BAB I PENDAHULUAN -...

14
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persoalan persebaran asap yang telah terjadi sejak tahun 1980-an merupakan isu krisis lingkungan ASEAN yang pertama 1 . Hal ini dikarenakan dengan adanya kebakaran hutan besar yang terjadi di Indonesia dan menghasilkan kepulan asap yang sangat mengganggu. Bukan hanya di wilayah Indonesia, tetapi juga menyebar hingga ke wilayah ASEAN lainnya. Contohnya pada tahun 1994, kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatera menghasilkan asap tebal yang persebarannya mencapai wilayah Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan inilah yang pertama kali begitu parah terjadi sehingga mengganggu jalannya transportasi darat, laut, dan udara sehingga berpengaruh pula terhadap aktivitas ekonomi di wilayah Singapura dan Malaysia. Protes pun bermunculan dari kedua Negara agar Pemerintah Indonesia membuat kebijakan terkait pokok permasalahan persebaran asap lintas negara. Sebagai respon, pemerintah mulai membuat strategi-strategi baru dalam mengelola hutan. Diantaranya, menerapkan zero burning policy bagi semua perusahaan yang ingin membuka lahan dengan cara membakar hutan. Walaupun begitu, pembalakan hutan semakin meningkat ditambah dengan adanya tekanan dari para pengembang perkebunan kelapa sawit 2 . Puncaknya adalah pada tahun 1997- 1 Elliott, Lorraine. “ASEAN and Environmental Cooperation: Norms, Interests and Identity.” The Pacific Review, Vol. 16, no. 1 (January 2003): 2952. http://www.rsis.edu.sg/nts/resources/db/uploadedfiles/ASEAN%20and%20environmental%20cooper ation-norms,%20interests%20and%20identity.pdf 2 Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001. http://pdf.wri.org/indoforest_full_id.pdf

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Persoalan persebaran asap yang telah terjadi sejak tahun 1980-an merupakan

isu krisis lingkungan ASEAN yang pertama1. Hal ini dikarenakan dengan adanya

kebakaran hutan besar yang terjadi di Indonesia dan menghasilkan kepulan asap yang

sangat mengganggu. Bukan hanya di wilayah Indonesia, tetapi juga menyebar hingga

ke wilayah ASEAN lainnya. Contohnya pada tahun 1994, kebakaran hutan yang

terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatera menghasilkan asap tebal yang

persebarannya mencapai wilayah Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan inilah

yang pertama kali begitu parah terjadi sehingga mengganggu jalannya transportasi

darat, laut, dan udara sehingga berpengaruh pula terhadap aktivitas ekonomi di

wilayah Singapura dan Malaysia. Protes pun bermunculan dari kedua Negara agar

Pemerintah Indonesia membuat kebijakan terkait pokok permasalahan persebaran

asap lintas negara.

Sebagai respon, pemerintah mulai membuat strategi-strategi baru dalam

mengelola hutan. Diantaranya, menerapkan zero burning policy bagi semua

perusahaan yang ingin membuka lahan dengan cara membakar hutan. Walaupun

begitu, pembalakan hutan semakin meningkat ditambah dengan adanya tekanan dari

para pengembang perkebunan kelapa sawit2. Puncaknya adalah pada tahun 1997-

1 Elliott, Lorraine. “ASEAN and Environmental Cooperation: Norms, Interests and Identity.” The

Pacific Review, Vol. 16, no. 1 (January 2003): 29–52.

http://www.rsis.edu.sg/nts/resources/db/uploadedfiles/ASEAN%20and%20environmental%20cooper

ation-norms,%20interests%20and%20identity.pdf

2Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001.

http://pdf.wri.org/indoforest_full_id.pdf

2

1998 terjadi kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang juga disebut sebagai

bencana nasional dengan kerugian hampir 10 miliar Dolar Amerika dan kabut asap

yang menyelimuti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan

Thailand3 selama beberapa bulan. Presiden Soeharto pun akhirnya meminta maaf atas

polusi udara yang diterima para Negara tetangga dari Indonesia4. Hingga yang paling

akhir pada Juni 2013, Presiden SBY juga meminta maaf kepada Singapura atas kabut

asap kiriman yang terburuk dari Indonesia dalam kurun 7 tahun terakhir yaitu dengan

indeks standar polutan mencapai 155 (kondisi udara tidak baik)5 dan kepada Malaysia

dengan indeks standar polutan mencapai 700 (kondisi udara berbahaya)6.

ASEAN sebagai organisasi regional mempunyai posisi paling kuat untuk

mengangkat masalah ini di hadapan para petinggi Negara dan mencari solusinya

bersama-sama. Dimulai pada awal tahun 1980-an, dimana ASEAN mulai

mengumpulkan ide terhadap masalah kabut dan asap di tingkat nasional maupun

regional. Berlanjut pada tahun 1992, diadakanlah Konferensi Bandung untuk

mengatasi masalah transboundary haze pollution atau penyebaran asap lintas batas

negara dan serangkaian workshops di Indonesia dan Malaysia pada periode 1992 –

1995 yang menghasilkan terbentuknya Haze Technical Task Force (HTTF) pada

September 1995. Yang kemudian karena adanya bencana tahun 1997, berkembang

menjadi Regional Haze Action Plan (RHAP) pada Desember 1997. Semua rangkaian

3 Haze Action Online. Accessed July 20, 2013. http://haze.asean.org/?page_id=113

4 Kebakaran Hutan dan Lahan. Forest Watch Indonesia. Accessed July 20, 2013.

http://fwi.or.id/Katalog/Kebakaran_hutan/Indeks.shtml.

5 Rita Uli Hutapea. “Kabut Asap Kiriman dari Sumatera Terburuk di Singapura dalam 7 Tahun.” June

18 2013. Accessed July 20, 2013.

http://news.detik.com/read/2013/06/18/102856/2276511/1148/kabut-asap-kiriman-dari-sumatera-

terburuk-di-singapura-dalam-7-tahun.

6 BBC. “Keadaan darurat akibat kabut asap di Malaysia.” June 23 2013. Accessed July 20, 2013.

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/06/130623_malaysia_asap.shtml.

3

action plans dan workshops inilah yang menjadi cikal bakal ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang ditandatangani pada 10 Juni 2002 di

Kuala Lumpur, Malaysia oleh kesepuluh Negara anggota ASEAN; mulai berlaku

pada 25 November 2003; dan diratifikasi oleh Sembilan Negara anggota ASEAN,

kecuali Indonesia.7

Transboundary haze pollution itu sendiri menurut AATHP diartikan sebagai,

“haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area

under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the

area under the jurisdiction of another Member State”.8 Sehingga jelas terlihat bahwa

Indonesia ikut bertanggungjawab atas persebaran kabut asap di ASEAN. Namun

kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia sangatlah berbanding terbalik dengan niat

ASEAN untuk mengontrol, mencegah, dan penindaklanjutan atas tiap transboundary

haze pollution yang terjadi, Indonesia belum meratifikasi perjanjian ini; paling tidak

sampai sekarang.

Dengan kejadian terakhir pada Juni 2013 Menteri Lingkungan Hidup, Prof Dr

Balthashar Kambuaya, kembali dicecari pertanyaan-pertanyaan sekitar keikutsertaan

Indonesia dalam AATHP. Namun Beliau menjawab bahwa, sebenarnya Pemerintah

Indonesia sudah setuju sejak beberapa waktu lalu untuk meratifikasi AATHP namun

karena Indonesia merupakan Negara multi-partai sehingga keputusan itu baru bisa

bulat apabila telah didiskusikan dengan parlemen. Walaupun begitu, kami (Indonesia)

telah menjalankan beberapa poin yang terkandung di dalam perjanjian.9

7Haze Action Online. Accessed July 20, 2013. http://haze.asean.org/?page_id=185.

8 University of Oslo. “ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.” Accessed July 20,

2013. http://www.jus.uio.no/english/services/library/treaties/06/6-

03/asean_transboundary_pollution.xml.

9 Bernama. “Indonesia to Ratify Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution by Year-end.”

2013-07-17. Accessed July 20, 2013. http://www.mysinchew.com/node/88878.

4

Sementara DPR menganggap bahwa perlu pembelajaran lebih lanjut

mengenai perjanjian kabut asap di tingkat ASEAN ini agar dampak buruk yang

diterima oleh Indonesia apabila meratifikasi tidaklah terlalu besar. Salah satu cara

yang digunakan oleh DPR adalah meminta perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan

masalah lingkungan yang lain, seperti illegal logging, illegal fishing, penambangan

pasir ilegal dan pengiriman limbah beracun. Selain itu, DPR juga menggunakan

penundaan ratifikasi itu menjadi nilai tawar kepada negara Asean lainnya10

. DPR

menganggap bahwa permasalahan yang ditimbulkan dari kebakaran hutan di kawasan

Asia Tenggara bukan hanya persebaran asap; dan seharusnya dilakukan upaya

antisipasi seperti penanganan penebangan hutan dan juga penanganan hutan gambut

daripada difokuskan ketika tiap kali persebaran asap lintas Negara telah terjadi.

Maka dari itu, permasalahan utama Indonesia dalam meratifikasi AATHP

bukanlah terletak pada detail perjanjian. Melainkan secara penggambaran umum

Indonesia belum bisa menerima prinsip dalam pembentukan perjanjian tersebut,

sehingga Indonesia menunda untuk meratifikasi AATHP demi kepentingan

Indonesia terkait Negara ASEAN yang lain agar dapat menaikkan posisi tawar

Indonesia sendiri yang menguntungkan bagi Indonesia.

Usaha ASEAN untuk mengatasi masalah persebaran asap ini telah maksimum

dengan tingkat keberhasilan yang minimum. Salah satu penyebabnya adalah belum

diratifikasinya AATHP oleh Indonesia sehingga pengaruh ASEAN sangat kecil

dalam pembuatan kebijakan mengenai masalah persebaran asap di Indonesia. Oleh

karena itu, peneliti mengangkat judul ini untuk mengetahui alasan-alasan dibalik

kebijakan pemerintah untuk terus menunda meratifikasi AATHP. Selain karena

keterlibatan Indonesia dalam persebaran asap di ASEAN, tetapi juga karena isu

10

“DPR-RI - Berita.” Accessed November 2, 2013.

http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi7/2013/mar/18/5382/tidak-semua-konvensi-internasional-

diratifikasi-dpr.

5

lingkungan adalah salah satu isu penting di era globalisasi dengan pemanasan global

yang semakin lama semakin parah. Penelitian “Analisa Kebijakan Pemerintah

Indonesia dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution” dapat

berkontribusi positif bagi perkembangan Ilmu Hubungan Internasional terutama

dalam menganalisa studi kasus dari perspektif hukum internasional dan isu

lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, penulis mengajukan

rumusan masalah sebagai berikut. Apa pertimbangan Pemerintah Indonesia untuk

meratifikasi atau tidak meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution?

1.3 Kerangka Teori

1. Rational Choice

Joseph Frankel menjelaskan bahwa banyak dari kebijakan politik luar negeri

suatu Negara terkadang tidak rasional, terlebih kebijakan yang dikeluarkan pada saat-

saat krisis. Berbeda dengan Negara-negara berkembang dengan sumber daya yang

terbatas, dimana kebijakan politik luar negeri mereka haruslah mempertimbangkan

keseimbangan ekonomi dan politik. Apakah keputusan mereka akan mengeluarkan

biaya yang ditanggung oleh Negara terlalu banyak atau apakah keputusan mereka

akan berdampak buruk pada politik dalam negeri mereka. Pertimbangan inilah yang

kemudian menghasilkan sebuah keseimbangan dalam prinsip “minimum cost and

maximum comprehensiveness” dimana dalam prinsip ini tidak ada nilai politik yang

diabaikan. Hingga disimpulkan oleh Frankel bahwa secara umum, pembuatan

kebijakan luar negeri membutuhkan begitu banyak alasan yang kemudian menjadikan

6

suatu keputusan menjadi rasional demi menghindari error. Maka dari itu

diperlukanlah decision-making process11

.

Political decision-making process merupakan proses pengambilan sebuah

keputusan berdasarkan pilihan-pilihan yang ada sebelumnya. Pertanyaan yang

seharusnya timbul sebelum sebuah keputusan diambil adalah, apakah keputusan ini

nantinya dapat merepresentasikan goal yang akan dicapai?; atau apakah keputusan ini

diambil berdasarkan tekanan dari pihak luar?. Karena ini yang akan menentukan

apakah keputusan yang diambil merupakan keputusan yang rasional atau tidak. Ada

tiga kriteria agar satu aktor dapat dikatakan mengambil keputusan yang rasional,

yaitu apabila Ia mengetahui dan paham betul apa saja opsi yang Ia punya; aktor

tersebut dapat mengkalkulasi outcome dari semua opsi yang ada; dan aktor tersebut

dapat dengan bebas memilih mana yang akan Ia ambil sesuai dengan kepentingan dan

goalnya12

.

Ini merupakan kerangka pengambilan keputusan yang menunjukkan apa saja

yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisa sebuah decision-making process dan

apa akibatnya bagi suatu bangsa dalam politik internasional. Perhatian kemudian

terfokuskan pada nilai, sikap, dan tujuan dari suatu aktor. Nilai disini

menggambarkan prinsip-prinsip apa saja yang dipegang oleh policymakers; sikap

adalah gambaran pribadi dari policymakers apakah Ia akan tenang dan teguh

memegang prinsip atau sebaliknya; sementara tujuan adalah goal yang akan dicapai.

Walau banyak yang menganggap bahwa pertimbangan nilai, sikap, dan tujuan

merupakan langkah yang tidak perlu, namun pada akhirnya analisa motivasi dibalik

11

James E. Dougherty, and Robert L. Pfaltzgraff, Jr. Contending Theories of International Relations.

J. B. Lippincot Company, P. 318

12 James E. Dougherty, and Robert L. Pfaltzgraff, Jr. Contending Theories of International Relations.

J. B. Lippincot Company, P. 330

7

sebuah keputusan menjadi berguna untuk mengetahui gambaran situasi yang jelas

dari para policymakers apakah pada akhirnya akan menuju tujuan akhir (goal) atau

akan melenceng dari garis akhir.

If foreign policy thus consists of the application of a set of internalized

criteria of judgment to a dynamic external situation, we may conceptualize the

process as consisting of the following steps: (1) the establishment of the original

criteria; (2) the determination of the relevant variables in the situation; (3) the

measurement of the variables by the criteria; (4) the selection of the objectives; (5)

the elaboration of a strategy to reach the objective; (6) the decision to act; (7) the

action itself; (8) the evaluation of the results of the action in terms of the original

criteria. 13

Di atas merupakan penjelasan dari Lerche dan Said yang sering disebut

sebagai penjelasan paling rasional dalam foreign policy making process. Memang

tidak semua proses pembuatan kebijakan luar negeri terpatri dengan langkah-langkah

yang dijelaskan di atas. Namun dapat diambil kesimpulan dari penjabaran di atas,

bahwa Indonesia terlepas dari keterlibatannya dalam persebaran asap di ASEAN

harus memahami goal dari AATHP apakah sejalan dengan goal dimiliki oleh

Indonesia dalam bidang penanganan dan pencegahan kebakaran hutan dan persebaran

asap.

Pernyataan di atas juga menjelaskan lebih lanjut mengenai prinsip cost and

benefit yang menjadikan sebuah keputusan itu rasional atau tidak. Dalam

pertimbangan cost and benefit juga ada utility dan probability, dimana dalam setiap

keputusan utility harus lebih dominan dari probability.

13

Charles O. Lerche, and Abdul Said. Concepts of International Politics. Englewood Cliffs, New

Jersey: Prentice-Hall, P. 31

8

Ada tiga prinsip dasar dalam pendekatan rational choice: 14

i. Methodological individualism yang menjelaskan bahwa keputusan

suatu kelompok merupakan konsekuensi dari behavior satu individu

atau sebaliknya. Dimana dalam konteks ini menjelaskan bahwa

pembentukan AATHP pada awalnya merupakan konsekuensi dari

makin memburuknya persebaran asap di wilayah ASEAN. Juga dapat

menjelaskan mengapa Indonesia tidak mau meratifikasi, karena

adanya tekanan dari berbagai pihak termasuk aktor non-negara .

ii. Goal Oriented Behavior yang dapat membantu mengelaborasi tujuan-

tujuan Indonesia dalam isu lingkungan di dalam negerinya. Karena

dalam poin ini menjelaskan bahwa setiap pilihan yang dibuat oleh

individu pasti bertujuan untuk mendahulukan tujuan akhir atau

goalnya tersebut.

iii. Optimizing Decision Making menjelaskan bahwa dalam membuat

suatu keputusan, bisa saja yang diambil bukanlah yang sesuai dengan

tujuan akhirnya namun merupakan pilihan yang paling rasional saat

itu. Kendala-kendala yang dihadapi dapat mempengaruhi suatu

keputusan dan optimalisasi keuntungan merupakan pilihan yang

paling rasional dalam memutuskan suatu kebijakan.

Dari seluruh penjelasan mengenai rational choice, dapat diambil

kesimpulan bahwa mungkin keputusan Indonesia untuk belum meratifikasi AATHP

terlihat tidak sesuai dengan tujuan akhir Indonesia untuk berhasil memecahkan

masalah persebaran asap secara berkelanjutan di hadapan ASEAN. Namun untuk saat

ini, keputusan tersebut adalah yang paling rasional karena pada dasarnya untuk terikat

14 “Rational Choice Politics (Background Material for Constitutional and Political Economy

Courses).” ami pro. Accessed July 20, 2013. http://rdc1.net/class/BayreuthU/CONSINTR.pdf.

9

pada suatu perjanjian internasional merupakan aksi yang sukarela tergantung

kepentingan masing-masing pihak (tidak ada yang memaksa). Juga, menurut

pandangan rasionalisme, perubahan sistem dalam hukum internasional juga akan

mengubah distribution of power suatu Negara di regional tertentu. Maka dari itu,

persoalan ratifikasi AATHP merupakan persoalan yang lebih besar dari apakah

Indonesia benar-benar serius dalam menangani permasalahan persebaran asap lintas

Negara atau tidak.

Dalam penelitian ini, mungkin pendekatan rational choice menjadikan

Indonesia sebagai Negara yang egois atau individualis. Namun Richard C. Snyder

menjelaskan bahwa dalam berorganisasi, para pembuat keputusan haruslah diberi

opsi yang jelas dan tidak berlebihan sehingga perlu menahan diri agar mencapai “the

expected utility”15

. Semua ini seharusnya berasal dari aturan sistem organisasi, yang

mana kurang lebih cocok dengan ASEAN dalam prinsip non-intervention.

2. Shadow of the future

Konsep Shadow of the Future merupakan salah satu konsep yang terdapat

dalam Game Theory. Konsep ini menjelaskan bagaimana suatu aktor

memperhitungkan untung rugi yang akan didapat sebagai konsekuensi dari

keputusan/kebijakan yang akan diimplementasikan. Dalam konsep ini juga

mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar di masa mendatang daripada

keuntungan yang didapat saat ini.16

15

James E. Dougherty, and Robert L. Pfaltzgraff, Jr. Contending Theories of International Relations.

J. B. Lippincot Company, P. 331

16 McBride, Michael, and Stergios Skaperdas. Conflict, Settlement, and the Shadow of the Future.

Accessed July 20, 2013.

http://www.economics.uci.edu/files/economics/docs/thdworkshop/w09/mcbride.pdf.

10

Konsep ini hadir dengan pertanyaan “dapatkah Negara saling bekerjasama?”

jawabannya adalah tidak, maka dari itu suatu Negara harus memperhitungkan secara

matang hasil apa yang akan mereka raih dalam suatu kerjasama. Shadow of the future

mengharuskan setiap aktornya untuk independen karena pada dasarnya semua Negara

tidak dapat bekerjasama, maka dari itu konsep ini muncul untuk membantu

meminimalisasi kerugian dalam banyak keadaan17

.

James Fearon menjelaskan bahwa Negara harus peduli dengan shadow of the

future agar sebuah kerjasama dapat berhasil. Maka dari itu diperlukan interaksi yang

berkesinambungan, penyediaan informasi dan sebuah sistem pemantauan agar

mencegah kecurangan. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam teori ini. Yang

pertama adalah tawar menawar dan yang kedua adalah masalah pelaksanaan18

.

Sebelum melakukan sebuah kerjasama, para aktor harus mempunyai bayangan

konsekuensi atas apa yang dilakukannya pada saat ini. Maka dari itu diperlukanlah

tawar-menawar atas poin-poin kerjasama dan tidak langsung menerima, juga

diperlukan jangka waktu yang lebih lama atas bayangan masa depan agar dapat

membuat suatu kerjasama internasional berjalan dengan baik. Menunda untuk

bekerjasama pun kadang perlu untuk dilakukan demi mencapai kesepakatan yang

lebih baik namun tidak terlalu lama agar tidak menimbulkan kerugian atau adanya

biaya tambahan. Masalah pelaksanaan juga menjadi pertimbangan yang penting

dalam shadow of the future, bukan hanya pelaksanaan dari aktor pertama tetapi juga

17 William Spaniel. “Shadow of the Future.” Gametheory101. Accessed September 16, 2013.

http://gametheory101.com/Shadow_of_the_Future.html.

18 James D. Fearon. Bargaining, Enforcement, and International Cooperation. Vol. 52. 2. the MIT

Press. Accessed September 11, 2013.

http://graduateinstitute.ch/files/live/sites/iheid/files/sites/political_science/shared/political_science/_pre

vious/2011_Spring_Semester/Dynamics_of_Conflict_and_Cooperation/fearon%20bargaining%20enfo

rcement.pdf.

11

aktor kedua dan ketiga untuk mencegah terjadinya kerusakan atau kerugian yang

parah apabila di masa depan terjadi kecurangan.

Dalam teori shadow of the future, keuntungan yang didapat di masa depan

mempunyai porsi yang lebih besar dari keuntungan yang didapat saat ini. Teori ini

dapat berguna untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan atau hal lain yang tidak

diinginkan dalam sebuah kerjasama internasional maka dari itu diperlukan informasi

yang mencukupi sebelum bertindak, karena dibalik sebuah keputusan terdapat banyak

alasan. Melalui teori ini juga dapat dipahami bahwa potensi keberhasilan kerjasama

dan kegagalan kerjasama mempunyai kemungkinan yang sama sehingga sebuah

kerjasama haruslah dipahami melalui logika, diluar aspek psikologi dan moral.

Sehingga tiap keputusan yang dibuat oleh aktor diasumsikan sebagai keputusan yang

rasional karena melalui strategi dominan yang memaksimalkan perolehan. Dengan

catatan, semua aktor di dalamnya dapat membuat keputusan secara independen.

3. International Regime

Keohanne dan Nye mendefinisikan rezim internasional sebagai “sets of

implicit and explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around

which actors’ expectations converge in a given area of international relations”19

.

Disini dijelaskan bahwa rezim merupakan sebuah media untuk menyatukan prinsip-

prinsip, norma-norma, dan aturan-aturan dari banyak Negara yang mempunyai

ekspektasi berbeda-beda melalui sebuah negosiasi dalam decision making process.

Namun berbeda dengan international agreements, international regime bersifat

ongoing negotiation atau negosiasi berlangsung secara terus menerus sehingga

prinsip dan norma-norma yang berlaku bagi Negara yang terlibat tetap sejalan.

Sebuah rezim dapat dilembagakan menjadi perjanjian internasional yang berperan

19

Robert O. Keohane, and Joseph S. Nye. Power and Interdependence. Boston: Little Brown, 1977

12

sebagai subyek sekaligus sumber hukum internasional yang bersifat mengikat secara

hukum. Kehadirannya dapat membentuk perilaku negara-negara yang telah terikat di

dalamnya melalui aksesi, penandatanganan dan atau peratifikasian.

Keohane menambahkan bahwa perbedaan antara international regime dengan

international agreement adalah agreement bersifat ad hoc atau sering juga bersifat

one-shot arrangements, sementara rezim dibentuk dengan tujuan untuk memfasilitasi

agreement.

Selanjutnya, Robert Jervis menjelaskan mengenai konsep rezim “implies not

only norms and expectations that facilitate cooperation, but a form of cooperation

that is more than the following of short-run self-interest”20

. Dari pernyataan Jervis

dijelaskan bahwa sebuah rezim terbentuk lebih dari sebuah persamaan norma semata

melainkan condong kepada kerjasama jangka panjang yang tidak mementingkan

kepentingan satu pihak.

Dalam konteks AATHP, wajar rasanya apabila keputusan Indonesia untuk

meratifikasi perjanjian ini secara terus menerus didorong oleh berbagai pihak di

ASEAN. Karena adanya dorongan semangat kemitraan dan kesetiakawanan ASEAN

di tingkat Kementerian Lingkungan Hidup se-Asia Tenggara untuk bersama-sama

menyelesaikan permasalahan persebaran asap ini yang tidak lagi hanya merugikan

Indonesia semata, tetapi juga Negara-negara disekitarnya. Terlebih perjanjian ini

bersifat soft law yang kemudian seharusnya tidak merugikan Indonesia secara besar-

besaran. Namun sifat ASEAN yang menjunjung prinsip non-interference membuat

Negara anggota ASEAN lainnya hanya mampu mendorong keputusan untuk

meratifikasi dari Indonesia hanya dengan cara persuasi.

20

Robert Jervis. International Regimes. London: Cornell University Press, 1983.

13

1.4 Hipotesa

Indonesia merasa masih belum saatnya untuk meratifikasi AATHP karena

Indonesia merasa mampu untuk mengatasi permasalahan persebaran asap lintas

Negara ini tanpa bantuan luar negeri. Selain itu, butuh waktu lama bagi Indonesia

untuk meratifikasi AATHP karena kepentingan yang di pegang oleh Indonesia dalam

perjanjian ini bukan hanya kepentingan Indonesia sebagai anggota ASEAN, tetapi

juga kepentingan dalam negeri Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Maka dari itu

ada pertimbangan cost and benefit dari Indonesia apabila meratifikasi AATHP.

Karena dengan meratifikasi perjanjian ini, cost yang keluar dari Indonesia untuk

menaati setiap pasal dalam perjanjian akan lebih besar dari benefit yang di dapat.

Yang dimaksudkan dengan cost and benefit disini adalah konsekuensi bagi

Pemerintah Indonesia apabila meratifikasi AATHP. Apabila Indonesia memutuskan

untuk meratifikasi, maka akan perlu dibuat perubahan sistem dalam pembukaan lahan

bagi perusahaan perkebunan. Hal ini akan memengaruhi produktivitas dari

perusahaan itu sendiri dan pemasukan mereka bagi kas Negara. Tentu semua cost

yang akan ditanggung oleh Indonesia ini perlu dipertimbangkan terlebih dengan

benefit yang tidak sebanding, yaitu mendapatkan bantuan dari ASEAN untuk

mengatasi permasalahan ini sesuai dengan standar dan pakem ASEAN untuk

mengontrol, mencegah, dan penindaklanjutan atas tiap persebaran asap lintas negara

yang terjadi.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan

data-data non-numerik kemudian menganalisa data tersebut berdasarkan landasan

konseptual, hingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban

atas rumusan masalah.

Pengambilan data dilakukan dengan dua cara:

1. Studi Literatur

14

Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang berasal

dari buku, jurnal, resolusi, artikel yang berasal dari media cetak ataupun

media elektronik internet, dan lain sebagainya.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer secara langsung

dari badan-badan terkait, contohnya Kementerian Lingkungan Hidup.

1.6 Sistematika Penulisan

- Bab I

Pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan, rumusan masalah, dan

kerangka berpikir.

- Bab II

Penjabaran mengenai sejarah ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution. Termasuk di dalamnya aktor-aktor terkait, apa kepentingan

dibentuknya kesepakatan ini, dan pro-kontra implementasi ASEAN Agreement

on Transboundary Haze Pollution.

- Bab III

Penjabaran mengenai keputusan Indonesia dalam AATHP melalui criteria ratinal

choice yang kemudian membuat keputusan Indonesia menjadi rasional.

- Bab IV

Mengakhiri penyusunan penelitian ini, dengan diuraikannya kesimpulan.