BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan otonomi daerah pada saat ini sangat penting bagi
pembangunan di masing-masing daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2015 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah menjelaskan tentang prinsip dari otonomi daerah tersebut yang diberikan
kewenangan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur daerahnya masing-
masing. Mulai dari mengatur pelayanan, peningkatan sumber daya manusia
hingga peran serta prakasa dalam mewujudkan daerahnya sebagai daerah yang
mandiri.
Kebijakan tentang otonomi daerah, memberikan otonomi yang sangat luas
kepada daerah, khususnya kota dan kabupaten. Otonomi daerah dilaksanakan
dalam rangka mengembalikam harkat dan martabat masyarakat di daerah,
memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas
demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah,
peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan pada akhirnya diharapkan
pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance).1
Dalam rangka mewujudkan daerah yang mandiri, daerah masing-masing
mengatur tentang bagaimana mengelolah daerahnya dengan baik, salah satunya
yaitu mengatur dengan mandiri pemungutan pajak yang dikelolah oleh masing-
masing daerah. Pendapatan pajak dari wajib pajak tersebut akan dikembalikan
kepada wajib pajak itu sendiri dalam rangka sebagai dana pembangunan daerah.
1 Muhammad Mujtaba Habibi, Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi
Daerah Kota/Kabupaten, Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan, Volume 28, Nomor 2, Agustus
2015, hlm. 117
2
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang sekarang
mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Otonomi Daerah, maka terjadi pergeseran dalam pembangunan ekonomi di setiap
daerah-daerah yaitu yang awalnya sentralisasi menjadi desentralisasi, yaitu
dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk membangun wilayahnya
termasuk pembangunan dalam bidang ekonominya.2
Pembayaran pajak itu tidak langsung dirasakan hasilnya oleh wajib pajak itu
sendiri, akan tetapi masyarakat luas yang merasakan hasil dari pemungutan pajak
melalui pembangunan yang ada di masing-masing daerah itu sendiri. Menurut
Rahmat Soemitro bahwa penarikan pajak itu yang dibayarkan kepada negara dari
wajib pajak untuk kepentingan negara itu sendiri yang merupakan suatu perikatan
yang timbul dari undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban dari
warga negara untuk menyetorkan sebagai dari penghasilannya.3 Apa yang di
ungkapkan oleh Rahmat Soemitro bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan
undang-undang untuk menjamin kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun
penerima pajak dalam hal ini pemerintah, hak ini yang disebutkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 23A yang berbunyi bahwa
pajak dan pemungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.4
Berdasarkan asas pembagian dan asas kepentingan, pemungutan pajak
dilakukan seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dalam arti dengan
penghasilan apa yang dihasilkan oleh setiap wajib pajak. Dalam asas equality ini
2 Yulia Devi Ristanti, “Undang-Undang Otonomi Daerah dan Pembangunan Ekonomi
Daerah”, Jurnal Riset Akutansi Keuangan, Volume 2, Nomor 2, April 2017, hlm.120 3 Rahmat Soemitro, Asas-Asas dan Dasar Perpajakan (Bandung: Fefika Aditama, 2010),
hlm.45 4 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 23A
3
tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi antara wajib pajak
yang satu dengan wajib pajak yang lain. Dalam keadaan yang sama, wajib pajak
harus dikenakan pajak yang sama.5
Penarikan pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa
(PPN), Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan bagian dari pajak untuk pembangunan negara secara luas.
Pembayaran pajak dalam proses jual beli tanah dan bangunan misalnya Pajak Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menganut sistem Self Assement system.
Self Assement system adalah dalam pemungutan pajak wajib pajak diberi
wewenang untuk menghitung dan membayar sendiri besar pajak yang akan
dibayarkan.6
Salah satu penarikan dari pajak adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang selanjutnya disebut BPHTB. Berdasarkan Peraturan Bupati
Malang Nomor 62 Tahun 2017 pada Pasal 1 angka (8) atas perubahan Peraturan
Bupati Nomor 32 tahun 2013 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang dimaksud dengan BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan.7
Di dalam pemungutan pajak salah satunya pemungutan BPHTB,
pemungutannya haruslah dilaksanakan secara transparan terhadap publik yang
berada di Kabupaten Malang. Hal ini semata-mata untuk memperbaiki sistem
perpajakan khususnya pemungutan BPHTB di Kabupaten Malang. Perbaikan dari
sistem itu adalah tentang keadilan dan kepastian hukum yang masih jauh dari
5 Andrian Sutedi, Hukum Pajak (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm.21
6 Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum Pajak (Malang : Bayumedia
Publishing, 2008), hlm.58 7 Lihat Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 Tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan
4
harapan masyarakat Kabupaten Malang itu sendiri. Salah satu contohnya yaitu
adanya verifikasi Lapangan di dalam pemungutan BPHTB yang tidak diatur
dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas perubahan Peraturan
Bupati Malang Nomor 32 Tahun 2013 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan. Dengan adanya verifikasi lapangan ini kebanyakan yang telah terjadi
biaya pemungutan BPHTB lebih mahal dari harga taksiran dari Notaris/PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah). Kenaikan jumlah pemungutan pajak bisa sampai 2
kali lipat dari harga sebenarnya. Selain dilihat dari segi pihak pejabat pajak, hal
ini juga dapat dipertimbangkan dari segi pelaku jual beli terutama pembeli dari
tanah tersebut yang harus melakukan pembayaran BPHTB. Terkadang
ketidakjujuran jumlah transaksi pembelian tanah saat pengajuan pemungutan
pajak juga berpengaruh besar terhadap ketidak singkronan taksiran pejabat notaris
dengan taksiran pejabat pajak terhadap pemungutan BPHTB. Ditemukan juga dari
dua data yang pengajuan pembayaran BPHTB ini tidak berbarengan akan tetapi
dilihat dari NOP nya sama yang artinya lokasi dari objek pajak ini adalah sama,
akan tetapi saat dilakukan verlifikasi lapangan oleh Bappenda harga pajak yang
harus dibayarkan oleh wajib pajak berbeda jauh. 8
Hal ini terjadi juga di Kota Batu yang saya kutip dari sebuah jurnal hukum
yang ditulis oleh Zakiyatun Niyyah yang isinya adalah bahwa verlifikasi lapangan
BPHTB seringkali menimbulkan konflik atau permasalahan dalam
pelaksanaannya. Tidak adanya relevansi antara hasil verifikasi lapangan dengan
NPOP. Selain itu hal ini juga dilihat dari masalah kesadaran masyarakat yang
8 Sumber dari Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di Kabupaten Malang
5
rendah tentang pembayaran pajak, sehingga harus dilakukan verifikasi agar
msyarakat tertib dalam membayar pajak. 9
Di daerah Kabupaten Tegal juga terdapat masalah terkait BPHTB ini.
Adapun persoalan yang sering timbul adalah BPHTB yang ditentukan oleh
DPPKAD Kabupaten Tegal lebih besar dari ketentuan Undang-Undang Nomor 28
tahun 2009 yang mana DPPKAD dalam menentukan besaran BPHTB selain
dengan perhitungan menurut ketentuan presentasi yang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 28 tahun 2009 juga berdasarkan nilai tanah dan bangunan
berdasarkan zonasi yang telah ditentukan yang mendasarkan pada Peraturan
Bupati Tegal Nomor 32 Tahun 2012 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang mana dalam penentuan harga tanah berdasarkan zonasi yang
dapat diakses dengan sistem E-PBHTB Kabupaten Tegal. Bahwa dalam
pelaksanaan verifikasi DPPKAD melakukan penelitian SSPD yang telah dibayar
yang disampaikan oeh wajib pajak atau kuasanya untuk keperluan penelitian,
dalam verifikasi ini Dinas telah menentukan besaran nilai transaksi/nilai pasar
sendiri, sehingga apabila dalam penenlitian telah ditemukan dalam penelitian
SSPD ternyata nilai transaksi kurang dari nilai yang ditentukan oleh Dinas, maka
berkas SSPD akan dikembalikan kepada wajib pajak untuk diperbaiki
sebagaimana yang telah ditentukan oleh Dinas. Penentuan besaran transaksi/nilai
pasar ini sebagai dasar besaran BPHTB yang mana penentuannya tidak
berdasarkan pada nilai NJOP akan tetapi berdasarkan analisa Dinas dengan
mengambil rata-rata harga pasaran yang ada dalam wilayah objek pajak. Dengan
demikian wajib pajak harus mengikuti besaran pajak yang telah ditetapkan oleh
9 Zakiyyatun Niyyah, “Relevansi Acuan Yuridis Nilai Perolehan Objek Pajak dan Hasil
Verifikasi Lapangan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota
Batu Terhadap Pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011”, Jurnal Hukum, 2011, hlm. 9
6
Dinas, artinya dalam hal ini wajib pajak tidak menghitung pajak sendiri
sebagaimana asas self assessment.10
Pentingnya peranan serta masyarakat dalam memberitahukan atau
menyampaikan harga transaksi sebagai dasar atas pengenaan BPHTB, juga
berkaitan dengan peranan Notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
bertugas untuk membuat akta jual beli. Akta jual beli dilakkan dalam hal benda
objek jual beli dan harga transaksi telah disepakati dan dilakukan pembayaran
seluruhnya oleh pembeli sebagai bentuk keseriusan pembeli, namun masih harus
menunggu dilakukannya verifikasi lapangan untuk menentukan besar pajak
sebagai salah satu syarat dilaksanakannya peralihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dengan perbuatan hukum jual beli. Hal ini dikarenakan, dalam setiap
pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, para pihak diwajibkan
untuk memperlihatkan bukti setor pembayaran BPHTB kehadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.11
Pembayaran BPHTB ini berdasarkan adanya peralihan hak dari satu pihak
kepada pihak lainnya. Peralihan hak ini antara lain diatur di dalam pasal 20 ayat
(2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi bahwa hak milik atas tanah
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak pihak lain, dalam hal ini penerima hak
yang baru wajib mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah yang diterimanya
10
Junaidi, “Akibat Hukum Verifikasi dan Validasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan oleh Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah terhadap Akta
PPAT di Kabupaten Tegal”, Jurnal Akta, Volume 4, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 18 11
Yudi Hardiawan, Peranan Notaris Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam
Proses Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di Kabupaten Banyuasin,
Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, Volume 5, Issue 2, November 2016, hlm. 3
7
dalam rangka memberikan perlindungan hak kepada pemegang hak atas tanah
yang baru demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah.12
Dalam peralihan hak tersebut maka pihak pembeli diwajibkan untuk
membayar pajak Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% (lima
persen) yang tercantum dalam pasal 101 Peraturan Daerah Kabupaten Malang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Besaran pokok Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebesar 5% dengan Nilai Perolehan Objek Pajak setelah dikurangi Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya Nilai Perolehan objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
untuk setiap Wajib Pajak. 13
Pembayaran BPHTB ini dibayarkan oleh pihak
pembeli atau penerima. Setelah pembayaran pajak itu dilaksanakan maka barulah
ditandatangani akta di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya
disebut PPAT. Sedangkan pihak penjual atau yang menerima uang dari hasil
penjualan atau penyerahan hak atas tanah dan bangunan tersebut wajib membayar
pajak penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari apa yang ia dapatkan tersebut,
hal ini tercantum dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996
Tentang Pembayarn Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan Bangunan.14
Hal inilah yang menjadi landasan penarikan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dan pajak penghasilan dari peralihan hak yang dasar
perhitungannya adalah undang-undang bukan yang lain. Jika ada perbedaan
12
Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria 13
Lihat Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah 14
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan
8
penarikan BPHTB maupun pajak penghasilan maka itu sudah dapat dipastikan
perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat sebagai wajib pajak.
Berdasarkan fakta di Kabupaten Malang penarikan BPHTB banyak yang
tidak sesuai dengan Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas
perubahan Peraturan Bupati Malang Nomor 32 Tahun 2013 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. BPHTB dihitung dari verifikasi
lapangan yang selanjutnya disebut verlap, verlap ini adalah proses pengecekan
langsung di lapangan terhadap objek yang dilakukan proses dari perbuatan hukum
atau peristiwa hukum. Alasan pengecekan itu oleh Dinas Pendapat Daerah adalah
karena dinas pendapatan daerah Kabupaten Malang merasa atau berpendapat
bahwa harga transaksi atas obyek pajak tersebut terlalu rendah. Padahal SPPT
PBB itu dikeluarkan oleh pihak Dinas Pendapatan Daerah itu sendiri. Hal inilah
yang tidak bisa diterima oleh masyarakat sebagai wajib pajak.
Di Kota Surabaya juga terdapat masalah terkait persoalan diatas sama
halnya dengan di Kabupaten Malang. Dispenda Kota Surabaya dalam menentukan
taksiran harga tanah yang diajukan oleh Wajib Pajak menggunakan Zona Nilai
Tanah yang selanjutnya disebut ZNT. ZNT yang digunakan pemerintah Kota
Surabaya untuk penetapan PBB dan BPHTB menimbulkan kendala berkenaan
dengan PBB dan peralihan hak atas tanah. Nilai PBB yang ditetapkan berdasarkan
ZNT jauh lebih besar dari pada NJOP. Perbedaan nilai bidang-bidang tanah pada
satu area ZNT tidak ada meskipun lokasi dan fungsional berbeda. Selain itu akta
peralihan yang dibuat oleh PPAT sering ditolak oleh kantor Dispenda Kota
Surabaya karena nilainya dianggap tidak wajar. Validasi yang dilakukan oleh
9
petugas Dispenda Kota Surabaya juga dirasa memakan banyak waktu sehingga
dianggap menghambat proses peralihan hak.15
Mengenai verlap ini sendiri tidak diatur secara rinci baik dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
maupun di dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas perubahan
Peraturan Bupati Malang Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Proses verifikasi dan validasi BPHTB untuk menentukan nilai transaksi
suatu perbuatan hukum jual beli hak atas tanah dan atau bangunan oleh
pemerintah pada dasarnya sah menurut Undang-Undang, akan tetapi menyalahi
esensi dari suatu perjanjian jual beli. Perbuatan hukum jual beli pada dasarnya
adalah kesepakatan para pihak. Adanya verifikasi dan validasi mengenai nilai jual
objel pajak BPHTB seolah-olah membuat perjanjian jual beli tersebut dibuat
bukan karena adanya kesepakatan para pihak dalam menentukan nilai jual tanah
akan tetapi karena paksaan dari pemerintah daerah.16
Pelaksanaan pemungutan BPHTB diindikasikan bahwa masih ada wajib
pajak yang belum mengetahui pengenaan BPHTB atas perolehan atau peralihan
tanah dan bangunan. Masyarakat cenderung mengetahui pengenaan BPHTB atas
perolehan atau peralihan tanah dan bangunan. Masyarakat cenderung mengetahui
adanya pengenaan BPHTB atas perolehan atau peralihan hak atas tanah dan
bangunan ini dari pihak notaris/PPAT. Padahal dalam pemungutan BPHTB ini
15 Bonus Aprianto Hernanda, Problematika Validasi Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai Bangunan tidak Sesuai dengan
Nilai Jual Objek Pajak dan Nilai Perolehan Objek Pajak, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya, Volume 3, Nomor 1, 2014, hlm. 11 16
Adimas Wahyu Widayat, Analisis Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dalam Proses Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kabupaten Kebumen, Jurnal
Hukum, Volume 1, Nomor 2, Juli 2016, hlm. 5
10
menganut self assesment system, dimana suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk
menghitung, meyetor, dan melaporkan sendiri pajak terutang. Jika wajib pajak
tidak mengetahui dasar dan ketentuan pengenaan BPTHB, wajib pajak tidak dapat
menghitung sendiri BPHTB terutangnya. Kurangnya pemahaman masyarakat
tentang BPHTB ini menjadi salah satu penghambat dalam pemungutan BPHTB.17
Sehubungan dengan hal itu maka dengan melihat latar belakang diatas dan
dengan melalui berbagai pertimbangan, peneliti berusaha melakukan penelitian
dengan memilih judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Atas
Pelaksanaan Verifikasi Lapangan Untuk Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan Dari Transaksi Jual Beli Tanah Di Kabupaten
Malang”.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak masyarakat atas
pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual beli tanah di Kabupaten
Malang?
2. Upaya dan solusi apakah yang ditempuh oleh masyarakat dan
pemerintah daerah yang merasa dirugikan atas pelaksanaan verifikasi
lapangan untuk pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dari transaksi jual beli tanah di Kabupaten Malang?
17
Windy, Analisis Dasar Pengenaan dan Kontribusi Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Ternate, Jurnal Ekonomi Bisnis
Akuntansi, Volume 3, Nomor 4, Desember 2015, hlm. 335
11
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual beli
tanah di Kabupaten Malang
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak masyarakat atas
pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual beli tanah di Kabupaten
Malang
2. Kegunaan Penulisan
a. Secara Teoritis
Penulisan hukum ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bentuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam ruang lingkup hukum
pajak, khususnya mengenai pajak daerah yang berasal dari Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dikenakan verifikasi
lapangan yang terjadi di Kabupaten Malang.
b. Secara Praktis
1) Bagi Pemerintah: Sebagai bahan masukan dalam memperbaharui
kebijakan serta peraturan yang telah ada terkait dengan hukum
pajak khususnya tentang pajak daerah yang berasal dari Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dikenakan verifikasi
lapangan.
12
2) Bagi Masyarakat: Penulisan hukum ini diharapkan memberikan
tambahan wawasan ilmu pengetahuan terkait dengan hukum pajak
khususnya tentang hak masyarakat dalam pengenaan pajak daerah
yang berasal dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
yang dikenakan verifikasi lapangan.
3) Bagi Universitas Widyagama: Penulisan hukum ini diharapkan
dapat dijadikan referensi dalam kepustakaan ilmu hukum,
khususnya ilmu hukum pajak dalam lingkungan universitas.
A. Tinjauan Pustaka
1. Perlindungan Hukum
Menurut Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori
perlindungan hukum bersumber dari teori alam atau aliran hukum alam.
Dimana aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno. Menurut aliran
hukum aam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang
bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh
dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral
adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan
manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.18
Pada teori perlindungan hukum menjelaskan bahwa hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak. Pengertian dari kepentingan hukum itu sendiri
18
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.53
13
adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki
otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur
dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni
perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan
hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara peseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat.19
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain
dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk
mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,
melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka
yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk
memperoleh keadilan sosial.20
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa
yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya
sebagai manusia.21
19
Ibid, hlm.54 20
Ibid, hlm.55 21
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum) (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm.3
14
Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum
dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan
dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen,
berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari
sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.22
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
perlindungan hukum adalah segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya
kepastian hukum dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya
agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan bagi yang
melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua
macam, yaitu :
1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah
mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar
artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak
karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
22
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi
Tentang Prinsip-Prinsipnnya Penangannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987),
hlm. 25
15
diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan
hukum preventif.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan
Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini.
Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan
bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan
adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari
negara hukum.23
2. Jual Beli Tanah
Menurut Hukum Perdata Jual Beli adalah salah satu macam
perjanjian/perikatan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata tentang
perikatan.Dalam hal jual beli tanah pada pasal 1457 KUHPerdata berbunyi :
“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain
membayar harga yang telah dijanjikan.” Berdasarkan pengertian dalam pasal
1457 KUHPerdata ini, jual beli termasuk perjanjian. Adapun syarat sahnya
23
Philipus M. Hadjon,Op Cit, hlm.30
16
perjanjian sesuai pasal 1320 KUHPerdata adalah adanya kesepakatan mereka
yang mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika syarat
menegnai kesepakatan dan kecakapan (syarat subyektif) tidak dipenuhi, maka
suatu perjanjian dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada sampai
adanya keputusan dari hakim. Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka
suatu perjanjian batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada
perjanjian.
Berdasarkan KUHPerdata pasal 1457, jual beli yang dianut di dalam
Hukum Perdata hanya bersifat obligatoir, artinya bahwa perjanjian jual beli
baru meletakkan hak dan kewajiban timbal bailik antara kedua belah pihak,
atau dengan perkataan lain jual beli yang dianut Hukum Perdata belum
memindahkan hak milik adapun hak milik baru berpindah dengan
dilakukannya penyerahan atau levering.24
Dalam pasal 1458 hal jual benda tidak bergerak jual beli telah
dianggap terjadi walaupun tanah belum diserahkan atau harganya belum
dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum
lain berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain
lagi. Dari uraian tersebut jual beli tanah menurut Hukum Perdata terdiri dari
atas 2 (dua) bagian yaitu perjanjian jual belinya dan penyerahan haknya,
keduanya terpisah satu dengan lainnya. Sehingga, walaupun hal yang pertama
24
Soedharyo Soimin, Status Hak Dan Pembebasan Tanah (Jakarta: Sinar Grafika,2004),
hlm. 86
17
sudah selesai biasanya dengan akta notaris, tapi kalau hal yang kedua belum
dilakukan, maka status tanah tersebut masih tetap hak milik penjual.
Jual beli tanah dalam hukum adat dan UUPA mempunyai pengertian
yang sama, berdasarkan UUPA Pasal 5 maka pengertian jual beli tanah hak
milik menurut UUPA tidak lain adalah pengertian jual beli menurut hukum
adat.25
Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu pemindahan hak atas
tanah yang bersifat terang dan tunai, terang berarti perbuatan pemindahan hak
tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai
pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak
tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai
maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya
dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin harga
dibayar secara kontan, atau dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam
hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas
dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.26
3. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34
Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
menyebutkan Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
25
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,Edisi 1, Cetakan
keempat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.149 26
ibid, hlm 72
18
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan daerah.27
Dalam perkembangannya, pajak daerah tidak hanya meliputi pungutan
daerah menurut peraturan pajak daerah saja, namun juga meliputi pajak yang
dipungut berdasarkan peraturan nasional, tetapi dipungut juga oleh daerah dan
hasil-hasilnya menjadi hak daerah atau pajak negara yang diserahkan kepada
daerah sebagai pajak daerah. Kedua jenis pajak tersebut di dalam nota
keuangan APBD propinsi dan kabupaten digolongkan sebagai pajak daerah
yang merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).28
Berdasarkan ketentuann perundang-undangan yang berlaku, yang
tertuang dalam pasal 1 butir 13 undang-undang no 17 tahun 2003 tentang
keuangan Negara, Pendapatan asli daerah adalah hak pemerintah daerah yang
di akui sebagai penambah nilai kekayaan yang bersih.29
Pasal 1 butir 15 Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang di maksud dengan Pendapatan Daerah adalah
semua hak daerah yang diakui sebagaimana penambahan nilai kekayaan bersih
dalam priode tahun anggaran yang bersangkutan.30
Dari definisi diatas dapat dirangkum pengertian pajak daerah adalah
iuran wajib yang di kelola oleh pemerintah daerah dan untuk membiayai
kebutuhan pemerintah daerah termasuk pembangunan daerah dengan tanpa
memperoleh imbalan secara langsung.
27
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah 28
Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan (Jakarta: Grasindo, 2006). hlm. 5 29
Lihat Pasal 1 Butir 13 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 30
Lihat Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
19
Terdapat beberapa prinsip umum dari pajak daerah yang dikemukakan
oleh Irwansyah Lubis, yaitu;
a. Prinsip manfaat (benefit principle) suatu sistem pajak dikatakan adil bila
kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak, sesuai dengan manfaat
yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah;
b. Kemampuan membeyar pajak (ability to pay);
c. Kemampuan membayar dengan keadilan vertikal dan struktur tarif pajak;
d. Prinsip menyediakan pendapatan yang cukup naik dan elastis. Artinya
dapat mudah naik turun mengikuti naik turunnya kemakmuran
masyarakat;
e. Administrasi yang fleksibel artinya, sederhana, mudah dihitung pelayanan
memuaskan bagi wajib pajak;
f. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motifasi
dan kesadaran untuk memenuhi kapetuhan membayar pajak.31
Didalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 disebutkan
jenis-jenis pajak daerah untuk kabupaten maupun kota, yaitu:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
31
Irwansyah Lubis,Menggali Potensi Pajak Perusahaan dan Bisnis Dengan
Pelaksanaan Hukum (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), hlm 70
20
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; Dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang selanjutnya
disingkat BPHTB diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya disebut UU BPHTB).
Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan,
warga negara diwajibkan membayar BPHTB. Dalam bahasa sehari-hari
BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan berdasarkan proses
jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam
perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan
dikenakan BPHTB.32
Menurut Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun 2017 atas
perubahan Peraturan Bupati Kabupaten Malang No. 32 tahun 2013 pasal 1
angka 8 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya
disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa objek Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangun
32
Lihat Anonim, “BPHTB: Pengertian, Dasar Hukum, dan Syarat Mengurusnya”
dalam https://www.cermati.com/artikel/bphtb-pengertian-dasar-hukum-dan-syarat-mengurusnya ,
diakses tanggal 10 Februari 2018 pukul 08.00 WIB
21
oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak
atas tanah, termasuk pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan
bangunan.33
BPHTB merupakan pajak terhutang yang harus dibayar oleh pihak
yang memperoleh hak atas suatu tanah dan termasuk pengelolaan dan
bangunan diatasnya merupakan objek pajak BPHTB sesuai dengan Peraturan
Daerah Nomor 8 Tahun 2010 pasal 100 ayat 2. BPHTB merupakan salah satu
pajak pusat yang mengalami peralihan menjadi pajak daerah. Peralihan ini
terjadi sejak tahun 2011. Sejak mengalami peralihan ini BPHTB dalam
pemungutannya perlu dilakukan secara efekstif sehingga dapat memberikan
kontribusi lebih kepada penerimaan daerah dari sektor pajak. Penerapan
pemungutan BPTHB sangat berkaitan hubungannya antara pemerintah daerha
yang bertugas melakukan pemungutan dan pihak-pihak lain yang terlibat di
dalam proses pemungutan tersebut dikarenakan berhubungan dengan
penerimaan daerah.34
Penarikan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berkaitan
dengan peralihan dan adanya bukti berupa jual beli. Dalam peralihan jual beli
pemasukan dalam perseroan lain atau badan hukum lain, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan menunjukkan pembeli dalam lelang, dan
pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai hukum tetap. Sebagai
mana yang telah di atur dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun
33
Lihat Peraturan Bupati Malang No. 62 Tahun 2017 Pasal 1 34
Elga Anggraini, Analisis Penerapan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Malang, Jurnal Administrasi Bisnis, Volume 6, Nomor
1, 2015, hlm. 2
22
2017 atas perubahan Peraturan Bupati Kabupaten Malang No. 32 Tahun
2013.
Hal yang melibatkan dua pihak yaitu antara pribadi maupun antar
badan hukum, untuk dapat melakukan tindakan hukum ini berupa peralihan
maka setiap langkah hukumnya harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum
itu sendiri dan dilakukan di hadapan pejabat umum. Setelah itu pembayaran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dilakukan di Bapenda dimana
tempat objek itu berada dan setelah itu di daftarkan kepada Badan Pertanahan
Nasional dimana letak objek tersebut.
Wajib pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sesuai
dengan yang tercantum dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 62 Tahun
2017 pasal 1 angka 13 atas perubahan Peraturan Bupati Kabupaten Malang
No. 32 tahun 2013 adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan/atau bangunan. Jadi, Subyek dalam Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan/atau bangunan. Berdasarkan Pasal 101 Peraturan Daerah
Kabupaten Malang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah tarif dasar
pengenaan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari nilai
perolehan obyek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan
obyek pajak.35
BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak yang terutang
dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan
35
Pasal 101 Peraturan Daerah Kabupaten Malang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah
23
sebelum akta, risalah lelang atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat
dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.36
Pemungutan BPHTB adalah salah satu bagian yang sangat penting
dalam proses peralihan hak ( balik nama ) atas tanah dan bangunan di
Indonesia, karena Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) dilarang
untuk menandatangani akta peralihan hak sebelum wajib pajak melunasi
BPHTB sebagaimana mestinya.37
Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak
Daerah Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar
Sendiri Oleh Wajib Pajak adalah peraturan pelaksanaan atas Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.38
Dalam
peraturan ini ditetapkan bahwa pemungutan BPHTB dilakukan berdasarkan
prinsip menghitung dan membayar sendiri pajak terutang (Self Assessment
System). Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana
inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di Wajib Pajak.39
Sistem pemungutan pajak dengan Self Assessment System memberikan
kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak terutang sedangkan fiskus hanya mengawasi saja.40
B. Metode Penelitian
36
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Teori Dan
Praktek, Edisi I ,Cet. I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm.160 37
Marihot Pahala Siahaan, Kompilasi Peraturan Di Bidang BPHTB, Panduan Dalam
Penyusunan Aturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang BPHTB (Yogyakarta : Graha
Ilmu, 2010), hlm.7 38
Pasal 98 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. 39
Safri Nurmanu, Pengantar Perpajakan (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm.
110 40
Mardiasmo, Perpajakan (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hlm.5
24
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan penyelesaian masalah dalam penulisan hukum ini
menggunakan pendekatan yuridis sosiologis di mana pengumpulan data untuk
pemecahan masalah dalam penelitian diperoleh melalui wawancara dengan
pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan verifikasi lapangan untuk
pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari transaksi jual
beli tanah di kabupaten malang berdasarkan hukum positif di pemerintah
kabupaten malang.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Malang, adapun
pertimbangan penelitian di Kabupaten Malang yaitu karena tingginya tingkat
traksaksi dalam jual beli tanah di Kabupaten Malang. Oleh karena itu
Kabupaten Malang cukup representatif untuk dijadikan lokasi penelitian guna
mendeskripsikan perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama, yakni yang diperoleh dari lokasi penelitian, sedangkan data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari sumber kepustakaan dan dokumentasi.
Sumber data primer adalah para responden yang telah ditunjuk/terpilih dan
sumber data sekunder adalah literatur, laporan penelitian, artikel ilmiah,
media massa, undang-undang/peraturan, brosur, dan bahan-bahan pustaka
serta dokumentasi lainnya.41
41
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum
(Bandung: 1995), hlm. 45 – 46
25
4. Penentuan Responden
Mengingat terbatasnya waktu, biaya, dan tenaga maka penentuan sampel
penelitian dalam penulisan hukum ini dilakukan secara non random sampling
yang penentuan respondennya dilakukan secara purposive di mana para
respondennya telah ditentukan sebelumnya, yang antara lain adalah :
a) Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di Kabupaten
Malang
b) Masyarakat yang tanahnya terkena verifikasi lapangan atas pengenaan
BPHTB di Kabupaten Malang
c) Pihak Badan Pendapatan Daerah (Bapenda)
d) Pihak Pemerintah Daerah
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian penulisan hukum ini teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah :
a) Observasi, yakni peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan
secara sistematik terhadap gejala atau obyek yang diteliti;
b) Wawancara, di mana peneliti mewawancarai responden secara terbuka
dengan daftar pertanyaan-pertanyaan pokok saja yang kemudian dapat
dikembangkan lebih lanjut;
c) Studi pustaka, di mana peneliti melakukan kajian-kajian pustaka guna
mencari data-data pustaka yang mendukung dan sesuai dengan
penelitian ini.
6. Metode Analisis Data
26
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian penulisan hukum
ini adalah deskriptif kualitatif, di mana penulis akan mendeskripsikan secara
sistematis data-data yang diperoleh dengan menekankan pada mutu data secara
substansial dan tidak berbentuk angka-angka.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis akan menggunakan sistem
penulisan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang
penulisan, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dipaparkan tentang gambaran data
lokasi penelitian dan responden, gambaran data tentang
perlindungan hak masyarakat atas pelaksanaan verifikasi
lapangan yang ada di Kabupaten Malang, serta gambaran
data tentang pelaksanaan verifikasi lapangan di Kabupaten
Malang.
BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN
Analisis dalam bab ini akan membahas lebih lanjut tentang
perlindungan terhadap hak masyarakat atas pelaksanaan
verifikasi lapangan dan pelaksanaan verifikasi lapangan
pelaksanaan verifikasi lapangan untuk pengenaan bea
27
perolehan hak atas tanah dan bangunan dari transaksi jual beli
tanah di kabupaten malang
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan kemukakan tentang kesimpulan
yang dapat ditarik dari bab-bab sebelumnya dan sekaligus
juga saran-saran yang membangun sehubungan dengan
persoalan-persoalan hukum yang timbul yang telah diangkat
dalam penelitian ini.