BAB I PENDAHULUAN -...
Embed Size (px)
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Olahraga dan dunia sosial merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
Pada dasarnya olahraga adalah salah satu bentuk ritual interaksi sosial, baik dalam
skala lokal maupun global. Eksistensi olahraga dalam dunia internasional bisa
diikuti sejak olimpiade modern pertama tahun 1896 di kota Athena, Yunani, yang
diikuti oleh 245 partisipan dari 14 negara.1 Saat ini, diakui bahwa olahraga
terpopuler di dunia adalah sepakbola,2 salah satu tandanya adalah
penyelenggaraan event empat tahunan, yakni Piala Dunia, yang dimulai sejak
tahun 1930 di Uruguay. Piala Dunia mampu menyedot atensi besar dari
masyarakat dunia, dan sampai sekarang tetap diselenggarakan.3
Dewasa ini, entitas negara mulai sadar akan potensi dari kesuksesan tim-
tim maupun atlit-atlit mereka yang berlaga di berbagai kompetisi, untuk
menunjukkan supremasi atas posisi mereka di atas yang lainnya.4 Dengan bantuan
dari media massa, baik jurnalis professional maupun citizen journalists yang
secara konstan mempublikasikan fakta-fakta maupun opini mereka mengenai
sepakbola atau olahraga lainnya- ide-ide mengenai budaya dan identitas yang 1 2007, The Modern Olympic Games, The Olympic Museum 2nd Edition, hal. 3. 2 Top 10 Most Popular Sports in The World, http://www.sporteology.com/top-10-popular-sports-world/ diakses pada 7 Mei 2014 3 2002, The History of The World Cup, Goldman Sachs, hal. 2 4 William J.Morgan, 2000, Sport as the moral discourse of nations, dalam T. Tannsj dan C. Tamburrini, 2000, Values in Sport: Elitism, Nationalism, Gender Equality and the Scientific Manufacturing of Winners, Florence, AS: Routledge, hal. 59-74.
2
melekat pada para atlit dan tim-tim itupun ikut menyebar, termasuk ekspresi
nasionalisme dan karakteristik negara masing-masing.
Lebih lanjut, dalam melihat olahraga, mulai muncul adanya kesadaran
politik dari banyak negara, khususnya pada ranah sport mega-event (SME).
Negara-negara dengan berbagai warna politik menyadari bahwa olahraga bisa
dijadikan alat untuk meningkatkan dan menguatkan image nasionalisme,
kredibilitas, kualitas, daya saing ekonomi, dan juga meningkatkan eksistensi
mereka di lingkup domestik dan internasional.5 Hal ini terbukti dari banyaknya
negara-negara yang mengikuti bidding process untuk menjadi tuan rumah FIFA
World Cup atau IOC Olympic Games. Salah satu contoh adalah Inggris yang telah
berhasil menjadi tuan rumah Olimpiade 2012, dan kemudian kembali berjuang
hingga menghabiskan dana sekitar 17 juta untuk menjadi tuan rumah piala dunia
20186 walaupun akhirnya Inggris tetap kalah oleh Rusia.
Jerman pernah memanfaatkan sport mega-event (SME) saat menjadi tuan
rumah Olimpiade 1936.7 Hitler dengan Nazinya berusaha mempengaruhi opini
publik dunia dengan berbagai macam simbolisasi yang dikemas dalam olimpiade
tersebut. Olimpiade digunakan untuk mendemonstrasikan kekuatan mereka dan
5 Jonathan Grix & Donna Lee, 2013, Soft Power, Sports Mega-Events and Emerging States: The Lure of the Politics of Attraction, Global Society, Routledge, hal. 2. 6 House of Commons Culture Media and Sport Committee, 2018 World Cup Bid, dikutip dari Jonathan Grix & Donna Lee, ibid. 7 Contemporary publications from the Berlin Olympiad of 1936, Sport & Society: The Summer Olympics And Paralympics Through The Lens Of Social Science, hal. 1.
3
mengambil keuntungan dari kesempatan diplomatik yang datang bersamaan
dengan peran mereka sebagai tuan rumah.8
Menarik ketika Jerman untuk kedua kalinya kembali menjadi tuan rumah
sebuah sport mega-event (SME), yakni FIFA World Cup 2006.9 Terdapat
perbedaan jauh antara Jerman sebagai tuan rumah Olimpiade 1936 dan sebagai
tuan rumah Piala Dunia 2006. Secara historis, Jerman telah melalui masa suram.
Kekalahan pada Perang Dunia II membuat Jerman menjadi harta rampasan bagi
para pemenang perang, yang kemudian membaginya menjadinya Jerman Timur
yang sosialis (German Democratic Republic-GDR) dan Jerman Barat yang liberal
(Federal Republic of Germany-FRG).10 Hingga pada 3 Oktober 1990, Jerman
akhirnya kembali bersatu, ditandai dengan robohnya tembok Berlin sebagai
simbol keruntuhan Uni Soviet. Jerman Timur yang kolaps pun bergabung dengan
Jerman Barat dan membentuk satu negara, yakni Republik Federal Jerman.11
Sepanjang melalui periode yang berat pasca Perang Dunia II tersebut,
secara sadar masyarakat Jerman terpaksa harus menekan rasa nasionalisme dan
kebanggaan terhadap bangsa sendiri. Hal ini dikarenakan status Jerman sebagai
penjahat Perang Dunia dan pelaku Holocaust. Cara berpikir ini tetap tertanam
bahkan setelah setengah abad sejak perang tersebut berakhir. Hal ini diperparah
dengan proses penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur yang tidak mudah,
8 Cottrell, M. P., & Travis Nelson, 2011, Not Just the Games? Power, Protest and Politics at the Olympics, dikutip dalam Grace Hochstatter, 2013, The Olympics and Soft Power Diplomacy: British 9 Piala Dunia 1974 memang diadakan di Jerman Barat. Namun, pada saat itu Jerman masih terbelah dua, dan bukan sebagai sebuah negara utuh. 10 Cocomma Bassey, 2012, Understanding Nation Branding: A New Nationalism in Germany, Brandeis University, hal. 27 11 Ibid, hal. 28.
4
karena kompleksnya permasalahan khususnya dari bidang ekonomi dan sosial.
Integrasi penuh dengan Eropa yang diharuskan pihak Sekutu, dengan alasan untuk
meredam kemungkinan kebangkitan Jerman pasca Perang Dunia II juga sangat
berpengaruh. Selain itu, keterbukaan Jerman terhadap imigran khususnya
imigran dari Turki- selama masa Perang Dingin turut menambah rumitnya fase
konsolidasi Republik Federal ini pasca reunifikasi.
Fenomena ini bertahan bahkan bertahun-tahun setelah reunifikasi 1990
terjadi. Salah satu tandanya adalah masih hangatnya konsep die Deutsche Frage
(the German Question-Pertanyaan Jerman) untuk diangkat dalam pembahasan
politik Jerman.12 die Deutsche Frage berisi berbagai macam pertanyaan yang
menjadi umum dalam masyarakat, yang berhulu pada kebingungan dan dilema
pada identitas nasional serta nasionalisme Jerman. Bisa dikatakan, masyarakat
Jerman masih mengalami sindrom Mauer im Kopf (Wall in the Head-Tembok di
Kepala).13
Meskipun demikian, bukan berarti Jerman sama sekali tidak memiliki
modalitas apapun yang bisa dijadikan dasar identitas dan kebanggaan nasional.
Efisiensi dan efektifitas pengelolaan ekonomi dan industri dapat dikatakan
menjadi satu-satunya hal yang bisa dibanggakan warga Jerman.14 Peranan Jerman
dalam Uni Eropa juga bisa dijadikan sumber kebanggaan.15 Namun, masyarakat
12 Alfio Cerami, 2004, Germany After The Unification: The Exclusive Society?, Discussion Paper No.: 2004-001SC, Faculty of Economics, Law, and Social Sciences, University of Erfurt. Hal: 2. 13 Julie R. Berlin, 2003, The Continuing Suppression of Nationalism in the Federal Republic of Germany, Department of Political Science, Washington: State University of Washington. Hal: 15. 14 Op.Cit. Hal: 3. 15 Op.Cit. Hal: 19.
5
Jerman, khususnya generasi muda, masih memiliki keinginan untuk membangun
kembali kebanggaan nasional yang mampu melampaui batasan politik dan
ekonomi.16 Diharapkan ada pembentukan dan definisi ulang, sehingga mampu
membedakan nasionalisme modern Jerman dengan nasionalisme warisan Nazi
pada masa lalu.17
Berbagai upaya telah dilakukan, baik dari pemerintah, masyarakat, atau
bahkan sinergi dari keduanya. Seluruh pemimpin Jerman pasca reunifikasi
memberikan pengaruh yang besar terhadap proses tersebut. Dimulai dari Kanselir
Helmut Kohl yang sangat berjasa atas pendekatannya pada Jerman Timur dan
peran vitalnya pada reunifikasi Jerman.18 Kemudian Kanselir Gerhard Schrder
yang menelurkan hukum kewarganegaraan yang lebih liberal dan inklusif.19
Hingga Kanselir Angela Merkel yang menemukan euforia nasionalisme Jerman
secara massal terjadi untuk pertama kalinya, pada saat perhelatan Piala Dunia
2006 di Jerman.
Kolaborasi pemerintah dan berbagai elemen masyarakat muncul dalam
berbagai upaya membangun nasionalisme baru Jerman. Berbagai survey dan
kampanye pun dilakukan, seperti survey dari jaringan televisi Jerman, ZDF,
dengan Public Relation Agency Wolff Olins yang ditujukan untuk mengetahui
16 Ibid. Hal: 21 17 Ibid. 18 Helmut Kohl, http://www.answers.com/topic/helmut-kohl, diakses 7 Mei 2014, 16:27 WIB 19 2013, Gerhard Schrder, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/528281/Gerhard-Schroder, diakses pada 8 Mei 2014, 2:43 WIB
6
persepsi dunia internasional secara umum mengenai Jerman.20 Dilanjutkan dengan
survey lanjutan yang dikenal dengan Perspektive Deutschland (German
Perspective)21, kampanye Du bist Deutschland (You are Jerman)22, hingga
kampanye Deutschland Land der Ideen (Germany - Land of ideas)23.
Jika sifat-sifat dasar dari olahraga, khususnya karakteristik istimewa dari
sepakbola, dihubungkan dengan berbagai upaya pembentukan nasionalisme baru,
tentu titik temu akan didapatkan. Event olahraga berskala internasional selalu
menjadi trigger yang kuat untuk membangkitkan nasionalisme negara. Sejak
reunifikasi 1990, diadakan beberapa sport-mega event dimana Jerman ikut
berpatisipasi, baik sebagai peserta atau sebagai tuan rumah. Momen menjadi tuan
rumah Piala Dunia 2006 pun merupakan kesempatan emas bagi Jerman dalam
rangka membangun nasionalisme baru tersebut. Maka, dengan latar belakang ini,
penulis mengangkat judul Diplomasi Sport Mega-Event Dalam Rangka
Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan penulis
angkat adalah Bagaimana pengaruh penyelengaraan Piala Dunia 2006
terhadap upaya Jerman membangun nasionalisme baru?
20 Jaffe, E.D. & Nebenzahl, I.D., 2001, National Image & Competitive Advantage: The Theory and Practice of Country-of-Origin Effect, dikutip dalam Keith Dinnie, 2008, Nation Branding: Concepts, Issues, Practice, United Kingdom: Elsevier, hal. 24. 21 Wolff Olins, 2005, Branding Germany, dikutip dalam Keith Dinnie, Ibid. Hal: 156. 22 Ibid 23 Ibid, hal. 157.
7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana usaha Jerman untuk memaksimalkan
diplomasi publik melalui kesempatan menjadi tuan rumah sport mega-
event (SME) pada perhelatan Piala Dunia 2006.
2. Mengetahui pengaruh posisi Jerman sebagai tuan rumah sport mega-
event (SME) terhadap pembangunan nasionalismenya.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangsih terhadap studi
mengenai upaya negara untuk memaksimalkan soft power yang
dimiliki untuk berbagai kepentingan nasionalnya termasuk
didalamnya membentuk/memperkuat nasionalisme- dengan berbagai
cara, dimana dalam penelitian ini dikhususkan pada pemaksimalan
kesempatan menjadi tuan rumah sport mega-event (SME).
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dharapkan dapat dijadikan suatu rujukan bagi peneliti
selanjutnya untuk meneliti tentang pelaksanaan diplomasi publik untuk
membangun citra negara pada umumnya, serta nasionalisme Jerman
pada khususnya.
8
1.4 Penelitian Terdahulu
Sebagai fondasi dari penelitian ini, penulis telah melakukan eksplorasi
berbagai macam tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan topik utama, yakni
pemanfaatan menjadi tuan rumah sports mega-events sebagai wahana untuk
menunjukkan soft power negara guna membangun nasionalisme baru. Terdapat
tiga tulisan yang penulis tautkan dalam penelitian ini. Pertama adalah tesis dari
Julie R. Berlin yang berjudul The Continuing Suppression of Nationalism in the
Federal Republic of Germany.24 Tesis ini berusaha mengangkat isu nasionalisme
di Jerman, yang pada masa-masa awal reunifikasi hingga awal 2000an menjadi isu
yang sangat sensitif di Jerman. Poin inti yang ingin dikemukakan oleh Julie adalah
mengapa, dan bagaimana, proses supresi nasionalisme masyarakat Jerman terjadi.
Demi mendapat gambaran yang utuh tentang bentuk nasionalisme Jerman, tesis ini
menelisik jauh hingga unifikasi pertama Jerman dibawah Otto van Bismark pada
akhir 1800an. Julie kemudian merunutkan kronologis kejadian-kejadian yang ada,
hingga pada akhirnya memunculkan motivasi Jerman melalui Hitler dan Nazinya
sebagai pelaku utama Perang Dunia I dan II.
Pasca Perang Dunia II, didasari ketakutan akan kebangkitan Jerman dan
munculnya harapan untuk membalaskan dendam atas kekalahan mereka dalam
perang, masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya merasa bahwa pendudukan
semi-kolonialisme dan pembelahan Jerman oleh Amerika dan Uni Soviet sudah
menjadi keputusan yang tepat. Namun di sisi yang lain, imbas jangka panjang dari
24 Julie R. Berlin, 2003, The Continuing Suppression of Nationalism in the Federal Republic of Germany, Department of Political Science, Washington: Washington State University.
9
bentuk hukuman ini adalah tertanamnya mindset anti-nasionalisme warga
Jerman atas negaranya sendiri. Nasionalisme telah menjadi konotasi yang negatif
bagi masyarakat Jerman. Hal ini diperparah dengan pembelahan masyarakat yang
disertai doktrinasi ideologi baik liberal di Jerman Barat maupun sosialis-komunis
di Jerman Timur. Dari sinilah sumber utama dan garis start awal terbendungnya
nasionalisme dan kebanggaan bangsa dari masyarakat Jerman terhadap negaranya.
Pasca reunifikasi 1990, tugas menyatukan dua masyarakat Jerman yang
sudah berbeda dan pencarian identitas nasional yang baru dimulai. Walaupun
masalah yang ada sedikit lebih kompleks, tapi pada dasarnya penderitaan utama
warga Jerman dalam konteks ini adalah lekatnya sindrom Mauer im Kopf (Wall in
The Head-Tembok di dalam Kepala). Memang secara fisik Jerman sudah tidak
terpisah, akan tetapi masyarakat masih terpecah antara rasa persatuan dan
keterasingan. Dalam konteks nasionalisme, kebanggaan masyarakat Jerman hanya
mampu muncul dalam aspek stabilitas ekonomi dan peran Jerman dalam Uni
Eropa.
Tesis ini menemukan bahwa disamping usaha yang keras untuk
membuktikan pada Eropa dan dunia bahwa perilaku Jerman di masa lampau tidak
akan terulang lagi, ada keinginan lain, khususnya dari generasi muda Jerman,
untuk membangun kebangaan nasional mereka melampaui aspek ekonomi dan
politik. Mereka berharap membangun nasionalisme yang didasarkan pada
pemerintahan berasas demokrasi, reunifikasi yang damai, dan usaha integrasi
dengan Eropa yang berkelanjutan. Definisi inilah yang akan membedakan
nasionalisme era Nazi dengan nasionalisme baru Jerman.
10
Tulisan kedua adalah disertasi dari Richard Allen yang berjudul
Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion.25
Tulisan ini menjelaskan secara gamblang dan mendalam adanya pergeseran bentuk
nasionalisme yang memang dengan sengaja diusahakan pemerintah Jerman pasca
reunifikasi tahun 1990. Pergeseran tersebut adalah dari nasionalisme etno-sentris
(yang diterapkan Jerman ketika terakhir kali bersatu pada era Nazi) menjadi civic-
cultural nationalism. Dalam konteks tulisan ini, keterkaitan perubahan
nasionalisme dengan penerimaan atau penolakan individu/kelompok non-Jerman
secara etnis dan kultural menjadi sorotan utama.
Disertasi ini diawali dengan penjabaran konsepsi nasionalisme, yang secara
umum mengalami dikotomi menjadi ethno-centric nationalism dan civic
nationalism. Kemudian dilanjutkan dengan menerangkan posisi nasionalisme
etno-sentris pada Jerman kontemporer, dimana dijelaskan bahwa keaktifan
nasionalisme yang berbasis etnisitas ini di Jerman pasca reunifikasi dimotori oleh
gerakan ultra nasionalis yang disebut the New Right. Gerakan ini sempat mendapat
dukungan masyarakat, namun berangsur-angsur kehilangan relevansinya
dikarenakan usaha pemerintah yang secara kontinu membangun nasionalisme
berbasis kewarganegaraan dan kultural sebagai pengikat warga Jerman. Setelah
itu, Allen juga menyoroti aplikasi civic-cultural nationalism yang menjadi
kebijakan pemerintah Jerman ini terhadap kelompok etnis minoritas terbesar di
Jerman, yakin warga keturunan Turki. Hasilnya, masyarakat Turki masih merasa
dikucilkan dan melihat adanya eksklusifitas pada warga asli Jerman. Akan tetapi,
25 Richard Allen, 2010, Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion,
11
hal itu bukan dikarenakan adanya kebijakan yang bernuansa xenophobic dari
pemerintah, akan tetapi hanya dikarenakan benturan kebudayaan yang sangat
berbeda antara keduanya. Sehingga, warga Turki generasi pertama dan kedua yang
masih sangat konservatif kurang bisa berasimilasi dengan kebudayaan Jerman
yang terbuka. Namun, diperkirakan dalam tulisan ini bahwa dalam jangka waktu
yang panjang, akan terjadi asimilasi yang baik antar seluruh kelompok etnis
minoritas yang ada di Jerman dengan budaya bangsa Jerman.
Tulisan terakhir adalah penelitian dari Anthony King yang berjudul
Nationalism and Sport.26 Penelitian ini berfokus pada peranan olahraga dalam
konteks ini, sepakbola, khususnya pada perhelatan Piala Eropa 2004 di Portugal-
dalam membantu proses pembentukan kembali identitas nasional Britania Raya.
Anthony berusaha untuk menjelaskan bagaimana nasionalisme dan kebanggaan
terhadap negara bisa terbentuk, dan juga bertransformasi, dimana ia menempatkan
olahraga sebagai salah satu medium yang tepat untuk proses tersebut. Anthony
menggunakan konsep imagined communities milik Benedict Anderson, yang
menjelaskan bahwa anggota masyarakat suatu negara perlu mengenali ikatan yang
spesial dan eksklusif yang dimiliki satu sama lain. Dalam rangka mengenali ikatan
tersebut, diperlukan adanya ritual interaksi antar sesama masyarakat negara
seperti membaca koran yang sama di pagi hari atau menonton siaran televisi yang
sama- yang akan memunculkan kesepahaman dan terbentuknya kepentingan
bersama, yang akan menyatukan sesama warga negara. Anthony mencoba untuk
26 Anthony King, 2006, Nationalism and Sport, dalam Delanty, G. Dan Kumar, K. (eds.) 'The SAGE Handbook of Nations and Nationalism', Sage.
12
mengelaborasikan poin dalam konsep tersebut dengan olahraga, dan
menerapkannya pada kasus identitas nasional Inggris pada periode awal milenium.
Hasil dari penelitian Anthony menunjukkan bahwa nasionalisme Britania
Raya memang telah mengalami pengerucutan. Perubahan ini lebih dikarenakan
pengaruh kuat dari tekanan globalisasi ekonomi. Globalisasi menimbulkan
pembangunan yang tidak merata dalam masyarakat, berimbas pada peningkatan
kesenjangan kekayaan ekonomi dan kepentingan antar daerah. Hal ini memicu
adanya keinginan untuk memperjuangkan independensi daerah demi kesejahteraan
rakyat, sehingga memunculkan the English, the Scotland, dan the Wales.
Transformasi ini bisa dilacak jejak keberadaannya melalui berbagai interaksi
sosial, dan olahraga terbukti menjadi salah satu bentuk interaksi sosial yang paling
efektif. Hal ini dikarenakan di dalam olahraga, individu-individu membuat dan
mempertahankan simbol-simbol kelompok sosial dimana masing-masing dari
mereka adalah bagian dari kelompok tersebut. Konsekuensinya, garis-garis
pembeda antar kelompok dalam masyarakat nasional semakin jelas terlihat. Inilah
yang terjadi dengan Britania Raya, dimana dalam dunia sepakbola bukan Union
Jack (bendera Britania Raya) yang berkibar, tetapi St. Andrews Cross (bendera
Skotlandia), St. Patricks Cross (bendera Irlandia), dan St. Georges Cross
(bendera Inggris) lah yang berkibar. Selain mendemosntrasikan pentingnya bangsa
sebagai dasar solidaritas dan mobilisasi sosial, dunia olahraga pada umumnya-
dan sepakbola Eropa pada khususnya- telah menunjukkan adanya perubahan
yang cukup radikal dari bangsa sebagai sebuah masyarakat.
13
Tabel 1.1 Posisi Penelitian
No Judul dan Nama Peneliti Jenis Penelitian dan Alat Analisa Hasil
1 The Continuing Suppression of Nationalism in the Federal Republic of Germany Oleh: Julie R. Berlin
Eksplanatif Kualitatif
Pendekatan:
National Pride, Nasionalisme,
Analisa Historis
- Sejarah Jerman dalam Perang Dunia dan hukuman yang diterima sepanjang era Perang Dingin telah memaksa masyarakat Jerman menekan rasa nasionalisme mereka. - Pasca reunifikasi, ada keinginan dari masyarakat maupun pemerintah Jerman- untuk membangun sebuah identitas dan nasionalisme yang baru. Akan tetapi, banyak tantangan yang akan dihadapi dalam proses ini.
2 Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion Oleh: Richard Allen
Eksplanatif Kualitatif
Pendekatan:
Nasionalisme Etno-Sentris,
Civic Nationalism
Pasca reunifikasi, pemerintah Jerman berusaha untuk merubah bentuk nasionalisme negaranya, dari yang sebelumnya etno-sentris (pada era Nazi) menjadi lebih berbasis kultural dan bersifat kewarganegaraan (civic-cultural nationalism).
3 Nationalism and Sport Oleh: Anthony King
Eksplanatif Kualitatif
Pendekatan:
Imagined Community
Nasionalisme Britania Raya bertransformasi menjadi lebih lokal dengan munculnya nasionalisme Inggris, Skotlandia, Irlandia, dan Wales. Olahraga Piala Eropa 2004 pada khususnya- menjadi medium yang sangat efektif untuk memperkuat jalannya proses transformasi tersebut.
4 Diplomasi Publik Sport Mega-Event Dalam Rangka Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman Oleh: Hardian Saputra
Deskriptif Kualitatif
Pendekatan:
Identitas Nasional,
Nasionalisme, Domestic Public
Diplomacy, Diplomasi Olahraga
- Jerman berupaya untuk mendiplomasikan proyek pembangunan civic-cultural nationalism sebagai bentuk nasionalisme baru Jerman. - Menjadi host Piala Dunia 2006 merupakan kesempatan emas bagi Jerman untuk mempublikasikan identitas dan nasionalisme baru yang telah berusaha dibangun.
14
1.5 Kerangka Teori dan Konsep
1.5.1 Identitas Nasional
Pandangan terkemuka dalam konsep ini bisa diambil dari pendapat David
Miller, yang menyatakan bahwa identitas nasional sangat fundamental dalam
mempertahankan keberadaan welfare state (negara kesejahteraan negara yang
menjamin kesejahteraan masyarakatnya) yang sehat dan independen.27 Menurut
Miller, identitas nasional memainkan dua peranan penting; pertama, menciptakan
perasaan simpati antar sesama warga negara, yang mampu memunculkan motivasi
awal untuk saling membantu satu sama lain; dan yang kedua, menciptakan rasa
saling percaya sebagai prasyarat bagi siapapun untuk melakukan tindakan
berdasar pada rasa simpatinya.28
Miller kemudian juga mengatakan, bahwa untuk menjamin adanya
kerjasama secara voluntir antar sesama warga negara,
Each person must be confident that the others will generally
complyand this involves mutual trust ties of community are an
important source of such trust between individuals who are not
personally known to each other.
Bisa dipahami dari pernyataan tersebut bahwa sebagai seorang manusia,
setiap warga negara memerlukan suasana yang kondusif baginya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik yang bersifat voluntir kepada sesama warga negara yang 27 Richard Johnston dkk., 2010, National Identity and Support for the Welfare State, Working Paper 2010:11, The Stockholm University: Linnaeus Center for Integration Studies (SULCIS). Hal: 5 28 Ibid.
15
lain, dan suasana tersebut bisa tercipta dengan hadirnya rasa saling percaya satu
sama lain dengan adanya kesamaan identitas. Lebih lanjut, menurutnya, identitas
nasional adalah landasan yang essensial untuk membangun rasa percaya ini di
dalam masyarakat negara modern, ia mengatakan in states lacking a common
national identity trust may exist within the groups, but not across them.29
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa identitas nasional adalah tali utama yang
bisa digunakan untuk mengencangkan integrasi sosial pada masyarakat di dalam
sebuah negara.
Kondisi Jerman yang secara terang-terangan memunculkan diskursus the
German Question yang mempertanyakan identitas bangsa yang dimiliki/tidak
dimiliki oleh Jerman- dengan jelas menggambarkan bahwa negara ini mengalami
masalah dengan identitas bangsanya. Walaupun secara kasat mata negara ini
terlihat sangat stabil, khususnya dalam aspek ekonomi dan politik, itu semua
hanya mampu memunculkan integrasi sistem, tidak sampai pada level integrasi
moral. Hal ini disadari oleh pemerintah Jerman sebagai suatu hal yang berpotensi
menimbulkan permasalahan sosial di kemudian hari. Sehingga, muncul kesadaran
dari pemerintah Jerman untuk mengusahakan memunculkan identitas Jerman
dengan bentuk nasionalisme yang baru.
29 Ibid. Hal: 6
16
1.5.2 Nasionalisme
Nasionalisme merupakan salah satu konsep yang masih dalam perdebatan.
Salah satu pendapat yang paling populer, namun tetap menuai kritik, adalah dari
Ernest Gellner. Menurut Gellner, nasionalisme muncul sebagai respon atas
tumbuhnya dunia industri di dunia barat, dimana para pelaku industri
menginginkan adanya jaminan kestabilan, alur birokrasi yang jelas, serta distribusi
kekuasaan yang tertata.30 Selama munculnya peradaban manusia, terdapat banyak
bentuk nasionalisme yang diaplikasikan di berbagai belahan dunia. Namun, jika
digeneralisasi, terdapat dua bentuk nasionalisme yang paling dominan, yakni
nasionalisme etnosentris dan nasionalisme berbasis kewarganegaraan.
Nasionalisme etnosentris adalah nasionalisme yang bersifat ekslusif, dikarenakan
indikator penentu nasionalisme seorang individu adalah melalui kesamaan
kelahiran, darah, dan etnisitas.31 Sedangkan nasionalisme kewarganegaraan atau
civic-nasionalism didasari oleh pemikiran liberal dan demokratis, dimana untuk
menentukan kewarganegaraan dan nasionalisme, seorang individu harus dengan
sadar dan sukarela mengasosiasikan dirinya dengan values (nilai-nilai) yang
terbangun dalam negara tersebut, baik itu dalam ranah politik, ideologi, hukum,
kewajiban dan hak, keadaan sosial, budaya, dll.32
Walaupun masih terdapat perdebatan mengenai batasan-batasan dalam
konseptualisasi nasionalisme, secara umum terdapat sebuah poin yang diterima
30 Stefan Auer, 1997, Two Types of Nationalism in Europe?, Russian and Euro-Asian Bulletin: Vol.7 No.12 December 1997, Melbourne: the Contemporary Europe Research Centre. Hal: 1-2. 31 Ibid. Hal: 3. 32 Ibid. Hal: 2-3.
17
sebagai salah satu elemen terpenting, yakni kebanggaan nasional (national pride).
Kebanggaan inilah yang kemudian diderivasikan ke berbagai bentuk ekspresi dan
perilaku, dari para elit negara hingga masyarakat bawah, yang dikenal sebagai
patriotisme.
Jika membicarakan nasionalisme dan Jerman, tentu perhatian besar akan
tertuju pada Nazi dan etnosentris-chauvinis-fasis-nasionalisme yang diaplikasikan
pada Jerman. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa masih ada faktor-faktor lain
yang berpengaruh dalam perkembangan Jerman dalam konteks kebangsaan dan
nasionalisme. Jerman pernah silih-berganti merasakan kedua bentuk nasionalisme
yang sudah dijelaskan di atas. Semenjak awal berdirinya di tahun 1871, identitas
bangsa yang dibangun sebagai fondasi nasionalisme rakyat adalah nasionalisme
berbasis etnisitas. Dipengaruhi oleh berbagai faktor, nasionalisme ini justru
mencapai level ekstremnya ketika rezim Hitler dan Nazi menguasai Jerman dan
Perang Dunia II berlangsung.
Kemudian, salah satu fenomena yang menjadikan Jerman sebagai contoh
kasus negara yang unik dalam konteks nasionalisme, adalah masyarakat Jerman
pernah merasakan tidak memiliki kebanggaan atas negaranya sendiri, atau bisa
dikatakan Jerman mengalami fase vacuum-nationalism. Hal ini terjadi pasca
Perang Dunia II berakhir. Padahal, seperti sudah dijelaskan sebelumnya,
kebanggaan merupakan modalitas utama nasionalisme suatau negara. Keadaan ini
tetap berlangsung sampai dengan reunifikasi 1990 terjadi, hingga kesadaran untuk
membangun sebuah identitas bangsa yang baru sebagai fondasi nasionalisme
Jerman kontemporer pun muncul.
18
Dalam rangka membantu peneliti dalam menganalisa proses pembangunan
civic nationalism di Jerman, sedikit bagian dari teori imagined communities karya
Benedict Anderson akan digunakan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anderson,
negara adalah ...an imagined political community and imagined as both
inherently limited and sovereign.33 Maka, imajinasi menjadi vital dikarenakan
setiap anggota warga negara, bahkan negara sekecil apapun, tidak akan pernah
mampu mengetahui dan mengenal seluruh teman anggota warga negara yang lain,
namun mereka akan tetap hidup dengan mengasosiasikan diri dalam sebuah image
persatuan bangsa.34
Proses asosiasi ini terdapat dalam ritual interaksi yang terjadi setiap hari
tanpa disadari, yakni melalui berbagai sumber informasi yang sama yang diserap
oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam waktu yang sama dan berisikan
berita yang sama.35 Contoh dari sumber informasi ini adalah koran, berita TV,
buku, atau media-media online. Ritual-ritual interaksi adalah basis dari imagined
communities.36 Meskipun terlihat sepele, pertemuan semu yang dilakukan setiap
hari ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan dan
pemeliharaan masyarakat suatu bangsa. Eksistensi suatu bangsa akan tetap terjaga
sepanjang jaringan-jaringan dan ritual interaksi ini terjaga. Anggota masyarakat
harus secara berkelanjutan meskipun tidak dalam durasi yang lama- mengingat
hubungan spesial yang dimiliki satu sama lain.
33 Benedict Anderson, 1983, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso. Hal: 6. 34 Ibid. 35 Anthony King, 2006, Nationalism and Sport, dalam Delanty, G. Dan Kumar, K. (eds.) 'The SAGE Handbook of Nations and Nationalism', Sage. Hal: 5. 36 Ibid
19
Dalam konteks penelitian ini, bentuk ritual yang akan menjadi titik fokus
adalah perhelatan event-event olahraga yang terjadi di Jerman atau
mengikutsertakan perwakilan resmi dari Jerman. Dalam event olahraga berskala
besar, akan selalu diiringi dengan ekspos media massa yang besar pula. Hal ini
akan memicu terjadinya ritual interaksi secara sangat masif dan efektif. Sehingga,
event-event olahraga ini mampu menjadi penghantar pesan nasionalisme yang
baik, dan berkontribusi atas pembuatan serta penguatan nasionalisme bangsa.
1.5.3 Domestic Public Diplomacy
Penulis akan menentukan terlebih dahulu posisi penelitian ini dalam ranah
diplomasi. Dalam penelitian ini, sudut pandang diplomasi yang diambil adalah
dari diplomasi publik baru. Melampaui konsep dasar dari diplomasi tradisional,
diplomasi publik baru, atau the new public diplomacy telah menjadi sebuah
standar penerapan diplomasi, dan prakteknya sudah melebihi bentuk propaganda
yang masih sering dikaitkan dengan diplomasi publik.37
Untuk memahami pergeseran dari lama ke baru, pemahaman dasar akan
diplomasi publik sendiri mutlak diperlukan. Menurut Paul Sharp, diplomasi publik
adalah proses dimana terdapat usaha untuk membangun hubungan-hubungan
langsung dengan masyarakat di dalam sebuah negara, dengan tujuan untuk
37 Kelompok tradisionalis melihat diplomasi publik sebagai bentuk modern dari white propaganda, yakni propaganda yang mengakui sumbernya, dan menempatkan tidak hanya publik luar negeri tapi juga memasukan konstituen dalam negeri. Jan Melissen, 2011, Beyond The New Public Diplomacy, The Hague: Netherlands Institute of International Relations Clingendael. Hal: 7.
20
meningkatkan pencapaian kepentingan-kepentingan dan memperluas jangkauan
nilai-nilai yang direpresentasikan.38 Setelah memahami definisi tersebut, karakter
lama dan baru dari diplomasi publik sangat terlihat pada objek dan metodenya.
Diplomasi publik pada awalnya murni menempatkan masyarakat luar negeri
sebagai objek aktivitas mereka, dan menempatkan garis batas yang jelas untuk
tidak sedikitpun menyentuh masyarakat dalam negeri.39 Selain itu, diplomasi
publik konvensional selalu menggunakan metode interaksi one way (G-to-P).40
Dua hal inilah yang saat ini sudah tidak mampu mengakomodir perubahan
lingkungan diplomasi yang sangat drastis terbawa arus globalisasi. Menyadari
kekurangan ini, diplomasi publik baru menawarkan alternatif yang berlawanan
dengan dua karakter tersebut, yakni dengan menerapkan komunikasi dua arah,
serta merangkul masyarakat domestik. Ranah domestik menjadi penting untuk
dirangkul, dikarenakan interkoneksi yang sudah terbangun antara masyarakat
dalam negeri dengan masyarakat luar negeri, dimana media telekomunikasi dan
informasi online yang sangat berkembang, mobilisasi masyarakat dunia, diaspora,
dan para ekspatriat berperan sangat besar.41 Dengan adanya interkoneksi tersebut,
para diplomat dan aparatur resmi negara di luar negeri tidak lagi menjadi satu-
satunya wajah dominan yang merepresentasikan negaranya.
Kemudian, disadari bahwa menyiapkan keseragaman dan kesamaan visi
dengan pihak-pihak non-negara menjadi sebuah keharusan, baik dalam pembuatan
38 Ibid. 39 Ibid. Hal: 11-12. 40 Ibid. Hal: 12. 41 Ibid. Hal: 20.
21
kebijakan luar negeri, arah politik luar negeri, perumusan kepentingan nasional,
hingga yang paling mendasar, yakni membangun sebuah identitas bangsa yang
utuh dan kuat.42 Konsep ini kemudian disepakati oleh para akademisi sebagai
domestic public diplomacy.
Dalam konteks Jerman kontemporer, menerapkan konsep ini sangat
relevan. Diplomasi publik Jerman berusaha untuk menjelaskan dan mendiskusikan
kebijakan-kebijakan luar negeri dan dalam negerinya, dalam rangka untuk
memperkuat posisi negara di dua dimensi tersebut.43 Terlebih dengan adanya latar
belakang krisis identitas nasional yang dialami oleh masyarakat Jerman, maka
pemerintah perlu bertindak aktif untuk merumuskan dan kemudian
mensosialisasikan identitas bangsa tersebut kepada warganya sendiri.
1.5.4 Sport Diplomacy
Setelah memahami sudut pandang tersebut, penulis akan menjabarkan
penggunaan diplomasi olahraga dalam penelitian ini. Diplomasi olahraga bisa
digolongkan ke dalam diplomasi publik. Barry Sanders dalam Sport as Public
Diplomacy melihat bahwa olahraga adalah media kuat dan besar untuk penyebaran
informasi, reputasi, dan hubungan internasional, yang mana merupakan inti dari
diplomasi publik. Besaran dari audiens global dan tingkat ketertarikan mereka
pada olahraga melebihi subjek lainnya, termasuk masalah politik. Sifat olahraga
42 Ibid. 43 Gyorgy Szondi, 2008, Public Diplomacy and Nation Branding: Conceptual Similarities and Differences, The Hague: Netherlands Institute of International Relations Clingendael. Hal: 9.
22
yang selalu mencari keunggulan dalam kompetisi mampu membawa value-nya
sendiri. Olahraga juga menjadi kendaraan untuk menyebarkan pesan. Suatu
strategi diplomasi publik yang terencana dapat mengapitalkan kesempatan yang
diberikan oleh olahraga.44
Murray melihat bahwa diplomasi olahraga sendiri melibatkan aktivitas
representatif dan diplomatis yang dilakukan oleh aktor-aktor olahraga (misalnya
pemain, pengurus organisasi atau asosiasi oelahraga, atau penyelenggara acara
olahraga, hingga penonton dan penikmat olahraga sendiri) sebagai perwakilan atau
sesuai dengan pembuat kebijakan. Praktik ini difasilitasi oleh diplomasi tradisional
dan menggunakan orang-orang dalam olahraga dan acara olahraga untuk
membentuk dan menginformasikan suatu citra yang dapat diterima baik oleh
masyarakat dan dunia internasional, untuk membentuk persepsi yang kondusif
dalam mendukung kepentingan nasional dari pemerintah terkait.45
Jerman melakukan diplomasi olahraga, dengan metode yang sama, namun
menurunkan target akhir hanya pada level domestik masyarakatnya. Dengan
tujuan untuk menyosialisasikan identitas bangsa yang sudah berusaha dibangun
seefektif mungkin, olahraga, dan dalam konteks penelitian ini adalah Piala Dunia
2006, menjadi alat diplomasi publik domestik yang paling potensial untuk
dimanfaatkan.
44 Barry Sanders, 2011, Sport as Public Diplomacy, http://uscpublicdiplomacy.org/index.php/pdin_monitor/article/international_sport_as_public_diplomacy/ pada 5 Februari 2014, 8:06 WIB. 45 Stuart Murray, 2011, Sports Diplomacy: A Hybrid of Two Halves, dikutip dalam Raisa Muthmaina, 2012, Penyelenggaraan Piala Dunia FIFA 2010 Sebagai Diplomasi Dalam Memperluas Marketing Power Afrika Selatan, Depok: Universitas Indonesia, hal. 20.
23
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Metode/Tipe Penelitian
Penulisan ini akan menggunakan pendekatan deskriptif, dimana penulis
menjadi instrumen utama untuk pengumpulan data dan pengolahan atau analisis
data, serta sangat memfokuskan perhatian pada proses dan arti dari suatu peristiwa
yang diteliti.46 Dengan menggunakan metode kualitatif, maka penulisan dapat
dilakukan melalui tiga tahapan utama, yaitu pengumpulan data, pengolahan data,
dan penulisan laporan penelitian.47
1.6.2 Teknik Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga
tahapan, yaitu: (1) Pemeriksaan, dilakukan untuk memeriksa apakah data-data
yang diperlukan sudah lengkap dan benar; (2) Pengolahan, dilakukan dengan
memilah-milah data yang akan digunakan sesuai dengan kategorinya masing-
masing; (3) Analisa dan Interpretasi, data-data yang telah dipilah dalam
pengolahan data kemudian dianalisa dan diinterpretasikan oleh peneliti.
Untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan maka data-data yang
terkumpul, dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan dan
menggambarkan segala informasi mengenai Piala Dunia 2006 yang berperan
46 John W. Creswell, 1994, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, California: Sage Publications. Hal: 145. 47 Ibid. Hal: 148-161.
24
sebagai media dalam diplomasi publik Jerman dan memperbaiki nasionalisme
serta citra Jerman di mata dunia internasional.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka,
yaitu mencari data mengenai penelitian ini melalui berbagai media cetak yakni
buku, jurnal, catatan, website, dan lain sebagainya, yang telah diolah oleh orang
lain atau lembaga yang berupa data sekunder.48
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam sebuah penelitian, harus ditentukan ruang lingkupnya, agar
pembahasan masalah bisa berkembang ke arah yang tepat sesuai sasaran. Ruang
lingkup itu sendiri terdiri dari batasan materi dan batasan waktu. Batasan materi
menunjukkan ruang sebuah peristiwa yakni cakupan kawasan dan gejala atau
daerah studi, sedangkan batasan waktu adalah rentang waktu (durasi) terjadinya
suatu peristiwa atau objek yang dianalisa.
Dalam penelitian ini, batasan materinya adalah ulasan mengenai
bagaimana upaya-upaya Jerman memaksimalkan Piala Dunia 2006 sebagai
momentum membangun nasionalisme barunya. Sedangkan untuk batasan
waktunya, penulis akan memberikan batasan waktu pada tahun 2006, tepatnya
sebelum, saat berlangsung, dan sesudah penyelenggaraan Piala Dunia 2006. Ini
dilakukan dengan dasar bahwa pada tahun 2006 Jerman melakukan peningkatan
upaya-upaya diplomasi publik sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Selain itu,
48 Rianto Adi, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, hal. 61.
25
penulis juga mengupas masalah-masalah yang bersifat tinjauan historis untuk
membantu dan melengkapi rangkaian analisa dinamika nasionalisme serta
pembentukan nasionalisme baru Jerman.
1.7 Argumentasi Dasar
Rasa nasionalisme masyarakat Jerman mengalami fase negatif semenjak
berakhirnya Perang Dunia II hingga pasca reunifikasi tahun 1990. Hal ini
disebabkan faktor internal (persepsi Jerman sebagai penjahat Perang Dunia dan
pelaku kejahatan kemanusiaan Holocaust) serta faktor eksternal (pemisahan
Jerman oleh Blok Barat dan Blok Timur). Hilangnya identitas bangsa dan rasa
kebangsaan ini berpengaruh pada rendahnya integritas masyarakat, yang walaupun
stabil secara ekonomi dan politik namun menyimpan resiko konflik horizontal.
Pemerintah Federal Jerman pasca reunifikasi menyadari akan adanya fenomena ini
dan menempatkan persoalan nasionalisma Jerman sebagai kepentingan nasional.
Pemerintah Jerman berusaha membangun nasionalisme baru, yang
berbentuk civic nationalism, sebagai upaya memenuhi kepentingan tersebut.
Bentuk nasionalisme baru ini kemudian berusaha untuk dikembangkan dan
dipublikasikan kepada seluruh publik Jerman. Salah satu caranya adalah melalui
sport mega-event, dimana terdapat perwakilan Jerman yang berpatisipasi, baik
sebagai peserta ataupun sebagai tuan rumah. Piala Dunia 2006 pun menjadi
momentum yang dimaksimalkan oleh Pemerintah Federal Jerman untuk
membantu proses nation-building tersebut.
26
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I merupakan bab pendahuluan, yang berisi latar belakang disertai
rumusah masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan literatur berupa
penelitian terdahulu dan kerangka konseptual, serta metode penelitian.
BAB II akan menjabarkan karakteristik nasionalisme dan identitas
nasional yang dimiliki Jerman, serta proses pembentukan nasionalisme baru yang
dialaminya. Dengan menonjolkan beberapa momen penting dari sisi historis
Jerman, bab ini akan menjelaskan faktor-faktor penting proses pembentukan
tersebut nasionalisme tersebut.
BAB III akan berisi penjelasan projek-projek pembentukan nasionalisme
baru Jerman menggunakan diplomasi olahraga pada perhelatan Piala Dunia 2006.
BAB IV merupakan bab kesimpulan dari penulisan yang telah dipaparkan
dalam bab-bab sebelumnya.