2013) dalam
jurnalnya yang berjudul “Studi Fenomenologi Pengalaman Penyesuaian Diri Mahasiswa
Papua di Surabaya” Jurnal Psikologi: Teori dan Terapan Vol. 3, No. 2, Februari 2013. Jurnal
ini membahas mengenai bagaimana pengalaman penyesuaian diri mahasiswa Papua di
Surabaya. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan metode
fenomenologis. Hasil penelitian menunjukan bahwa mahasiswa Papua di Surabaya
mengalami berbagai hambatan dalam menyesuaikan diri ketika sedang menjalani kuliah.
Penyebab hambatan itu adalah perbedaan dalam bahasa dan kebiasaan budaya. Partisipan
juga mempersepsi perbedaan fisik dan warna kulit sebagai penyebab hambatan interaksi.
Hambatan interaksi yang dihadapi menimbulkan dampak personal maupun sosial bagi para
partisipan seperti inferioritas dan sensitifitas. Sedangkan, kecenderungan untuk lebih
bergaul hanya dengan sesama mahasiswa Papua dan keengganan berhubungan dekat dengan
mahasiswa dan masyarakat lokal menjadi dampak sosialnya.
Jurnal terakhir yang akan dibahas yaitu jurnal yang ditulis oleh Talabessy, Michel
dan Walandouw (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Proses Adaptasi Mahasiswa Sorong
di Kecamatan Malalayang Kota Manado” e-journal “Acta Diurna” Volume IV. No.4. Tahun
2015. Jurnal ini membahas mengenai mahasiswa asal Sorong Selatan yang beradaptasi
dengan masyarakat kota Manado. Dalam pembahasannya, penulis juga membahas mengenai
bahasa apa saja yang digunakan dalam proses adaptasi dan media yang digunakan
mahasiswa asal Sorong Selatan beradapatasi dengan masyarakat kota Manado. Pendekatan
yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Dari hasil wawancara yang dilakukan
ada mahasiswa yang melakukan adaptasi melalui kegiatan-kegiatan seperti olah raga, ikut
serta dalam kegiatan gereja dan beradaptasi dengan masyarakat Manado yang merupakan
teman-teman kuliah mereka di kampus. Hubungan yang terjadi antara mereka lebih sering
terjadi karena adanya kesamaan kepentingan dan hobi.
Beberapa penelitian terdahulu banyak membahas mengenai adaptasi dan strategi
adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa/ siswa yang berasal dari Papua, namun penelitian
tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Konteks yang telah
dilakukan oleh peneliti terdahulu hanya fokus kepada satu pihak yaitu kepada pendatang
yang berusaha untuk beradaptasi, namun penelitian yang akan peneliti lakukan juga
membahas mengenai penerimaan dari warga lokal. Selain itu penelitian yang pada
umumnya telah dilakukan oleh peneliti terdahulu kebanyakan menggunakan teori psikologi
dan penelitian yang menggunakan kajian teori sosiologi masih jarang digunakan.
Perspektif Teori Skripsi ini akan menggunakan perspektif yang berakar pada kajian-kajian
multikulturalisme. Sub-bagian ini akan mendiskusikan tentang teori multikulturalisme,
interaksi sosial, adaptasi sosial dan rekognisi.
a. Teori Multikulturalisme
Multikulturalisme sebagai teori dapat dibedakan berdasarkan fase-fase
perkembanganya. Para pemikir multikulturalisme gelombang pertama mempunyai gagasan,
yaitu (1) kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recongnition), dan (2) legitimasi
keragaman budaya atau pluralism budaya (Tilaar, 2004:83). Multikulturalisme adalah
konsep pengakuan bahwa ada perbedaan dalam keanekaragaman budaya, kemajemukan,
pluralisme dan mau membuka diri (ruang) untuk membuka akses dan ruang ekspresi bagi
semua elemen keanekaragaman, yang bersandar kepada identitas dan jatidiri masing-
masing, dan kemudian saling berkomunikasi, tanpa saling mematikan satu dan lainnya
(Wahyono, 2006:6). Artinya, multikulturalisme menjadi ideal jika semua perbedaan tersebut
diakui dan juga memberikan ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan
mengartikulasikan idetitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.
Definisi multikulturalisme menurut Lawrence A. Blum dalam makalah Heddy
Shri Ahimsa-Putra; (2004) adalah sebuah pemahaman, penghormatan dan penilaian atas
budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnik orang
lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan
berarti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba
melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-
anggotanya sendiri.
Sebagai unsur dari seperangkat nilai, multikulturalisme mengandung tiga sub-
nilai yakni : 1. Menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan
budaya seseorang; 2. Menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang
(dan dari) kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya; 3. Menilai dan merasa senang
dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri, yaitu memandang keberadaan dari kelompok-
kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif
untuk dihargai dan dipelihara (Ahimsa-Putra, 2009).
Dari beberapa konsep multikulturalisme di atas pada intinya sama, yaitu tentang
penyadaran individu atau kelompok terhadap keragaman budaya dengan tujuan akhir yaitu
adanya toleransi. Teori multikulturalisme menghendaki adanya kesetaraan budaya, bahkan
distingsi antara mayoritas dan minoritas harus dihilangkan. Kondisi ideal ini bisa saja
bertentangan dengan kenyataan yang berada di lapangan karena setiap entitas budaya
memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk mengartikulasikan identitasnya. Padahal di
pihak yang lain, juga mereka secara bersama-sama harus membangun identitas kolektif
sebagai warga.
b. Interaksi Sosial
Selain konsep multikulturalisme, maka diperlukan juga konsep mengenai
interaksi social. Pembahasan mengenai hubungan antaretnik tidak dapat lepas dari konsep
interaksi social karena interaksi merupakan awal dari relasi social dan komunikasi social.
Kehidupan social merupakan pola-pola interaksi yang komplek antarindividu. Interaksi
sosial merupakan suatu proses yang dilakukan oleh setiap orang ketika dia bertindak dalam
sebuah relasi dengan orang lain. Sementara itu, interaksi sosial dapat dipahami sebagai
sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan identitas dirinya terhadap
orang lain, dan menerima pengakuan atas identitas diri tersebut sehingga terbentuk
perbedaan identitas antara seseorang dengan orang lain (Liliweri, 2005).
c. Adaptasi Sosial
Dalam Woolston (1917) disebutkan bahwa adaptasi merupakan keadaan dalam
penyesuaian antara individu atau kelompok sosial dan lingkungan. Adaptasi juga bisa
dimaknai sebagai suatu tahap eksistensi dan pertumbuhan atau proses dimana seorang
individu datang dan berusaha memasuki suatu situasi yang menguntungkan dirinya. Baik di
lingkungan fisik, material, sosial maupun spiritual. Adaptasi dapat terjadi secara pasif
ataupun aktif. Adaptasi fisik pasif terdiri dari evolusi biologis dan perubahan fisiknya.
Adaptasi spiritual pasif termasuk pembangunan psikis di bawah tekanan dari lembaga-
lembaga sosial seperti bahasa, hukum dan pendidikan. Sedangkan adaptasi spiritual aktif
tediri dari penyesuaian individu untuk tujuan spiritualnya.
d. Rekognisi
Rekognisi dapat dipahami sebagai pengakuan atau penghargaan terhadap
keragaman. Rekognisi merupakan suatu mekanisme penerimaan dan penyesuaian diri
terhadap perbedaan (pluralitas). Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang mampu tetap
bertahan karena didalamnya terdapat mekanisme rekognisi. Produk hukum legitim yang
dihasilkan oleh masyarakatmajemuk tidak serta merta ada, namun hadir melalui mekanisme
penyesuaian dan rekognisi, serta dialog komunikatif antar berbagai pihak yang
berkepentingan. Pada tingkat politik formal, rekognisi dapat dilihat dari sejauhmana negara
pada tingkat pusat atau daerah menghormati dan mengakui berbagai perbedaan dan
keragaman dalam masyarakat. Pengakuan tersebut setidaknya terkespresi pada konstitusi
dan kebijakan negara yang menegaskan jaminan konstitusi tersebut. Pengakuan tersebut
bukan hanya dalam konteks hak-hak sipil dan politik, melainkan juga pada hak-hak sosial,
ekonomi dan kultural termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, juga penghormatan pada identitas budaya dan
hak tradisionalnya (Bagir, 2011). Sementara itu, dalam pergaulan sehari-hari ukuran
rekognisi dapat dilihat dari sejauhmana entitas-entitas plural dalam masyarakat
menghormati dan mengakui berbagai perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.
Charles Taylor (1994), misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian:
“politik universalisme”, yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau
komunitas dengan cara menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni proteksi
terhadap identitas individu, kelompok atau komunitas dengan cara menghormati dan
membolehkan mereka melindungi budayanya. Axel Honneth secara sederhana memahami
rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan status dan posisi; (b)
menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan sosial.
Bagi Honneth, keadilan sosial harus memasukkan provisi ruang bebas bagi setiap individu
hadir dalam ruang publik tanpa rasa malu (ibid). Lebih radikal lagi, Nancy Fraser melihat
rekognisi dalam konteks perjuangan politik untuk melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi
bukan sekadar memberikan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap identitas
kultural yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser,
rekognisi harus disertai dengan redistribusi. Rekognisi kultural semata hanya mengabaikan
redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat ketidakadilan sosial dan perjuangan politik. Karena
itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan redistribusi
untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice) (www.cifdes.web.id/,2015).
Metode Penelitian Metode penelitian adalah prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah- langkah sistematis (Usman dan Akbar, 2006:42). Metode Penelitian yang akan penulis
gunakan adalah metode Kualitatif melalui penjabaran deskriptif. Secara operasional, peneliti
menggunakan pendekatan wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang berasal dari
Papua yang sedang menempuh studi lanjut di Perguruan Tinggi.
Peneliti menggunakan metode kualitatif karena metode ini mampu untuk menganalisis
data-data yang telah didapat dari informan dengan mengedepankan kedalaman infomasi sehingga
penelitian ini bisa akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam mendekati informan, peneliti menggunakan metodologi Individual Life History.
Life history adalah teknik biografi yang digunakan untuk menguji bagaimana pengalaman
memberikan makna. Life history biasanya memuat suatu perjalanan hidup keseluruhan dan
membantu peneliti memperoleh perspektif holistic dari orang yang sedang dipelajari (Wallance,
1994). Life history menggunakan keseluruhan hidup seseorang untuk menempatkan pertanyaan
yang spesifik atau pandangan yang membangun ketika pengujian saat ini dan masa depan
(Wallance, 1994). Untuk mendapatkan informasi yang mumpuni, peneliti tidak langsung
bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan peneliti,
melainkan perlahan-lahan bertanya soal keseharian, aktifitas kuliah hingga informan
membeberkan cerita dari masa kecil hingga dewasa dan menceritakan problematika hidup
merantau.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil setting tempat di Babarsari, Depok, Sleman,
DIY. Alasan utama lokasi ini dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah terkait kemudahan akses
melakukan penelitian di lokasi ini. Alasan lain yang tak kalah penting adalah Babarsari
merupakan daerah yang banyak dijadikan pilihan sebagai tempat tinggal para mahasiswa asal
Papua karena keterikatan persaudaraan yang sama-sama berasal dari Papua yang sering dijuluki
“kaka.” Selain itu, banyak Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta yang terletak di Babarsari, di
antaranya Universitas Atma Jaya, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Sekolah Tinggi
Teknologi Nasional (STTNAS), Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir “BATAN”, Politeknik “API”,
Stikes Wirausaha dan Universitas Proklamasi ’45.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhitung sejak 1 Februari 2017 sampai dengan 22 Februari 2017
(3 minggu). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan riset di Babarsari dengan bertemu secara
tatap muka dengan informan sebanyak 2-3 kali per orang dengan mengikuti informan baik di
sela-sela waktu kuliah, rapat ataupun nongkrong.
3. Pemilihan Informan
Informan yang dilibatkan pada penelitian ini adalah mahasiswa yang berasal dari Papua
yang sedang menempuh kuliah yang berdomisili di daerah Babarsari. Mahasiswa yang menjadi
informan dibagi lagi menjadi mahasiswa yang bervariasi menurut kategori mahasiswa Papua
“Pegunungan dan Pesisir”, sehingga dapat dikomparasikan bagaimana mahasiswa Papua
pegunungan dan pesisir. Selain itu peneliti juga meneliti informan yang berjenis kelamin
perempuan sehingga dapat memperoleh informasi bagaimana peran perempuan.
Deskripsi Subjek Penelitian Informan dalam penelitian ini terbagi berdasarkan asal
wilayah mahasiswa Papua. Dari 6 informan yang didapatkan, 4 berasal dari Universitas Atma
Jaya dan 2 dari STTNAS (Sekolah Tinggi Teknik Nasional). Jenis kelamin informan juga
meliputi 3 laki-laki dan 3 perempuan. Peneliti mencari informan yang mempunyai latar belakang
asal yang berbeda supaya mendapatkan variasi data.
1. Natalina Magay
Natalina Magay mempunyai nama panggilan Nata. Ia merupakan mahasiswi Manajemen
angkatan 2012 Universitas Atmajaya Yogyakarta. Saat ini Nata berusia 23 tahun. Nata berasal
dari Puncak Ilaga dan besar di Timika. Nata merupakan anak pertama dari 3 bersaudara.
Ayahnya bekerja sebagai karyawan swasta dan ibunya menjadi ibu rumah tangga. Sebelum
kuliah di Atma Jaya, ia sudah merantau dan bersekolah di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Jadi,
pada saat menjadi mahasiswi Nata tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar
dan budaya Jogja karena ia sudah banyak belajar pada saat ia duduk di bangku SMA. Pada saat
ia duduk di bangku SMA ini merasa sedikit kesulitan berkomunikasi dalam Bahasa meskipun
bahasa yang digunakan sama-sama bahasa Indonesia. Saat ini Nata tinggal di kos-kosan yang
beralamat di Purikartan, Jalan Tambakbayan, Babarsari. Beberapa orang Papua juga tinggal di
kos ditempat yang sama dengan Nata karena bapak kosnya merupakan seorang pensiunan
Freeport sehingga tidak keberatan dengan adanya anak kos yang berasal dari Papua.
2. Dinar Michi Judith Anthoniette
Infoman kedua mempunyai nama panggilan yaitu Michi. Michi lahir dan besar di
Manokwari, Papua Barat. Sejak lahir hingga SMA kelas 1 ia tinggal di Manokwari. Karena
Michi mengikuti program pembinaan beasiswa lanjutan, ia kemudian pindah SMA di Jakarta
hingga kelas 3 semester 1 kemudian ia kembali lagi untuk mengikuti UN di Manokwari. Saat ini
Michi menjadi mahasiswi Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta semester 8. Saat ini
Michi berusia 21 tahun. Ia memilih Jogja sebagai kota untuk melanjutkan pendidikannya karena
Jogjakarta mempunyai image sebagai kota pendidikan. Selain itu kakak Michi juga sudah
terlebih dahulu mengenyam pendidikan di UKDW sehingga Michi juga tertarik untuk mengikuti
sang kakak kuliah di Jogja. Saat ini Michi tinggal di Jalan Tambakbayan 5 Babarsari. Ada yang
menarik dari penampilan fisik Michi. Ia berasal dari keturunan Papua dan Jepang. Ayahnya
berasal dari Papua dan ibunya merupakan orang Jepang sehingga secara fisik ia tidak Nampak
seperti orang-orang Papua. Pada saat ia mencari kost juga tidak mendapatkan pengalaman buruk
seperti teman-temannya yang banyak ditolak oleh beberapa kos karena ia berasal dari Papua.
3. Enzo Schivo Mumbay
Informan yang ketiga mempunyai nama panggilan Enzo. Usia Enzo saat ini 21 tahun. Enzo
berasal dari Serui yang merupakan Kabupaten Yapen. Saat ini Enzo menempuh pendidikan di
Atma Jaya Jogjakarta Fakultas Teknik Sipil semester 8. Enzo saat ini tinggal di kos-kosan yang
beralamat di Jalan Dirgantara no 3 Babarsari. Untuk mendapatkan kos-kosan di daerah babarsari
cukup sulit bagi Enzo. Ia sudah ditolak oleh beberapa kos-kosan karena ia berasal dari Papua.
Ketika ia menyambangi kos-kosan yang berada di sekitar kampusnya, ia meliha bahwa ada plang
yang menyatakan bahwa ada kama kosong. Setelah itu dia bertanya kepada pemilik kos dan
pemilik kos menyatakan bahwa kos penuh dan sudah di booking. Akhirnya ia mendapatkan kos
meskipun dengan harga yang sangat tinggi (dinaikkan Rp 200.000 dibandingkan kamar lain).
Enzo memilih Jogjakarta sebagai kota untuk melanjutkan pendidikannya karena memang ia
bercita-cita merantau sejak kecil dan terpesona dengan keindahan yang ditawarkan kota Jogja
sehingga selepas ia menyelesaikan sekolah menengahnya ia langsung menuju Jogjakarta. Enzo
merupakan anak kedua dari 3 bersaudara.
4. Danny Jarfi
Informan yang keempat mempunyai nama panggilan Danny. Ia berasal dari Wamena
namun besar di Sorong. Danny adalah ketua KOMAPA (Komunitas Papua) Universitas Atma
Jaya Yogyakarta pada periode saat ini yaitu periode 2016/2017. Danny merupakan mahasiswa
Teknik Sipil Atma Jaya semester 4. Ia memilih Jogjakarta sebagai tempat kuliah karena ayahnya
dahulu kuliah di UNY sehingga Danny juga mempunyai keinginan untuk merantau. Pada
awalnya ia ingin masuk STTNAS namun karena menyadari bahwa STTNAS 80 persen
mahasiswanya berasal dari Timur, ia memutuskan untuk mendaftar kuliah di Universitas Atma
Jaya. Saat ini Danny berusia 19 tahun. Ia saat ini tinggal di kos-kosan yang beralamat di Jalan
Babarsari Tambakbayan 5. Sama dengan Enzo, ia juga mengalami perlakuan tidak
menyenangkan selama ia mencari tempat tinggal ketika ia sampai di Jogja. Ia menghabiskan 6
hari untuk berkeliling mencari kos namun ia juga ditolak di banyak tempat karena ia merupakan
mahasiswa yang berasal dari Papua. Dari pengalaman tidak menyenangkan tersebut ia hanya bisa
sabar karena ia menyadari bahwa ia merupakan pendatang. Danny merupakan anak pertama dari
3 bersaudara sedangkan ayahnya merupakan seorang guru.
5. Silvana Leonora Mandowen
Informan yang kelima mempunyai panggilan Kessy. Kessy berasal dari Biak namun ia
besar di Jayapura. Kessy merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai
PNS dan ibunya menjadi ibu rumah tangga. Saat ini Kessy menempuh pendidikan di STTNAS
jurusan Teknik Sipil. Ia merupakan wakil ketua IMTP (Ikatan Mahasiswa Tanah Papua)
STTNAS periode 2016/2017. Ia bercita-cita sejak dulu bisa melanjutkan pendidikan di
Jogjakarta. Sebelum tinggal di Yogyakarta, ia membayangkan bahwa Yogyakarta merupakan
kota yang sangat indah dan budaya yang disajikan merupakan budaya yang unik. Kessy saat ini
tinggal di Jalan Lawu Raya nomor 4. Saat in Kessy tinggal sendiri karena ia mengontrak sebuah
rumah jika kedua orang tuanya berkunjung ada tempat untuk singgah. Pada awal kuliah ia
mencari kontrakan sekitar kampus namun tidak ada yang mau menerima dirinya karena ia
berasal dari Papua. Ketika ada ibu-ibu yang sedang berkumpul, Kessy bertanya apakah ada
rumah yang dikontrakkan, salah satu ibu menjawab ada, namun setelah beberapa saat kedua ibu
itu berpandangan dan tiba-tiba menjawab bahwa rumahnya sudah dipesan oleh orang lain.
Kemudian Kessy mendapatkan di daerah Seturan.
6. Yohtam Agustinus Marani
Informan yang terakhir mempunyai panggilan Yohtam. Yohtam menjadi mahasiswa di
STTNAS Jurusan Teknik Mesin. Saat ini Yohtam menjalani kuliah semester 8. Yohtam berasal
dari Serui dan tinggal dan besar di Jayapura. Saat ini ia tinggal di kontrakan di Babarsari
bersama dengan teman-temannya lintas suku. Ia juga merasakan penolakan seperti halnya
dengan informan lainnya yakni ditolak dibeberapa kos-kosan karena ia berasal dari Papua.
Penelitian ini dimulai pada tanggal 1 Februari 2017, penelitian ini dimulai pada saat
peneliti mengurus ijin penelitian dari fakultas, kemudian Desa Caturtunggal, Padukuhan
Tambakbayan baru kemudian satu minggu kemudian pada saat keperluan administrasi sudah
lengkap, peneliti mendatangi informan pertama yang bernama Nata. Pertemuan pertama cukup
singkat hanya sekitar 60 menit dan berlokasi di Perpustakaan UAJY. Hari kedua, pertemuan
dengan Enzo (perkenalan dengan Nata) dan masih bertempat di Perpustakaan UAJY. Kemudian
pertemuan berikutnya dengan para informan yang lain masih terkesan formal karena pertemuan
yang pertama rata-rata bertempat di kampus masing-masing informan. Setelah minggu kedua,
barulah informan mencoba mengikuti aktifitas yang dilakukan oleh para informan, ada yang di
kos, ada yang di tempat makan dan ada pula yang bertempat di gereja. Pertemuan peneliti
dengan informan ada yang dua kali dan ada yang tiga kali. Semua informan bersikap ramah dan
terbuka terhadap peneliti, sehingga peneliti tidak merasakan ketakutan apapun meskipun pada
awalnya tidak ada yang kenal. Hambatan yang dirasakan selama terjun ke lapangan, para
iforman kerap kali mendadak membatalkan informasi dan beberapa kali informan yang sibuk
sulit ditemui sehingga waktu penelitian menjadi terulur.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu antara pewawancara dan yang
diwawancarai. Maksud dari wawancara diantaranya adalah untuk mengkonstruksi mengenai
orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain
(Moleong, 2001). Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan
yang akan diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara dimana
pewawanacara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Sutopo 2006:
72). Menurut Moloeng (2005: 186), wawancara mendalam merupakan proses menggali
informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan
diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini, metode wawancara mendalam yang dilakukan
dengan adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam penelitian ini,
untuk mendapatkan data yang akurat, peneliti akan melakukan dokumentasi berupa perekaman
suara dengan tujuan mempermudah proses analisis data.
Para informan adalah orang atau pihak yang karena posisi struktural dan sosialnya
dianggap mewakili kelompok yang relevan untuk menjawab pertanyaan. Peneliti mewawancarai
Ketua KOMAPA (Komunitas Mahasiswa Papua) UAJY dan Wakil ketua IMTP (Ikatan
Mahasiswa Tanah Papua) STTNAS. Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih mendalam
mengenai komunitas yang ada, teknik ini dirasa perlu untuk digunakan dalam mendapatkan
informan. Pada awalnya peneliti merasa kesulitan dalam mendapatkan akses ke Ketua KOMAPA
yang bernama Danny. Karena pada bulan Februari merupakan bulan yang padat bagi tahun
ajaran baru semester genap, belum lagi Danny merupakan mahasiswa Teknik Sipil yang sangat
disibukkan dengan kegiatan kampus dan kegiatan non kampus. Untuk mendapatkan waktu yang
tepat untuk bertemu saja, setelah melalui perundingan untuk menentukan tanggal dan kapan bisa
bertemu, tiba-tiba Danny membatalkan sebanyak 3 kali. Semula peneliti ingin mewawancarai
ketua IMTP (Ikatan Mahasiswa Tanah Papua) STTNAS, namun karena yang bersangkutan harus
melakukan tugas akhir dan tidak berada di Jogja untuk waktu yang sangat panjang maka peneliti
memutuskan untuk mengganti informan menjadi wakil IMTP yang kebetulan sedang berdomisili
di Jogja (karena dalam kalender akademik STTNAS bulan Januari-Maret merupakan masa libur
semester). Peneliti berhasil mendapatkan kontak person dari wakil IMTP yang bernama Silvy.
Hambatan yang ditemui sama dengan Danny, karena kesibukan yang ada dan kesulitan untuk
bertemu namun pada akhirnya Silvy bisa ditemui di sela-sela rapat IMTP. Pada akhirnya karena
informan yang peneliti butuhkan sangat susah ditemui, peneliti mencari informan lain yang cara
mendapatkannya menggunakan teknik snowball. Snowball adalah teknik mendapatkan informan
melalui rekomendasi dari informan sebelumnya untuk mendapatkan informasi mendalam
mengenai topik atau isu tertentu. Ibarat bola salju yang menggelinding semakin lama semakin
besar (Sugiyono, 2010). Dalam penggunaan teknik ini, pada mulanya peneliti mendapatkan akses
dari senior SMA penelti yang merupakan orang yang berasal dari Papua asli bernama Nata.
Pengetahuan Nata mengenai Papua sangat luas karena pada tahun 2015 ia menjadi perwakilan 10
besar Putri Indonesia Papua dan banyak kegiatan sosial lainnya. Proses bertemu dengan
informan tidak terlalu sulit karena Nata tidak terlalu sibuk. Setelah bertemu tiga kali, peneliti
mendapatkan jaringan dari Nata untuk dapat bertemu dengan informan yang lain yang bernama
Michi dan Enzo. Proses bertemu dengan kedua informan yang lain juga dilakukan melewati
komunikasi media sosial dan bertatap muka tiga kali di kampus dan di rumah makan. Untuk
informan yang didapatkan menggunakan snowball tidak begitu sulit untuk ditemui jika
dibandingkan dengan informan yang didapatkan menggunakan teknik purposive.
b. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian pengamatan dan pencatatan ini dilakukan terhadap objek di tempat
terjadi dan atau berlangsungnya peristiwa (Margono, 2007). Dalam sebuah penelitian kualitatif,
peran observasi juga memiliki tempat yang cukup penting guna melengkapi data yang berasal
dari wawancara. Penelitian ini akan dilakukan dengan observasi, setting tempat yang akan
dilakukan observasi meliputi daerah Babarsari, Kecamatan Depok Sleman. Observasi ini
sekaligus dapat menguatkan apabila data yang diperoleh dari informan kurang lengkap mengenai
informasi yang disampaikan dan memungkinkan peneliti untuk mencatat setiap perilaku dan
kejadian tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jika dijabarkan alasan secara
metodologis bagi penggunaan pengamatan (observasi) adalah bahwa pengamatan
mengoptimalkan kemampuan penelitian dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tidak
sadar, kebiasaan, pengamatan juga memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana
yang dilihat oleh subyek penelitian; pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang
dirasakan oleh subyek; dan pada akhirnya pengamatan memungkinkan pembentukan
pengetahuan yang diketahui bersama baik dari pihak pengamat maupun dari pihak subyeknya
(Moleong, 2001). Dalam hal penelitian ini, peneliti dapat menjaring informasi yang lebih detail
karena peneliti memanfaatkan semua panca indra (Moleong,2001). Apabila data yang diperoleh
dari informan dirasa masih kurang, maka data-data pendukung juga dapat diperoleh melalui
sumber lain seperti penelusuran dokumen, artikel, buku, jurnal, dan sumber pendukung lainnya.