BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu jenis tumbuhan di Indonesia yang berkhasiat sebagai antibakteri
adalah tumbuhan pecut kuda atau Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl. anggota
suku Verbenaceae. Secara empirik, tanaman ini digunakan untuk pengobatan
antara lain, alergi dan penyakit respiratori seperti batuk, flu, asma, dan bronkitis.
Tumbuhan ini juga digunakan untuk gangguan pencernaan seperti indigesti, ulser,
konstipasi, dispepsia, dan digesti lemah (Taylor, 2005). Penyakit-penyakit di atas
umumnya merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Skrining senyawa aktif antibakteri dalam tumbuhan dilakukan untuk
membuktikan khasiat dari tumbuhan yang diteliti, sehingga menaikkan nilai
tambah dari tumbuhan tersebut sebagai obat penanggulangan infeksi dalam bentuk
fitofarmaka (Balistika dkk., 2004). Dalam pengembangan fitofarmaka,
standarisasi dan persyaratan mutu simplisia obat tradisional merupakan hal yang
perlu diperhatikan (Dewoto, 2007). Standarisasi simplisia dibutuhkan karena
menurut Foster (1989), kandungan aktif tanaman obat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah perbedaan genetik yang tidak nampak dari gambaran
morfologi tiap tanaman dan populasi yang berpengaruh terhadap produksi
metabolit sekunder.
2
Bidang bioteknologi yang berkembang sangat cepat memungkinkan
budidaya tumbuhan secara in vitro untuk menghasilkan senyawa aktif yang
diinginkan dalam jumlah yang besar. Salah satu teknik biokteknologi adalah
dengan kultur kalus. Menurut Wetherell (1982), metode ini memiliki beberapa
keuntungan, salah satunya yaitu metabolit sekunder tanaman segera diperoleh
tanpa perlu menunggu tanaman dewasa dan dapat ditingkatkan kadarnya dengan
cara memodifikasi mediumnya. Modifikasi yang sering dilakukan pada komposisi
media untuk produksi metabolit sekunder diantaranya adalah mengurangi atau
menghilangkan zat pengatur tumbuh, mengurangi kadar fosfat dan meningkatkan
konsentrasi sukrosa atau penggunaan sumber karbon dan nitrogen (Bhojwani &
Razdan, 1996). Sukrosa dalam sel kalus akan terhidrolisis membentuk glukosa
dan fruktosa. Monosakarida hasil hidrolisis akan digunakan sebagai sumber energi
dan sumber karbon yang digunakan untuk pembentukan metabolit primer dan
sekunder melalui jalur glikolisis dan siklus Krebs. Menurut Etika (2000),
sukrosa akan meningkatkan pertumbuhan kalus pada kadar di atas 20-30 g/L.
Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2002) menunjukkan bahwa
biomassa kalus dan kadar terpenoid sari kloroform kalus daun legundi atau Vitex
trifolia anggota suku Verbenaceae mengalami peningkatan pada medium dengan
kadar sukrosa 60 g/L. Sari kalus daun dan akar tumbuhan Premna serratifolia L.
anggota suku Verbenaceae menunjukkan aktivitas penghambatan bakteri patogen
(Enterococcus faecalis, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Non-haemolytic
Streptococci, Streptococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella
typhimurium) lebih tinggi dibandingkan sari tanaman induk (Singh, 2011).
3
Sehingga dalam penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh penambahan
sukrosa dalam medium Murashige-Skoog (MS) padat terhadap pertumbuhan kalus
daun pecut kuda dan aktivitas antibakteri sari kloroform kalus daun pecut kuda
secara bioautografi terhadap bakteri Escherichia coli.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh penambahan sukrosa dalam media Murashige-Skoog
(MS) padat terhadap pertumbuhan kultur kalus daun pecut kuda?
2. Apakah sari kloroform kalus daun pecut kuda mempunyai aktivitas
antibakteri E. coli berdasarkan uji bioautografi?
3. Bagaimana profil kromatogram kultur kalus daun pecut kuda dibandingkan
dengan daun tanaman induk?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh penambahan sukrosa dalam media Murashige-Skoog
(MS) padat terhadap pertumbuhan kultur kalus daun pecut kuda.
2. Mengetahui aktivitas antibakteri sari kloroform kalus daun pecut kuda
terhadap E. coli berdasarkan uji bioautografi.
3. Mengetahui profil kromatogram kultur kalus daun pecut kuda dibandingkan
dengan daun tanaman induk.
4
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dalam jangka pendek dapat digunakan sebagai informasi
ilmiah tentang pengaruh variasi sukrosa dalam media MS-padat terhadap
pertumbuhan kalus daun pecut kuda, profil kromatogram, dan aktivitas
antimikroba senyawa aktif dalam kalus daun pecut kuda. Lebih lanjut, senyawa
aktif yang bertanggungjawab terhadap aktivitas antibakteri dapat diketahui. Dan
untuk jangka panjang, diharapkan dalam penelitian selanjutnya dihasilkan bibit
unggul tanaman pecut kuda yang dapat digunakan sebagai salah satu tanaman obat
dengan aktivitas antibakteri lebih baik.
E. Tinjauan Pustaka
1. Uraian tentang pecut kuda
a. Nama lokal
Pecut kuda dengan nama daerah disebut jarong, jarongan, jarong
lalaki, daun sangketan, ki meurit beureum (Sunda); biron, karomenal,
nyarang, sekar laru, ngadirenggo, remek getih, rumjarum, laler mengeng
(Jawa); sui in sui, sangko hidung (Sulawesi); Rai rai, dodinga (Maluku).
b. Deskripsi
Pecut kuda berasal dari Florida Selatan daerah Miami-Dade,
Monroe, Collier dan Lee. Pecut kuda dapat ditemukan di Afrika timur
dan barat, Madagaskar, Pulau Rukyu Jepang, Taiwan, subkontinental
India, Australia, Indonesia, Malaysia, dan di beberapa daerah Pantai
Pasifik. Jenis tumbuhan termasuk terna menahun dengan tinggi
5
tumbuhan mencapai 1 m dan tumbuh melebar sampai 2 m. Batang mula-
mula tegak kemudian bercabang-cabang, batang utama berwarna hijau,
bentuk batang bersegi empat, cabang batang yang dekat dengan tanah
berwarna hijau keabu-abuan sampai hijau kecokelatan. Daun tunggal
berhadapan bentuk helaian daun bulat telur sampai lanset, pertulangan
daun menyirip, dan sedikit melengkung di ujung tulang daun. Panjang
daun 1 - 4,5 inchi dan lebar daun 0,75 – 2,5 inchi, pangkal runcing, tepi
bergerigi, ujung runcing sampai meruncing. Bunga majemuk bulir,
panjang ibu tangkai bunga sampai 30 cm. Setiap bunga duduk pada ibu
tangkai bunga dengan tangkai bunga yang sangat pendek. Ibu tangkai
bunga berbentuk panjang dan melengkung seperti bentuk pecut kuda.
Kelopak bunga terdiri atas lima helai berbentuk tabung yang menempel
pada ibu tangkai bunga, berwarna hijau. Mahkota bunga berlekatan
membentuk tabung mahkota, berwarna biru-ungu, dengan bagian tengah
tabung berwarna putih, ujung tabung mahkota bunga terbagi menjadi 5
lobus (cuping). Tinggi tabung 0,5 – 1,0 cm. Benang sari 5 berseling
dengan lobusnya, kepala sari berwarna kuning kecokelatan. Putik
berjumlah 1, terletak di bagian tengah helaian mahkota bunga. Berbunga
sepanjang tahun (Brown, 2012).
6
Gambar 1. Pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl)
Gambar 2. Morfologi pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl)
(a) ibu tangkai bunga (panjang dan melengkung di bagian ujung seperti pecut kuda);
(b) bunga terletak di ibu tangkai bunga berupa bunga bulir berwarna biru-ungu;
(c) daun (bentuk telur-lanset dengan tepi bergerigi.
c. Sistematika untuk pecut kuda
Kedudukan kategori taksa untuk jenis pecut kuda di dalam
sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut :
a b c
7
divisi : Spermatophyta
anak divisi : Angiospermae
kelas : Dicotyledoneae
bangsa : Lamiales
suku : Verbenaceae
marga : Stachytarpheta
jenis : Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl
(Backer & van den Brink, 1965; Steenis, 1997)
d. Kandungan kimia
Uji pendahuluan fitokimia pada daun pecut kuda menunjukkan
bahwa di dalamnya mengandung metabolit sekunder saponin, tanin dan
flavonoid (Idu dkk., 2007). Menurut Costa (1960), keseluruhan bagian
tanaman pecut kuda mengandung senyawa asam klorogenat. Melita &
Castro (1996), sari daun pecut kuda mengandung senyawa iridoid
ipolamiide, glikosida fenilpropanoid, dan verbascosida. Menurut
Subramanian dkk. (1974) jenis tumbuhan anggota marga Stachytarpheta,
dalam hal ini Stachytarpheta indica mengandung senyawa friedelin
(termasuk golongan senyawa triterpen).
e. Manfaat
Secara etnobotani, tanaman pecut kuda berkhasiat sebagai
penghilang nyeri, obat lambung, obat cacing, obat bengkak-bengkak,
pelancar air seni, penurun tekanan darah, pencahar, pelancar laktasi,
penenang, obat sakit perut, dan obat sesak nafas (Schapoval, 1998).
8
Tanaman ini juga digunakan untuk alergi dan kondisi respiratori seperti
batuk, flu, asma, bronkitis, dan yang lain. Selain itu juga digunakan
untuk gangguan pencernaan seperti indigesti, ulcer, konstipasi, dispepsia,
dan digesti lemah. Untuk pasien yang sedang hamil dan pasien hipotensi
tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi tanaman ini karena bersifat abortif
dan hipotensif (Taylor, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Sashidaran dkk. (2007)
menunjukkan bahwa daun pecut kuda memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi obat antidiare. Hasil penelitian tersebut yaitu
pada dosis 250 dan 500 mg/kg, sari metanolik daun pecut kuda secara
signifikan menunjukkan aktivitas antidiare (p < 0.05). Berdasarkan uji
antibakteri, ektrak metanolik menunjukkan aktivitas hambat meoderat
terhadap Escherichia coli, Staphylococcus epidermis dan Pseudomonas
aeruginosa, dengan nilai MIC 5.00 mg/mL.
2. Uraian tentang Kultur Jaringan Tanaman
a. Kultur jaringan tanaman
Kultur jaringan tanaman dapat disebut juga sebagai perbanyakan
tanaman secara in-vitro (Wetherell, 1982). Kultur jaringan tanaman adalah
teknik untuk menumbuhkan suatu protoplas, sel, jaringan, dan organ pada
media buatan dengan komposisi nutrisi tertentu dalam keadaan tanpa
mikroorganisme (Staba, 1982).
Ide awal mengenai teknik ini berasal dari ilmuwan Jerman,
Haberlandt pada awal abad ke-20. Penelitian awal dimulai dari kultur akar,
9
embrio, dan kalus/jaringan (Thorpe, 2012). Haberlandt memperkirakan
bahwa tumbuhan utuh dan fungsional dapat diregenerasi dari sel tunggal.
Meskipun semua organisme multiseluler memiliki siklus sel yang sama,
sel tumbuhan memiliki kualitas totipotensi yang lebih baik dibanding sel
hewan. Hal ini menunjukkan bahwa sel tunggal dapat menjadi tumbuhan
utuh melalui mekanisme pengaturan selama pembelahan sel. Pengaturan
ini dapat menyebabkan proses diferensiasi berlangsung setelah terjadinya
proses dediferensiasi suatu jaringan. Hal ini memungkinkan suatu organ
daun yang diinokulasikan ke dalam media yang sesuai akan menghasilkan
kalus sehingga kalus tersebut akan berdiferensiasi menghasilkan akar,
batang dan daun (Loyola-Vargas & Ochoa-Alejo, 2012).
Sifat sel dengan totipotensi yang tinggi tidak cukup untuk
kesuksesan kegiatan kultur jaringan. Faktor media tempat tumbuh,
lingkungan yang mempengaruhinya (kelembapan, temperatur, cahaya),
dan sterilitas baik eksplan maupun media merupakan hal mutlak yang
harus terkendali. Faktor yang berpengaruh di dalam pengerjaan kultur
jaringan adalah penguasaan teknik dan prosedur kerja yang baik (Santosa
& Nursandi, 2002). Kultur jaringan mempunyai tiga tujuan, yaitu
perbanyakan tanaman, produksi metabolit sekunder dan perbaikan
kualitas tanaman. Produksi metabolit sekunder dapat dilakukan dengan
kultur kalus dan kultur sel (Gunawan, 1995).
10
b. Sterilisasi
Hal penting dalam kultur jaringan adalah kondisi kultur yang bebas
dari kontaminasi biologis dan terjaga dalam keadaan aseptik selama
manipulasi, pertumbuhan dan penyimpanan (Cassells, 2012). Metode
sterilisasi dibagi menjadi dua, yaitu secara fisik dan kimia. Metode
sterilisasi kimia dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia,
sedangkan metode sterilisasi fisik dapat dilakukan dengan cara panas
baik panas kering maupun panas basah, radiasi, dan filtrasi (Pratiwi,
2006).
Menurut Iliev dkk. (2010), sterilan kimia yang dapat digunakan
dalam kultur jaringan tanaman diantaranya adalah etanol 95 dan 70%
(v/v), larutan NaClO atau Ca(ClO)2 0,5–5% atau 3–7% (b/v), larutan
HgCl2 0,1–0,2% (b/v), dan sabun bakteriosidal. Sterilisasi kimia ini
digunakan untuk mensterilisasi eksplan, alat-alat, dan permukaan area
kerja.
Sterilisasi peralatan dan media biasanya dilakukan dengan
menggunakan alat yang disebut otoklaf. Alat ini bekerja atas dasar
temperatur dan tekanan. Temperatur yang digunakan untuk sterilisasi
adalah 121°C dengan tekanan antara 15 -18 psi (pounds per squar inch)
selama 15 menit (Santosa & Nursandi, 2002).
Sterilisasi ruang kultur digunakan metode sterilisasi penyaring
dengan alat yang disebut LAF (Laminar Air Flow). LAF merupakan salah
satu contoh dari filter HEPA (High Efficiency Particulate Air). Filter ini
11
terdiri atas lipatan selulosa asetat yang memungkinkan untuk menyaring
udara bebas debu dan bakteri, dan (Pratiwi, 2006). Untuk sterilisasi ruang
transfer/penabur, ruang inkubasi, ruang kultur umumnya dilakukan
dengan sinar ultra violet. Khusus untuk LAF biasanya sebelum
penggunaan dibersihkan dengan etanol 70% kemudian lampu ultra violet
dinyalakan selama 1-2 jam (Santosa & Nursandi, 2002). Etanol efektif
membunuh bakteri dan fungi namun tidak dapat membunuh endospora
dan virus non-enveloped. Mekanisme aksi etanol adalah dengan
mendenaturasi protein mikroorganisme, melarutkan lipid dari membran
mikroorganisme termasuk lipid pada virus bersampul (enveloped virus).
Sinar UV bereaksi dengan asam nukleat sel mikroorganisme sehingga
menyebabkan ikatan antara molekul-molekul timin yang bersebelahan
membentuk dimer timin. Senyawa dimer timin dapat menghalangi
replikasi DNA normal dengan menutup jalan enzim replikasi (Pratiwi,
2006).
c. Eksplan
Sebagian organ atau jaringan yang digunakan dalam kultur
jaringan disebut eksplan (George, 2008). Eksplan akan menunjukkan
pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Arah pertumbuhan dan
perkembangan atau regenerasi ditentukan oleh beberapa hal berikut, yaitu
komposisi media, zat pengatur tumbuh yang digunakan dan lingkungan
tumbuh (Gunawan, 1995).
12
Macam eksplan, ukuran, umur, dan cara pembudidayaan akan
mempengaruhi berhasil tidaknya kultur jaringan tanaman. Menurut
Wetherell (1982), aturan sederhana yang dapat digunakan sebagai dasar
dalam pemilihan eksplan adalah memakai sumber eksplan yang sehat dan
tumbuh kuat, memilih jaringan yang muda dan memakai eksplan yang
cukup besar. Kadang-kadang perlu dilakukan percobaan terlebih dahulu
bila akan mengkulturkan suatu jenis atau varitas tanaman yang belum
diketahui (Dixon, 1985).
d. Kultur kalus
Kultur kalus adalah teknik budidaya tanaman dalam suatu
lingkungan untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan
ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali (Gunawan, 1995). Kalus
adalah suatu kumpulan sel amorphous yang berasal dari sel-sel jaringan
yang membelah diri secara terus-menerus. Penelitian pembentukan kalus
pada jaringan terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun
1960.
Sel-sel kalus diharapkan mampu memperbanyak dirinya secara
terus menerus dan dapat menghasilkan produk metabolit sekunder
tertentu (Santosa dan Nursandi, 2002). Pada awal pertumbuhan kalus
yaitu fase lag terjadi proses penyesuaian keadaan dan induksi
pembelahan sel. Kemudian pada fase logaritmik sel mulai membelah dan
kecepatan pertumbuhan sel menjadi konstan pada fase stasioner (George,
1993).
13
Kalus tidak hanya terdiri dari satu jenis. Kalus dapat dibedakan
berdasarkan penampakan, warna, derajat kekompakan, dan potensi
morfogeneik yang umumya tumbuh dari eksplan tunggal. Jenis kalus
yang diperoleh, dilihat dari kemampuan diferensiasi sel dan kapasitas
untuk regenerasi menjadi tumbuhan baru, tergantung dari asal dan umur
jaringan ekplan. Kalus yang kurang kompak atau kalus friabel umumnya
dipilih untuk inisiasi kultur suspensi (George, 2008).
Kultur kalus tanaman anggota suku Verbenaceae pernah dilakukan
Puspitasari (2002) pada daun legundi atau Vitex trifolia. Penambahan 1,0
mg/l 2,4-D dan 1,0 mg/l kinetin dalam media merupakan konsentrasi
yang optimum untuk meningkatkan laju pertumbuhan kalus daun
legundi secara in vitro.
e. Medium kultur
Keberhasilan dalam teknologi kultur jaringan tanaman terutama
disebabkan pengetahuan yang baik tentang lingkungan tumbuh eksplan
yang sesuai. Lingkungan yang cocok sebagian akan terpenuhi apabila
media kultur yang dipilih berdasarkan kebutuhan hara sel dan jaringan
(Santosa & Nursandi, 2002). Media kultur yang memenuhi syarat adalah
media yang mengandung nutrien makro dan mikro dalam kadar dan
perbandingan tertentu, serta sumber tenaga (umumnya digunakan
sukrosa). Seringkali juga mengandung satu atau dua macam vitamin dan
zat perangsang pertumbuhan (Wetherell, 1982). Media Murashige-Skoog
(MS) dan Schenk-Hildebrandt (SH) paling banyak digunakan untuk
14
kultur jaringan tanaman dan efektif untuk pertumbuhan kultur tanaman
dikotil dan monokotil. Keduanya diketahui sebagai media „high salt’
(dibandingkan dengan konsentrasi persenyawaan garam dengan „low
salt’ seperti pada media White) (Dixon, 1985). Media yang mengandung
bahan pemadat seringkali disebut media padat atau media semipadat
tergantung jumlah yang ditambahkan. Media ini secara luas digunakan
untuk penanaman eksplan, kultur kalus atau organ tanaman (termasuk
mikropropagasi) dan untuk penanaman kultur dalam jangka waktu lama
(George, 2008). Penggunaan media MS pada kultur kalus tanaman
anggota Verbenaceae dilaporkan oleh Puspitasari (2002) dan Singh
(2011).
Media kultur jaringan tanaman mengandung empat kelompok
senyawa, yaitu:
(1) Unsur anorganik
Terdapat dua macam unsur anorganik yaitu unsur makro dan
unsur mikro. Unsur - unsur yang dibutuhkan dalam jumlah besar
(unsur makro) di antaranya adalah nitrogen (N), kalium (K), kalsium
(Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), dan sulfur (S). Sedangkan unsur
yang dibutuhkan dalam jumlah kecil (unsur mikro) meliputi besi
(Fe), nikel (Ni), klorin (Cl), mangan (Mn), seng (Zn), boron (B),
tembaga (Cu), dan molibnum (Mo). Unsur-unsur di atas bersama
dengan karbon (C), oksigen (O) dan hidrogren (H) merupakan unsur
penting. Selain itu, terdapat unsur seperti kobal (Co), aluminium
15
(Al), natrium (Na), dan iodin (I) yang merupakan unsur penting bagi
beberapa jenis tumbuhan, namun ketersediaannya dalam tumbuhan
sudah cukup (George & Klerk, 2008). Komponen media tersebut
akan mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme sel dalam media
kultur (Ramawat, 1999).
(2) Unsur organik
Pertumbuhan dan morfogenesis kultur jaringan tanaman
dapat ditingkatkan dengan penambahan dalam jumlah kecil unsur
organik, diantaranya yaitu vitamin, asam amino dan beberapa
suplemen organik lainnya. Vitamin yang sering ditambahkan dalam
media adalah tiamin (Vit. B1), asam nikotinat (niasin) dan piridoksin
(Vit. B6) serta myo-inositol (George & Klerk, 2008).
(3) Sumber karbon
Karbohidrat memiliki peran penting dalam kultur in vitro
sebagai sumber karbon dan energi serta untuk pengatur tekanan
osmotik media. Sukrosa merupakan sumber karbon yang sering
digunakan untuk mikropropagasi melalui kultur jaringan (Thorpe
dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Nurchayati dan Afiah
(2010) menunjukkan hasil bahwa media tanpa penambahan sukrosa
(0 g/l atau kontrol) hingga akhir penelitian tidak terjadi inisiasi
kalus, sehingga disimpulkan bahwa sukrosa sangat mutlak
diperlukan untuk memacu inisiasi kalus. Menurut Thorpe dkk.
16
(2008), jumlah sukrosa yang sering ditambahkan dalam media
adalah 2-4%.
Sukrosa adalah sumber karbon yang paling mudah
ditranslokasi dalam jaringan tanaman dibandingkan karbohidrat
lain. Sukrosa masuk dalam glikolisis dan siklus Krebs untuk
membentuk ATP dan NADH. Sukrosa merupakan disakarida dan
terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa yang dapat digunakan
sebagai sumber karbon dan energi lebih besar untuk pertumbuhan.
Glukosa merupakan monosakarida yang menghasilkan energi lebih
rendah dibanding sukrosa. Hal ini menyebabkan sukrosa mampu
menyuplai energi dan karbon yang lebih besar dibanding glukosa
(Rohimatun & Darwati, 2011). Hidrolisis sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa dalam sel mempengaruhi tekanan osmotik sel.
Hidrolisis sukrosa ini menyebabkan penyerapan air ke dalam sel
lebih banyak sehingga tekanan turgor meningkat, yang selanjutnya
menyebabkan pembesaran dan pemanjangan sel (Suskendriyati,
2004). Sukrosa akan meningkatkan pertumbuhan kalus pada kadar di
atas 20-30 g/L (Etika, 2000).
(4) Zat pengatur tumbuh
Jaringan tanaman secara alami mengandung senyawa endogen
yang memilliki pengaturan atau regulasi berbeda dengan nutrien
untuk pertumbuhan dan perkembangan. Senyawa ini aktif dengan
konsentrasi yang sangat kecil. Senyawa ini dikenal sebagai hormon
17
tanaman. Senyawa sintetis dengan aktivitas fisiologi sama dengan
hormon tanaman, memiliki kemampuan untuk memodifikasi
pertumbuhan tanaman dengan mekanisme yang hampir sama. Saat
senyawa tersebut dimasukkan dalam media kultur jaringan tanaman,
maka dapat dinamakan sebagai zat pengatur tumbuh yang
mengindikasikan bahwa zat tersebut diperoleh dari luar jaringan
tanaman (senyawa eksogen). Terdapat berbagai macam ZPT,
diantaranya yaitu auksin, sitokinin, giberilin, etilen, dan asam
absisat (Machakova dkk., 2008).
f. Produksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan tanaman
Kultur jaringan sejak lama telah digunakan sebagai salah satu
metode untuk produksi senyawa bioaktif dari tumbuhan. Kelebihan
penggunaan kultur jaringan dalam produksi senyawa bioaktif dibanding
dengan tumbuhan utuh antara lain adalah tidak adanya keterbatasan
iklim, tidak memerlukan lahan yang luas, dan senyawa bioaktif dapat
dihasilkan secara kontinyu dalam keadaan yang terkontrol. Sintesis
senyawa bioaktif oleh kultur kalus antara lain dilaporkan oleh Puspitasari
(2002) dan Husin (2003). Selanjutnya, kultur dapat dibuat dalam skala
besar dalam bioreaktor melalui proses bioteknologi yang tepat untuk
memproduksi metabolit, meningkatkan produksi metabolit sekunder
dengan penambahan senyawa kimia tertentu, memasukkan gen asing
dalam gen tanaman untuk menghasilkan protein rekombinan, atau protein
terekspresi yang memiliki jalur metabolit terbatas (Tang dkk., 2010).
18
Modifikasi yang sering dilakukan pada komposisi media untuk
produksi metabolit sekunder diantaranya adalah mengurangi atau
menghilangkan zat pengatur tumbuh, mengurangi kadar fosfat dan
meningkatkan konsentrasi sukrosa atau penggunaan sumber karbon dan
nitrogen (Bhojwani & Razdan, 1996).
3. Metode Penyarian
Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat
yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat-zat
aktif larut dalam cairan penyari. Metode dasar penyarian adalah maserasi,
perkolasi dan penyarian dengan alat soxhlet. Metode ekstraksi dipilih
berdasarkan beberapa faktor seperti sifat bahan terutama sifat zat aktif yang
akan disari (Ansel, 1989).
Maserasi merupakan salah satu teknik penyarian yang paling
sederhana dalam menyari bahan obat yang berbentuk serbuk simplisia halus
(Voight, 1994). Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
halus dengan pelarut yang dapat melarutkan zat aktif yang akan disari.
Adanya perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam sel, cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel sehingga zat aktif akan
larut didesak ke luar. Peristiwa ini berulang sehingga terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Cairan penyari yang
digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain (Ansel, 1989).
Keuntungan metode ini ialah cara pengerjaan, peralatan yang
digunakan sederhana, mudah diusahakan, dan aman untuk senyawa volatile
19
yang mudah hilang dalam pemanasan (golongan senyawa terpenoid).
Kerugian cara maserasi ialah pengerjaan yang lama dan penyariannya kurang
sempurna (Anonim, 1986).
4. Uraian tentang Metabolit Sekunder
Jalur metabolisme primer berbeda dengan metabolisme sekunder.
Metabolisme primer menghasilkan produk yang dinamakan metabolit primer.
Metabolit primer digunakan oleh seluruh organisme hidup untuk bertahan
hidup, seperti polisakarida, lemak dan asam nukleat. Berlawanan dengan jalur
metabolisme primer, terdapat jalur metabolisme sekunder yang melibatkan
senyawa-senyawa organik spesifik dan terjadi sangat terbatas di alam.
Metabolisme ini menghasilkan produk yang disebut sebagai metabolit
sekunder, seperti glikosida, flavonoid, alkaloid, terpenoid, dan zat warna
(Dewick, 1999).
Senyawa pembangun metabolit sekunder merupakan turunan hasil
metabolisme primer (Gambar 3). Skema tersebut menunjukkan pembentukan
metabolit dari sumber karbon melalui proses fundamental fotosintesis,
glikolisis, dan siklus Krebs. Sebagian besar senyawa pembangun yang
menjadi penyedia biosintesis metabolit sekunder merupakan turunan dari
acetyl coenzyme A (acetyl-CoA), asam sikimat, asam mevalonat, dan 1-
deoxyxylulose 5-phosphate (Dewick, 1999).
20
Gambar 3. Hubungan metabolit primer dan metabolit sekunder (Dewick, 1999)
5. Uraian tentang Mikrobiologi
a. Bakteri uji aktivitas antibakteri
Bakteri adalah suatu organisme hidup yang memiliki struktur sel
sangat sederhana dan hanya bersel tunggal (uniseluler). Penggolongan
bakteri sangat beragam, salah satunya penggolongan bakteri berdasarkan
sifatnya, ada dua macam yaitu bakteri patogen dan bakteri nonpatogen.
Bakteri patogen adalah bakteri berbahaya yang seringkali menimbulkan
penyakit sedangkan bakteri nonpatogen adalah bakteri yang
21
menguntungkan dan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bakteri yang
dapat digunakan untuk uji aktivitas antibakteri meliputi bakteri Gram
positif dan Gram negatif. Mikroba-mikroba tersebut dapat digolongkan
dalam mikroba patogen dan atau perusak karena kedua golongan mikroba
tersebut yang akan dicegah pertumbuhannya dengan antibakteri
(Parhusip, 2006).
Senyawa antibakteri banyak terdapat dalam tanaman. Beberapa
tanaman monokotil yang memiliki aktivitas antibakteri di antara adalah
bawang putih segar dengan senyawa aktif alliine dan asam amino yang
mengandung sulfur, jahe dan lidah buaya. Pada tanaman dikotil terdapat
beberapa golongan senyawa di antaranya yaitu seskuiterpen keton dalam
tanaman hops (senyawa humulene dan lupulene) dan dalam tanaman
myrrh (fulanodiene-6-one dan methoxyfuranoguaia-9-ene-8-one);
senyawa lakton protoanemonine dalam tanaman Anemone pulsatilla dan
anggota Ranunculaceae lain; senyawa sulfur dalam tanaman anggota
Cruciferae (Evans, 2002); senyawa triterpen Friedelin dalam tanaman
Begonia malabarica (Ramesh dkk., 2002).
b. Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang membunuh bakteri atau menekan
pertumbuhannya. Oleh karena itu, kelompok senyawa yang beraktivitas
sebagai antibakteri digunakan untuk upaya kuratif pada penyakit infeksi
yang disebabkan oleh antibakteri. Pada beberapa bagian tanaman
mengandung senyawa yang dapat bersifat sebagai antibakteri. Senyawa
22
tersebut diproduksi secara biologis oleh tanaman, dan dapat menghambat
pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Nycas, 1995).
c. Media pertumbuhan bakteri
Media adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat-zat hara
(nutrien) yang berguna untuk membiakkan mikroba. Dengan
menggunakan bermacam-macam media dapat dilakukan isolasi,
perbanyakan, pengujian sifat-sifat fisiologis dan perhitungan jumlah
mikroba (Sutedjo dkk., 1996). Pengetahuan tentang habitat normal
mikoorganisme sangat membantu dalam pemilihan media yang cocok
untuk pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium (Pratiwi, 2006).
d. Uji bioautografi
Bioautografi merupakan suatu metode yang spesifik untuk
mendeteksi bercak pada kromatogram hasil kromatografi lapis tipis
(KLT) atau kromatografi kertas yang mempunyai aktivitas antibakteri,
antifungi dan antiviral. Bioautografi juga merupakan suatu metode yang
cepat untuk mendeteksi antibiotik yang belum diketahui sebab ada
keterbatasan metode kimia atau fisika untuk substansi yang murni.
Sementara deteksi kimia reaksi warna hanya spesifik digunakan sebagai
pembanding hasil bioautografi sehingga kedua metode tersebut saling
melengkapi (Stahl, 1965).
Salah satu keuntungan metode bioautografi dibandingkan dengan
metode lain seperti difusi agar dan pengenceran adalah dapat digunakan
untuk mengetahui aktivitas biologi secara langsung dari senyawa
23
komplek, terutama terkait dengan kemampuan suatu senyawa untuk
menghambat pertumbuhan mikroba (Kavanagh, 1972), selain untuk
pemisahan dan identifikasi. Kelebihan lainnya, metode bioauografi
tersebut cepat, mudah untuk dilakukan, murah, hanya membutuhkan
peralatan sederhana, dan interpretasi hasilnya relatif mudah serta akurat
(Kusumaningtyas dkk., 2008).
Metode bioautografi dibedakan menjadi tiga macam yaitu
bioautografi kontak, bioautografi imersi atau bioautografi agar overlay
dan bioautografi langsung. bioautografi kontak dilakukan dengan
meletakkan lempeng kromatogram hasil elusi senyawa yang diuji di atas
media padat yang sudah diinokulasi dengan mikroba uji. Adanya
senyawa antimikroba ditandai dengan adanya daerah jernih yang tidak
ditumbuhi mikroba. pada bioautografi agar overlay, lempeng
kromatogram dilapisi dengan agar yang masih cair yang sudah
diinokulasikan dengan mikroba uji. Setelah agar mengeras, lempeng
kromatogram diinkubasi dan diwarnai dengan tetrazolium dye.
Penghambatan dapat dideteksi dengan terbentuknya pita (band).
bioautografi langsung dilakukan dengan menyemprot lempeng
kromatogram dengan mikroba uji dan diinkubasi. zona hambat yang
terbentuk divisualisasikan dengan menyemprot lempeng kromatogram
dengan tetrazolium dye (Kusumaningtyas dkk., 2008).
24
6. Uraian tentang Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode
pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan menggunakan pelat kaca yang
dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut tertentu. Kelebihan KLT ialah
proses yang cepat, pemakaian jumlah pelarut dan jumlah cuplikan yang
sedikit (Gritter,1991).
Pada hakikatnya KLT melibatkan dua fase yaitu fase diam atau sifat
lapisan, dan fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dapat
berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap atau
penyangga untuk lapisan zat cair. Fase gerak dapat berupa hampir segala
macam pelarut atau campuran pelarut.
Identifikasi senyawa-senyawa yang terpisah pada kromatogram
umumnya menggunakan harga Rf (retardation factor/retention factor). Selain
harga Rf, identifikasi senyawa dapat menggunakan harga hRf (hundred
retardation factor), yaitu Rf dikalikan 100, sebagai pembulatan dua angka di
belakang koma yang terdapat pada harga Rf (Stahl, 1969). Harga hRf
didefinisikan sebagai berikut:
Harga hRf yang diperoleh pada kromatografi lapis tipis kurang tetap
jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas. Karena
itu pada lempeng yang sama di samping kromatogram dari zat yang diperiksa
perlu dibuat kromatogram dari zat pembanding kimia, lebih dengan kadar
yang berbeda-beda. Perkiraaan identifikasi diperoleh dengan pengamatan dua
25
bercak dengan harga hRf yang kurang lebih sama dan warna serta ukuran
yang sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat digunakan untuk menentukan
kadar (Sudjadi, 1986).
Deteksi senyawa dapat dilihat dibawah sinar UV 254 nm dengan
adanya peredaman dan sinar UV 366 nm menunjukkan fluoresensi. Ada
beberapa golongan senyawa yang tidak dapat dideteksi dengan penyinaran
UV sehingga perlu dilakukan deteksi kimia menggunakan pereaksi penampak
bercak (dengan atau tanpa pemanasan). Salah satu pereaksi semprot yang
dapat digunakan adalah anisaldehid-asam sulfat. Pereaksi ini dapat digunakan
untuk identifikasi fenol, terpen, steroid, propilpropan, saponin, dan senyawa
pahit. Anisaldehid-asam sulfat yang digunakan untuk pereaksi semprot dibuat
dengan cara menambahkan 8 mL asam sulfat pekat dan 0,5 mL anisaldehid
dalam kondisi dingin ke dalam campuran 85 mL metanol dan 10 mL asam
asetat glasial. Deteksi dilanjutkan dengan pemanasan pada 100°C-105°C
sampai intensitas warna bercak maksimal (Stahl, 1985), atau pada 90°C-
125°C selama 1-15 menit (Jork dkk., 1990). Warna yang muncul akan
bermacam-macam mulai dari ungu, biru, merah, coklat maupun hijau
tergantung senyawa dalam bercak (Stahl, 1985).
26
F. Landasan Teori
Teknik kultur jaringan tanaman didasarkan pada sifat totipotensi yang
dimiliki sel tumbuhan. Totipotensi sel merupakan kemampuan setiap sel
tunggal untuk membelah, memproduksi sel terdiferensiasi, dan meregenerasi diri
menjadi tanaman sempurna apabila berada dalam lingkungan yang sesuai. Kultur
jaringan mempunyai tiga tujuan, yaitu perbanyakan tanaman, produksi metabolit
sekunder dan perbaikan kualitas tanaman. Produksi metabolit sekunder dapat
dilakukan dengan kultur kalus (Gunawan, 1995).
Modifikasi yang sering dilakukan pada komposisi media untuk produksi
metabolit sekunder diantaranya adalah mengurangi atau menghilangkan zat
pengatur tumbuh, mengurangi kadar fosfat dan meningkatkan konsentrasi sukrosa
atau penggunaan sumber karbon dan nitrogen (Bhojwani & Razdan, 1996).
Sukrosa sebagai sumber energi akan mempengaruhi pertumbuhan sel dan sebagai
substrat yang berperan dalam metabolisme akan mempengaruhi pembentukan
metabolit primer dan sekunder. Sukrosa akan meningkatkan pertumbuhan kalus
pada kadar di atas 20-30 g/L (Etika, 2000). Metabolit sekunder dapat diambil
melalui penyarian dengan pelarut tertentu. Senyawa dalam penyari dapat
diketahui aktivitas antibakteri dengan metode bioautografi. Bioautografi
merupakan suatu metode yang spesifik untuk mendeteksi bercak pada
kromatogram hasil kromatografi lapis tipis (KLT) atau kromatografi kertas yang
mempunyai aktivitas antibakteri, antifungi dan antiviral (Stahl, 1985).
27
G. Hipotesis
1. Peningkatan konsentrasi sukrosa di atas 30 g/L dalam media MS akan
meningkatkan pertumbuhan kalus daun pecut kuda.
2. Peningkatan konsentrasi sukrosa di atas 30 g/L dalam media MS akan
meningkatkan aktivitas antibakteri kalus pecut kuda.
3. Profil kromatogram kalus daun pecut kuda mirip dengan profil kromatogram
daun pecut kuda.