BAB I PENDAHULUAN -...

40
PENDAHULUAN | 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan air bersih bagi masyarakat adalah jaminan bagi keberlangsungan hidup dan salah satu prasayarat dasar dalam menciptakan kondisi sehat dan sejahtera. Kemampuan menyediakan air bersih bagi sebuah keluarga biasanya diidentikkan dengan warga yang berkecukupan atau kaya (Anwar, 2012). Berkenaan dengan penyediaan air bersih tentunya sangat dipengaruhi oleh kemampuan alam dalam menyediakan sumber air. Seperti yang terlansir dalam pemberitaan Human Development Report (HDR) United Nation Development Program (UNDP) tahun 2006 menyebutkan bahwa dalam sepanjang sejarah kemanusiaan, air menjadi problematika tersendiri dalam kemampuannya menopang dan mendukung lingkungan serta mata pencaharian yang sekaligus dengan pengurangannya telah berbalik menjadi sumber resiko dan kerentanan bagi peradaban manusia. Penyelesaian terhadap masalah penurunan kuantitas air dimulai dari pembongkaran mitos yang merujuk pada kemiskinan, kekuasaan dan ketidaksetaraan. Hampir seluruh negara di belahan dunia mengalami permasalahan degradasi kuantitas air bersih. Notabene kondisi ini selalu diidentikkan dengan perubahan iklim yang di latar belakangi oleh isu global warming. Degradasi kuantitas air telah menjadi penyebab munculnya kondisi krisis air yang merajai problematika

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

PENDAHULUAN | 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketersediaan air bersih bagi masyarakat adalah jaminan bagi

keberlangsungan hidup dan salah satu prasayarat dasar dalam menciptakan

kondisi sehat dan sejahtera. Kemampuan menyediakan air bersih bagi sebuah

keluarga biasanya diidentikkan dengan warga yang berkecukupan atau kaya

(Anwar, 2012). Berkenaan dengan penyediaan air bersih tentunya sangat

dipengaruhi oleh kemampuan alam dalam menyediakan sumber air. Seperti yang

terlansir dalam pemberitaan Human Development Report (HDR) United Nation

Development Program (UNDP) tahun 2006 menyebutkan bahwa dalam sepanjang

sejarah kemanusiaan, air menjadi problematika tersendiri dalam kemampuannya

menopang dan mendukung lingkungan serta mata pencaharian yang sekaligus

dengan pengurangannya telah berbalik menjadi sumber resiko dan kerentanan

bagi peradaban manusia. Penyelesaian terhadap masalah penurunan kuantitas air

dimulai dari pembongkaran mitos yang merujuk pada kemiskinan, kekuasaan dan

ketidaksetaraan.

Hampir seluruh negara di belahan dunia mengalami permasalahan degradasi

kuantitas air bersih. Notabene kondisi ini selalu diidentikkan dengan perubahan

iklim yang di latar belakangi oleh isu global warming. Degradasi kuantitas air

telah menjadi penyebab munculnya kondisi krisis air yang merajai problematika

PENDAHULUAN | 2

di awal abad ke-21. Tahun 2011, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)

memposting sebuah tulisan dari Adam Muakhor (staf bidang fisik Bappeda Kota

Metro, Lampung) yang berjudul „Krisis Air dan Moralitas‟. Terkait dengan

pendefinisian krisis air, Muakhor memaparkan bahwa “krisis air hampir selalu

dikaitkan dengan masalah kekurangan air dan penduduk yang semakin bertambah;

pembagian, pemborosan dan kurangnya bentuk hormat terhadap air di tengah

masyarakat yang materialistis dan konsumeristis; serta privatisasi pelayanan

pasokan air dan kepemilikan yang 95% dikendalikan oleh sektor publik”.

Penduduk dunia perlu menyikapi dengan serius terkait dengan kondisi krisis air

sebab air bukanlah barang yang dapat tersubstitusi seperti minyak, terlebih air

dibutuhkan oleh semua makhluk hidup.

Meledaknya pertambahan angka jumlah penduduk menurut Laporan

Bulanan Data Sosial Ekonomi dalam hasil Sensus Penduduk Mei 2010 (SP2010)

yang mencapai 237.641.326 jiwa, pun demikian dengan sensus di Amerika

(2010), telah menempatkan Indonesia menjadi negara ke-4 dengan penduduk

terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat. Porsi jumlah penduduk yang

tinggi, dibarengi dengan minimnya kearifan pengelolaan SDM dan SDA membuat

masyarakat Indonesia wajib berliterasi dalam memikirkan kelangsungan hajat

hidup di masa sekarang. Berkenaan dengan ketersediaan pasokan air di Indonesia

yang dalam kurun beberapa tahun terakhir semakin buruk akses untuk

memperolehnya (termasuk efek perubahan iklim yang tidak stabil), telah membuat

banyak daerah yang tersebar disepanjang kepulauan mengalami bencana krisis air.

Dalam kegiatan seminar „Hutan Penyelamat Pulau Jawa‟ yang dilakukan oleh

PENDAHULUAN | 3

Himawan et al., (2013) dalam gabungan peringatan Dies Natalis ke-50 dan Reuni

Emas Fakultas Kehutanan UGM, pada tanggal 27 Agustus 2013, memaparkan

tentang kondisi Pulau Jawa sebagai pulau terpadat di Indonesia akan mengalami

masalah krisis air dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Berbagai prediksi

dalam seminar tersebut menyorot tentang diperlukannya model pengelolaan hutan

yang mampu mengatasi segala krisis air di Pulau Jawa, penuh harapan kedepan

salah satunya berimplikasi pada program pengelolaan kegiatan wisata melalui

konsep ekoturisme guna menunjang kesejateraan perekonomian masyarakat.

Upaya pembongkaran paparan realitas isu krisis air yang dimulai dari

kondisi dunia secara global hingga mengerucut tajam ke negara Indonesia, maka

kiranya menjadi titik menarik dari penelitian tesis yang dilakukan oleh peneliti

terkait dengan kondisi krisis air yang dibenturkan fenomenanya dengan

momentum kegiatan Pilkada. Kiranya masih jarang penelitian semacam ini

dilakukan, adapun penelitian yang dilakukan terkait masalah isu krisis air hanya

sebatas bagaimana masalah krisis air terselesaikan secara mekanis.

Penelitian tesis yang dilakukan oleh peneliti berlokus di Desa Liprak Kidul

yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten

Probolinggo, Jawa Timur dengan kondisi krisis air yang cukup memprihatinkan

jika dibandingkan dengan kepadatan jumlah penduduk per meter perseginya.

Kondisi krisis air yang demikian parah ternyata cukup menjadi ajang kontestasi

kepentingan untuk dikaji lebih mendalam disaat momentum Pilkada Bupati tahun

2012. Kondisi seperti ini juga pernah dilansir dalam tulisan Setia „Asal Tak

Politisasi Air Keruh‟ (2013) yang menunjuk bahwa berbagai parpol menebar

PENDAHULUAN | 4

bantuan sebagai bagian dari kampanye Pilkada 2014 pasca terjadinya bencana

banjir di kawasan Kedoya Utara, Jakarta. Dalam beberapa langkah pemberian

bantuan kedepan, beberapa anggota parpol berinisiatif dalam membantu

menyediakan pasokan air bersih untuk warga. Dari berita tersebut nampak jika

sebenarnya berbagai parpol akan datang merapat mendekati daerah-daerah yang

terkena krisis air bersih salah satunya sebagai ajang untuk merebut simpati

masyarakat dalam motif menggalang dukungan suara untuk kepentingan parpol.

Dari beberapa kejadian, sebenarnya penyelesaian krisis air di Desa Liprak

Kidul bukan hanya dibaca sebagai pemberian bantuan secara cuma-cuma namun

hal ini merupakan suatu bentuk kontestasi kepentingan yang dilakukan oleh para

aktor untuk dipertukaran dengan perhitungan keuntungan pada masing-masing

pihak. Para aktor saling menarik perhatian satu dan yang lain guna mencapai

kepentingan yang dituju sebagai sebuah ganjaran dalam sebuah struktur sosial

melalui jejaring yang dibangun.

Demikian juga yang terjadi di Desa Liprak Kidul pada masa sebelum, saat,

dan sesudah Pilkada. Kondisi krisis air yang telah berpuluh-puluh tahun menyatu

dengan kehidupan warga, ternyata telah dibidik sebagai sasaran empuk dalam

kontestasi kepentingan para tiga pasangan calon bupati dan dua orang yang maju

dalam Pileg dalam arena Pilkada saat itu. Kasus ini tidak serta-merta hadir tanpa

melakukan pembacaan pada isu, arena, dan strategi yang tepat untuk

menggambarkan jejaring dan relasi yang dibangun oleh aktor politik dan aktor

lokal. Untuk mengupas lebih mendalam, maka peneliti mencoba memetakan para

aktor yang muncul, strategi-strategi yang dijadikan sebagai alat untuk melakukan

PENDAHULUAN | 5

kontestasi kepentingan di balik upaya penyelesaian krisis air. Dengan demikian

permasalahan dalam tesis ini dianalisis menggunakan teori strukturalisme-

pertukaran milik Peter M. Blau.

1.2. Rumusan Masalah

Setelah melakukan pemaparan kondisi realitas sebelumnya, maka penelitian

ini memiliki pertanyaan utama yaitu bagaimana para aktor melakukan kontestasi

kepentingan melalui penyelesaian krisis dalam arena Pilkada di Desa Liprak

Kidul, Kabupaten Probolinggo. Untuk menjawab pertanyaan utama maka peneliti

menurunkannya kedalam tiga pertanyaan yang lebih spesifik yaitu antara lain:

1. Siapa para aktor dan bagaimana relasi-relasi di antara para aktor dalam

menyelesaikan krisis air sebagai kontestasi kepentingan di Desa Liprak Kidul

dalam arena Pilkada?

2. Bagaimana wacana penyelesaian krisis air sebagai kontestasi kepentingan di

Desa Liprak Kidul dalam arena Pilkada?

3. Bagaimana realisasi strategi penyelesaian krisis air sebagai kontestasi

kepentingan di Desa Liprak Kidul dalam arena Pilkada?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu antara lain:

1. Memaparkan dan menganalisa dinamika proses terjadinya kontestasi

kepentingan di balik penyelesaian krisis air dalam arena Pilkada di Desa Liprak

Kidul, Kabupaten Probolinggo.

PENDAHULUAN | 6

2. Memaparkan berbagai aktor serta relasinya yang muncul dalam melakukan

kontestasi kepentingan di balik penyelesaian krisis air.

3. Memperkaya khasanah pengkajian sosiologi di bidang politik melalui analisa

acuan penerapan teori strukturalisme pertukaran milik Peter M. Blau.

1.4. Tinjauan Pustaka

Peneliti sengaja menggunakan beberapa penelitian terdahulu yang berbeda-

beda isunya (tidak hanya fokus dalam arena Pilkada), sebagai upaya untuk melihat

beberapa aspek terkait dengan tindakan-tindakan yang ditampilkan oleh aktor-

aktor dalam tataran desa, upaya desa lain dalam mengatasi kasus krisis air, hingga

sikap masyarakat dalam mendongkrak hegemoni terhadap praktik

keberlangsungan pemilihan kades. Berikut beberapa penelitan terdahulu yang

digunakan dalam penelitian ini:

1. Ganefo, (2000), Rasionalitas Calon Kepala Desa dan Pemilih (Studi Proses

Pertukaran dalam Pemilihan Kepala Desa)

Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Prodi Sosiologi UGM ini

merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dengan menggunakan pisau

analisis teori dari Max Weber tentang tipe tindakan rasional dan teori

pertukaran. Tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan penemuan terkait

dengan mekanisme pergantian kepemimpinan di desa sebagai bagian dari

struktur pemerintahan Republik Indonesia paling bawah melalui pemilihan

langsung oleh warga desa yang biasa disebut dengan pemilihan kepala desa

(pilkades). Lokus dari proses pilkades terletak di lima desa yaitu Desa Bagor,

PENDAHULUAN | 7

Balung Lor, Nogosari, Puger Kulon, dan Umbulrejo di Kabupaten Jember,

Jawa Timur.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa calon-calon kades dengan

berbagai latar belakang sosial dan status ekonomi mempunyai motif ekonomi

dan sosial (status dan pengabdian) yang melatar belakangi dirinya

mencalonkan diri sebagai kades. Dengan adanya motif-motif tersebut

mendorongnya melakukan usaha penggalangan dukungan suara secara

langsung maupun tidak langsung pada elit informal maupun massa di desa.

Calon kades melakukan tindakan apapun yang mungkin dilakukan termasuk

dalam rangka meraih rewards, jabatan kades dengan berbagai fasilitas yang

menyertainya.

Beberapa tindakan yang dilakukan oleh calon-calon kepala desa dalam

memenangkan pilkades antara lain dengan menggalang dukungan elit,

mempekerjakan para kader, menghadiri pertemuan warga (jamuan/jagong),

pembentukan opini publik (pencitraan melalui sosok religius, pemersatu

ataupun rakyat biasa), dan penyediaan uang untuk warga. Peneliti

menyimpulkan bahwa terdapat dua motif mengikuti pilkades yaitu: (a) motif

ekonomi, jembatan untuk meraih hak menggarap sawah dari sejumlah tanah

kas desa dan gaji yang berasal dari dana rutin desa; dan (b) motif sosial,

peluang untuk meningkatkan status sosial sebagai bentuk amal dan mengabdi

untuk desa. Dari segi pemilih atau warga desa melakukan tindakan rasional

dalam memilih calon kades yang akan memimpin desanya terangkum dalam

aspirasi pemilih yang terbagi dalam dua hal yaitu: (a) harapan akan prioritas

PENDAHULUAN | 8

program kerja seperti peningkatan kesejahteraan ekonomi, pelayanan aparatus

desa, pembangunan sarana fisik, kerukunan, dan keamanan desa; dan (b)

kualitas calon kades seperti moralitas tinggi, supel, memiliki pendidikan yang

tinggi dan dermawan.

Penelitian tersebut memiliki kelebihan yaitu peneliti melakukan

penghitungan statistik yang dapat dijadikan sebagai deret ukur penghitungan

reputasi, kredibilitas, dan prioritas program kerja kedepannya yang dapat

dijadikan sebagai contoh pola bagi pihak-pihak yang menginginkan status

sebagai kades. Kekurangan penelitian tersebut adalah belum nampak gambaran

upaya realisasi sebagai pola jangka panjang dalam menyelenggarakan

kampanye-kampanye calon-calon kades tanpa mengakibatkan konflik dan

ganggungan keamanan di masyarakat. Alasan peneliti menggunakan penelitian

tersebut sebagai salah satu landasan tinjauan pustaka adalah adanya kemiripan

ulasan terkait dengan bagaimana upaya penggalangan suara sebagai bentuk

mobilisasi massa pada warga desa.

2. Taxwym, (2002), Pemberdayaan Masyarakat dalam Mengatasi Krisis Melalui

Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (Hippam) (Studi di Desa

Torongrejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Propinsi Jawa Timur)

Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Prodi Sosiologi UGM ini

merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan

metode fenomenologi. Teori fungsionalisme struktural yang mempelajari

tentang fenomena sosial yang terjadi di masyarakat digunakan sebagai pisau

analisis dalam memaparkan hasil penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah

PENDAHULUAN | 9

memaparkan penemuan terkait dengan keberadaan Hippam sebagai salah satu

institusi lokal yang dimanfaatkan warga sebagai solusi menghadapi krisis air.

Perubahan paradigma pembangunan dengan segala macam konsekuensi

membawa dampak pada dinamika masyarakat yaitu perubahan pada taraf

kehidupan dan tingkat partisipasi masyarakat yang merupakan proses

pembelajaran bagi masyarakat melalui Hippam. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat faktor ekstern buruknya layanan PDAM dalam

mendistribusikan air bersih secara langsung kepada masyarakat serta kualitas

air yang tidak terjaga. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal

tersebut adalah melalukan pembentukkan panita pembangunan bersama antara

warga dengan pemerintahan desa dengan menyusun program rancangan dan

format pembangunan sarana air bersih.

Adapun strategi-strategi yang dapat dilakukan demi terselenggaranya

pembangunan sarana air bersih yaitu gotong royong meningkatkan partisipasi

karena dianggap melestarikan SDA dan strategi pemberdayaan masyarakat;

memberikan jasa layanan sosial kepada masyarakat secara demokratis dan

berkeadilan; melibatkan kembali pemerintah dan lembaga swasta; serta

melakukan perencanaan terpadu yaitu keterpaduan antara sistem buatan

manusia, sistem ekonomi dan sosial, pembangunan lintas sektor ke dalam

proses perencanaan. Upaya perencanaan dilakukan untuk meningkatkan

interaksi antara lingkungan sosial dan alam dalam konteks pengembangan

penyediaan air sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

PENDAHULUAN | 10

Penelitian tersebut memiliki kelebihan yaitu peneliti telah ikut

berpartisipasi secara langsung dalam melakukan upaya pemberian solusi atas

keberlangsungan penyediaan air yang layak untuk masyarakat. Kekurangan

penelitian tersebut adalah munculnya statement pada poin ketiga upaya

melakukan strategi yaitu dengan kembali melibatkan usaha pemerintah dan

lembaga swasta. Menarik jika dibenturkan dengan kasus yang terjadi di Desa

Liprak Kidul yang justru tidak ingin upaya mengatasi krisis air jatuh di tangan

pihak swasta. Alasan peneliti menggunakan penelitian tersebut sebagai salah

satu landasan tinjauan pustaka adalah pernah hadirnya Hippam sebagai salah

satu solusi mengatasi krisis air di Desa Liprak Kidul tetapi mengalami

kemandegan akibat keterbatasan teknologi yang digunakan.

3. Latief, (2004), Protes Pemilihan Kepala Desa pada Masa Orde Baru:

Perlawanan Rakyat Terhadap Hegemoni Negara (Studi di Desa Kragilan,

Klaten, Jawa Tengah)

Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa S2 Prodi Sosiologi UGM ini

merupakan penelitian yang bersifat kualitatif deskriptif dan eksplanasi dengan

menggunakan pisau analisis teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Tujuan dari

penelitian ini adalah memaparkan penemuan terkait dengan keberanian rakyat

desa menentang kekuasaan negara (baca: pemerintah) yang dipicu oleh

terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan kades di Desa Kragilan,

Gantiwarno, Kabupaten Klaten.

Perlawanan rakyat dilakukan dalam bentuk protes berulang-ulang

ditujukan terutama kepada panitia pencalonan dan pemilihan kades (palona)

PENDAHULUAN | 11

dan bupati mulai Oktober 1997 hingga September 1998. Tuntutan utama warga

adalah pembatalan pelantikan kades terpilih dan pelaksanaan pemilihan ulang

kades. Hasil dari penelitian ini adalah protes yang dilakukan oleh warga

menuntut ditegakkannya keadilan akhirnya membuahkan hasil. Tanggal 7

September 1998, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang

menjatuhkan vonis bahwa surat keputusan pelantikan kades terpilih yang

dikeluarkan oleh bupati dinyatakan batal demi hukum. Segera dilakukan

pemilihan kades ulang. Vonis PTUN membuktikan bahwa dominasi, represi,

dan hegemoni negara dapat dipatahkan oleh kekuatan massa rakyat desa

dengan cara membangun aliansi-strategis-lintas pemangku kepentingan (aliansi

multi stakeholder) di antara elemen-elemen masyarakat yang menuntut

ditegakkannya kebenaran, keadilan, demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Elemen masyarakat yang dimaksud adalah aktivis partai politik

tingkat desa, tokoh mahasiswa/ pemuda yang berasal dari desa, organisasi

gerakan mahasiswa di Yogya Solo, media massa (Yogya, Solo, Semarang),

LBH Yogya serta didukung oleh tokoh-tokoh tua warga desa. Lantas demikian

bukti sebuah kemenangan yang terjadi pada rakyat desa atas dominasi dan

hegemoni negara (pemerintah).

Penelitian tersebut memiliki kelebihan yaitu peneliti dapat

menggambarkan kejadian kronologis perlawanan rakyat secara jelas.

Kekurangan penelitian tersebut adalah kurang nampaknya apresiasi langsung

oleh warga karena banyaknya elemen di luar warga yang ikut mewujudkan

perjuangan. Alasan peneliti menggunakan penelitian tersebut sebagai salah satu

PENDAHULUAN | 12

landasan tinjauan pustaka adalah untuk membandingkan apakah saat para aktor

yang muncul di Desa Liprak Kidul juga telah membuat warga mengalami

pengkebirian semacam hegemoni yang membuat warga berjalan sesuai dengan

struktur yang telah dibentuk.

1.5. Kerangka Teori

1.5.1. Peter M. Blau: Pertukaran dan Kekuasaan

Teori pertukaran menjadi milik pertama pemikiran seorang tokoh

bernama George Homans yang membahas tentang tiga hal yaitu emergence,

reduksionisme psikologi, dan paparan pikiran Durkheim (Ritzer, 2009). Dari

kesemuanya, diperoleh dua proposisi yaitu makin tinggi suatu ganjaran

(reward) yang diperoleh maka semakin besar kemungkinan tingkah laku

akan diulang dan semakin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment)

yang akan diperoleh maka semakin kecil kemungkinan tingkah laku yang

serupa akan diulang. Tetap dalam pandangan Homans, teori pertukaran

sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomis yang elementer yaitu

orang menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya berharap

memperoleh barang atas jasa yang diinginkan (Poloma, 2007). Teori

pertukaran dari sisi Homans selalu melihat bahwa memperoleh suatu

ganjaran adalah transaksi ekonomi yang sederhana.

Dalam pandangan yang lain sebagai pengkritik dan penyempurna

teori pertukaran berikutnya ialah hadirnya seorang tokoh bernama Peter M.

Blau. Blau melihat secara eksplisit tentang ketergantungan antara pertukaran

PENDAHULUAN | 13

sosial di tingkat mikro dan munculnya struktur sosial yang lebih besar atau

makro. Lantas inilah yang memperlihatkan proses pertukaran dasar itu

melahirkan suatu gejala yang nampak dalam bentuk struktur sosial yang

lebih kompleks (Johnson, 1986). Berbeda dengan Homans yang melihat

pertukaran dilandaskan dengan segala kepentingan pribadi, Blau justru

melihat bahwa pertukaran dilakukan karena ada reaksi, respons,

penghargaan dari orang lain yang nantinya akan diterima. Jika hal tersebut

tidak kunjung didapat maka tindakan tidak akan berulang.

Homans dan Blau memang memiliki kesamaan namun pada

kenyataannya perbedaan diantara keduanya justru jauh lebih besar. Blau

menolak pemikiran Homans tentang reduksionisme psikologi yang telah

mengabaikan kehadiran property sosial dan struktural (Poloma, 2007). Blau

memberikan tekanan atas kelahiran (emergence), atau properti kelompok,

yang tak dapat diredusir pada psikologi berorientasi individual seperti yang

lantas kemudian digambarkan oleh Peter Ekeh sebagai tesis yang bersifat

kolektivis strukturalis yang berbeda dengan teori individualistik behavioris

milik Homans. Sebagai contoh kelompok kecil mungkin bisa

mempertahankan pengendalian sosial melalui himbauan sosial dan

kewajiban personal, tetapi hal ini tidak dapat diterapkan dalam skala besar

seperti negara. Jika negara yang harus dikendalikan, maka dibutuhkan

asosiasi-asosiasi organisasional yang sangat kompleks. Blau memang setuju

pertukaran sosial, namun ia juga tertarik untuk lebih memahami organisasi-

organisasi yang kompleks.

PENDAHULUAN | 14

Blau memanfaatkan konsep pertukaran dari sosiologi mikro dan

menggabungkannya dengan konsep kekuasaan yang merupakan subyek

usaha sosiologi makro dalam karya teoritisnya yang klasik „Exchange and

Power in Social Life‟. Fenomena daya tarik individu terhadap satu sama lain

serta keinginan mereka untuk mendapatkan ganjaran sosial merupakan

sesuatu yang bersifat given yang lantas menjadi cikal bakal asal usul

struktur sosial. Individu tertarik masuk ke dalam suatu asosiasi karena

mengharapkan ganjaran ekstrinsik dan intrinsik. Perilaku yang menjurus

pada pertukaran sosial harus mensyaratkan dua hal yaitu: (1) perilaku

tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai

melalui interaksi dengan orang lain, dan (2) perilaku tersebut harus

bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

Tujuan yang diinginkan dapat berupa dua hal yaitu: (1) ganjaran ekstrinsik

seperti uang, barang-barang, atau jasa-jasa, dan (2) ganjaran intrinsik seperti

kasih sayang, kehormatan, atau kecantikan.

Perhatian teoritis utama Blau terletak pada perubahan dalam proses-

proses sosial yang terjadi sementara orang bergerak dari struktur sosial yang

sederhana menuju struktur sosial yang lebih kompleks, dan pada kekuatan-

kekuatan sosial baru yang tumbuh dari yang terakhir. Salah satu ciri

struktural yang paling sederhana adalah sistem stratifikasi yang sederhana.

Tahap awal pembentukan kelompok, individu-individu mencoba

menunjukkan „nilai‟ mereka bagi kelompok. Karena para anggota

memberikan sumbangan nilai yang berbeda-beda maka terjadi perbedaan

PENDAHULUAN | 15

status. Misalnya tidak setiap anggota mampu menunjukkan tanggung jawab

sebagai pemimpin kelompok. Bilamana anggota terikat dan telah menerima

ganjaran di dalam kelompok tersebut, maka dia akan mundur dan

menyerahkan peluang menjadi pemimpin kepada orang lain. Seorang

individu yang maju sebagai pemimpin akan memperoleh ganjaran ekstrinsik

berupa materi dan kekuasaan yang berbeda. Tetapi karena adanya perbedaan

(diferensiasi) tersebut, maka akan mempertinggi tingkat kebutuhan akan

penyatuan (integrasi) sosial dari status yang berbeda-beda. Anggota

kelompok yang mundur dari persaingan kepemimpinan harus merubahnya

menjadi ikatan persahabatan. Hal seperti ini dibutuhkan untuk mencapai

tujuan kelompok. Sehingga hal ini lebih nampak pada hubungan-hubungan

kekuasaan daripada pertukaran-sosial semata.

Hubungan pertukaran adalah hubungan yang dihasilkan dari

hubungan yang bersifat simetris artinya semua anggota menerima ganjaran

sesuai dengan apa yang diberikannya. Tetapi dalam hubungannya dengan

stratifikasi, pertukaran tersebut dilihat dari seberapa jauh hubungan-

hubungan itu menguntungkan bagi para anggota yang berkedudukan tinggi

ataupun rendah. Memperoleh persetujuan sosial merupakan ganjaran yang

semakin penting dalam semua masyarakat, tetapi hal itu termasuk sumber

pengendalian sosial yang paling populer. Sumber dasar untuk membendung

perilaku interpersonal adalah melalui kekuasaan.

Kekuasaan menurut Blau diambil melalui definisi Weberian,

kekuasaan hanya dilihat sebagai pengendalian melalui sangsi-sangsi negatif,

PENDAHULUAN | 16

dimana kekerasaan fisik atau ancaman merupakan kutub populer. Blau

mengutip skema Richard Emerson untuk menganalisa ketimpangan

kekuasaan di dalam kelompok. Berikut syarat seorang individu yang

membutuhkan pelayanan orang lain:

1) Mereka dapat memberi pelayanan yang sangat ia butuhkan sehingga

cukup membuat orang tersebut memberikan jasanya sebagai imbalan,

sehingga dia harus mencukupi sumberdaya yang dibutuhkan untuk itu

→ menjurus pada pertukaran timbal balik.

2) Mereka dapat memperoleh pelayanan yang dibutuhkan dimana-mana

(dengan asumsi ada penyedia alternatif) → menjurus pada pertukaran

timbal balik.

3) Mereka dapat memaksa seseorang menyediakan pelayanan (dengan

asumsi orang tersebut dapat menyediakannya). Mereka yang mampu

memperoleh pelayanan akan menciptakan dominasi terhadap penyedia.

4) Mereka dapat belajar menarik diri tanpa mengharap pelayanan, jika

menemukan beberapa pengganti pelayanan yang serupa.

Keempat alternatif di atas merupakan kondisi-kondisi

ketergantungan sosial dari mereka yang membutuhkan pelayanan tertentu.

Bila orang yang menginginkan pelayanan tidak mampu memenuhi salah

satu alternatif di atas maka mereka tidak punya pilihan kecuali menuruti

kehendak penyedia “sebab kelangsungan persediaan pelayanan yang

dibutuhkan diperoleh melalui kepatuhan”. Ketergantungan membuat

penyedia menempati posisi kekuasaan. Untuk mempertahankan kekuasaan

PENDAHULUAN | 17

maka penyedia harus bersikap wajar terhadap keuntungan yang diperoleh.

Hasil dari perjuangan ini adalah suatu sistem stratifikasi atas dasar

kekuasaan. Kekuasaan yang dilakukan dengan pemaksaan akan menuai

perlawanan reaktif sehingga perlu untuk tetap berada di tingkat minimum.

Agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik maka yang di bawah perlu

untuk mematuhi dan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka sehari-hari

dengan pengarahan yang mempunyai kekuasaan.

Blau berpendapat, hanya perintah-perintah kekuasaan sah yang akan

dipatuhi. Kekuasaan yang sah itu ialah otoritas. Kelompok harus secara

sukarela bersedia menerima kekuasaan atau otoritas yang sah dengan

demikian membuat wewenang tersebut sebagai pengikat anggota-anggota

kelompok. Norma-norma demikian diinternalisir oleh anggota kelompok

dan dipaksakan kepada mereka. Ukuran normatif yang mendasari

wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara

mereka yang berada di lapisan atas atau bawah, melainkan dalam proses

sosialisasi di mana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan

bersama.

Seorang pemimpin yang memperoleh kekuasaan dan restu atas

penerimaan kekuasaan tersebut harus membayar biaya penerimaan sosial

jika anggota yang dipimpinnya tidak senang dengan kekuasaannya. Tetapi

jika dia terlalu memikirkan penerimaan sosial, maka dia akan terjerumus ke

dalam kepemimpinan yang lunak dimana anggota akan menuntut

pemenuhan kehendak masing-masing. Individu yang ingin menjadi

PENDAHULUAN | 18

pemimpin biasanya mengatasi ini dengan memobilisir kekuasaan dan

menggunakan kekuasaan untuk memperoleh penerimaan sosial dari

pengikutnya. Inilah yang disebut Blau dengan kondisi „dilema

kepemimpinan‟. Apakah kedepannya kekuasaan yang dimiliki pemimpin

memperoleh keabsahan atau justru oposisi semuanya tergantung nilai-nilai

yang mengatur hubungan-hubungan sosial dengan kelompok yang bersifat

khusus (atribut status yang hanya dinilai oleh in-group seperti kepercayaan

politik atau keagamaan) atau umum (dinilai oleh orang yang tidak memiliki

maupun yang memiliki kekayaan atau kompetensi).

Walaupun pertukaran berfungsi sebagai basis interaksi personal yang

paling dasar, akan tetapi nilai-nilai sosial yang diterima bersama, berfungsi

sebagai media transaksi sosial bagi organisasi serta kelompok-kelompok

sosial. Orang bebas memilih tujuan-tujuan mereka, tetapi hanya diantara

alternatif-alternatif yang telah ditentukan secara struktural.

Kelompok-kelompok sosial yang baru lahir dalam struktur organisasi

yang lebih kompleks dapat diamati ide-ide utamanya sebagai berikut:

1) Hubungan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain

melalui berbagai kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Orang yang

memberikan ganjaran, melakukan pembayaran seperti itu sebagai nilai

yang diterimanya.

2) Pertukaran demikian mudah sekali berkembang menjadi hubungan-

hubungan yang menciptakan persaingan dimana setiap orang harus

PENDAHULUAN | 19

menunjukkan ganjaran yang diberikan dengan maksud menekan orang

lain untuk menerima ganjaran yang lebih banyak.

3) Persaingan tersebut melahirkan asal muasal sistem stratifikasi dimana

individu-individu dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber

yang dimilikinya. Di sini kita melihat akar dari konsep emergent

tentang kekuasaan.

4) Wewenang tumbuh berdasarkan nilai-nilai yang sah.

Demikian kelindan pertukaran dan kekuasaan yang terangkum dalam

pemikiran Blau. Melakukan pembacaan pada penyelesaian krisis air maka

sama dengan melihat tindakan para aktor politik dan aktor lokal dalam

melakukan kontestasi kepentingan dalam arena Pilkada di Desa Liprak

Kidul. Kedua belah pihak melakukan pertukaran untuk mendapat untung

satu sama lain. Seperti pertukaran yang dilakukan oleh aktor lokal yaitu

kepala desa kepada aktor politik untuk mendapatkan solusi bantuan

penyelesaian krisis air dan begitupun dengan pertukaran yang dilakukan

oleh aktor politik kepada aktor lokal untuk mendapatkan bantuan

pemobilisasian massa di desa.

1.5.2. Mengemas Krisis Air Melalui Pertukaran Para Aktor Politik

dan Aktor Lokal

Krisis air yang telah lama melanda Desa Liprak Kidul disebabkan

karena kondisi topografis yang kurang menguntungkan. Seperti yang

dikemukakan oleh Notohadiprawiro (1977) bahwa unsur-unsur topografi

PENDAHULUAN | 20

yang paling berpengaruh terhadap timbulnya lahan kritis adalah kemiringan

lereng, panjang lereng, bentuk dan arah lereng. Kemiringan lereng

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan mengendalikan

proses-proses pembentukan tanah. Mengaitkan dengan kondisi kemiringan

lereng yang juga tergambar pada kondisi topografis di Desa Liprak Kidul

maka tak pelak lagi jika dampak yang terlihat adalah kondisi krisis air.

Terbatasnya daya dukung sumberdaya alam akan penyediaan air

membuat ketertarikan para aktor untuk memanfaatkan kondisi demikian

sebagai bentuk kontestasi yang memiliki daya tarik pertukaran. Mengemas

krisis air dalam kasus desa tersebut bukan hanya melakukan pembacaan

terhadap penyediaan fasilitas sumber air namun berlanjut pada kepentingan

terselubung di balik segala penyelesaian krisis air. Krisis air yang menjadi

bencana bagi masyarakat nampaknya telah mengundang masuknya para

aktor politik yang sedang melakukan kampanye untuk tertarik mencari

dukungan suara guna pemenangan perebutan kursi bupati Kabupaten

Probolinggo. Konsepnya sederhana yaitu bagaimana melihat sisi baik dari

suatu krisis air sebagai sarana pencapaian kemenangan kursi bupati.

Dalam upaya melakukan penyelesaian krisis air yang dilakukan oleh

para aktor politik dan aktor lokal, keduanya saling berjejaring membentuk

suatu struktur sosial yang lebih kompleks. Awal, krisis air diselesaikan

secara sepihak oleh masyarakat bersama dengan kepala desa, namun upaya

tidak berhasil. Bersamaan dengan masuknya aktor politik yang berada

dalam momentum Pilkada, penyelesaian krisis air dilakukan melalui

PENDAHULUAN | 21

pembentuk jejaring atau yang dalam konsep Blau disebut dengan

pembentukan struktur sosial yang lebih kompleks. Struktur sosial tersebut

hanya bersifat sementara mengikuti tenggang waktu kampanye Pilkada

namun dari bentuk jejaring yang ada terdapat suatu nilai yang ingin

dipertukarkan oleh diantara kedua belah pihak. Pertukaran tersebut

merupakan bentuk dari harapan kontestasi kepentingan yang mengacu pada

pandangan positif. Artinya pertukaran positif diharapkan mau mendapatkan

ganjaran positif lainnya. Pertukaran demikian akan selalu diulang

tindakannya jika hasil yang diterima sesuai dengan tujuuan kepentingan.

Menjadi menarik kemudian saat krisis air dikemas menjadi isu

politik yang dibidik dalam arena Pilkada. Tidak hanya dibaca sebagai suatu

bencana alam semata yang berakhir pada terganggunya ekosistem manusia

dalam memanfaatkan kapasitas daya dukung alam, namun dibaca sebagai

suatu isu dalam agenda politik yang mempermudah menarik perhatian

masyarakat sebagai bentuk pemobilisasian massa. Mobilisasi massa yang

memerlukan pembidikan isu yang tepat serta persiapan strategi yang matang

diatur dalam jejaring melalui kekuatan otoritas. Otoritas yang absah dimiliki

oleh aktor lokal sebagai bentuk kepercayaan masyarakat dalam

menyerahkan tanggungjawab menentukan keputusan di tangan satu pihak.

1.5.3. Common-Sense: Mencari Keputusan Terbaik Bersama

Strukturalisme pertukaran merupakan bagian dari paradima perilaku

sosial yang berdasarkan pada pendekatan behaviorisme melalui karya awal

PENDAHULUAN | 22

B.F. Skinner (Ritzer, 2009). Paradigma tersebut ingin melihat perilaku

manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Teori

strukturalisme pertukaran Peter M. Blau yang masuk dalam jajaran

paradigma perilaku sosial ingin melihat bentuk pertukaran yang digabung

dengan pembentukan struktur sosial dalam lingkup kekuasaan. Kekuasaan

yang dilegitimasi untuk diakui menjadi sebuah otoritas yang diabsahkan

pada satu tangan aktor. Seperti halnya yang terjadi di Desa Liprak Kidul,

otoritas penuh berada di satu tangan aktor lokal yaitu kepala desa dalam

memutuskan segala perkara.

Mencari keputusan terbaik bersama harus dipikirkan secara rasional.

Kendati demikian menggambarkan kasus melalui teori strukturalisme

perilaku nampaknya tidak cukup dilakukan tanpa bantuan penggunaan

metode etnometodologi. Dalam penelitian tesis ini, antara teori dan

metodologi yang digunakan saling berlawanan namun peneliti berusaha

untuk menemukan benang merah di antara keduanya agar dapat digunakan

secara berdampingan dalam penggalian data. Etnometodologi sejatinya

suatu metode yang digunakan untuk mengkaji tatanan atau keteraturan

dengan cara mengkombinasikan sensibilitas fenomenologis dengan

perhatian besar pada praktik sosial konstitutif (Lincoln dan Denzin, 1997).

Garfinkel memposisikan seorang aktor sosial sebagai pihak yang merespons

semua kekuatan eksternal yang dimotivasi oleh suatu dorongan. Model

tatanan sosial yang dibagun merupakan wujud tindakan interpretatif setiap

anggota masyarakat yang bersifat terus menerus untuk segera diwujudkan.

PENDAHULUAN | 23

Common-sense merupakan bagian dari etnometodologi dimana merupakan

hasil prosedur harian yang berisi pemikiran masing-masing anggota saat

menciptakan, mempertahankan, dan mengolah rasa akan suatu realitas

objektif. Salah satu bentuk dari common-sense yang dapat diamati adalah

bagaimana suatu tatanan katakanlah struktur perilaku yang dapat diamati,

sistem motivasi atau hubungan sebab akibat antara sistem motivasi dengan

pola perilaku yang berwujud dalam kesetiaan ataupun ketidaksetiaan pada

suatu aturan (Lincoln dan Denzin, 1997).

Dalam perkembangannya, etnometodologi memasukkan analisis

percakapan sebagai bagian dari pemaknaan indeksikal (ketergantungan

situasi pada suatu konteks) yang hanya dapat dipahami melalui percakapan

atau interaksi itu sendiri. Analisis percakapan bertumpu pada situasi realitas

yang refleksif, paparan kajian deskriptif tentang suatu setting. Sehingga

analisis etnometodologi memfokuskan perhatian pada setting sosial yang

tersingkap secara interaksional, percakapan dan interaksi diperlakukan

sebagai topik analisis bukan sekedar komunikasi biasa tentang fenomena.

Informasi yang didapat bukan semata-mata merupakan hasil penggalian

informasi melalui wawancara namun sebagai penjelasan bagaimana

interaksi sehari-hari memproduksi tatanan sosial di dalam konteks

berlangsungnya percakapan itu yang menjadi pembentuk makna lokal.

Penekanan etnomedotologi pada praktik juga ditempuh oleh

beberapa variasi pendekatan yang mempertimbangkan pada sumber-sumber

interpretatif lokal; yaitu para pelaku kehidupan sehari-hari adalah pelaku

PENDAHULUAN | 24

yang berada di pusat suatu variasi. Mereka terus mencari dan mengartikan

setiap parameter dari kehidupan sehari-hari agar dapat terus-menerus

bersesuaian dengannya. Jenis-jenis sumber interpretatif tersebut mencakup

kosakata yang akrab di telinga, misi-misi organisasional, orientasi

professional serta budaya kelompok.

Mengaitkan antara teori dan metodologi yang digunakan dalam

penelitian tesis ini berbeda paradigma namun keduanya juga berdasarkan

pada pandangan Weberian. Etnometodologi merupakan metode yang

mengkaji suatu tatanan atau keteraturan atas usaha manusia membangun dan

memberi makna atas tiap-tiap tindakan dalam situasi konkret. Aktor sosial

yang diposisikan sebagai pihak yang merespons semua kekuatan eksternal

yang dimotivasi oleh suatu dorongan. Begitupun dengan pemikiran Blau

yang melihat perilaku aktor sosial yang dimotivasi oleh suatu dorongan

guna mendapatkan ganjaran. Motivasi yang ada berdasarkan pada

perulangan perilaku yang dianggap memberi manfaat. Artinya di antara

keduanya sama-sama melihat tentang suatu tindakan atau perilaku yang

dilakukan oleh individu-individu.

Tatanan sosial dalam etnometodologi diciptakan dari hasil tindakan

interpretatif setiap anggota masyarakat yang bersifat terus-menerus. Proses

pencapaian tatanan sosial dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai satu

pemikiran rasional secara bersama dari tiap-tiap anggota masyarakat yang

disebut dengan common-sense. Common-sense salah satunya dapat diamati

melalui struktur perilaku dan sistem motivasi dengan pola perilaku yang

PENDAHULUAN | 25

berwujud pada kesetiaan ataupun ketidaksetiaan pada suatu aturan dalam hal

ini seorang kades yang menjadi representasi kolektif suara masyarakat untuk

dipertukaran perilakunya terhadap kedatangan aktor politik dalam arena

Pilkada. Dalam penelitian ini, etnometodologi digunakan untuk melihat

kebutuhan bersama akan pemenuhan kebutuhan air sebagai kebutuhan

paling rasional untuk segera diwujudkan. Setiap anggota masyarakat boleh

menyebutkan pemikiran yang berbeda-beda namun ujungnya masyarakat

membenturkan situasi bersama yang sedang dihadapi dengan kondisi

kapasitas alam yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan akan air. Sehingga

secara etnometodologi yang melakukan pendekatan untuk mengetahui

permasalahan secara lokal, menyimpulkan semetara (tidak ada kesimpulan

akhir) jika air merupakan kebutuhan bersama yang harus dipenuhi dan

dicarikan solusi bersama secara lokal. Walaupun akhirnya solusi tersebut

terpenuhi karena bantuan aktor politik namun pengupayaan realisasi di

lapangan tetap dilakukan secara kekuatan lokal.

Kebutuhan utama masyarakat dibicarakan dan terwujud dalam suatu

interaksi dengan orang lain. Sebab tanpa interaksi menurut Blau suatu

perilaku tidak akan pernah diketahui hasilnya. Entah perilaku yang

dilakukan dapat diulang ataupun tidak, harus dilakukan terlebih dahulu

untuk mengetahui hasil sementara. Ada tidaknya interaksi dalam penelitian

ini dianalisis melalui analisa percakapan dalam tradisi etnometodologi.

Analisis percakapan merupakan pemaknaan indeksikal, adapun indeksikal

merupakan suatu ujaran lokal yang menjadi praktik dari solusi permasalahan

PENDAHULUAN | 26

yang ingin dihadapi secara bersama dalam konteks kelokalan. Artinya dalam

hal ini kebutuhan masyarakat yang ingin dicapai melalui proses

pengulangan perilaku akan tersingkap secara interaksional. Percakapan

dalam penelitian ini bukan semata-mata interaksi dalam wawancara untuk

menilai suatu kebutuhan namun merupakan setting interaksi untuk

mengetahui kebutuhan bersama.

Kebutuhan bersama yang diungkapkan melalui nalar pemikiran

rasional atau common-sense menjadi suatu cerita representasi kolektif dari

posisi aktor lokal seorang kepala desa yang mewakili suara anggota-

anggotanya yaitu masyarakat. Memang realitanya tidak semua masyarakat

berpihak (pro) terhadap kades namun kepercayaan terhadap kades

didasarkan atas telah terpenuhinya kebutuhan akan air yang direspons secara

serius oleh kades. Kades akhirnya memiliki otoritas yang diterima

realitasnya oleh masyarakat. Blau melihat hal ini akan kerelaan masyarakat

dalam menerima otoritas seorang kades dalam mengikat anggota-

anggotanya dan inilah yang dalam etnometodologi disebut sebagai praktik

bentuk pemahaman realitas yang diterima begitu saja secara bersama.

PENDAHULUAN | 27

1.5.4. Alur Berpikir

Berikut bagan yang akan menjelaskan alur berpikir dari penulisan

tesis ini:

Bagan 1.1. Alur Berpikir

Sumber: Data Olahan Pribadi Peneliti

proses common-sense:

realitas yang diterima begitu

saja dalam lingkup interaksi

antara masyarakat dengan

kepala desa sebagai aktor lokal

identifikasi isu lokal

di dalam desa:

- keamanan

- pertanian

- krisis air → isu urgent

identifikasi aktor politik

dan aktor lokal

bentuk penyelesaian isu lokal

yang urgent dan dihadapi bersama:

memberikan otoritas kekuasaan kepada

kepala desa (keterwakilan suara masyarakat)

bagaimana dapat terjadi?

membandingkan kinerja kepala desa lama

dengan yang baru

masyarakat

aktor lokal

(kepala desa)

aktor politik

mendapatkan fasilitas air

mendapatkan kekuasaan

mendapatkan bantuan

fasilitas air

mendapatkan bantuan

mobilisasi suara

p

e

r

t

u

k

a

r

a

n

p

e

r

t

u

k

a

r

a

n

common-sense

praktik

etnometodologi

teori strukturalisme

pertukaran

PENDAHULUAN | 28

Terdapat tiga aktor yang saling berjejaring dan berelasi di dalam

arena Pilkada di balik isu penyelesaian krisis air di Desa Liprak Kidul yaitu

antara lain masyarakat, aktor lokal (kepala desa), dan aktor politik. Pada

tataran lokal masyarakat dan kepala desa saling berjejaring dan berelasi.

Terdapat dua hal yang saling dipertukarkan di antara keduanya, dari segi

masyarakat yang menginginkan fasilitas air agar dipenuhi dan dari segi

aktor lokal atau kepala desa yang ingin mendapatkan kekuasaan dimana hal

ini berkaitan ke depannya sebagai bentuk pertukaran berpola berikutnya

pada aktor politik. Berbeda bentuk pertukaran antara masyarakat dengan

aktor lokal, kali ini aktor lokal yang berjejaring dan berelasi dengan aktor

politik mengubah bentuk pertukaran dirinya dalam bentuk mendapatkan

bantuan fasilitas air sedangkan pada sisi aktor politik tentunya ingin

mendapatkan bantuan mobilisasi suara guna pemenangan perebutan kursi

bupati.

Bentuk pertukaran yang dibingkai melalui teori strukturalisme

pertukaran milik Peter M. Blau tidak serta merta berdiri sendiri tanpa

bantuan metodologi guna pengumpulan data di lapangan yaitu

menggunakan etnometodologi. Dalam proses pencarian data di lapangan

sebagai bentuk khas dari etnometodologi yang ingin mencari solusi dari

sebuah permasalahan secara kelokalan maka common-sense menjadi proses

pertama yang tidak boleh terlewatkan. Adapun proses common-sense yang

merupakan suatu bentuk penerimaan realitas yang diterima begitu saja oleh

masyarakat terkait dengan posisi kepala desa yang nantinya menjadi

PENDAHULUAN | 29

keterwakilan suara dari masyarakat Desa Liprak Kidul. Permasalahan lokal

yang sedang dihadapi bersama oleh masyarakat ditentukan secara bersama

oleh masyarakat melalui proses pengidentifikasian bersama peneliti dengan

menemukan tiga permasalahan lokal yang disebutkan dalam proses

interaksional yaitu keamanan, pertanian, dan krisis air. Krisis air merupakan

isu urgent yang disebutkan secara berkali-kali dan bersama oleh masyarakat.

Lantas pada proses berikutnya menjadi hal penting untuk mengetahui

pengetahuan masyarakat tentang aktor lokal dan aktor politik yang bermain

di balik isu penyelesaian krisis air. Terkait dengan proses aktor lokal yang

menjadi keterwakilan/ representasi suara masyarakat maka peneliti

menguraikannya melalui perbandingan kinerja antara kepala desa lama

dengan kepala desa baru. Semua proses pencarian data hingga

penganalisisan menggunakan praktik etnometodologi yang digabung dengan

teori strukturalisme pertukaran milik Blau.

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang fokus

terhadap hasil data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode penelitian kualitatif

digunakan sebagai maksud pendeskripsian yang menekankan pada

interpretasi dan pemaknaan data. Mengutip dari Hammersley (dalam Seale

et al., 2004) terdapat distingsi di antara kedua paradigma, kuantitatif yang

PENDAHULUAN | 30

lebih banyak memanfaatkan angka dan hipotesa-metode deduktif, berbicara

tentang perilaku serta memiliki kekuatan untuk menggeneralisir; sedangkan

kualitatif lebih banyak menggunakan kata-kata tertulis, memfokuskan pada

pemaknaan, berpikir induktif serta berbicara tentang sesuatu yang tidak ada

atau belum nampak.

Penjelasan serupa juga dinyatakan oleh Babbie (2004) yang

menekankan bahwa:

“... Qualitative field research enables researchers to observe

social life in its natural habitat:to go where the action is and

watch. This type of research can produce a richer understanding

of many social phenomena than can be achieved through other

observational methods, provided that the researcher observes in a

deliberate, well-planned, and active way ...”

Penjelasan Babbie sebelumnya memberikan gambaran bahwa metode

kualitatif yang digunakan mampu memberikan pandangan fenomena sosial

di masyarakat yang terjadi dalam kehidupan sosial. Peneliti dapat

memaparkan dan menganalisa proses terjadinya kontestasi kepentingan

yang sekaligus melakukan pemaparan para aktor yang muncul dengan

berbagai isu, arena serta strategi di dalam arena Pilkada Kabupaten

Probolinggo.

Melalui paradigma kualitatif, maka pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah etnometodologi milik Garfinkel. Dalam

kaitannya dengan sebagian besar kepentingan peneliti kualitatif adalah jika

ingin melihat dunia maka jadilah partisipan di dalamnya, etnometodolog

lebih memilih untuk mempelajari bagaimana, dengan menggunakan

prosedur dan metode bagaimana dunia diproduksi dan dirasakan. Cara

PENDAHULUAN | 31

berpikir melalui akal sehat (common -sense) adalah satu cara berpikir yang

cukup sulit untuk dilihat sehingga kenyataan sebuah realitas hanya diterima

begitu saja tanpa perlu dipertanyakan ulang (Seale et al., 2004).

Di dalam bukunya, Garfinkel, Studies in Ethnomethodology (1967)

menyebutkan bahwa etnometodologi merupakan studi yang menganalisis

aktifitas sebagai anggota untuk membuat kegiatan-kegiatan yang sama-sama

terlihat rasional dan dilaporkan untuk semua tujuan praktis. Menelisik

ungkapan Heritage (1984), memparkan bahwa etnometodologi merupakan

metode untuk orang awam atau rakyat, orang belajar untuk memahami apa

yang orang lain lakukan, dan terlebih terhadap apa yang dikatakannya.

Semua orang berusaha untuk menerapkan sebuah metode yang dianggap

masuk akal dalam berinteraksi dengan orang lain, yang biasanya cara

bekerjanya tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sadar ataukah tidak.

Maynard dan Clayman (dalam Salim, 2001) menyatakan bahwa

etnometodologi memiliki sejumlah variasi kerja yang tidak luput dari dua

hal yaitu institutional analysis (studies of institutional setting) dan

conversation analysis. Variasi metode etnometodologi yang seringkali

digunakan dalam menganalisis struktur dalam masyarakat adalah

institutional analysis sedangkan conversation analysis digunakan untuk

menganalisis tindakan individu. Sehingga dalam penelitian ini setting dari

sebuah institusional dalam masyarakat desa Liprak Kidul sangat

berpengaruh terhadap cara bertindak tiap-tiap orang dalam menjalankan

perannya masing-masing.

PENDAHULUAN | 32

1.6.2. Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian ini berada di Desa Liprak Kidul,

Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Alasan

utama dari dipilihnya lokasi di desa tersebut adalah kondisi awal yang

berpuluh-puluh tahun mengalami kondisi krisis air akibat berada di bawah

kaki Gunung Geni (foot slope). Desa tersebut termasuk ke dalam kondisi

desa yang cukup padat penduduk sehingga hal ini menjadi sasaran yang

cukup strategis bagi para calon pasangan bupati yang maju dalam arena

Pilkada guna mendapatkan dukungan suara dari warga desa. Sehingga

kiranya akan sangat menarik saat peneliti berupaya memaparkan aktor-aktor

yang muncul dengan berbagai isu, arena, dan strategi yang dilakukan dalam

kontestasi kepentingan di balik penyelesaian krisis air.

1.6.3. Pemilihan Informan

Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode

snowball yaitu telah menetapkan semua informan di depan secara beruntun

yang sekiranya paham dengan tujuan dari penelitian yang dilakukan.

Metode snowball dipilih sebagai metode pemilihan informan dengan alasan

mempermudah peneliti dalam menentukan pemetaan aktor-aktor yang

berkelindan dalam putaran kontestasi kepentingan.

Selain itu, pemilihan informan dalam penelitian ini juga didasarkan

atas beberapa syarat yang dikemukakan oleh Spreadly (dalam Elizabeth,

1997) yang menyatakan beberapa syarat informan dianggap yang layak

PENDAHULUAN | 33

melalui prosedur antara lain: (a) Enkulturasi penuh, merupakan cara untuk

mencari informan dengan latar belakang pengenalan dan suasana budaya

yang cukup lama sesuai dengan situasi sosial tertentu di dalam masyarakat;

(b) Keterlibatan langsung, merupakan cara untuk mencari informan yang

memiliki pengetahuan dan terlibat langsung dengan tujuan dari penelitian;

dan (c) Cukup waktu, merupakan cara untuk mencari informan dengan

melakukan kesepakatan-kesepakatan dalam memprioritaskan pertimbangan

waktu sebagai upaya ketersediaan secara sadar dalam melakukan proses

wawancara.

Dalam penyajian data yang telah diperoleh, peneliti menggunakan

pseudonym pada beberapa informan yang memang tidak menginginkan

identitas namanya ditulis secara jelas. Berg (2007) menyatakan bahwa this

requires that reserchers systematically change each subject‟s real name or

to a pseudonym or case number when reporting data. Penggunaan

pseudonym atau nomor dari kasus yang diteliti ini bermaksud untuk

menjaga kerahasiaan informan yang diteliti dalam penelitian ini.

Informan kunci dalam penelitian ini didapat melalui metode

purposive adalah Pak Kus (54 tahun). Peneliti dikenalkan oleh seorang

teman dengan Pak Kus dengan alasan merupakan salah satu warga yang

dianggap cukup memiliki pengetahuan berdasarkan pertimbangan latar

belakang pendidikan serta pengalaman menjadi juru kampanye desa.

Melalui Pak Kus, peneliti akhirnya dapat memetakan aktor-aktor yang

merupakan warga desa serta masing-masing warga yang pernah menjadi

PENDAHULUAN | 34

juru kampanye para pasangan calon bupati melalui metode snowball.

Ditekankan di awal jika peneliti kesulitan untuk menemui calon pasangan

bupati yang dulu maju dalam ajang Pilkada.

Informan utama dalam penelitian ini adalah para aktor yang terlibat

secara langsung dengan kontestasi kepentingan di balik upaya penyelesaian

krisis air:

1. Pak Abdul Hanan Latief (48 tahun), Kepala Desa Liprak Kidul;

2. Pak Muradi (50 tahun), mantan Kepala Desa Liprak Kidul;

3. Mas Ali (27 tahun), putra pertama dari Pak Kades yang digadang-gadang

warga sebagai calon pengganti ayahnya kelak sebagai Kades di Desa

Liprak Kidul;

4. Pak Sunar (34 tahun), salah satu ketua RT di Desa Liprak Kidul yang

pernah menjadi juru kampanye di desa; dan

Informan pendukung dalam penelitian ini adalah para warga Desa

Liprak Kidul yang dianggap cukup mempunyai banyak pengetahuan tentang

kondisi kontestasi kepentingan di balik upaya penyelesaian krisis air:

1. Mbak Lukna (26 tahun), salah satu warga di Desa Liprak Kidul yang

aktif di dunia kepemuda-pemudian desa;

2. Bu Misrowi (36 tahun), salah satu warga di Desa Liprak Kidul yang

merupakan anak dari almarhum tokoh adat desa;

3. Pak B (45 tahun), salah satu pegawai PDAM Kabupaten Probolinggo.

PENDAHULUAN | 35

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan

sekunder. Data primer dikumpulan dengan cara melakukan wawancara

(interview), membuat catatan lapangan (field notes), serta melakukan

rekaman suara. Wawancara merupakan cara sederhana yang dapat dipahami

sebagai percakapan yang mengandung tujuan (Berg, 2007). Percakapan

yang mengandung tujuan adalah percakapan yang dilakukan bersama

informan guna mendapatkan data yang dibutuhkan. Selanjutnya percakapan

tersebut akan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan melalui metode

etnometodologi sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang ada di

dalam penelitian tesis.

Semistandard interview meliputi kegiatan wawancara dengan

menetapkan sejumlah pertanyaan sebelum dilaksanakannya penelitian di

lapangan (Berg, 2007). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijadikan sebagai

guide interview pertanyaan-pertanyaan lain yang akan muncul selama proses

wawancara bersama para informan. Tujuan lain dari penggunaan

semistandard interview adalah memungkinkan peneliti untuk mendapatkan

informasi yang lebih mendalam dari informan.

Data sekunder dikumpulan dengan cara melakukan dokumentasi

foto pra survei lapangan, mencari jurnal penelitian, kajian pustaka maupun

data dari internet yang relevan dalam menjawab pertanyaan dalam

penelitian tesis. Data sekunder digunakan sebagai data pendukung untuk

membantu peneliti sebelum terjun ke lapangan lebih dalam sehingga

PENDAHULUAN | 36

mempermudah peneliti untuk mempelajari realita sosial yang ada di Desa

Liprak Kidul.

1.6.5. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua bentuk

pengkajian yaitu konsep pemikiran strukturalisme pertukaran milik Peter M.

Blau yang digabungkan dengan konsep etnometodologi milik Harold

Garfinkel. Dengan demikian, maka studi lapangan menjadi fokus utama.

Tahap pertama dalam analisis dimulai dengan mengumpulkan data

lapangan melalui wawancara dan pembuatan catatan lapangan (field notes)

yang berasal dari isu kekeringan air yang telah lama melanda desa. Isu yang

diterima peneliti sudah lama didengar oleh peneliti saat masih mengerjakan

penelitian skripsi. Isu tersebut lantas dibuktikan oleh peneliti melalui

dokumentasi foto-foto sumber air yang menunjukkan perbedaan signifikan

saat musim penghujan dan musim kemarau. Dalam penelitian ini, analisis

data telah dilakukan sejak proses pengumpulan data. Cara tersebut

dilakukan agar penulis dapat melakukan koreksi secara cepat terhadap data

yang telah dikumpulkan sebelumnya.

Tahapan berikutnya peneliti melakukan wawancara bersama dengan

informan kunci yang dipilih melalui rekomendasi teman peneliti. Dengan

segala keunikan profesi yang pernah dijalani informan kunci dibandingkan

dengan umumnya masyarakat setempat terutama menjadi seorang juru

kampanye desa, mempermudah peneliti untuk memilih informan utama dan

PENDAHULUAN | 37

informan pendukung lainnya yang mendukung jalannya penelitian. Terkait

dengan hal tersebut, penggunaan konsep pemikiran strukturalisme

pertukaran milik Peter M. Blau dan konsep pemikiran etnometodologi milik

Harold Garfinkel dilaksanakan dalam interpretasi data secara bergantian.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pengumpulan dan

penganalisisan data sebagai berikut:

a) Melakukan wawancara dengan keseluruhan informan secara langsung

untuk melihat permasalahan lokal yang dipilih sebagai permasalahan

bersama di dalam desa. Permasalahan bersama diketahui melalui proses

interaksi yang dilakukan oleh peneliti bersama dengan informan yang

saling bertukar pikiran untuk menentukan permasalahan yang bersifat

urgent hingga diketahui bahwa krisis air merupakan masalah lokal yang

dihadapi secara bersama.

b) Setelah mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi secara bersama,

maka terciptalah cara berpikir menggunakan akal sehat atau common-

sense yang berisi tentang pemikiran masing-masing anggota untuk

menciptakan, mempertahankan, dan mengolah rasa (permasalahan) agar

dapat dipecahkan secara kelokalan melalui pola perilaku yang berwujud

pada suatu aturan akan kesetiaan pada perintah seorang aktor lokal yaitu

kepala desa.

c) Dalam mengetahui cara berpikir menggunakan akal sehat atau common-

sense yang seperti apa, maka peneliti melakukan proses wawancara yang

menggunakan prinsip-prinsip dalam kaidah etnometodologi.

PENDAHULUAN | 38

Etnometodologi sendiri menggunakan wawancara bukan hanya sekedar

sebagai proses percakapan biasa mengenai suatu fenomena namun

sebagai cara untuk menemukan suatu permasalahan hingga cara

menyelesaikan permasalahan yang ternyata dirasakan dan dikonstruksi

secara bersama dalam rasa kelokalan. Sehingga dunia sosial disetting

seakan-akan hanya memiliki satu permasalahan bersama yaitu dalam

konteks penelitian ini adalah krisis air.

d) Terdapat permasalahan bersama yang secara berulang-ulang dituturkan

oleh para informan (menemukan keseragaman permasalahan) yang

ternyata mengandung rentetan dorongan motivasi untuk segera

terselesaikan. Realitas tersebut dirasakan oleh masyarakat dan

menemukan kata sepakat untuk diselesaikan oleh posisi aktor lokal yaitu

kades dalam penyelesaian krisis air. Sehingga struktur yang demikian

telah dianggap sebagai realitas yang diterima oleh masyarakat begitu saja

tanpa ada penolakan karena sebagai bentuk pelimpahan otoritas yang

telah dipercayakan kepada seorang kades.

e) Proses-proses yang telah dilalui direkam dan didengarkan secara

berulang-ulang untuk menghindari peneliti kehilangan pemaknaan

indeksikal yang terinterpretatif dari semua perilaku yang selalu diulang-

ulang pemaknaannya. Semisal sebagai contoh konkritnya adalah

permasalahan yang diutarakan oleh semua informan memang banyak

akan tetapi kesimpulannya selalu berujung pada krisis air.

PENDAHULUAN | 39

f) Untuk menganalisis hasil rekaman, peneliti menuangkannya kedalam

bentuk transkrip wawancara yang telah diolah menggunakan simbol-

simbol atau tanda-tanda untuk menunjukkan penilaian apakah

permasalahan dalam percakapan tersebut dianggap penting atau tidak

oleh informan. Permasalahan yang terungkap bukanlah hasil dari

permasalahan perseorang akan tetapi secara kolektif dan dibuktikan

dengan kondisi topografis sebagai sumber utama. Adapun simbol-simbol

yang dimaksud digambarkan sebagai berikut:

[ ] → pembicara membicarakan hal yang sama dengan yang

lain

ho → jenis miring merupakan petanda stress pada ucapan

tertentu, kata atau frase, seperti perubahan dalam nada

suara atau dalam derajat kenyaringan

= → mengindikasikan sebuah pidato yang dijalankan tanpa

celah, bahkan khawatir jika seseorang akan berbicara

dengan yang lain

: → mengindikasikan sedikitnya jeda dengan perubahan

stress atau intonasi di dalam kata

( ) → mengindikasikan kesenjangan yang sedikit lebih

panjang dari biasanya antara ucapan-ucapan

g) Menarik kesimpulan akhir sebagai bentuk menjawab main question yang

diturunkan pada tiga pertanyaan rumusan masalah. Dengan demikian

PENDAHULUAN | 40

peneliti dapat mengambil kesimpulan tentang data yang diperlukan

setelah melakukan penelitian.