BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan pernyataan sejumlah pengamat pemilu di berbagai media massa didapatkan suatu kecenderungan bahwa pemberitaan media massa terhadap pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) cenderung bersifat negatif (Rumah Pemilu, 2015; Haq, 2007; Amri & Ansari, 2013; Sendhikasari, 2013). Temuan tersebut juga sesuai dengan hasil riset singkat peneliti tentang pola pemberitaan pemilu pada Pemilu 2009 yang hasilnya memang secara umum kinerja KPU dalam pemberitaan media massa cenderung negatif. Yang dimaksud negatif di sini adalah sebagian besar pemberitaan mengangkat tema bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu mengalami banyak masalah, banyak melakukan kesalahan sehingga dapat disimpulkan bahwa KPU kurang mampu menyelenggarakan pemilu secara profesional dan sesuai dengan harapan publik. Jika pemberitaan-pemberitaan tersebut benar dan objektif, dapat diproyeksikan bahwa pemilu akan gagal dilaksanakan atau penuh dengan kekacauan yang masif, terstruktur dan sistematis. Pada kenyataannya pelaksanaan pemilu memang belum sempurna namun dapat dikatakan berjalan dengan cukup baik dan layak diterima hasilnya terbukti dengan diterimanya hasil pemilu walaupun tentu saja terdapat sejumlah sengketa hasil pemilu yang telah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi 1 . Peneliti pernah mewawancarai sejumlah pelaksana pemilu 2009 di tingkat kecamatan dan desa di Kabupaten Gunungkidul. Mereka menyatakan bahwa pemberitaan di media cenderung berlebihan dan hanya menambah bahan bakar bagi pihak-pihak yang ingin menjadikan pemilu sebagai lahan masalah atau menggunakan isu pemilu demi kepentingan kelompoknya. Contohnya adalah gugatan oleh salah satu calon peserta pemilu legislatif 2009 dari daerah pemilihan DI 1 Dalam riset singkat tersebut didapatkan 123 kliping pemberitaan terkait Pemilu 2009, 80 kliping dari harian Kedaulatan Rakyat dan 43 kliping dari Kompas yang dikumpulkan oleh KPU Kabupaten Gunungkidul terkait berita-berita KPU di tingkat pusat, DI Yogyakarta dan KPU Kabupaten Gunungkidul. Dari sampel kliping tersebut didapatkan hasil bacaan bahwa sebagian besar tema pemberitaan bersifat negatif (dengan tema masalah, kekacauan, kesalahan, ketidaksiapan dan tema sejenis lainnya) bagi tahapan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dan tidak ada satupun pemberitaan yang memberikan liputan yang positif atau apresiasi di setiap tahapan. Padahal narasumber yang dikutip oleh awak media sebagian besar berasal dari penyelenggara pemilu seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan pernyataan sejumlah pengamat pemilu di berbagai media massa

didapatkan suatu kecenderungan bahwa pemberitaan media massa terhadap pemilu

dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) cenderung bersifat negatif (Rumah Pemilu,

2015; Haq, 2007; Amri & Ansari, 2013; Sendhikasari, 2013). Temuan tersebut juga

sesuai dengan hasil riset singkat peneliti tentang pola pemberitaan pemilu pada

Pemilu 2009 yang hasilnya memang secara umum kinerja KPU dalam pemberitaan

media massa cenderung negatif. Yang dimaksud negatif di sini adalah sebagian besar

pemberitaan mengangkat tema bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu

mengalami banyak masalah, banyak melakukan kesalahan sehingga dapat

disimpulkan bahwa KPU kurang mampu menyelenggarakan pemilu secara

profesional dan sesuai dengan harapan publik. Jika pemberitaan-pemberitaan

tersebut benar dan objektif, dapat diproyeksikan bahwa pemilu akan gagal

dilaksanakan atau penuh dengan kekacauan yang “masif, terstruktur dan sistematis”.

Pada kenyataannya pelaksanaan pemilu memang belum sempurna namun dapat

dikatakan berjalan dengan cukup baik dan layak diterima hasilnya terbukti dengan

diterimanya hasil pemilu walaupun tentu saja terdapat sejumlah sengketa hasil

pemilu yang telah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi1.

Peneliti pernah mewawancarai sejumlah pelaksana pemilu 2009 di tingkat

kecamatan dan desa di Kabupaten Gunungkidul. Mereka menyatakan bahwa

pemberitaan di media cenderung berlebihan dan hanya menambah bahan bakar bagi

pihak-pihak yang ingin menjadikan pemilu sebagai lahan masalah atau

menggunakan isu pemilu demi kepentingan kelompoknya. Contohnya adalah

gugatan oleh salah satu calon peserta pemilu legislatif 2009 dari daerah pemilihan DI

1 Dalam riset singkat tersebut didapatkan 123 kliping pemberitaan terkait Pemilu 2009, 80 kliping dari

harian Kedaulatan Rakyat dan 43 kliping dari Kompas yang dikumpulkan oleh KPU Kabupaten

Gunungkidul terkait berita-berita KPU di tingkat pusat, DI Yogyakarta dan KPU Kabupaten

Gunungkidul. Dari sampel kliping tersebut didapatkan hasil bacaan bahwa sebagian besar tema

pemberitaan bersifat negatif (dengan tema masalah, kekacauan, kesalahan, ketidaksiapan dan tema

sejenis lainnya) bagi tahapan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dan tidak ada satupun pemberitaan

yang memberikan liputan yang positif atau apresiasi di setiap tahapan. Padahal narasumber yang

dikutip oleh awak media sebagian besar berasal dari penyelenggara pemilu seperti KPU dan Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu).

2

Yogyakarta yang bagi para panitia pelaksana pemilu tidak dapat dimenangkan,

namun mungkin dikarenakan pemberitaan yang tidak berimbang tentang betapa

kacaunya pelaksanaan pemilu maka sang calon legislatif “terperdaya” untuk terus

mengusahakan gugatan tersebut yang pada akhirnya hanya menghabiskan banyak

dana, baik bagi sang penggugat itu sendiri atau bagi KPU untuk mengumpulkan

data-data yang begitu banyak. Pada akhirnya kasus tersebut tidak dikabulkan oleh

Mahkamah Konstitusi karena tidak memiliki bukti yang cukup. Hal ini juga terulang

kembali pada pemilu 2014 di mana energi dan sumber daya bangsa ini dihabiskan

untuk memperdebatkan hasil pemilu presiden, yang mungkin salah satu sebabnya

adalah masih kurangnya kredibilitas dan reputasi KPU sebagai pelaksana pemilu

yang profesional dan layak dipercaya hasil perhitungannya. Jika saja reputasi dan

kredibilitas KPU sudah teruji, maka kemungkinan semakin kecil potensi sengketa

hasil pemilu itu terjadi karena para pihak yang mengajukan keberatan akan sangat

kesulitan mendapatkan bukti yang kuat untuk mendukung tuntutannya.

Dengan melihat fenomena tersebut, maka KPU idealnya perlu

memperhatikan manajemen komunikasi organisasinya terutama dalam aspek

hubungan masyarakat (humas) dan lebih spesifik lagi pada aspek hubungan media.

Aspek ini penting untuk semakin meningkatkan kinerja, citra, reputasi dan juga

kredibilitas KPU sebagai penyelenggara pemilu dan lembaga pemerintah yang dapat

dipercaya (Soekartono, 2010; Komisi Pemilihan Umum, 2014). Sejak

direformasinya lembaga penyelenggara pemilu dengan dibentuknya KPU di tahun

1999, dapat dilihat suatu kecenderungan bahwa aspek hubungan media ini cukup

mendapat perhatian dari KPU. Hal ini dapat dibuktikan dengan dibuatnya ruang

khusus media center di seluruh KPU baik KPU kabupaten/kota dan juga KPU

provinsi pada pemilu tahun 2009.

Pembentukan media center merupakan salah satu awal yang baik bagi

terjalinnya hubungan media yang konstruktif. Karena banyak hal yang

mempengaruhi bagaimana media massa lebih menekankan suatu isu dibandingkan

isu lainnya. Dari sisi hubungan media, di antaranya adalah kedekatan atau intensitas

kerjasama antara KPU dengan media massa dan awak media yang meliput

pelaksanaan pemilu. Walaupun tentu saja awak media tidak begitu saja dengan

mudah diarahkan untuk menampilkan berita yang mendukung lembaga, dikarenakan

sifat dasar media yang diharapkan selalu bersikap kritis dan skeptis terhadap sumber

3

beritanya untuk menghasilkan pemberitaan yang mendorong kemajuan wawasan

publik (Luhman, 2000).

Namun hasil dari usaha awal yang prospektif tersebut sampai saat ini belum

berhasil mengangkat tema-tema pemberitaan yang konstruktif bagi pelaksanaan

pemilu. Contoh terbarunya adalah pada pemilu 2014 yang lalu ketika media ramai-

ramai membicarakan kekisruhan DPT, media cenderung hanya mendapatkan

informasi dari kalangan partai politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM),

jarang terdengar mereka menyelidiki permasalahan tersebut ke para pihak yang

mengerjakan pendataan DPT tersebut (yaitu panitia pendaftar pemilih dan operator

di KPU). Selain itu jarang sekali media menampilkan berita yang jelas, mengapa

DPT itu kacau, faktor apa saja yang menyebabkannya dan apa penjelasan KPU dan

pihak terkait terhadap masalah DPT tersebut.

Dari model pemberitaan hingar-bingar itu masyarakat hanya mendapatkan

hiruk-pikuk masalah namun tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi serta

pilihan solusi apa yang dapat dilakukan. KPU sebagai penyedia informasi dan media

massa sebagai penyebarnya tidak mampu memberikan wacana yang konstruktif

tentang masalah pemilu tersebut, sehingga bisa jadi akan menghasilkan pemahaman

masyarakat yang mungkin tidak tepat. Selain itu pemberitaan pemilu yang cenderung

negatif, dalam jangka panjang akan membuat reputasi KPU sebagai penyelenggara

pemilu semakin rendah dan bisa jadi membuat masyarakat menjadi semakin apatis

serta enggan mengikuti proses demokrasi tersebut (Tulung, 2013).

Secara kinerja kehumasan, apa yang terjadi pada pemberitaan tentang pemilu

atau KPU dapat dikatakan disumbangkan oleh beberapa faktor kelemahan dalam

aspek komunikasi (humas) dari KPU. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu

terkesan tidak responsif dalam memberikan informasi-informasi penting tahapan

pemilu dan dalam menanggapi krisis atau masalah yang terjadi. KPU terlihat tidak

mengembangkan hubungan media yang baik untuk dapat merespon pemberitaan

yang negatif yang pada akhirnya langsung atau tidak langsung dapat mengganggu

pelaksanaan pemilu. Padahal stigma (reputasi) penyelenggara pemilu selama 32

tahun Orde Baru berkuasa adalah sebagai tukang stempel kecurangan pemilu di

mana jamak diketahui bahwa penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan melakukan

kecurangan demi kemenangan partai pendukung pemerintah (pada masa itu

4

kelompok pendukung pemerintah adalah Golongan Karya atau sekarang disebut

dengan partai Golkar). Sehingga perlu usaha keras untuk mengikis stigma tersebut

dan menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu sekarang yaitu KPU merupakan

lembaga yang memiliki kredibilitas dan profesionalitas yang semakin baik dan dapat

dipercaya hasil pekerjaannya.

Idealnya kinerja komunikasi, citra, reputasi dan kredibilitas lembaga KPU

Kabupaten Sleman merupakan hasil dari usaha sistematis semua unsur dalam

lembaga tersebut untuk mengkomunikasikan berbagai program dan informasi

penting kepada masyarakat. Tanpa pelaksanaan manajemen komunikasi yang tepat,

informasi internal antar bagian akan macet dan begitu pula kinerja lembaga secara

keseluruhan, kinerja KPU tidak akan diketahui oleh masyarakat, program-program

kerja tidak tersosialisasikan dengan baik kepada pemangku kepentingan, informasi

eksternal macet yang tentu akan menghambat program kerja dan berbagai kekacauan

lainnya. Oleh karena itu, posisi manajemen komunikasi idealnya mendapatkan porsi

perhatian yang setidaknya mencukupi untuk dapat mendukung keberhasilan program

kerja lainnya yang pada akhirnya meningkatkan citra dan reputasi lembaga sehingga

meningkatkan kredibilitas lembaga (Argenti, 2009; Cornelissen, 2004). Salah satu

aspek penting dalam manajemen komunikasi di lembaga adalah hubungan media.

Hubungan media merupakan salah satu aspek penting bagi semua organisasi

termasuk lembaga pemerintah. Bagi lembaga pemerintah tujuan yang hendak dicapai

adalah kelancaran program kerja, kelancaran pelayanan publik dan penguatan

kelembagaan melalui peningkatan kredibilitas, citra dan reputasi lembaga di hadapan

publik (Garnett, 1992; Marek, 2003).

Di sisi lain pemberitaan media massa merupakan wacana yang dominan

dalam masyarakat. Meskipun media massa dengan pemberitaannya belum mampu

menggiring opini masyarakat secara langsung, namun setidaknya dapat menggiring

perhatian masyarakat terhadap masalah yang diangkat (Kleinnijenhuis et al, 2006).

Jika media massa memberitakan isu A maka sebagian besar masyarakat akan

memperhatikan topik A tersebut dan sebaliknya jika media memberitakan isu B

maka sebagian masyarakatpun akan memperhatikan topik B tersebut yang sering

diistilahkan dengan teori “agenda setting” (Cornelissen, 2004).

5

Selain faktor-faktor pentingnya media bagi lembaga pemerintah dalam

fenomena-fenomena yang dibahas di atas, tema hubungan media yang merupakan

aspek terpenting dalam hubungan masyarakat di lembaga pemerintah khususnya

KPU dalam pengamatan peneliti belum banyak diteliti secara mendalam. Jika kita

menelusuri google.com maka sebagian besar hasil riset yang dapat diakses masih

berkutat pada aspek kehumasan secara umum pada lembaga pemerintah dan

pemerintah daerah, atau jikapun terdapat sejumlah penelitian tentang hubungan

media di lembaga pemerintah, sebagian besar menyasar pada lembaga-lembaga

kementerian di pusat dan lembaga pemerintah daerah baik provinsi dan

kabupaten/kota, contohnya adalah skripsi tentang kegiatan hubungan media yang

dijalankan bagian Humas Pemerintah Kota Yogyakarta (Saputro, 2009). Dalam

penelusuran tersebut, peneliti hanya mendapatkan sedikit sekali penelitian terkait

humas KPU dan tercatat hanya satu penelitian berupa tesis terkait media center KPU

itupun di tingkat KPU pusat saat menghadapi krisis logistik pada pemilu 2004

(Irawati, 2005), kemudian skripsi tentang program sosialisasi KPU di sejumlah KPU

provinsi dan kabupaten baik dalam pemilu dan juga pemilukada (Devi, 2010;

Rochmah, 2010). Selain itu, dengan melakukan penelusuran hasil penelitian

elektronik di perpustakaan Universitas Gadjah Mada terdapat sejumlah penelitian

terkait kehumasan dan khususnya hubungan media yang sebagian berbentuk skripsi

di antaranya tentang hubungan media (media relations) di Kementerian Pekerjaan

Umum (PU) (Novitasari, 2014). Tesis tentang penggunaan media sosial on line oleh

praktisi humas di Yogyakarta (Pienrasmi, 2015). Skripsi tentang humas Badan

Pemeriksa Keuangan terkait dengan Undang-undang keterbukaan informasi publik

(Hidayati, 2014). Sehingga menurut saya penelitian tentang hubungan media di KPU

Kabupaten Sleman ini cukup signifikan untuk dilakukan setidaknya sebagai

tambahan konteks pengetahuan kehumasan di KPU Kabupaten Sleman yang

mungkin saja memiliki perbedaan-perbedaan konteks dan masalah.

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang masalah di atas, tesis ini berusaha menjawab dua

pertanyaan yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan hubungan media KPU Kabupaten Sleman dalam

pemberitaan pemilu 2014?

6

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi proses pelaksanaan hubungan media

tersebut?

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kinerja

hubungan media yang dilaksanakan oleh KPU pada saat Pemilu 2014 di mana

momen tersebut merupakan salah satu momentum yang menentukan kinerja,

kredibilitas dan reputasi lembaga.

2. Selain itu riset ini juga bertujuan mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal

apa saja yang mempengaruhi kinerja hubungan media yang dijalankan oleh KPU

Kabupaten Sleman selama tahapan Pemilu 2014.

D. Manfaat Penelitian

1. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh tambahan pengetahuan tentang aktifitas

hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman sebagai lembaga

pemerintah dan dialektikanya dengan awak media dalam masalah pola

pemberitaan pemilu. Pengetahuan ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan

bukti, referensi atau konteks bagi riset-riset serupa yang mencoba mengaitkan

antara manajemen komunikasi lembaga pemerintah dengan arah pemberitaan.

2. Dari pengetahuan di atas, publik yang berminat dapat memperoleh manfaat

praktis khususnya bagi pelaksana humas di lembaga pemerintah, terutama KPU

di berbagai tingkatan tentang bagaimana idealita dan realita hubungan media

yang dijalankan pelaksana pemilu untuk menghasilkan pemberitaan yang

konstruktif bagi pelaksanaan pemilu dan membantu meningkatkan kredibilitas

penyelenggara pemilu. Dengan memiliki modal pengetahuan tersebut, para

pelaksana pemilu memiliki setidaknya pemahaman yang mencukupi untuk terus

mengembangkan kompetensi pribadinya di bidang kehumasan dan hubungan

media yang semakin optimal sesuai dengan yang diharapkan dalam teori-teori

hubungan media.

E. Kerangka Pemikiran

E.1. Humas

E.1.1 Definisi

Grunig dan Hunt mendefinisikan istilah humas atau public relations (PR) sebagai

sekumpulan tata kelola atau manajemen komunikasi organisasi terhadap publiknya

(Grunig et al, 2002; Tench et al, 2009; Hunt & Grunig, 1994). Sedangkan Cutlip,

Center dan Broom mendefinisikan humas sebagai fungsi manajemen yang

7

membangun dan menjalankan hubungan baik yang saling menguntungkan antara

organisasi dengan publik yang berpengaruh terhadap kesuksesan dan kegagalan

organisasi (dalam Watson & Noble, 2007). Dalam referensi lainnya ditambahkan

sejumlah kata mencakup proses komunikasi, pengawasan dan fungsi-fungsi teknis

komunikasi yang bersifat strategis dan menyeluruh dari suatu lembaga untuk

menjalin komunikasi yang baik dan mendapatkan kesepahaman dengan semua pihak

yang berkepentingan terhadap organisasi tersebut sehingga pada akhirnya

memberikan dampak positif bagi organisasi (Harvard Business School Publishing

Corporation & The Society for Human Resource Management, 2006).

E.1.2 Cakupan.

a. Humas Internal dan Eksternal

Humas di organisasi besar seperti perusahaan multinasional telah

berkembang menjadi manajemen komunikasi yang secara menyeluruh menangani

berbagai masalah komunikasi lembaga baik eksternal dan internal. Humas internal

merupakan fungsi komunikasi yang menangani berbagai masalah komunikasi di

dalam internal lembaga seperti hubungan antara pimpinan dan pekerja, sosialisasi

kebijakan organisasi kepada pekerja, memperkuat ikatan organisasi dengan pekerja

melalui berbagai metode seperti pelatihan, rekreasi dan integrasi keluarga pekerja ke

dalam organisasi (Novitasari, 2014, hal. 9). Singkatnya humas internal bertujuan

mengoptimalkan kinerja pekerja dengan memperbaiki alur komunikasi di dalam

organisasi untuk menghasilkan kinerja organisasi yang optimal. Jika alur komunikasi

internal tidak optimal maka kecil kemungkinan humas eksternal dapat berjalan

optimal karena kedua aspek komunikasi ini saling mempengaruhi.

Sedangkan fungsi humas eksternal secara ringkas merupakan usaha

organisasi mengelola komunikasi dengan berbagai pihak luar organisasi yang terkait

atau pemangku kepentingan. Di dalam organisasi bisnis fungsi ini memiliki sejumlah

sub fungsi seperti hubungan dengan media atau pers, investor, komunitas,

pemerintah, publik, pemasaran dan lain sebagainya (Argenti, 2009). Selain itu fungsi

kehumasan juga membantu bagian-bagian atau departemen lain di dalam organisasi

yang mengalami masalah komunikasi (Hunt & Grunig, 1994). Humas memiliki

posisi dan kewenangan yang tinggi serta strategis dalam struktur perusahaan modern

(Argenti, 2009). Namun dalam prakteknya di organisasi-organisasi kecil dan

menengah, apalagi di Indonesia fungsi humas ini seringkali masih ditempatkan di

8

bagian yang kecil dan lebih pada tugas-tugas protokoler dan hubungan eksternal

(Novitasari, 2014).

b. Kompetensi Kehumasan Manajerial dan Teknis

Humas menurut Grunig dan Hunt merupakan paduan antara kemampuan

teoritis manajerial kehumasan dan teknis-teknis komunikasi kehumasan.

Kemampuan teknis humas mencakup berbagai kemampuan teknis komunikasi

seperti kemampuan liputan media, menulis pidato dan rilis pers, menulis dan

mendesain brosur, memproduksi video iklan, negosiasi dengan pihak luar,

berkomunikasi dengan masyarakat, melobi pihak pihak eksternal, mengadakan acara

khusus dan menulis laporan tahunan. Sedangkan kemampuan manajerial atau teoritis

humas mencakup kemampuan melakukan riset, perencanaan, sumbang-saran kepada

pimpinan, evaluasi program dan kemampuan manajerial lainnya (Hunt & Grunig,

1994).

Selain itu, dalam hal kompetensi kehumasan ini, perlu keseimbangan dan

atau alokasi personil yang tepat untuk menghasilkan program humas yang optimal.

Sekedar memiliki staf yang menguasai teknis-teknis kehumasan dan menjalankannya

tanpa memperhatikan aspek manajerial kehumasan akan menghasilkan repetisi

aktifitas teknis humas yang tidak didasarkan oleh pemikiran komunikasi yang

menyeluruh. Hasil dari pelaksanaan teknik-teknik humas semata tidak akan

menghasilkan program humas yang optimal karena publik yang dihadapi terus

berubah sehingga diperlukan waktu jeda untuk melakukan riset, evaluasi dan

perencanaan menyeluruh selanjutnya. Sedangkan sekedar menguasai kemampuan

manajerial kehumasan juga hanya akan menghasilkan rencana program humas yang

bagus di kertas namun gagal dalam prakteknya.

c. Siklus Program Kerja Humas

Menurut sejumlah ahli kehumasan (Argenti, 2009), berikut ini adalah

beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan siklus program humas

yang efektif baik bagi organisasi di antaranya:

1. Perencanaan atau menentukan tujuan yang jelas dan terukur, setiap organisasi

memiliki alasan yang berbeda-beda saat berkomunikasi dengan publiknya

sehingga penentuan tujuan yang jelas dan spesifik disertai dengan ukuran

keberhasilan yang juga terukur akan mempermudah pelaksanaan program

komunikasi tersebut.

2. Memperhitungkan sumber daya yang tersedia, yaitu mencakup:

9

a. Anggaran, perlu diperhitungkan anggaran atau biaya suatu strategi

komunikasi, tidak hanya biaya dalam jangka pendek namun yang lebih

penting adalah akibat atau biaya jangka panjang dan juga biaya reputasi,

citra serta kredibilitas lembaga.

b. Sumber daya manusia, untuk menghasilkan program komunikasi yang

sukses memerlukan sumber daya manusia yang setidaknya mencukupi

dengan kompetensi yang cukup pula dan disesuaikan dengan kondisi yang

dihadapi oleh organisasi tersebut.

c. Waktu, organisasi idealnya mengalokasikan waktu yang tepat dengan kata

lain responsif dalam menjalankan program komunikasi yaitu

mengalokasikan waktu sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh

organisasi, dengan memprioritaskan kepentingan jangka panjang untuk

meminimalisir bertumpuknya masalah di masa depan. Penumpukan masalah

ini biasanya menghasilkan krisis yang lebih sulit dihadapi.

3. Evaluasi, organisasi perlu melakukan evaluasi hasil program sebagai dasar acuan

untuk melakukan program komunikasi selanjutnya. Menakar posisi awal ini di

antaranya dengan melakukan riset persepsi konstituen terhadap organisasi,

sehingga diketahui persepsi terkini konstituen terhadap organisasi. Selanjutnya

organisasi dapat melakukan program perbaikan atau peningkatan.

E.1.3. Model Humas.

Dalam kehumasan terdapat berbagai macam praktek humas yang masing-

masing memiliki perbedaan. Secara ringkas berbagai variasi tersebut

dikategorisasikan menjadi model-model kehumasan yang terdiri dari empat model

humas. Model humas ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Grunig dan Hunt.

Empat model kehumasan tersebut di antaranya:

1. Model publisitas (pers agentry/publicity).

Model kehumasan yang memiliki tujuan utama propaganda atau penyebaran

informasi organisasi kepada publik agar publik menyesuaikan diri dengan

organisasi, sifat komunikasi di dalamnya satu arah dan di dalamnya kebenaran

utuh tidak penting sehingga yang penting adalah agenda organisasi.

2. Model informasi publik (public information).

Dalam model humas sebagai pelaksana informasi publik, humas bertujuan utama

menyebarkan informasi kepada publik dengan alur komunikasi satu arah.

Berbeda dengan model agen pers/publisitas, dalam model informasi publik

10

kebenaran informasi merupakan hal yang penting sehingga kredibilitasnya lebih

baik.

3. Model timbal balik asimetris (two way asymmetric) atau persuasi ilmiah.

Model ini menggunakan landasan riset ilmiah untuk mempengaruhi publik dan

memberikan stimulus pemikiran kepada publik agar sesuai dengan agenda

organisasi. Namun model ini masih dominan hanya dalam usaha merubah

perilaku publik agar sesuai agenda organisasi namun kurang memberikan ruang

terhadap perubahan perilaku organisasi untuk menyesuaikan diri dengan aspirasi

publik.

4. Model timbal balik simetris (two way symmetric)

Merupakan model humas yang paling ideal karena tidak hanya merupakan usaha

merubah publik sesuai agenda organisasi namun juga memberikan input bagi

organisasi untuk terus menyesuaikan diri dengan publiknya. Dengan kata lain

humas dengan model ini merupakan media diskusi antara organisasi dan

publiknya untuk mencapai kesepahaman bersama (dirangkum dari Hunt &

Grunig, 1994; Putra & Sukarno, 2013).

Di dalam setiap organisasi, sejumlah faktor yang sangat berpengaruh

terhadap pilihan model dan bagaimana pelaksanaan kehumasan di antaranya adalah:

1. Kultur organisasi yang tepat. Kultur organisasi yang baik seperti karakter

lembaga yang terbuka, kompetitif atau berbagai karakter organisasi yang positif

lainnya serta kultur organisasi yang menempatkan reputasi dan kredibilitas

lembaga sebagai salah satu hal yang terpenting akan menghasilkan program

komunikasi yang setidaknya dipikirkan dan dirumuskan secara strategis.

2. Kepemimpinan yang memberikan akses dan perhatian terhadap aspek humas

secara logis akan mendukung pelaksanaan program humas. Walaupun tipe

kepemimpinan di berbagai lembaga seringkali bersifat unik sesuai dengan

karakter pribadi pemimpin, faktor yang penting adalah apakah kepemimpinan

tersebut sesuai dengan kondisi organisasi dan mendorong bawahannya

memperhatikan aspek humas dan memperkuat kinerja komunikasinya. Umumnya

karakter kepemimpinan yang terbuka dan responsif memiliki kecenderungan

perhatian yang lebih tinggi terhadap aspek humas di dalam lembaganya.

3. Struktur organisasi yang mendukung berkembangnya kehumasan yang baik.

Penempatan fungsi komunikasi pada posisi yang tepat akan sangat

11

mempengaruhi kinerja komunikasi dan pada akhirnya meningkatkan kinerja

organisasi secara keseluruhan. Dalam sejumlah literatur kehumasan disebutkan

semakin tinggi penempatan struktur fungsi komunikasi dalam suatu lembaga

cenderung menghasilkan kinerja komunikasi yang optimal (Kurnia & Putra,

2004).

4. Anggaran dan sumber daya manusia yang mencukupi (empat poin ini disadur

dari Vos & Westerhoudt, 2008; Argenti, 2009).

Faktor-faktor di atas merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan

pilihan model, pelaksanaan dan juga keberhasilan program humas. Tanpa

bersinerginya berbagai faktor tersebut, akan sulit menghasilkan program kerja

humas yang sukses dan memberikan pengaruh positif bagi lembaga, seperti citra

positif dan peningkatan kredibilitas lembaga.

E.2. Humas Pemerintah

Humas pemerintah secara definisi relatif serupa dengan definisi humas

organisasi umum seperti yang dinyatakan oleh Grunig dan Hunt, yaitu sebagai media

komunikasi timbal-balik antara lembaga pemerintah dengan publik luas. Garnett

(1992) menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di berbagai level memiliki

kewajiban memberitahu publik dan mendengarkan publiknya dengan kata lain

humas pemerintah adalah penyebar informasi dan pendengar aspirasi publik.

Dalam konteks negara maju seperti Amerika Serikat (AS) istilah PR lembaga

pemerintah oleh publik Amerika Serikat-pun dikritisi oleh sebagian publik dan

dianggap tidak tepat dalam menjembatani komunikasi antara publik dan lembaga

pemerintah karena dikonotasikan memiliki pengaruh yang buruk bagi opini publik

terhadap pemerintahan. Sehingga fungsi PR dalam pemerintahan AS menggunakan

berbagai istilah lain seperti staf, pengelola atau ahli informasi publik, urusan publik,

publikasi, komunikasi dan lain sebagainya. Namun secara garis besar fungsi

kehumasan di dalamnya tetap dijalankan oleh lembaga pemerintah dengan

perubahan istilah yang dianggap tidak terlalu „ofensif’ dan lebih bersifat memenuhi

kepentingan publik (Turney, 2009).

Sedangkan perkembangan humas di Indonesia sebagai jembatan komunikasi

pemerintah dengan pihak luar secara sadar telah dijalankan sejak awal pembentukan

negara. Walaupun tentu saja dengan berbagai keterbatasan dan berbagai perubahan

12

kondisi umum pemerintahan, humas pemerintah berjalan mengikuti dinamika yang

terjadi. Di masa awal kemerdekaan bidang komunikasi digunakan sebagai media

mengkomunikasikan usaha kemerdekaan dan diplomasi internasional serta

konsolidasi kekuatan negara. Di masa Orde Baru peran komunikasi atau humas

didominasi oleh pemerintahan untuk menstabilkan kondisi negara dan menguasai

serta mengendalikan aliran informasi di masyarakat melalui Departemen

Penerangan. Selain itu sejak tahun 1970-an dibentuk Badan Kordinasi Hubungan

Masyarakat (Bakohumas) yang mengkordinasi humas antar departemen dan lembaga

pemerintah di berbagai level baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota (Kurnia dan

Putra, 2004). Dalam perkembangan terbaru di era pasca Reformasi ketika demokrasi

mulai ditegakkan, fungsi komunikasi dan humas di lembaga pemerintah mulai

direvitalisasi melalui berbagai pembentukan tata perundangan tentang alur informasi

publik dan reformasi birokrasi. Sehingga fungsi komunikasi pemerintah dan juga

humas pemerintah sepertinya diarahkan kembali sesuai dengan definisi humas ideal,

yaitu menjadi simpul komunikasi dua arah antara organisasi dengan publiknya.

Walaupun dalam prakteknya humas pemerintah di sebagian besar lembaga

pemerintah masih menerapkan komunikasi searah yang ditandai dengan dominannya

penggunaan media massa sebagai saluran komunikasi dalam menyebarkan informasi

kepada publik (Lubis, 2012).

Humas pemerintah banyak memiliki kesamaan dan seringkali

dikomparasikan dengan humas di organisasi bisnis, namun dalam aspek tertentu

memiliki sejumlah perbedaan dengan humas di lembaga bisnis. Sejumlah perbedaan

tersebut di antaranya dalam hal yang mendasari pentingnya humas dan tujuan

pelaksanaan humas. Dalam humas pemerintah, kegiatan humas lembaga pemerintah

didasari oleh kewajiban pemerintahan yang demokratis terhadap publiknya dalam

memberikan informasi, edukasi dan pemberdayaan publik serta yang paling penting

adalah sebagai media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat sebagai usaha

untuk memenuhi kewajiban lembaga menjalankan misi utamanya yaitu melayani

publik. Untuk itu humas di lembaga pemerintah memiliki sejumlah tujuan yang

sedikit berbeda dari tujuan humas di lembaga bisnis, di antaranya:

1. Menjalin interaksi dengan publik dalam rangka membuat publik mengetahui

kondisi lembaga pemerintah, mendidik dan memberdayakan publik terkait

program-program kerja lembaga pemerintah yang melibatkan publik.

13

2. Melayani hak publik terhadap informasi dan menghasilkan kebijakan pemerintah

yang transparan.

3. Dengan kinerja komunikasi yang baik akan menghasilkan citra positif,

peningkatan reputasi dan kredibilitas lembaga.

4. Meningkatnya reputasi dan kredibilitas lembaga akan meningkatkan kepercayaan

publik dan meningkatkan partisipasi publik terhadap kebijakan lembaga (disadur

dari Vos & Westerhoudt, 2008).

Dengan melihat tujuan komunikasi lembaga pemerintah di atas, diperoleh

gambaran cakupan fungsi yang ditangani oleh fungsi kehumasan di lembaga

pemerintah di antaranya fungsi pelayanan informasi publik, fungsi

periklanan/kampanye, sosialisasi, pendidikan dan penyuluhan lembaga, hubungan

media, komunikasi internal dan manajemen krisis. Semua fungsi kehumasan tersebut

secara keseluruhan pada akhirnya juga terkait dengan identitas, citra, reputasi dan

kredibilitas lembaga pemerintah (Garnett, 1992). Dalam perkembangan terbaru

kehumasan di lembaga pemerintah di Indonesia, fokus utama fungsi humas di era

terkini adalah penguatan fungsi akses komunikasi publik, hal ini ditandai dengan

penguatan berbagai dasar peraturan dan infrastruktur untuk memberikan akses

pelayanan publik yang lebih baik (Hidayati, 2014).

Humas pemerintah sepertihalnya humas di organisasi bisnis memiliki dua

cakupan pekerjaan yaitu humas atau komunikasi internal dan eksternal. Usaha-usaha

fungsi humas internal di organisasi bisnis tersebut juga dilakukan oleh lembaga

pemerintah seperti dalam pelatihan pegawai, acara-acara penguatan kelembagaan

melalui pelatihan dan rekreasi untuk memperkuat ikatan internal organisasi, namun

istilah „bagian‟ atau departemen mana yang mengerjakan humas internal tersebut

seringkali lebih banyak dikerjakan oleh bagian sumber daya manusia atau bagian

umum. Dalam organisasi pemerintah fungsi humas eksternal juga menerapkan

pembagian sub fungsi-fungsi tersebut dengan variasi atau adaptasi istilah yang pada

dasarnya komunikasi dengan pemangku kepentingan eksternal seperti hubungan

antar lembaga, hubungan media, laporan kinerja kepada publik, respon masalah

publik, meningkatkan penggunaan layanan lembaga, pendidikan dan kampanye serta

pemberdayaan masyarakat (Lee et al , 2012). Pada umumnya fungsi eksternal inilah

yang benar-benar ditangani oleh bagian humas di lembaga pemerintah, contohnya

dalam memberikan pelayanan informasi publik, hubungan dengan lembaga lain,

14

sosialisasi dan penyuluhan program kerja kepada masyarakat dan pemberdayaan

serta peningkatan partisipasi masyarakat terhadap program kerja lembaga.

E.3. Hubungan media

Dengan merangkum sejumlah referensi kehumasan, hubungan media

merupakan salah satu bagian yang paling penting dan juga disebut sebagai asal-

muasal fungsi kehumasan (Hunt & Grunig, 1994; Theaker, 2001). Definisi hubungan

media menurut Grunig menekankan pada idealisme bahwa hubungan media

merupakan jalinan hubungan baik antara praktisi humas dengan media massa dalam

jangka panjang untuk menghasilkan liputan yang positif bagi lembaga dan publik.

Sedangkan Cutlip, Center dan Broom (dalam Putra dan Sukarno, 2013) menyatakan

hubungan media adalah spesialisasi dalam humas yang berfungsi membangun dan

memelihara hubungan mutualisme antara organisasi dengan berbagai saluran

komunikasi dalam hal ini media massa yang meliput di organisasi tersebut. Selain itu

hubungan media dirumuskan sebagai usaha diseminasi informasi yang dilakukan

oleh organisasi kepada pemangku kepentingan sesuai dengan agenda lembaga

tersebut melalui kerjasama peliputan media massa profesional (Argenti, 2009).

Definisi tersebut serupa dengan Jefkins (dalam Putra dan Sukarno, 2013) yang

menyatakan hubungan media adalah usaha humas untuk mendapatkan

publisitas/liputan media secara maksimal.

Dalam hubungan media, salah satu acuan dalam menilai apakah program

hubungan media tersebut berjalan dengan baik adalah pola pemberitaan lembaga

yang sering disebut dengan publisitas baik atau publisitas buruk (good or bad

publicity). Istilah ini dalam sejumlah riset dirumuskan sebagai arah (tone) atau sifat

berita yang secara sederhana dapat dikategorikan berdasarkan judul atau tema utama

ke dalam berita favourable, netral dan unfavourable, dengan kata lain berita positif,

netral dan negatif (Hunt & Grunig, 1994). Dalam riset ini kategorisasi tersebut juga

diperluas dengan memasukkan kategori kecenderungan seperti condong negatif atau

condong positif untuk mengakomodir pesan-pesan berita yang mungkin tidak

eksplisit dan ekstrim dalam menampilkan kata-kata kunci baik dalam judul dan juga

tema berita.

Hubungan media di lembaga pemerintah memiliki perbedaan dibandingkan

dengan hubungan media di organisasi non pemerintah yang menghasilkan perbedaan

15

perlakuan media di dalamnya. Perbedaan tersebut di antaranya adalah bahwa

hubungan media dengan lembaga pemerintah lebih asimetris dan cenderung dikuasai

oleh lembaga pemerintah dikarenakan media massa sebagai institusi bisnis memiliki

keterbatasan kekuasaan dan akses lainnya dibandingkan dengan lembaga

pemerintah. Selain itu media massa juga sangat bergantung terhadap lembaga

pemerintah dalam hal narasumber berita sehingga sebenarnya banyak faktor yang

dapat memudahkan hubungan media lembaga pemerintah (Berita Kementerian,

2014; Lee et al, 2012). Namun di negara-negara penganut sistem demokrasi seperti

Indonesia di masa ini, kesenjangan atau hegemoni lembaga pemerintah terhadap

media massa semakin berkurang seiring dengan menguatnya nilai demokrasi dan

aktifisme publik, sehingga lembaga pemerintah semakin perlu memperhatikan aspek

hubungan medianya. Karena media massa di satu sisi bisa menjadi rekan kerja baik

dalam menyebarkan informasi kelembagaan kepada publik seluas-luasnya namun di

sisi lain dapat menyebarkan informasi negatif yang berakibat buruk bagi kredibilitas

lembaga jika kinerja hubungan media suatu lembaga tidak berjalan baik.

Tujuan hubungan media di lembaga pemerintah di antaranya adalah:

1. Berinteraksi dengan publik luas dan membuat publik luas paham dengan

kebijakan yang diambil oleh suatu lembaga pemerintah serta membentuk

kebijakan yang transparan.

2. Membangun dan mempertahankan kredibilitas lembaga pemerintah di mata

publik di antaranya melalui perbaikan citra lembaga dan meningkatkan profil

lembaga di media. Tidak seperti iklan atau advertorial, pemberitaan positif

terhadap suatu lembaga memiliki kredibilitas yang lebih tinggi di mata

publik. Sehingga hubungan media yang menghasilkan pemberitaan positif,

jauh lebih efektif dalam meningkatkan kepercayaan publik dari pada iklan

dan advertorial.

3. Merubah perilaku dari publik yang ditargetkan (sosialisasi, kampanye dan

edukasi), di lembaga pemerintah seperti KPU, perubahan perilaku publik

terhadap pemilu merupakan salah satu hal terpenting dalam menghasilkan

pemilu yang berkualitas. Sejumlah perubahan sikap tersebut di antaranya

adalah peningkatan partisipasi pemilih, peningkatan kualitas pemilih dan hasil

pemilihan (pemilih cerdas, kampanye anti politik uang dan berbagai aspek

lainnya).

16

4. Mempengaruhi keputusan politik dari lembaga lain yang terkait. Dalam hal

ini KPU dengan lembaga negara lainnya terutama yang sangat berpengaruh

bagi kinerja KPU. Profil media KPU yang kredibel akan mempengaruhi

keputusan politik di berbagai level. Dengan perubahan sikap di lembaga-

lembaga yang terkait dengan KPU seperti kepala daerah, pemutus kebijakan

anggaran, legislatif pusat dan lembaga kepresidenan maka berbagai masalah

yang dihadapi KPU akan mendapatkan dukungan yang optimal dari lembaga

negara lainnya (disadur dari Vos & Westerhoudt, 2008; Theaker, 2001).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, walaupun hubungan antara

lembaga pemerintah dengan media massa memiliki ketimpangan terutama dalam hal

akses kekuasaan dan ketergantungan media terhadap informasi dari lembaga

pemerintah. Dalam perkembangan terkini khususnya di Indonesia ketika pemerintah

telah menerapkan dan menegakkan demokrasi dan terus meningkatkan peran serta

masyarakat dalam berbagai kebijakan publik, maka aspek hubungan media humas

pemerintah perlu semakin diperkuat. Karena melalui medialah, lembaga pemerintah

dapat dengan mudah dan seluas mungkin menyebarkan informasi kepada publik dan

sekaligus mendapatkan respon atau reaksi publik terhadap suatu kebijakan untuk

mendapatkan rumusan kebijakan yang komprehensif dan sesuai dengan aspirasi

rakyat (Garnett, 1992).

Agar lembaga memiliki hubungan media yang baik, lembaga tersebut harus

memiliki pola pikir bahwa yang terpenting dalam hubungan media adalah hubungan

baik jangka panjang antara praktisi atau aktor humas dengan awak media (Hunt &

Grunig, 1994). Hubungan baik ini sebenarnya merupakan wujud strategi komunikasi

komunikasi yang terintegrasi dan komprehensif meliputi rencana jangka pendek,

jangka menengah dan jangka panjang (Argenti, 2009). Hubungan media yang baik

juga membutuhkan sejumlah prasyarat sikap, baik dari sisi praktisi humas dan juga

dari awak media. Sikap-sikap tersebut diantaranya saling menghormati,

kesepahaman, saling percaya dan kemampuan saling mentoleransi berbagai

keterbatasan antara kedua profesi yang saling membutuhkan tersebut (Hunt &

Grunig, 1994).

17

Selain sikap-sikap tersebut, menurut Hunt dan Grunig (1994) terdapat

setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh praktisi hubungan media yang akan

menghasilkan hubungan media yang optimal di antaranya:

1. Kemampuan dalam bekerjasama dan memberikan informasi yang baik kepada

media.

2. Membangun kredibilitas agar dapat selalu diandalkan sebagai sumber berita

yang terpercaya.

3. Membangun hubungan pribadi yang baik dengan awak media.

Sedangkan secara teknis, menurut Grunig dan Hunt hubungan media

mencakup sejumlah pekerjaan teknis hubungan media, di antaranya:

1. Konferensi pers, yaitu narasumber memberikan informasi kepada sekelompok

wartawan, biasanya menanggapi suatu isu yang sedang hangat dibicarakan.

2. Press briefing (pengarahan kepada awak pers), yaitu pemberian informasi

secara rutin oleh humas atau pejabat lembaga kepada wartawan tentang

berbagai perkembangan terkini lembaga.

3. Kunjungan wisata bersama awak media, yaitu lembaga mengadakan

kunjungan ke wilayah wisata dengan mengikutsertakan wartawan untuk

menjalin ikatan pribadi yang lebih baik.

4. Siaran pers, yaitu memberikan informasi kepada awak media untuk dimuat di

medianya, biasanya dalam bentuk tulisan baik cetak dan juga elektronik.

5. Acara khusus, saat menjalankan suatu acara khusus, lembaga mengundang

dan memfasilitasi wartawan untuk turut serta dan meliput acara tersebut.

6. Jamuan makan bersama awak media, serupa dengan kunjungan wisata,

jamuan makan dengan wartawan memberikan wadah bagi pimpinan dan

wartawan untuk dapat menjalin hubungan baik.

7. Wawancara individual, yaitu pelaksanaan wawancara antara pimpinan dengan

seeorang wartawan secara khusus untuk memberikan informasi yang terkesan

eksklusif.

8. Wawancara atau temu bicara di radio dan atau televisi.

9. Serta kunjungan ke redaksi media, yaitu kunjungan pimpinan lembaga untuk

audiensi kepada pimpinan dan redaksi media untuk menjalin kerjasama

dengan instansi media.

18

Terdapat beberapa jenis media yang saat ini diperhatikan oleh masyarakat di

antaranya adalah media cetak seperti koran, majalah, media suara seperti radio,

media audio visual seperti televisi dan juga media yang terbaru yaitu media on line

yang dapat bersifat tulisan, audio, visual dan bahkan interaktif (Parsons, 2008).

Pemahaman aktor humas terhadap masing-masing jenis media perlu diperdalam

untuk mendapatkan hubungan media yang efektif dan efisien karena kesalahan

pemilihan mitra media massa dan kurang tepatnya target audiens akan sangat

mempengaruhi cakupan pemangku kepentingan yang ingin dicapai oleh suatu

kegiatan diseminasi informasi (Argenti & Barnes, 2009). Di masing-masing media

ini terdapat berbagai perbedaan cara kerja pemberitaan yang perlu juga dipahami

oleh praktisi humas dan hubungan media untuk dapat menghasilkan program

hubungan media yang optimal, di antaranya pengetahuan tentang pangsa pasar

media, filosofi dan idealisme media, aktor penentu munculnya pemberitaan dan

berbagai aspek lainnya.

F. Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan membahas pelaksanaan salah satu program yang

terpenting bagi humas pemerintah yaitu hubungan media. Hubungan media adalah

jalinan kerjasama antara aktor humas dengan media massa profesional untuk

menghasilkan liputan yang positif bagi lembaga. Hubungan media dapat dikatakan

merupakan inti pekerjaan humas berdasarkan sejumlah riset tentang humas lembaga

pemerintah di berbagai tingkatan lembaga dan pemerintah daerah. Hubungan media

mencakup setidaknya tiga prinsip agar dapat berjalan dengan optimal yaitu meliputi

membangun kredibilitas pelaksana hubungan media agar dapat dipercaya sebagai

sumber berita, mengembangkan hubungan pribadi yang baik antara humas dengan

awak media dan kemampuan kerjasama yang dimiliki oleh humas dan lembaga.

Untuk menggambarkan teknis pelaksanaan hubungan media dapat dilihat dari

bagaimana proses pelaksanaan berbagai program hubungan media yang secara

umum meliputi siklus pelaksanaan program kehumasan yaitu bagaimana fact finding

atau riset awal dalam program hubungan media yang dijalankan. Kemudian

bagaimana communicating/pelaksanaan atau implementasi program hubungan media

seperti aspek perencanaan dan realisasi program (anggaran, SDM dan implementasi

teknis). Yang terakhir adalah bagaimana evaluasi program hubungan media yang

telah dijalankan sebagai dasar perencanaan selanjutnya.

19

Selain itu riset ini juga membahas berbagai faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi pelaksanaan hubungan media. Faktor-faktor tersebut mencakup

faktor kelembagaan KPU secara umum dan juga kondisi khusus di KPU Kabupaten

Sleman. Sejumlah faktor penting yang menentukan bagaimana kinerja dan proses

dalam program hubungan media tersebut di antaranya adalah kultur organisasi,

persepsi pimpinan terhadap kegiatan hubungan media yang mencakup bagaimana

persepsi, pemahaman, pengertian dan penerapan para aktor kunci KPU Kabupaten

Sleman terhadap hubungan media. Hasil dari persepsi aktor utama hubungan media

tersebut akan mempengaruhi bagaimana posisi humas dalam struktur organisasi.

Kelanjutan dari pemahaman pimpinan dan penempatan humas sebagai pengelola

hubungan media tersebut akan tercermin dalam model perencanaan dan pelaksanaan

alokasi sumber daya mencakup SDM dan anggaran.

Bagan 1 Pelaksanaan Hubungan Media

Tabel 1 Kerangka Konsep

N

o.

Konsep Penjelasan Indikator

1. Hubungan

media

Jalinan hubungan baik dan

kerjasama antara humas

dengan media massa

profesional untuk

menghasilkan liputan positif

bagi lembaga.

Membahas bagaimana:

kredibilitas, hubungan pribadi dan

kemampuan kerjasama aktor

humas dalam hubungan media

serta membahas bagaimana

pelaksanaannya.

2. Membangun

kredibilitas

aktor humas

Keadaan karakter pribadi dan

tingkat usaha untuk

menguasai informasi

kelembagaan agar dapat

dipercaya oleh media massa

Aspek ini dapat dilihat dengan

membahas bagaimana profil, sifat

dan karakter aktor, arti penting

hubungan media bagi aktor dan

penguasaan informasi.

Prinsip hubungan media:

Membangun kredibilitas humas

Mengembangkan hubungan pribadi

Kemampuan kerjasama

Siklus Program Hubungan Media

Perencanaan / riset Awal

Pelaksanaan: alokasi anggaran, SDM dan waktu

Evaluasi

Teknis Hubungan Media:

konferensi pers

press briefing

kunjungan wisata

siaran pers

acara khusus

jamuan/media gathering

wawancara individual

dialog interaktif

media visit

output liputan

Faktor-faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan hubungan media

20

sebagai narasumber berita.

3. Mengembang

kan

hubungan

pribadi

Jalinan komunikasi

personal/non formal antara

humas dengan awak media

dalam rangka mempererat

kerjasama profesional.

Bagaimana implementasi dalam

menjalin hubungan secara pribadi

dengan awak media, keterbukaan

dan komunikasi interpersonal

4. Kemampuan

kerjasama

Tingkat profesionalisme

humas dalam menjalin

kerjasama dengan awak

media dan menjalankan

program-program teknis

hubungan media.

Membahas bagaimana keahlian

humas dalam memberikan

informasi dan melaksanakan

kegiatan teknis hubungan media

5. Siklus

program

hubungan

media

Merupakan bentuk ideal

pelaksanaan hubungan media

mencakup fact finding –

implementasi

(communicating) – evaluasi.

Membahas bagaimana pelaksanaan

riset awal, implementasi program

mencakup perencanaan dan

realisasi program (anggaran,

personil dan waktu), serta evaluasi

sebagai bahan perencanaan

lanjutan.

6. Output

hubungan

media

Hasil dari kegiatan hubungan

media yang secara sederhana

dapat dinilai dengan meneliti

pola peliputan yang

dilakukan oleh media.

Bagaimana pola dalam sampel

pemberitaan bagi KPU Kabupaten

Sleman (cenderung negatif, netral

atau positif).

7. Faktor yang

mem-

pengaruhi

Berbagai kondisi yang

mempengaruhi pelaksanaan

hubungan media mencakup

faktor internal organisasi dan

eksternal.

Dalam aspek ini akan membahas

apa saja dan bagaimana kondisi

internal lembaga dan eksternal

yang terkait dalam mempengaruhi

pelaksanaan hubungan media.

G. Metodologi Penelitian

G.1. Pendekatan dan Metode Penelitian.

Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu tidak sebatas meneliti data-data yang

ada namun juga mencoba menggali berbagai hal yang mungkin saja mendasari

munculnya data tersebut terutama terkait dengan subjektifitas aktor-aktor yang ada di

dalam proses yang diteliti. Sedangkan metode penelitian yang akan digunakan

adalah penelitian deskriptif yang akan berusaha menggambarkan proses di dalam

program hubungan media yang dijalankan KPU Kabupaten Sleman. Metode

deskriptif ini digunakan untuk lebih memperdalam bagaimana interaksi di dalam

proses hubungan media tersebut sebagai cerminan atau proyeksi atas kinerja

komunikasi kelembagaan secara keseluruhan dengan mendeskripsikan semua proses

yang terjadi dan membandingkan idealita hubungan media dengan realitas hubungan

21

media yang terjadi di KPU Kabupaten Sleman (Novitasari, 2014, hal. 30-39;

Pienrasmi, 2015, hal. 20-35).

G.2. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam riset ini di antaranya dokumentasi-dokumentasi

terkait organisasi KPU kemudian kaitannya dengan hubungan media di KPU

Kabupaten Sleman seperti data perencanaan dan realisasi anggaran dan data-data

lainnya serta sampel kumpulan kliping pemberitaan tentang KPU Kabupaten Sleman

di Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja dan Radar Jogja. Selain itu, data-data tertulis

tersebut juga diperkuat dengan wawancara dan observasi terhadap aktor-aktor

penting dalam program hubungan media di antaranya ketua dan anggota KPU

Kabupaten Sleman, pejabat sekretariat yang membidangi humas, keuangan, SDM

dan perencanaan serta staf pelaksana humas.

G.3. Teknik Pengumpulan Data

a. Pembacaan terhadap dokumen-dokumen, yaitu analisa terhadap dokumentasi

program hubungan media yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman

meliputi:

i. Latar belakang organisasi (sejarah, asas, visi dan misi, dasar pemikiran dan

berbagai aspek terkait lainnya) dari KPU sebagai penjelasan konteks dasar

kultur komunikasi yang hendak dibangun yang mungkin saja

membedakannya dari lembaga pemerintah lainnya.

ii. Kebijakan umum atau dasar peraturan pelaksanaan yaitu bagaimana

kebijakan umum terkait hubungan media, aturan tertinggi sebagai dasar

hukum hubungan KPU dengan media, arahan dari KPU pusat, KPU

provinsi, struktur organisasi KPU dalam mengelola aspek komunikasi

lembaga, serta pemahaman pimpinan terhadap pentingnya hubungan media.

iii. Perencanaan, di antaranya tentang perencanaan porsi anggaran dan personil

terhadap aspek hubungan media.

iv. Penerapan dan realisasi, kondisi riil penerapan hubungan media yang

dijalankan oleh KPU Kabupaten Sleman.

v. Dan keluaran (output), hasil dari usaha hubungan media yang mewujudkan

dirinya dalam bentuk pemberitaan media massa yang akan diambil dari

sampel pemberitaan.

vi. Serta berbagai faktor baik pendukung dan penghambat di dalam proses

tersebut.

22

Kemudian analisa dokumentasi hasil program hubungan media, peneliti akan

mengumpulkan dan menganalisa sejumlah sampel dokumentasi pemberitaan

tertulis terutama berupa kliping dan dokumentasi berita media cetak, pemilihan

kliping tersebut dilakukan untuk setidaknya menghasilkan proyeksi atau

cerminan pola pemberitaan pemilu 2014 yang muncul di media lokal Kabupaten

Sleman. Tidak digunakannya media televisi dan radio dikarenakan kesulitan

teknis untuk merekam dan menyimpan bukti-bukti hasil pemberitaan. Analisa

terhadap data pemberitaan tersebut dilakukan dengan menggunakan sudut

pandang humas KPU Kabupaten Sleman untuk mengetahui kecenderungan

seberapa banyak kemunculan berita pemilu yang positif, cenderung positif,

netral, cenderung negatif dan yang negatif berdasarkan judul berita dan juga tema

berita secara keseluruhan. Melalui kliping-kliping atau dokumentasi berita

tersebut, peneliti juga akan mencari siapa saja yang menjadi narasumber dalam

berita tersebut. Hal ini untuk mengetahui sebaran narasumber yang digunakan

oleh awak media terhadap munculnya pola pemberitaan yang ada dan

mengetahui aktor humas mana saja yang terlibat aktif dalam hubungan media

sebagai sumber berita.

b. Wawancara, setelah pembacaan terhadap dokumentasi-dokumentasi di atas

dilanjutkan dengan wawancara terhadap aktor-aktor kunci hubungan media di

KPU Kabupaten Sleman untuk mendapatkan bagaimana persepsi mereka

terhadap pentingnya komunikasi, humas dan khususnya hubungan media bagi

kepentingan lembaga. Selain persepsi dari wawancara tersebut juga didapatkan

bagaimana peran aktor humas tersebut dalam hubungan media selama periode

tersebut. Wawancara tersebut sebagai bahan pembanding atas data-data dokumen

yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan wawancara ini maka akan diketahui

apa saja yang mungkin menjadi faktor atau konteks munculnya data dokumen

yang ada.

c. Observasi, sebagai penguat serta untuk memvalidasi data-data dokumentasi dan

wawancara, dilakukan observasi partisipatif secara langsung yaitu observasi oleh

peneliti yang juga mengikuti proses tersebut secara langsung dan tidak sekedar

melakukan observasi dari jauh terhadap proses komunikasi di dalam program-

program hubungan media serta berbagai proses terkait di dalamnya untuk melihat

bagaimana interaksi antar aktor di dalam proses hubungan media tersebut.

Observasi ini diperlukan untuk membuktikan terutama hasil wawancara terhadap

23

aktor yaitu apakah apa yang dinyatakan oleh aktor tersebut sesuai dengan

tindakan atau implementasinya di lapangan.

G.4. Teknik Analisis Data

a. Reduksi data, pengumpulan data terutama terkait dengan data dokumentasi baik

kliping berita dan juga dokumentasi program kerja hubungan media di KPU

Kabupaten Sleman merupakan hasil dari pengerucutan berbagai data yang

dikumpulkan. Dalam hal kliping berita, pengumpulan berita dibatasi dan disaring

hanya pada berita yang bertemakan pemilu di Kabupaten Sleman dengan kata-

kata kunci Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sleman, pemilu di

Kabupaten Sleman dan semua organisasi penyelenggara pemilu di bawahnya.

Pengerucutan ini untuk mendapatkan konteks berita yang memiliki keterkaitan

paling erat dengan lembaga KPU Kabupaten Sleman.

b. Penyajian data disajikan dengan kalimat yang deskriptif untuk kemudian

ditambahkan dengan hasil analisa dari peneliti dalam melihat data-data yang ada.

Hasil analisa tersebut merupakan hasil konfirmasi dengan data-data lain yang

muncul.

c. Pengambilan kesimpulan, hasil dari rangkuman data-data serta hasil verifikasi

dan validasi data-data tersebut dianalisa dan dirumuskan menjadi kesimpulan dan

juga saran-saran.

G.5. Uji Keabsahan Data

Keabsahan data dalam riset ini didapatkan dengan melakukan konfirmasi

atau verifikasi antar data yang didapatkan. Contohnya dalam menganalisa pola

pemberitaan akan dikonfrontir dengan persepsi aktor-aktor kunci hubungan media di

KPU Kabupaten Sleman untuk mendapatkan kesepahaman atau kesepakatan

terhadap analisa yang disimpulkan oleh peneliti.

G.6. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi.

Lokasi penelitian dilaksanakan di kantor KPU Kabupaten Sleman Jalan

Merbabu no. 19 Denggung Sleman.

b. Waktu.

Penelitian ini telah dimulai sejak pengumpulan sampel data-data kliping

berita terkait pemilu dan KPU Kabupaten Sleman di media koran harian Kedaulatan

Rakyat, Harian Jogja dan Radar Jogja sejak Januari 2014 sampai dengan Juli 2014.

Pembatasan pengambilan sampel pada jangka waktu tersebut dilakukan dengan dasar

24

pemikiran bahwa pada masa itu merupakan masa pelaksanaan Pemilu 2014 di mana

akan tersedia banyak berita terkait pemilu dan juga KPU Kabupaten Sleman,

sehingga pengumpulan kliping berita akan lebih mudah dilakukan dan hasil sampel

diharapkan dapat semakin memperkuat argumentasi penelitian ini. Sedangkan

pengumpulan data lainnya seperti wawancara dan pengumpulan data tambahan akan

dilakukan pada Juli 2015. Untuk pelaksanaan observasi dilakukan selama tahapan

Pemilu 2014 dengan cara terus mengikuti dan mencatat interaksi antar aktor dalam

hubungan media.