BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... ·...

23
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian ini membahas mengenai proses interaksi mahasiswa yang berasal dari Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena beberapa bulan belakangan ini, terjadi konflik-konflik yang dipicu oleh mahasiswa Papua yang mengalami perlakuan diskriminatif karena stereotip yang berkembang di masyarakat (Samudro, 2016). Banyak perlakuan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti mahasiswi Jurusan Akuntansi FEB UGM yang ditolak langsung ketika mengetahui bahwa dirinya berasal dari Papua hingga dirinya sakit dan kembali ke kampung halaman selama sebulan lamanya. Tindakan diskriminasi lain dialami oleh Alin, seorang mahasiswa Jurusan Pertanian UGM. Ia mengalami kekerasan dari seniornya hanya karena dirinya berasal dari Papua. Pada saat ini, semboyan “Yogyakarta Berhati Nyaman” nyatanya tidak berlaku lagi, di mana seharusnya konflik seperti itu tidak terjadi. Bila dilihat sejarahnya, Kota Yogyakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang terus berkembang dengan tetap mempertahankan icon-nya sebagai Kota Budaya. Keberadaan Keraton dan Kesultanan Yogyakarta menjadikan kota ini sebagai representasi simbolisme Budaya Jawa. Yogyakarta juga menjadi icon pluralisme di mana beragam etnis, suku, agama, dan kepercayaan dapat hidup bersama secara damai, setidaknya sampai era awal tahun 2000-an (Purwaningsih, 2014). Ketika beberapa kota di Indonesia dilanda kerusuhan dan konflik sosial pada era akhir 1990-an, Yogyakarta sebagai salah satu pusat gerakan reformasi saat itu mampu mempertahankan situasi aman dan damai. Kondisi ini tentu tidak lepas dari sejarah Yogyakarta sejak era sebelum kemerdekaan sampai periode-

Transcript of BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... ·...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

BAB I

PENDAHULUAN Latar Belakang

Penelitian ini membahas mengenai proses interaksi mahasiswa yang berasal dari

Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena beberapa

bulan belakangan ini, terjadi konflik-konflik yang dipicu oleh mahasiswa Papua yang

mengalami perlakuan diskriminatif karena stereotip yang berkembang di masyarakat

(Samudro, 2016). Banyak perlakuan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh

masyarakat setempat, seperti mahasiswi Jurusan Akuntansi FEB UGM yang ditolak

langsung ketika mengetahui bahwa dirinya berasal dari Papua hingga dirinya sakit dan

kembali ke kampung halaman selama sebulan lamanya. Tindakan diskriminasi lain dialami

oleh Alin, seorang mahasiswa Jurusan Pertanian UGM. Ia mengalami kekerasan dari

seniornya hanya karena dirinya berasal dari Papua. Pada saat ini, semboyan “Yogyakarta

Berhati Nyaman” nyatanya tidak berlaku lagi, di mana seharusnya konflik seperti itu tidak

terjadi.

Bila dilihat sejarahnya, Kota Yogyakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang

terus berkembang dengan tetap mempertahankan icon-nya sebagai Kota Budaya.

Keberadaan Keraton dan Kesultanan Yogyakarta menjadikan kota ini sebagai representasi

simbolisme Budaya Jawa. Yogyakarta juga menjadi icon pluralisme di mana beragam etnis,

suku, agama, dan kepercayaan dapat hidup bersama secara damai, setidaknya sampai era

awal tahun 2000-an (Purwaningsih, 2014). Ketika beberapa kota di Indonesia dilanda

kerusuhan dan konflik sosial pada era akhir 1990-an, Yogyakarta sebagai salah satu pusat

gerakan reformasi saat itu mampu mempertahankan situasi aman dan damai. Kondisi ini

tentu tidak lepas dari sejarah Yogyakarta sejak era sebelum kemerdekaan sampai periode-

Page 2: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

periode kritis di awal kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi Ibu Kota Negara dan pusat

pemerintahan ketika Ibu Kota Jakarta mengalami krisis menyusul invasi militer Belanda.

Bahkan, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat termasuk daerah yang pertama menyatakan

bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan 17

Agustus 1945. Atas alasan tersebut, maka Yogyakarta mendapatkan status sebagai Daerah

Istimewa selama Orde Lama dan Orde Baru, bahkan diperkuat pada era reformasi melalui

Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta.

Selain itu, Yogyakarta mempunyai banyak slogan di antaranya Kota Pelajar, Kota

Gudeg, Kota Seni dan Budaya, Kota Istimewa dan Kota Batik. Keindahan Kota Yogyakarta

menjadi daya tarik bagi masyarakat yang berdomisili dari luar Yogyakarta untuk

mengunjungi Yogyakarta, baik untuk singgah sementara atau menetap guna menuntut ilmu

atau mencari peruntungan nafkah di Yogyakarta. Predikat Kota Yogyakarta yang telah lama

dilekatkan tidak hanya mencakup Yogyakarta di bagian kota, namun juga merambat ke

Kabupaten Sleman yang merupakan salah satu daerah yang memiliki keunggulan-

keunggulan di banyak bidang seperti transportasi, bisnis, obyek wisata dan pendidikan

(Riyandi, 2016).

Babarsari menjadi salah satu lokasi di Sleman yang menonjol dibandingkan dengan

lokasi lain di Sleman. Fasilitas yang ada mampu menarik orang-orang dari berbagai wilayah

di Indonesia untuk melakukan kegiatan dalam jangka waktu yang lama seperti melakukan

kegiatan bisnis dan menimba ilmu. Contohnya adalah para mahasiswa yang berasal dari

Papua. Selain berkaitan dengan keunggulan-keunggulan tersebut, ternyata pemilihan lokasi

Page 3: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

mereka didasarkan kepada relasi “kaka”1 yang kuat sehingga membuat para pendatang

yang berasal dari Papua merasa aman.

Mereka yang baru pertama kali ke Yogyakarta pasti akan mengalami culture shock,

mulai dari perbedaan cuaca, geografis, makanan, bahasa, hingga budaya. Bahkan, tak jarang

mereka merasa terdiskriminasi apabila banyak dari orang Jawa atau etnik lain berbicara

(apalagi menggunakan bahasa Jawa) sambil tertawa sembari melihat keberadaan orang

Papua. Mereka merasa tersinggung dan menganggap orang Jawa tertutup. Padahal, bila mau

melihat lebih dalam lagi, fenomena multikulturalisme ini menarik sekali untuk ditelaah.

Beragam budaya, termasuk dari Papua yang menjadi perantau di Yogyakarta mencoba

masuk ke dalam segala hal terkait budaya Yogyakarta. Mereka mempelajari bahasanya,

mencicipi makanan, hingga bertingkah laku sopan dan ramah terhadap masyarakat sekitar.

Pemikiran ideal semacam ini yang menjadikan suatu daerah menjadi lebih aman dan

tentram. Menurut Bhikui Parekh (dikutip oleh Budiman, 2007: 3), pemahaman

multikulturalisme bukan sebagai sebuah doktrin politik dengan muatan programatik, tidak

pula sebagai sebuah aliran falsafah dengan teori yang khas tentang tempat manusia di dunia,

melainkan lebih sebagai perspektif atau cara melihat kehidupan manusia. Jadi, masyarakat

perlu memandang multikulturalisme sebagai sebuah berkah keanekaragaman serta melihat

segala perbedaan dengan cara menghargai mereka tanpa perlu bertindak primordialisme dan

memicu konflik.

Namun, kota yang dikenal dengan keragamannya saat ini menjadi ancaman bagi

warganya karena tidak lagi menjadi kota yang aman. Meski Kota Yogyakarta dan sekitarnya

merupakan kiblat multikulturalisme dengan sentral budaya yang harmoni, terlebih lagi pada 1 Panggilan dari adik untuk kakak, tidak hanya mengacu pada saudara yang mempunyai ikatan darah namun bisa juga untuk menyebut orang yang lebih tua yang berasal dari Papua.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

tahun 2008, Yogyakarta mendapat julukan City Of Toleranace (Purwaningsih, 2014), tetapi

menurut Wahid Institute (2014), Daerah Istimewa Yogyakarta ditempatkan sebagai daerah

intoleran nomor dua se-Indonesia, akibat banyaknya kasus intoleransi dan pelanggaran

kebebasan beragama sepanjang 2014 yang berjumlah 21 kasus. Hal ini sangat disayangkan

mengingat dulu, Yogyakarta dikenal sebagai kota yang sangat ramah dan toleran.

Masalah yang timbul karena tak selarasnya hubungan antar etnis di Yogyakarta

ditunjukkan dengan adanya pihak kepolisian yang mengepung asrama Papua yang terletak

di Jalan Kusumanegara pada tanggal 14 Juli 2016 silam. Kejadian tersebut bermula saat

mahasiswa Papua yang menamai diri Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat

(PRPPB) membuat rangkaian acara pada tanggal 13-16 Juli 2016. Acara tersebut dalam

rangka mendukung ULMWP (United Liberation Movement For West Papua) untuk

bergabung di Melanesian Spearhead Group (MSG) yang sedang melakukan Konferensi

Tingkat Tinggi di Honiara, Solomon Island 13-15 Juli tahun 2016. PRPPB semula

berencana melakukan aksi long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua di Jalan

Kusumanegara ke Titik Nol KM di Jalan Panembahan Senopati pukul 09.00 WIB (Tribun,

2016). Namun pada pagi harinya sebelum acara long march diadakan, Asrama Papua

dikepung oleh ratusan polisi lengkap dengan trukdalmas, mobil patroli dan puluhan motor

polisi. Warga Papua yang berada di dalam asrama tidak bisa keluar dan melakukan aktifitas

karena seluruh pintu dikepung oleh pihak kepolisian.

Pengepungan oleh kepolisian terhadap PNRPPB, tidak hanya karena isu dukungan

separatisme oleh mahasiswa Papua, tetapi juga disebabkan oleh kuatnya labelling terhadap

mahasiswa Papua. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) mengenai teori labelling, sesuatu

dianggap menyimpang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada

Page 5: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

seseorang atau kelompok orang. Dalam kasus ini, mahasiswa yang berasal dari Papua

dilabeli dengan stigma yang negatif seperti pemabuk, pembuat onar, keras kepala dan tidak

bisa diatur (Samudro, 2016). Sehingga masyarakat lokal kerap kali tidak mempercayai

bahwa hanya sebagian warga asal Papua yang mempunyai sifat yang disebutkan di atas

sehingga kerap menjadikan konflik antar etnis yang melibatkan sifat-sifat kedaerahannya.

Kasus-kasus seperti di atas patut disoroti, terutama dari aspek sosiologis. Dalam

perspektif multikulturalisme, problem etnisitas yang dialami oleh masyarakat Papua di

Yogyakarta tidak dilihat dalam perspektif mayoritas dan minoritas melainkan problem relasi

sosial antar komunitas sosial dan budaya yang berbeda. Parekh (2000), misalnya,

menyebutkan bahwa kajian tentang multikulturalisme tidak dimaksudkan untuk melakukan

pembelaan terhadap minoritas. Melainkan, multikulturalisme sesungguhnya lebih berfokus

pada hubungan komunitas-komunitas antar budaya yang berbeda.

Terlepas dari tagline Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai minatur dalam

keberagaman, namun masih sering terjadi peristiwa konflik yang memunculkan ketegangan

antara mahasiswa yang berasal dari Papua dan masyarakat lokal Yogyakarta. Keberagaman

sebagai icon Kota Yogyakarta seringkali tidak sejalan dengan kenyataan banyak konflik

yang terjadi antar etnis yang bersumber pada stereotype terhadap etnis tertentu.

Riset ini akan difokuskan untuk mengkaji mahasiswa Papua. Oleh karenanya,

multikulturalisme di Kampung Babarsari lebih dilihat dalam perspektif mahasiswa Papua.

Beberapa Alasan melakukan hal tersebut karena keterbatasan waktu penelitian ini dan studi

tentang keragaman mahasiswa Papua di Jogja belum banyak dilakukan. Selama ini,

masyarakat Papua cenderung dilihat secara essensialisme, yaitu memiliki karakteristik sosial

budaya yang tunggal. Padahal, hasil pengamatan dan kajian literature penulis menunjukkan

Page 6: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

bahwa mahasiswa Papua di Jogja tidaklah homogen, misalnya ada perbedaam masyarakat

pegunungan dan pantai (Wertipo, 2015). Berdasarkan argumentasi tersebut maka peneliti

akan mengkaji multikulturalisme Papua di Kampung Babarsari.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini akan difokuskan untuk

menjawab pertanyaan “bagaimana ragam mahasiswa Papua berinteraksi di Kampung

Babarsari Yogyakarta?” Pertanyaan ini diturunkan menjadi beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana keragaman sosial mahasiswa Papua di Kampung Babarsari

Yogyakarta?

2. Bagaimana persepsi mahasiswa Papua terhadap penerimaan warga

masyarakat Kampung Babarsari?

Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai rujukan bagi upaya

pengembangan Ilmu Pengetahuan dan selain itu dapat memperkaya literatur bagi peneliti

yang menggali multikulturalisme.

B. Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta menjadi sarana untuk

mengaplikasikan teori yang sudah dipelajari selama masa perkuliahan.

2. Bagi Khalayak Umum

Page 7: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

Penelitian ini dapat dijadikan pandangan baru bagi masyarakat umum bahwa

keberagaman merupakan kunci dari persaudaraan.

3. Bagi Pemerintah

Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk Pemerintah yang bisa melakukan

kajian dan pengambilan kebijakan terhadap permasalahan mengenai diskriminasi.

Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

proses keragaman mahasiswa Papua dalam berinteraksi dengan masyarakat di Kampung

Babarsari Yogyakarta.

Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah melakukan tinjauan terhadap hasil-

hasil penelitian sebelumnya untuk menunjukan keaslian penulisan skripsi ini. Setelah

mencari penelitian-penelitian terdahulu mengenai proses adaptasi pelajar asal Papua yang

sedang merantau di tempat yang baru masih terbilang belum begitu banyak, sehingga

dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi salah satu cara untuk menambah

pengetahuan mengenai adaptasi dan penerimaan pelajar asal Papua.

Penelitian pertama yang akan dibahas adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh

Andriani dkk (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Strategi Adaptasi Sosial Siswa Papua

di Kota Lamongan” Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume 02 Nomor 03

Tahun 2015, 530-544. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana siswa yang berasal

dari Papua mengikuti program pemerintah yaitu UP4B (Unit Percepatan Pembangunan

Papua dan Papua Barat). Sebagai pendatang dengan keadaan minoritas di lingkungan yang

baru, siswa Papua dituntut untuk mampu beradapatasi dengan lingkungan masyarakat

Page 8: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

Lamongan. Peneliti menggunakan teori Adaptasi dari John Bannet, yang mengatakan bahwa

strategi adaptif merupakan suatu pola-pola yang dibentuk dengan berbagai penyesuaian

yang direncanakan oleh manusia untuk mendapatkan sumber-sumber daya untuk

memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Keberhasilan manusia dalam menyesuaikan

diri dengan lingkungan dan hidup harmonis ditentukan oleh kemampuan manusia dalam

menjaga hubungan baik dengan lingkungan fisik, yaitu alam, benda-benda konkrit, maupun

lingkungan psikis, yaitu jiwa raga orang di dalam lingkungan ataupun rohaniah. Dalam

penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk meneliti suatu fenomena kelompok

tertentu yaitu siswa Sekolah Menengah Umum yang berasal dari Pulau Papua yang tinggal

di kota Lamongan Jawa Timur, dengan tujuan untuk mengikuti tugas belajar dari

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa siswa

Papua menggunakan strategi adaptasi perilaku untuk menghadapi perbedaan di lingkungan

yang baru, menghadapi resistensi atau penolakan, mencari kesamaan di lingkungan yang

baru, kemudian strategi ini lebih dominan dilakukan oleh siswa Papua dalam melakukan

adaptasi dalam menghadapi perbedaan.

Selanjutnya jurnal kedua yang ditulis oleh Wijanarko dan Syafiq (2013) dalam

jurnalnya yang berjudul “Studi Fenomenologi Pengalaman Penyesuaian Diri Mahasiswa

Papua di Surabaya” Jurnal Psikologi: Teori dan Terapan Vol. 3, No. 2, Februari 2013. Jurnal

ini membahas mengenai bagaimana pengalaman penyesuaian diri mahasiswa Papua di

Surabaya. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan metode

fenomenologis. Hasil penelitian menunjukan bahwa mahasiswa Papua di Surabaya

mengalami berbagai hambatan dalam menyesuaikan diri ketika sedang menjalani kuliah.

Penyebab hambatan itu adalah perbedaan dalam bahasa dan kebiasaan budaya. Partisipan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

juga mempersepsi perbedaan fisik dan warna kulit sebagai penyebab hambatan interaksi.

Hambatan interaksi yang dihadapi menimbulkan dampak personal maupun sosial bagi para

partisipan seperti inferioritas dan sensitifitas. Sedangkan, kecenderungan untuk lebih

bergaul hanya dengan sesama mahasiswa Papua dan keengganan berhubungan dekat dengan

mahasiswa dan masyarakat lokal menjadi dampak sosialnya.

Jurnal terakhir yang akan dibahas yaitu jurnal yang ditulis oleh Talabessy, Michel

dan Walandouw (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Proses Adaptasi Mahasiswa Sorong

di Kecamatan Malalayang Kota Manado” e-journal “Acta Diurna” Volume IV. No.4. Tahun

2015. Jurnal ini membahas mengenai mahasiswa asal Sorong Selatan yang beradaptasi

dengan masyarakat kota Manado. Dalam pembahasannya, penulis juga membahas mengenai

bahasa apa saja yang digunakan dalam proses adaptasi dan media yang digunakan

mahasiswa asal Sorong Selatan beradapatasi dengan masyarakat kota Manado. Pendekatan

yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Dari hasil wawancara yang dilakukan

ada mahasiswa yang melakukan adaptasi melalui kegiatan-kegiatan seperti olah raga, ikut

serta dalam kegiatan gereja dan beradaptasi dengan masyarakat Manado yang merupakan

teman-teman kuliah mereka di kampus. Hubungan yang terjadi antara mereka lebih sering

terjadi karena adanya kesamaan kepentingan dan hobi.

Beberapa penelitian terdahulu banyak membahas mengenai adaptasi dan strategi

adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa/ siswa yang berasal dari Papua, namun penelitian

tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Konteks yang telah

dilakukan oleh peneliti terdahulu hanya fokus kepada satu pihak yaitu kepada pendatang

yang berusaha untuk beradaptasi, namun penelitian yang akan peneliti lakukan juga

membahas mengenai penerimaan dari warga lokal. Selain itu penelitian yang pada

Page 10: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

umumnya telah dilakukan oleh peneliti terdahulu kebanyakan menggunakan teori psikologi

dan penelitian yang menggunakan kajian teori sosiologi masih jarang digunakan.

Perspektif Teori Skripsi ini akan menggunakan perspektif yang berakar pada kajian-kajian

multikulturalisme. Sub-bagian ini akan mendiskusikan tentang teori multikulturalisme,

interaksi sosial, adaptasi sosial dan rekognisi.

a. Teori Multikulturalisme

Multikulturalisme sebagai teori dapat dibedakan berdasarkan fase-fase

perkembanganya. Para pemikir multikulturalisme gelombang pertama mempunyai gagasan,

yaitu (1) kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recongnition), dan (2) legitimasi

keragaman budaya atau pluralism budaya (Tilaar, 2004:83). Multikulturalisme adalah

konsep pengakuan bahwa ada perbedaan dalam keanekaragaman budaya, kemajemukan,

pluralisme dan mau membuka diri (ruang) untuk membuka akses dan ruang ekspresi bagi

semua elemen keanekaragaman, yang bersandar kepada identitas dan jatidiri masing-

masing, dan kemudian saling berkomunikasi, tanpa saling mematikan satu dan lainnya

(Wahyono, 2006:6). Artinya, multikulturalisme menjadi ideal jika semua perbedaan tersebut

diakui dan juga memberikan ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan

mengartikulasikan idetitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.

Definisi multikulturalisme menurut Lawrence A. Blum dalam makalah Heddy

Shri Ahimsa-Putra; (2004) adalah sebuah pemahaman, penghormatan dan penilaian atas

budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnik orang

lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan

berarti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba

Page 11: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-

anggotanya sendiri.

Sebagai unsur dari seperangkat nilai, multikulturalisme mengandung tiga sub-

nilai yakni : 1. Menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan

budaya seseorang; 2. Menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang

(dan dari) kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya; 3. Menilai dan merasa senang

dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri, yaitu memandang keberadaan dari kelompok-

kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif

untuk dihargai dan dipelihara (Ahimsa-Putra, 2009).

Dari beberapa konsep multikulturalisme di atas pada intinya sama, yaitu tentang

penyadaran individu atau kelompok terhadap keragaman budaya dengan tujuan akhir yaitu

adanya toleransi. Teori multikulturalisme menghendaki adanya kesetaraan budaya, bahkan

distingsi antara mayoritas dan minoritas harus dihilangkan. Kondisi ideal ini bisa saja

bertentangan dengan kenyataan yang berada di lapangan karena setiap entitas budaya

memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk mengartikulasikan identitasnya. Padahal di

pihak yang lain, juga mereka secara bersama-sama harus membangun identitas kolektif

sebagai warga.

b. Interaksi Sosial

Selain konsep multikulturalisme, maka diperlukan juga konsep mengenai

interaksi social. Pembahasan mengenai hubungan antaretnik tidak dapat lepas dari konsep

interaksi social karena interaksi merupakan awal dari relasi social dan komunikasi social.

Kehidupan social merupakan pola-pola interaksi yang komplek antarindividu. Interaksi

sosial merupakan suatu proses yang dilakukan oleh setiap orang ketika dia bertindak dalam

Page 12: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

sebuah relasi dengan orang lain. Sementara itu, interaksi sosial dapat dipahami sebagai

sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan identitas dirinya terhadap

orang lain, dan menerima pengakuan atas identitas diri tersebut sehingga terbentuk

perbedaan identitas antara seseorang dengan orang lain (Liliweri, 2005).

c. Adaptasi Sosial

Dalam Woolston (1917) disebutkan bahwa adaptasi merupakan keadaan dalam

penyesuaian antara individu atau kelompok sosial dan lingkungan. Adaptasi juga bisa

dimaknai sebagai suatu tahap eksistensi dan pertumbuhan atau proses dimana seorang

individu datang dan berusaha memasuki suatu situasi yang menguntungkan dirinya. Baik di

lingkungan fisik, material, sosial maupun spiritual. Adaptasi dapat terjadi secara pasif

ataupun aktif. Adaptasi fisik pasif terdiri dari evolusi biologis dan perubahan fisiknya.

Adaptasi spiritual pasif termasuk pembangunan psikis di bawah tekanan dari lembaga-

lembaga sosial seperti bahasa, hukum dan pendidikan. Sedangkan adaptasi spiritual aktif

tediri dari penyesuaian individu untuk tujuan spiritualnya.

d. Rekognisi

Rekognisi dapat dipahami sebagai pengakuan atau penghargaan terhadap

keragaman. Rekognisi merupakan suatu mekanisme penerimaan dan penyesuaian diri

terhadap perbedaan (pluralitas). Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang mampu tetap

bertahan karena didalamnya terdapat mekanisme rekognisi. Produk hukum legitim yang

dihasilkan oleh masyarakatmajemuk tidak serta merta ada, namun hadir melalui mekanisme

penyesuaian dan rekognisi, serta dialog komunikatif antar berbagai pihak yang

berkepentingan. Pada tingkat politik formal, rekognisi dapat dilihat dari sejauhmana negara

pada tingkat pusat atau daerah menghormati dan mengakui berbagai perbedaan dan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

keragaman dalam masyarakat. Pengakuan tersebut setidaknya terkespresi pada konstitusi

dan kebijakan negara yang menegaskan jaminan konstitusi tersebut. Pengakuan tersebut

bukan hanya dalam konteks hak-hak sipil dan politik, melainkan juga pada hak-hak sosial,

ekonomi dan kultural termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, juga penghormatan pada identitas budaya dan

hak tradisionalnya (Bagir, 2011). Sementara itu, dalam pergaulan sehari-hari ukuran

rekognisi dapat dilihat dari sejauhmana entitas-entitas plural dalam masyarakat

menghormati dan mengakui berbagai perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.

Charles Taylor (1994), misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian:

“politik universalisme”, yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau

komunitas dengan cara menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni proteksi

terhadap identitas individu, kelompok atau komunitas dengan cara menghormati dan

membolehkan mereka melindungi budayanya. Axel Honneth secara sederhana memahami

rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan status dan posisi; (b)

menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan sosial.

Bagi Honneth, keadilan sosial harus memasukkan provisi ruang bebas bagi setiap individu

hadir dalam ruang publik tanpa rasa malu (ibid). Lebih radikal lagi, Nancy Fraser melihat

rekognisi dalam konteks perjuangan politik untuk melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi

bukan sekadar memberikan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap identitas

kultural yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser,

rekognisi harus disertai dengan redistribusi. Rekognisi kultural semata hanya mengabaikan

redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat ketidakadilan sosial dan perjuangan politik. Karena

Page 14: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan redistribusi

untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice) (www.cifdes.web.id/,2015).

Metode Penelitian Metode penelitian adalah prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai

langkah- langkah sistematis (Usman dan Akbar, 2006:42). Metode Penelitian yang akan penulis

gunakan adalah metode Kualitatif melalui penjabaran deskriptif. Secara operasional, peneliti

menggunakan pendekatan wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang berasal dari

Papua yang sedang menempuh studi lanjut di Perguruan Tinggi.

Peneliti menggunakan metode kualitatif karena metode ini mampu untuk menganalisis

data-data yang telah didapat dari informan dengan mengedepankan kedalaman infomasi sehingga

penelitian ini bisa akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam mendekati informan, peneliti menggunakan metodologi Individual Life History.

Life history adalah teknik biografi yang digunakan untuk menguji bagaimana pengalaman

memberikan makna. Life history biasanya memuat suatu perjalanan hidup keseluruhan dan

membantu peneliti memperoleh perspektif holistic dari orang yang sedang dipelajari (Wallance,

1994). Life history menggunakan keseluruhan hidup seseorang untuk menempatkan pertanyaan

yang spesifik atau pandangan yang membangun ketika pengujian saat ini dan masa depan

(Wallance, 1994). Untuk mendapatkan informasi yang mumpuni, peneliti tidak langsung

bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan peneliti,

melainkan perlahan-lahan bertanya soal keseharian, aktifitas kuliah hingga informan

membeberkan cerita dari masa kecil hingga dewasa dan menceritakan problematika hidup

merantau.

1. Lokasi Penelitian

Page 15: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

Penelitian dilakukan dengan mengambil setting tempat di Babarsari, Depok, Sleman,

DIY. Alasan utama lokasi ini dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah terkait kemudahan akses

melakukan penelitian di lokasi ini. Alasan lain yang tak kalah penting adalah Babarsari

merupakan daerah yang banyak dijadikan pilihan sebagai tempat tinggal para mahasiswa asal

Papua karena keterikatan persaudaraan yang sama-sama berasal dari Papua yang sering dijuluki

“kaka.” Selain itu, banyak Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta yang terletak di Babarsari, di

antaranya Universitas Atma Jaya, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Sekolah Tinggi

Teknologi Nasional (STTNAS), Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir “BATAN”, Politeknik “API”,

Stikes Wirausaha dan Universitas Proklamasi ’45.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhitung sejak 1 Februari 2017 sampai dengan 22 Februari 2017

(3 minggu). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan riset di Babarsari dengan bertemu secara

tatap muka dengan informan sebanyak 2-3 kali per orang dengan mengikuti informan baik di

sela-sela waktu kuliah, rapat ataupun nongkrong.

3. Pemilihan Informan

Informan yang dilibatkan pada penelitian ini adalah mahasiswa yang berasal dari Papua

yang sedang menempuh kuliah yang berdomisili di daerah Babarsari. Mahasiswa yang menjadi

informan dibagi lagi menjadi mahasiswa yang bervariasi menurut kategori mahasiswa Papua

“Pegunungan dan Pesisir”, sehingga dapat dikomparasikan bagaimana mahasiswa Papua

pegunungan dan pesisir. Selain itu peneliti juga meneliti informan yang berjenis kelamin

perempuan sehingga dapat memperoleh informasi bagaimana peran perempuan.

Deskripsi Subjek Penelitian Informan dalam penelitian ini terbagi berdasarkan asal

wilayah mahasiswa Papua. Dari 6 informan yang didapatkan, 4 berasal dari Universitas Atma

Page 16: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

Jaya dan 2 dari STTNAS (Sekolah Tinggi Teknik Nasional). Jenis kelamin informan juga

meliputi 3 laki-laki dan 3 perempuan. Peneliti mencari informan yang mempunyai latar belakang

asal yang berbeda supaya mendapatkan variasi data.

1. Natalina Magay

Natalina Magay mempunyai nama panggilan Nata. Ia merupakan mahasiswi Manajemen

angkatan 2012 Universitas Atmajaya Yogyakarta. Saat ini Nata berusia 23 tahun. Nata berasal

dari Puncak Ilaga dan besar di Timika. Nata merupakan anak pertama dari 3 bersaudara.

Ayahnya bekerja sebagai karyawan swasta dan ibunya menjadi ibu rumah tangga. Sebelum

kuliah di Atma Jaya, ia sudah merantau dan bersekolah di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Jadi,

pada saat menjadi mahasiswi Nata tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar

dan budaya Jogja karena ia sudah banyak belajar pada saat ia duduk di bangku SMA. Pada saat

ia duduk di bangku SMA ini merasa sedikit kesulitan berkomunikasi dalam Bahasa meskipun

bahasa yang digunakan sama-sama bahasa Indonesia. Saat ini Nata tinggal di kos-kosan yang

beralamat di Purikartan, Jalan Tambakbayan, Babarsari. Beberapa orang Papua juga tinggal di

kos ditempat yang sama dengan Nata karena bapak kosnya merupakan seorang pensiunan

Freeport sehingga tidak keberatan dengan adanya anak kos yang berasal dari Papua.

2. Dinar Michi Judith Anthoniette

Infoman kedua mempunyai nama panggilan yaitu Michi. Michi lahir dan besar di

Manokwari, Papua Barat. Sejak lahir hingga SMA kelas 1 ia tinggal di Manokwari. Karena

Michi mengikuti program pembinaan beasiswa lanjutan, ia kemudian pindah SMA di Jakarta

hingga kelas 3 semester 1 kemudian ia kembali lagi untuk mengikuti UN di Manokwari. Saat ini

Michi menjadi mahasiswi Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta semester 8. Saat ini

Michi berusia 21 tahun. Ia memilih Jogja sebagai kota untuk melanjutkan pendidikannya karena

Page 17: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

Jogjakarta mempunyai image sebagai kota pendidikan. Selain itu kakak Michi juga sudah

terlebih dahulu mengenyam pendidikan di UKDW sehingga Michi juga tertarik untuk mengikuti

sang kakak kuliah di Jogja. Saat ini Michi tinggal di Jalan Tambakbayan 5 Babarsari. Ada yang

menarik dari penampilan fisik Michi. Ia berasal dari keturunan Papua dan Jepang. Ayahnya

berasal dari Papua dan ibunya merupakan orang Jepang sehingga secara fisik ia tidak Nampak

seperti orang-orang Papua. Pada saat ia mencari kost juga tidak mendapatkan pengalaman buruk

seperti teman-temannya yang banyak ditolak oleh beberapa kos karena ia berasal dari Papua.

3. Enzo Schivo Mumbay

Informan yang ketiga mempunyai nama panggilan Enzo. Usia Enzo saat ini 21 tahun. Enzo

berasal dari Serui yang merupakan Kabupaten Yapen. Saat ini Enzo menempuh pendidikan di

Atma Jaya Jogjakarta Fakultas Teknik Sipil semester 8. Enzo saat ini tinggal di kos-kosan yang

beralamat di Jalan Dirgantara no 3 Babarsari. Untuk mendapatkan kos-kosan di daerah babarsari

cukup sulit bagi Enzo. Ia sudah ditolak oleh beberapa kos-kosan karena ia berasal dari Papua.

Ketika ia menyambangi kos-kosan yang berada di sekitar kampusnya, ia meliha bahwa ada plang

yang menyatakan bahwa ada kama kosong. Setelah itu dia bertanya kepada pemilik kos dan

pemilik kos menyatakan bahwa kos penuh dan sudah di booking. Akhirnya ia mendapatkan kos

meskipun dengan harga yang sangat tinggi (dinaikkan Rp 200.000 dibandingkan kamar lain).

Enzo memilih Jogjakarta sebagai kota untuk melanjutkan pendidikannya karena memang ia

bercita-cita merantau sejak kecil dan terpesona dengan keindahan yang ditawarkan kota Jogja

sehingga selepas ia menyelesaikan sekolah menengahnya ia langsung menuju Jogjakarta. Enzo

merupakan anak kedua dari 3 bersaudara.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

4. Danny Jarfi

Informan yang keempat mempunyai nama panggilan Danny. Ia berasal dari Wamena

namun besar di Sorong. Danny adalah ketua KOMAPA (Komunitas Papua) Universitas Atma

Jaya Yogyakarta pada periode saat ini yaitu periode 2016/2017. Danny merupakan mahasiswa

Teknik Sipil Atma Jaya semester 4. Ia memilih Jogjakarta sebagai tempat kuliah karena ayahnya

dahulu kuliah di UNY sehingga Danny juga mempunyai keinginan untuk merantau. Pada

awalnya ia ingin masuk STTNAS namun karena menyadari bahwa STTNAS 80 persen

mahasiswanya berasal dari Timur, ia memutuskan untuk mendaftar kuliah di Universitas Atma

Jaya. Saat ini Danny berusia 19 tahun. Ia saat ini tinggal di kos-kosan yang beralamat di Jalan

Babarsari Tambakbayan 5. Sama dengan Enzo, ia juga mengalami perlakuan tidak

menyenangkan selama ia mencari tempat tinggal ketika ia sampai di Jogja. Ia menghabiskan 6

hari untuk berkeliling mencari kos namun ia juga ditolak di banyak tempat karena ia merupakan

mahasiswa yang berasal dari Papua. Dari pengalaman tidak menyenangkan tersebut ia hanya bisa

sabar karena ia menyadari bahwa ia merupakan pendatang. Danny merupakan anak pertama dari

3 bersaudara sedangkan ayahnya merupakan seorang guru.

5. Silvana Leonora Mandowen

Informan yang kelima mempunyai panggilan Kessy. Kessy berasal dari Biak namun ia

besar di Jayapura. Kessy merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai

PNS dan ibunya menjadi ibu rumah tangga. Saat ini Kessy menempuh pendidikan di STTNAS

jurusan Teknik Sipil. Ia merupakan wakil ketua IMTP (Ikatan Mahasiswa Tanah Papua)

STTNAS periode 2016/2017. Ia bercita-cita sejak dulu bisa melanjutkan pendidikan di

Jogjakarta. Sebelum tinggal di Yogyakarta, ia membayangkan bahwa Yogyakarta merupakan

kota yang sangat indah dan budaya yang disajikan merupakan budaya yang unik. Kessy saat ini

Page 19: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

tinggal di Jalan Lawu Raya nomor 4. Saat in Kessy tinggal sendiri karena ia mengontrak sebuah

rumah jika kedua orang tuanya berkunjung ada tempat untuk singgah. Pada awal kuliah ia

mencari kontrakan sekitar kampus namun tidak ada yang mau menerima dirinya karena ia

berasal dari Papua. Ketika ada ibu-ibu yang sedang berkumpul, Kessy bertanya apakah ada

rumah yang dikontrakkan, salah satu ibu menjawab ada, namun setelah beberapa saat kedua ibu

itu berpandangan dan tiba-tiba menjawab bahwa rumahnya sudah dipesan oleh orang lain.

Kemudian Kessy mendapatkan di daerah Seturan.

6. Yohtam Agustinus Marani

Informan yang terakhir mempunyai panggilan Yohtam. Yohtam menjadi mahasiswa di

STTNAS Jurusan Teknik Mesin. Saat ini Yohtam menjalani kuliah semester 8. Yohtam berasal

dari Serui dan tinggal dan besar di Jayapura. Saat ini ia tinggal di kontrakan di Babarsari

bersama dengan teman-temannya lintas suku. Ia juga merasakan penolakan seperti halnya

dengan informan lainnya yakni ditolak dibeberapa kos-kosan karena ia berasal dari Papua.

Penelitian ini dimulai pada tanggal 1 Februari 2017, penelitian ini dimulai pada saat

peneliti mengurus ijin penelitian dari fakultas, kemudian Desa Caturtunggal, Padukuhan

Tambakbayan baru kemudian satu minggu kemudian pada saat keperluan administrasi sudah

lengkap, peneliti mendatangi informan pertama yang bernama Nata. Pertemuan pertama cukup

singkat hanya sekitar 60 menit dan berlokasi di Perpustakaan UAJY. Hari kedua, pertemuan

dengan Enzo (perkenalan dengan Nata) dan masih bertempat di Perpustakaan UAJY. Kemudian

pertemuan berikutnya dengan para informan yang lain masih terkesan formal karena pertemuan

yang pertama rata-rata bertempat di kampus masing-masing informan. Setelah minggu kedua,

barulah informan mencoba mengikuti aktifitas yang dilakukan oleh para informan, ada yang di

kos, ada yang di tempat makan dan ada pula yang bertempat di gereja. Pertemuan peneliti

Page 20: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

dengan informan ada yang dua kali dan ada yang tiga kali. Semua informan bersikap ramah dan

terbuka terhadap peneliti, sehingga peneliti tidak merasakan ketakutan apapun meskipun pada

awalnya tidak ada yang kenal. Hambatan yang dirasakan selama terjun ke lapangan, para

iforman kerap kali mendadak membatalkan informasi dan beberapa kali informan yang sibuk

sulit ditemui sehingga waktu penelitian menjadi terulur.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu antara pewawancara dan yang

diwawancarai. Maksud dari wawancara diantaranya adalah untuk mengkonstruksi mengenai

orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain

(Moleong, 2001). Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan

yang akan diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara dimana

pewawanacara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Sutopo 2006:

72). Menurut Moloeng (2005: 186), wawancara mendalam merupakan proses menggali

informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan

diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini, metode wawancara mendalam yang dilakukan

dengan adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam penelitian ini,

untuk mendapatkan data yang akurat, peneliti akan melakukan dokumentasi berupa perekaman

suara dengan tujuan mempermudah proses analisis data.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

Para informan adalah orang atau pihak yang karena posisi struktural dan sosialnya

dianggap mewakili kelompok yang relevan untuk menjawab pertanyaan. Peneliti mewawancarai

Ketua KOMAPA (Komunitas Mahasiswa Papua) UAJY dan Wakil ketua IMTP (Ikatan

Mahasiswa Tanah Papua) STTNAS. Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih mendalam

mengenai komunitas yang ada, teknik ini dirasa perlu untuk digunakan dalam mendapatkan

informan. Pada awalnya peneliti merasa kesulitan dalam mendapatkan akses ke Ketua KOMAPA

yang bernama Danny. Karena pada bulan Februari merupakan bulan yang padat bagi tahun

ajaran baru semester genap, belum lagi Danny merupakan mahasiswa Teknik Sipil yang sangat

disibukkan dengan kegiatan kampus dan kegiatan non kampus. Untuk mendapatkan waktu yang

tepat untuk bertemu saja, setelah melalui perundingan untuk menentukan tanggal dan kapan bisa

bertemu, tiba-tiba Danny membatalkan sebanyak 3 kali. Semula peneliti ingin mewawancarai

ketua IMTP (Ikatan Mahasiswa Tanah Papua) STTNAS, namun karena yang bersangkutan harus

melakukan tugas akhir dan tidak berada di Jogja untuk waktu yang sangat panjang maka peneliti

memutuskan untuk mengganti informan menjadi wakil IMTP yang kebetulan sedang berdomisili

di Jogja (karena dalam kalender akademik STTNAS bulan Januari-Maret merupakan masa libur

semester). Peneliti berhasil mendapatkan kontak person dari wakil IMTP yang bernama Silvy.

Hambatan yang ditemui sama dengan Danny, karena kesibukan yang ada dan kesulitan untuk

bertemu namun pada akhirnya Silvy bisa ditemui di sela-sela rapat IMTP. Pada akhirnya karena

informan yang peneliti butuhkan sangat susah ditemui, peneliti mencari informan lain yang cara

mendapatkannya menggunakan teknik snowball. Snowball adalah teknik mendapatkan informan

melalui rekomendasi dari informan sebelumnya untuk mendapatkan informasi mendalam

mengenai topik atau isu tertentu. Ibarat bola salju yang menggelinding semakin lama semakin

besar (Sugiyono, 2010). Dalam penggunaan teknik ini, pada mulanya peneliti mendapatkan akses

Page 22: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

dari senior SMA penelti yang merupakan orang yang berasal dari Papua asli bernama Nata.

Pengetahuan Nata mengenai Papua sangat luas karena pada tahun 2015 ia menjadi perwakilan 10

besar Putri Indonesia Papua dan banyak kegiatan sosial lainnya. Proses bertemu dengan

informan tidak terlalu sulit karena Nata tidak terlalu sibuk. Setelah bertemu tiga kali, peneliti

mendapatkan jaringan dari Nata untuk dapat bertemu dengan informan yang lain yang bernama

Michi dan Enzo. Proses bertemu dengan kedua informan yang lain juga dilakukan melewati

komunikasi media sosial dan bertatap muka tiga kali di kampus dan di rumah makan. Untuk

informan yang didapatkan menggunakan snowball tidak begitu sulit untuk ditemui jika

dibandingkan dengan informan yang didapatkan menggunakan teknik purposive.

b. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang

tampak pada objek penelitian pengamatan dan pencatatan ini dilakukan terhadap objek di tempat

terjadi dan atau berlangsungnya peristiwa (Margono, 2007). Dalam sebuah penelitian kualitatif,

peran observasi juga memiliki tempat yang cukup penting guna melengkapi data yang berasal

dari wawancara. Penelitian ini akan dilakukan dengan observasi, setting tempat yang akan

dilakukan observasi meliputi daerah Babarsari, Kecamatan Depok Sleman. Observasi ini

sekaligus dapat menguatkan apabila data yang diperoleh dari informan kurang lengkap mengenai

informasi yang disampaikan dan memungkinkan peneliti untuk mencatat setiap perilaku dan

kejadian tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jika dijabarkan alasan secara

metodologis bagi penggunaan pengamatan (observasi) adalah bahwa pengamatan

mengoptimalkan kemampuan penelitian dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tidak

sadar, kebiasaan, pengamatan juga memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana

yang dilihat oleh subyek penelitian; pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang

Page 23: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114144/potongan/S1-2017... · Papua dengan masyarakat kampung Babarsari. Hal ini menarik untuk dikaji karena

dirasakan oleh subyek; dan pada akhirnya pengamatan memungkinkan pembentukan

pengetahuan yang diketahui bersama baik dari pihak pengamat maupun dari pihak subyeknya

(Moleong, 2001). Dalam hal penelitian ini, peneliti dapat menjaring informasi yang lebih detail

karena peneliti memanfaatkan semua panca indra (Moleong,2001). Apabila data yang diperoleh

dari informan dirasa masih kurang, maka data-data pendukung juga dapat diperoleh melalui

sumber lain seperti penelusuran dokumen, artikel, buku, jurnal, dan sumber pendukung lainnya.