BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/55258/2/BAB I.pdf · yang menjadi tumbuhan...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/55258/2/BAB I.pdf · yang menjadi tumbuhan...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara beriklim tropis yang kaya akan
keanekaragaman hayati, salah satu varietas tanaman yang tumbuh subur di
tanah Indonesia adalah Kelapa Sawit atau dalam bahasa ilmiah disebut Elaeis
yang menjadi tumbuhan industri penghasil minyak industri, minyak masak,
maupun bahan bakar (biodiesel). Minyak sawit yang dihasilkan oleh kelapa
sawit dalam bentuk Crude Palm Oil (CPO) menjadi salah satu komoditas
unggulan Indonesia dan kelapa sawit merupakan tanaman yang mengalami
pertumbuhan cukup pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lain. Oleh
karena itu Indonesia dikenal sebagai produsen dan eksportir minyak sawit
terbesar kedua dunia setelah India, volume ekspor minyak sawit Indonesia pada
bulan Januari – Juli 2017 mencapai angka 18,15 juta ton, sedangkan pada
periode yang sama tahun 2018 volume ekspor minyak sawit naik menjadi 18,52
juta ton.1
Jumlah produksi dan nilai ekspor saling berkaitan dan saling
mendukung. Seperti halnya, peningkatan ekspor komoditas ini tidak terlepas
dari semakin tingginya tingkat produktivitas sebagaimana yang diungkapkan
oleh Casson dalam Tuti Ermawati bahwa peningkatan produksi kelapa sawit
1Tane Hadiyantono, “Ekspor CPO Indonesia Juli Menembus Rekor 2018 Berkat India”,
https://industri.kontan.co.id/news/ekspor-cpo-indonesia-juli-menembus-rekor-2018-berkat-india
(diakses tanggal 6 Februari 2019)
bisa disebabkan karena beberapa faktor antara lain efisiensi dan ketersediaan
lahan panen, biaya produksi yang rendah, pasar domestik dan internasional
yang menjanjikan, serta kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan
industri kelapa sawit.2
Tidak semua negara dapat membudidayakan Kelapa Sawit dengan baik,
sementara itu hasil olahan minyak sawit yang menjadi bahan baku untuk
dijadikan margarin, minyak goreng, sabun, kosmetika, industri baja, kawat,
radio, bahkan industri farmasi dan lain-lain sangat dibutuhkan bagi negara yang
hanya memiliki sarana industri. Tidak semua negara penghasil bahan baku
keperluan industri mempunyai sarana atau alat pengolahan yang mumpuni
sehingga disinilah berlaku prinsip resiprositas. Prinsip ini merupakan prinsip
fundamental dalam General Agreement on Tariffs and Trade yang selanjutnya
disebut GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam
perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal balik dan
saling menguntungkan kedua belah pihak.3 Paragraf 3 Preambul GATT
menyatakan:
"Being desirous of contributing to these objectives by entering into
reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to
the substantial reduction of tarifs and other varriers to trade and to
the eliminations of discriminatory treatment in international
commerce."
2 Tuti Ermawati, Yeni Saptia: “Kinerja Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia”, Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2013) Vol.07, No.02. hlm. 130 3 Olivier Long dalam Huala Adolf, “Hukum Ekonomi Internasional : Suatu Pengantar, Jakarta,
Rajawali Pers, cet.3, 2002, hlm. 18
Adanya arus globalisasi membuat hubungan antar negara-negara sangat
jauh berkembang daripada sebelumnya. Negara-negara saat ini cenderung
memperbaiki perekonomiannya demi kesejahteraan negara itu sendiri. Oleh
karena itu negara-negara saling bekerjasama dan membuka hubungan
perdagangan sehingga dari hubungan itu kemudian menciptakan suatu
kesadaran akan kepentingan dan nilai bersama tertentu membentuk masyarakat
dalam hal bahwa mereka terikat oleh seperangkat aturan bersama dalam
hubungannya satu sama lain yang disebut sebagai masyarakat internasional.
Adanya masyarakat Internasional ini merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dibantah lagi karena negara-negara melakukan hubungan yang tetap
dengan negara lain. Hubungan itu timbul karena adanya kebutuhan yang
disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan alam dan perkembangan
industri yang tidak merata di dunia.4
Uni Eropa merupakan negara pengimpor ketiga setelah India dan Cina.5
Negara anggota Uni Eropa yang mengimpor sawit dari Indonesia adalah
Belanda, Jerman, Italia, dan Spanyol. Jerman dan Italia merupakan negara
dengan permintaan impor sawit yang tinggi. Oleh karena itu Uni Eropa menjadi
salah satu tujuan ekspor minyak sawit Indonesia.6 Munculnya permintaan
4Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni,
Bandung, 2003, hlm. 12 5Widyaningtyas, D., & Widodo, T. (2016). Analisis pangsa pasar dan daya saing CPO
Indonesia Uni Eropa. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Sumber Daya, 18(2), hlm. 139 6 Olof Skoog, “Facts About EU and Palm Oil” ,
http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/05/facts-about-eu-and-palm-oil.htmli (diakses pada
tanggal 14/02/2019 pukul 23.19WIB)
minyak sawit indonesia selain dari negara mitra dagang luar negeri juga
didorong oleh permintaan global dari berbagai negara sehingga Indonesia
menjadi salah satu negara pengekspor minyak sawit terbesar.
Uni Eropa sebagai salah satu importir minyak sawit Indonesia memiliki
perhatian besar terhadap energi keberlanjutan, karena permasalahan serius yang
mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan global warming membuat
negara-negara di dunia melirik biofuel yang merupakan olahan dari produk
kelapa sawit yang menjadi sumber energi terbarukan sebagai jawaban dari
permasalahan yang ditimbulkan oleh bahan bakar fosil seperti gas rumah kaca,
keterbatasan energi yang tidak terbarukan, dan harga yang tidak stabil. Biofuels
ini sangat ramah lingkungan,ekonomis, dapat mengurangi efek rumah kaca, dan
merupakan energi terbarukan sehingga dapat terjaga keberlanjutannyayang
kemudian dapat memperkokoh posisi kelapa sawit sebagai primadona ekspor
Indonesia.
Sebagai bentuk dari perhatian Uni Eropa kepada energi terbarukan
maka Uni Eropa mengeluarkan resolusi terkait dengan energi terbarukan
tersebut yang dikenal dengan European Union Renewable Energy Directive
yang selanjutnya disebut EU RED yang pertama kali diterbitkan tahun 2009,
pemberlakuan resolusi ini oleh Uni Eropa menjadi salah satu langkah dalam
rangka mengurangi emisi karbon secara global sebagai bentuk komitmen
terhadap Protokol Kyoto. Selain alasan itu, penentuan-penentuan target
penggunaan biofuel di negara-negara anggota Uni Eropa dimaksudkan untuk
mengurangi interpendensi terhadap konsumsi dan juga impor terhadap fosil fuel
dengan syarat harus memenuhi kriteria keberlanjutan seperti yang ditetapkan
dalam Directive 2009/28/EC dimana dalam kriteria tersebut produk biofuel
harus dihasilkan dari aktivitas produksi yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan.Namun demikian, dalam implementasi EU RED ini di satu sisi
dilihat oleh negara-negara pengekspor sebagai peluang terciptanya pasar baru
bagi produk-produk minyak nabati (biofuel). Namun di sisi lain implementasi
aturan baru ini dapat menimbulkan permasalahan baru bagi negara produsen
minyak nabati, ketika tidak bisa/tidak bersedia memenuhi standar-standar
keberlanjutan yang diterapkan oleh Uni Eropa, sehingga hanya akan menjadi
hambatan baru bagi perdagangan minyak nabati ke negara-negara anggota Uni
Eropa.7
Dapat dipahami hal ini bermaksud untuk tetap menjaga kelestarian
lingkungan dan mengurangi emisi global. Namun di sisi lain, hal ini dianggap
sebagai bentuk hambatan baru yang diciptakan oleh Uni Eropa dalam rangka
memproteksi produk biofuel dari negara lain, karena selama ini negara Uni
Eropa merupakan penghasil utama biodiesel. Persaingan dagang ini
mengakibatkan implementasi EU RED ini dilihat sebagai bentuk green
protectionism melalui pemberlakuan kriteria keberlanjutan (sustainability).8
RED 2009/28/EC mengatur kebijakan mengenai industri biofuel yang
dikembangkan oleh Uni Eropa yaitu second generation biofuel yang berasal
7Ibid. Hlm. 152 8 Rosita Dewi,Implementasi Renewable Energy Directive Uni Eropa, dalam Jurnal
Interdependence, Vol. 1,No.2 Mei-Agustus2013, hlm: 151
dari cadangan dan sisa produk pertanian sehingga tidak mengganggu stabilitas
pangan ataupun hutan. Sebagai respon dari RED ini pemerintah Indonesia
mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) dimana dalam ISPO
tersebut pemerintah indonesia juga sudah memberikan kriteria-kriteria minyak
sawit tertentu yang nantinya akan disertifikasi dengan tujuan ekspor yang
sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dalam pasal 17 RED 2009/28/EC
menyebutkan kriteria-kriteria keberkelanjutan dari biofuels dan bioliquids,
kriteria mengenai penggunaan lahan berkelanjutan dalam produksi biofuels
terdapat dalam ayat 3 -5.
Pada tanggal 30 November 2016, European Commision(EC)
menerbitkan usulan resmi kepada Dewan Uni Eropa dan Parlemen Eropa untuk
memperbarui RED 2009/28/EC2, yang akan berakhir pada akhir tahun 2020,
usulan baru ini disebut Renewable Energy Directive II (RED II) yang akan
menggantikan aturan lama itu sampai dengan 1 Januari 2021.9 RED II
merupakan hasil revisi melalui Directive (EU) 2015/1513 of The European
Parliament and of The Council tanggal 9 september 201910 yang memberikan
tambahan-tambahan pengaturan dari RED sebelumnya.
9 International Council On Clean Transportation, “The European Commision’s Renewable
Energy Proposal for
2030”https://www.theicct.org/sites/default/files/publications/RED%20II_ICCT_PolicyUpdate_vF_jan
2017.pdf (diakses tanggal 15/02/2019 pukul 22.35 WIB.) 10European Parliament , “amending Directive 98/70/EC relating to the quality of Petrol and
diesel fuels and amending Directive 2009/28/EC on the promotion of the use of energy from renewable
Dalam RED diatur secara rigid mengenai kriteria keberlanjutan yang
wajib dipenuhi oleh negara-negara pengekspor bahan baku biofuels atau
bioliquids. Tentunya ini menjadi hambatan bagi proses ekspor minyak sawit
Indonesia karena dituntut untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh Uni
Eropa dan sertifikasi yang dilakukan oleh Uni Eropa pula, hal ini dilihat oleh
kelompok bisnis sebagai salah satu strategi Uni Eropa untuk membatasi impor
minyak sawit dari Indonesia sebagai bahan baku biodiesel karena akan
merugikan investasi mereka. Seperti yang diketahui bahwa negara-negara di
Uni Eropa merupakan negara penghasil Bioethanol.11 Oleh karena itu, negara-
negara eksportir bahan baku untuk biofuel termasuk Indonesia beranggapan
bahwa penerapan RED oleh Uni Eropa menjadi bentuk hambatan perdagangan
yang diciptakan Uni Eropa agar pasar biofuel-nya tidak tersaingi oleh biofuel
negara-negara pengekspor minyak sawit seperti Indonesia.
Upaya Uni Eropa dalam memproteksi tersebut disebut dengan “green
protectionist”. Green Protectionist ini tidak selalu soal kebijakan lingkungan,
tetapi juga berbagai kebijakan lain yang tidak terkait secara langsung dengan
lingkungan namun berpengaruh kepada kebijakan lingkungan sehingga hal ini
menimbulkan diskriminasi maupun larangan perdagangan bagi negara terkait.
Bentuk green protectionism ini sering kali dilihat sebagai technical barier trade
resources”,https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=celex%3A32015L1513 (diakses
tanggal 16/02/2019 pukul 00.05 WIB) 11 Timo Kaphengst, European Union Policy on Bioenergy and the Role of Sustainability
Criteria and Certification Systems,Berkeley. 2007, hlm. 4
(Bagian dari non-tarrif barrier) maupun sanitary and phytosanitary measure.12
Non-tarrif barrier dan sanitary and phytosanitary measure seringkali
digunakan, baik oleh negara-negara di Eropa maupun di Amerika Serikat untuk
beberapa produk industri makanan maupun pertanian.
Implikasi dari RED yang dikeluarkan oleh Uni Eropa ini adalah produk
biofuels dan bioliquids dari negara di luar Uni Eropa akan kesulitan memasuki
pasar Uni Eropa, salah satunya adalah Indonesia sehingga hal ini dapat
melanggar prinsip dan aturan WTO khususnya dalam Article XX GATT tentang
larangan membuat sarana diskriminasi sewenang-wenang atau pembatasan
terselubung pada perdagangan internasional oleh Uni Eropa.
EU RED masih berlaku sampai sekarang dengan diperbaharui menjadi EU
RED II. Sebelumnya dalam EU RED, tenggat waktu yang ditetapkan oleh
parlemen Eropa untuk melarang penggunaan minyak sawit yang digunakan
untuk bahan campuran biodiesel adalah pada tahun 2021. Namun rencana itu
memicu protes dari negara-negara pengekspor minyak sawit khususnya
Indonesia. Sehingga muncul kesepakatan baru dari Uni Eropa yang
menyepakati untuk memperpanjang impor minyak sawit. Kandungan minyak
sawit dalam biodiesel nantinya tidak lagi akan termasuk sasaran iklim Uni
Eropa dan baru akan dilarang sepenuhnya pada 2030. Uni Eropa perlahan akan
12 Fredrik Erixon , Green Protectionism in the European Union: how europe’s Biofuels Policy
and the renewable energy Directive Violate Wto commitments, ECIPE OCCASIONAL PAPER • no.
1/2009, hlm. 8
mulai mengurangi impor minyak sawit mulai tahun 2023.13 Munculnya EU
RED ini tidak lepas dari dinamika kampanye-kampanye negatif terhadap CPO
mulai dari isu deforestrasi dan tanggungjawab sosial, EU RED ini
dikhawatirkan sebagai bentuk upaya Uni Eropa yang memproteksi industri
domestiknya dengan memberlakukan Non-Tariff Measurements yang
kemudian nantinya akan berpeluang menjadi Non-Tariff Barriers yang dapat
menghambat masuknya suatu produk ke negara tujuan ekspor.
Adanya rencana Uni Eropa untuk melarang atau memboikot produk olahan
biofuels menyangkut bagaimana kredibilitas Indonesia di mata dunia. Dari
penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa tindakan Uni
Eropa cenderung menyalahi peraturan internasional tentang Non-Tariff
Measurements, namun hal tersebut terkesan dibiarkan berlarut oleh Indonesia
karena tidak adanya upaya-upaya lebih lanjut dan tindakan tegas terhadap
pemberlakuan RED II. Hal ini terbukti dengan RED yang pertama kali
dikeluarkan tahun 2009 terus berjalan tanpa upaya perlawanan berarti dari
Indonesia sampai akhirnya muncul perpanjangan regulasi RED yaitu RED II di
tahun 2019.
13Hans Sproos, “Uni Eropa Tunda Larangan Sawit Hingga 2030”,
https://www.dw.com/id/uni-eropa-tunda-larangan-sawit-hingga-2030/a-44315242 (diakses tanggal
16/02/2019 pukul 18.49)
Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian secara mendalam dengan judul “PILIHAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI
RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE (RED 2009/28/EC2) UNI EROPA
SEBAGAI HAMBATAN DAGANG NON-TARIFF TERHADAP
EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas,
maka dapat dirumuskan apa yang menjadi rumusan permasalahan yaitu:
1. Bagaimana bentuk Directive (EU) 2018/2001 of The European Parliament
and Council (RED II) sebagai Main Form EU Legislation?
1. Bagaimana bentuk hambatan non tarif yang dilakukan Uni Eropa melalui
resolusi Renewable Energy Directive?
2. Apa saja pilihan kebijakan yang dapat digunakan Indonesia dalam
menyikapi Europe Union Renewable Energy Directive untuk menjaga
ekspor Crude Palm Oil (CPO) dalam jangka panjang?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran Renewable Energy Directive Uni
Eropa?
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk hambatan non tarif yang dilakukan
Uni Eropa melalui resolusi Renewable Energy Directive
3. Untuk mengetahui apa saja pilihan kebijakan yang dapat digunakan
Indonesia untuk menyikapi Europe Union Renewable Energy Directive
demi ekspor Crude Palm Oil (CPO) jangka panjang
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan dijadikan sebagai
referensi bagi semua pihak yang berkepentingan dalam rangka
pengembangan Ilmu Hukum secara umum dan khususnya Hukum
Internasional, dalam hal ini menyangkut tentang Perdagangan Internasional
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan bagi pemerintah dan masyarakat terkait bagaimana
kedudukan Crude Palm Oil sebagai komoditas ekspor Indonesia di
tengah pasar internasional khususnya pasar Uni Eropa.
b. Melatih keterampilan berfikir, meneliti dan menulis.
c. Sebagai bahan literatur bagi mahasiswa selanjutnya yang akan
melakukan penelitian mengenai Hukum Perdagangan Internasional.
E. Metode Penelitian
Penelitian dalam ilmu hukum adalah keseluruhan aktifitas berdasarkan disiplin
ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan
menginterpretasikan fakta serta hubungan di lapangan hukum dan di lapangan lain-lain
yang relevan bagi kehidupan hukum, dan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh
dapat dikembangkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk
menanggapi berbagai fakta dan hubungan tersebut.14
1. Tipologi penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris, dimana penelitian
hukum empiris ini didasarkan pada kenyataan di lapangan atau melalui
observasi (pengamatan) langsung. Menurut Syamsudin15 yakni berkenaan
dengan tipologi dan klasifikasi penelitian, hukum normatif disetarakan dengan
penelitian hukum doktrinal, sedangkan penelitianhukum empiris disetarakan
dengan penelitian non doktrinal. Penelitianhukum normatif adalah suatu
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan hukum dari sisi normatifnya.
Selain itu normatif memiliki definisi penelitian yang berdasarkan bahan-
bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari
bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Adapun jenis penelitian hukum yang
digunakan oleh peneliti yaitu penelitian hukum empiris. Menurut Soejono
14 Teuku Muhammad Radie, Makalah : Penelitian Hukum dalam Pembinaan dan
Pembaharuan Hukum Nasional, Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, 1974, hlm. 14. 15 Syamsudin Pasamai, Metodologi Penelitian & Penulisan Karya Ilmiah Hukum, PT.
Umitoha, Makassar, 2010, hlm.66-67
Soekanto16 penelitian hukum sosiologis empiris yang mencakup, penelitian
terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas
hukum. Penelitian hukum sosiologis atau empiris hendak mengadakan
pengukuran terhadap peraturan perundang-undangan tertentu mengenai
efektivitasnya, maka definisi-definisi operasionil dapat diambil dari peraturan
perundang-undangan tersebut. Dalam penelitian hukum sosiologis atau empiris
pun tidak selalu diperlukan hipotesa, kecuali dalam penelitiannya yang bersifat
eksplanatoris.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris karena dalam
penelitian ini dilakukan analisis permasalahan dengan memadukan bahan-
bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dan data primer yang diperoleh
di lapangan yaitu tentang apa saja upaya yang sudah dilaksanakan oleh
pemerintah Indonesia dalam menyikapi RED dengan tambahan analisa melalui
pendekatan-pendekatan statue approach dan conceptual approach. Adapun
yang dimaksud dengan statue approach dan conceptual approach adalah:
a. Statute approach
Penelitian yang menggunakan perundang-undangan, karena
yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral dalam suatu penelitian.17 Penelitian ini akan
16 MuktifajardanYuliantoAchmad,
DualismePenelitianHukumNormatifdanEmpiris,Yogyakarta,PustakaPelajar, 2010, hlm. 153. 17 Johni Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Normatif, cet. III, Malang, Bayumedia
Publishing, hlm. 306.
melihat bagaimana kaidah hukum dalam RED bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang ada dalam General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT) dan Technical Barrier to Trade Agreement.
b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)
Pendekatan ini akan dipergunakan dalam penelitian. Dalam
penelitian ini penulis akan melihat prinsip-prinsip perdagangan yang
terkandung dalam GATT dan analisa perdagangan lain yang terdapat
dalam berbagai literatur.18
3. Jenis data dan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus
menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data dikumpulkan
sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek penelitian
dilakukan.19 Data ini diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research),
yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama.20
b. Data Sekunder
Data dalam penelitian ini penulis dapatkan melalui penelitian
perpustakaan (Library Research). Bahan pustaka merupakan data dasar dalam
18 Ibid.
19 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2009,
Cet. Ke 8, hlm. 137. 20 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hlm. 30
penelitian ini dan digolongkan kepada data sekunder. Bahan pustaka dari data
tersebut dapat dikelompokan kepada21:
a. Bahan hukum primer, mencakup:
1. The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
2. Technical Barrier to Trade Agreement
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
4. European Union Renewable Energy Directive (EU RED)
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, atau
pendapat pakar hukum, serta penelusuran informasi melalui internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum dan ensiklopedia
4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian lazimnya dikenal tiga
jenis alat pengumpul data, yaitu studi kepustakaan atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview. Karena data yang
diperoleh berupa data Sekunder dan Primer, maka teknik pengumpul data yang
21 Amiruddin dan Zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada,Jakarta,2012,hlm 118.
digunakan adalah melalui studi kepustakaan atau melalui penelusuran literatur
serta dengan melakukan teknik wawancara.22
a. Studi kepustakaan
1. Kunjungan ke perpustakaan untuk mendapatkan buku-buku, hasil
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian,
misalnya laporan penelitian, buletin, dan sebagainya.
2. Teknik pengumpulan data berupa bahan-bahan hukum primer,
dilakukan dengan cara menginvertarisasi, mempelajari dan mencatat
kedalam kartu penelitian tentang asas-asas dan norma hukum yang
menjadi objek permasalahan ataupun yang dapat djadikan alat analisis
pada masalah penelitian.
3. Teknik pengumpulan data sekunder berupa bahan-bahan hukum
sekunder, dilakukan dengan cara menelusuri literatur-literatur ilmu
hukun ataupun hasil-hasil penelitian hukum yang relevan dengan
masalah penelitian
4. Teknik pengumpulan data sekunder berupa bahan-bahan hukum tersier,
dilakukan dengan cara menelusuri kamus-kamus hukunm, kamus
bahasa dan dokumen tertulis lainnya yang dapat memperjelas suatu
persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum
primer dan sekunder.
22 Ibid. hlm. 67.
5. Teknik pengumpulan data berbasis Web searching, dilakukan dengan
cara menelusuri situs-situs yang menyediakan data yang relevan dengan
penelitian.
b. Wawancara (Studi Lapangan)
Untuk mendapat data primer, penulis melakukan tanya jawab
secara lisan, wawancara secara langsung dengan informan. Untuk
teknik wawancara menurut Fred Kerlinger dalam Kebenaran Ilmiah dan
Pokok-pokok Penelitian Hukum Normatif23 adalah situasi peran antar
pribadi bertatap-muka (face to face) yakni ketika seorang pewawancara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada
seorang informan. Wawancara tersebut dilakukan kepada para ahli
yang terkait dengan penelitian. Adapun target inorman yang
diwawancarai dalam penelitian ini adalah:
1. Staf Ahli Kerja Sama Intra Kawasan dan Antar Kawasan Amerika
dan Eropa Kemlu RI, Bapak Anwar Luqman Hakim sebagai salah
satu staf yang mengawal isu sawit keberlanjutan di Indonesia
terutama sebagai staf yang terlibat dalam diplomasi ekspor CPO ke
Uni Eropa.
2. Staf Ahli dan Kepala Sub Direktorat Perundingan Multilateral
Kementerian Perdagangan RI, Markhatin sebagai salah satu staf
23 Sukismo, Kebenaran Ilmiah dan Pokok-pokok Penelitian Hukum Normatif, Puskumbangsi
Leppa UGM, 2008,Yogyakarta, hlm.42
yang terlibat langsung dalam persiapan notifikasi Technical Barrier
Trade RED di World Trade Organization Jenewa, Swiss.
3. Charles-Michel Geurts, (Charge d’affaires) Delegasi Uni Eropa
Untuk Indonesia dan Brunei Darussalam sebagai diplomat yang
mengepalai kantor diplomatik Uni Eropa di Indonesia yang
mewakili kepentingan Uni Eropa.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif
kualitatif, data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis melalui langkah-
langkah yang bersifat umum.24 Adapun analisis data yang digunakan oleh
peneliti dalam penelitian hukum menggunakan sifat analisis yang deskriptif
dimana peneliti dalam menganalisis dilakukan untuk memberikan gambaran
atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian
yang dilakukan serta menggunakan pendekatan kualitatif dimana maksudnya
adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden sacara tertulis atau lisan
serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh.25
24 Nasution S, Metode Penelitian Kualitaitf, Trasito, Bandung,1992 hlm 52. 25Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Hukum Normatif dan
Empiris.Yogyakarta.Pustaka Pelajar, 2010, hlm 180.
Studi normatif merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan
melalui data tertulis dengan mempergunakan ”content analysis”. Content
analysis yang dilakukan dalam penelitian ini melalui analisa kualitatif, dimana
dalam penelitian kualitatif dipengaruhi oleh paradigma naturalistik-
interpretatif.26 Dimana peneliti berusaha mengkonstruksi realitas dan
memahami maknanya sehingga penelitian ini sangat memperhatikan proses,
peristiwa, dan otensitas. Menggunakan metode analisis isi harus mengamati
fenomena komunikasi, dengan merumuskan dengan tepat apa yang diteliti dan
semua tindakan harus didasarkan pada tujuan tersebut. Selanjutnya memilih
unit analisis yang akan dikaji, memilih objek penelitian yang menjadi sasaran
analisis. Apabila objek penelitian berhubungan dengan data-data verbal maka
perlu disebutkan tempat, tanggal dan alat komunikasi yang bersangkutan.
Namun, kalau objek penelitian berhubungan dengan pesan-pesan satu dalam
suatu media, perlu dilakukan identifikasi terhadap pesan dan media yang
mengantarkan pesan itu.
Lebih rinci metode analisa kualitatif yang digunakan adalah metode
analisis wacana (Discourse Analysis). Analisis wacana adalah suatu cara atau
metode untuk mengkaji wacana (discourse) yang terdapat atau terkandung
dalam pesan-pesan komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual.27
Setelah penulis melakukan wawancara terhadap informan, penulis melakukan
26 Cresswell, John W, Research Design: qualitative, quantitative and mixed method
approaches,SAGE Publications, 1994, hlm. 4 27 Khusnul Khotimah, Semiotika: Sebuah Pendekatan dalam Studi Agama, Jurnal Komunika,
Vol.2 No 2 Jul-Des 2008, hlm. 277-289
transkrip hasil wawancara yang mulanya berbentuk rekaman audio ke dalam
teks untuk dianalisa lebih dalam dan menjabarkan lebih akademis sesuai
dengan bidang keilmuan penulis. Analisis wacana lebih menitikberatkan
menjawab pertanyaan tentang “how” dan “why” dari teks.