BAB I PENDAHULUAN - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/66068/2/BAB_I.pdf · Latar Belakang...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk baik alami maupun non alami pasti terjadi di setiap wilayah, terutama di wilayah perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk yang disebabkan oleh faktor fertilitas maupun mobilitas penduduk tidak mungkin dihindari dan hanya dapat dikendalikan. Pembangunan fisik sebagai implikasi pertumbuhan penduduk tidak terelakkan karena dorongan kebutuhan, seperti pembangunan kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan dan jasa, serta sarana prasarana penunjang aktivitas penduduk seperti jalan, terminal, pelabuhan, bandara dan sebagainya (Hadi, 2013:177). Kebutuhan penduduk akan ruang untuk tempat tinggal, beraktivitas, dan penunjang aktivitas senantiasa meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah. Kebutuhan tempat tinggal sebagai salah satu kebutuhan dasar penduduk setelah pangan dan sandang merupakan hal kritis yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Perkembangan penggunaan lahan menunjukkan peningkatan kebutuhan manusia, terutama kebutuhan primer untuk membangun rumah. Saat ini, penyediaan perumahan telah menjadi proyek bisnis potensial (Widodo et al., 2015:520). Peningkatan kebutuhan tempat tinggal tersebut mendorong bermunculannya perumahan yang disediakan oleh pengembang perumahan. Perubahan penggunaan lahan tidak dapat dipungkiri terjadi di setiap jengkal wilayah kota, merubah kawasan yang semula kawasan lingkungan hidup alamiah menjadi lingkungan binaan. Kawasan pertanian tergeser menjadi kawasan perumahan, demikian pula halnya dengan kawasan-kawasan hijau. Implikasi negatif dari tumbuhnya lingkungan binaan harus dihindari agar kualitas hidup manusia didalamnya dapat terjaga dengan baik. Lingkungan binaan yang tumbuh dan aktivitas manusia yang berkembang di lingkungan binaan tersebut tentu saja memberikan efek bagi manusia yang hidup didalamnya. Efek dari lingkungan binaan diantaranya dampak fisik (seperti polusi), dampak spesifikasi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/66068/2/BAB_I.pdf · Latar Belakang...

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk baik alami maupun non alami pasti terjadi di setiap

wilayah, terutama di wilayah perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk yang

disebabkan oleh faktor fertilitas maupun mobilitas penduduk tidak mungkin

dihindari dan hanya dapat dikendalikan. Pembangunan fisik sebagai implikasi

pertumbuhan penduduk tidak terelakkan karena dorongan kebutuhan, seperti

pembangunan kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan dan

jasa, serta sarana prasarana penunjang aktivitas penduduk seperti jalan, terminal,

pelabuhan, bandara dan sebagainya (Hadi, 2013:177). Kebutuhan penduduk akan

ruang untuk tempat tinggal, beraktivitas, dan penunjang aktivitas senantiasa

meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah.

Kebutuhan tempat tinggal sebagai salah satu kebutuhan dasar penduduk

setelah pangan dan sandang merupakan hal kritis yang harus dipenuhi oleh

pemerintah. Perkembangan penggunaan lahan menunjukkan peningkatan

kebutuhan manusia, terutama kebutuhan primer untuk membangun rumah. Saat ini,

penyediaan perumahan telah menjadi proyek bisnis potensial (Widodo et al.,

2015:520). Peningkatan kebutuhan tempat tinggal tersebut mendorong

bermunculannya perumahan yang disediakan oleh pengembang perumahan.

Perubahan penggunaan lahan tidak dapat dipungkiri terjadi di setiap jengkal

wilayah kota, merubah kawasan yang semula kawasan lingkungan hidup alamiah

menjadi lingkungan binaan. Kawasan pertanian tergeser menjadi kawasan

perumahan, demikian pula halnya dengan kawasan-kawasan hijau.

Implikasi negatif dari tumbuhnya lingkungan binaan harus dihindari agar

kualitas hidup manusia didalamnya dapat terjaga dengan baik. Lingkungan binaan

yang tumbuh dan aktivitas manusia yang berkembang di lingkungan binaan tersebut

tentu saja memberikan efek bagi manusia yang hidup didalamnya. Efek dari

lingkungan binaan diantaranya dampak fisik (seperti polusi), dampak spesifikasi

2

lingkungan (seperti stress dan kohesi) serta dampak estetika dan kultural (Hadi,

2013:167-173).

Oleh karena itu, arah pembangunan tidak hanya tertuju pada percepatan

pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup manusia melalui

penyeimbangan antara pembangunan dan lingkungan hidup. Pembangunan di suatu

wilayah haruslah senantiasa mempertimbangkan kondisi sosial penduduk dan aspek

lingkungan hidup atau yang saat ini dikenal dengan istilah pembangunan

berkelanjutan. Di dunia yang semakin urban, kebutuhan akan perkembangan kota

dan pemukiman yang berkelanjutan menjadi penting (Smeddle-Thompson,

2012:7).

Agenda Global Permukiman 2009 telah mulai memberikan perhatian pada

pentingnya efektivitas perencanaan kota sebagai alat untuk menghadapi tantangan

kota di abad 21, perhatian terhadap keterkaitan antara kependudukan, pembangunan

dan lingkungan mulai meningkat. Pertambahan penduduk yang cepat mendorong

para perencana pembangunan mulai memperhatikan keterkaitan antara

kependudukan dan lingkungan dalam proses pembangunan berkelanjutan.

Termasuk didalamnya adalah perencanaan tata ruang strategis, penggunaan

perencanaan tata ruang untuk mengintegrasikan fungsi sektor publik, pendekatan

baru manajeman dan regulasi lahan, proses kemitraan partisipatif di tingkat

masyarakat, serta perencanaan bentuk tata ruang yang lebih berkelanjutan seperti

kota kompak dan perkotaan baru (UN-Habitat, 2009:vi).

Penerapan konsep pembangunan kota berkelanjutan dimulai pada awal 1990-

an, diawali Konferensi UNCED tentang Pembangunan dan Lingkungan Hidup pada

tahun 1992, dan UNCHS ke-15 di Jakarta tahun 1995, yang mengidentifikasi

langkah-langkah penting pembangunan berkelanjutan untuk permukiman manusia.

Komisi tersebut menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya cara

baru untuk perlindungan lingkungan, tetapi merupakan 'konsep baru pertumbuhan

ekonomi yang menjamin keadilan dan kesempatan bagi semua orang di dunia tanpa

menghancurkan sumber daya alam dan tanpa mengurangi daya dukung dunia'.

Pada tahun 1996, UNCHS atau UN-Habitat memperluas konsep pembangunan

3

berkelanjutan untuk perencanaan kota. bahwa 'Perencanaan permukiman berperan

penting untuk memastikan manajemen dan pembangunan perkotaan mencapai

tujuan pembangunan berkelanjutan’ (UN-Habitat, 2009:113).

Menurut Tjiptoherijanto (2009:1), “Pembangunan berkelanjutan merupakan

suatu proses pembangunan yang secara berkelanjutan mengoptimalkan manfaat

dari sumber alam dan sumberdaya manusia dengan cara menyerasikan aktivitas

manusia sesuai dengan kemampuan sumber alam yang tersedia”. Semua tindakan

perencanaan pembangunan seharusnya memusatkan pada penduduk. Karena

pembangunan adalah oleh, untuk, dan bagi kesejahteraan masyarakat. Penduduk

adalah penggerak roda pembangunan. Pembangunan berkelanjutan tanpa

memperhatikan aspek manusia, bagaikan sebuah mobil yang lupa memperhatikan

komponen mesin (Ariyani, 2015:1).

Konsep pembangunan berkelanjutan pada awalnya dipahami sebagai istilah

yang paling relevan dengan pembangunan ekonomi makro. Choguill (2007:143-

144) menyatakan bahwa kualitas permukiman manusia baru-baru ini mulai

diperhatikan. Konsep permukiman berkelanjutan dimulai terutama di sektor

perumahan di kawasan perkotaan. Hal itu disebabkan karena besarnya laju

urbanisasi dan perluasan wilayah pemukiman. Pada kenyataannya, di kota-kota

inilah penggunaan sumber daya yang terbesar dan sebagian besar produk limbah

(polusi) dihasilkan.

Salah satu tujuan SDGs, yaitu tujuan yang ke-11 berkaitan dengan kota dan

permukiman manusia, juga menekankan pentingnya mengurangi dampak

lingkungan kota yang merugikan (IISD, 2016:35). Permukiman berkelanjutan

memiliki dua dimensi utama, pertama terkait dengan hubungan antara lingkungan

terbangun dan lansekap alam. Kedua, tingkat kualitas permukiman (CSIR, 2005:5).

Menurut Kenworthy (2006:69-77) prinsip-prinsip desain perkotaan yang

berkelanjutan perlu dilakukan jika kita menginginkan kota yang berkualitas tinggi.

Pembangunan kota berkelanjutan yang berbasis ekologis merupakan prioritas

mendesak dan tantangan global. Dalam kerangka ini bentuk penggunaan ruang

4

campuran yang kompak sangat penting untuk memastikan bahwa kota melindungi

dan meningkatkan ruang hijau, termasuk daerah alami dan daerah penghasil

makanan. Ruang publik yang berkualitas dan prinsip-prinsip desain perkotaan yang

berkelanjutan perlu diterapkan. Pertumbuhan ekonomi ditekankan pada kreativitas

dan inovasi yang memperkuat lingkungan, fasilitas sosial dan budaya kota.

Konsep pembangunan berkelanjutan sebagai upaya mengintegrasikan

kebutuhan pembangunan dengan pentingnya melindungi lingkungan. Sebagaimana

diungkapkan Zaccaï (1999:75), karakteristik pembangunan berkelanjutan

diantaranya adalah menempatkan permasalahan lingkungan sebagai penyebab

utama krisis pembangunan saat ini, penggunaan pendekatan multisektoral (sosial,

ekonomi, dan lingkungan) dan multidimensional (lokal dan global), perlindungan

lingkungan sebagai bagian integral dari proses pembangunan, merencanakan secara

adil kebutuhan pembangunan dan lingkungan generasi sekarang dan masa depan,

perubahan kesadaran (nilai, pendidikan) dan etika (dalam hubungan dengan alam

pada khususnya) sebagai prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan, serta

keterlibatan sektor swasta dan publik di semua tingkat.

Konsep kota yang berkelanjutan berkaitan erat dengan pembangunan

ekonomi, perlindungan sumber daya dan lingkungan, yang pada gilirannya

mengarah pada pencapaian kualitas hidup minimal yang dapat diterima (Choguill,

2007:144). Serta perlu ada upaya terus-menerus mengatasi isu polusi udara,

kemacetan, populasi manusia dan ketersediaan ruang terbuka hijau. Kota yang kuat,

sehat, dan dapat ditinggali (layak huni) bergantung pada lingkungan yang sehat,

ekonomi yang kuat dan kesempatan kerja yang memadai bagi warganya (Katju,

2000:1).

Pembangunan perumahan sebagai salah satu perwujudan lingkungan binaan

merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan

serta kesejahteraan umum sehingga perlu dikembangkan secara terpadu, terarah,

terencana serta berkelanjutan/ berkesinambungan (SNI 03-1733-2004). Pada poin

c ketentuan umum disebutkan bahwa untuk mengarahkan pengaturan pembangunan

lingkungan perumahan yang sehat, aman, serasi secara teratur, terarah serta

5

berkelanjutan/berkesinambungan, harus memenuhi persyaratan administrasi, teknis

dan ekologis, setiap rencana pembangunan rumah atau perumahan, baik yang

dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha perumahan.

Kebijakan perumahan harus diarahkan untuk mencapai tujuan pengembangan

perumahan berkelanjutan. Pernyataan Tolba sebagaimana dikutip Choguill

(2007:145), perumahan berkelanjutan dapat dicapai apabila 4 (empat) kriteria

terpenuhi, yaitu layak secara ekonomi, dapat diterima secara sosial, layak secara

teknis dan ramah lingkungan. Tujuan yang hendak dicapai atau dipenuhi dalam

konsep ‘sustainable housing’ terutama pada kegiatan pembangunan kawasan

perumahan di lingkungan perkotaan, yaitu: (a) penataan kawasan perumahan yang

memperhatikan masalah-masalah perkotaan yang muncul, (b) penataan kawasan

perumahan yang memperhatikan aspek keberlanjutan ekologis, (c) perlunya

mempertahankan daya dukung ‘lingkungan hidup’ (ekologis) bagi kawasan

perumahan di perkotaan, (d) perlunya peningkatan kualitas hidup yang lebih baik

bagi masyarakat kawasan perkotaan terutama dari segi ekologis, (e) perlunya upaya

penurunan emisi karbon dan pengurangan berbagai bentuk polusi di kawasan

perumahan di perkotaan, (f) penggunaan teknologi pada bangunan guna

mendukung kenyamanan penghunian, (g) penggunaan bahan bangunan yang dapat

didaur-ulang sehingga hemat bahan, serta (h) penggunaan teknologi bangunan guna

menghemat energi yang digunakan (Pawitro, 2012:1-5)

Upaya pemerintah untuk mengakomodir pemenuhan permukiman

berkelanjutan seperti tersebut di atas adalah melalui pengembangan Ruang Terbuka

Hijau (RTH). Ruang terbuka hijau perkotaan merupakan salah satu unsur penting

pembentuk kota yang layak huni (Jim & Chen, 2003:95). Pada prinsipnya, RTH

dimaksudkan untuk menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun

di perkotaan, seperti penurunan tingkat peresapan air, peningkatan temperatur udara

dan kelembaban udara, polusi, dan lain sebagainya (Nirwono dan Ismaun, 2011:21-

22; Hasni, 2016:168).

Implikasi negatif tumbuhnya lingkungan binaan dapat diminimalisasi dengan

penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH skala lingkungan dapat memenuhi

6

kebutuhan sehari-hari masyarakat untuk kontak dengan alam. Sebagai ruang publik,

RTH skala lingkungan dapat sebagai tempat pertemuan informal bagi masyarakat.

Lokasi dan sarana yang nyaman dapat dirancang bagi orang untuk bertemu dan

berkomunikasi dengan penduduk lainnya. Bahkan, tempat-tempat ini mungkin

menjadi pengingat nyata tentang masa kanak-kanak dan kehidupan masyarakat,

tanaman memainkan peran kunci dalam menempa perasaan masyarakat (Jim &

Chen, 2003: 103).

Menurut pendapat Jim dan Chen (2003:103), ruang publik dengan pohon-

pohon dari spesies tertentu dapat menyajikan pemandangan yang menarik dan

berfungsi sebagai simbol citra suatu kawasan. Nilai kelayakan lingkungan

dipengaruhi oleh nilai kelayakan lingkungan perumahan sebagai tempat tinggal

keluarga. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan perumahan yang seringkali kita sebut

sebagai taman lingkungan berfungsi sebagai wadah untuk tempat rekreasi atau kegiatan

sosial lainnya (Mulyawan, 2015:14). Tanaman terutama pohon di kota dapat

memperbaiki lingkungan dengan melindungi, mencegat polutan, mengurangi

kebisingan, menyerap karbondioksida dan memproduksi oksigen. Pada skala

lingkungan, pohon dapat mengurangi konsumsi energi bangunan karena efek

pendinginan dan penahan angin (Jim & Chen, 2003:103).

Beberapa tantangan tipikal perkotaan berkaitan dengan RTH secara umum

menurut Prihartini, dkk (2013:10-11) dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu sosial,

ekonomi, dan lingkungan. Dilihat dari aspek sosial, rendahnya kualitas lingkungan

perumahan dan penyediaan ruang terbuka publik menyebabkan kondisi mental dan

kualitas sosial masyarakat yang semakin buruk dan tertekan yang berakibat pada

perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan

destruktif seperti kriminalitas dan vandalisme. Kurangnya ruang terbuka di

perkotaan untuk menyalurkan kebutuhan interaksi sosial sebagai pelepas

ketegangan masyarakat secara tidak langsung menjadi penyebab tingginya tingkat

kriminalitas dan konflik horizontal diantara kelompok masyarakat. Dilihat dari

aspek ekonomi, terganggunya sistem tata air sebagai akibat terbatasnya daerah

resapan air menyebabkan tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor. Hal

7

tersebut menyebabkan penurunan tingkat produktivitas masyarakat di perkotaan.

Bencana yang banyak terjadi seperti banjir, longsor, krisis air tanah, rendahnya

kualitas air tanah, polusi udara yang tinggi, kebisingan, peningkatan suhu di

wilayah perkotaan merupakan permasalahan lingkungan yang secara langsung

maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis (Haeruman

dalam Prihartini dkk, 2013:10; Joga, Nirwono dan Ismaun, 2011:87).

Berbagai bencana terjadi sebagai akibat perubahan peruntukan zona hijau

menjadi lahan terbangun sebagaimana dilansir dalam tulisan Sudharto P. Hadi di

harian Suara Merdeka tanggal 22 April 2017. Perubahan peruntukan lahan

menyebabkan kemerosotan daya dukung lingkungan, karena memicu terjadinya air

larian dan menggelontorkan sedimentasi. Akibatnya, terjadi berbagai bencana

seperti banjir di Mangunharjo dan Mangkang Wetan Kecamatan Tugu Semarang;

banjir di sepanjang DAS Bengawan Solo yang mencakup Sukoharjo, Solo, dan

Sragen; banjir di kota dan kabupaten sepanjang DAS Ciliwung dan Cimanuk; banjir

dan longsor di Bukit Tiga Puluh Jambi; dan peristiwa longsor di Banjarnegara dan

Ponorogo.

Namun demikian, Dwihatmojo (2010:3) menyatakan keberadaan RTH

semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan manfaatnya karena kekuatan pasar

yang dominan merubah fungsi lahan tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa

keberadaan RTH jauh dari proporsi ideal. Tata ruang yang diharapkan dapat

mengakomodasi seakan tidak berdaya menahan mekanisme pasar. Peningkatan

kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya menyebabkan ruang

terbuka hijau alih fungsi lahan menjadi kawasan terbangun (Antara dkk, 2009:3),

seperti infrastruktur perkotaan dan kawasan permukiman baru (Dwihatmojo, 2010:1),

serta kawasan industri (Mulyawan, 2015:9).

Salah satu peran yang dimiliki pemerintah adalah peran regulasi. Regulasi

digunakan pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi beberapa isu penting yang

mendesak untuk diselesaikan, salah satunya adalah kualitas lingkungan hidup

(Jacobs, 2006:13). Sebagai langkah pengendalian pertumbuhan lingkungan binaan

yang selaras dengan lingkungan alamiah, pemerintah merumuskan kebijakan-

8

kebijakan diantaranya: (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dimana didalamnya termaktub Pasal 28 huruf a yang berisi

ketentuan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kota harus memuat rencana

penyediaan dan pemanfaatan RTH serta Pasal 29 ayat 1, 2, dan 3 yang memuat

aturan proporsi RTH paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari wilayah kota dan

proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari

luas wilayah kota. (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tertulis pada Pasal 57

ayat (1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan salah satunya melalui

pencadangan sumber daya alam. Penjelasan pasal menyatakan bahwa untuk

melaksanakan pencadangan sumber daya alam, pemerintah, pemerintah provinsi,

atau pemerintah kabupaten/kota dan perseorangan dapat membangun ruang terbuka

hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luasan pulau/kepulauan.

Dalam rangka mewujudkan pembangunan perumahan dan pemukiman yang

berwawasan lingkungan, pemerintah diantaranya menerbitkan: (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman

dimana UU tersebut mengarahkan bahwa penataan perumahan dan pemukiman

berlandaskan pada azas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan,

kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan dan kelestarian lingkungan hidup. (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan

dan Kawasan Permukiman yang mengatur mengenai persyaratan perwujudan

lingkungan perumahan yang layak huni. (3) Permendagri Nomor 1 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang memuat tujuan

meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih

dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan. Serta menciptakan keserasian

lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi masyarakat banyak. (4)

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman

Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan yang

mengatur diantaranya ketentuan luas minimal penyediaan Ruang Terbuka Hijau di

wilayah perkotaan sebesar minimal 30% dari luas wilayah perkotaan, terdiri dari

9

20% RTH publik dan 10% RTH privat. (5) SNI 03-1733-2004 Tata Cara

Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan dimana didalamnya termaktub

bahwa perencanaan lingkungan perumahan harus mengacu pada RTRW setempat

dan dokumen rencana lainnya yang ditetapkan pemerintah kota/kabupaten. Selain

itu, terdapat pula aturan mengenai persyaratan dan kriteria sarana ruang terbuka

hijau. (6) Panduan Pelaksanaan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) 2011

dimana dinyatakan bahwa P2KH memiliki maksud dan tujuan mewujudkan 30%

dari wilayah kota sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai penjabaran amanat

UU Penataan Ruang sekaligus implementasi RTRW Kota/Kabupaten.

Mempertimbangkan peraturan perundangan di atas dan melihat arti

pentingnya keseimbangan antara lingkungan binaan dan lingkungan alamiah, maka

Pemerintah Kabupaten Kendal menerbitkan peraturan-peraturan yang mengatur

mengenai ketersediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Peraturan yang

dimaksudkan antara lain (1) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 20 Tahun 2011

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kendal Tahun 2011-2031 dimana

mengatur pada kawasan permukiman perkotaan ditetapkan luas RTH sebesar 30%

dari luas kawasan perkotaan dengan prosentase 20% RTH publik dan 10% RTH

privat serta terdapat pasal mengenai ketentuan kewajiban memperolah izin

pemanfaatan ruang bagi segala bentuk kegiatan dan pembangunan sarana dan

prasarana sesuai dengan RTRW. (2) Perda Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi

Perizinan Tertentu di Kabupaten Kendal yang diantaranya memuat mengenai

pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam kegiatan peninjauan desain dan

pemantauan pelaksanaan pembangunannya berpedoman pada rencana teknis

bangunan dan rencana tata ruang. (3) Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang Bangunan

Gedung di Kabupaten Kendal yang diantaranya memuat keterangan rencana kota

untuk lokasi rencana pembangunan gedung yang sekurang-kurangnya berisi

persyaratan pemenuhan Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimum yang diwajibkan.

Aturan mengenai penyediaan RTH kawasan perkotaan sebagaimana tersebut

di atas wajib untuk diaplikasikan dalam penataan ruang di kawasan perkotaan, salah

satunya di kawasan perumahan. RTH seringkali dianggap bukan merupakan

10

kebutuhan primer kota. Keberadaan RTH selalu menjadi bagian terkecil di dalam

suatu perumahan. Keberadaan RTH menurut banyak anggapan hanya bagian dari suatu

sistem keindahan dan estetika belaka.

Strategi Pemerintah Kabupaten Kendal dalam mengatur penyediaan RTH

kawasan perumahan di kawasan perkotaan dilakukan melalui mekanisme perijinan,

yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Syarat teknis dalam Standar Operasional

Prosedur (SOP) penerbitan IMB salah satunya yang harus dipenuhi adalah

dokumen siteplan yang didalamnya terdapat persyaratan minimal RTH privat yang

harus dipenuhi adalah sebesar 10% dari luasan kawasan perumahan. RTH pada

kawasan perumahan berdasarkan kriteria kepemilikan termasuk RTH privat karena

tidak dikelola oleh pemerintah daerah. Sesuai dengan Permendagri Nomor 9 Tahun

2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan

Permukiman di Daerah dan Peraturan Bupati Kendal Nomor 42 Tahun 2015 tentang

Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di

Kabupaten Kendal, RTH yang telah dibangun oleh pengembang perumahan harus

diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Kendal paling lambat satu tahun setelah

masa pemeliharaan.

Penyerahan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU) perumahan dari pengembang

kepada pemerintah daerah bertujuan untuk menjamin keberlanjutan pemeliharaan

dan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas di lingkungan perumahan. RTH

privat kawasan perumahan tersebut dengan sendirinya berubah kepemilikannya

menjadi milik pemerintah daerah, status RTH berubah dari RTH privat menjadi

RTH publik. Hal itu menimbang bahwa luasan RTH kawasan perkotaan Kabupaten

Kendal masih sangat minim bahkan jauh dari standar yang ditetapkan. Berdasarkan

dokumen Laporan Penyusunan Masterplan Ruang Terbuka Hijau Kabupaten

Kendal Tahun 2017, luas RTH kawasan perkotaan di Kabupaten Kendal hanya

sebesar 32,11 hektar atau sebesar 1,167% dari total luas 2.751 hektar kawasan

perkotaan Kabupaten Kendal.

Melalui mekanisme persyaratan teknis dalam perijinan IMB tersebut

diharapkan pertumbuhan luasan RTH kawasan perkotaan mengikuti pertumbuhan

11

perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal. Hasil penelitian Kristianova

(2016:1865-1867) menunjukkan penyediaan RTH di kawasan perumahan

seringkali dikalahkan oleh kepentingan sosial dan ekonomi, seperti pengembangan

perumahan itu sendiri (densifikasi) dan pengembangan fasilitas baik layanan

komersial (tempat parkir) dan kemasyarakatan (tempat ibadah), serta fasilitas

tambahan lain yang sebelumnya tidak direncanakan pada saat perencanaan

pembangunan perumahan. RTH kawasan perumahan kecenderungannya

dialokasikan pada lahan yang tidak memiliki nilai ekonomis, sehingga

keberadaannya menyebar dalam bentuk spot-spot pada lokasi yang tidak strategis.

Sebagian investor menganggap harga tanah yang harus dikorbankan para developer

untuk pengadaan RTH sangat riskan (Mulyawan, 2015:8). Anggapan ini harus

diubah, RTH dalam suatu kawasan berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan dan

justru akan menambah nilai eksternalitas kawasan yang berdampak pada harga riil

produk “rumah” yang semakin tinggi dan menjadi nilai tambah bagi suatu kawasan

(Lichtenberg et al., 2007:212).

Melihat fenomena tersebut, penelitian ini mengkaji bagaimana efektivitas

peraturan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam pemenuhan standar Ruang

Terbuka Hijau (RTH) privat kawasan perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten

Kendal. Melalui kajian efektivitas implementasi peraturan IMB tersebut,

diharapkan dapat diketahui tingkat efektivitas peraturan dan tata kelola

implementasi IMB di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal dalam upaya

pemenuhan standar RTH privat kawasan perumahan.

1.2. Perumusan Masalah

Ketentuan umum Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka

Hijau di Kawasan Perkotaan memberikan penjelasan yang dimaksud dengan RTH

privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang

pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman

rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Sedangkan RTH

12

publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah

kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Kawasan perkotaan di Kabupaten Kendal berdasarkan Perda Nomor 20 Tahun

2011 tentang RTRW Kabupaten Kendal Tahun 2011-2031 Pasal 6 ayat (2) meliputi

5 (lima) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kota Kendal, Kecamatan Weleri,

Kecamatan Kaliwungu, Kecamatan Boja, dan Kecamatan Sukorejo.

Berdasarkan Laporan Penyusunan Masterplan Ruang Terbuka Hijau

Kabupaten Kendal Tahun 2017, diperoleh data sebaran dan luasan RTH di kawasan

perkotaan Kabupaten Kendal sebagai berikut:

Tabel 1. Proporsi Luas Ruang Terbuka Hijau Kawasan PerkotaanKabupaten Kendal Tahun 2017

NO. KECAMATAN DESALUAS

WILAYAH(Ha)

STANDARLUAS RTHEKSISTING

(Ha)

KEBUTUHANRTH (Ha)

LUAS RTHPUBLIK (Ha)

20%

LUAS RTHPRIVAT (Ha)

10%

LUASRTH (Ha)

30%

1 Boja

Salamsari 247 49,4 24,7 74,1 9,69 39,71

Blimbing 378 75,6 37,8 113,4 17,46 58,14

Bebengan 424 84,8 42,4 127,2 9,98 74,82

Boja 367 73,4 36,7 110,1 30,93 42,47

Meteseh 755 151 75,5 226,5 22,92 128,08

Campurejo 327 65,4 32,7 98,1 15,25 50,15

Tampingan 194 38,8 19,4 58,2 18,53 20,27

JUMLAH 2.692 538,4 269,2 807,6 124,77 413,63

2 Sukorejo

Trimulyo 269 53,8 26,9 80,7 10,48 43,32

Kebumen 202 40,4 20,2 60,6 4,94 35,46

Sukorejo 299 59,8 29,9 89,7 8,80 51,00

Kalibogor 191 38,2 19,1 57,3 9,21 28,99

JUMLAH 961 192,2 96,1 288,3 33,43 158,77

3 Weleri

Ngasinan 103 20,6 10,3 30,9 5,65 14,95

Weleri 138 27,6 13,8 41,4 8,64 18,96

Nawangsari 71 14,2 7,1 21,3 5,40 8,80

Karangdowo 70 14 7 21 2,12 11,88

Penaruban 108 21,6 10,8 32,4 6,96 14,64

Penyangkringan 178 35,6 17,8 53,4 29,56 6.04

Sambongsari 383 76,6 38,3 114,9 46,84 29,76

JUMLAH 1.051 210,2 105,1 315,3 103,40 106,80

4 Kaliwungu Sarirejo 133 26,6 13,3 39,9 1,34 25,26

13

NO. KECAMATAN DESALUAS

WILAYAH(Ha)

STANDARLUAS RTHEKSISTING

(Ha)

KEBUTUHANRTH (Ha)

LUAS RTHPUBLIK (Ha)

20%

LUAS RTHPRIVAT (Ha)

10%

LUASRTH (Ha)

30%

Krajankulon 216 43,2 21,6 64,8 9,90 33,30

Kutoharjo 231 46,2 23,1 69,3 12,08 34,12

Nolokerto 519 103,8 51,9 155,7 38,31 65,49

Sumberejo 788 157,6 78,8 236,4 44,72 112,88

JUMLAH 1.887 377,4 188,7 566,1 106,35 271,05

5 Kendal

Sukodono 118 23,6 11,8 35,4 1,08 22,52

Candiroto 108 21,6 10,8 32,4 0,95 20,65

Trompo 93 18,6 9,3 27,9 0,87 17,73

Jotang 96 19,2 9,6 28,8 0,77 18,43

Tunggulrejo 39 7,8 3,9 11,7 0,05 7,75

Sijeruk 108 21,6 10,8 32,4 1,39 20,21

Jetis 56 11,2 5,6 16,8 0,06 11,14

Bugangin 68 13,6 6,8 20,4 2,06 11,54

Langenharjo 145 29 14,5 43,5 2,82 26,18

Kalibuntuwetan

303 60,6 30,3 90,9 3,42 57,18

Kebondalem 131 26,2 13,1 39,3 8,17 18,03

Ketapang 150 30 15 45 1,14 28,86

Banyutowo 305 61 30,5 91,5 1,83 59,17

Karangsari 403 80,6 40,3 120,9 2,71 77,89

Patukangan 13 2,6 1,3 3,9 0,35 2,25

Pegulon 23 4,6 2,3 6,9 1,02 3,58

Pekauman 36 7,2 3,6 10,8 0,47 6,73

Ngilir 105 21 10,5 31,5 1,80 19,20

Balok 254 50,8 25,4 76,2 0,33 50,47

Bandengan 197 39,4 19,7 59,1 0,83 38,57

JUMLAH 2.751 550,2 275,1 825,3 32,11 518,09

Sumber : Laporan Penyusunan Masterplan Ruang Terbuka Hijau Kabupaten Kendal (2017)

Berdasarkan data tersebut di atas, diketahui bahwa luas RTH eksisting di

kawasan perkotaan Kabupaten Kendal pada tahun 2017 sebesar 32,11 hektar dari

total luas 2.751 hektar kawasan perkotaan Kabupaten Kendal atau hanya sebesar

1,167%. Jumlah tersebut masih jauh dari standar proporsi RTH kawasan perkotaan

sebesar 30% dari luas wilayah kota sebagaimana diamanatkan Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan perundangan lain

yang terkait.

14

Salah satu strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kendal dalam

rangka optimalisasi pencapaian pemenuhan standar RTH tersebut adalah melalui

peran regulasi. Pengaturan penyediaan RTH kawasan perumahan di kawasan

perkotaan dilakukan melalui mekanisme perijinan, yaitu Izin Mendirikan Bangunan

(IMB). Dokumen siteplan sebagai salah satu syarat teknis dalam Standar

Operasional Prosedur (SOP) penerbitan IMB harus didalamnya terdapat

persyaratan minimal RTH privat yang harus dipenuhi adalah sebesar 10% dari luas

kawasan perumahan.

Berdasarkan Permendagri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman

Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah

dan Peraturan Bupati Kendal Nomor 42 Tahun 2015 tentang Penyerahan Prasarana,

Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Kabupaten Kendal Pasal 9,

RTH yang telah dibangun oleh pengembang perumahan tersebut harus diserahkan

kepada Pemerintah Kabupaten Kendal. Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas

(PSU) perumahan dari pengembang kepada pemerintah daerah bertujuan untuk

menjamin keberlanjutan pemeliharaan dan pengelolaan prasarana, sarana, dan

utilitas di lingkungan perumahan. RTH privat kawasan perumahan tersebut dengan

sendirinya berubah kepemilikannya menjadi milik pemerintah daerah, status RTH

berubah dari RTH privat menjadi RTH publik. Dengan demikian, diharapkan

implementasi peraturan ini dapat mendongkrak luasan RTH kawasan perkotaan di

Kabupaten Kendal yang masih jauh dari proporsi RTH kawasan perkotaan yang

dipersyaratkan dalam peraturan perundangan.

Beberapa permasalahan yang menjadi dasar dilaksanakannya penelitian ini

antara lain:

1. Bagaimana pemenuhan standar RTH privat 10% dari luas kawasan perumahan

di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal.

2. Bagaimana efektivitas implementasi peraturan IMB dalam pemenuhan standar

RTH privat kawasan perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal.

15

3. Bagaimana arahan strategi implementasi IMB yang tepat guna memenuhi

standar penyediaan RTH privat kawasan perumahan di kawasan perkotaan

Kabupaten Kendal.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas,

penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui tingkat pemenuhan standar RTH privat kawasan perumahan di

kawasan perkotaan Kabupaten Kendal.

2. Mengetahui efektivitas implementasi peraturan IMB dalam pemenuhan standar

RTH privat kawasan perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal.

3. Mengetahui arahan strategi implementasi IMB yang tepat dalam rangka

memenuhi standar penyediaan RTH privat kawasan perumahan di kawasan

perkotaan Kabupaten Kendal.

1.4. Kerangka Pemikiran

Luas RTH kawasan perkotaan Kabupaten Kendal hanya sebesar 1,167% luas

kawasan perkotaan Kabupaten Kendal. Jumlah tersebut masih jauh dari proporsi

RTH sebesar 30% dari luas wilayah kota sebagaimana diamanatkan Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan perundangan

lain yang terkait.

Perkembangan kawasan perumahan di Kabupaten Kendal setidaknya bisa

menjadi potensi kabupaten untuk mendukung pemenuhan standar minimal proporsi

RTH 30% dari luas kawasan perkotaan. Melalui implementasi peraturan perijinan,

yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dimana salah satu syarat teknis dalam

Standar Operasional Prosedur (SOP)- nya yang harus dipenuhi adalah dokumen

siteplan yang didalamnya terdapat persyaratan minimal RTH privat yang harus

dipenuhi adalah sebesar 10% dari luasan kawasan perumahan.

Penelitian ini diharapkan dapat melihat sejauhmana pemenuhan standar RTH

privat kawasan perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal, bagaimana

16

implementasi peraturan IMB dalam rangka memenuhi standar RTH privat kawasan

perumahan tersebut dan bagaimana arahan strategi implementasi peraturan yang

tepat diterapkan di masa mendatang apakah implementasi peraturan saat ini tetap

dilanjutkan atau perlu perbaikan kedepannya.

GAMBAR 1. KERANGKA PEMIKIRAN

Pertumbuhan penduduk

Alih Fungsi Lahan Hijaumenjadi Lahan Terbangun

Ketentuan RTH 30% luas kawasan kota(RTH publik 20% dan Privat 10%)

1. Perda No. 6 Tahun 20112. Perda No. 9 Tahun 20113. Perda No. 20 Tahun 2011

1. UU No. 1 Tahun 20112. PP No. 14 Tahun 20163. Permendagri No. 1 Tahun 20074. PermenPU No. 05/PRT/M/20085. SNI 03-1733-20046. Program Pengembangan Kota Hijau(P2KH)

Permukiman Berkelanjutan

Implementasi Kebijakan RTH 10% luaskawasan perumahan

Peraturan Ijin MendirikanBangunan (IMB)

Luas RTH 32,11 ha atau 1,167% kawasanperkotaan Kab. Kendal

Tingkat efektivitas Peraturan Ijin MendirikanBangunan (IMB) dalam pemenuhan standarRuang Terbuka Hijau (RTH) privat kawasan

perumahan di kawasan perkotaan Kab. Kendal

Analytical Hierarchical Process (AHP)Strategi Implementasi IMB dalam pemenuhan

standar RTH privat kawasan perumahankawasan perkotaan di Kab. Kendal

A. Analisis Spasial (SIG) TingkatPemenuhan Standar RTH PrivatKawasan Perumahan:(indikator Output)B. Analisis Tingkat EfektivitasPemenuhan Standar RTH PrivatKawasan Perumahan => realisasi vstargetC. Analisis Tingkat KematanganImplementasi Peraturan IMB – PublicPolicy Implementation Maturity Model(PPIMM)

D. Analisis Deskriptif EfektivitasPeraturan IMB berdasarkan PrasyaratUmum Penegakan Hukum Administrasi

Lingkungan “3A+1

Data Spasial:- Luas Kaw. Perumahan- Luas RTH KawasanPerumahan

Data Primer:- Kuesioner- Wawancara- Observasi

Pertumbuhan perumahan

Dampak Lingkungan:- Kualitasair tanah buruk- Polusi udara tinggi- kebisingan- Banjir- Tanah longsor, dll

Dampak Sosial:- Kondisi mentaltertekan- Kualitas sosial masy. makin buruk- Perubahan perilaku masy. menjadikontra-produktif dan destruktif- Tingginya tingkat kriminalitas- Tingginya konflik horizontal

Dampak Ekonomi:Menurunkan tingkat produktivitas

Sumber: Penyusun (2018)

17

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai efektivitas peraturan IMB dalam pemenuhan standar

RTH privat kawasan perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal ini

diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan gambaran tingkat keberhasilan implementasi peraturan IMB terkait

pemenuhan standar penyediaan RTH privat kawasan perumahan bagi

Pemerintah Kabupaten Kendal.

b. Memberikan gambaran potensi RTH yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten

Kendal dari penyediaan RTH privat kawasan perumahan yang dilakukan oleh

pengembang perumahan.

c. Memberikan rumusan arahan strategi implementasi peraturan IMB yang efektif

dalam rangka penyediaan RTH kawasan perumahan di kawasan perkotaan

Kabupaten Kendal.

d. Mendukung terwujudnya pembangunan perumahan yang layak huni dan

pengembangan kota hijau Kabupaten Kendal.

1.6. Originalitas Penelitan

Penelitian tentang efektivitas peraturan IMB dalam pemenuhan standar RTH

privat kawasan perumahan di kawasan perkotaan Kabupaten Kendal belum pernah

dilakukan meskipun penelitian mengenai RTH dan IMB telah banyak dilakukan.

Penelitian terkait yang pernah dilakukan diantaranya adalah:

Tabel 2. Penelitian Terdahulu

NO NAMA PENELITI / TAHUN JUDUL ISI1. Ade Irma Suryani, SH / 2008 Tesis:

Implementasi Penerbitan Ijin MendirikanBangunan (IMB) dalam Perspektif Azas-AzasUmum Pemerintahan yang Baik di KabupatenSukamara.

a. Mengetahui dan menganalisis implementasi fungsipelayanan pemerintah Kabupaten Sukamara dalampemberian IMB di Kabupaten Sukamara dalamperspektif AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahanyang Baik).

b. Mengetahui dan menganalisa kendala-kendala apakahyang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Sukamaradalam implementasi IMB sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah dalam mewujudkan harapanmasyarakat di Kabupaten Sukamara.

c. Mengetahui dan menganalisa upaya yang dilakukanPemkab. Sukamara dalam rangka mengatasi kendalamenuju standard pelayanan pemberian IMB.

2. Ernady Syaodih dkk / 2011 Strategi Penataan Ruang Terbuka HijauPerkotaan (Studi Kasus Kota Bandung)

Prosiding SnaPP2011 Sains, Teknologi, danKesehatan

Mengidentifikasi persoalan RTH di Kota Bandung sertamerumuskan strategi-strategi untuk mengatasinyamelalui metode SWOT.

3. Ina Shaskia Melanie / 2012 Skripsi:Analisis Pelaksanaan Pemberian IzinMendirikan Bangunan di KecamatanJagakarsa

a. Menganalisis pelaksanaan pemberian IMB diKecamatan Jagakarsa

b. Mengetahui faktor-faktor apa saja yangmempengaruhi dalam pelaksanaan pemberian IMB diKecamatan Jagakarsa

4. Yakub Prihatiningsih, dkk / 2013 Kajian Perencanaan Ruang Terbuka HijauPemukiman di Kampung Brambangan danPerumahan Sambak Indah, Purwodadi

Prosiding Seminar Nasional PengelolaanSumberdaya Alam dan Lingkungan 2013

Penjabaran deskriptif mengenai perencanaan penghijauanpekarangan milik warga. Indikator yang digunakanadalah:a. Darimana sumber ide atau keinginan warga untuk

penghijauan pemukiman.

18

b. Ketersediaan lahan untuk penghijauan pemukiman.

Kedua indikator digunakan untuk penghijauanpemukiman baik pekarangan rumah tinggal maupunlingkungan warga.

5. Sinta Ino / 2015 Skripsi:Implementasi Pasal 46 Peraturan DaerahNomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana TataRuang Wilayah Kabupaten Pohuwato 2012 –2032 dalam Penyediaan Kawasan RuangTerbuka Hijau.

a. Mengetahui tentang Implementasi Pasal 46 PeraturanDaerah Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana TataRuang Wilayah Kabupaten Poluwato terhadappenyediaan Kawasan Ruang Terbuka Hijau yangdilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Poluwato.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaanPerda tersebut.

6. Jacqueline Geoghegan / 2002 The Value of Open Spaces in Residential LandUse

Journal of Land Use Policy 19 (2002) 91–98.www.elsevier.com

Makalah ini mengembangkan model teoritis tentangbagaimana penghargaan pemilik lahan yang berdekatandengan ruang terbuka terhadap berbagai jenis ruangterbuka yang berbeda.

Model hedonic pricing digunakan untuk mengujihipotesis mengenai sejauhmana berbagai jenis ruangterbuka dikapitalisasi ke dalam harga perumahan. Hasilempiris dari Howard County di Maryland, AS,menunjukkan bahwa ruang terbuka “permanen”membawa pengaruh meningkatkan nilai lahan perumahanyang berdekatan lebih dari tiga kali lipat dibandingkanjika berdekatan dengan ruang terbuka ''yang akandikembangkan”.

7. Erik Lichtenberg et. al / 2007 Land Use Regulation and the Provision of OpenSpace in Suburban Residential Subdivisions

Journal of Environmental Economics andManagement 54 (2007) 199 – 213.www.sciencedirect.com

Penelitian mengkaji dampak peraturan penggunaan lahandan peraturan konservasi hutan terhadap penyediaanruang terbuka di subdivisi perumahan di pinggiran kota.

Sebuah model konseptual alokasi lahan dalam subdivisiyang digunakan menunjukkan bahwa ruang terbuka bisaberada mengumpul di luar perumahan sesuai persyaratan 19

konservasi hutan. Sementara persyaratan ukuran lotminimum mendorong pengembang untuk menggantiruang privat menjadi ruang terbuka publik.

Hasil penelitian di subdivisi perumahan koridorWashington-Baltimore menunjukkan bahwapengembang perumahan tidak dipengaruhi keberadaanruang terbuka di luar masing-masing subdivisi,pengembang lebih memilih untuk internalisasi fasilitasruang terbuka di lahan perumahan mereka sendiri.

8. Charles L. Choguill / 2007 Editorial: the Search for Policies to SupportSustainable Housing.

Habitat International 31 (2007) 143–149.www.sciencedirect.com

Makalah ini mencoba mengklarifikasi konsepkeberlanjutan (definisi operasional). Gagasan yangdikembangkan diterapkan pada bidang kebijakanperumahan, yaitu panduan pemerintah kepada penyediaperumahan, baik komersial, publik atau privat.Menempatkan aktivitas perumahan dalam kerangkakeberlanjutan permukiman manusia secara holistik.Beberapa kriteria keberlanjutan muncul, termasukkebutuhan untuk pengentasan kemiskinan danpemberantasan lahan kumuh, serta tujuan pelestarianlingkungan yang lebih luas dan pentingnyapengembangan penyediaan dana yang layak.

Tanpa perbaikan dalam kesempatan kerja danpendapatan, apapun yang dilakukan di dalam areakebijakan perumahan kemungkinan akan mengarah padahasil yang mengecewakan.

9. C.Y. Jim and Sophia S. Chen /2003

Comprehensive Greenspace Planning based onLandscape Ecology Principles in CompactNanjing City, China.

Journal of Landscape and Urban Planning 65(2003) 95–116. www.sciencedirect.com

Strategi penyediaan ruang hijau perumahan perkotaansulit diterapkan atau diperbaiki di sebagian besar kota diAsia, yang umumnya dibatasi oleh bentuk padatkerapatan tinggi.

20

Studi kasus di kota kuno Nanjing di Chinamemungkinkan perencanaan untuk jaringan ruangterbuka terpadu, yang bertujuan fleksibilitas untukperluasan kota di masa depan dan manfaat lingkungan.

Keterpaduan 3 unsur (green wedges, greenways, dangreen extention) berbeda-beda pada tiga skala lansekapyaitu metropolis, kota, dan lingkungan. Tujuan utamayaitu meningkatkan kualitas lansekap-lingkungan dankota berkelanjutan.

10. Widodo B., et.al / 2015 Analysis of Environmental Carrying Capacityfor the Development of Sustainable Settlementin Yogyakarta Urban Area.

Procedia Environmental Sciences 28 (2015)519 -527: The 5th Sustainable Future forHuman Security (SustaiN 2014).www.sciencedirect.com

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukunglingkungan dari sumber daya permukiman dan sumberdaya air sebagai basis pengembangan pemukimanberkelanjutan di Daerah Perkotaan Yogyakarta.

Metode penelitian menggunakan analisis studioberdasarkan data primer dan sekunder dan rumusmatematika.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukungsumber daya lahan permukiman mencapai 2,89 ataukondisi aman. Analisis daya dukung sumber daya airmenunjukkan hasil kondisi aman dengan nilai 2,44.

11. Meri Juntti, et.al / 2009 Evidence, Politics and Power in Public Policyfor the Environment.

Journal of Environmental Science & Policy 1 2(2009) 207–215. www.sciencedirect.com

Penelitian terhadap 'kebijakan berbasis bukti' yangdisertai banyak instrumen kebijakan 'hijau', berdasarkandari pengalaman dari negara-negara Uni Eropadan Organisation for Economic Co-operation andDevelopment (OECD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan yangbenar-benar bertujuan untuk menyeimbangkanpertimbangan lingkungan dengan masalah sosial danekonomi sulit di lapangan. Banyak kebijakan tampaknya 21

Sumber: Penyusun (2018)

tidak sesuai, atau bertentangan dengan apa yangdiharapkan.

Makalah ini merupakan sintesis literatur bidang ilmupolitik, geografi, sosiologi dan studi sains dan teknologiuntuk menjelaskan beberapa ketidakjelasan yangberkaitan dengan penggunaan bukti ilmiah dalampengambilan keputusan lingkungan.

Tantangan spesifik dan implikasi signifikan pada prosespengambilan keputusan kebijakan adalah pada saatmenggabungkan sifat bukti itu sendiri; politik 'normatif,moral atau etika' pembuatan kebijakan; dan operasikekuasaan dalam proses kebijakan..

12. Clare Rishbeth / 2016 PhD Thesis:Landscape Experience and Migration:Superdiversity and the Significance ofUrban Public Open Space

Tesis ini mengkaji bagaimana pengalaman parapendatang di perkotaan dalam mencari ruang terbukahijau di perkotaan dan menguji pengaruh keragamankultural perkotaan terhadap arsitektur lansekap. Studikasus penelitian di Kota Sheffield, Inggris.

Melalui metode penelitian kreatif dan partisipatif,penelitian menemukan bahwa menghabiskan waktu diluar menjadikan para pendatang memiliki rasa memilikiterhadap lingkungan.

Penelitian juga mendukung temuan bahwa ruang terbukahijau perkotaan membawa pengaruh positif terhadapkesejahteraan individu dan bersama. Keragaman danperbedaan nilai sosial dan budaya melekat dalamkeragaman arsitektur lansekap ruang terbuka sebagaitempat rekreasi, sosialisasi dan lingkungan alami.

22