BAB I PENDAHULUAN I.pdf1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN I.pdf1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
mempunyai peran penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Oleh karena itu matematika wajib diajarkan dari pendidikan dasar,
menengah sampai dengan pendidikan tinggi dan memiliki andil yang cukup besar
untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama.
Tujuan dari pembelajaran matematika tertuang didalam Depdiknas yaitu
menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang isinya adalah: (1) Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau logaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan
masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dari tujuan pembelajaran matematika terlihat bahwa yang menjadi tujuan
utama dan terpenting adalah pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan
2
kegiatan menyelesaikan soal yang tidak rutin. Menurut Siswono (2018:43)
masalah dapat diartikan suatu situasi atau pertanyaan yang dihadapi seseorang
individu atau kelompok ketika mereka tidak mempunyai aturan,
algoritma/prosedur terntentu atau hukum yang segera dapat digunakan untuk
menentukan jawabannya. Ciri dari suatu masalah adalah (1) individu
menyadari/mengenali suatu situasi yang dihadapi (mempunyai pengetahuan
prasyarat), (2) individu menyadari bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan
(situasi menantang untuk diselesaikan), (3) langkah pemecahan masalah tidak
harus jelas atau mudah ditangkap orang lain (mengetahui bagaimana
menyelesaikan masalah meskipun belum jelas).
Pada umumnya, masalah matematika disajikan dalam bentuk soal non
rutin yang salah satunya berbentuk soal cerita yang berkaitan dengan masalah
dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan konsep matematika. Anggo
(2011) menjelaskan bahwa melalui pemecahan masalah matematika, siswa
diarahkan untuk mengembangkan kemampuannya antara lain membangun
pengetahuan matematika yang baru, memecahkan masalah dalam berbagai
konteks yang berkaitan dengan matematika, menerapkan berbagai strategi yang
diperlukan, dan merefleksikan proses pemecahan masalah matematika. Polya
(1973) menjelaskan langkah-langkah dalam pemecahan masalah, yaitu memahami
masalah, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan rencana dan
memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Charles dan Lester (1987) menyatakan bahwa terdapat 3 aspek yang turut
mempengaruhi pemecahan masalah matematika, yaitu: (1) Aspek kognitif,
termasuk didalamnya pengetahuan konseptual, pemahaman dan strategi untuk
3
mengaplikasikan pengetahuan tersebut; (2) Aspek afektif, merupakan aspek yang
mempengaruhi kecendrungan siswa untuk memecahkan masalah; (3) Aspek
metakognisi, termasuk didalammya kemampuan untuk mengatur pemikirannya
sendiri. Dari ketiga aspek tersebut, aspek ketiga merupakan aspek yang penting
untuk diperhatikan dalam mengajarkan pemecahan masalah. Hal ini disebabkan
karena pemecahan masalah tidak terlepas dari kesadaran siswa untuk mengontrol
dan mengecek belajarnya sendiri. Apa yang ia pikirkan dapat membantu
memecahkan suatu masalah.
Berpikir tentang apa yang dipikirkan dalam dalam hal ini berkaitan dengan
kesadaran siswa terhadap kemampuannya untuk mengembangkan berbagai cara
yang mungkin ditempuh dalam memecahkan masalah. Menurut Gartman dan
Freiberg (1993) proses untuk menyadari dan mengatur berpikir siswa sendiri
tersebut, dikenal sebagai metakognisi, termasuk didalamnya berpikir tentang
bagaimana siswa membuat pendekatan terhadap masalah, memilih strategi yang
digunakan untuk menemukan pemecahan, dan bertanya kepada diri sendiri
tentang masalah tersebut.
Menurut Wellman (Chairani, 2016:33) metakognisi adalah suatu bentuk
kognisi, yaitu suatu proses berpikir tingkat tinggi yang melibatkan kontrol secara
aktif dalam kegiatan kognisi, dikaitkan dengan penyelesaian masalah matematika
maka metakognisi juga berhubungan dengan cara berpikir siswa sendiri dan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Misalnya siswa
lebih mudah untuk menyelesaikan soal rutindaripada menyelesaikan non rutin. Ini
menunjukan adanya perbedaan dalam penggunaan pola pikir sebagai wujud proses
metakognisi.
4
Menurut Chairani (2016:59) wujud dari proses metakognisi adalah
kesadaran tentang apa yang diketahui seseorang (pengetahuan metakognisi) dan
apa yang dilakukan seseorang (keterampilan metakognitif). Salah satu wujud dari
proses metakognisi adalah keterampilan metakognitif, keterampilan metakognitif
tersebut akan timbul dimana seseorang dapat mengawali pikirannya dengan
merancang, memantau, dan menilai apa yang dipelajarinya. Guru perlu
mengetahui proses berpikir siswa dalam pemecahan masalah, membantu siswa
untuk memecahkan masalah dan mengembangkan keterampilan siswa dalam
merencanakan, memonitoring dan mengevaluasi pemikirannya sendiri ketika
memecahkan masalah.
Pembelajaran dengan menggunakan keterampilan metakognitif dapat
menanamkan kesadaran siswa tentang bagaimana merancang keterampilan
perencanaan diri, keterampilan pemantauan diri, dan keterampilan mengontrol
tentang apayang diketahui siswa. Dengan adanya keterampilan metakognitif siswa
dapat menyadari, mengatur dan mengontrol proses berpikirnya dalam
penyelesaian masalah yang meliputi keterampilan dalam merencanakan
(planning), memonitor (monitoring) dan mengevaluasi (evaluation) proses dan
hasil berpikirnya sendiri sehingga dapat mengoptimalkan proses dan hasil
berpikirnya sendiri.
Penggunaan kemampuan metakognisi dalam pembelajaran merupakan hal
yang sangat penting sehingga pemerintah menetatapkan standar lulusan SMP/MTs
pada kurikulum 2013 harus memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural,
dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab
5
fenomena dan kejadian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan
metakognisi menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai oleh siswa
SMP/MTs dalam kurikulum 2013.
Pada kenyataannya tidak semua siswa dapat menggunakan metakognisinya
dengan baik khususnya dalam hal pemecahan masalah matematika.Perbedaan
siswa dalam menggunakan metakognisinya menurut penelitian yang dikukan oleh
Alfiyah dan Siswono (2014) menunjukkan bahwa siswa kelas VIII H SMP Negeri
1 Puri tahun ajaran 2013/2014 belum dapat menggunakan keterampilan
metakognitif dengan baik dalam memecahkan masalah. Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Bulu (2015) mengenai kesulitan metakognisi di SMA Negeri 1
Soe mengungkapkan bahwa siswa melancholis, choleris, dan phlegmatis
mengalami kesulitan dalam menggunakan metakognisinya dalam pemecahan
masalah matematika pada materi peluang. Senada dengan itu, Sinaga (2016:)
dalam menyelesaikan masalah matematika menunjukkan bahwa tidak semua
siswa yang terpilih sebagai subjek penelitian dapat memenuhi semua indikator
keterampilan metakognitif dalam penyelesaian masalah. Hal tersebut juga sejalan
dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh fitria, dkk (2016)
dalam penelitiannya mengenai analisis kesulitan metakognisi siswa dalam
memecahkan masalah sistem pertidaksamaan linier dua variabel ditinjau dari tipe
kepribadian guardian, artisan, rational dan idealist kelas X SMKN 1 Jombang
menunjukkan bahwa hanya siswa dengan tipe kepribadian idealist yang
mengalami kesulitan dalam menggunakan metakognisinya dalam pemecahan
masalah matematika, yaitu pada aspek pengetahuan tentang strategi siswa
kesulitan menghubungkan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya
6
dengan konsep yang digunakan dalam pemecahan masalah dan tidak dapat
menyebutkan alasan penggunaan konsep tersebut, mengetahui tujuan dari soal
namun siswa tidak dapat menggunakan konsep materi pada soal, tidak bertanya
pada diri sendiri saat memecahkan masalah dan tidak menyebutkan alasan
melakukannya, dan tidak membaca kembali bagian yan tidak dimengerti.
Kemudian pada aspek pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif siswa tidak
mengetahui algoritma apa yang dipakai dan langkah-langkah dalam strategi. Pada
aspek pengetahuan diri siswa tidak menyadari bahwa siswa merasa kesulitan
dalam menentukan langkah-langkah penyelesaian yang siswa buat salah, namun
tetap pada keyakinan jika langkah penyelesaian siswa benar dan sudah menjawab
apa yang ditanyakan pada soal.
Menurut peneliti setiap siswa memiliki keterampilan metakognitif yang
berbeda-beda dalam menyelesaikan sebuah masalah tergantung pengetahuan dan
kemampuan awal siswa. Serta faktor lain yang mempengaruhi cara siswa yang
berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah adalah karakteristik siswa. Salah satu
karakteristik siswa yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran yaitu
berkenaan dengan kepribadian siswa. Berdasarkan pada kenyataan bahwa
kepribadian siswa sangat bermacam-macam, para ahli mengelompokkan individu
ke dalam tipe-tipe tertentu. Keirsey (1998) membagi empat tipe kepribadian yaitu
Guardian, Artisan, Rational,dan Idealist.
Keirsey dan Bates (1984) menjelaskan bahwa individu dengan tipe
guardian lebih suka mengikuti prosedur rutin dengan instruksi detail, atau dengan
kata lain tipe ini menyukai kelas dengan model tradisional dengan prosedur
teratur. Individu dengan tipe artisan menyukai bentuk kelas yang banyak diskusi
7
dan presentasi karena cenderung ingin menunjukan kemampuannya, serta
menyukai perubahan dan tidak suka terhadap kestabilan. Individu dengan tipe
idealist lebih menyukai menyelesaikan tugas secara diskusi kelompok, menyukai
membaca dan menulis sehingga lebih cocok jika diberi tes berbentuk uraian atau
soal cerita. Individu dengan tipe rational menyukai cara belajar dengan
pemecahan masalah yang kompleks, lebih suka belajar secara mandiri, serta
mampu menangkap abstraksi dan materi yang memerlukan intelektualitas yang
tinggi.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa siswa dengan tipe idealist lebih
menyukai penyelesaian tugas secara diskusi kelompok. Siswa dengan tipe idealist
menyukai membaca dan menulis. Mereka lebih cocok jika diberikan tes berbentuk
uraian atau soal cerita. Hal ini sesuai dengan masalah dalam matematika yaitu
berupa masalah non rutin yang salah satunya berbentuk soal cerita yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari dan yang berkaitan dengan konsep matematika.
Siswa dengan tipe kerpribadian idealist sangat erat kaitannya dengan
metakognisi dalam hal pemecahan masalah yaitu pada kepercayaan akan
kemampuan yang dimiliki oleh tipe kepribadian idealist. Kepribadian idealist
memiliki cara berpikir yang abstract cooperators atau pemikir abstrak yang
kooeratif, namun tipe kepribadian ini biasanya mengambil keputusan berdasarkan
pada keyakinan diri sendiri dari pada kepada orang lain. Sedangkan metakognisi
secara umum diartikan sebagai kesadaran berpikir tentang berpikir atau
kemampuan mengungkapkan apa yang dipikirkan dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan observasi awal pada tanggal 25 Januari 2019 di SMPN 1
Kota Jambi terhadap satusiswa tipe kepribadian idealist di kelas VII CI 1 dapat
8
diuraikan proses metakognisinya terkait keterampilan metakognitif dalam
memecahkan masalah matematika pada materi perbandingan sebagai berikut.
Gambar 1.1 Jawaban Pemecahan Masalah Matematika Siswa
1. Aspek perencanaan (planning)dari jawaban siswa dapat dilihat bahwa dalam
pemecahan masalah menunjukkan bahwa siswa menyadari hubungan antar
data yang diketahui, siswa mampu mentransformasikan non rutin yang berupa
soal cerita menjadi model matematika tapi belum dirubah kedalam bentuk
yang lebih operasional dan siswa belum mampu menentukan strategi
penyelesaian dengan tepat hal ini terlihat dari hasil tes dan wawancara bahwa
siswa kebingungan tentang konsep yang digunakan. Siswa sudah menuliskan
apa yang diketahui tetapi tidak lengkap dimana siswa tidak menuliskan jumlah
uang dari Sinta, Yani, dan Hanakemudian siswa juga tidak tidak menuliskan
apa yang ditanyakan pada soal. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 1.2
berikut.
Gambar 1.2 Jawaban Pemecahan Masalah Matematika Siswa
2. Aspek pemantauan (monitoring) pada keterampilan metakognitif belum secara
optimal dikuasai. Hal ini terlihat dari jawaban siswa bahwa masih kurang
optimalnya siswa dalam aspek monitoring yang dibagi menjadi dua indikator
9
yaitu siswa belum optimal dalam mengingat dan menentukan rumus yang
digunakan dengan tepat, serta siswa belum optimal menerapkan konsep yang
digunakan dengan tepat, yaitu pada saat melaksanakan rencana untuk mencari
uang Hana siswa sudah melakukan langka-langkah dengan benar hanya saja
siswa lupa membagikan dengan jumlah dari angka perbandingan uang Sinta,
Yani dan Hana dan langsung mengalikan angka perbandingan Hana dengan
jumlah uang dari ketiganya. subjek merasa yakin dirinya mampu
menyelesaikan soal tersebut, tetapi tidak menyadari kalau pengetahuannya
kurang lengkap dan tidak mengetahui dengan tepat bagaimana
mengoperasikannya sehingga dengan yakin dan mantap subjek melakukan
langkah-langkah penyelesaian dan yakin kalau langkah-langkah yang
dilakukan sudah benar, padahal penerapannya salah. Hal tersebut dapat dilihat
pada gambar 1.3 berikut.
Gambar 1.3 Jawaban Pemecahan Masalah Matematika Siswa
3. Aspek pemeriksaan atau evaluasi pada keterampilan metakognitif pada saat
pemecahan masalah belum optimal, yaitu ditandai dengan dua indikator
sebagai berikut; siswa belum tepat dalam proses perhitungan dan siswa tidak
melakukan pemeriksaaan kembali setelah mengerjakan karna siswa sudah
yakin akan jawabannya, sehingga tidak sadar jawabannya salah.
Gambar 1.4 Jawaban Pemecahan Masalah Matematika Siswa
10
Hal ini menunjukkan bahwa subjek belum menggunakanketerampilan
metakognitifnya secara utuh dalam memecahkan masalah matematika materi
perbandingan.
Materi perbandingan berkaitan dengan permasalahan kehidupan sehari-
hari dan penggunaan perbandingan sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya masalah pada materi ini tersaji dalam soal non rutin yang
berbentuk soal cerita, hal ini sesuai dengan tipe kepribadian idealist yang cocok
diberikan soal dalam bentuk cerita atau uraian dari pada objektif. Untuk
memecahkan masalah matematika materi perbandingan diperlukan keterampilan
metakognitif siswa dalam merencanakan, memonitoring pikirannya selama
memecahkan masalah dan mengevaluasi penyelesaian yang sudah dilakukannya.
Selain itu juga diperlukan kesadaran siswa akan informasi yang dipahaminya pada
masalah yang diberikan sehingga dapat menentukan dan menerapkan metode-
metode yang sesuai dengan konteks permasalahan yang diberikan.
Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk melihat
bagaimana keterampilan metakognitif siswa idealist dalam pemecahan masalah
matematika, dimana secara teoritis siswa dengan kepribadian idealist yang
memiliki pandangan yang luas dalam melihat suatu soal dan cocok diberikan soal
non rutin yang berbentuk soal cerita. Materi perbandingan diambil dalam
penelitian ini karena dipandang memiliki langkah-langkah prosedural
menyelesaikan soal sejalan dengan indikator dari keterampilan metakognitif. Oleh
karena itu, sesuai dengan permasalahan di atas peneliti melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Keterampilan Metakognitif Siswa Tipe Kepribadian
Idealist dalam Pemecahan Masalah Matematika”
11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah di dalam
penelitian adalah “Bagaimana keterampilan metakognitif siswa tipe kepribadian
idealist dalam pemecahan masalah matematika? “
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis keterampilan metakognitif siswa tipe
kepribadian idealist dalam pemecahan masalah matematika.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini khususnya:
1. Guru, yaitu mendapatkan informasi tentang keterampilan metakognitif siswa
tipe kepribadian idealist dalam pemecahan masalah matematika dan kesulitan
apa saja yang dihadapinya dalam pemecahan masalah matematika serta dapat
menjadikan informasi ini sebagai landasan untuk meningkatkan keterampilan
metakognitif siswa dari berbagai jenis kepribadian menjadi acuan bagi guru
untuk memilih model atau metode pembelajaran yang dapat mengembangkan
keterampilan metakognitif siswa.
2. Siswa dengan tipe kepribadian idealist yaitu dapat mengetahui keterampilan
metakogniitifnya dalam pemecahan masalah matematika.
3. Peneliti, dapat memperoleh pengalaman langsung dalam menganalisis
keterampilan metakognitif siswa tipe kepribadian idealist dalam dalam
pemecahan masalah matematika.
12
4. Pembaca, sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan penelitian yang
sejenis.
1.5 Definisi Istilah
Supaya tidak terjadi salah penafsiran terhadap istilah yang ada pada
penelitian ini, maka dipandang perlu menjelaskan beberapa istilah penting yang
terdapat dalam penelitian ini agar tidak membuat pembaca salah mengartikan.
Beberapa istilah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Analisis adalah upaya untuk menyelidiki suatu masalah dengan membuat
dengan membuat sebuah tingkatan/hirarki agar masing-masing masalah
tersebut dapat digambarkan secara jelas sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
2. Metakognisi merupakan suatu gambaran bentuk kesadaran seseorang yang
terkait dengan kemampuan kognisinya tentang apa yang diketahuinya dan apa
yang tidak diketahuinya berdasarkan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
3. Proses metakognisi memuat pengetahuan, keterampilan, dan informasi tentang
proses kognisi. Serta mempunyai 2 wujud dasar yaitu pengetahuan
metakognisi(kesadaran seseorang tentang proses kognisinya sendiri), dan
keterampilan metakognisi (memonitor atau melakukan kontrol terhadap proses
kognisi dan pengalaman belajarnya).
4. Keterampilan metakognisi merupakan bagian dari proses metakognisi yang
menunjukan pada kesadaran yang disengaja dalam melakukan perencanaan,
monitoring aktivitas kognisi, dan melakukan evaluasi. Adapun indikator proses
metakognisi yang terkait dengan keterampilan metakognisi, yaitu: (a)
merencanakan, (b) memonitor pelaksanaan., (c) mengevaluasi/refleksi.
13
5. Individu dengan tipe idealist lebih menyukai menyelesaikan tugas secara
diskusi kelompok, menyukai membaca dan menulis sehingga lebih cocok jika
diberi tes berbentuk uraian atau soal cerita, cenderung melihat suatu masalah
dengan sudut pandang yang luas, dan tidak hanya terpaku pada masalah yang
dihadapi.
1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1.6.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Penelitian dilakukan di kelas VII CI (Cerdas Istimewa) SMP Negeri 1Kota
Jambi.
2. Penelitian ini dilakukan pada materi perbandingan, sesuai dengan kurikulum
2013, materi ini diajarkan di kelas VII semester genap.
1.6.2 Keterbatasan Masalah
Dalam proses metakognisi ada dua wujud, yang pertama pengetahuan
metakognisi (kesadaran tentang apa yang diketahui seseorang) dan keterampilan
metakognisi (apa yang dilakukan seseorang). Maka dari itu peneliti
membatasimasalah yang akan dianalisis. Keterbatasan penelitian ini adalah
peneliti memfokuskan penelitiannya mengenai proses metakognisi yang terkait
dengan keterampilan metakognisi siswa tipe kepribadian idealist dalam
memecahkan masalah matematika pada materi perbandingan di kelas VII SMP.
Siswa yang dipilih adalah siswa berkepribadian idealist yang di dapat berdasarkan
tes kepribadian yang telah diadopsi dari buku karangan David Keirsey yang
berjudul ‘Please, Understand Me II’ dan keterampilan metakognitif siswa tipe ini
14
akan dilihat dari proses metakognisinya berdasarkan indikator yang ada dan
bagaimana mereka menyelesaikan soal pemecahan masalah pada materi
perbandingan di kelas VII SMP. Pada penelitian ini siswa idealist yang dijadikan
subjek penelitian adalah siswa idealist yang memenuhi kriteria pemilihan subjek
yaitu double metakognitif, tripel metakognitif dan quadrapel metakognitif. Double
metakognitif adalah subjek yang melakukan 2 kali penyelesaian masalah
matematika. Tripel metakognitif adalah subjek yang melakukan 3 kali
penyelesaian masalah matematika. Quadrapel metakognitif adalah subjek yang
melakukan 3 kali penyelesaian masalah matematika. Sehingga hasil penelitian ini
hanya berlaku kepada ketiga subjek sesuai dengan sifat penelitian kualitatif.