BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

38
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini akan menarasikan mengenai peranan gerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi dalam melakukan kritik sosial terhadap pemerintah. Gerakan komunitas yang mencoba meniru keberhasilan gerak perjuangan para perupa menjelang kemerdekaan ini tengah memperjuangkan nasib kaum tertindas di lingkungan lahan pantai Kulon Progo. Lokus riset ini di sebuah komunitas yang bersemangat melakukan perjuangan membantu para petani pesisir pantai di kabupaten Kulon Progo dalam mempertahankan lahan pertaniannya. Rencana penambangan pasir besi di wilayah pesisir pantai selatan Kulon Progo itu bahkan telah menimbulkan konflik dan kekerasaan. Kemudahan ijin tambang yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menjadi awal mula meluasnya konflik ini sejak tahun 2006. Konflik yang semula merupakan konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah atau investor ini kini juga menjadi konflik horisontal dalam masyarakat. Hingga, banyak elemen masyarakat yang peduli atas kondisi tersebut dengan melakukan berbagai gerakan sosial untuk mengawal konflik. Taring Padi adalah sebuah komunitas seniman bersemangat kerakyatan pertama pasca orde baru yang lantang menyuarakan bahwa seni dan politik tidak dapat dipisahkan (W. Indra, 2012). Komunitas ini yang juga ikut mewarnai gerakan sosial di wilayah pesisir pantai Kulon Progo merupakan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini akan menarasikan mengenai peranan gerakan sosial yang

dilakukan oleh komunitas Taring Padi dalam melakukan kritik sosial terhadap

pemerintah. Gerakan komunitas yang mencoba meniru keberhasilan gerak

perjuangan para perupa menjelang kemerdekaan ini tengah memperjuangkan

nasib kaum tertindas di lingkungan lahan pantai Kulon Progo. Lokus riset ini di

sebuah komunitas yang bersemangat melakukan perjuangan membantu para

petani pesisir pantai di kabupaten Kulon Progo dalam mempertahankan lahan

pertaniannya. Rencana penambangan pasir besi di wilayah pesisir pantai

selatan Kulon Progo itu bahkan telah menimbulkan konflik dan kekerasaan.

Kemudahan ijin tambang yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon

Progo menjadi awal mula meluasnya konflik ini sejak tahun 2006. Konflik

yang semula merupakan konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah

atau investor ini kini juga menjadi konflik horisontal dalam masyarakat.

Hingga, banyak elemen masyarakat yang peduli atas kondisi tersebut dengan

melakukan berbagai gerakan sosial untuk mengawal konflik.

Taring Padi adalah sebuah komunitas seniman bersemangat kerakyatan

pertama pasca orde baru yang lantang menyuarakan bahwa seni dan politik

tidak dapat dipisahkan (W. Indra, 2012). Komunitas ini yang juga ikut

mewarnai gerakan sosial di wilayah pesisir pantai Kulon Progo merupakan

2

antitesis bagi pemerintah. Sebab, keyakinannya akan kerja keseniaan adalah

praktik politik yang merupakan suatu bentuk aksi radikal. Komunitas ini

berpandangan bahwa kekuasaan pasti memiliki watak menindas (penindasan).

Sehingga, kerja kesenian juga harus bisa menggugah dan mengubah kesadaran

kelompok yang dirugikan dan membongkar segala bentuk penipuan yang

dilakukan oleh penguasa (tiran).

Pada tahun-tahun akhir masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia

(yang memanas tahun 1998), seluruh komponen bangsa ini bergerak bersama

menjadi sebuah gerakan pemikiran, gerakan moral dan kultural yang kuat

kemudian merespon situasi sosial-politik negeri ini (Wulandari, 2008). Setting

memanasnya iklim politik Indonesia itu menjadi momentum kelahiran dari

komunitas Taring Padi.

Taring Padi dikenal sebagai kelompok pekerja seni-budaya yang

berproses untuk menciptakan karya-karya seni yang progresif. Komunitas ini

memakai seni bertema slogan-slogan kerakyatan sebagai media gerakannya.

Karya-karya seni yang kental dengan pesan revolusioner ini tercipta dengan

dilatar-belakangi oleh isu- isu mengenai kesejahteraan petani dan buruh,

perjuangan kelas, demokrasi, militerisme, hingga politik lingkungan hidup

yang tercermin dalam karyanya. Sebab, seni tidak hanya mereproduksi

kehidupan, melainkan menjelaskannya: hasil-hasil seni acap kali “mempunyai

tujuan untuk melakukan penilaian atas gejala-gejala kehidupan” (Plekhanov,

G.V, 1977).

3

Karya-karya seni yang menjadi andalan komunitas Taring padi dalam

menyampaikan pesan-pesan revolusioner adalah melalui produksi poster kartun

dengan menggunakan teknik blockprinting (mencukil/tradisional) diatas kertas

atau kanvas. Komunitas inilah yang menyuarakan secara lugas dan lantang

karya-karya seni yang berisi teks-teks pembelaan rakyat. Contoh karya seni

yang berwujud seni rupa cukil kayu adalah “tanah untuk petani” dan ilustrasi

petani kurus, “jangan mau dibungkam” disamping gambar mulut terbuka,

“senjata tak selesaikan masalah” dengan gambar palu dan arit terbakar api.

Kegiatan lain yang dilakukan komunitas ini meliputi : penerbitan media

berkala Terompet Rakyat, kerja sama antar komunitas, pembuatan media

propaganda (seperti poster bertema, baliho, wayang-wayangan, instalasi), aksi

grafiti dan lain sebagainya (Wulandari, 2008).

Kehadiran komunitas Taring Padi memang patut diacungi jempol.

Bukan hanya karena komitmen dan keradikalan visi yang dibawanya, Taring

Padi juga memiliki kemandirian dan kolektivitas yang mampu membuat

komunitas ini bertahan bahkan sampai melakukan regenerasi. Sebagai salah

satu komunitas yang terus aktif menyampaikan kritikan, Taring Padi pun ikut

mewarnai gerakan sosial di kabupaten Kulon Progo dalam merespon kebijakan

penambangan pasir besi.

Sesuai penjelasan diatas, komunitas Taring Padi merupakan komunitas

seniman yang menentang segala bentuk penindasan dengan mengungkapkan

ekspresinya melalui sejumlah karya-karya seni. Kemudahan pemberian ijin

tambang kepada investor di wilayah pesisir pantai Kulon Progo dapat

4

didefinisikan sebagai suatu bentuk penindasan pemerintah terhadap rakyat.

Sebab, dengan terlaksananya kebijakan penambangan pasir besi dapat

membawa efek domino bagi lingkungan ekosistem, sosial dan ekonomi

masyarakat. Seperti, merusak ekosistem pesisir gumuk pasir, hilangnya fungsi

ekologis sebagai pencegah tsunami, merusak hubungan sosial kemasyarakatan

antara masyarakat yang pro dan kontra tambang, penggusuran lahan pertanian

dan pemukiman, serta penghapusan lapangan kerja masyarakat. Kemudahan

ijin ini juga syarat dengan muatan politis antara pejabat pemerintah dan

investor yang memperbesar peluang akan adanya tindakan korupsi. Masyarakat

pesisir pantailah yang sangat dirugikan atas rencana kebijakan penambangan

pasir besi ini.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui UU Tata Ruang

mengenai penggunaan lahan pesisir yang diperuntukan bagi kawasan

pertambangan menuai protes dari masyarakat, terutama para petani pesisir

pantai. Bahkan, kebijakan tersebut nyatanya tumpang tindih dengan UU No. 5

tahun 1960 mengenai hak masyarakat untuk mengelola lahan pasir karena

memiliki sertifikat sah. Hal ini memperlihatkan bahwa adanya ketidak-

percayaan antara pemerintah dan swasta terhadap peran dan kepentingan

masyarakat dalam mengelola lahan pasir tersebut sehingga konflik sulit

diselesaikan. Berbagai bentuk penolakan telah dilakukan oleh masyarakat

dengan melakukan demonstrasi, pemblokiran jalan masuk pilot project dan

upaya hukum yang mengalami kegaga lan. Kondisi sosial-politik yang terjadi di

sekitar pesisir pantai Kulon Progo tersebut membuat beberapa elemen

5

masyarakat peduli untuk merespon konflik tersebut melalui gerakan sosial,

seperti aktivis mahasiswa Kulon Progo, paguyuban petani lahan pantai, LBH,

tak terkecuali komunitas Taring Padi.

Gerakan perlawanan para seniman muda sebagai protes yang kemudian

memiliki implikasi lebih luas secara sosial-politik; tidak sekedar melawan

kemapanan nilai-nilai estetik-artistik, namun melebar menjadi medium untuk

melancarkan kritik sosial (atas segala ketimpangan sosial yang terjadi ketika

itu) (Wulandari, 2008). Peranan Taring Padi yang menjadikan seni sebagai

media perjuangan melawan ketertindasan pun dipertanyakan. Peranan Taring

Padi melakukan gerakan sosial dalam merespon kebijakan penambangan pasir

besi di Kulon Progo akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.

Dengan memahami pola-pola gerakan sosial yang dilakukan oleh

komunitas Taring Padi dalam merespon kebijakan penambangan pasir besi di

Kulon Progo. Inilah yang akan menjadi indikator dari instrumen apa yang

digunakan oleh komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik sosial

terkait dengan peranannya untuk mempengaruhi tindakan atau kebijakan

pemerintah.

Implikasi atau pengaruh yang ditimbulkan dari gerakan komunitas

Taring Padi terhadap pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten

Kulon Progo dan masyarakat Kulon Progo juga menjadi penting. Tentu saja,

instrumen yang digunakan dan pengaruh yang ditimbulkan dalam gerakan

komunitas Taring Padi ini menjadi dua variabel penting dalam melihat

keberhasilan gerakan, selain tujuan itu sendiri.

6

Merujuk pada studi mengenai seni dan realitas sosial yang tergambar

dalam kerja kesenian dari komunitas Taring Padi. Studi yang berjudul

Realisme Sosialis Georg Lukacs dapat menjelaskan konsep realisme sosialis

dalam hubungan (pertentangan) dengan humanisme universal, yang

ditempatkan dalam posisi berhadapan. Hingga para penentangnya

mengkhawatirkan akan kecenderungan menundukkan kegiatan dan pemikiran

artistik di bawah politik. Akibatnya realisme sosialis kemudian semata-mata

dipandang sebagai konsep tentang hubungan seni dan politik, yaitu tunduknya

sastrawan pada pemerintah partai atau garis politik organisasi. (Karyanto,

1997)

Namun studi tersebut ingin menjelaskan bahwa gagasan utama estetika

realisme adalah menghadirkan dengan tepat kepribadian manusia secara utuh.

Artinya realisme tidak akan menampilkan kekayaan potensial secara parsial

dan fragmentaris, karena dengan itu seniman realis melaksanakan “misi-seni”-

nya untuk membuka mata masyarakat supaya mampu melihat kembali

kepribadiannnya yang utuh (Karyanto, 1997). Akhirnya, realisme tidak hanya

sekedar mengkritik dunia borjuis kapitalis sebagai dunia yang chaos dan

anarkis, tapi juga mengembalikan jati diri kesatuan sosial, yaitu tatanan hidup

demokrasi yang humanis. Lukacs telah menempatkan manusia pada posisi

eksistensialnya sebagai makhluk yang mempunyai daya spriritual (kesadaran).

Sama halnya dengan tulisan ini, kajian mengenai komunitas Taring Padi ini

ingin mengungkap kerja kesenian yang digunakan untuk membangkitkan

kesadaran akan humanisme dalam konteks sosial-politik yang terjadi di Kulon

7

Progo. Sebab, realisme menghantarkan sastrawan atau seniman dan pembaca

pada suatu pemahaman yang sama mengenai tatanan sosial yang humanis.

Selain itu, merujuk studi-studi terdahulu soal komunitas Taring Padi

tidak memiliki persamaan dengan kajian ini. Studi tentang Taring Padi berjudul

Taring Padi: Seni Membongkar Tirani yang dibuat oleh komunitas ini sendiri

merupakan sebuah retrospeksi karya-karya kolektif dari Taring Padi sebagai

sebuah lembaga budaya yang berdiri akhir tahun 1998. Studi ini

mendokumentasikan reaksi radikal pekerja seni atas perubahan sosial politik di

Indonesia sejak Reformasi 1998 melalui kerja seni kolektif yang progresif,

inklusif, militan dan berkelanjutan hingga saat ini dengan disertai “pembacaan”

karya-karya dalam setiap 13 kategori tema didalamnya. Kajian dalam tulisan

ini pun berbeda, lebih terfokus pada dimensi peranan komunitas Taring Padi

dalam melakukan gerakan sosial guna merespon kebijakan penambangan pasir

besi di Kulon Progo.

Namun studi ini juga memiliki kesamaan dengan studi-studi terdahulu,

terutama dalam mempersoalkan gerakan sosial yang terjadi di kabupaten Kulon

Progo akibat adanya kebijakan penambangan pasir besi. Salah satunya adalah

studi yang ditulis oleh Sovya Mardanigrum (2010) tentang Dinamika Gerakan

Sosial Petani Pesisir Kulon Progo. Secara lebih sederhana, studi tersebut

mencerminkan kondisi dimana mekanisme terhadap akomodasi kepentingan

masyarakat tidak dapat dilakukan secara bottom up (proses pengakomodasian

aspirasi yang berasal dari masyarakat itu sendiri kepada pemerintah atau

institusi formal yang berwenang) sehingga memilih jalan ‘melawan’ negara

8

(baik secara langsung maupun tidak langsung) yang direpresentasikan oleh

gerakan-gerakan rakyat. Bedanya, kajian dalam tulisan ini lebih menfokuskan

pada gerakan rakyat diluar pihak yang terlibat dalam membantu perjuangan

gerakan sosial di kabupaten Kulon Progo.

Adapun perbedaan yang nyata dapat dilihat dari studi ini dibanding

studi gerakan sebelumnya terkait lokus penelitian, yakni peranan Taring Padi

dalam melakukan gerakan sosial. Namun ini pun tidak semata-mata

menjadikan perbedaan tunggal dengan studi-studi sebelumnya. Pengambilan

konteks lokal kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo sebagai

indikator dalam melakukan penilaian terbilang unik dan dinamis. Kemudahan

ijin tambang dan keunikan corak sumber daya alam di Kulon Progo yang

dilirik sebagai sebuah potensi investasi korporasi yang menggiurkan menjadi

awalan studi ini. Tantangan kajian atas isu sebagaimana diilustrasikan diatas,

penting untuk menitikberatkan pada bagaimana output gerakan yang dilakukan

komunitas Taring Padi, mencakup penilaian instrumen yang dilakukan dan

pengaruh yang ditimbulkan.

Kajian studi mengenai komunitas Taring Padi ini dimaksudkan untuk

membuka cakrawala baru mengenai pola-pola penyampaian kritik sosial yang

berkembang dalam masyarakat. Output yang dicapai pada gerakan komunitas

Taring Padi juga dapat memberikan gambaran mengenai keberlanjutan pola-

pola penyampaian kritik sosial dan berkembangnya komunitas yang serupa.

Ataukah justru output tersebut tidak memiliki korelasi yang berarti dalam

kemunculan kelompok-kelompok masyarakat sejenis. Karena bisa saja,

9

komunitas tersebut memang terbentuk atas dasar ketertarikan mereka terhadap

seni dan politik.

Kritik sosial yang dilakukan Taring Padi sejak tahun 1998 telah

memberikan kontribusi baru dalam perpolitikan Indonesia. Politik pun tidak

hanya terbatas pada dunia pemerintahan saja, namun politik dapat hadir di

dalam masyarakat, bahkan dalam dunia seni sekalipun.

B. Rumusan Masalah

“Bagaimana peranan komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik

terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terkait rencana

kebijakan penambangan pasir besi di dusun Garongan, Kulon Progo?”

a. Instrumen apa yang digunakan oleh komunitas Taring Padi dalam

melakukan kritik terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon

Progo terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi dusun

Garongan, Kulon Progo?

b. Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan komunitas Taring Padi

terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo terkait rencana

kebijakan penambangan pasir besi di dusun Garongan, Kulon Progo?

C. Tujuan Penelitian

Adapun setiap penelitian memiliki tujuan masing-masing, berkenaan dengan

tema yang diambil, penelitian ini bertujuan untuk:

10

1. Menjelaskan tindakan yang dilakukan oleh komunitas Taring Padi dalam

menyampaikan kritik terhadap pemerintah terkait rencana kebijakan

penambangan pasir besi di Kulon Progo.

2. Menjelaskan instrumen yang digunakan oleh komunitas Taring Padi.

3. Mengetahui peranan kesenian dalam realitas sosial dan politik yang terjadi

di Kulon Progo.

4. Mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari tindakan yang dilakukan

komunitas Taring Padi.

D. Landasan Teori

Persoalan mengenai komunitas Taring Padi sebagai sebuah gerakan

kebudayaan yang bergerak untuk mempengaruhi kekuasaan melalui kritik perlu

dikaji dengan menggunakan konsep atau teori. Pada dasarnya, semua penelitian

ilmiah pasti memerlukan teori yang menjadi landasan berpikir bagi penulis

untuk dapat membangun argumen dan membantu menjawab pertanyaan

penelitian, begitu juga penelitian mengenai komunitas Taring Padi. Penelitian

mengenai komunitas Taring Padi ini memiliki dua konsep kunci utama yaitu

mengenai gerakan sosial dan kritik kebijakan.

D.1. Gerakan Sosial

Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang lebih kuat

dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka

politik perlawanan yang mengarah pada interaksi berkelanjutan dengan

pihak-pihak lawan, hasilnya adalah gerakan sosial (Suharko, 2006).

11

Gerakan sosial adalah merupakan kelompok-kelompok yang bersifat tidak

melembaga dari berbagai anggota masyarakat yang tidak terwakili, yang

bergerak dalam alur interaksi yang berseberangan dengan elite atau pihak

yang beroposisi ( Suyanto, 2002).

Gerakan sosial sendiri selalu diidentikan dengan collective

behaviour, sebab gerakan sosial merupakan salah satu tipe dari collective

behaviour (perilaku kolektif). Collective behaviour dapat didefinisikan

sebagai tindakan-tindakan yang tidak berstruktur atau relatif spontan dari

sejumlah besar individu yang bereaksi terhadap suatu peristiwa dan

cenderung menyebal dari norma-norma yang berlaku (Haryanto, 2003).

Collective behaviour lebih bersifat emosional terwujud dalam huru hara,

kerusuhan, revolusi dan semua bentuk dari gerakan sosial. Sehingga,

Haryanto menyatakan gerakan sosial merupakan suatu usaha yang sengaja

diadakan oleh sekelompok individu yang terorganisir untuk menciptakan

terjadinya perubahan dalam pola interaksi masyarakat. Sejalan dengan

pengertian diatas, Anthony Giddens menyatakan gerakan sosial sebagai

upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan

mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif

diluar ruang lingkup lembaga- lembaga yang mapan (Putra, 2006).

Pada dasarnya, menurut Ritzer et. al (1979) terdapat lima

karakteristik yang harus ada dalam suatu gerakan, yaitu (Haryanto, 2003) :

a. Pertama, suatu gerakan melibatkan sebagian besar individu

yang berusaha memprotes suatu keadaan dengan jumlah

12

individu yang sesuai dengan persyaratan dasar dari suatu

organisasi.

b. Kedua, suatu gerakan harus memiliki skope yang relatif luas,

dimana pada akhirnya harus mampu mempengaruhi sebagian

masyarakat.

c. Ketiga, perlu adanya berbagai macam taktik dalam suatu

gerakan untuk mencapai tujuannya, baik menggunakan

kekerasaan atau tidak.

d. Keempat, meskipun suatu gerakan didukung oleh individu-

individu tertentu, namun tujuan akhirnya adalah merubah

kondisi yang ada pada masyarakat secara umum.

e. Kelima, gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara

sadar dilakukan untuk mengadakan perubahan, meski tidak

semua individu menyadari segala tindakannya tetapi tetap

mengetahui tujuan utamanya.

Sehingga, tidak semua aksi-aksi kolektif dapat didefinisikan sebagai suatu

gerakan, hanya aksi kolektif yang memenuhi karakteristik tersebutlah yang

dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan. Dimana, perbedaan utama

gerakan sosial dan collective behaviour terletak pada bentuk tindakan yang

dilakukan, yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Alhasil, domain utama

dalam gerakan sosial yaitu aktor, arena dan tujuan (capaian) juga harus

terdefinisi dengan jelas.

13

Gerakan sosial harus diletakan diatas bentuk aksi kolektif dan

memiliki basic ideologi yang dapat mengarahkan gerakan pada perubahan

yang dicita-citakan. Gerakan bukan aktivitas yang tidak punya konteks

sosial-politik-ekonomi, gerakan juga bukan sesuatu yang bersifat tindakan

sosial melainkan lebih dekat dengan reaksi sosial terhadap kedudukan

rendah yang melekat pada kelompok sosial tertentu. Gerakan merupakan

aksi kolektif terhadap kedudukan rendah, karena gerakan sosial selalu

mensyaratkan adanya (1) tingkat kesadaran tentang nasib yang dialami, (2)

berbentuk aksi kolektif, (3) bentuk aksi bersifat instrumental dan

dirancang untuk mencapai sasaran di luar aksi, dan (4) basis gerakan

adalah status rendah ekonomi-sosial-politik masyarakat atau golongan.

(Makinuddin, 2006)

Seperti halnya manusia, aksi-aksi kolektif yang dapat didefinisikan

sebagai gerakan pun memiliki watak yang menentukan arah atau sikap dari

gerakan tersebut, gerakan sosial atau gerakan politik. Penentuan watak

gerakan pun tidak mudah karena dalam kedua kubu pemikiran tersebut

terdapat ambiguinitas atau ketidakjelasan karakteristik dari masing-masing

watak. Antonio Gramsci menyatakan bahwa gerakan sosial, pada

akhirnya, tidak lain adalah gerakan politik (Mulyana, 2001). Hingga, tidak

jarang gerakan sosial yang berlangsung dalam suatu masyarakat dapat

berkembang menjadi suatu gerakan politik, atau paling tidak membawa

implikasi politik (Haryanto, 2003). Sebab, pada dasarnya gerakan sosial

14

politik memang bersifat kontra hegemonik dan menganut ideologi anti

pemerasan yang kental dengan nuansa politis.

Terlepas dari watak gerakan pada awalnya, benang merah antara

gerakan sosial dan gerakan politik pasti akan bermuara kepada satu titik

yaitu politik kekuasaan (Kamajaya, 2009). Akhirnya, pendefinisian watak

gerakan pada awal pergerakan pun tidak begitu penting. Menjadi penting

adalah ketika gerakan tersebut dalam melakukan pergerakannya telah

memberikan implikasi atau perubahan dalam masyarakat, baik sosial,

politik atau budaya.

Gerakan sosial pun tidak akan muncul dengan sendirinya, pasti ada

yang menjadi penyebab dari kemunculan gerakan sosial. Denny JA

menyatakan adanya tiga kondisi yang menyebabkan lahirnya gerakan

sosial, yaitu; pertama, gerakan sosial dilahirkan dengan kondisi yang

memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat

misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya

gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang otoriter. Kedua, gerakan

sosial timbul karena meluasnya ketidak-puasan atas situasi yang ada.

Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern misalnya,

akan menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin meluas antara si

kaya dan si miskin. Perubahan ini juga dapat menyebabkan kritis identitas

dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan itu

akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi

gerakan sosial. Ketiga, gerakan sosial semata-mata masalah kemampuan

15

kepemimpinan dari tokoh penggerak. Sang tokoh penggerak akan menjadi

inspirator, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan

sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.

(Fauzi, 2005)

Sedangkan menurut Haryanto, penyebab dari kemunculan gerakan

sosial adalah karena adanya kondisi yang penuh gelisah yang disebabkan

oleh rasa tidak puas atau kecewa terhadap keadaan yang ada dan adanya

keinginan untuk meraih tatanan baru. Sehingga, berkaitan dengan rasa

ketidakpuasan atau kekecewaan yang memunculkan gerakan sosial perlu

menyimak konsep breakdown-deprivation dan solidarity-mobilization.

Breakdown-deprivation merupakan suatu konsep yang membahas

mengenai kondisi sosial yang menimbulkan rasa ketidakpuasan dengan

kadar relatif tinggi dan memudarnya peran lembaga yang menjamin

perasaan aman dan stabil bagi masyarakat. Sedangkan, solidarity-

mobilization merupakan kemampuan orang untuk bertindak bersama-sama

guna menjelaskan asal usul dan perkembangan gerakan. (Haryanto, 2003)

Kedua konsep diatas saling melengkapi satu sama lain, sebab dapat

dianalogikan sebagai berikut; ketika lembaga atau pemerintah tidak dapat

menjamin rasa aman bagi masyarakat, maka akan muncul rasa

ketidakpuasan dan kecewa sehingga masyarakat akan bertindak secara

terorganisir dan kolektif yang melahirkan suatu bentuk gerakan sosial.

Alhasil, penyebab kemunculan gerakan merupakan suatu hasil dari bentuk

akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap tatanan yang ada dan secara

16

bersama-sama melakukan tindakan untuk mengadakan perubahan terhadap

tatanan yang jauh lebih baik.

Sedangkan, dalam menjelaskan tahapan perkembangan suatu

gerakan dapat menggunakan konsep value-added yaitu (Haryanto, 2003) ;

a. Tahap pertama, pernyataan spontan tentang ketidakpuasan

bersama. Hal ini berkaitan untuk menarik perhatian massa dalam

memberikan dukungan bagi berlangsungnya gerakan.

b. Tahap kedua, pemilihan pimpinan gerakan. Hal ini menjadi

sangat penting sebab peranan dari pimpinan gerakan yang

sangat besar untuk menentukan arah gerakan. Selain itu,

pemimpin gerakan harus dapat diterima dan mampu

mempengaruhi pengikutnya.

c. Tahap ketiga, transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi

tindakan yang terorganisir. Dengan kata lain, perubahan aksi

kolektif menjadi bentuk dari gerakan sosial yang sangat

dipengaruhi oleh pemimpin gerakan.

d. Tahap keempat, konfrontasi dengan “lawan” gerakan. Tahapan

ini merupakan tahapan dimana gerakan dalam posisi “action”

berhadapan dengan lawannya dan berupaya memaksanya untuk

menerima tuntutan dan kepentingannya.

e. Tahap kelima, pencapaian hasil berkaitan dengan sukses atau

gagalnya suatu gerakan mencapai tujuannya.

17

Dari tahapan perkembangan gerakan sosial diatas, tidak semua gerakan

dapat melewati keseluruhan tahapan tersebut. Sebab, tahapan

perkembangan gerakan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai

faktor lain, seperti kualitas pemimpin gerakan, kekuatan “lawan” gerakan

atau bahkan kekuatan gerakan dalam merealisasikan tujuannya.

Dalam merealisasikan tujuannya juga sangat dipengaruhi oleh

strategi gerakan yang dilakukan. Strategi gerakan diklasifikasikan menjadi

dua, yaitu kekerasan (violence) dan tanpa kekerasan (non violence).

Pemilihan strategi ini sangat bergantung pada faktor internal dan eksternal

dalam gerakan sosial. Faktor internal berkaitan dengan tujuan dan sasaran

dari gerakan sosial serta potensi atau kekuatan gerakan sehubungan

dengan kuantitas dan kualitas anggota terutama intensitas keterlibatan dan

keterikatan anggota satu sama lain. Sedangkan, faktor eksternal berkaitan

dengan kondisi lawan gerakan berhubungan dengan potensi dan kekuatan

lawan.

Strategi yang digunakan dalam gerakan komunitas kritik biasanya

dengan menggunakan instrumen yang dapat tersimpan dalam memori

kolektif berupa karya seni dan sastra. Herbert Marcuse menekankan

dimensi estetik dari gerakan sosial dengan menegaskan bahwa dalam seni

dan sastralah gerakan-gerakan sosial memiliki tradisi kritik dan

perlawanan (Marcuse, 1969). Gerakan sosial yang diwujudkan dalam

instrumen kebudayaan dapat membuat gerakan dan cita-cita sosial

18

bertahan dalam memori kolektif serta merupakan jantung dari reformasi

sosial.

Dalam suatu gerakan pasti menimbulkan implikasi gerakan.

Implikasi gerakan adalah keterlibatan atau keadaan terlibat yang

memberikan dampak atau pengaruh dalam gerakan. Implikasi dalam

gerakan sosial ini berkaitan erat dengan keberhasilan capaian atau tujuan

gerakan dalam mengadakan perubahan. Menurut Haryanto (2003),

terdapat 4 tipe kemampuan gerakan dalam mengadakan perubahan sosial,

yaitu; pertama, gerakan sosial alternatif adalah gerakan sosial yang

bertujuan melakukan perubahan terbatas hanya menyangkut individu-

individu tertentu. Kedua, gerakan sosial “penyelamatan” adalah gerakan

sosial yang mengarahkan perhatian pada beberapa individu dan berusaha

merubah kehidupan mereka secara radikal. Ketiga, gerakan sosial

reformatif adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan

terbatas pada seluruh masyarakat. Keempat, gerakan sosial revolusioner

adalah gerakan sosial yang bertujuan melakukan transformasi secara

mendasar.

Sedangkan menurut Willian Kornblum, berdasarkan tujuannya

gerakan sosial dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu (Sunarko,

1993); pertama, gerakan sosial disebut sebagai Revolutionary

Movement, apabila bertujuan untuk merubah secara menyeluruh tatanan

sosial, institusi dan stratifikasi sosial. Upaya transformasi sosial secara

menyeluruh itu biasanya dicapai dengan melakukan revolusi sosial yang

19

melibatkan massa besar dalam gerakan, menghasilkan proses perubahan

secara radikal, dan tidak jarang menggunakan kekerasan senjata. Contoh

dari gerakan ini adalah revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi di

Cina pada tahun 1949. Kedua, gerakan sosial yang bertujuan untuk

merubah sebagian institusi dan nilai yang ada di masyarakat

diklasifikasikan sebagai Reformist Movement. Boedi Oetomo yang

didirikan tahun 1908 di Jakarta merupakan gerakan reformis, karena

gerakan ini bertujuan untuk memberikan pendidikan formal kepada

pribumi. Ketiga, Conservative Movement adalah gerakan sosial yang

bertujuan untuk mempertahankan nilai dan institusi masyarakat. Contoh

dari gerakan ini adalah gerakan konservative wanita STOP ERA (Equal

Rights Amandement). Gerakan ini menentang usaha kaum feminis pada

tahun 80-an untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi menjamin

persamaan hak pria dan wanita. Keempat, Reactionary Movement adalah

suatu gerakan sosial yang bertujuan untuk mengganti institusi dan nilai

masa kini dengan institusi dan nilai masa lampau. Contoh yang diberikan

Kornblum adalah gerakan Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Organisasi

rahasia ini berusaha mengembalikan keadaan di Amerika serikat ke masa

lampau di kala institusi- institusi sosial mendukung keunggulan orang kulit

putih di atas orang kulit Hitam (White Supremacy).

Implikasi gerakan pun juga dipengaruhi oleh keberlangsungan dan

tahapan perkembangan dari gerakan sosial itu sendiri. Terdapat

kemungkinan keberlangsungan suatu gerakan sosial tidak dapat bertahan

20

lama karena berbagai faktor sehingga mempengaruhi tahapan

perkembangan gerakan dalam mencapai tujuan dan mengadakan

perubahan. Keberlangsungan gerakan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu

(Haryanto, 2003); pertama, ketidakpuasaan atau kekecewaan berkaitan

dengan seberapa besar tingkat kekecewaan masyarakat terhadap kondisi

yang ada sebagai alasan utama kemunculan gerakan sosial. Kedua,

harapan hari depan yang lebih cerah berkaitan dengan tujuan atau capaian

dalam gerakan sosial. Ketiga, kemampuan atau daya dalam mencapai

tujuan atau capaian. Ketiga hal tersebut merupakan indikator yang

memastikan suatu gerakan sosial merupakan gerakan yang terorganisir dan

memiliki arah yang jelas.

D.2. Kritik Kebijakan

Kritik kebijakan dapat didefinisikan sebagai sebuah respon atau

tanggapan atas proses kebijakan publik. Kritik kebijakan pun menjadi

salah satu bentuk konsepsi akan relasi rakyat dan negara dalam dimensi

kebijakan publik.

Kritik sendiri dapat diilustrasikan sebagai arena politik, sebab

merupakan ruang yang diwarnai oleh pertimbangan rasional dan kritis

untuk menghantam dan menekan penyelewengan yang dilakukan oleh para

pelanggar atau penindas (negara absolute dengan rezim yang represif).

Pada dasarnya, kritik merupakan ilustrasi dari suatu subjek masyarakat

yang bersifat kuasi-transendental (model universal dari diskusi rasional)

yang mengancam untuk melawan hierarki adalah peran dari kritikus dalam

21

melakukan penolakan terhadap absolutism maupun anarki (Eagelton,

2003). Sehingga, kritik menjadi sebuah proyek-proyek politik kultural dari

kaum borjuis di Eropa yang mampu menjangkau segala bidang, seperti

seni, etik, agama, filsafat dan kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan

perkembangannya, saat ini kritik tidak dilakukan oleh kaum borjuis,

namun merambah pada seluruh lapisan masyarakat.

Sedangkan, kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses

persentuhan negara dengan warganya di dalam suatu sistem politik

tertentu. Sebab, kehadiran kebijakan publik seharusnya tidak berpihak

pada kekuasaan, namun lebih sebagai pelayan aktualisasi kedaulatan

masyarakat dalam wacana perubahan kebijakan pada studi kebijakan

publik. Tujuannya adalah untuk lebih mendekatkan studi kebijakan publik

pada definisi dasarnya, yaitu alat pensejahtera dan pemenuh kebutuhan

masyarakat. (Putra, 2001)

Ketika berbicara tentang negara, mau tidak mau kebijakan publik

akan disinggung secara lebih spesifik. Mengutip Budiman (1996:89),

kebijakan merupakan keputusan-keputusan publik yang ditetapkan negara

dan dilaksanakan aparat birokrasi. Prosesnya meliputi tujuan-tujuan negara

dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang atau kelompok-

kelompok yang dilibatkan, dan bagaimana kebijakan ini dilaksanakan

aparat birokrasi. Batasan ini tampaknya berdekatan dengan definisi Dye

(1972), yang menyatakan kebijakan publik sebagai whatever goverments

choose to do or not to do. (Manalu, 2009)

22

Pandangan umum dalam melihat kebijakan publik yang sangat

kaku dan merupakan ilmu untuk kepentingan penguasa memang sangat

tampak dalam perpolitikan di Indonesia. Namun, perlu disadari kebijakan

publik merupakan proses yang dinamik dan kompleks saat ini. Sebab,

proses kebijakan publik dapat diilustrasikan sebagai arena terbuka untuk

melakukan bargaining dan tarik menarik kepentingan tanpa harus melalui

tahap-tahap rigid proses kebijakan publik.

Selanjutnya dalam suatu kebijakan tentunya tidak akan terlepas

dari proses pembuatan kebijakan, yaitu proses politik yang berlangsung

dalam tahap-tahap pembuatan kebijakan politik yang dilakukan oleh

penyelenggara negara. Dalam proses pembuatan kebijakan penguasa

politik harus memperhatikan tiga hal yakni posisi (dimana yang

bersangkutan berada), siapa yang dihadapi (masyarakat tradisional atau

masyarakat modern), dan tujuan yang hendak dicapai (Astuti, 2004).

Selain itu, perlu dipahami bahwa proses kebijakan publik tidak dipandang

sebagai sebuah pentahapan, namun sebagai potongan-potongan konseptual

dalam proses kebijakan yang tidak harus berjalan secara bertahap, ia dapat

bergerak secara dinamik sejalan dengan tarik menarik kepentingan yang

ada di masyarakat. Adapun beberapa tahapan dalam proses pembuatan

kebijakan adalah ; penyusunan agenda, formulasi kebijakan atau

perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan

penilaian kebijakan atau evaluasi kebijakan.

23

Konsep-konsep kritik rakyat atas negara dalam dimensi kebijakan

publik, diantaranya (Putra, 2001) :

a. Relasi perbedaan-perbedaan.

Perbedaan pada dasarnya melekat pada setiap masyarakat.

Sumber perbedaan itu pun dapat berangkat dari banyak hal,

misalnya, ideologi, agama, kepentingan, latar belakang

pendidikan dan sebagainya. Sehingga, penting untuk

membentuk relasi antara perbedaan-perbedaan itu menjadi

sebuah bentuk interaksi yang diskursif.

b. Revolusi

Gagasan Karl Marx akan konsep revolusi proletariat selalu

dikaitkan dengan revolusi. Kritik pun tidak pernah lepas dalam

konteks relasi rakyat dan negara. Sebab, kritik merupakan

kunci untuk memahami teori tentang negara dan tentang

kemungkinan untuk menghapuskannya. Konsep revolusi ini

meletakkan negara berada dibawah masyarakat sipil.

Masyarakat sipil yang menentukan negara dan membentuk

organisasi dan tujuan dari negara dalam lingkup hubungan

produksi.

c. Counter hegemony

Konsep counter hegemony dari Antonio Gramsci ini

menggambarkan betapa pentingnya peran kaum intelektual

dalam transformasi sosial pada wacana tentang kritik rakyat

24

atas negara. Seorang intelektual organik adalah seorang yang

tidak hanya memahami teori sebagai teori yang terlepas dari

realitas sosial, namun intelektual yang memanifestasikan

potensi perubahannya dalam realitas sesungguhnya, saat

berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang mendominasi.

Intelektual ini diharapkan menjadi counter hegemony yang

dilakukan oleh negara atau kelas dominan, dalam rangka

membela rakyat atau kelas yang tertindas (Sugiono, 1999:21).

d. Masyarakat komunikatif

Konsep masyarakat komunikatif dikenalkan oleh Jurgen

Habermas. Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang

melakukan kritik lewat revolusi dengan kekerasan, melainkan

argumentasi. Argumentasi dibedakan menjadi dua, yaitu

perbincangan atau diskursus dan kritik. Diskursus dilakukan

apabila mengandaikan konsensus rasional. Diskursus

dibedakan menjadi dua, yaitu diskursus teoritis adalah

diskursus untuk mencapai konsensus atas klaim kebenaran dan

diskursus eksplikatif untuk mencapai konsensus tentang klaim

komprehensibilitas. Sedangkan, kritik estetis dilakukan apabila

mempersoalkan norma-norma sosial yang dianggap obyektif.

Kritik terapeutis dilakukan untuk mengungkapkan penipuan

diri masing-masing pihak.

25

Sejauh ini kebijakan publik memang belum menjadi titik fokus dalam

studi gerakan sosial, namun beberapa studi gerakan sosial tahun 1960 dan

1970-an misalnya sudah memberi fokus pada kebijakan sebagai hasil (pay off)

mobilisasi protes sosial. Lipsky menyatakan, protes merupakan strategi politik

bagi masyarakat yang diposisikan tidak adil (poorly positioned) untuk

memperjuangkan kepentingan mereka. Bahkan, Piven dan Cloward

menunjukan protes yang mengacaukan adalah cara yang paling baik dan

tersedia bagi kaum miskin untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Menurut Meyer (2002) sendiri, meskipun karya Piven dan Cloward ini banyak

ditentang para ahli, karya mereka tetap memberikan sumbangsih bagaimana

protes bekerja mempengaruhi kebijakan. (Manalu, 2009)

Seperti telah diutarakan sebelumnya, gerakan-gerakan sosial bertujuan

untuk menuntut perubahan di dalam sistem politik. Namun, sejauh mana

gerakan memliki dampak yang nyata dilihat dari perubahan kebijakan yang

dihasilkan. Sebab, umumnya gerakan sosial dibangun untuk mencerminkan

ketidakpuasan terhadap kebijakan yang berlangsung. Konkretnya, dampak

gerakan sosial ini bisa dilihat dari adanya keputusan baru dan apakah

keputusan itu benar-benar dilaksanakan.

Jika berangkat dari kacamata kebijakan publik, Schumaker memberikan

tipologi yang lebih spesifik menyangkut dampak atau keberhasilan gerakan

sosial dalam mempengaruhi kebijakan. Pertama, terbukanya akses (access

responssiveness), yakni mengindikasikan tingkat di mana pemilik otoritas

(target) bersedia mendengarkan tuntutan organisasi gerakan. Kedua, respons di

26

tingkat agenda (agenda responssiveness), ketika, target atau pemilik otoritas

rela menempatkan tuntutan gerakan pada agenda politiknya. Ketiga, respons

kebijakan (policy responssiveness), yakni ketika pemilik otoritas mengadopsi

kebijakan baru (khususnya legislasi) yang kongruen dengan tuntutan gerakan.

Keempat, hasil yang dicapai (output responssiveness), yakni ketika pemilik

otoritas secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru. Kelima, dampak

yang terjadi (impact responssiveness), yakni tingkat aksi-aksi maupun respons

sistem politik berhasil meredakan dan menjawab tuntutan gerakan.

Berdasarkan konsepsi teoritik mengenai gerakan sosial dan kritik

kebijakan diatas, maka penelitian ini akan menggunakan alur logika sebagai

berikut ;

Gambar 1.2. Alur Logika Berpikir

Kebijakan Pertambangan

Ketidak-puasaan

Gerakan Sosial

Kritik Kebijakan (Counter

Hegemony)

Taring Padi

27

E. Definisi Konseptual

Definisi konseptual merupakan penarikan batasan yang menjelaskan

suatu konsep secara singkat, jelas dan tegas dalam sebuah penelitian agar tidak

menimbulkan interpretasi ganda dari variabel-variabel yang diteliti. Adapun

definisi konseptual dalam penelitian ini yaitu :

E.1. Gerakan Sosial

Transformasi komunitas kritik sebagai gerakan sosial lebih

menekankan pada peran komunitas kritik sebagai aktor utama dari gerakan

sosial. Komunitas kritik menjelma menjadi sebuah gerakan sosial ketika

melakukan serangkaian tindakan yang berasal dari hasil akumulasi

kekecewaan terhadap kondisi sosial, politik maupun budaya untuk

mengadakan perubahan pada pola interaksi tersebut sesuai dengan

karakteristik gerakan sosial.

E.2. Kritik Kebijakan

Kritik kebijakan adalah suatu respon atau tanggapan dari

masyarakat sebagai mekanisme kontrol terhadap kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah untuk mengatur negara sesuai dengan kepentingan rakyat

melalui bentuk kritikan.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan turunan dari definisi konseptual yang

memberikan penjelasan mengenai implementasi tipe konseptual secara teknis

agar pelaksanaan penelitian menjadi lebih jelas dan mudah diukur dengan

28

menguraikan setiap variabel. Sehingga dapat memberikan gambaran dari

desain penelitian guna mengetahui perspektif dan memandang teori yang

diajukan dalam penelitian serta mengetahui peranan komunitas dalam

melakukan gerakan untuk menanggapi berbagai isu. Adapun tolak ukur dalam

definsi operasional dari penelitian mengenai peranan komunitas dalam

melakukan gerakan sosial untuk merespon suatu isu dapat dilihat dari beberapa

indikator, yaitu :

F.1. Gerakan Sosial menunjukan pada peranan komunitas kritik dalam

melakukan gerakan sosial. Dengan melihat pada keberhasilan transformasi

komunitas kritik sebagai gerakan sosial pada segi aktor, pencapaian tujuan,

penggunaan instrumen gerakan, intensitas dan pengaruh yang ditimbulkan.

Sehingga, untuk menjelaskan secara lebih rinci mengenai peranan

komunitas kritik sebagai gerakan sosial, maka dapat dijembatani oleh

beberapa indikator, sebagai berikut;

• Asal usul atau latar belakang komunitas kritik.

• Karakteristik komunitas kritik sebagai gerakan sosial.

• Tujuan dari gerakan sosial yang dilakukan.

• Strategi, metode dan taktik komunitas kritik dalam melakukan

gerakan (instrumen yang digunakan).

• Dampak atau pengaruh gerakan sosial yang dilakukan, terkait

capaian gerakan.

F.2. Kritik Kebijakan menunjukan pada tanggapan atau respon yang

muncul dari masyarakat terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

29

Dimana, kebijakan tersebut melahirkan pro-kontra dimasyarakat sehingga

memunculkan berbagai respon melalui bentuk kritikan. Pemahaman

mengenai kritik kebijakan dapat dilihat dari beberapa indikator dibawah ini,

yaitu;

• Muatan-muatan yang terkandung atau isi kritik.

• Penggunaan bahasa, simbol dan gambar dalam kritik.

• Jumlah kritik yang disampaikan dalam merespon satu

kebijakan.

G. Metode Penelitian

G.1. Jenis Penelitian

Tulisan ini hendak melihat bagaimana peranan komunitas Taring

Padi dalam menyampaikan kritik terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten

Kulon Progo terkait rencana kebijakan penambangan pasir besi di dusun

Garongan, Kulon Progo. Penulisan penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif.

Pertimbangan pemilihan metode penelitian kualitatif sendiri

sebagai alat pegangan bagi penelitian ini dalam melihat realitas adalah

untuk dapat lebih menggali secara mendalam sebuah fenomena yang ada.

Sebab, penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran tentang suatu

masalah, gejala, fakta, peristiwa dan realitas secara luas dan mendalam

sehingga diperoleh suatu pemahaman baru. Jadi, bukan hanya pada apa

yang tampak melainkan juga meneliti apa yang melatarbelakangi

30

fenomena tersebut bisa terjadi yang merupakan keunggulan dari penelitian

dengan menggunakan metodologi kualitatif.

Sedangkan untuk desain penelitian yang dipakai adalah berbasis

case study research. Studi kasus adalah strategi penelitian yang

memfokuskan analisisnya terhadap sebuah fenomena atau kasus

kontemporer di dalam kehidupan nyata, baik itu satu kasus atau lebih yang

menitik-beratkan pada pertanyaan “how” atau “why” dan peneliti tidak

mempunyai kontrol yang besar terhadap kasus tersebut, sehingga bukti

dari multisumber perlu dimanfaatkan dengan sebaiknya untuk

mempertegas batas-batas antara kasus dengan konteks (Creswell, 1998).

Dengan kata lain, peneliti tidak terlibat secara langsung dalam kasus

tersebut, namun memiliki ketertarikan untuk melihat kasus tersebut secara

mendalam dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang muncul di

pikirannya sama halnya dalam penelitian ini. Apabila dilihat secara lebih

mendalam studi kasus merupakan strategi penelitian yang memiliki sistem

mengikat, dimana dalam penelitiannya terikat pada waktu, tempat dan

konteks atau setting untuk menggambarkan secara lebih detail mengenai

suatu fenomena dan menganalisisnya secara mendalam. Studi kasus

sendiri memiliki beberapa substansi penting yang didalamnya memuat

fenomena-fenomena sosial paling mutakhir dengan konteks yang

sebenarnya.

Disamping itu penelitian ini menggunakan instrumen yang bersifat

historif-deskriptif. Corak historis akan diarahkan kepada konteks kekinian

31

yang sedang berlangsung dengan menghubungkan pada masa lalu guna

mencoba untuk merefleksikan masa depan. Hal ini menjadi teramat

penting dalam kajian komunitas Taring Padi, terutama dalam setiap

gerakan yang dilakukan, mengingat pengalaman sejarah komunitas Taring

Padi dalam melakukan kritik sosial. Sedangkan sifat deskriptif

diketengahkan untuk mengambil gambaran secara utuh atas masalah yang

terjadi sebagaimana yang telah disinggung sebelumnnya. Kedua hal ini

merefleksikan apa yang penulis ingin sampaikan kepada pembaca.

Konsepsi studi kasus memang lebih adaptif terhadap kondisi lapangan,

namun terkadang sedikit lemah dalam konsistensi sebab studi kasus

sendiri sangat berpengaruh pada kondisi di lapangan (pada umumnya).

G.2. Unit Analisis

Dalam penelitian studi kasus terdapat beberapa komponen dasar,

yaitu pertanyaan-pertanyaan penelitian, proposisi penelitian, unit analisis,

logika yang mengaitkan data dengan proposisi tersebut dan kriteria untuk

menginterpretasi temuan. Salah satu komponen dasar studi kasus yang

terpenting dan berguna untuk membatasi ruang gerak analisis peneliti agar

benar-benar fokus pada kasus yang ditelitinya adalah unit analisis. Sebab,

unit analisis berkaitan dengan masalah penentuan apa yang dimaksud

dengan “kasus” dalam penelitian yang bersangkutan untuk menghindari

problema yang telah menganggu banyak peneliti diawal studinya. Unit

analisis dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana peranan komunitas

32

Taring Padi dalam menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah terkait

rencana kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo.

Tindakan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dengan

mempermudah ijin tambang bagi investor melalui UU Tata Ruang

mengakibatkan berbagai tanggapan dari masyarakat, baik pro maupun

kontra sehingga menimbulkan konflik. Banyak elemen masyarakat pun

yang menanggapi konflik tersebut dengan melakukan berbagai aksi sosial.

Komunitas Taring Padi sebagai komunitas seniman yang berjuang

melawan segala bentuk penindasan melalui karyanya seharusnya juga

melakukan aksi atau gerakan dalam menanggapi rencana kebijakan

tersebut. Tentu saja, gerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas Taring

Padi lebih bersifat persuasif karena ungkapan ekspresi gerakan dari

komunitas ini diwujudkan dalam karya-karya seni. Meskipun begitu dalam

melakukan gerakan sosial pasti juga telah memikirkan tujuan dan capaian

dalam jangka tertentu, seperti mempengaruhi kebijakan pemerintah atau

sekedar merubah pola pikir dan pandangan masyarakat terhadap isu yang

sedang mencuat.

Keberhasilan peranan komunitas Taring Padi dalam

menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah untuk menanggapi

berbagai isu- isu yang berkembang sehingga dapat mempengaruhi

kebijakan pemerintah memberikan gambaran mengenai keberlanjutan

pola-pola penyampaian kritik melalui karya-karya seni menjadi penting

untuk ditelisik. Sehingga, ketika penyampaian kritik melalui karya-karya

33

seni terbukti memberikan dampak yang siginifikan pasti akan

memunculkan berkembangnya banyak kelompok-kelompok masyarakat

yang serupa. Ataukah justru keberhasilannya tidak memiliki korelasi yang

berarti dalam kemunculan kelompok-kelompok masyarakat sejenis.

Karena bisa saja, komunitas tersebut memang terbentuk atas dasar

ketertarikan mereka terhadap seni dan politik.

G.3. Lokasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini mengambil lokasi di dua tempat yaitu

dusun Garongan, Kulon Progo dan dusun Sembungan RT. 02 Bangunjiwo,

Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan lokasi di

dusun Garongan, Kulon Progo dalam penelitian ini telah dipertimbangkan

dengan mengingat bahwa; pertama, dusun yang sebagian besar

masyarakatnya masih melakukan perlawanan terhadap rencana pemerintah

mengimplementasikan kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo.

Kedua, dusun yang menjadi pusat kegiatan komunitas Taring Padi dalam

merespon kondisi sosial-politik yang terjadi di Kulon Progo. Sedangkan,

pemilihan dusun Sembungan sebagai lokasi penelitian dikarenakan lokasi

tersebut merupakan “basecamp” arena berkumpul para seniman atau

anggota komunitas Taring Padi dalam menghasilkan berbagai karya-karya.

Tidak hanya itu, basecamp yang berlokasi di dusun Sembungan juga

sering digunakan untuk berbagai kegiatan-kegiatan dalam komunitas

seperti diskusi, dan sebagainya.

34

Pemilihan lokasi- lokasi tersebut diharapkan, peneliti dapat

melakukan pengamatan terhadap komunitas Taring Padi secara langsung,

selain melakukan wawancara dengan narasumber untuk mendapatkan

data-data yang dibutuhkan. Selain itu, juga untuk melihat pengaruh

keberadaan komunitas Taring Padi terhadap masyarakat dan pemerintah

yang berada dalam lingkungan sekitar lokasi penelitian tersebut, terkait

peranan yang dilakukan komunitas Taring Padi dalam menanggapi

rencana kebijakan penambangan pasir besi di Kulon Progo.

G.4. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian kualitatif ini, kehadiran peneliti di lapangan

mutlak diperlukan karena peneliti bertindak sebagai instrumen, pengumpul

data, menganalisis dan melaporkan hasil penelitiannya. Meskipun dalam

penelitian kualitatif, peneliti tidak berjarak dengan informan, kehadiran

peneliti disini tetap bukan sebagai informan. Peneliti memiliki peranan

besar dalam proses pengumpulan data dan pewawancara sehingga peneliti

perlu memperkenalkan diri ketika sedang melakukan pengumpulan data

sebagai bentuk etika peneliti.

G.5. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data berupa data primer dan

data sekunder. Data primer merupakan hasil temuan lapangan berasal dari

hasil interview dengan responden dan hasil pengamatan di lapangan.

Dalam melakukan input data primer, terlebih dahulu dilakukan identifikasi

terhadap sumber pengumpulan data untuk memetakan aktor-aktor yang

35

potensial dijadikan sebagai narasumber atau informan. Aktor-aktor yang

terlibat dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu aktor internal

dan aktor eksternal. Aktor internal didefinisikan sebagai aktor-aktor yang

merupakan pengerak dan anggota dalam komunitas Taring Padi.

Sedangkan aktor eksternal didefinisikan sebagai aktor-aktor yang berada

diluar komunitas Taring Padi, yaitu masyarakat, pemerintah dan

sebagainya. Aktor eksternal tersebut dapat memberikan kontribusi

terhadap pengaruh komunitas Taring Padi dalam melakukan gerakan

sosial.

Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapatkan secara

tidak langsung berupa dokumen. Data sekunder juga dapat dikatakan

sebagai data tambahan yang digunakan sebagai acuan dan elaborasi dari

data primer. Dalam penelitian ini, data sekunder didapatkan dari buku-

buku, dokumen atau karya-karya seni milik komunitas Taring Padi, media

massa, dan sebagainya. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku

mengenai gerakan sosial, kritik, komunitas Taring Padi, dan sebagainya

untuk memperkuat data primer. Selain itu, dokumen atau karya-karya seni

milik komunitas Taring Padi diperlukan sebagai data sekunder sebab

untuk melihat sensitifitas karya-karya seni yang dihasilkan komunitas

Taring Padi dalam menuangkan kritik atau aspirasinya terhadap isu- isu

yang diangkatnya. Media massa juga menjadi salah satu sumber data

sekunder sebab terkait pada peranan gerakan yang dilakukan oleh

komunitas Taring Padi. Melalui media massa, komunitas Taring Padi

36

dapat melebarkan “sayap”nya ke berbagai elemen masyarakat, terutama

pemerintah sehingga penyampaian kritik yang diwujudkan dalam karya-

karya seni dapat dilihat oleh masyarakat, pemerintah dan sebagainya.

G.6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian studi kasus ini diambil

dari berbagai sumber informasi, seperti dokumen dan wawancara.

Pengumpulan data melalui dokumen diambil dari buku-buku mengenai

gerakan sosial, kritik dan komunitas. Selain itu, juga akan menggunakan

buku yang ditulis oleh komunitas Taring Padi sendiri berjudul “Taring

Padi : Seni Membongkar Tirani”. Dokumen atau karya-karya seni milik

komunitas Taring Padi juga menjadi salah satu bagian yang tidak boleh

terlewatkan dalam melakukan pengumpulan data. Berita-berita mengenai

komunitas Taring Padi terutama dalam menanggapi rencana kebijakan

penambangan pasir besi yang dimuat dalam media massa juga menjadi

bagian terpenting. Data yang tidak kalah pentingnya, berasal dari

wawancara dengan beberapa responden. Tentu saja dalam melakukan

wawancara, peneliti telah mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang

tercantum dalam interview guide berisi topik-topik kunci yang dibutuhkan.

Namun, tidak menutup kemungkinan interview guide tersebut dapat

dielaborasi ketika wawancara dilapangan. Pemilihan responden dilakukan

dengan menggunakan teknik snowball effect yaitu mewawancarai

responden pertama kemudian melakukan wawancara dengan responden

lain yang disarankan oleh responden pertama bagi aktor internal.

37

Meskipun begitu, ada tiga aktor kunci internal yang perlu dan harus untuk

diwawancara dalam penelitian ini yaitu Toni, Bob Sick dan Ucup yang

merupakan sesepuh dari komunitas Taring Padi. Sedangkan, dalam

melakukan wawancara kepada aktor eksternal dilakukan dengan teknik

random sampling. Peneliti akan mewawancarai aktor-aktor ekternal seperti

warga yang berada disekitar wilayah dusun Garongan, media massa,

stakeholder terkait dan sebagainya.

G.7. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

mengumpulkan data-data sekunder dan primer, menafsirkan data-data

yang dikaitkan dengan landasan teori dan menarik kesimpulan dari

pemaknaan atas data-data yang ada tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, penulisan ini akan dibagi kedalam lima bab. Bab

pertama merupakan bagian yang memberikan paparan dasar bagi bahasan-

bahasan selanjutnya. Dalam bab ini pula memuat latar belakang penulisan,

rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, definisi konseptual, definisi

operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi tentang gambaran umum kebijakan penambangan

pasir besi di Kulon Progo hingga respon masyarakat Kulon Progo atas

kebijakan tersebut. Bab ketiga berisi penjabaran umum mengenai komunitas

Taring Padi pun ditulis pada bab ini. Kedua bab ini dipakai sebagai titik awal

38

melihat gerakan yang dilakukan komunitas Taring Padi dalam menyampaikan

kritik sosial terhadap pemerintah terkait rencana kebijakan penambangan pasir

besi di Kulon Progo.

Pada bab keempat akan ditulis mengenai penjelasan gerakan komunitas

Taring Padi dalam merespon rencana kebijakan penambangan pasir besi di

Kulon Progo dengan identifikasi kemunculan dan tujuan gerakan serta

instrumen gerakan yang dapat memberikan pengaruh atau implikasi bagi

masyarakat dan pemerintah.

Bab lima akan ditulis tentang pengaruh yang ditimbulkan dalam

gerakan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dan masyarakat

Kulon Progo (khususnya warga pesisir) serta model kritik kebijakan yang

dilakukan komunitas Taring Padi dalam menyampaikan kritik sosial. Dan

terakhir bab enam akan ditutup dengan kesimpulan.