BAB I PENDAHULUAN -...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam termasuk hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tidak terlepas dari konflik. Menurut Widiyanto (2013), konflik kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia bahkan melampaui konflik pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan kebun 1 . Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wulan et all (2004) bahwa konflik kehutanan tersebut terjadi karena adanya pertentangan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam suatu kawasan hutan termasuk di kawasan konservasi sehingga kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak terakomodir. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan penguasaan lahan dan pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada sumberdaya alam yang bergerak dalam bidang konservasi (Rachman, 2013) yang mengakibatkan merosotnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. Pada akhirnya, masyarakat berupaya merevitalisasi dan mereposisi perannya dalam interaksi dengan kawasan hutan meskipun tidak memiliki legalitas secara hukum dan tidak mengikuti kaedah pelestarian yang ditandai dengan maraknya aktivitas perambahan. Salah satu kawasan taman nasional yang telah dirambah bahkan telah diokupasi oleh masyarakat adalah Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Perambahan tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Lore Lindu sesudah penetapan taman 1 Pada Tahun 2012 saja telah terjadi 72 kasus yang berlangsung di 17 propinsi dengan luas area konflik mencapai 1,2 juta hektar lebih. Konflik tersebut berada di Jawa Tengah 19 kasus, Banten 13 kasus, Jawa Barat 7 kasus, Kalimantan Tengah 7 kasus, Kalimantan Barat 6 kasus, Sumatera Barat 4 kasus, Sumatera Utara 2 kasus, Riau 2 kasus, Sumatera Selatan 2 kasus, Jawa Timur 2 kasus, Sulawesi Tengah 2 kasus, Aceh 1 kasus, Jambi 1 kasus, Lampung 1 kasus, Kalimantan Timur 1 kasus, Sulawesi Selatan 1 kasus dan Sulawesi Tenggara 1 kasus.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam termasuk hutan

yang memiliki keanekaragaman hayati tidak terlepas dari konflik. Menurut Widiyanto

(2013), konflik kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia bahkan

melampaui konflik pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan kebun1.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wulan et all (2004) bahwa konflik kehutanan

tersebut terjadi karena adanya pertentangan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam

suatu kawasan hutan termasuk di kawasan konservasi sehingga kepentingan masyarakat

dalam pengelolaan hutan tidak terakomodir. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan

penguasaan lahan dan pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak

atas akses pada sumberdaya alam yang bergerak dalam bidang konservasi (Rachman, 2013)

yang mengakibatkan merosotnya legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. Pada akhirnya,

masyarakat berupaya merevitalisasi dan mereposisi perannya dalam interaksi dengan

kawasan hutan meskipun tidak memiliki legalitas secara hukum dan tidak mengikuti kaedah

pelestarian yang ditandai dengan maraknya aktivitas perambahan.

Salah satu kawasan taman nasional yang telah dirambah bahkan telah diokupasi oleh

masyarakat adalah Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Perambahan tersebut

dilakukan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Lore Lindu sesudah penetapan taman

1 Pada Tahun 2012 saja telah terjadi 72 kasus yang berlangsung di 17 propinsi dengan luas area konflik mencapai 1,2

juta hektar lebih. Konflik tersebut berada di Jawa Tengah 19 kasus, Banten 13 kasus, Jawa Barat 7 kasus,

Kalimantan Tengah 7 kasus, Kalimantan Barat 6 kasus, Sumatera Barat 4 kasus, Sumatera Utara 2 kasus, Riau 2

kasus, Sumatera Selatan 2 kasus, Jawa Timur 2 kasus, Sulawesi Tengah 2 kasus, Aceh 1 kasus, Jambi 1 kasus,

Lampung 1 kasus, Kalimantan Timur 1 kasus, Sulawesi Selatan 1 kasus dan Sulawesi Tenggara 1 kasus.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

2

nasional yang merupakan areal pembukaan baru (kebun baru).

Menurut Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (2001), Li dan Sangadji (2003) dalam

Adiwibowo (2005) dan Djiloy (2006), menyatakan bahwa mendesaknya kebutuhan hidup

terutama lahan perkebunan dan lahan pertanian untuk bercocok tanam bagi masyarakat yang

berada di Dataran Palolo yaitu Desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia dan Rahmat2

disebabkan oleh laju pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan ketersediaan

lahan yang ada, sehingga masyarakat di keempat desa tersebut berusaha untuk mencari lahan

pengganti.

Prokontra terhadap adanya perambahan kawasan hutan tersebut menimbulkan

polemik yang berkepanjangan sejak Juli 2001 hingga saat ini (Laban, 2002). Berdasarkan

amanah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, maka

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah seperti perambahan di Dongi-dongi merupakan

tindak pidana di bidang kehutanan karena menimbulkan perubahan tutupan lahan, rusaknya

habitat satwa, perubahan iklim mikro dan penurunan suplai air. Namun bagi masyarakat yang

merambah, hal tersebut merupakan hak hidup bahkan terus menuntut adanya suatu

pengakuan keberadaan mereka di Dongi-dongi agar masuk ke dalam wilayah administrasi

desa definitif.

Kenyataan ini bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Peluso dan Ribot (2003)

dalam Antoro (2013) bahwa jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak

(a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of

powers). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu

sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang

2 Merupakan transmigran lokal hasil resettlement project Tahun 1979.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

3

berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses

sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas

sumberdaya (legitimasi secara sosial).

Oleh sebab itu, meskipun pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu bertujuan untuk

mewujudkan visi pengelolaan yaitu optimalisasi pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu

dalam upaya mewujudkan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan3,

namun dalam implementasinya menurut Hiariej dan Djalong (2013) kehadiran masyarakat

belum sepenuhnya diposisikan sebagai mitra utama yang memiliki sense of ownership karena

hanya sebagai faktor eksternalitas terhadap kelestarian kawasan hutan (unlegitimate).

Konflik pengelolaan ini menjadi menarik, karena sampai saat ini belum ada solusi

yang tepat dan memuaskan semua pihak, walaupun telah diupayakan beberapa alternatif

pemecahan permasalahan di sana. Persoalan utama yang mendasari hal ini adalah perbedaan

cara pandang antara masyarakat di Dongi-dongi, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu

dan Pemerintah Daerah (Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso).

Oleh karena itu, maka diperlukan suatu resolusi konflik yang adaptif yang dapat digunakan

dalam penanganan perambahan kawasan hutan tersebut karena membiarkan masyarakat

untuk terus melakukan perambahan tersebut akan secara langsung berakibat buruk bagi

kelestarian kawasan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Berdasarkan hal tersebut, penulis memfokuskan penelitian pada resolusi konflik

perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi Propinsi Sulawesi Tengah.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut sebelumnya, maka yang menjadi perumusan masalah ini

adalah:

3 Statistik Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu 2012.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

4

1. Apa tawaran resolusi konflik yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik

perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi?

2. Apa manfaat dan tantangan resolusi konflik tersebut terhadap pengelolaan Taman

Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Menganalisis suatu resolusi konflik yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik

perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi.

2. Untuk mengetahui manfaat dan tantangan suatu resolusi konflik yang dapat digunakan

dalam penyelesaian konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi.

Sedangkan signifikansinya yaitu bahwa perambahan Taman Nasional Lore Lindu di

Dongi-dongi telah berlangsung lama sejak Tahun 2001 sehingga menimbulkan suatu konflik

yang rumit untuk diselesaikan karena belum adanya sinergitas antara kebutuhan masyarakat

yang berinteraksi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dengan

pengelolaan hutan konservasi tersebut.

Selain itu, konflik tersebut bukan hanya bersifat struktural-vertikal yaitu konflik

antara masyarakat di Dongi-dongi dengan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu selaku

Unit Pelaksana Teknis Pusat Kementerian Kehutanan, namun juga bersifat horizontal yaitu

konflik antara masyarakat di Dongi-dongi dengan pemerintah daerah baik di Propinsi

Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi maupun Kabupaten Poso yang menuntut untuk

menempatkan dirinya sebagai model dalam pemerintahan desa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

5

1. Secara teoritis

Sebagai sumber informasi ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

pengelolaan konflik.

2. Secara praktis

Sebagai bahan pertimbangan bagi Kementerian Kehutanan terutama Balai Besar Taman

Nasional Lore Lindu dalam menyusun rancangan dan kebijakan penyelesaian konflik

perambahan di Dongi-dongi.

E. Tinjauan Pustaka

Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi

kesejahteraan manusia, baik yang dirasakan secara langsung (tangible), maupun tidak

langsung (intangible). Manfaat langsung seperti produk hasil hutan, bahan makanan, bahan

baku obat-obatan dan rekreasi. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat

pengendalian erosi dan banjir, penyediaan sumber air, siklus nutrisi, pendukung kehidupan

global berupa penyerapan karbon (polutan) dan stok karbon guna pengendalian perubahan

iklim.

Keberadaan hutan yang merupakan daya dukung terhadap segala aspek kehidupan

manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia

akan arti penting hutan dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media

hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam

yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung

kehidupan (Reksohadiprojo, 2000).

Hutan sebagaimana yang termaktub baik dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

6

18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan merupakan suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya, yang tidak dapat dipisahkan antara yang

satu dengan lainnya.

Dari definisi tersebut terdapat unsur-unsur yang meliputi: 1) Suatu kesatuan

ekosistem, 2) Berupa hamparan lahan, 3) Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam

lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, 4) Mampu memberi

manfaat secara lestari. Keempat unsur pokok yang dimiliki suatu wilayah yang dinamakan

hutan merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan

terhadap fungsi ekosistem di bumi.

Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah

untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 angka 2 Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan).

Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur yang meliputi:

1) Suatu wilayah tertentu, 2) Terdapat hutan atau tidak terdapat hutan, 3) Ditetapkan

pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan, 4) Didasarkan pada kebutuhan serta

kepentingan masyarakat.

Unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar

pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian,

untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan

kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan

ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

7

adalah 30% dari luas daratan dengan sebaran yang proporsional4.

Adapun kerusakan hutan pada umumnya disebabkan oleh semakin renggangnya

hubungan antara manusia terhadap hutan itu sendiri baik dari segi paradigma berfikir maupun

dari segi kebutuhan manusia akan hidup yang tergantung dari hasil hutan kayu dan bukan

kayu yang bernilai ekonomis. Dengan kata lain, kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan

ketika masih terdapat harmonisasi antara manusia itu sendiri dan hutan dengan segala

problematikanya.

Dikarenakan perambahan hutan kini sudah menjadi masalah yang kompleks bahkan

bagi dunia internasional, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi 61/193

telah mencanangkan Tahun 2011 sebagai Tahun Kehutanan Internasional sebagai upaya

untuk meningkatkan kesadaran para pihak dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk

kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang5. Pemerintah pun mempertegas hal

tersebut dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Perusakan hutan seperti perambahan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan

perorangan atau individu maupun kelompok dalam jumlah kecil maupun besar yang

menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan sebagai areal lain seperti perkebunan

maupun pertanian baik yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada

4 Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah

dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan

bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan

air. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas

30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah

ditetapkan. Oleh sebab itu, luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada,

melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya,

bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu

menambah luas hutannya. 5

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/06/26/ada-apa-dengan-perambahan-hutan-374369.html, diakses

Tanggal 3 Pebruari 2014.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

8

kawasan hutan negara yang tidak dibebani hak atas tanah secara legal dan tidak sesuai

dengan kaidah-kaidah konservasi dan umumnya mereka mengetahui bahwa kawasan hutan

negara tidak serta merta mereka dapat miliki6.

Untuk itu, maka Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

menegaskan pada Pasal 50 Ayat (3) huruf b bahwa setiap orang dilarang merambah kawasan

hutan. Hal ini bukan hanya sekedar menegaskan bahwa perambahan merupakan suatu

kegiatan membuka kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang tetapi

juga mengingatkan bahwa perambahan tersebut tidak hanya terbatas pada usaha perkebunan

atau pertanian saja tetapi dapat juga dalam bentuk penjarahan hutan untuk mengambil hasil

hutan berupa kayu ataupun bentuk usaha lain yang menjadikan kawasan hutan tersebut

sebagai tempat berusaha secara illegal.

Jadi perambahan hutan merupakan suatu kegiatan pembukaan kawasan hutan secara

illegal dengan tujuan untuk mengolah, memanfaatkan dan menguasainya tanpa melihat dan

memperhatikan fungsi pokok yang merupakan daya dukung suatu kawasan hutan.

Sebenarnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan harus dilaksanakan secara bijaksana

dalam arti tidak hanya berupaya untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari hasil hutan

namun juga harus memperhatikan aspek pemeliharaan dan pengawetan potensi hutan itu

sendiri. Berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan bahwa pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung dan

produksi karena setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan

keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

Oleh karena itu, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan ketiga fungsi pokok tersebut

6

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/06/26/ada-apa-dengan-perambahan-hutan-374369.html, diakses

Tanggal 3 Pebruari 2014.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

9

yang merupakan fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan yaitu hutan konservasi, hutan

lindung dan hutan produksi.

Hutan konservasi itu sendiri merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya. Salah satu hutan konservasi tersebut adalah taman nasional yang merupakan

bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menurut undang-

undang ini, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Hal tersebut yang telah dijelaskan dapat dilihat seperti yang disajikan pada Tabel 1.1.

berikut:

Jenis Hutan Kategori

Hutan

Konservasi

Kawasan Hutan Suaka Alam, yang terdiri dari Cagar Alam dan

Suaka Margasatwa

Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman

Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam

Taman Buru

Tabel 1.1. Klasifikasi Hutan Konservasi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dari definisi tersebut, maka tampak jelaslah bahwa untuk menetapkan suatu kawasan

menjadi taman nasional harus ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh suatu kawasan

atau daerah yang akan direkomendasikan menjadi taman nasional, seperti: 1) Kawasan

tersebut memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara

alami, 2) Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik berupa tumbuhan ataupun satwa

dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh/alami, 3) Memiliki satu atau beberapa

ekosistem yang masih utuh, 4) Memiliki keadaan alam yang asli dan alami yang dapat

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

10

dikembangkan sebagai pariwisata alam, 5) Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam

beberapa zona, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona yang lain yang

karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan masyarakat sekitar

kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Menurut Diantoro (2011), kebijakan nasional terkait penetapan taman nasional di

Indonesia, tidak bisa lepas dari proses berkembangnya gagasan konservasi di negara-negara

maju. Puncak perjalanan gagasan konservasi dalam komunitas internasional yang dipelopori

oleh negara-negara barat adalah ketika secara kelembagaan Tahun 1948 di Swiss dibentuk

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

IUCN adalah lembaga konservasi internasional yang memegang peran penting dalam

mendiseminasikan gagasan konservasi di berbagai negara di belahan dunia dengan

mengkreasikan role model, hingga bahkan dalam beberapa hal mengkondisikan

penyeragaman melalui kriteria, norma dan standar. Tonggak konservasi dalam bentuk

pengukuhan taman nasional di Indonesia, dipengaruhi oleh Kongres CNPPA (Commission on

National Parks and Protected Areas) yang diselenggarakan di Bali pada Oktober 1982.

Bersamaan dengan kongres tersebut, pemerintah mendeklarasikan berdirinya 10 taman

nasional. Era inilah yang menjadi tonggak awal dikenalkannya taman nasional di Indonesia.

Hal senada diungkapkan pula oleh Hartono (2008) bahwa pembentukan taman

nasional di Indonesia memang mengadaptasi konsep proses pembentukan taman nasional di

Amerika sejak terbentuknya Yellowstone National Park Tahun 1872 yang diawali dengan

adanya pengalokasian kawasan tertentu sebagai reserve land atau kawasan yang sengaja

disisihkan sebagai kawasan tutupan. Namun reserve land tersebut bukan dari kawasan yang

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

11

telah dihuni manusia dengan tujuan untuk mempertahankan atau mengembalikan keaslian

ekosistem dan keunikan alam sebagaimana kondisi aslinya di Negara-negara Eropa tetapi

melalui perubahan status pengelolaan terhadap kawasan-kawasan yang sebelumnya telah

ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda sebagai suaka alam, suaka margasatwa, monumen

alam dan cagar alam.

Disamping itu, Wiratno (2001) mengemukakan bahwa kebanyakan sistem kawasan

konservasi juga berada di lokasi yang sarat konflik dan tumpang tindih antara kepentingan

lokal (warisan dunia, efek rumah kaca, perdagangan karbon dan bioprospeksi) dan global

(areal berburu, sumber makanan, obat, perkakas rumah, kepentingan adat dan jasa

lingkungan). Pemerintah pusat seharusnya tidak mengorbankan hak lokal atas sumberdaya

hanya demi kepentingan global yang sering mengatasnamakan pelestarian keanekaragaman

hayati, perlindungan spesies satwa liar tertentu dan sebagainya.

Peran strategis pengelola tingkat nasional yang belum optimal dalam mensinergikan

konteks pengelolaan keanekaragaman hayati dengan konteks pemenuhan kebutuhan hidup

dikarenakan alasan-alasan ekonomi yang mendesak seperti menyangkut perluasan

penggarapan lahan untuk pertanian menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal,

sehingga semakin tingginya aktivitas masyarakat di dalam taman nasional telah

mengakibatkan terganggunya proses-proses ekologis yang menjadi ciri keaslian kawasan

yang mengarah pada deforestasi dan degradasi.

Berkaitan dengan kasus yang akan diteliti penulis, terdapat beberapa tulisan yang

pernah membahas konflik di Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Penelitian yang

dilakukan oleh Adiwibowo (2005) menunjukkan tiga penyebab konflik di Taman Nasional

Lore Lindu di Dongi-dongi seperti penyebab pertama adalah bagaimana akses pengelolaan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

12

sumberdaya alam yang dikaitkan dengan aturan hukum guna melestarikan keanekaragaman

hayati yang ada di dalam kawasan hutan konservasi secara berkelanjutan baik yang dilakukan

oleh negara maupun masyarakat merupakan suatu sistem nilai yang berbeda. Penyebab kedua

adalah dimana negara belum mengubah transisi demokrasi secara memadai seperti sistem

hukum dan penegakkan hukum yang lemah, kurangnya komitmen, sistem administrasi dan

birokrasi yang pelik pada sebagian besar instansi pemerintah. Penyebab ketiga adalah adanya

tumpang tindih kepentingan ekonomi yang kuat antara masyarakat di Dongi-dongi, aparat

keamanan dan pejabat pemerintah dalam bisnis pembalakan liar (illegal logging).

Selain itu, ada pula penelitian yang dilakukan oleh Djiloy (2006) yang membahas

tentang peran pemerintah daerah dalam mencari jalan keluar untuk menyelesaikan konflik

antara pihak pengelola Taman Nasional Lore Lindu dengan masyarakat di Dongi-dongi yang

lebih difokuskan pada upaya konsiliasi, mediasi dan arbitrasi.

Baik Adiwibowo maupun Djiloy sama-sama melihat adanya implementasi kebijakan

pemerintah yang tidak bersinergi dengan masyarakat khususnya dalam pemanfaatan lahan

dalam konteks pengelolaan keanekaragaman hayati dengan konteks pemenuhan kebutuhan

hidup. Hal tersebut membuktikan bahwa para pihak yang berkonflik sama-sama

mempertahankan posisi mereka masing-masing dalam hal memahami akar permasalahan

tentang property rights Taman Nasional Lore Lindu sehingga meskipun berbagai inisiatif

yang diajukan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah

semua berakhir dengan kegagalan.

Penulis sendiri lebih fokus pada upaya alternatif resolusi konflik yang adaptif yaitu

revisi zonasi dalam sistem pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu yang selama ini

diterapkan di Dongi-dongi. Alternatif tersebut diharapkan dapat memberikan akses kepada

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

13

masyarakat di Dongi-dongi untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian yang bersinergi

dengan kebutuhan konservasi sekaligus mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya

mereka dengan fungsi ekologi.

Disamping itu, alternatif tersebut juga merupakan strategi yang bukan hanya

melibatkan peran aktif dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat di Dongi-dongi itu

sendiri, karena mereka dapat diposisikan sebagai: 1) bagian dari subyek pengelolaan;

2) mitra utama yang memiliki sense of ownership karena memiliki relevansi langsung dengan

pengelolaan; 3) bagian dari resolusi konflik di Dongi-dongi.

F. Landasan Teori

Konflik merupakan suatu persepsi mengenai ketidakselarasan kepentingan, atau

keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan

(Pruitt and Rubin, 1986). Hal senada sebagaimana yang ditegaskan Fisher et all (2001),

bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang

memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan yang

dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai

struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau

lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.

Konflik juga berkaitan erat dengan kehidupan manusia dan selalu bergerak dari

konflik yang satu ke konflik yang lain dimana menurut Galtung (1996) konflik tersebut dapat

muncul dan semakin meningkat disebabkan adanya beberapa hal seperti: 1) kelangkaan

sumberdaya seperti kemiskinan, pengangguran, kelangkaan sandang, pangan dan papan;

2) komunikasi antar berbagai pihak belum maksimal; 3) pihak-pihak yang memiliki persepsi

berbeda satu sama lain; 4) kelangkaan rasa percaya; 5) kekecewaan akibat persoalan masa

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

14

lalu yang belum terselesaikan; 6) pihak-pihak tidak memandang penting hubungan baik

diantara keduanya; 7) kekuasaan tidak disebar secara merata.

Pendapat Wilmot dan Hocker (2001) sendiri lebih fokus menyatakan bahwa konflik

salah satunya disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya alam yang bertalian erat dengan

kebutuhan manusia terhadap uang, sumberdaya seperti tanah dan minyak, ataupun pekerjaan.

Sedangkan menurut Maslow (2006) dalam Mas’oed (2013) dengan teori kebutuhan

dasarnya, secara umum menyatakan konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan

dasar manusia yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan dasar tersebut berjenjang yang

menggambarkan faktor-faktor dalam kaitannya dengan penentuan kepentingan sebagaimana

disebut sebagai hirarki kebutuhan yang dapat memotivasi orang untuk melakukan kegiatan

atau perbuatan tertentu, yaitu:

a) Kebutuhan psikologis merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan sangat penting

untuk bertahan hidup, diantaranya adalah kebutuhan udara, air, makanan, tidur,

perlindungan (pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan jasmani lain.

b) Kebutuhan akan keamanan diantaranya aman dari kejahatan dan agresi, keselamatan

kerja, keamanan sumberdaya, keamanan psikologis, keamanan keluarga dan keamanan

kekayaan pribadi dari kejahatan.

c) Kebutuhan rasa dimiliki dan diterima merupakan kebutuhan sosial yang mencakup kasih

sayang, rasa memiliki, diterima baik dan persahabatan.

d) Kebutuhan akan penghargaan merupakan kebutuhan manusia untuk menghargai diri

sendiri dan menghargai orang lain. Orang perlu melibatkan diri untuk mendapatkan

pengakuan dan perhatian serta mempunyai kegiatan atau kontribusi kepada orang lain.

e) Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah manusia untuk memanfaatkan kemampuan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

15

mereka yang unik dan berusaha menjadi yang terbaik.

Kelima kebutuhan dasar tersebut diinterpretasikan dalam bentuk piramida dimana

kebutuhan yang lebih mendasar ada di bagian paling bawah sebagaimana pada Gambar 1.1.

berikut:

Gambar 1.1. Hirarki Kebutuhan Manusia7

Kebanyakan konflik merupakan gabungan dari masalah hubungan antar pihak yang

bertikai dan mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik seringkali menjadi sangat rumit

sehingga sangat penting untuk mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan

pokoknya atau penyebab pertikaian. Hal ini dilakukan dengan mengamati dan memahami

pihak-pihak yang bertikai (mengalami konflik).

Berkenaan dengan hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan Fisher et all (2001),

maka perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi akan digambarkan dengan

menggunakan alat bantu analisis konflik yaitu pohon konflik agar dapat diketahui apa saja

yang menjadi isu-isu konflik, masalah inti dan efek dalam suatu konflik, guna membantu

dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik, dan

untuk menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain.

7 Kebutuhan dasar itu dipandang Maslow sebagai suatu piramida perjenjangan (hirarki). Yang paling dasar adalah

kebutuhan biologis-jasmaniah, diikuti kemudian oleh kebutuhan akan rasa aman (keamanan), kemudian

keterterimaan (diakui sebagai bagian dari kelompok manusia) dan kasih sayang, kemudian harga diri, dan terakhir

perwujudan (aktualisasi) diri. Kebutuhan yang lebih atas tidak akan muncul pada manusia sebelum secara minimal

kebutuhan yang berada di bawahnya sudah tercukupi.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

16

Disamping itu, pemetaan konflik yang merupakan teknik visual dapat digunakan

untuk menggambarkan konflik secara grafis yang menghubungkan berbagai pihak yang

mengalami konflik. Pemetaan konflik merupakan alat bantu analisis konflik lainnya yang

tujuannya antara lain untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan diantara

berbagai pihak secara lebih jelas, memeriksa keseimbangan masing-masing reaksi,

mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah

dilakukan dalam penanganan dan pengelolaan konflik.

Untuk mengetahui dinamika konflik atas ketidaksesuaian kepentingan, tujuan dan

nilai-nilai yang dihadapi, maka siklus konflik dari Kriesberg (1982) dapat digunakan.

Didalam siklus konflik tersebut, perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi

secara bertahap dimulai dari sumber konflik, munculnya konflik, pemicu awal konflik,

eskalasi konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, hasil (outcome) konflik, dan

konsekuensi konflik.

Dikarenakan konflik ini sarat dengan kepentingan para pihak yang berkonflik, maka

alat untuk menganalisisnya dapat dipergunakan salah satu model resolusi konflik dari

Furlong (2005) yaitu model batas (boundary) sehingga kita bisa memberikan resolusi konflik

perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Konflik perambahan tersebut

terjadi karena batas (aturan) dan norma-norma yang telah ada ditantang, terancam atau

dielakkan/diabaikan sehingga membutuhkan intervensi untuk mengatasinya (lembaga atau

orang yang memiliki kewenangan sesuai yuridiksi).

Dalam hal ini, resolusi konflik merupakan upaya penanganan sebab-sebab konflik

tersebut dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa bertahan lama antar kelompok-

kelompok yang bertikai atau bermusuhan. Oleh karena itu, kepentingan para pihak yang

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

17

berkonflik harus dapat diakomodir sebagaimana yang dinyatakan oleh Krott (2005) dimana

pembuatan kebijakan merupakan proses tawar-menawar sosial untuk mengatur konflik

kepentingan dalam pemanfaatan dan perlindungan hutan sesuai dengan program dari sektor

kehutanan.

Berdasarkan hal tersebut, maka hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana

governance dalam pengelolaan taman nasional yang merupakan suatu mekanisme praktek

dan tata cara pemerintah dan masyarakat mengatur sumberdaya dan memecahkan masalah-

masalah publik karena governing as conflict management (Zartman, 1997). Bahkan Sumarto

(2003) dalam Siswoko (2009) menambahkan bahwa dalam konsep governance, pemerintah

hanya menjadi salah satu faktor dan tidak selalu menjadi aktor yang paling menentukan.

Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi pula pada

peran warga.

Didalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi perbedaan

kepentingan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik sehingga hak, kewajiban, peran

dan tanggung jawab berbagai pihak harus didefinisikan secara jelas dari awal dalam

mekanisme good forest governance. Menurut Aliadi et all (2006) dan Morison (2007) dalam

Siswoko (2009), good forest governance merupakan proses membangun kesepahaman dan

kepercayaan antar stakeholder berkenaan dengan berbagai keputusan dan tindakan yang

mampu menghilangkan kendala atau hambatan, dan proses penetapan kebijakan serta sistem

kelembagaan yang mendorong keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat lokal.

Kesemua hal tersebut menunjukkan pentingnya suatu pengelolaan adaptif yang

merupakan proses mengadaptasi perubahan yang terjadi dalam lingkungan mereka dengan

terus menerus menilai efektivitas perencanaan kebijakan sumberdaya dan implementasinya

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

18

PERSPEKTIF

RESOLUSI KONFLIK

KONFLIK

PEMERINTAH

DAERAH MASYARAKAT BALAI BESAR TAMAN

NASIONAL LORE LINDU

KAWASAN HUTAN DONGI-DONGI

DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU

KEBUTUHAN REGULASI

secara bersama-sama (Kusumanto et all, 2006).

G. Kerangka Pikir

Adanya konflik yang kompleks diantara masyarakat, Balai Besar Taman Nasional

Lore Lindu dan Pemerintah Daerah (Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi dan

Kabupaten Poso), maka penelitian ini menawarkan suatu alternatif resolusi konflik yang

adaptif yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik bagi para pihak tersebut dalam

kerangka pikir berikut:

Gambar 1.2. Kerangka Pikir.

H. Hipotesis

Penelitian ini bermula dari suatu Bases of Explanation yaitu dikarenakan adanya

perspektif yang berbeda dalam pengelolaan Kawasan Hutan Dongi-dongi di Taman Nasional

Lore Lindu, maka Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu yang memiliki kewenangan

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

19

sesuai yurisdiksinya dapat mengupayakan suatu alternatif resolusi konflik dengan melakukan

revisi zonasi sebagai penegakkan batas (boundary). Proses revisi zonasi tersebut dapat

dikolaborasikan dalam mekanisme good forest governance sehingga menghasilkan aturan

yang adaptif, jelas dan dapat mensinergikan kebutuhan masyarakat akan lahan dengan

kebutuhan konservasi.

Dengan adanya revisi zonasi tersebut, maka masyarakat di Dongi-dongi dapat

ditempatkan sebagai bagian dari pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu melalui penetapan

zona lainnya yaitu zona khusus, meskipun harus didahului dengan kajian-kajian

komprehensif dengan pendekatan riset akademik (scientific) termasuk aspek legal formal

sebagai konsekuensi dari adanya perubahan zonasi tersebut.

I. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah descriptif analysis yang memanfaatkan

berbagai sumber data primer dan sekunder untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang

mempengaruhi proses dan perkembangan. Data yang terkumpul diklasifikasikan dalam

desain sistematika, kemudian dianalisa secara mendalam untuk menarik suatu kesimpulan

yang abstrak dan merupakan sebuah pandangan yang sistematik.

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kebijakan (policy research).

Menurut Mas’oed (2013), penelitian kebijakan ini bertujuan untuk:

a. Memberi nasehat dan mempengaruhi pembuatan kebijakan, isi kebijakan dan

keseluruhan prosesnya;

b. Mengusulkan kebijakan baru tentang suatu isu publik;

c. Menjembatani jurang perbedaan research dengan policy;

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

20

d. Memberi pembuktian dan pembenaran terhadap asumsi kebijakan;

e. Menunjukkan atau memperingatkan akan adanya tantangan baru.

2. Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.

Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Data Primer Informasi yang didapat langsung dari sumber data di lapangan. Data primer adalah

data yang selain diperoleh langsung dari responden melalui teknik wawancara juga

termasuk data-data berupa dokumen yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang

belum dianalisis/diinterpretasikan oleh peneliti lain. Data tersebut digunakan untuk

menganalisa variabel yang menyebabkan terjadinya konflik serta upaya resolusi

konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dikeluarkan

oleh pemerintah (instansi terkait) yang sudah diolah dan dianalisis oleh peneliti lain

meliputi arsip, catatan dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode:

a. Observasi, yaitu kegiatan pengumpulan data secara langsung pada saat penelitian

dilakukan, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan obyek penelitian secara nyata;

b. Studi kepustakaan dan sumber informasi, dimana pengumpulan data berdasarkan

sumber-sumber informasi tertulis (berupa buku, peraturan atau bahan tertulis lainnya)

yang terkait dengan masalah penelitian;

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

21

c. Teknik wawancara yaitu memperoleh suatu informasi dengan cara mengadakan

wawancara atau dialog kepada orang-orang yang berhubungan dengan masalah

penelitian ini. Dalam hal ini, wawancara yang penulis lakukan menyangkut beberapa

pertanyaan yaitu:

1) Latar belakang munculnya konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di

Dongi-dongi;

2) Tuntutan- tuntutan apa yang diinginkan oleh masyarakat yang berada di Dongi-

dongi;

3) Upaya- upaya apa saja yang pernah dilakukan oleh Balai Besar Taman

Nasional Lore Lindu dengan masyarakat yang berada di Dongi-dongi.

J. Sistematika Penulisan

Guna menjawab problematika penelitian yang diusulkan ini, maka berbagai data yang

berhasil dikumpulkan akan disusun dalam suatu sistem penulisan, seperti pada Bab I akan

dikaji tentang konflik yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu yang merupakan hal

penting dan menjadi fokus dalam penelitian yang dituangkan dalam latar belakang dan

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, kerangka

pikir, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Pada Bab II akan dijabarkan tentang sosio-geografi Taman Nasional Lore Lindu

terutama Dongi-dongi yang merupakan cakupan wilayahnya, meliputi sejarah kawasan, letak

dan karakter biofisik serta potensi kawasan8. Sedangkan perambahannya sendiri meliputi

sejarah perambahan, tipe masyarakatnya, dominasi budaya, motif dan kegiatan ekonominya

serta sarana prasarana yang ada.

8 Sebagian besar data dan peta diperoleh dari Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu Kementerian Kehutanan

Tahun 2014 terutama di dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu 2004-2029 Tahun 2004.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77269/potongan/S2-2015... · hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan

22

Kemudian pada Bab III, konflik yang terjadi di Dongi-dongi akan dianalisis dengan

menggunakan alat bantu analisis konflik berupa pohon konflik dan pemetaan konflik, yang

diurai dalam dinamika konflik dan kemudian diupayakan resolusi konfliknya dengan

menggunakan model batas (boundary) dari Furlong (2005).

Setelah itu, pada Bab IV akan dijabarkan apa saja manfaat dan tantangan dari suatu

resolusi konflik yang ditawarkan dan bagaimana proses untuk mewujudkannya serta upaya

apa yang diambil oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dalam menyikapi hal

tersebut.

Pada akhirnya dengan berdasarkan seluruh kajian penelitian dan teori yang telah

digunakan, maka Bab V merupakan penutup yang akan menghasilkan beberapa kesimpulan

dan saran yang diharapkan dapat dijadikan model sekaligus mendorong penyelengaraan

pengelolaan kawasan konservasi yang adaptif khususnya Taman Nasional Lore Lindu.