BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar...

27
1 BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus termasuk salah satu penyakit degeneratif yang memerlukan penanganan seksama (PERKENI, 2011). Hal ini disebabkan diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang mempunyai prevalensi tinggi. Di dunia, diperkirakan sebanyak 347 juta orang mengidap penyakit diabetes melitus (WHO, 2013). Pada tahun 2004 diduga 3,4 juta orang meninggal sebagai konsekuensi dari tingginya kadar gula darah puasa. Jumlah kematian yang sama juga diperkirakan pada tahun 2010. Di Amerika Serikat sebanyak 25,8 juta penduduk menderita diabetes melitus dan dari jumlah tersebut, 18,8 juta pasien telah terdiagnosis, sementara sisanya yaitu sejumlah 7 juta pasien belum menyadari bahwa dirinya menderita diabetes melitus (ADA, 2012). World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 serta paling banyak terjadi pada masyarakat urban dengan gaya hidup yang tidak sehat. Diabetes melitus juga berpotensi menjadi penyakit nomor 7 yang membunuh manusia pada tahun 2030 (WHO, 2013). Indonesia berada di peringkat keempat jumlah penyandang diabetes melitus di dunia setelah Amerika Serikat, India dan Cina (Hans, 2008). Di Indonesia sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang terbaru tahun 2013, menyatakan bahwa prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes melitus termasuk salah satu penyakit degeneratif yang memerlukan

penanganan seksama (PERKENI, 2011). Hal ini disebabkan diabetes melitus

merupakan salah satu penyakit yang mempunyai prevalensi tinggi. Di dunia,

diperkirakan sebanyak 347 juta orang mengidap penyakit diabetes melitus (WHO,

2013). Pada tahun 2004 diduga 3,4 juta orang meninggal sebagai konsekuensi dari

tingginya kadar gula darah puasa. Jumlah kematian yang sama juga diperkirakan

pada tahun 2010. Di Amerika Serikat sebanyak 25,8 juta penduduk menderita

diabetes melitus dan dari jumlah tersebut, 18,8 juta pasien telah terdiagnosis,

sementara sisanya yaitu sejumlah 7 juta pasien belum menyadari bahwa dirinya

menderita diabetes melitus (ADA, 2012). World Health Organization (WHO)

memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 serta paling banyak terjadi pada masyarakat

urban dengan gaya hidup yang tidak sehat. Diabetes melitus juga berpotensi

menjadi penyakit nomor 7 yang membunuh manusia pada tahun 2030 (WHO,

2013).

Indonesia berada di peringkat keempat jumlah penyandang diabetes melitus

di dunia setelah Amerika Serikat, India dan Cina (Hans, 2008). Di Indonesia

sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang terbaru tahun

2013, menyatakan bahwa prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi

2

terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta (2,6%), Beberapa hal yang dihubungkan

dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas

fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri sebagai tempat penelitian terdapat

fakta lain bahwa diabetes melitus menjadi 10 besar penyakit yang paling banyak

diderita oleh penduduk dan menjadi penyebab kematian nomor 6 di rumah sakit

dengan 214 kematian pada 2011 (Dinkes DIY, 2012).

Penelitian yang dilakukan di berbagai rumah sakit umum di Jawa, ditemukan

bahwa angka komplikasi tertinggi adalah penurunan kemampuan seksual 50%, lalu

diikuti komplikasi saraf atau ulkus/gangren 30,6%, retinopati diabetik 29,3%,

katarak 16,3%, tuberkulosis (TBC) paru-paru 15,3%, hipertensi 12,8% dan

penyakit jantung koroner 10% (Selamihardja, 2005).

Kurang lebih 15% penderita DM akan mengalami ulkus selama perjalanan

penyakitnya (Frykberg dkk., 2000) dan 3-4% nya terkena infeksi berat. Sebesar

85% penderita ulkus diabetik akan diamputasi dan 36% dari pasien amputasi

tersebut, 2 tahun setelahnya akan meninggal dunia (Pinzur, 2004). Infeksi yang

terjadi menjadi alasan utama bagi pasien DM dengan komplikasi ulkus/gangren

untuk menjalani perawatan dan pengobatan di rumah sakit. Infeksi terjadi karena

luka terbuka pada kaki memudahkan bakteri masuk, tumbuh dan menyebar.

Kondisi ini mengesalkan bagi pasien karena membutuhkan perawatan lama dan

biaya tinggi, serta menimbulkan perasaan khawatir bagi pasien apabila harus

menjalani amputasi.

Perawatan ulkus dapat dilakukan dengan mengurangi tekanan pada kulit,

3

misalnya dengan menggunakan sepatu longgar, pembalutan dan perawatan luka.

Pembedahan dan antibiotika penting untuk pengobatan ulkus terinfeksi. Antibiotika

merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan. Menurut Lim (cit.

Juwono dan Prayitno, 2003), biaya antibiotika dapat mencapai separuh dari

anggaran obat di rumah sakit. Pengunaan antibiotika yang tepat penting untuk

mengatasi infeksi dan mencegah amputasi (Shea, 1999). Namun penggunaan

antibiotika yang tidak tepat dapat menyebabkan kekebalan mikroba, efek obat yang

tidak dikehendaki dan tentu saja biaya yang ditanggung pasien menjadi

membengkak.

Penggunaan antibiotika pada pasien ulkus diabetik perlu mendapatkan

perhatian dan penanganan yang tepat. Penanganan medik dan pola terapi untuk

pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus diabetik di Rumah Sakit

Bethesda Yogyakarta yang merupakan salah satu rumah sakit swasta terbesar di

Yogyakarta dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam peningkatan mutu

pelayanan medik dan pemilihan antibiotika yang tepat sehingga dapat

meningkatkan pelayanan kesehatan bagi pasien.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pola demografi pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus

diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode

Januari-Desember 2012?

2. Bagaimana pola penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus dengan

komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda

4

Yogyakarta periode Januari-Desember 2012?

3. Bagaimana ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus

dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta periode Januari-Desember 2012?

4. Bagaimana respon terapi penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus

dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta periode Januari-Desember 2012?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pola demografi pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus

diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode

Januari-Desember 2012.

2. Mengetahui pola penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus dengan

komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.

3. Mengetahui ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus

dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.

4. Mengetahui respon terapi penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus

dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.

5

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting dilakukan karena :

1. Dapat menjadi sumber informasi tentang penggunaan antibiotika pada pasien

diabetes melitus dengan komplikasi ulkus diabetik.

2. Dapat sebagai masukan atau acuan bagi rumah sakit dalam upaya

meningkatkan kualitas pelayanan pengobatan.

3. Menjadi bahan evaluasi terhadap terapi yang tepat terhadap obat antibiotika di

rumah sakit.

4. Untuk peneliti, dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman.

E. Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Melitus

a. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah kelainan metabolik yang ditandai dengan

terjadinya hiperglikemia dan ketidaknormalan dari metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein (Triplitt dkk., 2008). Hal ini terjadi disebabkan karena berkurangnya

sekresi insulin, berkurangnya sensitivitas insulin maupun keduanya. Dalam jangka

waktu yang lama, ketidaknormalan fungsi metabolisme ini dapat menimbulkan

berbagai komplikasi seperti retinopati, nefropati dan neuropati (Koda Kimble dkk.,

2008).

6

b. Klasifikasi Diabetes Melitus

1). Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes Melitus tipe 1 ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit

populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi

penderita diabetes. Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β

pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun (Triplitt dkk.,

2008). Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe

sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-

sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon

somastatin. Serangan autoimun yang terjadi karena adanya infeksi virus

yang menimbulkan reaksi autoimun berlebihan, sehingga sel imun tubuh

tidak hanya membunuh virus, tetapi merusak sel-sel β pankreas.

Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin

inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM

tipe 1. Bila insulin tidak dapat diproduksi, maka sel tidak dapat menyerap

glukosa dari darah sehingga kadar gula meningkat (Tjay dan Rahardja,

2002).

2). Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih

banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi

pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja.

Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak

7

mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resistensi

insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat

juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin diakibatkan sel β

pankreas yang menyusut secara progresif. Sel β pankreas umumnya masih

aktif hanya sekresi insulinnya berkurang. Penyusutan sel β pankreas dan

resistensi inulin mengakibatkan kadar gula darah meningkat (Tjay dan

Rahardja, 2002). Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada

penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Pasien DM tipe

2 sering mengalami komplikasi seperti hipertensi, hiperlipidemia dan

infeksi (Triplitt dkk., 2008).

3). Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul

selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara.

DM gestasional ini terjadi pada 7% dari seluruh kehamilan. Terapi pada

DM tipe ini bertujuan menurunkan kecacatan dan mortalitas pada ibu dan

janinnya (Triplitt dkk., 2008).

4). Diabetes Melitus Tipe Lain

Dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel β, kelainan genetik kerja

insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat

kimia, infeksi, sebab imunologi dan sindrom genetika lain yang

berkaitan dengan diabetes melitus (Katzung dkk., 2002).

8

c. Patofisiologi Diabetes Melitus

Terdapat dua masalah utama pada DM yaitu resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan

meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk

kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa (Corwin, 2001). Mekanisme

inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin

dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus

terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-

sel β tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan

terjadi DM tipe 2 (Corwin, 2001).

Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Melitus (Corwin, 2001)

9

d. Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas

DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan penyebabnya. Penurunan tingkat pertumbuhan dan kerentanan

terhadap infeksi juga dapat terjadi pada hiperglikemia kronik (ADA, 2009).

Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu

> 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan

kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL juga dapat digunakan sebagai patokan

diagnosis DM.

Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk

menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut

dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang

abnormal tinggi (≥ 200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang

abnormal tinggi (≥ 126 mg/dL), atau dari hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

didapatkan kadar glukosa darah puasa plasma 2 jam paska pembebanan 75 gram

glukosa ≥ 200 mg/dL (ADA, 2009 ; Triplitt dkk., 2008). Tes Toleransi Glukosa

Oral (TTGO) lebih sensitif dan spesifik daripada pemeriksaan gula darah puasa

(ADA, 2009). Sementara HbA1c merupakan gold standar untuk monitoring kadar

gula darah pada jangka waktu yang panjang (Triplitt dkk., 2008). HbA1c dapat

digunakan untuk diagnosis DM menurut ADA (2012) yaitu bila nilai HbA1c >

6,5.

10

e. Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1). Komplikasi akut

Komplikasi akut dari diabetes melitus adalah terjadinya kondisi

hipoglikemia dan hiperglikemia. Hipoglikemia adalah kadar glukosa

darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Gejala umum

hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-

debar, pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta bisa koma.

Apabila tidak segera ditolong akan terjadi kerusakan otak dan akhirnya

kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel

otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan

dapat mengalami kerusakan (PERKENI, 2011). Hipoglikemia lebih

sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per

minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian

pada penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia.

Komplikasi akut yang lain adalah terjadinya hiperglikemia.

Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-

tiba. Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia,

kelelahan yang parah dan pandangan kabur. Hiperglikemia yang

berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang

berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non

Ketotik (KHNK) dan kemolaktoasidosis. Ketoasidosis diabetik diartikan

tubuh sangat kekurangan insulin dan sifatnya mendadak. Akibatnya

11

metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel

lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam

urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah

menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri dan mengalami

koma. Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi berat, hipertensi dan

syok. Komplikasi ini diartikan suatu keadaan tubuh tanpa penimbunan

lemak, sehingga penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat

dan dalam, sedangkan kemolaktoasidosis diartikan sebagai suatu

keadaan tubuh dengan asam laktat tidak berubah menjadi karbohidrat.

Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat (hiperlaktatemia)

dan akhirnya menimbulkan koma (Triplitt dkk., 2008).

2). Komplikasi kronis

Kondisi diabetes melitus yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

komplikasi kronis yang berakibat pada kerusakan dari pembuluh darah.

Komplikasi kronis dapat dibagi menjadi komplikasi makrovaskuler dan

mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang

pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada

sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal

jantung kongetif dan stroke. Pencegahan komplikasi makrovaskuler

sangat penting dilakukan, maka penderita harus dengan sadar mengatur

gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet gizi

seimbang, olahraga teratur, tidak merokok dan mengurangi stress.

(Triplitt dkk., 2008). Sementara itu komplikasi mikrovaskuler terutama

12

terjadi pada penderita DM tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan

pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan

dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan

pada pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati

(kebutaan), neuropati dan amputasi (Triplitt dkk., 2008).

f. Penatalaksaan Diabetes Melitus

1). Terapi tanpa obat

Untuk pengobatan diabetes melitus dapat didukung dengan terapi tanpa

obat, antara lain dengan pengaturan diet atau pola makan dan olahraga.

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes. Diet yang

dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang terkait dengan

karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan

pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan fisik yang

pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat

badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi

resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus

glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%

berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap

kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan

tambahan waktu harapan hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil

penelitian di luar negeri bahwa diet tinggi karbohidrat bentuk kompleks

(bukan disakarida atau monosakarida) dan dalam dosis terbagi dapat

13

meningkatkan atau memperbaiki pembakaran glukosa di jaringan

perifer dan memperbaiki kepekaan sel β di pankreas. Salah satu alternatif

terapi tanpa obat adalah dengan berolah raga secara teratur akan

menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang

disarankan adalah yang bersifat Continuous, Rhymical, Interval,

Progressive, Endurance Training dan disesuaikan dengan kemampuan

serta kondisi penderita dapat memperbaiki metabolisme glukosa, asam

lemak, ketone bodies dan merangsang sintesis glikogen (PERKENI,

2011).

2). T erapi obat

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil

mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan

langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat

dapat dilakukan dengan antidiabetika oral, terapi insulin atau kombinasi

keduanya (Triplitt dkk., 2008). Insulin merupakan protein kecil dengan

berat molekul 5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino

yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan jembatan

disulfid, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut (Katzung

dkk., 2002). Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau

pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain

bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara,

misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang

memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin

14

merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat

maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain

menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar

jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan

pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian

glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.

Alternatif lain untuk pengobatan adalah obat antidiabetika oral. Ada

berbagai macam jenis obat antidiabetika oral yang berdasarkan cara

kerjanya dibagi menjadi 3 golongan yaitu : pemicu sekresi insulin

(sulfonilurea dan glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin

(biguanid dan thiazolidindion), penghambat absorpsi glukosa (α-

glucosidase inhibitor). Pemberian obat antidiabetika oral ini sebagai

terapi awal bagi pasien yang baru menderita diabetes melitus dan

digunakan pada pasien dengan diabetes melitus tipe II.

Tabel I. Perbandingan Antidiabetika Oral (PERKENI, 2011)

Nama Obat Cara Kerja Reduksi

Keuntungan Kerugian Utama HbA1c

Sulfonilurea Meningkatkan

sekresi insulin 1,0-2,0%

Sangat

efektif

Meningkatkan berat

badan, hipoglikemia

(glibenklamid dan

klorpropamid)

Glinid Meningkatkan

sekresi insulin 0,5-1,5%

Sangat

efektif

Meningkatkan berat

badan, pemberian

3x/hari, harganya

mahal dan

hipoglikemia

Metformin

Menekan

produksi

glukosa hati &

menambah

sensitivitas

terhadap insulin

1,0-2,0%

Tidak ada

kaitan

dengan berat

badan

Efek samping

gastrointestinal,

kontraindikasi pada

insufisiensi renal

15

Tabel I. Lanjutan Perbandingan Antidiabetika Oral (PERKENI, 2011)

Penghambat

glukosidase- alfa

Menghambat

absorpsi

glukosa

0,5-0,8%

Tidak ada

kaitan

dengan berat

badan

Sering menimbulkan

efek gastrointestinal,

3x/hari dan mahal

Tiazolidindion

Menambah

sensitivitas

terhadap insulin

0,5-1,4 %

Memperbaiki

profil lipid

dengan

sangat efektif

Retensi cairan, CHF,

fraktur, berpotensi

menimbulkan infark

miokard, dan mahal

DPP-4 Inhibitor

Meningkatkan

sekresi insulin,

menghambat

sekresi

glucagon

0,5-0,8%

Tidak ada

kaitan

dengan berat

badan

Penggunaan jangka

panjang tidak

disarankan, mahal

(PERKENI , 2011)

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa

parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

penatalaksanaan DM dan dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Target Penatalaksanaan DM (ADA, 2009)

Parameter Kadar Ideal yang

Diharapkan

Kadar glukosa darah puasa 80-120 mg /dl

Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dl

Kadar glukosa darah saat tidur 100-140 mg/dl

Kadar insulin 110-150 mg/dl

Kadar HbA1c < 7%

Kadar kolesterol HDL >55 mg/dl (wanita)

> 45 mg/dl (pria)

Kadar trigliserida <200 mg/dl

16

2. Ulkus Diabetik

a. Definisi Ulkus Diabetik

Ulkus Diabetik adalah adanya tukak, borok atau kerusakan jaringan yang

berhubungan dengan kelainan saraf dan pembuluh darah yang diakibatkan karena

diabetes melitus pada tungkai bawah alat gerak pasien diabetes melitus. Masalah

yang timbul ini diakibatkan oleh gangguan atau kerusakan saraf, gangguan atau

kerusakan pada pembuluh darah, dan infeksi. Infeksi terjadi karena bakteri mudah

masuk melalui luka pada kaki kemudian tumbuh, menyebar dan dapat

menyebabkan infeksi.

Semakin lama luka ulkus terbuka dan tidak dirawat semakin besar pula

risikonya untuk terkena infeksi bakteri (Kalla, 2006). Bakteri patogen yang tumbuh

subur terutama adalah bakteri anaerob karena organ yang terinfeksi kekurangan

pasokan oksigen akibat berkurangnya aliran darah. Bakteri anaerob berperan besar

untuk menimbulkan infeksi dan gangren karena bekerja sinergis dalam

pembentukan gas kemudian menjadi gas gangren (Misnadiarly, 2001).

b. Epidemiologi Ulkus Diabetik

Kurang lebih 15% penderita DM akan mengalami ulkus pada kaki. Kejadian

ulkus diabetik dari berbagai populasi berkisar 2-10%. Neuropati, kelainan bentuk

kaki, tekanan pada kaki yang terlalu tinggi, rendahnya kontrol glukosa darah, lama

menderita DM merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya ulkus diabetik

(Frykberg dkk., 2006). Penanganan ulkus dapat dilakukan secara rawat jalan,

namun jika timbul infeksi menjadi alasan utama untuk menjalani rawat inap di

17

rumah sakit karena pengobatannya akan lebih terkontrol daripada rawat jalan.

c. Patofisiologi Ulkus Diabetik

Ulkus diabetik merupakan salah satu penyakit komplikasi dari diabetes

melitus. Secara garis besar penyebab dari terjadinya ulkus diabetik diperantarai oleh

3 hal, yaitu terjadinya neuropati perifer, gangguan pembuluh darah dan adanya

infeksi. Ketiga hal tersebut secara tunggal maupun gabungan dari antara ketiganya

berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit ulkus diabetik.

Gambar 2. Patofisiologi Ulkus Diabetik (Frykberg dkk.,2006)

1). Neuropati perifer

Neuropati sensorik perifer, di mana seseorang tidak dapat merasakan

luka merupakan faktor utama penyebab ulkus diabetik. Kurang lebih 45-

18

60% dari semua penderita ulkus diabetik disebabkan oleh neuropati, di

mana 45% nya merupakan gabungan dari neuropati dan iskemik. Bentuk

lain dari neuropati juga berperan dalam terjadinya ulserasi kaki.

Neuropati perifer dibagi menjadi 3 bagian, yaitu neuropati motorik yaitu

tekanan tinggi pada kaki ulkus yang mengakibatkan kelainan bentuk

kaki, neuropati sensorik yaitu hilangnya sensasi pada kaki, dan yang

terakhir adalah neuropati autonomi yaitu berkurangnya sekresi kelenjar

keringat yang mengakibatkan kaki kering, pecah-pecah dan membelah

sehingga membuka pintu masuk bagi bakteri (Frykberg dkk., 2006).

2). Gangguan pembuluh darah

Gangguan pembuluh darah perifer (Peripheral Vascular Disease atau

PVD) jarang menjadi faktor penyebab ulkus secara langsung. Walaupun

demikian, penderita ulkus diabetik akan membutuhkan waktu yang lama

untuk sembuh dan resiko untuk diamputasi meningkat karena insufisiensi

arterial. Gangguan pembuluh darah perifer dibagi menjadi 2 yaitu

gangguan makrovaskuler dan mikrovaskuler, keduanya menyebabkan

usaha untuk menyembuhkan infeksi akan terhambat karena kurangnya

oksigenasi dan kesulitan penghantaran antibiotika ke bagian yang

terinfeksi. Oleh karena itu penting diberikan penatalaksanaan iskemik

pada kaki (Frykberg dkk., 2006).

3). Infeksi

Berkurangnya aliran darah akan menghambat penyembuhan luka

19

sehingga dapat menyebabkan infeksi (Frykberg dkk., 2006). Peningkatan

gula darah juga menghambat kerja leukosit sehingga penyembuhan

infeksi menjadi lebih lama. Luka dapat berkembang menjadi ulkus,

gangren bahkan menjalar sampai terjadi osteomyelitis. Jika

penanganannya tidak tepat dan cepat, meningkatkan risiko penderita

untuk mengalami amputasi (Slater, 2001; Tambunan dan Gultom, 2009).

d. Faktor Risiko Ulkus Diabetik

Faktor risiko yang umumnya menjadi penyebab ulkus diabetik antara lain

adalah pasien telah menderita diabetes lebih dari 10 tahun, adanya riwayat

amputasi, adanya riwayat ulkus kaki, neuropati perifer, penyakit pembuluh darah

perifer, nefropati diabetik, dialisis, perubahan pada struktur kaki serta adanya

aktivitas merokok atau menggunakan nikotin (Frykberg dkk., 2006). Kontrol gula

darah yang buruk (nilai HbA1c > 9) juga berperan memperburuk ulkus diabetik,

sehingga penting untuk menurunkan nilai HbA1c kurang dari 7 (Sherman, 2010).

Neuropati perifer merupakan komplikasi mikrovaskuler utama, bersama tekanan

berlebihan terkait dengan trauma atau kelainan pada kaki dapat berperan penting

dalam perkembangan ulkus diabetik (Sherman, 2010).

e. Bakteri Isolasi Pada Ulkus Diabetik

Bakteri yang umumnya berkembang dan menginfeksi pasien ulkus diabetik

antara lain bakteri aerob Gram positif terbentuk kokus yaitu Staphylococcus aureus

maupun β-hemolitik streptococcus. Pada luka yang kronis bisa berkembang koloni

20

bakteri yang kompleks meliputi enterococci, enterobacteriaceae, anaerob obligat,

bahkan Pseudomonas aeruginosa dan terkadang Gram negatif aerob yang lain

(Lipsky, 2004).

Namun dewasa ini berdasarkan penelitian Turhan dan Mutluoglu (2013)

seperti yang terlihat pada tabel III, dinyatakan bahwa terjadi pula kenaikan insidensi

infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pseudomonas aeruginosa

menjadi bakteri penyebab infeksi terbesar dalam penelitian tersebut.

Tabel III. Bakteri Isolasi pada Infeksi Kaki Diabetik (Turhan dan Mutuoglu, 2013)

f. Penatalaksanaan Ulkus Diabetik

Outcome atau dampak terapi yang diharapkan adalah sembuh. Semakin

cepat sembuh memperkecil kemungkinan terjadinya infeksi. Ulkus pada pasien

diabetes harus dirawat. Tujuan perawatan ulkus diabetik yaitu mengurangi risiko

infeksi dan amputasi, memperbaiki fungsi dan kualitas hidup pasien serta

mengurangi biaya perawatan kesehatan.

Sasaran terapi ulkus diabetik adalah kuman penyebab infeksi. Infeksi

Kelompok Nama Bakteri Jumlah

Persentase

(%)

Gram Positif Staphylococus aureus (MS) 29 9,29

Staphylococus aureus (MR) 23 7,37

Enterococcus spp 36 11,54

Staphylococcus (coagulase negatif) 16 5,13

Micrococcus spp 9 2,88

Streptococcus spp 8 2,56

Gram Negatif Pseudomonas spp 93 29,81

Enterobacter spp 22 7,05

Escherichia coli 22 7,05

Klebsiella spp 12 3,85

Proteus spp 15 4,81

Acinobacter spp 8 2,56

Gram negatif lain 19 6,09

21

biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, bakteri Gram negatif aerob

seperti Enterobacter sp., Escherichia coli, Klebsiella sp., Proteus mirabilis,

Pseudomonas aeruginosa dan bakteri anaerob seperti Peptostreptococcus (Koda

Kimble dkk., 2008). Kuman penginfeksi dan antibiotika yang sensitif terhadap

kuman penginfeksi tersebut dapat diketahui dengan kultur dan sensitivitas tes.

Faktor-faktor penting perawatan ulkus diabetik adalah mencegah infeksi,

menghindari tekanan pada ulkus, membersihkan jaringan dan kulit mati atau

debridemen, melakukan pengobatan atau pembalutan luka dan mengatur kadar

glukosa darah agar tidak terlalu tinggi. Perawatan dan pembalutan luka juga penting

untuk mencegah infeksi. Jenis-jenis perawatan dan pembalutan tergantung tingkat

keparahan ulkus. Sebagian besar ulkus keadaannya semakin baik dengan

pengurangan tekanan dan pembalutan luka (Kalla, 2006).

Strategi terapi pada ulkus diabetik meliputi :

1). Pengurangan Tekanan Pada Ulkus (Off-Loading)

Pengurangan tekanan pada ulkus merupakan faktor penting pada

penyembuhan luka ulkus (Frykberg dkk., 2006). Dengan dilakukannya

off-loading pada pasien merupakan salah satu usaha mencegah tekanan

mekanik akibat stress pada ulkus (Slater, 2001). Saat terjadi ulkus, pasien

dianjurkan untuk tidak menggunakan kaki yang mengalami ulkus

sebagai penumpu berat tubuh, baik ketika berjalan maupun melakukan

aktivitas sehari-hari.

Terapi nonfarmakologis untuk mengurangi tekanan pada kaki yang

mengalami ulkus seperti dilakukan pemeriksaan kondisi telapak kaki

22

dengan mencari perubahan apapun dan atau kerusakan kulit seperti

merah, bengkak, keretakan kulit, luka-luka, perdarahan, gatal atau mati

rasa. Perubahan apapun di telapak kaki menjadi tahap awal yang

kemungkinan besar dapat menjadi berat. Menjaga telapak kaki selalu

bersih dengan mencuci kaki dengan sabun dan air hangat setiap hari

untuk menjaga kebersihan telapak kaki. Sepertiga dari seluruh penderita

DM menderita kekeringan kulit pada telapak kaki. Perlu diberikan

pelembab setiap hari pada telapak kaki untuk mencegah kekeringan dan

pecah-pecah kulit karena kerusakan kulit dapat menjadi masalah serius.

(Kalla, 2006). Selalu mengenakan pakaian longgar hindari seperti

menggunakan kaos kaki yang terlalu kencang atau pakaian yang dapat

membatasi aliran darah menuju telapak kaki. Sebaiknya menghindari

memotong sendiri kalus-kalus pada telapak kaki tanpa pertolongan

petugas kesehatan karena dapat memicu infeksi. Terjadinya infeksi harus

dihindari pada pasien DM karena dapat mengakibatkan komplikasi yang

semakin berat (Kalla, 2006). Memelihara berat badan yang sesuai agar

tekanan pada kaki berkurang, serta menjaga kondisi telapak kaki.

Sebelum menggunakan sepatu, periksa dan pastikan tidak ada kerikil atau

permukaan kasar di dalam sepatu. Pastikan kaos kaki yang akan

digunakan tidak ada lipatan kasar atau daerah yang ditambal. Segala

sesuatunya harus benar-benar pas dan nyaman (Kalla, 2006).

2). Debridemen

Debridemen merupakan tahap awal evaluasi ulkus. Debridemen

23

menghilangkan semua jaringan nekrosis yang ada di sekeliling ulkus

sampai dinyatakan sehat dan tidak terjadi perdarahan lagi di tepi luka.

Sesudah debridemen sebaiknya ulkus diperiksa untuk menentukan

keterlibatan struktur-struktur mendasar seperti tendon, tulang atau tulang

sendi. Keterlibatan struktur-struktur mendasar, ada tidaknya iskemia dan

infeksi harus ditentukan sebelum dilakukan penggolongan kondisi klinis

pasien yang tepat untuk membuat rencana perawatan yang akan

dilaksanakan (Armstrong dan Lavery, 1998). Tanpa memperhatikan

perawatan, terdapat beberapa ulkus yang tidak dapat sembuh. Ulkus

diabetik seringkali lambat sembuh. Salah satu penyebabnya adalah

protein-protein yang menyembuhkan luka atau faktor-faktor

pertumbuhan rusak. Faktor-faktor pertumbuhan ini adalah protein-

protein yang memegang peranan penting dalam proses penyembuhan

luka. Tidak berfungsinya faktor-faktor pertumbuhan menyebabkan ulkus

tidak dapat sembuh (Kalla, 2006).

3). Antibiotika Ulkus Diabetik

Penggunaan terapi antibiotika dilihat dari munculnya gejala infeksi pada

pasien. Antibiotika merupakan senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh

suatu organisme yang hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur

analognya yang dibuat secara sintetik dan dalam kadar rendah mampu

menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih

mikroorganisme (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

24

Tabel IV. Pembagian Tingkat Keparahan Ulkus DM Secara Klinis (Lipsky dkk., 2012)

Tingkat Keparahan Ulkus Keterangan

Tidak terinfeksi Tidak ada tanda-tanda peradangan.

Ringan Terjadi minimal 2 tanda infeksi seperti : Terjadi nanah, kemerahan,

sakit, nyeri, dan panas atau hangat.

Terjadi nyeri di kulit dan jaringan subkutan, terjadi kemerahan 0,5-2

cm. Tidak termasuk nyeri karena respon inflamasi seperti benturan,

asam urat, nyeri tulang dan saraf

Sedang Terjadi lokal infeksi seperti diatas. Terjadi nyeri dan peradangan > 2

cm, nyeri terletak lebih dalam dari subkutan.

Tidak terjadi nyeri secara sistemik.

Berat

Terjadi tanda infeksi seperti yang telah disebutkan, mulai muncul

tanda sepsis. Terjadi demam > 38oC atau suhu menurun hingga <

36oC. Terjadi takikardi > 90 x/menit. Kecepatan pernapasan

meningkat 20 x/menit, tekanan parsial CO2 < 32 mmHg

Sel darah putih < 4000 atau > 12000 sel/microliter dengan > 10% merupakan sel yang belum matang

Terapi farmakologis dilakukan dengan pemberian antibiotika.

Antibiotika dan pembedahan penting untuk ulkus terinfeksi. Perawatan

pasien rawat jalan dilakukan dengan merawat dan membersihkan luka,

kultur kuman dan pemberian antibiotika oral kemudian dievaluasi dalam

tiga sampai lima hari. Perawatan pasien rawat inap dilakukan dengan

pembedahan, kultur darah dan luka selanjutnya pemberian antibiotika

empiris sebagai permulaan (Lipsky dkk., 2012). Pengobatan ulkus

dimulai dengan mengenal dan menghilangkan penyebab (Kalla, 2006).

Pemberian antibiotika untuk penanganan infeksi agar lebih tepat dan

efisien sebaiknya berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi yang

lengkap dan ditunjang dengan suatu penelitian terkait dengan obat–

obatan vaskular (Misnadiarly, 2001).

25

Tabel V. Standar Terapi Antibiotika Empiris Pada Pasien Ulkus Diabetik (Lipsky, 2004)

Antibiotika empiris biasanya diberikan sebagai permulaan terapi sambil

menunggu hasil kultur dan sensitivitas tes. Terapi empiris juga diberikan

apabila kultur dan sensitivitas tes tidak dilakukan. Penggolongan tingkat

keparahan ulkus diabetik secara klinis berdasarkan diagnosis and

treatment of diabetic foot infections disajikan dalam tabel V. Terapi

empirik berdasarkan kondisi klinis dan hasil laboratorium pasien yaitu

leukosit, limfosit, monosit dan neutrofil nilainya melebihi normal. Terapi

absolut diberikan berdasarkan kultur dan sensitivitas tes. Untuk infeksi

yang parah, direkomendasikan untuk memulai terapi dengan antibiotika

spektrum luas sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas terhadap

antibiotika keluar.

No. Kondisi Klinis Pilihan Antibiotika Empirik

Oral: doksisiklin / klindamisin /sefaleksin /

1. Ringan trimetoprim–sulfametoksasol (TMP–SMX) /

amoksisilin/

amoksisilin–asam klavulanat / levofloksasin

Oral atau parenteral: TMP–SMX / ampisilin–

sulbaktam / levofloksasin

2. Sedang

Parenteral: sefoksitin / seftriakson / sefuroksim /

sefuroksim + metronidazol / tikarsilin / tikarsilin–asam

klavulanat /

piperasilin / piperasilin–tazobactam

Parenteral: piperasilin–tazobactam /

3. Berat levofloksasin + klindamisin / siprofloksasin +

klindamisin / imipenem /

vankomisin / seftazidim / vankomisin + metronidazol /

seftazidim + metronidazole

26

Tabel VI. Pemilihan Antibiotika Berdasarkan Bakteri Penginfeksi (Lipsky dkk., 2012)

Tingkat

Keparahan

Infeksi

Kemungkinan

Bakteri Antibiotika Dosis

Ringan (oral)

Methicilin-

resistant

Staphylococcus

aureus (MSSA)

Dicloxacillin

500 mg PO tiap 6 jam

Streptococcus spp Klindamisin** 300-450 mg PO tiap 6-8 jam

Sefaleksin** 500 mg tiap PO 6 jam

Levofloksasin** 750 mg PO per hari

Amoksisilin-klavulanat** 875/125 mg PO tiap 12 jam

Methicilin-

resistant S.aureus

(MRSA)

Doksisiklin

100 mg PO 2x1 hari

Trimethoprim/Sulfametoksazol 1-2 tablet (160/800 mg) tiap

12 jam

Sedang (Oral

atau Parenteral)

atau Parah

(Parenteral

MSSA ;

Streptococcus spp Sefoksitin**

2 gram IV tiap 6-8 jam

Enterobacteriae ;

Obligat anaerob Seftriakson

1-2 gram IV per hari

Ampisilin-Sulbactam** 3 gram IV tiap 6 jam

Moksifloksasin** 400 mg/hari IV/PO

Ertapenem** 1 g/hari IV

Tigesiklin**

100 mg IV lalu 50 mg IV tiap

12 jam

Siprofloksasin ** dengan

Klindamisin**

400 mg IV (500-750 mg PO)

q 12 h + 600 mg IV tiap 8

jam

Levofloksasin** dengan

Klindamisin**

750 mg/hari IV/PO + 600 mg

IV tiap 8 jam

Imipenem-Cilastatin** 500 mg IV tiap 6 jam

Meropenem 1 g IV tiap 8 jam

MRSA Linezolid** 600 mg IV/PO tiap 12 jam

Daptomisin** 4-6 mg/kg/hari IV

Vankomisin** 15-20 mg/kg IV tiap 8-12

jam

Pseudomonas

aeruginosa Piperasilin-tazobactam**

4,5 g IV tiap 6 jam

Aztreonam 2 gram IV tiap 6-8 jam

Sefepim 2 gram IV tiap 12 jam

Seftasidim 2 gram IV tiap 8-12 jam

Imipenem-Cilastatin** 500 mg IV tiap 6 jam

Meropenem 1 g IV tiap 8 jam

MRSA ;

Enterobacteriacae

;

Daptomisin, Linezolid,

Vankomisin +

Pseudomonas

dan obligat

anaerob

Antipseudomonas Beta-

Laktam ±

27

Agen antibiotika yang dicetak tebal merupakan agen yang sering digunakan untuk perbandingan

pada penelitian. Agen yang disetujui FDA untuk infeksi kaki diabetik ditunjukkan dengan huruf

dicetak miring

* Antibiotika yang disetujui untuk infeksi kulit berdasarkan studi yang mengecualikan pasien

dengan infeksi kaki diabetes (misalnya ceftarolin, televancin) tidak disertakan

** Antibiotika yang memperlihatkan keefektifan pada uji klinis termasuk pasien dengan kaki

diabetes

*** Daptomisin atau Linezolid dapat dijadikan pengganti Vankomisin

Penggunaan antibiotika harus diteruskan sampai infeksi benar-

benar teratasi. Durasi antibiotika pada ulkus kaki diabetik meliputi,

untuk infeksi ringan, durasi pemberian 1-2 minggu dan untuk infeksi

sedang sampai berat, durasi pemberian biasanya 2-4 minggu sudah

mencukupi tergantung pada jaringan yang terlibat dan debridemen yang

adekuat (Lipsky dkk., 2012).

F. Keterangan Empiris

Pentingnya melakukan evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien diabetes

melitus dengan komplikasi ulkus diabetik untuk membantu pasien mendapat tujuan

terapi sehingga dapat mewujudkan hasil terapi terbaik dari pengobatan yang

dilakukan.

Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran demografi

pasien, pola penggunaan antibiotika, ketepatan penggunan antibiotika dan respon

terapi penggunaan antibiotika pada pasien ulkus diabetik di instalasi rawat inap

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.

Tabel VI. Lanjutan Pemilihan Antibiotika Empiris Berdasarkan Bakteri Penyebab Infeksi (Lipsky

dkk., 2012)

Metronidazol 500 mg IV/PO

tiap 8 jam