BAB I PENDAHULUAN -...
-
Upload
truongdiep -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
PENDAHULUAN | 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketersediaan air bersih bagi masyarakat adalah jaminan bagi
keberlangsungan hidup dan salah satu prasayarat dasar dalam menciptakan
kondisi sehat dan sejahtera. Kemampuan menyediakan air bersih bagi sebuah
keluarga biasanya diidentikkan dengan warga yang berkecukupan atau kaya
(Anwar, 2012). Berkenaan dengan penyediaan air bersih tentunya sangat
dipengaruhi oleh kemampuan alam dalam menyediakan sumber air. Seperti yang
terlansir dalam pemberitaan Human Development Report (HDR) United Nation
Development Program (UNDP) tahun 2006 menyebutkan bahwa dalam sepanjang
sejarah kemanusiaan, air menjadi problematika tersendiri dalam kemampuannya
menopang dan mendukung lingkungan serta mata pencaharian yang sekaligus
dengan pengurangannya telah berbalik menjadi sumber resiko dan kerentanan
bagi peradaban manusia. Penyelesaian terhadap masalah penurunan kuantitas air
dimulai dari pembongkaran mitos yang merujuk pada kemiskinan, kekuasaan dan
ketidaksetaraan.
Hampir seluruh negara di belahan dunia mengalami permasalahan degradasi
kuantitas air bersih. Notabene kondisi ini selalu diidentikkan dengan perubahan
iklim yang di latar belakangi oleh isu global warming. Degradasi kuantitas air
telah menjadi penyebab munculnya kondisi krisis air yang merajai problematika
PENDAHULUAN | 2
di awal abad ke-21. Tahun 2011, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
memposting sebuah tulisan dari Adam Muakhor (staf bidang fisik Bappeda Kota
Metro, Lampung) yang berjudul „Krisis Air dan Moralitas‟. Terkait dengan
pendefinisian krisis air, Muakhor memaparkan bahwa “krisis air hampir selalu
dikaitkan dengan masalah kekurangan air dan penduduk yang semakin bertambah;
pembagian, pemborosan dan kurangnya bentuk hormat terhadap air di tengah
masyarakat yang materialistis dan konsumeristis; serta privatisasi pelayanan
pasokan air dan kepemilikan yang 95% dikendalikan oleh sektor publik”.
Penduduk dunia perlu menyikapi dengan serius terkait dengan kondisi krisis air
sebab air bukanlah barang yang dapat tersubstitusi seperti minyak, terlebih air
dibutuhkan oleh semua makhluk hidup.
Meledaknya pertambahan angka jumlah penduduk menurut Laporan
Bulanan Data Sosial Ekonomi dalam hasil Sensus Penduduk Mei 2010 (SP2010)
yang mencapai 237.641.326 jiwa, pun demikian dengan sensus di Amerika
(2010), telah menempatkan Indonesia menjadi negara ke-4 dengan penduduk
terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat. Porsi jumlah penduduk yang
tinggi, dibarengi dengan minimnya kearifan pengelolaan SDM dan SDA membuat
masyarakat Indonesia wajib berliterasi dalam memikirkan kelangsungan hajat
hidup di masa sekarang. Berkenaan dengan ketersediaan pasokan air di Indonesia
yang dalam kurun beberapa tahun terakhir semakin buruk akses untuk
memperolehnya (termasuk efek perubahan iklim yang tidak stabil), telah membuat
banyak daerah yang tersebar disepanjang kepulauan mengalami bencana krisis air.
Dalam kegiatan seminar „Hutan Penyelamat Pulau Jawa‟ yang dilakukan oleh
PENDAHULUAN | 3
Himawan et al., (2013) dalam gabungan peringatan Dies Natalis ke-50 dan Reuni
Emas Fakultas Kehutanan UGM, pada tanggal 27 Agustus 2013, memaparkan
tentang kondisi Pulau Jawa sebagai pulau terpadat di Indonesia akan mengalami
masalah krisis air dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Berbagai prediksi
dalam seminar tersebut menyorot tentang diperlukannya model pengelolaan hutan
yang mampu mengatasi segala krisis air di Pulau Jawa, penuh harapan kedepan
salah satunya berimplikasi pada program pengelolaan kegiatan wisata melalui
konsep ekoturisme guna menunjang kesejateraan perekonomian masyarakat.
Upaya pembongkaran paparan realitas isu krisis air yang dimulai dari
kondisi dunia secara global hingga mengerucut tajam ke negara Indonesia, maka
kiranya menjadi titik menarik dari penelitian tesis yang dilakukan oleh peneliti
terkait dengan kondisi krisis air yang dibenturkan fenomenanya dengan
momentum kegiatan Pilkada. Kiranya masih jarang penelitian semacam ini
dilakukan, adapun penelitian yang dilakukan terkait masalah isu krisis air hanya
sebatas bagaimana masalah krisis air terselesaikan secara mekanis.
Penelitian tesis yang dilakukan oleh peneliti berlokus di Desa Liprak Kidul
yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur dengan kondisi krisis air yang cukup memprihatinkan
jika dibandingkan dengan kepadatan jumlah penduduk per meter perseginya.
Kondisi krisis air yang demikian parah ternyata cukup menjadi ajang kontestasi
kepentingan untuk dikaji lebih mendalam disaat momentum Pilkada Bupati tahun
2012. Kondisi seperti ini juga pernah dilansir dalam tulisan Setia „Asal Tak
Politisasi Air Keruh‟ (2013) yang menunjuk bahwa berbagai parpol menebar
PENDAHULUAN | 4
bantuan sebagai bagian dari kampanye Pilkada 2014 pasca terjadinya bencana
banjir di kawasan Kedoya Utara, Jakarta. Dalam beberapa langkah pemberian
bantuan kedepan, beberapa anggota parpol berinisiatif dalam membantu
menyediakan pasokan air bersih untuk warga. Dari berita tersebut nampak jika
sebenarnya berbagai parpol akan datang merapat mendekati daerah-daerah yang
terkena krisis air bersih salah satunya sebagai ajang untuk merebut simpati
masyarakat dalam motif menggalang dukungan suara untuk kepentingan parpol.
Dari beberapa kejadian, sebenarnya penyelesaian krisis air di Desa Liprak
Kidul bukan hanya dibaca sebagai pemberian bantuan secara cuma-cuma namun
hal ini merupakan suatu bentuk kontestasi kepentingan yang dilakukan oleh para
aktor untuk dipertukaran dengan perhitungan keuntungan pada masing-masing
pihak. Para aktor saling menarik perhatian satu dan yang lain guna mencapai
kepentingan yang dituju sebagai sebuah ganjaran dalam sebuah struktur sosial
melalui jejaring yang dibangun.
Demikian juga yang terjadi di Desa Liprak Kidul pada masa sebelum, saat,
dan sesudah Pilkada. Kondisi krisis air yang telah berpuluh-puluh tahun menyatu
dengan kehidupan warga, ternyata telah dibidik sebagai sasaran empuk dalam
kontestasi kepentingan para tiga pasangan calon bupati dan dua orang yang maju
dalam Pileg dalam arena Pilkada saat itu. Kasus ini tidak serta-merta hadir tanpa
melakukan pembacaan pada isu, arena, dan strategi yang tepat untuk
menggambarkan jejaring dan relasi yang dibangun oleh aktor politik dan aktor
lokal. Untuk mengupas lebih mendalam, maka peneliti mencoba memetakan para
aktor yang muncul, strategi-strategi yang dijadikan sebagai alat untuk melakukan
PENDAHULUAN | 5
kontestasi kepentingan di balik upaya penyelesaian krisis air. Dengan demikian
permasalahan dalam tesis ini dianalisis menggunakan teori strukturalisme-
pertukaran milik Peter M. Blau.
1.2. Rumusan Masalah
Setelah melakukan pemaparan kondisi realitas sebelumnya, maka penelitian
ini memiliki pertanyaan utama yaitu bagaimana para aktor melakukan kontestasi
kepentingan melalui penyelesaian krisis dalam arena Pilkada di Desa Liprak
Kidul, Kabupaten Probolinggo. Untuk menjawab pertanyaan utama maka peneliti
menurunkannya kedalam tiga pertanyaan yang lebih spesifik yaitu antara lain:
1. Siapa para aktor dan bagaimana relasi-relasi di antara para aktor dalam
menyelesaikan krisis air sebagai kontestasi kepentingan di Desa Liprak Kidul
dalam arena Pilkada?
2. Bagaimana wacana penyelesaian krisis air sebagai kontestasi kepentingan di
Desa Liprak Kidul dalam arena Pilkada?
3. Bagaimana realisasi strategi penyelesaian krisis air sebagai kontestasi
kepentingan di Desa Liprak Kidul dalam arena Pilkada?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu antara lain:
1. Memaparkan dan menganalisa dinamika proses terjadinya kontestasi
kepentingan di balik penyelesaian krisis air dalam arena Pilkada di Desa Liprak
Kidul, Kabupaten Probolinggo.
PENDAHULUAN | 6
2. Memaparkan berbagai aktor serta relasinya yang muncul dalam melakukan
kontestasi kepentingan di balik penyelesaian krisis air.
3. Memperkaya khasanah pengkajian sosiologi di bidang politik melalui analisa
acuan penerapan teori strukturalisme pertukaran milik Peter M. Blau.
1.4. Tinjauan Pustaka
Peneliti sengaja menggunakan beberapa penelitian terdahulu yang berbeda-
beda isunya (tidak hanya fokus dalam arena Pilkada), sebagai upaya untuk melihat
beberapa aspek terkait dengan tindakan-tindakan yang ditampilkan oleh aktor-
aktor dalam tataran desa, upaya desa lain dalam mengatasi kasus krisis air, hingga
sikap masyarakat dalam mendongkrak hegemoni terhadap praktik
keberlangsungan pemilihan kades. Berikut beberapa penelitan terdahulu yang
digunakan dalam penelitian ini:
1. Ganefo, (2000), Rasionalitas Calon Kepala Desa dan Pemilih (Studi Proses
Pertukaran dalam Pemilihan Kepala Desa)
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Prodi Sosiologi UGM ini
merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dengan menggunakan pisau
analisis teori dari Max Weber tentang tipe tindakan rasional dan teori
pertukaran. Tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan penemuan terkait
dengan mekanisme pergantian kepemimpinan di desa sebagai bagian dari
struktur pemerintahan Republik Indonesia paling bawah melalui pemilihan
langsung oleh warga desa yang biasa disebut dengan pemilihan kepala desa
(pilkades). Lokus dari proses pilkades terletak di lima desa yaitu Desa Bagor,
PENDAHULUAN | 7
Balung Lor, Nogosari, Puger Kulon, dan Umbulrejo di Kabupaten Jember,
Jawa Timur.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa calon-calon kades dengan
berbagai latar belakang sosial dan status ekonomi mempunyai motif ekonomi
dan sosial (status dan pengabdian) yang melatar belakangi dirinya
mencalonkan diri sebagai kades. Dengan adanya motif-motif tersebut
mendorongnya melakukan usaha penggalangan dukungan suara secara
langsung maupun tidak langsung pada elit informal maupun massa di desa.
Calon kades melakukan tindakan apapun yang mungkin dilakukan termasuk
dalam rangka meraih rewards, jabatan kades dengan berbagai fasilitas yang
menyertainya.
Beberapa tindakan yang dilakukan oleh calon-calon kepala desa dalam
memenangkan pilkades antara lain dengan menggalang dukungan elit,
mempekerjakan para kader, menghadiri pertemuan warga (jamuan/jagong),
pembentukan opini publik (pencitraan melalui sosok religius, pemersatu
ataupun rakyat biasa), dan penyediaan uang untuk warga. Peneliti
menyimpulkan bahwa terdapat dua motif mengikuti pilkades yaitu: (a) motif
ekonomi, jembatan untuk meraih hak menggarap sawah dari sejumlah tanah
kas desa dan gaji yang berasal dari dana rutin desa; dan (b) motif sosial,
peluang untuk meningkatkan status sosial sebagai bentuk amal dan mengabdi
untuk desa. Dari segi pemilih atau warga desa melakukan tindakan rasional
dalam memilih calon kades yang akan memimpin desanya terangkum dalam
aspirasi pemilih yang terbagi dalam dua hal yaitu: (a) harapan akan prioritas
PENDAHULUAN | 8
program kerja seperti peningkatan kesejahteraan ekonomi, pelayanan aparatus
desa, pembangunan sarana fisik, kerukunan, dan keamanan desa; dan (b)
kualitas calon kades seperti moralitas tinggi, supel, memiliki pendidikan yang
tinggi dan dermawan.
Penelitian tersebut memiliki kelebihan yaitu peneliti melakukan
penghitungan statistik yang dapat dijadikan sebagai deret ukur penghitungan
reputasi, kredibilitas, dan prioritas program kerja kedepannya yang dapat
dijadikan sebagai contoh pola bagi pihak-pihak yang menginginkan status
sebagai kades. Kekurangan penelitian tersebut adalah belum nampak gambaran
upaya realisasi sebagai pola jangka panjang dalam menyelenggarakan
kampanye-kampanye calon-calon kades tanpa mengakibatkan konflik dan
ganggungan keamanan di masyarakat. Alasan peneliti menggunakan penelitian
tersebut sebagai salah satu landasan tinjauan pustaka adalah adanya kemiripan
ulasan terkait dengan bagaimana upaya penggalangan suara sebagai bentuk
mobilisasi massa pada warga desa.
2. Taxwym, (2002), Pemberdayaan Masyarakat dalam Mengatasi Krisis Melalui
Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (Hippam) (Studi di Desa
Torongrejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Propinsi Jawa Timur)
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Prodi Sosiologi UGM ini
merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan
metode fenomenologi. Teori fungsionalisme struktural yang mempelajari
tentang fenomena sosial yang terjadi di masyarakat digunakan sebagai pisau
analisis dalam memaparkan hasil penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah
PENDAHULUAN | 9
memaparkan penemuan terkait dengan keberadaan Hippam sebagai salah satu
institusi lokal yang dimanfaatkan warga sebagai solusi menghadapi krisis air.
Perubahan paradigma pembangunan dengan segala macam konsekuensi
membawa dampak pada dinamika masyarakat yaitu perubahan pada taraf
kehidupan dan tingkat partisipasi masyarakat yang merupakan proses
pembelajaran bagi masyarakat melalui Hippam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat faktor ekstern buruknya layanan PDAM dalam
mendistribusikan air bersih secara langsung kepada masyarakat serta kualitas
air yang tidak terjaga. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut adalah melalukan pembentukkan panita pembangunan bersama antara
warga dengan pemerintahan desa dengan menyusun program rancangan dan
format pembangunan sarana air bersih.
Adapun strategi-strategi yang dapat dilakukan demi terselenggaranya
pembangunan sarana air bersih yaitu gotong royong meningkatkan partisipasi
karena dianggap melestarikan SDA dan strategi pemberdayaan masyarakat;
memberikan jasa layanan sosial kepada masyarakat secara demokratis dan
berkeadilan; melibatkan kembali pemerintah dan lembaga swasta; serta
melakukan perencanaan terpadu yaitu keterpaduan antara sistem buatan
manusia, sistem ekonomi dan sosial, pembangunan lintas sektor ke dalam
proses perencanaan. Upaya perencanaan dilakukan untuk meningkatkan
interaksi antara lingkungan sosial dan alam dalam konteks pengembangan
penyediaan air sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
PENDAHULUAN | 10
Penelitian tersebut memiliki kelebihan yaitu peneliti telah ikut
berpartisipasi secara langsung dalam melakukan upaya pemberian solusi atas
keberlangsungan penyediaan air yang layak untuk masyarakat. Kekurangan
penelitian tersebut adalah munculnya statement pada poin ketiga upaya
melakukan strategi yaitu dengan kembali melibatkan usaha pemerintah dan
lembaga swasta. Menarik jika dibenturkan dengan kasus yang terjadi di Desa
Liprak Kidul yang justru tidak ingin upaya mengatasi krisis air jatuh di tangan
pihak swasta. Alasan peneliti menggunakan penelitian tersebut sebagai salah
satu landasan tinjauan pustaka adalah pernah hadirnya Hippam sebagai salah
satu solusi mengatasi krisis air di Desa Liprak Kidul tetapi mengalami
kemandegan akibat keterbatasan teknologi yang digunakan.
3. Latief, (2004), Protes Pemilihan Kepala Desa pada Masa Orde Baru:
Perlawanan Rakyat Terhadap Hegemoni Negara (Studi di Desa Kragilan,
Klaten, Jawa Tengah)
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Prodi Sosiologi UGM ini
merupakan penelitian yang bersifat kualitatif deskriptif dan eksplanasi dengan
menggunakan pisau analisis teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Tujuan dari
penelitian ini adalah memaparkan penemuan terkait dengan keberanian rakyat
desa menentang kekuasaan negara (baca: pemerintah) yang dipicu oleh
terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan kades di Desa Kragilan,
Gantiwarno, Kabupaten Klaten.
Perlawanan rakyat dilakukan dalam bentuk protes berulang-ulang
ditujukan terutama kepada panitia pencalonan dan pemilihan kades (palona)
PENDAHULUAN | 11
dan bupati mulai Oktober 1997 hingga September 1998. Tuntutan utama warga
adalah pembatalan pelantikan kades terpilih dan pelaksanaan pemilihan ulang
kades. Hasil dari penelitian ini adalah protes yang dilakukan oleh warga
menuntut ditegakkannya keadilan akhirnya membuahkan hasil. Tanggal 7
September 1998, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang
menjatuhkan vonis bahwa surat keputusan pelantikan kades terpilih yang
dikeluarkan oleh bupati dinyatakan batal demi hukum. Segera dilakukan
pemilihan kades ulang. Vonis PTUN membuktikan bahwa dominasi, represi,
dan hegemoni negara dapat dipatahkan oleh kekuatan massa rakyat desa
dengan cara membangun aliansi-strategis-lintas pemangku kepentingan (aliansi
multi stakeholder) di antara elemen-elemen masyarakat yang menuntut
ditegakkannya kebenaran, keadilan, demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Elemen masyarakat yang dimaksud adalah aktivis partai politik
tingkat desa, tokoh mahasiswa/ pemuda yang berasal dari desa, organisasi
gerakan mahasiswa di Yogya Solo, media massa (Yogya, Solo, Semarang),
LBH Yogya serta didukung oleh tokoh-tokoh tua warga desa. Lantas demikian
bukti sebuah kemenangan yang terjadi pada rakyat desa atas dominasi dan
hegemoni negara (pemerintah).
Penelitian tersebut memiliki kelebihan yaitu peneliti dapat
menggambarkan kejadian kronologis perlawanan rakyat secara jelas.
Kekurangan penelitian tersebut adalah kurang nampaknya apresiasi langsung
oleh warga karena banyaknya elemen di luar warga yang ikut mewujudkan
perjuangan. Alasan peneliti menggunakan penelitian tersebut sebagai salah satu
PENDAHULUAN | 12
landasan tinjauan pustaka adalah untuk membandingkan apakah saat para aktor
yang muncul di Desa Liprak Kidul juga telah membuat warga mengalami
pengkebirian semacam hegemoni yang membuat warga berjalan sesuai dengan
struktur yang telah dibentuk.
1.5. Kerangka Teori
1.5.1. Peter M. Blau: Pertukaran dan Kekuasaan
Teori pertukaran menjadi milik pertama pemikiran seorang tokoh
bernama George Homans yang membahas tentang tiga hal yaitu emergence,
reduksionisme psikologi, dan paparan pikiran Durkheim (Ritzer, 2009). Dari
kesemuanya, diperoleh dua proposisi yaitu makin tinggi suatu ganjaran
(reward) yang diperoleh maka semakin besar kemungkinan tingkah laku
akan diulang dan semakin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment)
yang akan diperoleh maka semakin kecil kemungkinan tingkah laku yang
serupa akan diulang. Tetap dalam pandangan Homans, teori pertukaran
sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer yaitu
orang menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap
memperoleh barang atas jasa yang diinginkan (Poloma, 2007). Teori
pertukaran dari sisi Homans selalu melihat bahwa memperoleh suatu
ganjaran adalah transaksi ekonomi yang sederhana.
Dalam pandangan yang lain sebagai pengkritik dan penyempurna
teori pertukaran berikutnya ialah hadirnya seorang tokoh bernama Peter M.
Blau. Blau melihat secara eksplisit tentang ketergantungan antara pertukaran
PENDAHULUAN | 13
sosial di tingkat mikro dan munculnya struktur sosial yang lebih besar atau
makro. Lantas inilah yang memperlihatkan proses pertukaran dasar itu
melahirkan suatu gejala yang nampak dalam bentuk struktur sosial yang
lebih kompleks (Johnson, 1986). Berbeda dengan Homans yang melihat
pertukaran dilandaskan dengan segala kepentingan pribadi, Blau justru
melihat bahwa pertukaran dilakukan karena ada reaksi, respons,
penghargaan dari orang lain yang nantinya akan diterima. Jika hal tersebut
tidak kunjung didapat maka tindakan tidak akan berulang.
Homans dan Blau memang memiliki kesamaan namun pada
kenyataannya perbedaan diantara keduanya justru jauh lebih besar. Blau
menolak pemikiran Homans tentang reduksionisme psikologi yang telah
mengabaikan kehadiran property sosial dan struktural (Poloma, 2007). Blau
memberikan tekanan atas kelahiran (emergence), atau properti kelompok,
yang tak dapat diredusir pada psikologi berorientasi individual seperti yang
lantas kemudian digambarkan oleh Peter Ekeh sebagai tesis yang bersifat
kolektivis strukturalis yang berbeda dengan teori individualistik behavioris
milik Homans. Sebagai contoh kelompok kecil mungkin bisa
mempertahankan pengendalian sosial melalui himbauan sosial dan
kewajiban personal, tetapi hal ini tidak dapat diterapkan dalam skala besar
seperti negara. Jika negara yang harus dikendalikan, maka dibutuhkan
asosiasi-asosiasi organisasional yang sangat kompleks. Blau memang setuju
pertukaran sosial, namun ia juga tertarik untuk lebih memahami organisasi-
organisasi yang kompleks.
PENDAHULUAN | 14
Blau memanfaatkan konsep pertukaran dari sosiologi mikro dan
menggabungkannya dengan konsep kekuasaan yang merupakan subyek
usaha sosiologi makro dalam karya teoritisnya yang klasik „Exchange and
Power in Social Life‟. Fenomena daya tarik individu terhadap satu sama lain
serta keinginan mereka untuk mendapatkan ganjaran sosial merupakan
sesuatu yang bersifat given yang lantas menjadi cikal bakal asal usul
struktur sosial. Individu tertarik masuk ke dalam suatu asosiasi karena
mengharapkan ganjaran ekstrinsik dan intrinsik. Perilaku yang menjurus
pada pertukaran sosial harus mensyaratkan dua hal yaitu: (1) perilaku
tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai
melalui interaksi dengan orang lain, dan (2) perilaku tersebut harus
bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.
Tujuan yang diinginkan dapat berupa dua hal yaitu: (1) ganjaran ekstrinsik
seperti uang, barang-barang, atau jasa-jasa, dan (2) ganjaran intrinsik seperti
kasih sayang, kehormatan, atau kecantikan.
Perhatian teoritis utama Blau terletak pada perubahan dalam proses-
proses sosial yang terjadi sementara orang bergerak dari struktur sosial yang
sederhana menuju struktur sosial yang lebih kompleks, dan pada kekuatan-
kekuatan sosial baru yang tumbuh dari yang terakhir. Salah satu ciri
struktural yang paling sederhana adalah sistem stratifikasi yang sederhana.
Tahap awal pembentukan kelompok, individu-individu mencoba
menunjukkan „nilai‟ mereka bagi kelompok. Karena para anggota
memberikan sumbangan nilai yang berbeda-beda maka terjadi perbedaan
PENDAHULUAN | 15
status. Misalnya tidak setiap anggota mampu menunjukkan tanggung jawab
sebagai pemimpin kelompok. Bilamana anggota terikat dan telah menerima
ganjaran di dalam kelompok tersebut, maka dia akan mundur dan
menyerahkan peluang menjadi pemimpin kepada orang lain. Seorang
individu yang maju sebagai pemimpin akan memperoleh ganjaran ekstrinsik
berupa materi dan kekuasaan yang berbeda. Tetapi karena adanya perbedaan
(diferensiasi) tersebut, maka akan mempertinggi tingkat kebutuhan akan
penyatuan (integrasi) sosial dari status yang berbeda-beda. Anggota
kelompok yang mundur dari persaingan kepemimpinan harus merubahnya
menjadi ikatan persahabatan. Hal seperti ini dibutuhkan untuk mencapai
tujuan kelompok. Sehingga hal ini lebih nampak pada hubungan-hubungan
kekuasaan daripada pertukaran-sosial semata.
Hubungan pertukaran adalah hubungan yang dihasilkan dari
hubungan yang bersifat simetris artinya semua anggota menerima ganjaran
sesuai dengan apa yang diberikannya. Tetapi dalam hubungannya dengan
stratifikasi, pertukaran tersebut dilihat dari seberapa jauh hubungan-
hubungan itu menguntungkan bagi para anggota yang berkedudukan tinggi
ataupun rendah. Memperoleh persetujuan sosial merupakan ganjaran yang
semakin penting dalam semua masyarakat, tetapi hal itu termasuk sumber
pengendalian sosial yang paling populer. Sumber dasar untuk membendung
perilaku interpersonal adalah melalui kekuasaan.
Kekuasaan menurut Blau diambil melalui definisi Weberian,
kekuasaan hanya dilihat sebagai pengendalian melalui sangsi-sangsi negatif,
PENDAHULUAN | 16
dimana kekerasaan fisik atau ancaman merupakan kutub populer. Blau
mengutip skema Richard Emerson untuk menganalisa ketimpangan
kekuasaan di dalam kelompok. Berikut syarat seorang individu yang
membutuhkan pelayanan orang lain:
1) Mereka dapat memberi pelayanan yang sangat ia butuhkan sehingga
cukup membuat orang tersebut memberikan jasanya sebagai imbalan,
sehingga dia harus mencukupi sumberdaya yang dibutuhkan untuk itu
→ menjurus pada pertukaran timbal balik.
2) Mereka dapat memperoleh pelayanan yang dibutuhkan dimana-mana
(dengan asumsi ada penyedia alternatif) → menjurus pada pertukaran
timbal balik.
3) Mereka dapat memaksa seseorang menyediakan pelayanan (dengan
asumsi orang tersebut dapat menyediakannya). Mereka yang mampu
memperoleh pelayanan akan menciptakan dominasi terhadap penyedia.
4) Mereka dapat belajar menarik diri tanpa mengharap pelayanan, jika
menemukan beberapa pengganti pelayanan yang serupa.
Keempat alternatif di atas merupakan kondisi-kondisi
ketergantungan sosial dari mereka yang membutuhkan pelayanan tertentu.
Bila orang yang menginginkan pelayanan tidak mampu memenuhi salah
satu alternatif di atas maka mereka tidak punya pilihan kecuali menuruti
kehendak penyedia “sebab kelangsungan persediaan pelayanan yang
dibutuhkan diperoleh melalui kepatuhan”. Ketergantungan membuat
penyedia menempati posisi kekuasaan. Untuk mempertahankan kekuasaan
PENDAHULUAN | 17
maka penyedia harus bersikap wajar terhadap keuntungan yang diperoleh.
Hasil dari perjuangan ini adalah suatu sistem stratifikasi atas dasar
kekuasaan. Kekuasaan yang dilakukan dengan pemaksaan akan menuai
perlawanan reaktif sehingga perlu untuk tetap berada di tingkat minimum.
Agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik maka yang di bawah perlu
untuk mematuhi dan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka sehari-hari
dengan pengarahan yang mempunyai kekuasaan.
Blau berpendapat, hanya perintah-perintah kekuasaan sah yang akan
dipatuhi. Kekuasaan yang sah itu ialah otoritas. Kelompok harus secara
sukarela bersedia menerima kekuasaan atau otoritas yang sah dengan
demikian membuat wewenang tersebut sebagai pengikat anggota-anggota
kelompok. Norma-norma demikian diinternalisir oleh anggota kelompok
dan dipaksakan kepada mereka. Ukuran normatif yang mendasari
wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara
mereka yang berada di lapisan atas atau bawah, melainkan dalam proses
sosialisasi di mana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan
bersama.
Seorang pemimpin yang memperoleh kekuasaan dan restu atas
penerimaan kekuasaan tersebut harus membayar biaya penerimaan sosial
jika anggota yang dipimpinnya tidak senang dengan kekuasaannya. Tetapi
jika dia terlalu memikirkan penerimaan sosial, maka dia akan terjerumus ke
dalam kepemimpinan yang lunak dimana anggota akan menuntut
pemenuhan kehendak masing-masing. Individu yang ingin menjadi
PENDAHULUAN | 18
pemimpin biasanya mengatasi ini dengan memobilisir kekuasaan dan
menggunakan kekuasaan untuk memperoleh penerimaan sosial dari
pengikutnya. Inilah yang disebut Blau dengan kondisi „dilema
kepemimpinan‟. Apakah kedepannya kekuasaan yang dimiliki pemimpin
memperoleh keabsahan atau justru oposisi semuanya tergantung nilai-nilai
yang mengatur hubungan-hubungan sosial dengan kelompok yang bersifat
khusus (atribut status yang hanya dinilai oleh in-group seperti kepercayaan
politik atau keagamaan) atau umum (dinilai oleh orang yang tidak memiliki
maupun yang memiliki kekayaan atau kompetensi).
Walaupun pertukaran berfungsi sebagai basis interaksi personal yang
paling dasar, akan tetapi nilai-nilai sosial yang diterima bersama, berfungsi
sebagai media transaksi sosial bagi organisasi serta kelompok-kelompok
sosial. Orang bebas memilih tujuan-tujuan mereka, tetapi hanya diantara
alternatif-alternatif yang telah ditentukan secara struktural.
Kelompok-kelompok sosial yang baru lahir dalam struktur organisasi
yang lebih kompleks dapat diamati ide-ide utamanya sebagai berikut:
1) Hubungan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain
melalui berbagai kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Orang yang
memberikan ganjaran, melakukan pembayaran seperti itu sebagai nilai
yang diterimanya.
2) Pertukaran demikian mudah sekali berkembang menjadi hubungan-
hubungan yang menciptakan persaingan dimana setiap orang harus
PENDAHULUAN | 19
menunjukkan ganjaran yang diberikan dengan maksud menekan orang
lain untuk menerima ganjaran yang lebih banyak.
3) Persaingan tersebut melahirkan asal muasal sistem stratifikasi dimana
individu-individu dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber
yang dimilikinya. Di sini kita melihat akar dari konsep emergent
tentang kekuasaan.
4) Wewenang tumbuh berdasarkan nilai-nilai yang sah.
Demikian kelindan pertukaran dan kekuasaan yang terangkum dalam
pemikiran Blau. Melakukan pembacaan pada penyelesaian krisis air maka
sama dengan melihat tindakan para aktor politik dan aktor lokal dalam
melakukan kontestasi kepentingan dalam arena Pilkada di Desa Liprak
Kidul. Kedua belah pihak melakukan pertukaran untuk mendapat untung
satu sama lain. Seperti pertukaran yang dilakukan oleh aktor lokal yaitu
kepala desa kepada aktor politik untuk mendapatkan solusi bantuan
penyelesaian krisis air dan begitupun dengan pertukaran yang dilakukan
oleh aktor politik kepada aktor lokal untuk mendapatkan bantuan
pemobilisasian massa di desa.
1.5.2. Mengemas Krisis Air Melalui Pertukaran Para Aktor Politik
dan Aktor Lokal
Krisis air yang telah lama melanda Desa Liprak Kidul disebabkan
karena kondisi topografis yang kurang menguntungkan. Seperti yang
dikemukakan oleh Notohadiprawiro (1977) bahwa unsur-unsur topografi
PENDAHULUAN | 20
yang paling berpengaruh terhadap timbulnya lahan kritis adalah kemiringan
lereng, panjang lereng, bentuk dan arah lereng. Kemiringan lereng
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan mengendalikan
proses-proses pembentukan tanah. Mengaitkan dengan kondisi kemiringan
lereng yang juga tergambar pada kondisi topografis di Desa Liprak Kidul
maka tak pelak lagi jika dampak yang terlihat adalah kondisi krisis air.
Terbatasnya daya dukung sumberdaya alam akan penyediaan air
membuat ketertarikan para aktor untuk memanfaatkan kondisi demikian
sebagai bentuk kontestasi yang memiliki daya tarik pertukaran. Mengemas
krisis air dalam kasus desa tersebut bukan hanya melakukan pembacaan
terhadap penyediaan fasilitas sumber air namun berlanjut pada kepentingan
terselubung di balik segala penyelesaian krisis air. Krisis air yang menjadi
bencana bagi masyarakat nampaknya telah mengundang masuknya para
aktor politik yang sedang melakukan kampanye untuk tertarik mencari
dukungan suara guna pemenangan perebutan kursi bupati Kabupaten
Probolinggo. Konsepnya sederhana yaitu bagaimana melihat sisi baik dari
suatu krisis air sebagai sarana pencapaian kemenangan kursi bupati.
Dalam upaya melakukan penyelesaian krisis air yang dilakukan oleh
para aktor politik dan aktor lokal, keduanya saling berjejaring membentuk
suatu struktur sosial yang lebih kompleks. Awal, krisis air diselesaikan
secara sepihak oleh masyarakat bersama dengan kepala desa, namun upaya
tidak berhasil. Bersamaan dengan masuknya aktor politik yang berada
dalam momentum Pilkada, penyelesaian krisis air dilakukan melalui
PENDAHULUAN | 21
pembentuk jejaring atau yang dalam konsep Blau disebut dengan
pembentukan struktur sosial yang lebih kompleks. Struktur sosial tersebut
hanya bersifat sementara mengikuti tenggang waktu kampanye Pilkada
namun dari bentuk jejaring yang ada terdapat suatu nilai yang ingin
dipertukarkan oleh diantara kedua belah pihak. Pertukaran tersebut
merupakan bentuk dari harapan kontestasi kepentingan yang mengacu pada
pandangan positif. Artinya pertukaran positif diharapkan mau mendapatkan
ganjaran positif lainnya. Pertukaran demikian akan selalu diulang
tindakannya jika hasil yang diterima sesuai dengan tujuuan kepentingan.
Menjadi menarik kemudian saat krisis air dikemas menjadi isu
politik yang dibidik dalam arena Pilkada. Tidak hanya dibaca sebagai suatu
bencana alam semata yang berakhir pada terganggunya ekosistem manusia
dalam memanfaatkan kapasitas daya dukung alam, namun dibaca sebagai
suatu isu dalam agenda politik yang mempermudah menarik perhatian
masyarakat sebagai bentuk pemobilisasian massa. Mobilisasi massa yang
memerlukan pembidikan isu yang tepat serta persiapan strategi yang matang
diatur dalam jejaring melalui kekuatan otoritas. Otoritas yang absah dimiliki
oleh aktor lokal sebagai bentuk kepercayaan masyarakat dalam
menyerahkan tanggungjawab menentukan keputusan di tangan satu pihak.
1.5.3. Common-Sense: Mencari Keputusan Terbaik Bersama
Strukturalisme pertukaran merupakan bagian dari paradima perilaku
sosial yang berdasarkan pada pendekatan behaviorisme melalui karya awal
PENDAHULUAN | 22
B.F. Skinner (Ritzer, 2009). Paradigma tersebut ingin melihat perilaku
manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Teori
strukturalisme pertukaran Peter M. Blau yang masuk dalam jajaran
paradigma perilaku sosial ingin melihat bentuk pertukaran yang digabung
dengan pembentukan struktur sosial dalam lingkup kekuasaan. Kekuasaan
yang dilegitimasi untuk diakui menjadi sebuah otoritas yang diabsahkan
pada satu tangan aktor. Seperti halnya yang terjadi di Desa Liprak Kidul,
otoritas penuh berada di satu tangan aktor lokal yaitu kepala desa dalam
memutuskan segala perkara.
Mencari keputusan terbaik bersama harus dipikirkan secara rasional.
Kendati demikian menggambarkan kasus melalui teori strukturalisme
perilaku nampaknya tidak cukup dilakukan tanpa bantuan penggunaan
metode etnometodologi. Dalam penelitian tesis ini, antara teori dan
metodologi yang digunakan saling berlawanan namun peneliti berusaha
untuk menemukan benang merah di antara keduanya agar dapat digunakan
secara berdampingan dalam penggalian data. Etnometodologi sejatinya
suatu metode yang digunakan untuk mengkaji tatanan atau keteraturan
dengan cara mengkombinasikan sensibilitas fenomenologis dengan
perhatian besar pada praktik sosial konstitutif (Lincoln dan Denzin, 1997).
Garfinkel memposisikan seorang aktor sosial sebagai pihak yang merespons
semua kekuatan eksternal yang dimotivasi oleh suatu dorongan. Model
tatanan sosial yang dibagun merupakan wujud tindakan interpretatif setiap
anggota masyarakat yang bersifat terus menerus untuk segera diwujudkan.
PENDAHULUAN | 23
Common-sense merupakan bagian dari etnometodologi dimana merupakan
hasil prosedur harian yang berisi pemikiran masing-masing anggota saat
menciptakan, mempertahankan, dan mengolah rasa akan suatu realitas
objektif. Salah satu bentuk dari common-sense yang dapat diamati adalah
bagaimana suatu tatanan katakanlah struktur perilaku yang dapat diamati,
sistem motivasi atau hubungan sebab akibat antara sistem motivasi dengan
pola perilaku yang berwujud dalam kesetiaan ataupun ketidaksetiaan pada
suatu aturan (Lincoln dan Denzin, 1997).
Dalam perkembangannya, etnometodologi memasukkan analisis
percakapan sebagai bagian dari pemaknaan indeksikal (ketergantungan
situasi pada suatu konteks) yang hanya dapat dipahami melalui percakapan
atau interaksi itu sendiri. Analisis percakapan bertumpu pada situasi realitas
yang refleksif, paparan kajian deskriptif tentang suatu setting. Sehingga
analisis etnometodologi memfokuskan perhatian pada setting sosial yang
tersingkap secara interaksional, percakapan dan interaksi diperlakukan
sebagai topik analisis bukan sekedar komunikasi biasa tentang fenomena.
Informasi yang didapat bukan semata-mata merupakan hasil penggalian
informasi melalui wawancara namun sebagai penjelasan bagaimana
interaksi sehari-hari memproduksi tatanan sosial di dalam konteks
berlangsungnya percakapan itu yang menjadi pembentuk makna lokal.
Penekanan etnomedotologi pada praktik juga ditempuh oleh
beberapa variasi pendekatan yang mempertimbangkan pada sumber-sumber
interpretatif lokal; yaitu para pelaku kehidupan sehari-hari adalah pelaku
PENDAHULUAN | 24
yang berada di pusat suatu variasi. Mereka terus mencari dan mengartikan
setiap parameter dari kehidupan sehari-hari agar dapat terus-menerus
bersesuaian dengannya. Jenis-jenis sumber interpretatif tersebut mencakup
kosakata yang akrab di telinga, misi-misi organisasional, orientasi
professional serta budaya kelompok.
Mengaitkan antara teori dan metodologi yang digunakan dalam
penelitian tesis ini berbeda paradigma namun keduanya juga berdasarkan
pada pandangan Weberian. Etnometodologi merupakan metode yang
mengkaji suatu tatanan atau keteraturan atas usaha manusia membangun dan
memberi makna atas tiap-tiap tindakan dalam situasi konkret. Aktor sosial
yang diposisikan sebagai pihak yang merespons semua kekuatan eksternal
yang dimotivasi oleh suatu dorongan. Begitupun dengan pemikiran Blau
yang melihat perilaku aktor sosial yang dimotivasi oleh suatu dorongan
guna mendapatkan ganjaran. Motivasi yang ada berdasarkan pada
perulangan perilaku yang dianggap memberi manfaat. Artinya di antara
keduanya sama-sama melihat tentang suatu tindakan atau perilaku yang
dilakukan oleh individu-individu.
Tatanan sosial dalam etnometodologi diciptakan dari hasil tindakan
interpretatif setiap anggota masyarakat yang bersifat terus-menerus. Proses
pencapaian tatanan sosial dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai satu
pemikiran rasional secara bersama dari tiap-tiap anggota masyarakat yang
disebut dengan common-sense. Common-sense salah satunya dapat diamati
melalui struktur perilaku dan sistem motivasi dengan pola perilaku yang
PENDAHULUAN | 25
berwujud pada kesetiaan ataupun ketidaksetiaan pada suatu aturan dalam hal
ini seorang kades yang menjadi representasi kolektif suara masyarakat untuk
dipertukaran perilakunya terhadap kedatangan aktor politik dalam arena
Pilkada. Dalam penelitian ini, etnometodologi digunakan untuk melihat
kebutuhan bersama akan pemenuhan kebutuhan air sebagai kebutuhan
paling rasional untuk segera diwujudkan. Setiap anggota masyarakat boleh
menyebutkan pemikiran yang berbeda-beda namun ujungnya masyarakat
membenturkan situasi bersama yang sedang dihadapi dengan kondisi
kapasitas alam yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan akan air. Sehingga
secara etnometodologi yang melakukan pendekatan untuk mengetahui
permasalahan secara lokal, menyimpulkan semetara (tidak ada kesimpulan
akhir) jika air merupakan kebutuhan bersama yang harus dipenuhi dan
dicarikan solusi bersama secara lokal. Walaupun akhirnya solusi tersebut
terpenuhi karena bantuan aktor politik namun pengupayaan realisasi di
lapangan tetap dilakukan secara kekuatan lokal.
Kebutuhan utama masyarakat dibicarakan dan terwujud dalam suatu
interaksi dengan orang lain. Sebab tanpa interaksi menurut Blau suatu
perilaku tidak akan pernah diketahui hasilnya. Entah perilaku yang
dilakukan dapat diulang ataupun tidak, harus dilakukan terlebih dahulu
untuk mengetahui hasil sementara. Ada tidaknya interaksi dalam penelitian
ini dianalisis melalui analisa percakapan dalam tradisi etnometodologi.
Analisis percakapan merupakan pemaknaan indeksikal, adapun indeksikal
merupakan suatu ujaran lokal yang menjadi praktik dari solusi permasalahan
PENDAHULUAN | 26
yang ingin dihadapi secara bersama dalam konteks kelokalan. Artinya dalam
hal ini kebutuhan masyarakat yang ingin dicapai melalui proses
pengulangan perilaku akan tersingkap secara interaksional. Percakapan
dalam penelitian ini bukan semata-mata interaksi dalam wawancara untuk
menilai suatu kebutuhan namun merupakan setting interaksi untuk
mengetahui kebutuhan bersama.
Kebutuhan bersama yang diungkapkan melalui nalar pemikiran
rasional atau common-sense menjadi suatu cerita representasi kolektif dari
posisi aktor lokal seorang kepala desa yang mewakili suara anggota-
anggotanya yaitu masyarakat. Memang realitanya tidak semua masyarakat
berpihak (pro) terhadap kades namun kepercayaan terhadap kades
didasarkan atas telah terpenuhinya kebutuhan akan air yang direspons secara
serius oleh kades. Kades akhirnya memiliki otoritas yang diterima
realitasnya oleh masyarakat. Blau melihat hal ini akan kerelaan masyarakat
dalam menerima otoritas seorang kades dalam mengikat anggota-
anggotanya dan inilah yang dalam etnometodologi disebut sebagai praktik
bentuk pemahaman realitas yang diterima begitu saja secara bersama.
PENDAHULUAN | 27
1.5.4. Alur Berpikir
Berikut bagan yang akan menjelaskan alur berpikir dari penulisan
tesis ini:
Bagan 1.1. Alur Berpikir
Sumber: Data Olahan Pribadi Peneliti
proses common-sense:
realitas yang diterima begitu
saja dalam lingkup interaksi
antara masyarakat dengan
kepala desa sebagai aktor lokal
identifikasi isu lokal
di dalam desa:
- keamanan
- pertanian
- krisis air → isu urgent
identifikasi aktor politik
dan aktor lokal
bentuk penyelesaian isu lokal
yang urgent dan dihadapi bersama:
memberikan otoritas kekuasaan kepada
kepala desa (keterwakilan suara masyarakat)
↓
bagaimana dapat terjadi?
↓
membandingkan kinerja kepala desa lama
dengan yang baru
masyarakat
aktor lokal
(kepala desa)
aktor politik
mendapatkan fasilitas air
mendapatkan kekuasaan
mendapatkan bantuan
fasilitas air
mendapatkan bantuan
mobilisasi suara
p
e
r
t
u
k
a
r
a
n
p
e
r
t
u
k
a
r
a
n
common-sense
praktik
etnometodologi
teori strukturalisme
pertukaran
PENDAHULUAN | 28
Terdapat tiga aktor yang saling berjejaring dan berelasi di dalam
arena Pilkada di balik isu penyelesaian krisis air di Desa Liprak Kidul yaitu
antara lain masyarakat, aktor lokal (kepala desa), dan aktor politik. Pada
tataran lokal masyarakat dan kepala desa saling berjejaring dan berelasi.
Terdapat dua hal yang saling dipertukarkan di antara keduanya, dari segi
masyarakat yang menginginkan fasilitas air agar dipenuhi dan dari segi
aktor lokal atau kepala desa yang ingin mendapatkan kekuasaan dimana hal
ini berkaitan ke depannya sebagai bentuk pertukaran berpola berikutnya
pada aktor politik. Berbeda bentuk pertukaran antara masyarakat dengan
aktor lokal, kali ini aktor lokal yang berjejaring dan berelasi dengan aktor
politik mengubah bentuk pertukaran dirinya dalam bentuk mendapatkan
bantuan fasilitas air sedangkan pada sisi aktor politik tentunya ingin
mendapatkan bantuan mobilisasi suara guna pemenangan perebutan kursi
bupati.
Bentuk pertukaran yang dibingkai melalui teori strukturalisme
pertukaran milik Peter M. Blau tidak serta merta berdiri sendiri tanpa
bantuan metodologi guna pengumpulan data di lapangan yaitu
menggunakan etnometodologi. Dalam proses pencarian data di lapangan
sebagai bentuk khas dari etnometodologi yang ingin mencari solusi dari
sebuah permasalahan secara kelokalan maka common-sense menjadi proses
pertama yang tidak boleh terlewatkan. Adapun proses common-sense yang
merupakan suatu bentuk penerimaan realitas yang diterima begitu saja oleh
masyarakat terkait dengan posisi kepala desa yang nantinya menjadi
PENDAHULUAN | 29
keterwakilan suara dari masyarakat Desa Liprak Kidul. Permasalahan lokal
yang sedang dihadapi bersama oleh masyarakat ditentukan secara bersama
oleh masyarakat melalui proses pengidentifikasian bersama peneliti dengan
menemukan tiga permasalahan lokal yang disebutkan dalam proses
interaksional yaitu keamanan, pertanian, dan krisis air. Krisis air merupakan
isu urgent yang disebutkan secara berkali-kali dan bersama oleh masyarakat.
Lantas pada proses berikutnya menjadi hal penting untuk mengetahui
pengetahuan masyarakat tentang aktor lokal dan aktor politik yang bermain
di balik isu penyelesaian krisis air. Terkait dengan proses aktor lokal yang
menjadi keterwakilan/ representasi suara masyarakat maka peneliti
menguraikannya melalui perbandingan kinerja antara kepala desa lama
dengan kepala desa baru. Semua proses pencarian data hingga
penganalisisan menggunakan praktik etnometodologi yang digabung dengan
teori strukturalisme pertukaran milik Blau.
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang fokus
terhadap hasil data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode penelitian kualitatif
digunakan sebagai maksud pendeskripsian yang menekankan pada
interpretasi dan pemaknaan data. Mengutip dari Hammersley (dalam Seale
et al., 2004) terdapat distingsi di antara kedua paradigma, kuantitatif yang
PENDAHULUAN | 30
lebih banyak memanfaatkan angka dan hipotesa-metode deduktif, berbicara
tentang perilaku serta memiliki kekuatan untuk menggeneralisir; sedangkan
kualitatif lebih banyak menggunakan kata-kata tertulis, memfokuskan pada
pemaknaan, berpikir induktif serta berbicara tentang sesuatu yang tidak ada
atau belum nampak.
Penjelasan serupa juga dinyatakan oleh Babbie (2004) yang
menekankan bahwa:
“... Qualitative field research enables researchers to observe
social life in its natural habitat:to go where the action is and
watch. This type of research can produce a richer understanding
of many social phenomena than can be achieved through other
observational methods, provided that the researcher observes in a
deliberate, well-planned, and active way ...”
Penjelasan Babbie sebelumnya memberikan gambaran bahwa metode
kualitatif yang digunakan mampu memberikan pandangan fenomena sosial
di masyarakat yang terjadi dalam kehidupan sosial. Peneliti dapat
memaparkan dan menganalisa proses terjadinya kontestasi kepentingan
yang sekaligus melakukan pemaparan para aktor yang muncul dengan
berbagai isu, arena serta strategi di dalam arena Pilkada Kabupaten
Probolinggo.
Melalui paradigma kualitatif, maka pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah etnometodologi milik Garfinkel. Dalam
kaitannya dengan sebagian besar kepentingan peneliti kualitatif adalah jika
ingin melihat dunia maka jadilah partisipan di dalamnya, etnometodolog
lebih memilih untuk mempelajari bagaimana, dengan menggunakan
prosedur dan metode bagaimana dunia diproduksi dan dirasakan. Cara
PENDAHULUAN | 31
berpikir melalui akal sehat (common -sense) adalah satu cara berpikir yang
cukup sulit untuk dilihat sehingga kenyataan sebuah realitas hanya diterima
begitu saja tanpa perlu dipertanyakan ulang (Seale et al., 2004).
Di dalam bukunya, Garfinkel, Studies in Ethnomethodology (1967)
menyebutkan bahwa etnometodologi merupakan studi yang menganalisis
aktifitas sebagai anggota untuk membuat kegiatan-kegiatan yang sama-sama
terlihat rasional dan dilaporkan untuk semua tujuan praktis. Menelisik
ungkapan Heritage (1984), memparkan bahwa etnometodologi merupakan
metode untuk orang awam atau rakyat, orang belajar untuk memahami apa
yang orang lain lakukan, dan terlebih terhadap apa yang dikatakannya.
Semua orang berusaha untuk menerapkan sebuah metode yang dianggap
masuk akal dalam berinteraksi dengan orang lain, yang biasanya cara
bekerjanya tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sadar ataukah tidak.
Maynard dan Clayman (dalam Salim, 2001) menyatakan bahwa
etnometodologi memiliki sejumlah variasi kerja yang tidak luput dari dua
hal yaitu institutional analysis (studies of institutional setting) dan
conversation analysis. Variasi metode etnometodologi yang seringkali
digunakan dalam menganalisis struktur dalam masyarakat adalah
institutional analysis sedangkan conversation analysis digunakan untuk
menganalisis tindakan individu. Sehingga dalam penelitian ini setting dari
sebuah institusional dalam masyarakat desa Liprak Kidul sangat
berpengaruh terhadap cara bertindak tiap-tiap orang dalam menjalankan
perannya masing-masing.
PENDAHULUAN | 32
1.6.2. Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian ini berada di Desa Liprak Kidul,
Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Alasan
utama dari dipilihnya lokasi di desa tersebut adalah kondisi awal yang
berpuluh-puluh tahun mengalami kondisi krisis air akibat berada di bawah
kaki Gunung Geni (foot slope). Desa tersebut termasuk ke dalam kondisi
desa yang cukup padat penduduk sehingga hal ini menjadi sasaran yang
cukup strategis bagi para calon pasangan bupati yang maju dalam arena
Pilkada guna mendapatkan dukungan suara dari warga desa. Sehingga
kiranya akan sangat menarik saat peneliti berupaya memaparkan aktor-aktor
yang muncul dengan berbagai isu, arena, dan strategi yang dilakukan dalam
kontestasi kepentingan di balik penyelesaian krisis air.
1.6.3. Pemilihan Informan
Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode
snowball yaitu telah menetapkan semua informan di depan secara beruntun
yang sekiranya paham dengan tujuan dari penelitian yang dilakukan.
Metode snowball dipilih sebagai metode pemilihan informan dengan alasan
mempermudah peneliti dalam menentukan pemetaan aktor-aktor yang
berkelindan dalam putaran kontestasi kepentingan.
Selain itu, pemilihan informan dalam penelitian ini juga didasarkan
atas beberapa syarat yang dikemukakan oleh Spreadly (dalam Elizabeth,
1997) yang menyatakan beberapa syarat informan dianggap yang layak
PENDAHULUAN | 33
melalui prosedur antara lain: (a) Enkulturasi penuh, merupakan cara untuk
mencari informan dengan latar belakang pengenalan dan suasana budaya
yang cukup lama sesuai dengan situasi sosial tertentu di dalam masyarakat;
(b) Keterlibatan langsung, merupakan cara untuk mencari informan yang
memiliki pengetahuan dan terlibat langsung dengan tujuan dari penelitian;
dan (c) Cukup waktu, merupakan cara untuk mencari informan dengan
melakukan kesepakatan-kesepakatan dalam memprioritaskan pertimbangan
waktu sebagai upaya ketersediaan secara sadar dalam melakukan proses
wawancara.
Dalam penyajian data yang telah diperoleh, peneliti menggunakan
pseudonym pada beberapa informan yang memang tidak menginginkan
identitas namanya ditulis secara jelas. Berg (2007) menyatakan bahwa this
requires that reserchers systematically change each subject‟s real name or
to a pseudonym or case number when reporting data. Penggunaan
pseudonym atau nomor dari kasus yang diteliti ini bermaksud untuk
menjaga kerahasiaan informan yang diteliti dalam penelitian ini.
Informan kunci dalam penelitian ini didapat melalui metode
purposive adalah Pak Kus (54 tahun). Peneliti dikenalkan oleh seorang
teman dengan Pak Kus dengan alasan merupakan salah satu warga yang
dianggap cukup memiliki pengetahuan berdasarkan pertimbangan latar
belakang pendidikan serta pengalaman menjadi juru kampanye desa.
Melalui Pak Kus, peneliti akhirnya dapat memetakan aktor-aktor yang
merupakan warga desa serta masing-masing warga yang pernah menjadi
PENDAHULUAN | 34
juru kampanye para pasangan calon bupati melalui metode snowball.
Ditekankan di awal jika peneliti kesulitan untuk menemui calon pasangan
bupati yang dulu maju dalam ajang Pilkada.
Informan utama dalam penelitian ini adalah para aktor yang terlibat
secara langsung dengan kontestasi kepentingan di balik upaya penyelesaian
krisis air:
1. Pak Abdul Hanan Latief (48 tahun), Kepala Desa Liprak Kidul;
2. Pak Muradi (50 tahun), mantan Kepala Desa Liprak Kidul;
3. Mas Ali (27 tahun), putra pertama dari Pak Kades yang digadang-gadang
warga sebagai calon pengganti ayahnya kelak sebagai Kades di Desa
Liprak Kidul;
4. Pak Sunar (34 tahun), salah satu ketua RT di Desa Liprak Kidul yang
pernah menjadi juru kampanye di desa; dan
Informan pendukung dalam penelitian ini adalah para warga Desa
Liprak Kidul yang dianggap cukup mempunyai banyak pengetahuan tentang
kondisi kontestasi kepentingan di balik upaya penyelesaian krisis air:
1. Mbak Lukna (26 tahun), salah satu warga di Desa Liprak Kidul yang
aktif di dunia kepemuda-pemudian desa;
2. Bu Misrowi (36 tahun), salah satu warga di Desa Liprak Kidul yang
merupakan anak dari almarhum tokoh adat desa;
3. Pak B (45 tahun), salah satu pegawai PDAM Kabupaten Probolinggo.
PENDAHULUAN | 35
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Data primer dikumpulan dengan cara melakukan wawancara
(interview), membuat catatan lapangan (field notes), serta melakukan
rekaman suara. Wawancara merupakan cara sederhana yang dapat dipahami
sebagai percakapan yang mengandung tujuan (Berg, 2007). Percakapan
yang mengandung tujuan adalah percakapan yang dilakukan bersama
informan guna mendapatkan data yang dibutuhkan. Selanjutnya percakapan
tersebut akan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan melalui metode
etnometodologi sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang ada di
dalam penelitian tesis.
Semistandard interview meliputi kegiatan wawancara dengan
menetapkan sejumlah pertanyaan sebelum dilaksanakannya penelitian di
lapangan (Berg, 2007). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijadikan sebagai
guide interview pertanyaan-pertanyaan lain yang akan muncul selama proses
wawancara bersama para informan. Tujuan lain dari penggunaan
semistandard interview adalah memungkinkan peneliti untuk mendapatkan
informasi yang lebih mendalam dari informan.
Data sekunder dikumpulan dengan cara melakukan dokumentasi
foto pra survei lapangan, mencari jurnal penelitian, kajian pustaka maupun
data dari internet yang relevan dalam menjawab pertanyaan dalam
penelitian tesis. Data sekunder digunakan sebagai data pendukung untuk
membantu peneliti sebelum terjun ke lapangan lebih dalam sehingga
PENDAHULUAN | 36
mempermudah peneliti untuk mempelajari realita sosial yang ada di Desa
Liprak Kidul.
1.6.5. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua bentuk
pengkajian yaitu konsep pemikiran strukturalisme pertukaran milik Peter M.
Blau yang digabungkan dengan konsep etnometodologi milik Harold
Garfinkel. Dengan demikian, maka studi lapangan menjadi fokus utama.
Tahap pertama dalam analisis dimulai dengan mengumpulkan data
lapangan melalui wawancara dan pembuatan catatan lapangan (field notes)
yang berasal dari isu kekeringan air yang telah lama melanda desa. Isu yang
diterima peneliti sudah lama didengar oleh peneliti saat masih mengerjakan
penelitian skripsi. Isu tersebut lantas dibuktikan oleh peneliti melalui
dokumentasi foto-foto sumber air yang menunjukkan perbedaan signifikan
saat musim penghujan dan musim kemarau. Dalam penelitian ini, analisis
data telah dilakukan sejak proses pengumpulan data. Cara tersebut
dilakukan agar penulis dapat melakukan koreksi secara cepat terhadap data
yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Tahapan berikutnya peneliti melakukan wawancara bersama dengan
informan kunci yang dipilih melalui rekomendasi teman peneliti. Dengan
segala keunikan profesi yang pernah dijalani informan kunci dibandingkan
dengan umumnya masyarakat setempat terutama menjadi seorang juru
kampanye desa, mempermudah peneliti untuk memilih informan utama dan
PENDAHULUAN | 37
informan pendukung lainnya yang mendukung jalannya penelitian. Terkait
dengan hal tersebut, penggunaan konsep pemikiran strukturalisme
pertukaran milik Peter M. Blau dan konsep pemikiran etnometodologi milik
Harold Garfinkel dilaksanakan dalam interpretasi data secara bergantian.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pengumpulan dan
penganalisisan data sebagai berikut:
a) Melakukan wawancara dengan keseluruhan informan secara langsung
untuk melihat permasalahan lokal yang dipilih sebagai permasalahan
bersama di dalam desa. Permasalahan bersama diketahui melalui proses
interaksi yang dilakukan oleh peneliti bersama dengan informan yang
saling bertukar pikiran untuk menentukan permasalahan yang bersifat
urgent hingga diketahui bahwa krisis air merupakan masalah lokal yang
dihadapi secara bersama.
b) Setelah mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi secara bersama,
maka terciptalah cara berpikir menggunakan akal sehat atau common-
sense yang berisi tentang pemikiran masing-masing anggota untuk
menciptakan, mempertahankan, dan mengolah rasa (permasalahan) agar
dapat dipecahkan secara kelokalan melalui pola perilaku yang berwujud
pada suatu aturan akan kesetiaan pada perintah seorang aktor lokal yaitu
kepala desa.
c) Dalam mengetahui cara berpikir menggunakan akal sehat atau common-
sense yang seperti apa, maka peneliti melakukan proses wawancara yang
menggunakan prinsip-prinsip dalam kaidah etnometodologi.
PENDAHULUAN | 38
Etnometodologi sendiri menggunakan wawancara bukan hanya sekedar
sebagai proses percakapan biasa mengenai suatu fenomena namun
sebagai cara untuk menemukan suatu permasalahan hingga cara
menyelesaikan permasalahan yang ternyata dirasakan dan dikonstruksi
secara bersama dalam rasa kelokalan. Sehingga dunia sosial disetting
seakan-akan hanya memiliki satu permasalahan bersama yaitu dalam
konteks penelitian ini adalah krisis air.
d) Terdapat permasalahan bersama yang secara berulang-ulang dituturkan
oleh para informan (menemukan keseragaman permasalahan) yang
ternyata mengandung rentetan dorongan motivasi untuk segera
terselesaikan. Realitas tersebut dirasakan oleh masyarakat dan
menemukan kata sepakat untuk diselesaikan oleh posisi aktor lokal yaitu
kades dalam penyelesaian krisis air. Sehingga struktur yang demikian
telah dianggap sebagai realitas yang diterima oleh masyarakat begitu saja
tanpa ada penolakan karena sebagai bentuk pelimpahan otoritas yang
telah dipercayakan kepada seorang kades.
e) Proses-proses yang telah dilalui direkam dan didengarkan secara
berulang-ulang untuk menghindari peneliti kehilangan pemaknaan
indeksikal yang terinterpretatif dari semua perilaku yang selalu diulang-
ulang pemaknaannya. Semisal sebagai contoh konkritnya adalah
permasalahan yang diutarakan oleh semua informan memang banyak
akan tetapi kesimpulannya selalu berujung pada krisis air.
PENDAHULUAN | 39
f) Untuk menganalisis hasil rekaman, peneliti menuangkannya kedalam
bentuk transkrip wawancara yang telah diolah menggunakan simbol-
simbol atau tanda-tanda untuk menunjukkan penilaian apakah
permasalahan dalam percakapan tersebut dianggap penting atau tidak
oleh informan. Permasalahan yang terungkap bukanlah hasil dari
permasalahan perseorang akan tetapi secara kolektif dan dibuktikan
dengan kondisi topografis sebagai sumber utama. Adapun simbol-simbol
yang dimaksud digambarkan sebagai berikut:
[ ] → pembicara membicarakan hal yang sama dengan yang
lain
ho → jenis miring merupakan petanda stress pada ucapan
tertentu, kata atau frase, seperti perubahan dalam nada
suara atau dalam derajat kenyaringan
= → mengindikasikan sebuah pidato yang dijalankan tanpa
celah, bahkan khawatir jika seseorang akan berbicara
dengan yang lain
: → mengindikasikan sedikitnya jeda dengan perubahan
stress atau intonasi di dalam kata
( ) → mengindikasikan kesenjangan yang sedikit lebih
panjang dari biasanya antara ucapan-ucapan
g) Menarik kesimpulan akhir sebagai bentuk menjawab main question yang
diturunkan pada tiga pertanyaan rumusan masalah. Dengan demikian