BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH democracy) …
Transcript of BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH democracy) …
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Makna dari hukum itu sendiri adalah sarana untuk mencapai tujuan
yang dicita-citakan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembaga
melalui gagasan negara demokasi (democracy) maupun yang diwujudkan
melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksud untuk meningkatkan
kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia
bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasakan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara
hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat
tujuan bernegara Indonesia.1 Karena hal itu hukum dijadikan sebagai
panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan ekonomi, sosial
maupun politik.
E. Utrecht memberikan pengertian hukum sebagai himpunan petunjuk
hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib
dalam suatu masyarakat, dan sudah sebagai suatu kewajiban untuk ditaati
1 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Gagasan Negara Hukum Indonesia, dalam Jurnal Hukum,
hlm. 14.
2
oleh anggota masyarakat. Kemudian menurut Mochtar Kusumaatmadja,
hukum adalah keseluruhan kaedah-kaedah serta asas-asas yang mengatur
pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara
ketertiban yang meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna
mewujudkan berlakunya kaedah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat.2
Dari beberapa pengertian diatas hukum diharapkan dapat menciptakan suatu
keteraturan yang memberikan kenyamanan, ketertiban dan keamanan tetapi
pada kenyataanya apa yang diharapkan belum terlaksana secara maksimal
karena masih banyaknya individu maupun kelompok masyarakat yang
mengabaikan nilai-nilai dan cita-cita hukum itu sendiri. Dimana perbuatan-
perbuatan yang melanggar hukum terus terjadi dari tahun ke tahun dengan
ikut berkembangnya pola kejahatan tersebut. Sejatinya setiap mereka yang
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum atau melakukan
kejahatan akan mendapatkan penjatuhan pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 KUHP.
Salah satu bentuk pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP adalah
pidana berupa perampasan kemerdekaan manusia atau yang sering disebut
juga dengan pidana penjara. Bagi siapa saja yang dijatuhi pidana penjara
maka akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan putusan
hakim yang diterimanya.3 Penjatuhan pidana penjara ini perlu untuk ditinjau
ulang mengenai penerapannya. Karena Disisi lain pidana penjara juga
menyangkut martabat manusia yang menjadi narapidana serta masa depannya
2 Mokhammad Najih, S.H., M.Hum dan Soimin, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan
Ketiga, Setara Press, Jawa Timur, 2013, hlm. 9. 3 Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 24.
3
atau kedudukannya sebagai warga Negara Republik Indonesia setelah yang
bersangkutan selesai menjalankan hukumannya dan kembali ke tengah-tengah
kehidupan sosial masyarakat. Pada kenyataannya penjatuhan pidana penjara
ini ternyata tetap tidak memberikan dampak yang begitu berpengaruh karena
dari tahun ke tahun angka kriminalitas terus meningkat dan jenisnya beragam.
Pidana penjara juga cenderung tidak memberikan efek jera bagi para
narapidana karena banyak terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan
oleh residivis, sebagai salah satu contoh pengulangan tindak pidana di salah
satu Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta, yang mana data dibawah
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah residivis yang melakukan
pengulangan tindak pidana terus bertambah:
Tabel I. Data Narapidana Residivis di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II A Yogyakarta Tahun 2012-20144
Bulan Tahun Narapidana Residivis
Oktober 2012 56 Residivis
Oktober 2013 63 Residivis
September 2014 69 esidivis
Ini salah satu contoh bahwa pidana penjara bukan menjadi jawaban atas
pertanyaan bagaimana mengurangi kejahatan di Indonesia.
4 Armanda, Pelaksanaan Pembinaan Oleh Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Residivis
Dan Implikasinya Pada Pengulangan Tindak Pidana (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
A Yogyakarta), Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2014.
4
Pidana penjara nyatanya juga menimbulkan dampak negatif lainnya
seperti kapasitas narapidana yang berlebih (over capacity), dehumanisasi,
pendidikan kejahatan oleh penjahat, penyebaran penyakit, perilaku seks
menyimpang, dan sebagainya. Saat ini lapas di Indonesia lebih mirip seperti
“universitas kejahatan” dimana para napi justru mendapatkan pendidikan
kejahatan oleh napi lainnya (transfer knowledge). Oleh sebab itu pemidanaan
di lapas, kadang justru membuat mereka terjebak dalam bentuk kejahatan
baru.
Fakta lainnya yang dapat kita lihat adalah beberapa narapidana yang
memiliki kekayaan serta akses kekuasaan dapat menyulap selnya menjadi
‘rumah pribadi’ dengan sejumlah fasilitas mewah. Kemudian ada juga
narapidana yang dapat keluar dari Lembaga Pemasyarakatan padahal masih
berstatus sebagai narapidana, hal ini terjadi karena lemahnya penegakkan
hukum di Indonesia dimana uang dapat menjadi alat pengontrol.
Dari uraian diatas, maka perlu adanya pembaharuan hukum pidana dari
segi sistem pemidanaannya, butuh suatu inovasi baru untuk diterapkankan
dalam menghadapi pelaku kejahatan di masa sekarang ini.
Menurut Barda Nawawi, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya
mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofi,
5
dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.5
Dalam hal pembaharuan konsep ini penulis bermaksud untuk
menambahkan pidana kerja sosial sebagai pidana pemberat saat seseorang
dijatuhi hukuman pidana penjara atau disebut juga dengan hukuman
kumulatif. Pidana pemberat yang dimaksud bukan sebagai bentuk penyiksaan
atau penderitaan tambahan, melainkan sebagai bentuk pembelajaran yang
mengandung konsekuensi positif bagi yang menjalankannya, korban maupun
masyarakat. Kemudian jenis-jenis kegiatan sosial dalam R-KUHP sekarang
ini, seperti melakukan kerja sosial membersihkan toilet umum, membersihkan
parit atau selokan, menyapu jalanan, bertugas dipanti asuhan atau panti
jompo, dan yang berkenaan dengan pelayanan umum masyarakat dimana
konsep ini dirancang untuk digunakan sebagai alternatif pidana penjara
jangka pendek bagi yang melakukan kejahatan tindak pidana ringan.
Sedangkan dalam hal ini penulis bermaksud akan memberikan suatu model
pidana kerja sosial yang ideal yang diperuntukkan bagi pelaku kejahatan
serius tertentu.
Konsep pidana kerja sosial yang akan ditawarkan penulis ini tidak untuk
semua bentuk kejahatan melainkan hanya kejahatan serius tertentu saja,
seperti kejahatan korupsi, kejahatan ekonomi (pencucian uang) dan narkotika.
Menurut penulis ketiga kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa
5 Barda Nawawi Arief, Bungan Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 27.
6
yang memberikan dampak yang luas bagi negara karena yang dirugikan tidak
hanya satu orang melainkan seluruh masyarakat. Contohnya mengenai
korupsi, bagaimana bisa seseorang yang telah diberikan amanah oleh rakyat
malah menghianati rakyat dengan memperkaya diri dan keluarganya
sementara kemiskinan ada dimana-mana. Selanjutnya kejahatan pencucian
uang merupakan kejahatan lanjutan yang didahului dengan kejahatan
sebelumnya seperti korupsi, narkotika, penggelapan, pencurian, perpajakan
dll. Korupsi saja merupakan kejahatan luar biasa apalagi ditambah dengan
tindak pidana pencucian uang. Terakhir, narkotika yang mana korbannya
meluas ke semua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah
tangga, pedagang, polisi, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Dengan
demikian narkotika dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi
kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
melemahkan ketahanan nasional.
Karena kejahatan diatas merupakan kejahatan luar biasa maka perlu cara
yang khusus juga untuk menanganinya. Pidana kerja sosial hadir sebagai
pemberat pidana penjara dalam konsep penulis bertujuan untuk penjeraan dan
memicu munculnya rasa malu dari dalam dirinya guna membangun sisi
kemanusiaan bagi para narapidana dan juga memunculkan rasa bersalah.
Pidana kerja sosial juga mengandung unsur perlindungan masyarakat
karena sudah ada tindakan pemidanaan yang nyata dari pemerintah, sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan budaya bangasa
Indonesia yaitu nilai bertanggung jawab, nilai gotong royong, nilai bekerja,
7
budaya malu dan termasuk perbuatan yang bernilai sosial karena dilakukan di
masyarakat yang tidak mengutamakan keuntungan. Selama menjalankan
pidana, narapidana akan dibina dan dibimbing dari sisi pembentukan sikap
dan tingkah lakunya. Hal tersebut juga mebuat terpidana mudah untuk
kembali ke masyarakat karena pada pelaksanaannya akan mempertemukan
narapidana langsung dengan masyarakat sehingga terciptanya interaksi sosial
antara kedua belah pihak. Interaksi sosial yang terjadi diharapkan dapat
menimbulkan perasaan bersalah bagi narapidana atas apa yang telah
dilakukannya dan akan memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi
kejahatannya kembali. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pemidanaan yang
ada dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995 yaitu, warga binaan
pemasyarakatan dapat menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
Pada saat ini pidana kerja sosial sudah diterapkan sebagai alternatif
pengganti pidana penjara jangka pendek di beberapa negara kawasan Eropa,
misalnya Denmark, Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, Norwegia, dan
Portugal. Selain itu, Swiss dan Italia juga memberlakukan pidana kerja sosial.
Dalam penerapan pidana kerja sosial masing-masing negara memiliki
pengaturan yang berbeda. Di Belanda, pidana kerja sosial dapat digunakan
sebagai pengganti pidana penjara dengan ancaman pidana penjara kurang dari
8
6 bulan, di Denmark menggantikan pidana penjara dengan ancaman pidana
penjara antara 6-8 bulan.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka perlu dilakukan kajian
terhadap masalah tersebut. Penulis akan melakukan penelitian dengan
mengangkat judul “PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL SEBAGAI
SANKSI PIDANA BAGI PELAKU KEJAHATAN SERIUS TERTENTU
DALAM PEMBAHARUAN KUHP INDONESIA”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, penulis
mencoba untuk merumuskan dan kemudian mencoba mengkaji lebih lanjut
dengan rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana prospek pengancaman pidana kerja sosial sebagai sanksi
pidana terhadap pelaku kejahatan serius tertentu (serious crime) dalam
pembaharuan KUHP Indonesia ?
2. Apa praktek pidana kerja sosial yang ideal untuk diterapkan dan
bagaimana mekanisme penerapan pidana kerja sosial tersebut ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab pokok permasalahan
sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, yaitu:
1. Untuk mengetahui prospek pengancaman pidana kerja sosial sebagai
sanksi terhadap pelaku kejahatan serius tertentu (serious crime) dalam
pembaharuan KUHP Indonesia.
9
2. Untuk mengetahui praktek pidana kerja sosial yang ideal untuk diterapkan
dan bagaimana mekanisme penerapan konsep pidana kerja sosial bagi
pelaku kejahatan serius tertentu.
D. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pidana dan Pemidanaan
1. Konsep Pidana
Menurut Moeljatno istilah “hukuman” yang berasal dari kata
“straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordt
gestraf”, merupakan istilah-istilah yang konvensional sebab sejak dari
dahulu kala sudah dipakai. Beliau menggunakan istilah-istilah yang
inkonvensional yaitu “pidana” dan “diancam dengan pidana” untuk
menggantikan kata Belanda “straft” dan “wordt gestraf”. Perubahan ini
terjadi karena istilah “Hukum Pidana” (strafrecht) telah diterima secara
umum.6
Soedarto menyatakan pidana didefinisikan sebagai nestapa yang
dikenakan negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang, sengaja akan dirasakan sebagai
nestapa.7 Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan
ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik itu. Nestapa bukanlah suatu tujuan akhir yang dicita-
6 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Cetakan Pertama,
Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 5. 7 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 109-110
10
citakan masyarakat tetapi nestapa adalah bentuk untuk mencapai suatu
tujuan lain dalam menjatuhkan pidana.8
Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara , yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :9
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi
pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah dicantumkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan
tersebut.
2. Tujuan Penjatuhan Pidana
Penjatuhan pidana atau pemidanaan adalah proses penetapan jenis
hukuman terhadap suatu peristiwa atau perbuatan yang telah dilakukan
oleh seseorang, dalam hal ini pola penjatuhan pidana dilakukan oleh
hakim. Tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan
masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup
dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
masyarakat/negara, korban dan pelaku.
8 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana..., Op.Cit., hlm. 6-7.
9 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 1-2.
11
Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung
unsur-unsur yang bersifat :10
1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung
tinggi harkat dan martabat seseorang;
2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang
sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan
ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha
penanggulangan kejahatan;
3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil,
baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.
Tujuan pemidanaan lainnya yang masih bersifat teoritis terdapat
dalam R-KUHP Indonesia, yang terdapat pada Pasal 54, yaitu :11
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
10
Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, Cetakan Keempat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 83. 11
Pasal 55 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015.
12
Pemidanaan dalam pandangan (perspektif) Pancasila yang dianut
oleh hukum Indonesia, haruslah sesuai dengan budaya yang dianut di
masyarakat.
Dalam sejarah perkembangan hukum pidana terdapat 3 macam
teori yang mengemukakan tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut
(vergelding theorien), teori relatif (doel theorien), dan teori gabungan
(vernengings theorien). Ketiga teori itu mengkaji tentang alasan
pembenar penjatuhan pidana.
a. Teori Absolut (vergelding theorien/retributif).
Penjatuhan pidana pada teori absolut ini adalah sebagai bentuk
pembalasan yang setimpal kepada penjahat atas apa yang
dilakukannya, karena itu teori ini disebut juga sebagai teori
pembalasan. Siapa saja yang berbuat jahat harus dipidana tanpa
melihat akibat-akibat apa saja yang timbul setelah penjatuhan
pidana, baik terhadap terpidana maupun masyarakat. Tujuan
pemidanaan adalah menjadikan si penjahat menderita dengan jalan
menjatuhkan pidana sebagai pembalasan.
b. Teori Relatif (doel theorien/deterrence/utilitarian).
Penjatuhan pidana pada teori relatif ini setidaknya harus
berorientasi pada upaya pencegahan terpidana (special prevention)
dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang,
serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general
prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti
13
kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya.12 Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat oleh sebab itu
teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).
Dalam teori relatif terdapat 2 model pencegahan, yaitu :
a. Pencegahan Umum (general preventie)
Teori ini bersifat menakut-nakuti, pidana yang dijatuhkan
pada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk
berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi ini dijadikan contoh
oleh masyarakat, agar masyarakat umum tidak meniru dan
melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu.
Menurut teori pencegahan umum ini untuk mencapai dan
mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan,
maka pelaksanaan pidana harus dilakuka secara kejam dan
dimuka umum.
b. Pencegahan Khusus (special preventie)
Teori pencegahan khusus ini menyatakan bahwa tujuan
pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana
agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan, dan
mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak
mewujudkan niatnya menjadi nyata. Tujuan tersebut dapat
12
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum..., Op.Cit., hlm. 190.
14
dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang bersifat
menakut-nakuti, memperbaiki dan membuatnya menjadi tidak
berdaya.
c. Teori Gabungan (vernengings theorien).
Teori gabungan dalam hal ini menggabungkan pemikiran yang
terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Teori gabungan
merupakan respon terhadap kritik yang ada baik terhadap teori
absolut maupun teori relatif. Menurut teori ini, dalam konsepsi
pemidanaan perlu adanya pemilahan antara tahap-tahap
pemidanaan yang berbeda-beda, misalnya pada ancaman pidana di
dalam undang-undang, proses penuntutan, proses peradilan, serta
pelaksanaan pidana. Dalam setiap tahap perlu ada asas-asas tertentu
yang diprioritaskan, misalnya jaksa dalam mengemukakan tuntutan
pidana (requisitoir) berkategori berat dapat mengutamakan unsur
pembalasan dan prevensi umum. Pada tahap pelaksanaan pidana
perlu pula memperhatikan prevensi khusus, yaitu aspek
resosialisasi terpidana. Untuk tindak pidana berkategori ringan,
tujuan pidana lebih difokuskan pada pribadi si pelaku, dan
pemberian kesempatan kepada si pelaku untuk di resosialisasi.13
Muladi, Guru Besar Hukum Pidana UNDIP di dalam disertasinya
untuk memperoleh gelar Doktor yang berjudul “Lembaga Pidana
13
Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Cetakan Pertama, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2009, hlm. 76.
15
Bersyarat Sebagai Faktor yang Mempengaruhi Proses Hukum Pidana
yang Berperikemanusiaan” memperkenalkan teori tujuan pemidanaan
yang Integratif (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila) yang tepat untuk
diterapkan di Indonesia.14
Teori integratif memungkinkan untuk mengadakan artikulasi
terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi
sekaligus, yang secara terpadu diarahkan untuk mengatasi dampak
individual dan sosial yang ditimbulkan oleh tindak pidana atas dasar
kemanusiaan dalam sistem Pancasila. Kombinasi tersebut mencakup
seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi oleh setiap
penjatuhan sanksi pidana. Ini selaras dengan kondisi filosofi, sosiologis,
dan ideologi masyarakat Indonesia.15
Ada 4 tujuan pemidanaan dalam teori integratif, yaitu :16
1. Memberikan Perlindungan Masyarakat;
2. Pemeliharaan Solidaritasi Masyarakat;
3. Sarana Pencegahan Umum dan Pencegahan Khusus;
4. Pengimbalan/Pengimbangan.
Selain dari ketiga teori tersebut ditambah dengan hadirnya teori
intergratif oleh Muladi, ada beberapa teori lainnya yang mengemukakan
mengenai tujuan pemidanaan, yaitu teori treatment, teori social defence
(perlindungan sosial) dan teori restorative justice. Ketiga teori tersebut
mengemukakan tujuan pemidanaan sebagai berikut :
14 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana..., Op.Cit., hlm. 27.
15 Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam..., Op.Cit., hlm. 80-81.
16 Ibid., hlm. 81.
16
a. Teori Treatment
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh
aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas
diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.
Pemidanaan yang dimaksud pada aliran ini adalah untuk memberi
tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)
kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.
Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan
tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).17
b. Teori Social Defence (perlindungan sosial)
Menurut F. Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law
of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada.
Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah
mengintegrasikan individu kedalam tata tertib sosial dan bukan
pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan
masyarakat menghapus pertanggungjawaban pidana (kesalahan)
dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti
sosial.18
c. Teori Restorative Justice
Restorative justice merupakan proses penyelesaian terhadap
tindak pidana dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara
17
Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofi Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakkan
Hukum Pidana Indonesia, karya ilmiah, 2006, hlm 8-9. 18
F.Gramatika dalam Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di
Indonesia, UMM Pres, Malang, 2004, hlm.65.
17
korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku dan masyarakat
untuk menacari bentuk penyelesaian yang terbaik guna
memulihkan kerugian yang di derita semua pihak.19
Tony F. Marshall (ahli kriminologi Inggris) mengemukakan
bahwa definisi dari restorative justice adalah sebuah proses
dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran
tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.20
Adapun teori restorative justice menurut Muladi, yaitu :21
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik;
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; 4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan
restorasi sebagai tujuan utama; 5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak dinilai
atas dasar hasil; 6. Sasaran perhatian pada perbaikan keadilan sosial; 7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; 8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam
masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab;
9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis;
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
19
Eva Norita, Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia
Skripsi. Medan: Fakultas Hukum, Universitas Sumatra Utara, 2009. 20
Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Disertasi, Medan, 2007, hlm. 170. 21
M. Sholehhuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 65-66.
18
B. Pidana Kerja Sosial
Secara etimologis “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu
“pidana” dan “kerja sosial”. Secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat
diartikan sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial
merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana
dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Istilah pidana kerja
sosial jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris menjadi Community
Service Order. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang dijalankan
oleh narapidana diluar lembaga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan
sosial seperti membersihkan toilet umum, membersihkan parit atau
selokan, menyapu jalanan, bertugas dipanti asuhan atau panti jompo, dan
yang berkenaan dengan pelayanan umum lainnya, pidana kerja sosial ini
tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty).
Di Indonesia pidana kerja sosial ini masih berupa rancangan dalam
R-KUHP Indonesia bagi terdakwa yang akan dijatuhi pidana penjara yang
lamanya tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari
denda Kategori I (denda kategori I adalah maksimal Rp. 6.000.000,-).22
E. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk menghindari kerancuan istilah dan memperjelas cakupan
penelitian ini, akan dikemukakan beberapa konsep mendasar yang
dioperasionalisasikan sebagai berikut:
1. Pidana Kerja Sosial
22
Pasal 82 ayat (3) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana 2015.
19
Pidana kerja sosial adalah sebuah bentuk sanksi atau hukuman
kerja sosial seperti, membersihkan toilet umum, membersihkan parit
atau selokan, menyapu jalanan, bertugas dipanti asuhan atau panti
jompo, dan yang berkenaan dengan pelayanan umum masyarakat.
Dalam R-KUHP pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana
jangka pendek, tetapi dalam penelitian kali ini penulis bermaksud
untuk memberikan sebuah gagasan baru yang menjadikan pidana kerja
sosial sebagai pidana pemberat pidana penjara (hukuman kumulatif).
Dalam konsep penulis tidak semua jenis kejahatan dapat dijatuhi
hukuman seperti diatas, tetapi hanya diterapkan untuk jenis kejahatan
serius tertentu yang termasuk ke dalam kategori yang ditentukan
penulis.
2. Kejahatan Serius Tertentu (serious crime)
Yang dimaksud dengan kejahatan (tindak pidana) adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.23
Dalam penulisan skripsi ini untuk menetukan kejahatan serius
tertentu (serious crime) yang dimaksud kita dapat mengacu kepada
beberapa aturan tertulis, seperti :
Berikut ini adalah kualifikasi yang ditentukan penulis dalam
menentukan kejahatan serius tertentu yang dimaksud, yaitu :
23
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54.
20
a. Kejahatan dengan pengancaman pidana perampasan
kemerdekaan (pidana penjara) minimal 4;
b. Kejahatan yang berlangsung secara sistematis dan meluas;
c. Tindak Pidana yang memberikan dampak kerugian secara luas,
maksudnya adalah kerugian yang ditimbulkan tidak hanya
berakibat pada satu orang saja tetapi juga berdampak pada
masyarakat luas;
d. Merusak nilai-nilai moral dan budaya bangsa;
e. Menghambat pembangunan ekonomi, sosial, politik dan
budaya bangsa.
Berdasarkan kualifikasi diatas, maka segala bentuk kejahatan yang
termasuk dalam kualifikasi tersebut dapat dikenakan pidana pemberat
berupa pidana kerja sosial.
F. METODE PENELITIAN
Setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas sendiri-sendiri sehingga
selalu akan terdapat berbagai perbedaan. Metode pemikiran yang diterapkan
dalam setiap ilmu selalu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi
induknya.24
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisisnya dan didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran
tertentu:
24
Rony Hanitidjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
cetakan IV yang disempurnakan, Jakarta, 1966, hlm. 9.
21
1. Fokus Penelitian.
Fokus penelitian dalam penulisan ini adalah :
a. Prospek pengancaman pidana kerja sosial bagi pelaku kejahatan serius
tertentu (serious crime) dalam pembaharuan KUHP Indonesia.
b. Model pidana kerja sosial yang ideal untuk diterapkan dan mekanisme
penerapan konsep pidana kerja sosial bagi pelaku kejahatan serius
tertentu.
2. Narasumber
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan tanya jawab dengan
memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti. Wawancara akan dilakukan dengan narasumber yaitu Prof. Dr.
Barda Nawawi Arief., S.H.
3. Bahan Hukum.
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berhubungan dengan fokus
penelitian, yaitu KUHP, peraturan baik itu undang-undang maupun
peraturan lain selain undang-undang yang lebih rendah tingkatnya dan
buku-buku yang berkaitan dengan penerapan pidana kerja sosial, buku-
buku mengenai pidana dan tujuan pemidanaan, serta buku-buku lainnya
yang memiliki penjelasan keterkaitan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang berfungsi untuk menjelaskan terhadap bahan
hukum primer, seperti R-KUHP, makalah-makalah, jurnal, laporan hasil
22
penelitian, internet, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
penelitian.
c. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan hukum yang berfungsi untuk menjelaskan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari:
a) Kamus Istilah Hukum ;
b) Kamus Bahasa ;
c) Ensikolopedia.
d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
a. Studi Pustaka
Peneliti mencari bahan hukum dengan cara studi kepustakaan,
yaitu studi dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan
mengutip data dari berbagai sumber seperti berbagai Peraturan
Perundang-undangan, buku, literatur, jurnal, artikel, makalah. Studi
ini dimaksud untuk mendapatkan landasan teori yang cukup kuat
untuk mendukung analisis dalam penelitian ini.
b. Wawancara
Proses tanya jawab langsung dari orang atau pihak yang dipilih
dengan memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan obyek yang
akan diteliti.
e. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif dimana dalam mencari data yang digunakan
23
dengan berpegang pada segi yuridis yang bertumpu pada data sekunder.
Pendekatan normatif yang dilakukan didasari oleh pertimbangan bahwa
penelitian ini bertujuan untuk membahas dan mengkaji berbagai peraturan
yang berkaitan dengan gagasan penerapan pidana kerja sosial sebagai
pidana pemberat bagi pelaku kejahatan serius tertentu. Merumuskan suatu
kebijakan yang dilandasi suatu latar belakang, nilai-nilai, kultur, konsepsi-
konsepsi, atau teori-teori tertentu.
f. Pengolahan dan Analisis Bahan-bahan Hukum
Dalam proses penulisan menggunakan analisis metode deskriptif-
kualitatif. Data yang diperoleh dikualifikasikan sesuai dengan
permasalahan penelitian kemudian diuraikan dengan cara menganalisis
data yang diperoleh dari hasil penelitian. Analisis terhadap data tersebut
disusun secara sistematis sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang
jelas dan lengkap dan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang
menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian.