BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan otonomi daerah pada saat ini sangat penting bagi pembangunan di masing-masing daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah menjelaskan tentang prinsip dari otonomi daerah tersebut yang diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur daerahnya masing- masing. Mulai dari mengatur pelayanan, peningkatan sumber daya manusia hingga peran serta prakasa dalam mewujudkan daerahnya sebagai daerah yang mandiri. Kebijakan tentang otonomi daerah, memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kota dan kabupaten. Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka mengembalikam harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance). 1 Dalam rangka mewujudkan daerah yang mandiri, daerah masing-masing mengatur tentang bagaimana mengelolah daerahnya dengan baik, salah satunya yaitu mengatur dengan mandiri pemungutan pajak yang dikelolah oleh masing- masing daerah. Pendapatan pajak dari wajib pajak tersebut akan dikembalikan kepada wajib pajak itu sendiri dalam rangka sebagai dana pembangunan daerah. 1 Muhammad Mujtaba Habibi, Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi Daerah Kota/Kabupaten, Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan, Volume 28, Nomor 2, Agustus 2015, hlm. 117

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan otonomi daerah pada saat ini sangat penting bagi

pembangunan di masing-masing daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2015 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah

Daerah menjelaskan tentang prinsip dari otonomi daerah tersebut yang diberikan

kewenangan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur daerahnya masing-

masing. Mulai dari mengatur pelayanan, peningkatan sumber daya manusia

hingga peran serta prakasa dalam mewujudkan daerahnya sebagai daerah yang

mandiri.

Kebijakan tentang otonomi daerah, memberikan otonomi yang sangat luas

kepada daerah, khususnya kota dan kabupaten. Otonomi daerah dilaksanakan

dalam rangka mengembalikam harkat dan martabat masyarakat di daerah,

memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas

demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah,

peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan pada akhirnya diharapkan

pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance).1

Dalam rangka mewujudkan daerah yang mandiri, daerah masing-masing

mengatur tentang bagaimana mengelolah daerahnya dengan baik, salah satunya

yaitu mengatur dengan mandiri pemungutan pajak yang dikelolah oleh masing-

masing daerah. Pendapatan pajak dari wajib pajak tersebut akan dikembalikan

kepada wajib pajak itu sendiri dalam rangka sebagai dana pembangunan daerah.

1 Muhammad Mujtaba Habibi, Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi

Daerah Kota/Kabupaten, Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan, Volume 28, Nomor 2, Agustus

2015, hlm. 117

2

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang sekarang

mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Otonomi Daerah, maka terjadi pergeseran dalam pembangunan ekonomi di setiap

daerah-daerah yaitu yang awalnya sentralisasi menjadi desentralisasi, yaitu

dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk membangun wilayahnya

termasuk pembangunan dalam bidang ekonominya.2

Pembayaran pajak itu tidak langsung dirasakan hasilnya oleh wajib pajak itu

sendiri, akan tetapi masyarakat luas yang merasakan hasil dari pemungutan pajak

melalui pembangunan yang ada di masing-masing daerah itu sendiri. Menurut

Rahmat Soemitro bahwa penarikan pajak itu yang dibayarkan kepada negara dari

wajib pajak untuk kepentingan negara itu sendiri yang merupakan suatu perikatan

yang timbul dari undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban dari

warga negara untuk menyetorkan sebagai dari penghasilannya.3 Apa yang di

ungkapkan oleh Rahmat Soemitro bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan

undang-undang untuk menjamin kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun

penerima pajak dalam hal ini pemerintah, hak ini yang disebutkan dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 23A yang berbunyi bahwa

pajak dan pemungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

dengan undang-undang.4

Berdasarkan asas pembagian dan asas kepentingan, pemungutan pajak

dilakukan seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dalam arti dengan

penghasilan apa yang dihasilkan oleh setiap wajib pajak. Dalam asas equality ini

2 Yulia Devi Ristanti, “Undang-Undang Otonomi Daerah dan Pembangunan Ekonomi

Daerah”, Jurnal Riset Akutansi Keuangan, Volume 2, Nomor 2, April 2017, hlm.120 3 Rahmat Soemitro, Asas-Asas dan Dasar Perpajakan (Bandung: Fefika Aditama, 2010),

hlm.45 4 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 23A

3

tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi antara wajib pajak

yang satu dengan wajib pajak yang lain. Dalam keadaan yang sama, wajib pajak

harus dikenakan pajak yang sama.5

Penarikan pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa

(PPN), Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) merupakan bagian dari pajak untuk pembangunan negara secara luas.

Pembayaran pajak dalam proses jual beli tanah dan bangunan misalnya Pajak Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menganut sistem Self Assement system.

Self Assement system adalah dalam pemungutan pajak wajib pajak diberi

wewenang untuk menghitung dan membayar sendiri besar pajak yang akan

dibayarkan.6

Salah satu penarikan dari pajak adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan yang selanjutnya disebut BPHTB. Berdasarkan Peraturan Bupati

Malang Nomor 62 Tahun 2017 pada Pasal 1 angka (8) atas perubahan Peraturan

Bupati Nomor 32 tahun 2013 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan yang dimaksud dengan BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas

tanah dan/atau bangunan.7

Di dalam pemungutan pajak salah satunya pemungutan BPHTB,

pemungutannya haruslah dilaksanakan secara transparan terhadap publik yang

berada di Kabupaten Malang. Hal ini semata-mata untuk memperbaiki sistem

perpajakan khususnya pemungutan BPHTB di Kabupaten Malang. Perbaikan dari

sistem itu adalah tentang keadilan dan kepastian hukum yang masih jauh dari

5 Andrian Sutedi, Hukum Pajak (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm.21

6 Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum Pajak (Malang : Bayumedia

Publishing, 2008), hlm.58 7 Lihat Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 Tentang Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan

4

harapan masyarakat Kabupaten Malang itu sendiri. Salah satu contohnya yaitu

adanya verifikasi Lapangan di dalam pemungutan BPHTB yang tidak diatur

dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas perubahan Peraturan

Bupati Malang Nomor 32 Tahun 2013 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan. Dengan adanya verifikasi lapangan ini kebanyakan yang telah terjadi

biaya pemungutan BPHTB lebih mahal dari harga taksiran dari Notaris/PPAT

(Pejabat Pembuat Akta Tanah). Kenaikan jumlah pemungutan pajak bisa sampai 2

kali lipat dari harga sebenarnya. Selain dilihat dari segi pihak pejabat pajak, hal

ini juga dapat dipertimbangkan dari segi pelaku jual beli terutama pembeli dari

tanah tersebut yang harus melakukan pembayaran BPHTB. Terkadang

ketidakjujuran jumlah transaksi pembelian tanah saat pengajuan pemungutan

pajak juga berpengaruh besar terhadap ketidak singkronan taksiran pejabat notaris

dengan taksiran pejabat pajak terhadap pemungutan BPHTB. Ditemukan juga dari

dua data yang pengajuan pembayaran BPHTB ini tidak berbarengan akan tetapi

dilihat dari NOP nya sama yang artinya lokasi dari objek pajak ini adalah sama,

akan tetapi saat dilakukan verlifikasi lapangan oleh Bappenda harga pajak yang

harus dibayarkan oleh wajib pajak berbeda jauh. 8

Hal ini terjadi juga di Kota Batu yang saya kutip dari sebuah jurnal hukum

yang ditulis oleh Zakiyatun Niyyah yang isinya adalah bahwa verlifikasi lapangan

BPHTB seringkali menimbulkan konflik atau permasalahan dalam

pelaksanaannya. Tidak adanya relevansi antara hasil verifikasi lapangan dengan

NPOP. Selain itu hal ini juga dilihat dari masalah kesadaran masyarakat yang

8 Sumber dari Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di Kabupaten Malang

5

rendah tentang pembayaran pajak, sehingga harus dilakukan verifikasi agar

msyarakat tertib dalam membayar pajak. 9

Di daerah Kabupaten Tegal juga terdapat masalah terkait BPHTB ini.

Adapun persoalan yang sering timbul adalah BPHTB yang ditentukan oleh

DPPKAD Kabupaten Tegal lebih besar dari ketentuan Undang-Undang Nomor 28

tahun 2009 yang mana DPPKAD dalam menentukan besaran BPHTB selain

dengan perhitungan menurut ketentuan presentasi yang berdasarkan Undang-

Undang Nomor 28 tahun 2009 juga berdasarkan nilai tanah dan bangunan

berdasarkan zonasi yang telah ditentukan yang mendasarkan pada Peraturan

Bupati Tegal Nomor 32 Tahun 2012 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan yang mana dalam penentuan harga tanah berdasarkan zonasi yang

dapat diakses dengan sistem E-PBHTB Kabupaten Tegal. Bahwa dalam

pelaksanaan verifikasi DPPKAD melakukan penelitian SSPD yang telah dibayar

yang disampaikan oeh wajib pajak atau kuasanya untuk keperluan penelitian,

dalam verifikasi ini Dinas telah menentukan besaran nilai transaksi/nilai pasar

sendiri, sehingga apabila dalam penenlitian telah ditemukan dalam penelitian

SSPD ternyata nilai transaksi kurang dari nilai yang ditentukan oleh Dinas, maka

berkas SSPD akan dikembalikan kepada wajib pajak untuk diperbaiki

sebagaimana yang telah ditentukan oleh Dinas. Penentuan besaran transaksi/nilai

pasar ini sebagai dasar besaran BPHTB yang mana penentuannya tidak

berdasarkan pada nilai NJOP akan tetapi berdasarkan analisa Dinas dengan

mengambil rata-rata harga pasaran yang ada dalam wilayah objek pajak. Dengan

demikian wajib pajak harus mengikuti besaran pajak yang telah ditetapkan oleh

9 Zakiyyatun Niyyah, “Relevansi Acuan Yuridis Nilai Perolehan Objek Pajak dan Hasil

Verifikasi Lapangan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota

Batu Terhadap Pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011”, Jurnal Hukum, 2011, hlm. 9

6

Dinas, artinya dalam hal ini wajib pajak tidak menghitung pajak sendiri

sebagaimana asas self assessment.10

Pentingnya peranan serta masyarakat dalam memberitahukan atau

menyampaikan harga transaksi sebagai dasar atas pengenaan BPHTB, juga

berkaitan dengan peranan Notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah yang

bertugas untuk membuat akta jual beli. Akta jual beli dilakkan dalam hal benda

objek jual beli dan harga transaksi telah disepakati dan dilakukan pembayaran

seluruhnya oleh pembeli sebagai bentuk keseriusan pembeli, namun masih harus

menunggu dilakukannya verifikasi lapangan untuk menentukan besar pajak

sebagai salah satu syarat dilaksanakannya peralihan hak atas tanah dan/atau

bangunan dengan perbuatan hukum jual beli. Hal ini dikarenakan, dalam setiap

pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, para pihak diwajibkan

untuk memperlihatkan bukti setor pembayaran BPHTB kehadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah.11

Pembayaran BPHTB ini berdasarkan adanya peralihan hak dari satu pihak

kepada pihak lainnya. Peralihan hak ini antara lain diatur di dalam pasal 20 ayat

(2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi bahwa hak milik atas tanah

dapat beralih dan dialihkan kepada pihak pihak lain, dalam hal ini penerima hak

yang baru wajib mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah yang diterimanya

10

Junaidi, “Akibat Hukum Verifikasi dan Validasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan oleh Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah terhadap Akta

PPAT di Kabupaten Tegal”, Jurnal Akta, Volume 4, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 18 11

Yudi Hardiawan, Peranan Notaris Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam

Proses Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di Kabupaten Banyuasin,

Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, Volume 5, Issue 2, November 2016, hlm. 3

7

dalam rangka memberikan perlindungan hak kepada pemegang hak atas tanah

yang baru demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah.12

Dalam peralihan hak tersebut maka pihak pembeli diwajibkan untuk

membayar pajak Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% (lima

persen) yang tercantum dalam pasal 101 Peraturan Daerah Kabupaten Malang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Besaran pokok Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif

sebesar 5% dengan Nilai Perolehan Objek Pajak setelah dikurangi Nilai Perolehan

Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya Nilai Perolehan objek Pajak Tidak Kena

Pajak (NPOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

untuk setiap Wajib Pajak. 13

Pembayaran BPHTB ini dibayarkan oleh pihak

pembeli atau penerima. Setelah pembayaran pajak itu dilaksanakan maka barulah

ditandatangani akta di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya

disebut PPAT. Sedangkan pihak penjual atau yang menerima uang dari hasil

penjualan atau penyerahan hak atas tanah dan bangunan tersebut wajib membayar

pajak penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari apa yang ia dapatkan tersebut,

hal ini tercantum dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996

Tentang Pembayarn Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas

Tanah dan Bangunan.14

Hal inilah yang menjadi landasan penarikan Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan dan pajak penghasilan dari peralihan hak yang dasar

perhitungannya adalah undang-undang bukan yang lain. Jika ada perbedaan

12

Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria 13

Lihat Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah 14

Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak

Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan

8

penarikan BPHTB maupun pajak penghasilan maka itu sudah dapat dipastikan

perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat sebagai wajib pajak.

Berdasarkan fakta di Kabupaten Malang penarikan BPHTB banyak yang

tidak sesuai dengan Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas

perubahan Peraturan Bupati Malang Nomor 32 Tahun 2013 tentang Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. BPHTB dihitung dari verifikasi

lapangan yang selanjutnya disebut verlap, verlap ini adalah proses pengecekan

langsung di lapangan terhadap objek yang dilakukan proses dari perbuatan hukum

atau peristiwa hukum. Alasan pengecekan itu oleh Dinas Pendapat Daerah adalah

karena dinas pendapatan daerah Kabupaten Malang merasa atau berpendapat

bahwa harga transaksi atas obyek pajak tersebut terlalu rendah. Padahal SPPT

PBB itu dikeluarkan oleh pihak Dinas Pendapatan Daerah itu sendiri. Hal inilah

yang tidak bisa diterima oleh masyarakat sebagai wajib pajak.

Di Kota Surabaya juga terdapat masalah terkait persoalan diatas sama

halnya dengan di Kabupaten Malang. Dispenda Kota Surabaya dalam menentukan

taksiran harga tanah yang diajukan oleh Wajib Pajak menggunakan Zona Nilai

Tanah yang selanjutnya disebut ZNT. ZNT yang digunakan pemerintah Kota

Surabaya untuk penetapan PBB dan BPHTB menimbulkan kendala berkenaan

dengan PBB dan peralihan hak atas tanah. Nilai PBB yang ditetapkan berdasarkan

ZNT jauh lebih besar dari pada NJOP. Perbedaan nilai bidang-bidang tanah pada

satu area ZNT tidak ada meskipun lokasi dan fungsional berbeda. Selain itu akta

peralihan yang dibuat oleh PPAT sering ditolak oleh kantor Dispenda Kota

Surabaya karena nilainya dianggap tidak wajar. Validasi yang dilakukan oleh

9

petugas Dispenda Kota Surabaya juga dirasa memakan banyak waktu sehingga

dianggap menghambat proses peralihan hak.15

Mengenai verlap ini sendiri tidak diatur secara rinci baik dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

maupun di dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas perubahan

Peraturan Bupati Malang Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksaan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Proses verifikasi dan validasi BPHTB untuk menentukan nilai transaksi

suatu perbuatan hukum jual beli hak atas tanah dan atau bangunan oleh

pemerintah pada dasarnya sah menurut Undang-Undang, akan tetapi menyalahi

esensi dari suatu perjanjian jual beli. Perbuatan hukum jual beli pada dasarnya

adalah kesepakatan para pihak. Adanya verifikasi dan validasi mengenai nilai jual

objel pajak BPHTB seolah-olah membuat perjanjian jual beli tersebut dibuat

bukan karena adanya kesepakatan para pihak dalam menentukan nilai jual tanah

akan tetapi karena paksaan dari pemerintah daerah.16

Pelaksanaan pemungutan BPHTB diindikasikan bahwa masih ada wajib

pajak yang belum mengetahui pengenaan BPHTB atas perolehan atau peralihan

tanah dan bangunan. Masyarakat cenderung mengetahui pengenaan BPHTB atas

perolehan atau peralihan tanah dan bangunan. Masyarakat cenderung mengetahui

adanya pengenaan BPHTB atas perolehan atau peralihan hak atas tanah dan

bangunan ini dari pihak notaris/PPAT. Padahal dalam pemungutan BPHTB ini

15 Bonus Aprianto Hernanda, Problematika Validasi Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai Bangunan tidak Sesuai dengan

Nilai Jual Objek Pajak dan Nilai Perolehan Objek Pajak, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas

Surabaya, Volume 3, Nomor 1, 2014, hlm. 11 16

Adimas Wahyu Widayat, Analisis Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan dalam Proses Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kabupaten Kebumen, Jurnal

Hukum, Volume 1, Nomor 2, Juli 2016, hlm. 5

10

menganut self assesment system, dimana suatu sistem pemungutan pajak yang

memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk

menghitung, meyetor, dan melaporkan sendiri pajak terutang. Jika wajib pajak

tidak mengetahui dasar dan ketentuan pengenaan BPTHB, wajib pajak tidak dapat

menghitung sendiri BPHTB terutangnya. Kurangnya pemahaman masyarakat

tentang BPHTB ini menjadi salah satu penghambat dalam pemungutan BPHTB.17

Sehubungan dengan hal itu maka dengan melihat latar belakang diatas dan

dengan melalui berbagai pertimbangan, peneliti berusaha melakukan penelitian

dengan memilih judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Atas

Pelaksanaan Verifikasi Lapangan Untuk Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah Dan Bangunan Dari Transaksi Jual Beli Tanah Di Kabupaten

Malang”.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak masyarakat atas

pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual beli tanah di Kabupaten

Malang?

2. Upaya dan solusi apakah yang ditempuh oleh masyarakat dan

pemerintah daerah yang merasa dirugikan atas pelaksanaan verifikasi

lapangan untuk pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan dari transaksi jual beli tanah di Kabupaten Malang?

17

Windy, Analisis Dasar Pengenaan dan Kontribusi Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Ternate, Jurnal Ekonomi Bisnis

Akuntansi, Volume 3, Nomor 4, Desember 2015, hlm. 335

11

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka

tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual beli

tanah di Kabupaten Malang

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak masyarakat atas

pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual beli tanah di Kabupaten

Malang

2. Kegunaan Penulisan

a. Secara Teoritis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bentuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam ruang lingkup hukum

pajak, khususnya mengenai pajak daerah yang berasal dari Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dikenakan verifikasi

lapangan yang terjadi di Kabupaten Malang.

b. Secara Praktis

1) Bagi Pemerintah: Sebagai bahan masukan dalam memperbaharui

kebijakan serta peraturan yang telah ada terkait dengan hukum

pajak khususnya tentang pajak daerah yang berasal dari Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dikenakan verifikasi

lapangan.

12

2) Bagi Masyarakat: Penulisan hukum ini diharapkan memberikan

tambahan wawasan ilmu pengetahuan terkait dengan hukum pajak

khususnya tentang hak masyarakat dalam pengenaan pajak daerah

yang berasal dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

yang dikenakan verifikasi lapangan.

3) Bagi Universitas Widyagama: Penulisan hukum ini diharapkan

dapat dijadikan referensi dalam kepustakaan ilmu hukum,

khususnya ilmu hukum pajak dalam lingkungan universitas.

A. Tinjauan Pustaka

1. Perlindungan Hukum

Menurut Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori

perlindungan hukum bersumber dari teori alam atau aliran hukum alam.

Dimana aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno. Menurut aliran

hukum aam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang

bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh

dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral

adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan

manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.18

Pada teori perlindungan hukum menjelaskan bahwa hukum bertujuan

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam

masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap

kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai

kepentingan di lain pihak. Pengertian dari kepentingan hukum itu sendiri

18

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.53

13

adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki

otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur

dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni

perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan

hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara peseorangan dengan pemerintah yang

dianggap mewakili kepentingan masyarakat.19

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain

dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati

semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk

mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,

melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka

yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk

memperoleh keadilan sosial.20

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya

untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa

yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan

ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya

sebagai manusia.21

19

Ibid, hlm.54 20

Ibid, hlm.55 21

Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum) (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm.3

14

Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah

perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak

asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum

dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan

dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen,

berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari

sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.22

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

perlindungan hukum adalah segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya

kepastian hukum dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya

agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi yang

melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua

macam, yaitu :

1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah

mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar

artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak

karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong

untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada

22

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi

Tentang Prinsip-Prinsipnnya Penangannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987),

hlm. 25

15

diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan

hukum preventif.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan

Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini.

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan

bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada

pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan

adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari

negara hukum.23

2. Jual Beli Tanah

Menurut Hukum Perdata Jual Beli adalah salah satu macam

perjanjian/perikatan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata tentang

perikatan.Dalam hal jual beli tanah pada pasal 1457 KUHPerdata berbunyi :

“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain

membayar harga yang telah dijanjikan.” Berdasarkan pengertian dalam pasal

1457 KUHPerdata ini, jual beli termasuk perjanjian. Adapun syarat sahnya

23

Philipus M. Hadjon,Op Cit, hlm.30

16

perjanjian sesuai pasal 1320 KUHPerdata adalah adanya kesepakatan mereka

yang mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu

perikatan, adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika syarat

menegnai kesepakatan dan kecakapan (syarat subyektif) tidak dipenuhi, maka

suatu perjanjian dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada sampai

adanya keputusan dari hakim. Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal

tertentu dan suatu sebab yang halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka

suatu perjanjian batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada

perjanjian.

Berdasarkan KUHPerdata pasal 1457, jual beli yang dianut di dalam

Hukum Perdata hanya bersifat obligatoir, artinya bahwa perjanjian jual beli

baru meletakkan hak dan kewajiban timbal bailik antara kedua belah pihak,

atau dengan perkataan lain jual beli yang dianut Hukum Perdata belum

memindahkan hak milik adapun hak milik baru berpindah dengan

dilakukannya penyerahan atau levering.24

Dalam pasal 1458 hal jual benda tidak bergerak jual beli telah

dianggap terjadi walaupun tanah belum diserahkan atau harganya belum

dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum

lain berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain

lagi. Dari uraian tersebut jual beli tanah menurut Hukum Perdata terdiri dari

atas 2 (dua) bagian yaitu perjanjian jual belinya dan penyerahan haknya,

keduanya terpisah satu dengan lainnya. Sehingga, walaupun hal yang pertama

24

Soedharyo Soimin, Status Hak Dan Pembebasan Tanah (Jakarta: Sinar Grafika,2004),

hlm. 86

17

sudah selesai biasanya dengan akta notaris, tapi kalau hal yang kedua belum

dilakukan, maka status tanah tersebut masih tetap hak milik penjual.

Jual beli tanah dalam hukum adat dan UUPA mempunyai pengertian

yang sama, berdasarkan UUPA Pasal 5 maka pengertian jual beli tanah hak

milik menurut UUPA tidak lain adalah pengertian jual beli menurut hukum

adat.25

Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu pemindahan hak atas

tanah yang bersifat terang dan tunai, terang berarti perbuatan pemindahan hak

tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai

pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak

tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai

maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya

dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin harga

dibayar secara kontan, atau dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam

hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas

dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.26

3. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pajak Daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34

Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

menyebutkan Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib

yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan

langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan

25

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,Edisi 1, Cetakan

keempat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.149 26

ibid, hlm 72

18

perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan daerah.27

Dalam perkembangannya, pajak daerah tidak hanya meliputi pungutan

daerah menurut peraturan pajak daerah saja, namun juga meliputi pajak yang

dipungut berdasarkan peraturan nasional, tetapi dipungut juga oleh daerah dan

hasil-hasilnya menjadi hak daerah atau pajak negara yang diserahkan kepada

daerah sebagai pajak daerah. Kedua jenis pajak tersebut di dalam nota

keuangan APBD propinsi dan kabupaten digolongkan sebagai pajak daerah

yang merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).28

Berdasarkan ketentuann perundang-undangan yang berlaku, yang

tertuang dalam pasal 1 butir 13 undang-undang no 17 tahun 2003 tentang

keuangan Negara, Pendapatan asli daerah adalah hak pemerintah daerah yang

di akui sebagai penambah nilai kekayaan yang bersih.29

Pasal 1 butir 15 Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang di maksud dengan Pendapatan Daerah adalah

semua hak daerah yang diakui sebagaimana penambahan nilai kekayaan bersih

dalam priode tahun anggaran yang bersangkutan.30

Dari definisi diatas dapat dirangkum pengertian pajak daerah adalah

iuran wajib yang di kelola oleh pemerintah daerah dan untuk membiayai

kebutuhan pemerintah daerah termasuk pembangunan daerah dengan tanpa

memperoleh imbalan secara langsung.

27

Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah 28

Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan (Jakarta: Grasindo, 2006). hlm. 5 29

Lihat Pasal 1 Butir 13 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 30

Lihat Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

19

Terdapat beberapa prinsip umum dari pajak daerah yang dikemukakan

oleh Irwansyah Lubis, yaitu;

a. Prinsip manfaat (benefit principle) suatu sistem pajak dikatakan adil bila

kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak, sesuai dengan manfaat

yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah;

b. Kemampuan membeyar pajak (ability to pay);

c. Kemampuan membayar dengan keadilan vertikal dan struktur tarif pajak;

d. Prinsip menyediakan pendapatan yang cukup naik dan elastis. Artinya

dapat mudah naik turun mengikuti naik turunnya kemakmuran

masyarakat;

e. Administrasi yang fleksibel artinya, sederhana, mudah dihitung pelayanan

memuaskan bagi wajib pajak;

f. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motifasi

dan kesadaran untuk memenuhi kapetuhan membayar pajak.31

Didalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 disebutkan

jenis-jenis pajak daerah untuk kabupaten maupun kota, yaitu:

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

31

Irwansyah Lubis,Menggali Potensi Pajak Perusahaan dan Bisnis Dengan

Pelaksanaan Hukum (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), hlm 70

20

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; Dan

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang selanjutnya

disingkat BPHTB diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah

dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya disebut UU BPHTB).

Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak atas

tanah dan atau bangunan. Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan,

warga negara diwajibkan membayar BPHTB. Dalam bahasa sehari-hari

BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan berdasarkan proses

jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam

perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan

dikenakan BPHTB.32

Menurut Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas

perubahan Peraturan Bupati Kabupaten Malang No. 32 tahun 2013 pasal 1

angka 8 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya

disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa objek Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa

hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangun

32

Lihat Anonim, “BPHTB: Pengertian, Dasar Hukum, dan Syarat Mengurusnya”

dalam https://www.cermati.com/artikel/bphtb-pengertian-dasar-hukum-dan-syarat-mengurusnya ,

diakses tanggal 10 Februari 2018 pukul 08.00 WIB

21

oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak

atas tanah, termasuk pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana

dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan

bangunan.33

BPHTB merupakan pajak terhutang yang harus dibayar oleh pihak

yang memperoleh hak atas suatu tanah dan termasuk pengelolaan dan

bangunan diatasnya merupakan objek pajak BPHTB sesuai dengan Peraturan

Daerah Nomor 8 Tahun 2010 pasal 100 ayat 2. BPHTB merupakan salah satu

pajak pusat yang mengalami peralihan menjadi pajak daerah. Peralihan ini

terjadi sejak tahun 2011. Sejak mengalami peralihan ini BPHTB dalam

pemungutannya perlu dilakukan secara efekstif sehingga dapat memberikan

kontribusi lebih kepada penerimaan daerah dari sektor pajak. Penerapan

pemungutan BPTHB sangat berkaitan hubungannya antara pemerintah daerha

yang bertugas melakukan pemungutan dan pihak-pihak lain yang terlibat di

dalam proses pemungutan tersebut dikarenakan berhubungan dengan

penerimaan daerah.34

Penarikan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berkaitan

dengan peralihan dan adanya bukti berupa jual beli. Dalam peralihan jual beli

pemasukan dalam perseroan lain atau badan hukum lain, pemisahan hak yang

mengakibatkan peralihan menunjukkan pembeli dalam lelang, dan

pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai hukum tetap. Sebagai

mana yang telah di atur dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun

33

Lihat Peraturan Bupati Malang No. 62 Tahun 2017 Pasal 1 34

Elga Anggraini, Analisis Penerapan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Malang, Jurnal Administrasi Bisnis, Volume 6, Nomor

1, 2015, hlm. 2

22

2017 atas perubahan Peraturan Bupati Kabupaten Malang No. 32 Tahun

2013.

Hal yang melibatkan dua pihak yaitu antara pribadi maupun antar

badan hukum, untuk dapat melakukan tindakan hukum ini berupa peralihan

maka setiap langkah hukumnya harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum

itu sendiri dan dilakukan di hadapan pejabat umum. Setelah itu pembayaran

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dilakukan di Bapenda dimana

tempat objek itu berada dan setelah itu di daftarkan kepada Badan Pertanahan

Nasional dimana letak objek tersebut.

Wajib pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sesuai

dengan yang tercantum dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun

2017 pasal 1 angka 13 atas perubahan Peraturan Bupati Kabupaten Malang

No. 32 tahun 2013 adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak

atas tanah dan/atau bangunan. Jadi, Subyek dalam Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak

atas tanah dan/atau bangunan. Berdasarkan Pasal 101 Peraturan Daerah

Kabupaten Malang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah tarif dasar

pengenaan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari nilai

perolehan obyek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan

obyek pajak.35

BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak yang terutang

dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan

35

Pasal 101 Peraturan Daerah Kabupaten Malang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah

23

sebelum akta, risalah lelang atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat

dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.36

Pemungutan BPHTB adalah salah satu bagian yang sangat penting

dalam proses peralihan hak ( balik nama ) atas tanah dan bangunan di

Indonesia, karena Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) dilarang

untuk menandatangani akta peralihan hak sebelum wajib pajak melunasi

BPHTB sebagaimana mestinya.37

Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak

Daerah Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar

Sendiri Oleh Wajib Pajak adalah peraturan pelaksanaan atas Undang-undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.38

Dalam

peraturan ini ditetapkan bahwa pemungutan BPHTB dilakukan berdasarkan

prinsip menghitung dan membayar sendiri pajak terutang (Self Assessment

System). Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana

inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di Wajib Pajak.39

Sistem pemungutan pajak dengan Self Assessment System memberikan

kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan

melaporkan sendiri pajak terutang sedangkan fiskus hanya mengawasi saja.40

B. Metode Penelitian

36

Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Teori Dan

Praktek, Edisi I ,Cet. I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm.160 37

Marihot Pahala Siahaan, Kompilasi Peraturan Di Bidang BPHTB, Panduan Dalam

Penyusunan Aturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang BPHTB (Yogyakarta : Graha

Ilmu, 2010), hlm.7 38

Pasal 98 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah. 39

Safri Nurmanu, Pengantar Perpajakan (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm.

110 40

Mardiasmo, Perpajakan (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hlm.5

24

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan penyelesaian masalah dalam penulisan hukum ini

menggunakan pendekatan yuridis sosiologis di mana pengumpulan data untuk

pemecahan masalah dalam penelitian diperoleh melalui wawancara dengan

pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan verifikasi lapangan untuk

pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual

beli tanah di kabupaten malang berdasarkan hukum positif di pemerintah

kabupaten malang.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Malang, adapun

pertimbangan penelitian di Kabupaten Malang yaitu karena tingginya tingkat

traksaksi dalam jual beli tanah di Kabupaten Malang. Oleh karena itu

Kabupaten Malang cukup representatif untuk dijadikan lokasi penelitian guna

mendeskripsikan perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama, yakni yang diperoleh dari lokasi penelitian, sedangkan data sekunder

merupakan data yang diperoleh dari sumber kepustakaan dan dokumentasi.

Sumber data primer adalah para responden yang telah ditunjuk/terpilih dan

sumber data sekunder adalah literatur, laporan penelitian, artikel ilmiah,

media massa, undang-undang/peraturan, brosur, dan bahan-bahan pustaka

serta dokumentasi lainnya.41

41

Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum

(Bandung: 1995), hlm. 45 – 46

25

4. Penentuan Responden

Mengingat terbatasnya waktu, biaya, dan tenaga maka penentuan sampel

penelitian dalam penulisan hukum ini dilakukan secara non random sampling

yang penentuan respondennya dilakukan secara purposive di mana para

respondennya telah ditentukan sebelumnya, yang antara lain adalah :

a) Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di Kabupaten

Malang

b) Masyarakat yang tanahnya terkena verifikasi lapangan atas pengenaan

BPHTB di Kabupaten Malang

c) Pihak Badan Pendapatan Daerah (Bapenda)

d) Pihak Pemerintah Daerah

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian penulisan hukum ini teknik pengumpulan data yang

dilakukan adalah :

a) Observasi, yakni peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan

secara sistematik terhadap gejala atau obyek yang diteliti;

b) Wawancara, di mana peneliti mewawancarai responden secara terbuka

dengan daftar pertanyaan-pertanyaan pokok saja yang kemudian dapat

dikembangkan lebih lanjut;

c) Studi pustaka, di mana peneliti melakukan kajian-kajian pustaka guna

mencari data-data pustaka yang mendukung dan sesuai dengan

penelitian ini.

6. Metode Analisis Data

26

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian penulisan hukum

ini adalah deskriptif kualitatif, di mana penulis akan mendeskripsikan secara

sistematis data-data yang diperoleh dengan menekankan pada mutu data secara

substansial dan tidak berbentuk angka-angka.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis akan menggunakan sistem

penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang

penulisan, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II : HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini akan dipaparkan tentang gambaran data

lokasi penelitian dan responden, gambaran data tentang

perlindungan hak masyarakat atas pelaksanaan verifikasi

lapangan yang ada di Kabupaten Malang, serta gambaran

data tentang pelaksanaan verifikasi lapangan di Kabupaten

Malang.

BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN

Analisis dalam bab ini akan membahas lebih lanjut tentang

perlindungan terhadap hak masyarakat atas pelaksanaan

verifikasi lapangan dan pelaksanaan verifikasi lapangan

pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan bea

27

perolehan hak atas tanah dan bangunan dari transaksi jual beli

tanah di kabupaten malang

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini penulis akan kemukakan tentang kesimpulan

yang dapat ditarik dari bab-bab sebelumnya dan sekaligus

juga saran-saran yang membangun sehubungan dengan

persoalan-persoalan hukum yang timbul yang telah diangkat

dalam penelitian ini.