BAB I PENDAHULUAN - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/57241/4/BAB I.pdf · pengendapan pasir....

29
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur yang mendasar bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Dapat dipastikan tanpa pengembangan sumberdaya air secara konsisten peradaban manusia tidak akan dapat berkembang sejauh ini. Demi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air yang lebih terarah perlu dilakukan monitoring ketersediaan air dan perkiraan kebutuhan air sebagai salah satu bentuk dalam manajemen sumberdaya air. Manajemen sumberdaya air sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Iklim merupakan faktor utama yang dinamis dan berpengaruh pada sumberdaya alam dan lingkungan. Faktor iklim dapat dikaji mengenai unsur-unsurnya, yaitu temperatur, hujan, evapotranspirasi, kelembaban, dan angin. Hubungan antara hujan (faktor iklim) dengan batuan atau tanah dan tumbuhan sebagai media kelolosan air hujan yang jatuh dalam suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) dan masalah perubahan iklim telah lama menjadi topik yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan dalam hidrologi. Siklus hidrologi terdapat tiga fase, yaitu hujan, aliran, dan penguapan yang menjadi proses pertama dalam siklus hidrologi merupakan evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari dua proses siklus hidrologi, yaitu evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi adalah faktor penting dalam perubahan iklim, karena adanya hubungan antara keseimbangan air dan keseimbangan energi akibat interaksi rumit dalam sistem darat, tumbuhan, dan atmosfer. Dapat disimpulkan bahwa evapotranspirasi merupakan wujud kehilangan air dari permukaan tanah karena proses penguapan melalui permukaan tanah dan vegetasi. Jenis tutupan vegetasi akan mempengaruhi jumlah evapotranspirasi secara signifikan. Keberadaan vegetasi dapat menjaga jumlah air tanah, karena aliran permukaan 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - eprints.ums.ac.ideprints.ums.ac.id/57241/4/BAB I.pdf · pengendapan pasir....

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan unsur yang mendasar bagi setiap makhluk hidup di

permukaan bumi. Dapat dipastikan tanpa pengembangan sumberdaya air secara

konsisten peradaban manusia tidak akan dapat berkembang sejauh ini. Demi

pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air yang lebih terarah perlu

dilakukan monitoring ketersediaan air dan perkiraan kebutuhan air sebagai salah

satu bentuk dalam manajemen sumberdaya air. Manajemen sumberdaya air sangat

erat kaitannya dengan perubahan iklim. Iklim merupakan faktor utama yang

dinamis dan berpengaruh pada sumberdaya alam dan lingkungan. Faktor iklim

dapat dikaji mengenai unsur-unsurnya, yaitu temperatur, hujan, evapotranspirasi,

kelembaban, dan angin.

Hubungan antara hujan (faktor iklim) dengan batuan atau tanah dan

tumbuhan sebagai media kelolosan air hujan yang jatuh dalam suatu DAS (Daerah

Aliran Sungai) dan masalah perubahan iklim telah lama menjadi topik yang

menarik untuk dikaji dan dikembangkan dalam hidrologi. Siklus hidrologi

terdapat tiga fase, yaitu hujan, aliran, dan penguapan yang menjadi proses pertama

dalam siklus hidrologi merupakan evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan

gabungan dari dua proses siklus hidrologi, yaitu evaporasi dan transpirasi.

Evapotranspirasi adalah faktor penting dalam perubahan iklim, karena

adanya hubungan antara keseimbangan air dan keseimbangan energi akibat

interaksi rumit dalam sistem darat, tumbuhan, dan atmosfer. Dapat disimpulkan

bahwa evapotranspirasi merupakan wujud kehilangan air dari permukaan tanah

karena proses penguapan melalui permukaan tanah dan vegetasi. Jenis tutupan

vegetasi akan mempengaruhi jumlah evapotranspirasi secara signifikan.

Keberadaan vegetasi dapat menjaga jumlah air tanah, karena aliran permukaan

1

2

dan perkolasinya dihambat, sehingga memberikan waktu bagi tanah untuk

menyerap dan menahan air dari presipitasi.

Proses evapotranspirasi menjadi proses pertama dalam siklus hidrologi,

maka beberapa penelitian yang berhubungan dengan hidrologi dapat

memanfaatkan ekstraksi atau penurunan dengan menggunakan data

evapotranspirasi. Beberapa contoh penelitian yang memanfaatkan

evapotranspirasi, yaitu penentuan kelembaban tanah dan kekeringan yang ada di

suatu daerah. Hal tersebut sangat penting, sebab dengan mengetahui sebaran

daerah yang mengalami kelembaban tanah tinggi atau kekeringan dapat

mengantisipasi bencana yang akan terjadi, selain itu data evapotranspirasi juga

dapat dimanfaatkan untuk memprediksi limpasan permukaan air pada wilayah

DAS. Tabel 1.1 menunjukkan kejadian kekeringan di Kabupaten Bantul Tahun

2015.

Berdasarkan Tabel 1.1, tahun 2015 Kabupaten Bantul mengalami

kekeringan di 19 desa yaitu mencakup Desa Sitimulyo, Srimulyo, Srimartani,

Gilangharjo, Caturharjo, Guwosari, Triwidadi, Mangunan, Muntuk, Jatimulyo,

Dlingo, Terong, Selopamioro, Wukirsari, Wonolelo, Bawuran, Segoroyoso,

Seloharjo, dan Bangunjiwo dengan total luas kejadian kekeringan yaitu 113,94

km2. Akibat dari kejadian kekeringan tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten

Bantul pemerataan sumberdaya airnya masih bervariasi tiap daerah dan tidak

merata, sehingga perlu pengembangan manajemen sumberdaya air yang lebih

terarah. Hal tersebut dilakukan untuk mitigasi bencana kekeringan di Kabupaten

Bantul.

3

Tabel11.1 Kejadian Kekeringan di Kabupaten Bantul Tahun 2015

No Kecamatan Kelurahan Luas Kejadian

Kekeringan (km2)

1 Piyungan Sitimulyo 3,74

Srimulyo 3,19

Srimartani 4,95

2 Pandak Gilangharjo 0,89

Caturharjo 2,73

3 Pajangan Guwosari 3,96

Triwidadi 5,42

4 Dlingo Mangunan 11,82

Muntuk 10,73

Jatimulyo 2,01

Dlingo 6,47

Terong 7,37

5 Imogiri Selopamioro 17,91

Wukirsari 13,33

6 Pleret Wonolelo 2,35

Bawuran 3,27

Segoroyoso 3,62

7 Pundong Seloharjo 6,73

8 Kasihan Bangunjiwo 3,45

Jumlah 19 Desa 113,94

Sumber : BPBD Kabupaten Bantul, 2017

Penelitian mengenai evapotranspirasi di Indonesia pada saat ini masih sangat

terbatas dan datanya masih bersifat perhitungan manual yang diperoleh dari

beberapa stasiun iklim, sedangkan stasiun iklim yang memiliki fasilitas dan data

lengkap masih sangat sedikit dan bersifat wilayah lokal. Data yang terdapat di

instansi BMKG mengenai evapotranspirasi hanya berupa titik dari stasiun iklim

dan beberapa data dalam perhitungan evapotranspirasi memerlukan data yang

masih sulit apabila dilakukan interpolasi dikarenakan jumlah stasiun yang

terbatas. Padahal informasi evapotranspirasi secara regional mempunyai manfaat

yang besar, diantaranya adalah memprediksi pola cuaca, mengelola daerah aliran

sungai, maupun sebagai peringatan dini terhadap kebencanaan seperti kekeringan.

4

Proses ekstraksi evapotranspirasi dari citra satelit Landsat 8 menggunakan metode

keseimbangan energi, karena perhitungan yang dilakukan akan menekankan pada

ekstraksi data penginderaan jauh yang akan menghasilkan data secara regional

dan juga mengurangi banyak survei lapangan yang dapat menghabiskan banyak

tenaga dan waktu.

Metode keseimbangan energi ini menjelaskan bahwa radiasi total yang

diterima oleh bumi merupakan hasil dari beberapa energi yang ada di bumi, yaitu

energi terasa ke arah atmosfer (Soil Heat Flux), energi terasa ke udara (Sensible

Heat Flux), energi evapotranspirasi, dan sisanya digunakan untuk energi

metabolisme. Berdasarkan pendekatan tersebut dapat digunakan untuk

mengestimasi evapotranspirasi suatu daerah berdasarkan jenis tutupan

vegetasinya.

Pemanfaatan teknologi penginderan jauh sangat bermanfaat untuk

mengestimasi evapotranspirasi dengan Metode Kesetimbangan Energi. Citra

Satelit Landsat 8 sebagai data penginderaan jauh skala regional yang paling baru

dapat digunakan untuk mengekstraksi parameter estimasi evapotranspirasi, yang

akan dijadikan sebagai dasar dalam perhitungan nilai dari energi-energi dasar

dalam pendekatan kesetimbangan energi tersebut. Parameter yang diekstraksi

melalui data penginderaan jauh adalah Suhu Permukaan Lahan, Penutup Lahan

berupa nilai indeks kerapatan vegetasi dengan metode NDVI (Normallized

Difference Vegetation Index) yang saling berkaitan mempengaruhi nilai emisivitas

atau nilai radiasi matahari dan albedo yang dipantulkan. Tabel 1.2 menunjukkan

suhu udara dan data hasil ekstraksi kelembaban tanah Bulan Februari dan

September tahun 2015.

Berdasarkan Tabel 1.2, suhu udara berkaitan erat dengan kelembaban tanah

dalam merepresentasikan evapotranspirasi. Semakin tinggi suhu udaranya dan

semakin kering kelembaban tanahnya, maka akan menyebabkan

evapotranspirasinya semakin menurun. Suhu udara tertinggi Bulan Februari 2015

yaitu 27,6 oC pada tanggal 27 Februari 2015, sedangkan pada suhu udara

perekaman citra Landsat 8 yaitu 22 Februari 2015 memiliki suhu 22,3 oC. Suhu

5

udara Bulan September 2015 tertinggi yaitu 33,4 oC pada tanggal 23 September

2015, sedangkan pada suhu udara perekaman citra Landsat 8 yaitu 18 September

2015 memiliki suhu 32,6 oC. Tabel 1.2 menunjukkan suhu udara dan data hasil

ekstraksi kelembaban tanah Kabupaten Bantul Bulan Februari dan September

2015.

Tabel 1.2 Suhu Udara dan Data Hasil Ekstraksi Kelembaban Tanah

Sumber Data Jenis Data Februari 2015 September 2015

BMKG Suhu Udara 25,1 oC - 27,6

oC 24,8

oC - 33,4

oC

BMKG Suhu Udara pada saat

perekaman citra

22,3 oC

(22 Februari 2015)

32,6 oC

(18 September 2015)

Nurita (2016) Kelembaban Tanah 0,017 – 0,71 cmHg 0,95 – 1 cmHg

Nurita (2016) Kelembaban Tanah

(rerata)

0,4 cmHg – 0,66 cmHg 0,62 cmHg – 0,88

cmHg

Sumber : BMKG DIY, Nurita (2016)

Jenis vegetasi pada setiap penutup lahan di Kabupaten Bantul dipengaruhi

oleh karakteristik geomorfologi wilayah dan aktivitas manusia. Hal tersebut

terjadi karena setiap geomorfologi pada suatu wilayah memiliki karakteristik

bahan induk tanah yang berbeda. Kondisi bahan induk tanah yang berbeda

dipengaruhi akibat perbedaan daya serap dan tekstur yang dimiliki, sehingga

perbedaan bahan induk tanah dan geomorfologi tersebut mempengaruhi nilai

evapotranspirasi pada setiap jenis vegetasi menjadi bervariasi. Tabel 1.3

menunjukkan penutup lahan dan jenis vegetasi pada setiap karakter geomorfologi

di Kabupaten Bantul.

6

Tabel 1.3 Penutup Lahan dan Jenis Tutupan Vegetasi pada Setiap Karakter

Geomorfologi

No Geomorfologi Penutup Lahan Jenis Tutupan Vegetasi Geologi

1. Marine Lahan kosong dan

belukar

Pandan pantai, bakau,

ketapang, casuarinaceae

Endapan

Aluvium

2. Aeolin Gumuk pasir dan

tambak udang

Rumput pantai, akasia,

cemara udang, enceng

gondok, ketapang

Endapan

Aluvium

3. Struktural

(terkontrol

patahan)

Hutan bervegetasi

sedang hingga tinggi

dan permukiman

Jati, pinus, dan tanaman

tahunan

Semilir-

Nglanggeran

4. Solusional Hutan kerapatan rendah

hingga sedang,

permukiman, tegalan

Jati, pohon minyak kayu

putih, dan tanaman

tahunan

Wonosari -

Sambipitu

5. Denudasional

terkikis

Hutan kerapatan

sedang-tinggi, tegalan,

hutan campuran,

permukiman

Sengon Sentolo

6. Fluvial Persawahan, tegalan,

kebun campuran dan

permukiman

Sawah, sengon, jati, buah-

buahan, kelapa, dan

tanaman lain karena

bervariasi

Endapan

Gunung Merapi

Muda

Sumber : BAPPEDA Bantul (2017)

Berdasarkan Tabel 1.3, karakteristik geomorfologi mempengaruhi jenis

vegetasi. Karakteristik geomorfologi marine memiliki jenis vegetasi pandan

pantai, bakau, ketapang, dan casuarinaceae. Berbeda dengan geomorfologi aeolin

yang memiliki jenis vegetasi rumput pantai, akasia, cemara udang, enceng

gondok, dan ketapang. Hal tersebut terjadi karena geomorfologi marine lebih

banyak mengandung cadangan air yang dipengaruhi dekat dengan tubuh air (laut)

dibandingkan geomorfologi aeolin yang mengalami penebalan tanah akibat proses

pengendapan pasir. Geomorfologi struktural terkontrol patahan memiliki jenis

vegetasi yang sama dengan geomorfologi solusional yaitu tanaman tahunan

seperti jati. Hal tersebut akibat formasi geomorfologi struktural terkontrol patahan

dan solusional saling berdekatan lokasinya, yang mengakibatkan kedua jenis

geomorfologinya saling mempengaruhi. Geomorfologi denudasional terkikis juga

memiliki karakteristik jenis vegetasi yang sama dengan fluvial yaitu tanaman

sengon dan tanaman bulanan seperti buah-buahan dan sawah. Hal tersebut terjadi

karena geomorfologi denudasional terkikis yang terdapat di Kecamatan Pajangan

7

dan Sedayu sudah dikontrol oleh geomorfologi fluvial yang mengelilingi

geomorfologi denudasional terkikis tersebut. Oleh karena itu, perbedaan

karakteristik geomorfologi dan jenis vegetasi tersebut mempengaruhi nilai

evapotranspirasi tiap jenis vegetasi menjadi berbeda-beda.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka peneliti terinspirasi

untuk melakukan penelitian dengan judul “Estimasi Evapotranspirasi Melalui

Analisis Metode Kesetimbangan Energi di Kabupaten Bantul Tahun 2015

dengan Memanfaatkan Citra Satelit Landsat 8”.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana persebaran kelembaban tanah dan evapotranspirasi di

Kabupaten Bantul dari perekaman citra Landsat 8 tanggal 22 Februari

2015 dan 18 September 2015 berdasarkan aplikasi penginderaan jauh dan

sistem informasi geografis dengan pendekatan keruangan?

2. Bagaimana perubahan agihan evapotranspirasi terhadap jenis tutupan

vegetasi berdasarkan pendekatan SIG Kualitatif di Kabupaten Bantul?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Memetakan persebaran kelembaban tanah dan evapotranspirasi di

Kabupaten Bantul pada perekaman citra Landsat 8 tanggal 22 Februari

2015 dan 18 September 2015 berdasarkan aplikasi penginderaan jauh dan

sistem informasi geografis dengan pendekatan keruangan.

2. Menganalisis perubahan agihan evapotranspirasi terhadap jenis tutupan

vegetasi berdasarkan pendekatan SIG Kualitatif di Kabupaten Bantul.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Mengembangkan teknologi penginderaan jauh resolusi menengah dan

regional dari penggunaan citra Landsat 8.

8

2. Mengetahui nilai estimasi evapotranspirasi wilayah Kabupaten Bantul

tahun 2015.

3. Sebagai metode pengukuran estimasi evapotranspirasi yang dapat

diterapkan di instansi terkait, seperti BMKG, BPSDA, BPDAS, Dinas

Pertanian, dan sebagainya.

1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya

1.5.1 Telaah Pustaka

1.5.1.1 Penutup Lahan

Penutup lahan (land cover) merupakan gambaran permukaan bumi

berupa vegetasi dan bangunan yang menutupi permukaan lahan. Tutupan

vegetasi maupun bangunan tersebut terlihat dari citra penginderaan jauh

secara langsung. Kajian mengenai perubahan penutup lahan berkaitan erat

dengan sistem klasifikasi penutup lahan yang digunakan dalam analisis.

Klasifikasi penutup lahan dibedakan sesuai dengan tujuan penyusunannya.

Klasifikasi penutup lahan dalam kaitannya untuk merepresentasikan

persebaran kelembaban tanah menunjukkan suatu daerah bervegetasi

kerapatan tinggi akan memiliki kelembaban tanah yang tinggi pula.

Berbanding terbalik dengan daerah bervegetasi rendah akan memiliki

kelembaban tanah yang rendah atau dapat dikatakan cenderung mengalami

kekeringan.

Dalam kaitannya dengan evapotranspirasi, penutup lahan menjadi

pokok pengendalian tinggi rendahnya evapotranspirasi apabila diekstraksi

dari data penginderaan jauh. Jenis-jenis vegetasi pada setiap penutup lahan

akan berbeda pada setiap kondisi geomorfologi. Hal tersebut menjadi ciri

khas pada setiap kondisi geomorfologi dan akan menghasilkan nilai

evapotranspirasi yang berbeda-beda untuk setiap jenis vegetasi. Penutup

lahan sawah yang berada di kondisi geomorfologi fluvial akan memiliki

nilai evapotranspirasi yang berbeda dengan penutup lahan jenis vegetasi

jati di kondisi geomorfologi solusional.

9

1.5.1.2 Indeks Kerapatan Vegetasi

Indeks vegetasi digunakan untuk mengekstraksi citra penginderaan

jauh yang biasanya merupakan citra multispektral. Manfaat dari indeks

vegetasi tersebut adalah untuk menonjolkan aspek kerapatan dari vegetasi

maupun aspek lain yang berkaitan terhadap kerapatan, seperti halnya

biomasa, Leaf Area Index (LAI), maupun konsentrasi klorofil.

Salah satu transformasi indeks kerapatan vegetasi adalah NDVI atau

Normalized Difference Vegetation Index. NDVI tersebut merupakan

kombinasi antara teknik penisbahan dengan pengurangan nilai citra.

Transformasi NDVI menonjolkan aspek kerapatan vegetasi berdasarkan

indeks kehijauan vegetasi atau aktivitas fotosintesis vegetasi. Faktor yang

mempengaruhi nilai NDVI diantaranya adalah aktivitas fotosintesis pada

vegetasi, jumlah tutupan vegetasi, biomassa, kelembaban vegetasi dan

tanah, dan tanaman yang kurang sehat.

Kelebihan transformasi NDVI dibandingkan dengan transformasi

indeks vegetasi yang lain diantaranya adalah menonjolkan tingkat

kerapatan vegetasi yang memiliki kaitan erat dengan kelembaban tanah

dan jenis penutup lahan, alur metode dasar untuk memperoleh nilai

estimasi kelembaban tanah dan evapotranspirasi menggunakan nilai

transformasi NDVI, dan NDVI menggunakan beberapa saluran citra yang

representatif terhadap warna tanaman yang sesungguhnya.

1.5.1.3 Suhu Permukaan Tanah

Salah satu sensor yang dikembangkan dalam sistem penginderaan jauh

adalah sensor inframerah termal. Suhu permukaan tanah (SPT)

merepresentasikan keadaan di permukaan bumi yang dikendalikan oleh

keseimbangan energi permukaan baik atmosfer, sifat panas permukaan,

dan media di bawah permukaan lahan. SPT menjadi faktor penting dalam

perubahan iklim global dan menjadi variabel klimatologis yang utama.

Data SPT di suatu wilayah tidak selamanya akan dengan mudah

diperoleh, hanya sebagian daerah saja yang memiliki alat pengukur suhu.

10

Perolehan data melalui instansi seperti BMKG pun masih kurang

representatif karena data yang diukur tidak menyeluruh untuk seluruh

wilayah. Hanya wilayah-wilayah yang dapat dijangkau saja yang dapat

diperoleh datanya.

Untuk itu perlu pengolahan data citra penginderaan jauh untuk

memperoleh data SPT dengan pendekatan kerapatan vegetasi maupun

pengolahan dengan menggunakan beberapa algoritma untuk memperoleh

data suhu permukaan. Pemanfaatan citra penginderaan jauh untuk

memperoleh data SPT akan lebih lengkap menyeluruh berdasarkan

variabel yang mempengaruhi dibandingkan dengan pengukuran lapangan

oleh peralatan yang cenderung terbatas titik pengukurannya dan kurang

menyebar.

1.5.1.4 Kelembaban Tanah

Kelembaban tanah menjadi salah satu parameter penting dalam proses

hidrologi. Kelembaban tanah berkaitan erat dengan cuaca dan iklim. Salah

satu metode untuk mengetahui tingkat kelembaban tanah adalah dengan

pendekatan Temperature Vegetation Dryness Index (TVDI) atau

pendekatan kekeringan tanaman yang mendasarkan pada hubungan antara

suhu permukaan tanah atau SPT dengan indeks kerapatan vegetasi

(NDVI).

Nilai TVDI berkisar antara rentan 0 sampai 1, dimana semakin

mendekati 0 menunjukkan kondisinya akan semakin basah dan mendekati

1 akan semakin kering. Secara umum apabila permukaan tanah basah

maka nilai suhu permukaan akan rendah, dan sebaliknya. Sedangkan

semakin rapat vegetasi maka suhu permukaan akan bernilai semakin

rendah, dan sebaliknya.

Estimasi kelembaban tanah dengan memanfaatkan teknologi

penginderaan jauh memiliki kelebihan yaitu lebih efektif, meminimalisir

biaya, dapat dilakukan secara berulang, tidak terbatas waktu dan tempat,

serta memiliki validitas yang tinggi.

11

1.5.1.5 Evapotranspirasi

Salah satu proses hidrologi utama yaitu penguapan atau

evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan proses penggabungan dari

evaporasi dan transpirasi. Evaporasi terjadi akibat peristiwa penguapan

pada penutup lahan selain vegetasi termasuk penguapan tanah, sedangkan

transpirasi terjadi akibat peristiwa penguapan pada vegetasi.

Evapotranspirasi terbagi menjadi dua keadaan, yaitu evapotranspirasi

potensial (Etp) yang dipengaruhi faktor meteorologi, sedangkan

evapotranspirasi aktual (Eta) dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan

unsur tanah. Faktor dominan yang mempengaruhi Etp adalah radiasi panas

matahari dan suhu, kelembaban atmosfer dan angin, dan secara umum

besarnya Etp akan meningkat ketika suhu, radiasi panas matahari,

kelembaban, dan kecepatan angin bertambah besar. Pengaruh radiasi panas

matahari terhadap nilai Etp tersebut terjadi karena proses fotosintesis.

Suhu yang mempengaruhi Etp adalah suhu daun dan bukan suhu udara di

sekitar daun. Pengaruh angin terhadap Etp, semakin besar kecepatan angin,

semakin besar pula laju evapotranspirasinya. Dibandingkan dengan

pengaruh radiasi panas matahari, pengaruh angin terhadap laju ET adalah

lebih kecil.

Kelembaban tanah juga ikut mempengaruhi terjadinya

evapotranspirasi. Evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang

bersangkutan sedang tidak kekurangan suplai air. Hal tersebut karena

ketersediaan air dalam tanah ditentukan oleh tipe tanah. Peristiwa Etp juga

dipengaruhi oleh faktor potensial, sehingga evapotranspirasi yang tinggi

akan terjadi pada daerah dengan kelembaban tanah yang tinggi pula, dan

sebaliknya.

Selain kelembaban tanah, jenis vegetasi pada setiap penutup lahan

yang dipengaruhi kondisi geomorfologi wilayah yang berbeda juga akan

mempengaruhi nilai evapotranspirasi. Jenis vegetasi memiliki kondisi

ketersediaan air dalam tubuh dan pertahanan hidup yang berbeda-beda.

12

Tanaman tahunan di daerah kering seperti jati akan memiliki ketersediaan

air yang cukup tinggi dan mampu bertahan hidup pada musim kemarau,

berbeda dengan tanaman di persawahan yang harus selalu tersuplai air

untuk bertahan hidup. Gambar 1.1 merupakan proses evapotranspirasi.

Gambar 1.1 Proses evapotranspirasi

1.5.1.6 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (PJ) dalam penelitian ini berfungsi untuk

menganalisis kenampakan objek di atas permukaan bumi yang terekam

dari citra PJ. Penginderaan jauh digunakan untuk memperoleh data pada

cakupan wilayah yang luas dan meminimalisir survei lapangan.

Kelebihan lain penginderaan jauh dibandingkan survei lapangan

adalah PJ beracuan pada setiap piksel bukan setiap lokasi sehingga setiap

piksel memiliki nilai yang bervariasi. Berbeda dengan pengukuran

lapangan yang mengacu pada setiap titik pengukuran yang kurang merata

dan terbatas, sehingga data yang dihasilkan kurang representasi untuk

wilayah yang sangat luas.

1.5.1.6.1 Landsat 8

Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang dikelola oleh

NASA dan USGS yang secara spesifik digunakan untuk pemantauan

lahan. Landsat 8 memiliki persamaan karateristik dengan landsat

13

sebelumnya yaitu resolusi, metode koreksi, ketinggian terbang, dan

karakteristik sensor. Tabel 1.4 menunjukkan parameter pemrosesan produk

data Landsat 8.

Tabel 1.3. Parameter pemrosesan produk data standar citra Landsat 8

Jenis Produk Level 1T (terkoreksi medan)

Jenis Data 16-bit unsigned integer

Format Data GeoTIFF

Ukuran Piksel 15 m / 30 m / 100 m (pankromatik, multispektral,

termal)

Sistem Proyeksi UTM (Polar Stereographic untuk Antartika)

Datum WGS 1984

Orientasi North-up (utara-atas peta)

Resampling Cubic Convolution

Akurasi OLI: 12 m circular error, 90% confidence

TIRS: 41 m circular error, 90% confidence

Sumber : (usgs.gov, 2013)

Berdasarkan Tabel 1.4, Landsat 8 memiliki keunggulan dibandingkan

landsat versi sebelumnya yaitu terdapatnya sensor OLI (Operational Land

Imager) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor). Sensor OLI memiliki sistem

perekaman sensor push-broom scanner yang melakukan perekaman

berdasarkan sepanjang track yang telah ditentukan dan penyimpanan

dalam format kualifikasi 12-bit. Sensor TIRS berfungsi untuk mengindera

suhu dan aplikasi lainnya, seperti pemodelan evapotranspirasi untuk

memantau penggunaan air pada lahan. TIRS merekam citra pada dua

saluran inframerah termal. Gambar 1.2 menunjukkan satelit Landsat 8

sedang melakukan perekaman di bumi.

14

Gambar 1.2 Landsat 8 (usgs.gov, 2013)

1.5.1.6.2 Penginderaan Jauh Atmosfer dan Meteorologis

Citra penginderaan jauh yang dihasilkan dari perekaman satelit sudah

banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang ilmu salah satunya dalam

bidang atmosfer yang berkaitan dengan fenomena meteorologis. Data

meteorologis yang dapat diperoleh dari monitoring dan analisis citra

penginderaan jauh diantaranya adalah analisis tekanan udara, potensi

daerah hujan, badai siklon, pola angin permukaan, suhu permukaan,

kelembaban tanah, evapotranspirasi, dan sebagainya.

Suhu permukaan tanah merupakan contoh pemanfatan data

meteorologis yang dapat diekstraksi dari citra penginderaan jauh. Suhu

permukaan tanah berhubungan dengan energi permukaan dan

keseimbangan air pada skala regional maupun skala global. Pemanfaatan

aplikasi dari data suhu permukaan tanah yang lebih mendalam adalah

perubahan iklim, iklim panas perkotaan, siklus hidrologi, suhu udara, dan

monitoring vegetasi. Variasi suhu permukaan tanah dalam ruang dan

waktu yang berbeda yang diekstraksi dari citra satelit penginderaan jauh

dapat dimanfaatkan untuk estimasi variabel geofisika seperti

evapotranspirasi, kelembaban tanah, potensi air tanah, kandungan air

dalam vegetasi, dan lain sebagainya.

Data meteorologis yang dapat diekstraksi dari citra penginderaan jauh

salah satunya adalah suhu permukaan tanah (SPT). Suhu permukaan tanah

15

berhubungan dengan energi permukaan dan keseimbangan air pada skala

regional maupun skala global. Pemanfaatan aplikasi dari data suhu

permukaan tanah yang lebih mendalam adalah perubahan iklim, iklim

panas perkotaan, siklus hidrologi, suhu udara, dan monitoring vegetasi.

Variasi suhu permukaan tanah dalam ruang dan waktu yang berbeda yang

diekstraksi dari citra satelit penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk

estimasi variabel geofisika seperti evapotranspirasi, kelembaban tanah,

potensi air tanah, kandungan air dalam vegetasi, dan lain sebagainya.

Suhu permukaan tanah menjadi unsur dasar dalam penentuan estimasi

kelembaban tanah dan evapotranspirasi. Kaitannya dengan kelembaban

tanah, suhu permukaan tanah digunakan sebagai penentu tingkat

kelembaban tanah yang diidentifikasi dari kenampakan kerapatan vegetasi

dan penutup lahan, sedangkan untuk memperoleh nilai estimasi

evapotranspirasi digunakan sebagai penentu nilai albedo permukaannya.

1.5.1.6.3 Penginderaan Jauh Sistem Termal

Penginderaan jauh dengan sensor termal memperhatikan rona dan

warna yang ditentukan sebagai pantulan objek. Interpreter mengamati rona

atau warna yang sama untuk membedakannya terhadap rona atau warna

lain yang berbeda. Semakin cerah rona maka nilai pantulan semakin besar

begitupun sebaliknya. Akan tetapi berbeda dengaan citra penginderaan jauh

termal, rona setiap piksel tersebut juga dipengaruhi oleh nilai pancaran

(emisivitas). Setiap piksel pada citra termal akan mengisyaratkan suhu

permukaan yang juga dipengaruhi oleh nilai pancaran.

Distorsi geometrik yang mempengaruhi proses interpretasi citra

inframerah termal lebih rumit dari yang terjadi pada foto udara. Pada

umumnya citra inframerah termal tidak digunakan untuk maksud pemetaan

yang lebih teliti. Sistem termal pada citra Landsat 8 terdapat di saluran 10

dan 11. Resolusi spasial TIRS adalah 100 meter dan teregistrasi dengan

sensor OLI sehingga menghasilkan citra yang terkalibrasi secara

radiometrik dan telah terkoresi medan dengan level koreksi 1T.

16

Selain Landsat 8, ada beberapa citra yang memiliki sensor termal dan

dapat diperoleh secara gratis. Citra tersebut yaitu MODIS (Moderate-

resolution Imaging Spectroradiometer) dan AVHRR (Advanced Very High

Resolution Radiometer). Kelebihan sistem termal pada Landsat 8

dibandingkan dengan sensor termal pada citra lainnya yaitu sudah

tersedianya data termal dalam satu saluran inframerah gelombang panjang

dengan resolusi spasial yang lebih tinggi yaitu 100 meter dan memiliki

resolusi temporal yang jauh lebih cepat yaitu 16 hari.

1.5.1.6.4 Transformasi Citra Penginderaan Jauh

Transformasi citra dilakukan untuk mempertajam informasi tertentu pada

citra penginderaan jauh, sekaligus untuk mengurangi informasi yang tidak

dibutuhkan dengan cara mengurangi distorsi data penginderaan jauh.

Transformasi indeks vegetasi dengan NDVI (Normallized Difference

Vegetation Index) digunakan untuk yang menyatakan besarnya suatu

fenomena terkait karakteristik vegetasi. Dalam penginderaan jauh,

tranformasi indeks vegetasi merepresentasi tingkat kehijauan vegetasi

yang dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan suatu lahan,

aspek kerapatan, kandungan biomassa, kandungan klorofil dengan

menekankan sumber variasi spektral lainnya, dan mengetahui jenis tutupan

vegetasi.

Transformasi indeks citra yang berhubungan dalam bidang pertanian

dan kehutanan untuk penilaian kelembaban tanah adalah TVDI

(Temperature Vegetation Dryness Index atau Indeks Kekeringan

Vegetasi). TVDI menentukan indeks kelembaban dengan berdasar

parameter antara suhu permukaan dengan indeks vegetasi (NDVI). Indeks

kekeringan berkaitan dengan kelembaban tanah dan diperoleh hanya

berdasarkan input dari informasi satelit penginderaan jauh.

Dengan demikian maka penginderaan jauh termal dapat digunakan untuk

mengkaji kerentanan kekeringan lahan melalui pendekatan suhu

permukaan benda. Hal tersebut dapat digunakan sebagai penentuan tingkat

17

kelembaban tanah di suatu lahan dengan berdasar hasil kerentanan

kekeringan lahan.

Dengan meningkatnya jumlah vegetasi hijau, temperatur permukaan

menurun. Jika suatu permukaan basah, temperatur permukaan akan

menjadi rendah. Sebaliknya, jika permukaan kering, temperatur

permukaan akan meningkat. Dalam proses pengolahan TVDI, awan dan

bayangannya sangat mempengaruhi hasil pengolahan. Awan dan bayangan

awan memberikan nilai temperatur yang sangat rendah sehingga

mengakibatkan kesalahan dalam penentuan nilai temperatur minimum.

Transformasi penentuan evapotranspirasi dengan metode

kesetimbangan energi mempertimbangkan ketersediaan energi radiasi

terasa ke arah udara atau atmosfer, energi radiasi kedalam tanah, dan

energi untuk evapotranspirasi. Semakin besar nilai radiasi terasa kea rah

atmosfer, energy radiasi kedalam tanah, dan energy untuk evapotranspirasi

akan semakin tinggi nilai evapotranspirasinya. Berbanding terbalik dengan

bila salah satu aspek memiliki nilai rendah akan semakin rendah pula nilai

evapotranspirasinya. Semakin tinggi nilai evaporasi meskipun nilai

transpirasinya rendah dapat menghasilkan nilai yang sama tinggi nya

dengan daerah yang memiliki evapotranspirasi rendah namun memiliki

nilai transpirasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan nilai

evapotranspirasi sangat berkaitan erat dengan kondisi tanah serta kondisi

vegetasi.

1.5.1.7 Hubungan Kelembaban Tanah pada Penutup Lahan dengan

Evapotranspirasi

Pemanfaatan penginderaan jauh pada setiap penutup lahan

mempengaruhi kondisi kelembaban tanah suatu lahan. Pengaruh

kelembaban tanah pada jenis penutup lahan dipengaruhi oleh jumlah

ketersediaan vegetasi. Daerah yang memiliki vegetasi rapat mampu

merepresentasikan kelembaban tanah yang tinggi. Berbanding terbalik

dengan permukiman kota yang cenderung memiliki kelembaban tanah

18

rendah akibat ketersediaan vegetasi atau RTH (Ruang Terbuka Hijau)

yang terbatas atau tidak terdapat vegetasi sama sekali (lahan kosong). Hal

tersebut akibat adanya cadangan air yang banyak di tanah, sehingga

mampu memasok kebutuhan air untuk vegetasi.

Kelembaban tanah dapat mengindikasikan bencana kekeringan.

Kelembaban tanah yang basah pada penutup lahan bervegetasi kerapatan

tinggi akan terhindar dari bencana kekeringan. Berbeda dengan daerah

yang gersang seperti lahan kosong yang jarang ditumbuhi vegetasi. Hal

tersebut mengakibatkan kelembaban tanah dan jenis penutup lahan sangat

mempengaruhi evapotranspirasi suatu daerah. Evapotranspirasi merupakan

penguapan akibat adanya cadangan air baik di dalam tanah maupun

terdapat pada tumbuhan. Kelembaban tanah yang tinggi dengan kondisi

penutup lahan berupa vegetasi yang sangat rapat, akan memiliki nilai

evaporasi yang rendah namun transpirasi yang tinggi. Berbanding terbalik

dengan di permukiman kota yang padat penduduk, cenderung memiliki

nilai evaporasi yang tinggi namun transpirasi yang rendah. Konsep

evaporasi dan transpirasi tersebut dapat digabungkan untuk menghasilkan

nilai evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi potensial diperoleh dari

hasil interpretasi data penginderaan jauh dalam piksel yang mewakili suatu

benda.

Perbedaan nilai evapotranspirasi pada setiap penutup lahan akan

digunakan sebagai penanggulangan manajemen sumberdaya air. Dengan

demikian, akan meminimalisir aspek kebencanaan yang dapat terjadi di

suatu daerah. Dalam kata lain, pemanfaatan cadangan air juga dapat lebih

diperhatikan agar lebih merata jumlah cadangan air tanahnya.

1.5.2 Penelitian Sebelumnya

Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang telah ada sebelumnya.

Penelitian tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian ini baik dari segi tema,

metode, data, dan hasil yang diperoleh, seperti penelitian Walidatika (2016) yang

berjudul “Pemanfaatan Citra Landsat 8 dalam Pemetaan Suhu Permukaan Tanah

19

untuk Estimasi Kelembaban Tanah Kabupaten Bantul Tahun 2015”. Penelitian

tersebut menjelaskan tahapan dalam pemetaan suhu permukaan tanah dan

kelembaban tanah secara digital dengan menggunakan citra Landsat 8 dan metode

Split Window Algorithm (SWA), ekstraksi kerapatan vegetasi (NDVI), dan

ekstraksi kelembaban tanah (TVDI). Hasil penelitian ini adalah nilai suhu

permukaan tanah yang semakin rendah dan penggunaan lahan hutan bervegetasi

kerapatan tinggi akan menyebabkan nilai kelembaban tanah semakin basah.

Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada kerapatan vegetasi dan penutup

lahan menjadi parameter untuk menentukan nilai suhu permukaan tanah dan

kelembaban tanah, sedangkan penelitian Nurita (2017) mengembangkan nilai

kelembaban tanah dan suhu permukaan tanah sebagai parameter penentu nilai

evapotranspirasi setiap jenis tutupan vegetasi.

Penelitian Nugroho (2011) yang berjudul “Analisis Kelembaban Tanah

Permukaan Melalui Citra Landsat 7 ETM+ di Wilayah Dataran Kabupaten

Purworejo”. Penelitian tersebut menggunakan citra Landsat 7 ETM+ (The

Enhanced Thematic Mapper Plus) cakupan Kabupaten Purworejo dan

memanfaatkan software ENVI (The Environmental For Visualizing Images) dan

Ermapper dengan menekankan klasifikasi penggunaan lahan, kerapaatan vegetasi,

suhu permukaan lahan, pengolahan kelembaban tanah, dan uji akurasi. Hasil

penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ menyajikan data estimasi kelembaban

tanah dengan kelas yakni kering, agak kering, sedang, agak basah, dan basah.

Adapun didominasi oleh kelas kelembaban tanah sedang. Perbedaan dengan

penelitian ini adalah citra yang digunakan pada penelitian Nurita (2017)

menggunakan jenis citra Landsat versi terbaru yang telah didukung sensor termal

dan software pengolahan yang digunakan terfokus dengan software ENVI. Uji

akurasi yang dilakukan juga berbeda karena penelitian ini tidak melakukan

pengujian jenis tanah dan warna tanah untuk mempertimbangkan kondisi

kelembaban tanahnya.

Penelitian Rahmi (2015) dengan judul ”Penggunaan Algoritma Surface

Energy Balance System (SEBS) pada Citra Landsat 8 Multitemporal untuk

20

Estimasi Evapotranspirasi Aktual di DAS Mangkang Timur, DAS Garang, dan

DAS Kanal Timur” menekankan pengaruh evapotranspirasi aktual. Hasil dari

penelitian tersebut adalah estimasi evapotranspirasi aktual lebih dipengaruhi

faktor fraksi evaporatif, energy netto, dan energy panas tanah. Hasil perbandingan

akurasi estimasi evaporasi dengan data dari stasiun BMKG menununjukan bahwa

data BMKG dan hasil estimasi relatif sama dan hanya memiliki selisih 0,089

mm/hari. Hasil analisis distribusi spasial estimasi evapotranspirasi aktual

berdasarkan penutup lahan yang paling tinggi nilai evapotranspirasinya di

penggunaan lahan tubuh air yakni 9,6 mm/hari dan paling rendah di aspal, seng,

dan tanah kering/genteng. Perbedaan dengan penelitian ini adalah fokus

pengolahan estimasi evapotranspirasi secara aktual, sehingga metode dan software

yang digunakan juga berbeda.

Shomat (2015) melakukan penelitian dengan judul “Landsat 8 Sebagai Data

untuk Estimasi Evapotranspirasi dengan Model Keseimbangan Energi” yang

menekankan estimasi evapotranspirasi dengan pengujian secara digital dengan

metode Penman yang sudah dipatenkan oleh FAO sebagai acuan kebenaran

evapotranspirasi. Hasil pengujian menunjukan bahwa dengan model

kesetimbangan energi sudah sesuai dan dapat digunakan sebagai salah satu model

perhitungan evapotranspirasi. Hasil evapotranspirasi metode Penman dan

kesetimbangan energi hampir tepat sama nilainya. Perbedaan dengan penelitian

ini terletak pada wilayah cakupan dan tidak menggunakannya pengujian akurasi.

Pengembangan dari penelitian ini yakni lebih menekankan pada pengolahan data

tanpa dilakukannya uji akurasi dan mempertimbangkan aspek kelembaban tanah

serta jenis tutupan vegetasi pada setiap penggunaan lahan.

Penelitian Taolin (2014) dengan judul “Pendugaan Evapotranspirasi Padi

Sawah Menggunakan Metode Nisbah Bowen (Studi Kasus di Kabupaten

Indramayu)” menekankan estimasi evapotranspirasi aktual padi sawah serta

menganalisis karakteristik komponen yang mempengaruhi evapotranspirasi. Hasil

estimasi evapotranspirasi harian menggunakan nisbah bowen selama penelitian

memiliki kisaran nilai 2,4 mm hingga 4,3 mm. Pada siang hari jam 12.00 nilai

21

evapotranspirasi bisa mencapai 0,54 mm/jam dan akan menurun pada jam 16.30

menjadi 0,04 mm/jam. Hasil pengukuran dengan metode FAO Penman-Monteith

memiliki selisih 0,2 lebih tinggi. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada

pengujian secara manual berdasarkan proses fisika yang terjadi pada permukiman

lingkungan tanaman dari waktu ke waktu, sedangkan penelitian ini lebih

menekankan secara digital pengolahannya berdasarkan nilai karakteristik setiap

piksel yang dimiliki oleh citra Landsat 8.

Penelitian Walidatika (2017) dengan judul “Estimasi Evapotranspirasi

Melalui Analisis Metode Kesetimbangan Energi di Kabupaten Bantul Tahun 2015

dengan Memanfaatkan Citra Landsat 8”. Hasil yang diharapkan dalam penelitian

ini adalah menganalisis persebaran kelembaban tanah dan evapotranspirasi pada

setiap kurun waktu yang berbeda, serta menganalisis nilai evapotranspirasi pada

setiap jenis tutupan vegetasi yang mampu menyebabkan nilai evapotranspirasi

paling tinggi dan paling rendah.

Perbedaan dengan analisis sebelumnya yaitu penelitian ini menggunakan

kelembaban tanah sebagai parameter utama dalam mengestimasi nilai

evapotranspirasi. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini

menekankan pada konsep penginderaan jauh tanpa melakukan pengujian akurasi

dengan metode lain untuk memperoleh nilai evapotranspirasi. Hal tersebut

dilakukan karena telah dilakukan pengujian akurasi pada penelitian sebelumnya

yang menyatakan hasil evapotranspirasi dengan penginderaan jauh cukup

signifikan hasilnya dengan metode yang lain dan hanya memiliki selisih nilai

sangat kecil. Selain itu, pengujian yang lain hanya terfokus pada kelembaban

tanah atau evapotranspirasi, namun penelitian ini menekankan keduanya sebagai

hubungan timbal balik yang saling berkaitan. Tabel 1.5 menunjukan penelitian

sebelumnya untuk membandingkan dengan beberapa referensi penelitian.

22

Tabel 1.4 Perbandingan penelitian dengan penelitian sebelumnya

Nama Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

Nurita Walidatika

(2016)

Pemanfaatan Citra Satelit

Landsat 8 dalam Pemetaan Suhu

Permukaan Tanah untuk

Estimasi Kelembaban Tanah

Kabupaten Bantul Tahun 2015

a. Pemetaan estimasi

persebaran suhu

permukaan lahan di

Kabupaten Bantul Tahun

2015

b. Pemetaan estimasi

persebaran kelembaban

tanah di Kabupaten Bantul

Tahun 2015

c. Mengintegraasi hasil

pengolahan citra Landsat

8 untuk mengetahui

pengaruh kelembaban

tanah terhaadap suhu

permukaan lahan dalam

kurun waktu tertentu

Metode sampling :

Proportional Random

Sampling

Metode analisis :

Split Window

Algorithm (SWA) dan

Temperature

Vegetation Dryness

Index (TVDI)

Nilai suhu permukaan lahan

Februari 2015 berkisar 19,93

– 44,43 oC dan September

2015 berkisar 19,76 – 42, 8 oC.

Estimasi kelembaban tanah

bulan Februari didominasi

kelas normal dan September

didominasi kelas agak kering.

Penutup lahan bervegetasi

kerapatan tinggi seperti hutan

memiliki nilai kelembaban

tanah yang basah, sedangkan

untuk permukiman rapat

memiliki kelembaban tanah

yang kering.

Sediyo Adi Nugroho

(2011)

Analisis Kelembaban Tanah

Permukaan Melalui Citra

Landsat 7 ETM+ di Wilayah

Dataran Kabupaten Purworejo

a. Mengetahui hubungan nilai

spektral dengan kelembaban

tanah permukaan

b. Mengetahui hubungan

kelembaban tanah

permukaan terhadap liputan

vegetasi dan temperatur

permukaan

c. Mengetahui hubungan

Metode sampel :

Stratisfied Purposive

Sampling

Metode analisis :

Temperature

Vegetation Dryness

Index (TVDI) dengan

menggunakan citra

Landsat 7 ETM+

Hubungan kelembaban

taanah dengan nilai spektral

berbanding lurus yakni

kelembaban tanah yang

basah memiliki nilai spektral

yang gelap, sebaliknya untuk

kelembaban tanah kering

memiliki nilai spektral yang

cerah.

Hubungan kelembaban tanah

23

antara kelembaban tanah

permukaan dengan

Penggunaan Lahan

terhadap kerapatan vegetasi

dan suhu permukaan yakni

kelembaban tanah yang

basah memiliki kerapatan

vegetasi yang lebat dengan

suhu permukaan yang

rendah.

Hubungan kelembaban tanah

dengan penggunaan lahan

yang memiliki nilai

kelembaban tanah tinggi

yakni tubuh air sebesar 100%

dan yang terendah yakni

belukar 12,5%.

Pengaruh warna tanah dan

jenis tanah terhadap

kelembaban tanah yakni

tanah jenis alluvial dengan

warna cokelat memiliki

kelembaban tanah yang

paling basah.

Khalifa Insan Nur

Rahmi (2015)

Penggunaan Algoritma Surface

Energy Balance System (SEBS)

pada Citra Landsat 8

Multitemporal untuk Estimasi

Evapotranspirasi Aktual di DAS

Mangkang Timur, DAS Garang,

dan DAS Kanal Timur

a. Mengetahui kemampuan

citra Landsat 8 untuk

menurunkan parameter-

parameter estimasi

evapotranspirasi aktual.

b. Mengetahui akurasi citra

Landsat 8 untuk

mengestimasi

evapotranspirasi aktual

Metode sampling :

Proportionated

Random Sampling

Metode analisis :

Algoritma Surface

Energy Balance System

dengan menggunakan

citra Landsat 8, Citra

Parameter evaapotranspirasi

aktual yang paling penting

adalah emisivitas memiliki

akurasi 71,43%.

Hasil uji akurasi ETa metode

SEBS stasiun klimatologi I

yakni 0,99 mm/hari, stasiun

meteorologi kelas II Ahmad

Yani yakni 2,18 mm/hari,

Lanjutan Tabel 1.5

24

dibandingkan data stasiun

meteorologi dan

klimatologi.

c. Mengetahui pola distribusi

spasial evapotranspirasi

aktual hasil estimasi data

penginderaan jauh

berdasarkan penutup lahan.

MODIS, citra SRTM dan stasiun meteorologi kelas

II maritim yakni 2,66

mm/hari.

Nilai ETa tertinggi

mendominasi pada

penggunaan lahan tubuh air

yakni 9,6 mm/hari dan

terendah adalah seng yakni

5,6 mm/hari.

Fazlurrahman Shomat

(2015)

Landsat 8 Sebagai Data untuk

Estimasi Evapotranspirasi

dengan Model Keseimbangan

Energi

a. Memanfaatkan citra

Landsat 8 untuk ekstraksi

data suhu, kerapatan

vegetasi, dan albedo

sebagai parameter utama

dalam estimasi

evapotranspirasi

b. Mengestimasi

evapotranspirasi yang

terjadi pada Kabupaten

Madiun dan Magetan

c. Menguji keakuratan Model

Kesetimbangan Energi di

bandingkan dengan

pengukuran menggunakan

metode Penman

Metode sampling :

Stratified Random

Sampling

Metode analisis :

Model Keseimbangan

Energi dan Metode

Penman dengan

menggunakan citra

Landsat 8

Nilai evapotranspirasi di

Kabupaten Madiun dan

Magetan berkisar 5-6

mm/hari.

Nilai estimasi kesetimbangan

energi dan metode penman

memiliki akurasi 0,05 yang

berarti bisa diterima karena

memiliki nilai hampir sama.

Roberto Ignasius

Cunsese Oba Taolin

(2014)

Pendugaan Evapotranspirasi

Padi Sawah Menggunakan

Metode Nisbah Bowen (Studi

Kasus di Kabupaten

a. Menguji akurasi metode

Nisbah Bowen dalam

menduga nilai

evapotranspirasi aktual

Metode Nisbah Bowen

dan Metode FAO

Penman-Monteith

dengan perhitungan

Nilai estimasi

evapotranspirasi padi sawah

berkisar antara 2,4 – 4,3

mm/hari.

Lanjutan Tabel 1.5

25

Indaramayu) padi sawah

b. Mempelajari karakteristik

komponen-komponen

yang berpengaruh pada

evapotranspirasi

manual Hasil akurasi

evapotranspirasi metode

nisbah bowen dengan FAO

Penman Monteith yakni 0,05

yang berarti memiliki

hubungan yang signifikan

denngan koefisien

korelasinya.

enulis : Nurita

Walidatika (2017)

Estimasi Evapotranspirasi

Melalui Analisis Metode

Kesetimbangan Energi di

Kabupaten Bantul Tahun 2015

dengan Memanfaatkan Citra

Landsat 8

a. Memetakan persebaran

kelembaban tanah dan

evapotranspirasi di

Kabupaten Bantul pada

perekaman citra Landsat 8

tanggal 22 Februari 2015

dan 18 September 2015

berdasarkan aplikasi

penginderaan jauh dan

sistem informasi

geografis.

b. Menganalisis perubahan

agihan evapotranspirasi

terhadap jenis tutupan

vegetasi berdasarkan

pendekatan SIG Kualitatif

di Kabupaten Bantul.

Metode sampling :

stratified purposive

sampling

Metode analisis :

Metode

Kesetimbangan Energi

untuk Evapotranpirasi

dan Metode TVDI

untuk Kelembaban

Tanah dengan

menggunakan citra

Landsat 8

Lanjutan Tabel 1.5

26

1.6 Kerangka Penelitian

Kelembaban tanah merupakan air yang mengisi sebagian atau seluruh pori-

pori tanah yang berada di atas water table. Kelembaban tanah berperan dalam

menentukan ketersediaan air di bumi. Tingkat kelembaban tanah suatu wilayah

akan mencerminkan air yang mengalami penguapan. Pada wilayah dengan

kelembaban tanah tinggi berarti daerah tersebut memiliki cadangan air yang

banyak, sehingga cadangan air yang menguap akan semakin banyak. Dalam

proses hidrologi dikenal dengan konsep imbangan air. Air yang masuk akan sama

jumlahnya dengan air yang keluar. Data masukan air akan berupa aliran

permukaan, infiltrasi, presipitasi, dan sebagainya, sedangkan data keluaran

diantaranya adalah evapotranpirasi.

Evapotranspirasi merupakan keseluruhan jumlah air yang berasal dari

permukaan tanah, air, dan vegetasi yang diuapkan kembali ke atmosfer oleh

adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologi vegetasi. Data evapotranpirasi

dapat diturunkan untuk memperoleh data lain seperti kekeringan suatu daerah,

banyaknya curah hujan yang akan terjadi, dan masih ada beberapa faktor iklim

yang dapat di identifikasi dari data evapotranspirasi.

Data evapotranspirasi sudah banyak diperoleh dengan pengukuran langsung

di lapangan. Metode manual akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Selain

itu, stasiun pengamatannya masih kurang merata lokasinya, sehingga akan

menghasilkan data yang kurang representatif di lapangan dan hasil pengukuran

yang berbentuk nilai pada titik lokasi bukan berupa area. Dengan begitu data yang

dihasilkan dari pengukuran lapangan hanya akan terbentuk suatu interpolasi

bukan data yang merepresentasikan secara kewilayahan dan keruangan.

Pemanfaatan data penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk

memperoleh informasi objek dari jarak jauh tanpa kontak langsung dengan

menggunakan data dari penginderaan jauh ini dapat memperoleh banyak

informasi secara agihan spasial dengan baik dan benar, serta memudahkan karena

tidak banyak melakukan survei lapangan. Selain itu, data yang dihasilkan akan

berupa data yang representatif sesuai kenyataan di lapangan karena setiap lokasi

27

pada citra penginderaan jauh sudah memiliki karakteristik yang berbeda meliputi

nilai pantulan spektralnya.

Pendekatan yang dilakukan untuk ekstraksi kelembaban tanah adalah TVDI

(Temperature Vegetation Dryness Index) yang merupakan pendekatan untuk

menghitung tingkat kelembaban tanah yang dipengaruhi oleh indeks kerapatan

vegetasi dan suhu permukaan tanah. Data yang digunakan untuk menghitung

kelembaban tanah dengan TVDI meliputi penutup lahan, suhu permukaan, dan

NDVI (Normallized Difference Vegetation Index).

Pendekatan yang dilakukan untuk ekstraksi evapotranpirasi adalah

kesetimbangan energi dengan melibatkan energi yang ada di bumi, yaitu energi

terasa ke arah atmosfer (Soil Heat Flux), energi terasa ke udara (Sensible Heat

Flux), energi evapotranspirasi (QE), energi radiasi kedalam tanah (QG), dan

energi radiasi netto (Q*). Berikut adalah persamaan kesetimbangan energi yang

digunakan dalam penelitian ini :

QE = Q* - (QH + QG)………(1)

Data yang digunakan untuk menghitung evapotranpirasi dengan

menggunakan kesetimbangan energi adalah data ekstraksi kelembaban tanah dan

albedo permukaan. Data ini cukup baik, karena data dari penginderaan jauh

merupakan data yang memiliki agihan spasial yang baik sehingga cocok untuk

menjadi data dalam pendekatan ini. Gambar 1.3 menunjukan bagan kerangka

penelitian.

28

Gambar 1.3 Bagan kerangka penelitian

1.7 Batasan Operasional

Algoritma Maximum Likelihood merupakan algoritma yang secara statistik paling

sesuai dengan asumsi bahwa objek homogen selalu menampilkan

histogram yang terdistribusi normal atau bayestion (Danoedoro, 2012).

Evapotranspirasi merupakan dua proses yang terpisah yaitu evaporasi dan

transpirasi. Evaporasi adalah kehilangan air dari permukaan sementara

transpirasi adalah penguapan yang berasal dari tanaman (Allen, dkk.

1998)

Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra

(biasanya multisaluran), untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi

ataupun aspek air yang berkaitan dengan kerapatan (Danoedoro,

Menggunakan

aplikasi SIG

Kabupaten Bantul Menggunakan

aplikasi PJ

- Masalah kekeringan meteorologis

- Dampak Lanina tahun 2015

- Analisis geomorfologi wilayah mempengaruhi

distribusi air yang berbeda di setiap wilayah

- Analisis geomorfologi wilayah mempengaruhi

jenis penutup lahan dan jenis tutupan vegetasi Persebaran dan agihan

kelembaban tanah dan

evapotranspirasi Parameter :

Fisiologis vegetasi (kerapatan vegetasi

dan penutup lahan)

Jenis tutupan vegetasi

Iklim (suhu permukaan tanah, suhu

udara, dan kecepatan angina)

Kelembaban tanah

Estimasi evapotranspirasi pada setiap jenis

tutupan vegetasi untuk melihat pengaruh

jenis vegetasi di Kabupaten Bantul

Pendekatan SIG kualitatif

untuk evapotranspirasi pada

setiap jenis tutupan vegetasi

29

Pengolahan Citra Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang

Penginderaan Jauh, 1996).

Interpolasi Spasial merupakan salah satu fasilitas SIG yang tidak dapat atau sulit

dilakukan secara manual untuk menghasilkan peta lereng atau kontur data

secara cepat, mudah, dan akurat setelah memasukan informasi berupa garis

kontur dan atau titik ketinggian (Danoedoro, 1996).

Kelembaban Tanah merupakan air yang mengisi sebagian atau seluruh pori-pori

tanah yang berada di atas water table (Suprojo & Jamulya, 1993)

Klasifikasi Multispektral (Terselia) merupakan sekumpulan algoritma yang

didasari pemasukan objek berupa nilai spectral oleh operator (Danoedoro,

2012).

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan kombinasi antara

teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra (Danoedoro, 2012).

Penginderaan Jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang

diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap

objek, daerah, atau gejala yang dikaji (Sutanto, 1987).

Sistem Informasi Geografi merupakan system manual dan atau computer yang

digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan

menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spasial atau geografis

(Danoedoro, 2012).

Suhu Permukaan Lahan (LST) merupakan fenomena penting dalam perubahan

iklim global (Rajheswari & Mani, 2014)